Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2017


UNIVERSITAS PATTIMURA

ALOPESIA ANDROGENIK

Disusun Oleh:
Chelsea Beauty Frabes
(2017-84-045)

Pembimbing:

dr. Fitri K. Bandjar, Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih dan

rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan pembuatan Referat pada bagian ilmu Kesehatan Kulit

Kelamin dengan judul Alopesia Androgenik.

Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik pada bagian ilmu

Kesehatan Kulit Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Ambon tahun 2017.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran

yang membangun selalu penulis harapkan, dan semoga referat ini dapat bermanfaat untuk kita

semua.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas segala pihak yang telah membantu

penulis dalam penyelesaian pembuatan referat ini.

Ambon, Oktober 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR. i

DAFTAR ISI.. ii

BAB I PENDAHULUAN.. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2

A. Definisi .......... ...................... 2

B. Epidemiologi.......................... ................... 2

C. Etiologi dan pathogenesis ...... 3

D. Manifestasi klinis ................. 7

E. Diagnosis ............................. 9

F. Diagnosis diferensial ............ 11

G. Tatalaksana ........................... 11

BAB III PENUTUP. ............. 14

DAFTAR PUSTAKA..................... 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Alopesia androgenik merupakan kehilangan rambut yang dipengaruhi oleh hormon

androgen dan predisposisi genetik. Walaupun paling sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki,

namun jenis kelamin perempuan juga dapat mengalaminya.1

Penyakit ini sangat bervariasi secara epidemiologi, alopesia androgenik terjadi pada 30%

laki-laki kulit putih di usia 30 tahun dan sebanyak 50% pada usia 50 tahun. Berdasarkan ras,

alopesia androgenik lebih sedikit pada laki-laki Asia dan Afrika-Amerika. Pada laki-laki kulit

putih memiliki prevalensi 4 kali lebih banyak untuk mengalami alopesia androgenik sampai

mencapai tipe VIII pada skala Hamilton dibandingkan yang berkulit hitam.2

Pola hilangnya rambut biasanya tergantung pada jenis kelamin. Pada laki-laki biasanya

terlihat adanya kebotakan pada area temporal dan vertex. Pada wanita lebih sering terjadi

penipisan pada area mid frontal kepala.2

Belum terdapat gold standard untuk mendiagnosa alopesia dini.2 Pemeriksaan kulit

kepala dan riwayat pasien biasanya sudah dapat dijadikan diagnosa definitif.1 Pemeriksaan yang

dapat dilakukan mulai dari fotografi serial, biopsi dan histopatologi.2 Selain itu, tes tarik dan

trikogram juga dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang kondisi yang sedang

terjadi.1

Tatalaksana secara farmakologis dapat menggunakan minoxidil topikal dan finaestrida

oral. Terdapat beberapa terapi farmakologis yang lain namun belum disetujui oleh FDA (Food

and Drugs Administration). Terapi fisik lain yang dapat dilakukan yaitu dengan penyinaran dan

transplantasi rambut.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Alopesia berasal dari bahasa Latin yaitu alopex yang artinya musang, hal ini karena adanya

bercak-bercak kudis tak berambut yang terlihat pada musang liar.3 Alopesia androgenik

merupakan kehilangan rambut yang dipengaruhi oleh hormon androgen dan predisposisi genetik.

Paling sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan.1 Alopesia androgenik

termasuk dalam kelompok localized alopecia dan terjadi tanpa adanya bekas luka (non

scarring).4

B. Epidemiologi

Prevalensi alopesia androgenik sangat bervariasi. Sebagian besar laki-laki akan menglami

kemunduran garis rambut selama masa hidupnya. Perkembangan sampai pada setidaknya tipe III

skala Hamilton terjadi pada sekitar 50% laki-laki dan perempuan usia lebih dari 40 tahun.1

Secara epidemiologi, alopesia androgenik terjadi pada 30% laki-laki kulit putih di usia 30 tahun

dan sebanyak 50% pada usia 50 tahun. Berdasarkan ras, alopesia androgenik lebih sedikit pada

laki-laki Asia dan Afrika-Amerika. Pada laki-laki kulit putih memiliki prevalensi empat kali

lebih banyak untuk mengalami alopesia androgenik sampai mencapai tipe VIII pada skala

Hamilton dibandingkan yang berkulit hitam.2

Risiko kebotakan padan laki-laki tergantung pada adanya riwayat keluarga yaitu pada ayah,

ibu atau kakek. Laki-laki yang memiliki ayah dengan kebotakan akan memiliki risiko dua kali

lipat untuk terjadi kebotakan dibandingkan dengan laki-laki dengan ayah tanpa kebotakan.

