Anda di halaman 1dari 18

Referat

ALOPESIA AREATA

Oleh :
Qonita Farah Faadhilah
04054821719162

Pembimbing:
DR. Dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat:

DR. Dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

Oleh:

Qonita Farah Faadhilah 04054821719162

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan
klinik di Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Periode 2 Oktober – 6 November 2017.

Palembang, Oktober 2017

DR. Dr. Rusmawardina, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

2
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Alopesia Areata” untuk
memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik,
khususnya di Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Rumah Sakit Pusat Dr. Moh. Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada DR. Dr.
Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan arahan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik membangun sangat
penulis harapkan. Demikian penulisan tugas ilmiah ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Oktober 2017

Penulis

3
ALOPESIA AREATA
Qonita Farah Faadhilah, S.Ked
Bagian/ Departemen Dermatologi dan Venereologi
FK UNSRI/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2017

PENDAHULUAN
Alopesia areata merupakan penyakit autoimun kronik yang menyebabkan kerontokan
rambut tanpa disertai pembentukan jaringan sikatrik. Alopesia areata biasanya muncul di kulit
kepala, area janggut, alis, bulu mata, dan lebih jarang terjadi di daerah berambut lainnya pada
tubuh. Pada alopesia areata, rambut patah sebelum mencapai permukaan kulit. Alopesia areata
yang terjadi pada seluruh bagian kulit kepala disebut sebagai alopesia areata totalis dan ada
yang kehilangan seluruh rambut tubuh atau alopesia areata universalis.1,2,3,4
Alopesia menyerang semua jenis kelamin dan kelompok usia, meskipun lebih sering
mengenai anak-anak. Sekitar 0,2% populasi dunia mengalami alopesia areata dan besar risiko
terkena alopesia areata sebesar 1,7%. Dua studi populasi telah mengukur insiden dan
prevalensi alopesia areata di Amerika serikat. Estimasi insiden di Amerika Serikat dari tahun
1990-2009 adalah 20,9 per 100.000 orang/tahun dengan angka kumulatif mencapai 2,1% dan
meningkat linear dengan usia. Berdasarkan studi rumah sakit di dunia mendapatkan estimasi
insiden alopesia sebesar 0,57% dan 3,8%. Terdapat estimasi sebesar 2,4 juta kunjungan dokter
untuk kejadian alopesia. Sedangkan di Jepang, prevalensi alopesia mencapai 2,45%. Data
mengenai angka kejadian alopesia areata di Indonesia sangat terbatas. Penelitian retrospektif
di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan data bahwa alopesia areata
merupakan jenis kebotakan rambut terbanyak pada pasien poliklinik kulit dan kelamin dari
tahun 2009-2011 (39,7%) dan paling sering ditemukan pada laki-laki (56,8%).1,4,5
Alopesia areata memiliki karakteristik berupa hilangnya rambut dengan onset cepat
pada satu atau lebih daerah yang membentuk bercak berbentuk bulat atau oval, biasanya pada
kulit kepala, daerah janggut, alis, bulu mata, dan daerah berambut lainnya pada tubuh.
Alopesia areata dipikirkan sebagai penyakit autoimun dengan respon folikel