Variasi etnik pada insidensi alopesia androgenik untuk laki-laki yaitu empat kali lebih sering

pada laki-laki keturunan Afrika, tiga kali lebih sedikit pada laki-laki Korea dan sekitar 1.5 kali

2
lebih sedikit pada laki-laki yang berasal dari Cina, Jepang atau Thailand. Alopesia androgenik

lebih jarang terjadi pada perempuan, namun sama halnya dengan pada laki-laki, frekuensi dan

keparahannya juga meningkat seiring bertambahnya usia. Kondisi ini dapat dimulai sejak usia

prepubertas pada perempuan maupun laki-laki. Sekitar 40% perempuan ras kaukasian

mengalami alopesia pada usia 70 tahun. Kehilangan rambut memang terlihat lebih sedikit pada

perempuan-perempuan Asia.1

C. Etiologi dan patogenesis

Penyebab yang mendasari terjadinya alopesia belum dapat diukur secara pasti. 1 Alopesia

androgenik bersifat familial dengan pewarisan poligen yang kompleks. Reseptor gen androgen

bersifat polimorfik, 5 reduktase dan dua gen lainnya serta gen-gen yang belum teridentifikasi

pada kromosom 3 dan 21 juga berhubungan dengan kebotakan dini.2 Pada laki-laki, alopesia

terjadi karena adanya kombinasi antara hiperaktivitas androgen dan predisposisi genetik terhadap

hilangnya rambut akibat sensitivitas kerja androgen. Pada jenis kelamin perempuan, etiologinya

mungkin lebih kompleks, namun sebagian besar kasus dipengaruhi oleh kerja hormon androgen

disertai dengan adanya sensitivitas genetik terhadap kerja hormon tersebut.1 Jenis kelamin

perempuan diketahui membutuhkan predisposisi genetik yang lebih kuat dibandingkan pada jenis

kelamin laki-laki untuk terjadinya kehilangan rambut.2

Androgen merupakan hormon utama yang mengatur pertumbuhan rambut pada manusia. Pada

saat pubertas, terjadi perubahan secara bertahap dari rambut vellus yang halus menjadi rambut

yang lebih besar dan berpigmen yaitu rambut terminal di area pubis dan aksila. Perubahan yang

sama terjadi pada area yang lebih banyak pada laki-laki yaitu jambang, pubis, rambut dada dan

rambut yang lebih banyak pada ekstremitas. Perubahan ini terjadi secara bertahap dan dapat

menjadi semakin progresif tahun demi tahun.5

3
Sangat kontras bila dibandingkan dengan efek androgen yang tidak tampak pada folikel-

folikel yang menghasilkan rambut terminal di masa kanak-kanak seperti pada bulu mata atau

folikel-folikel pada kulit kepala. Sebaliknya, pada orang-orang dengan predisposisi genetik,

androgen akan meningkatkan transformasi folikel kulit kepala yang besar menjadi rambut vellus

yang halus sehingga terjadilah alopesia androgenik.5

Hormon androgen dapat mecapai kulit melalui sirkulasi atau dapat dihasilkan secara lokal.

Androgen yang dihasilkan berikatan dengan reseptor androgen pada bulb folikel rambut.

Hormon ini akan memediasi perubahan pada ukuran papilla dermal selama fase anagen yang

akan mengurangi ukuran folikel anagen dan rambut yang muncul serta mengurangi durasi fase

anagen pada siklus pertumbuhan rambut.2

Efek dari androgen yang bersirkulasi terhadap folikel rambut sangat spesifik sesuai lokasi.

Rambut pada bagian vertex kulit kepala akan menjadi rambut vellus yang tidak berpigmen,

sedangkan rambut pubis, ketiak, jambang dan dada akan menjadi rambut terminalis. Hormon

androgen dalam sirkulasi tidak mempengaruhi rambut pada kening dan kulit kepala bagian

occipital. Enzim 5 reduktase merupakan enzim yang berfungsi untuk mengubah testosteron

menjadi dihidrotestosteron (DHT) yang merupakan agonis poten terhadap aktivasi reseptor

androgen.2

Sel papilla dermal menyekresi faktor pertumbuhan secara autokrin sebagai respon terhadap

testosteron. Testosteron meningkatkan ukuran papilla dermal dan dengan demikian

meningkatkan folikel serta korteks rambut. Sel papilla dermal pada area occipital tidak memiliki

respon yang sama terhadap testosteron. Area kebotakan maupun area yang menghasilkan rambut

di kulit kepala memiliki jumlah reseptor androgen dan aktivitas 5 reduktase yang berbeda-beda.

Hal ini berhubungan dengan terjadinya kehilangan rambut dengan pola geografis.2

4
Pada alopesia androgenik, rambut terminal yang besar dan berpigmen akan digantikan secara

berkala dengan rambut vellus halus yang tidak berwarna. Rambut kepala bertumbuh dalam tiga

fase, yaitu:1

1. Fase anagen, disebut juga dengan fase pertumbuhan yang terjadi sekitar 2-6 tahun.1

Merupakan fase aktif dari produksi rambut.4

2. Fase katagen atau fase pendek yang terjadi sekitar 2-3 minggu dan sebenarnya

merupakan terminasi dari anagen.1 Fase ini adalah fase perubahan dari pertumbuhan aktif

ke fase istirahat. Pertumbuhan berhenti dan ujung rambut akan membentuk club-shaped.4

3. Fase telogen. Rambut telogen tidak bertumbuh dan akan terlepas dari folikel setelah

kurang lebih 12 minggu.1 Merupakan fase istirahat dimana pada akhirnya club hair akan

terlepas.4

Gambar. Siklus pertumbuhan rambut4

5
Transisi menjadi katagen menyebabkan penurunan kadar sitokin pengatur anagen yang

terdapat dalam folikel rambut. Pada alopesia, terjadi penurunan progresif pada durasi anagen di

tiap siklus, sehingga akan menghasilkan rambut yang lebih pendek dan lebih tipis. Akhirnya,

terjadi perluasan interval antara terlepasnya rambut telogen akhir dan pertumbuhan rambut baru

yang diinisiasi oleh anagen. Hal ini menyebabkan timbulnya folikel-folikel tanpa rambut dan

pengurangan kepadatan rambut yang nyata di kulit kepala.1 Durasi fase anagen berkurang

sedangkan durasi fase telogen tetap sama atau meningkat akibatnya terjadi penurunan rasio

anagen ke telogen. Hal ini mngakibatkan periode anagen menjadi terlalu pendek dimana rambut

tidak dapat mencapai permukaan kulit. Lebih lanjut, periode antara komponen fase telogen laten

dan pertumbuhan baru pada fase anagen menjadi semakin panjang sehingga mengurangi

keseluruhan jumlah rambut di kulit kepala.2

Papilla dermal diduga menjadi target mediasi androgen terhadap perubahan siklus rambut

dan proses miniaturisasi folikel. Ukuran papilla menentukan ukuran hair bulb dan rambut yang

dihasilkan. 2

Gambar. Proses miniaturisasi folikel rambut 2

6
D. Manifestasi klinis

Untuk mengidentifikasi alopesia androgenik tidaklah sulit karena alopesia terjadi dengan

pola klinis yang klasik. Pada tahun 1951, Hamilton membuat skala derajat kehilangan rambut

pertama. Skala Hamilton berkisar antara tipe I sampai VIII. Tipe I menunjukan kulit kepala

prepubertas dengan rambut terminal tumbuh pada dahi dan seluruh permukaan kepala. Tipe II

dan III menunjukan kemunduran garis rambut secara bertahap pada bagian frontalis yang

berbentuk huruf M, tipe IV, V danVI menunjukan penipisan secara bertahap di area vertex, tipe

VII dan VIII menunjukan adanya gabungan area kebotakan dan rambut yang tertinggal hanya

pada daerah belakang dan samping kepala.1

Pada tahun 1975, Norwood memodifikasi klasifikasi ini, dengan menambahkan variasi pada

derajat sedang yaitu III a, IV a, dan V a yang memperlihatkan kemunduran yang lebih prominen

pada garis rambut porsio tengah dan frontal. Sedangkan untuk perempuan, pada tahun 1977,

Ludwig memperkenalkan pola klasifikasi alopesia androgenik pada perempuan yang ditandai

dengan hilangnya rambut secara difus pada area mahkota dan garis rambut frontal tetap utuh.

Pada tahun 1994, Olsen menyadari bahwa perempuan dengan alopesia androgenik tidak selalu

menampakan adanya kehilangan rambut yang difus pada bagian puncak kepala namun dapat

mengalami hilangnya rambut kearah depan, yang disebut dengan penekanan frontal atau pola

pohon natal (Christmas tree appearance). Jenis kelamin perempuan juga dapat menunjukan pola

distribusi seperti pada laki-laki, sama halnya dengan laki-laki dapat menunjukan pola seperti

pada perempuan.1

Pola kehilangan rambut pada perempuan yaitu pengurangan difus kepadatan rambut pada

area mahkota. Tampakan pohon natal dapat ditemukan dengan pelebaran garis sentral. Penipisan

7
rambut ini dapat meluas dari kulit kepala bagian parietal kea rah telinga. Pola kehilangan rambut

pada perempuan ini dapat dilihat pada skala Sinclair.2

Alopesia androgenik disebut juga dengan alopesia berpola (patterned alopecia) yang

merupakan bentuk kehilangan rambut yang paling sering terjadi pada laki-laki maupun

perempuan. Ditandai dengan penurunan progresif pada diameter, panjang dan pigmentasi

rambut.6

Gambar. Klasifikasi alopesia menurut Hamilton-Norwood 2

Gambar. Skala Sinclair kehilangan rambut pada perempuan7

8
E. Diagnosis

Riwayat klinis seksama pada pasien sangat diperlukan. Pada pasien-pasien yang mengeluhkan

adanya peningkatan kerontokan rambut, dokter harus menginvestigasi adanya pemicu potensial

selama 3 bulan sebelum terjadinya kehilangan rambut, yang meliputi penggunaan obat-obatan,

penyakit sistemik atau penurunan berat badan. Riwayat ginekologis juga penting pada

perempuan, dimana diindikasikan evaluasi hormonal pada wanita dengan alopesia androgenik,

serta riwayat adanya mentruasi yang tidak teratur. Selanjutnya, riwayat keluarga dengan

karakteristik alopesia androgenik dan alopesia areta.6 Tanyakan sudah berapa lama mengalami

kehilangan rambut, apakah ada keluhan lain yang berhubungan seperti perubahan pada kulit atau

kuku, gejala-gejala pada kulit kepala (rasa terbakar, nyeri atau gatal). Selain itu, adakah

pengobatan yang telah dilakukan dan apakah membantu atau tidak, juga riwayat alergi dan

penggunaan obat-obatan karena beberapa jenis obat dapat menyebabkan kondisi ini.9 Durasi dan

lokasi kehilangan rambut juga ditanyakan. Pasien mungkin dapat mengalami kebotakan

berbentuk bercak-bercak atau kehilangan rambut yang lebih difus.jds

Lihat apakah terdapat pola pada hilangnya rambut (Hamilton atau Ludwig) mengindikasikan

adanya alopesia androgen. Periksa batang rambut, apakah mudah terlepas, apakah terdapat ruang

yang tidak teratur dan rambut yang patah. Lihat area kulit kepala, adakah eritem atau skuama,

lesi, papul, nodul atau ulserasi. Adakah bekas luka atau jaringan parut. Amati distribusi rambut

terminal dan vellus pada seluruh tubuh.9

Pada alopesia androgenik, riwayat adanya kebotakan pada pada keluarga sangat berpengaruh

karena penyakit ini berhubungan dengan pewarisan genetik, terutama pada laki-laki.1 Alopesia

androgenik dapat dipercepat atau dieksaserbasi oleh kondisi-kondisi yang dapat meginduksi

telogen effluvium, seperti pengunaan obat-obatan, stresor akut, penurunan berat badan dan

9
partus. Misalnya, obat-obatan dengan efek andogenetik seperti kontrasepsi yang mengandung

progestin androgenik dan terapi hormonal pada menopause dapat menginduksi atau

memperburuk alopesia androgenik.6 Kebanyakan perempuan dengan alopesia androgenik

memiliki siklus menstruasi dan kehamilan yang normal.jds

Tampakan alopesia androgenik menunjukan pola yang dapat dikategorikan berdasarkan skala

Hamilton pada laki-laki dan pada perempuan dengan skala Ludwig.1 Selain itu pada perempuan

dapat digunakan skala Sinclair.2

Gambar. Skala Ludwig kehilangan rambut pada perempuan5

Kepadatan rambut dinilai, apakah normal atau menurun. Untuk mengevaluasi keparahan

kerontokan rambuh, dapat dilakukan pull test. Tes ini dilakukan dengan cara menarik 20-30

rambut dari kulit kepala menggunakan jari-jari pasien. Tes sederhana ini dapat mengukur tingkat

keparahan kehilangan rambut atau aktivitas rambut yang sedang berlangsung. Bila terdapat >10

helai rambut yang terlepas, manunjukan adanya peningkatan kehilangan rambut.j4

Pemeriksaan kulit kepala dibarengi dengan riwayat pasien biasanya sudah dapat menjadi

diagnosa definitif. Tes tarik dan trikogram dapat memberikan informasi mengenai aktivitas yang

terjadi pada rambut. Videodermoskopi dan teknik fototrikogram dapat bermanfaat sebagai

kontrol terapi. Diagnosa dapat menjadi lebih sulit bila hilangnya rambut terjadi secara difus di

10
seluruh permukaan kepala dan jika terjadi bersamaan dengan hilangnya rambut akibat kondisi

lainya. Biopsi kulit kepala dapat dipakai sebagai diganosa definitif mengingat pemeriksaan

tersebut memberikan informasi mengenai gambaran histologis, jumlah rambut terminal dan

vellus per area dan jumlah rambut anagen serta telogen.1

Pada perempuan, uji laboratorium terhadap jumlah ferritin dan thyrotrophin-stimulating

hormone (TSH) juga direkomendasikan untuk mengesampingkan adanya telogen effluvium.1

F. Diferensial diagnosis1

1. Telogen effluvium

2. Alopesia areata difus

3. Trichotillomania

G. Tatalaksana

Alopesia androgenik merupakan kondisi progresif dengan penurunan kepadatan rambut

kurang lebih 6% serat rambut per tahun. Namun, peningkatan ini dapat terjadi secara periodik

dan perluasan hilangnya rambut tergantung pada predisposisi genetik. Terdapat 2 macam terapi

farmakologis untuk alopesia androgenik pada laki-laki, yaitu:

1. Minoxidil

Merupakan derivat dari piperinopirimida, tercatat dapat menyebabkan hipertrikosis bila

dikonsumsi secara oral sebagai antihipertensi. Obat ini sekarang digunakan sebagai terapi

topikal dengan sediaan losion 2% dan 5%. Mekanisme ketja minoxidil belum dipahami

secara menyeluruh. Minoxidil memberikan efek langsung pada sel folikel rambut. Efek

mitogenik pda sel epidermal mengakibatkan waktu hidup yang lebih lama dan

menginduksi peningkatan proliferasi sel rambut secara invitro. Mekanisme yang mungkin

terjadi yaitu dengan mengubah hemostatis kalsium dalam sel, minoxidil berubah menjadi

11
minoxidil sulfat yaitu agonis kanal kalium. Meningkatnya permeabilitas kanal kalsium

mengakibatkan gangguan masukan kalsium ke dalam sel sehingga menurunkan faktor

pertumbuhan epidermal dan meningkatkan pertumbuhan rambut.1

Beberapa percobaan klinis menunjukan efikasi minoxidil topikal. Bertambahnya jumlah

rambut menunjukan penebalan kembali rambut yang sudah mengecil dan lebih banyak

terlihat rambut terminal. Walaupun pada penelitian tersebut dilakukan pada area vertex,

namun pengobatan juga bekerja pada area frontal, terutama bila rambut tidak mengecil

seluruhnya menyerupai vellus. Pertumbuhan sedang sampai padat dapat terlihat pda lebih

dari 30-45% pasien. Hanya sejumlah kecil minoxidil yang diabsobrsi secara sistemik dan

kadar serum terlalu sedikit untuk mempengaruhi hemodinamik pada pasien normotensi

dan hipertensi. Larutan minoxidil topikal digunakan 2 kali sehari (1 ml atau 25 tetes bid).

Tersedia juga dalam bentuk foam 5%. Bila melakukan keramas pada kepala, rambut

harus dikeringkan dengan handuk. Losion atau foam yang digunakan harus didiamkan di

kepala setidaknya selama 4 jam sebelum keramas berikutnya. Pasien harus diberikan

informasi bahwa pengobatan ini bersifat seumur hidup. Membutuhkan wantu 4-6 bulan

sebelum pengobatan ini mulai bekerja dan efek maksimal mungkin terjadi setelah 1

tahun.1

2. Finasterida

Merupakan azo-steroid sintetis yang digunakan untuk mengobati alopesia androgenik

pada laki-laki sejak tahun 1997.1 Obat ini merupakan inhibitor selektif 5 reduktase tipe

2, dapat menurunkan jumlah DHT serum dan kulit kepala.4 Obat ini terikat pada isoenzim

5 reduktase 2 dan menghambat konversi testosterone menjadi DHT. Finasterida

memiliki waktu paruh sekitar 8 jam. Dengan mengkonsumsi 1 mg finasterida per hari,

12
dapat menurunkan konsentrasi DHT di kulit kepala sebanyak 64% dan penurunan DHT

serum sebanyak68%. Finasterida menstabilkan kehilangan rambut pada 80% pasien

dengan kehilangan rambut pada daerah vertex dan 70% pada pasien dengan kehilangan

rambut pada area fontal. Kemungkinan terjadinya pertumbuhan ulang ringan sampai

sedang sebesar 61% pada vertex dan 37% pada bagian frontal. Setelah penggunaan

berkelanjutan selama 24 bulan, 66% pasien mengalami pertumbuhan rambut yang banyak

di area vertex.1 Namun, efek bermanfaat dengan pengobatan ini dapat berkurang dan

kembali secara perlahan bila pengobatan dihentikan.4

13
BAB III

PENUTUP

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wloff K. Fitzpatricks

dermatology in general medicine. 8th edition, vol.2. McGraw-Hill. 2012

2. Perera E, Sinclair RD. Androgenetic alopecia. ResearchGate. 2015

3. Buxton PK. ABC of dermatology. 4th edition. BMJ books. 2003

4. Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical dermatology. 3rd edition. Blackweel publishing. 2002

5. Randall VA. Molecular basis of androgenetic alopecia. Springer-Verlag Berlin

Heidelberg. 2010

6. Gordon KA, Tosti A. Alopecia: evaluation and treatment. ResearchGate. 2011

7. Sinclair R, Torkamani N, Jones Leslie. Androgenetic alopecia: new insights into the

pathogenesis and mechanism of hair loss. F1000Research. 2015

8. Franca K, Radrigues TS, Ledon J, Savas J, Chacon A. Comprehensive overview and

treatment update on hair loss. Journal Of Cosmetic, Dermatological Sciences And

Applications. 2013

9. Sterry W, Paus R. Thieme clinical companions dermatology. Thieme Verlag KG. 2006

15

Anda mungkin juga menyukai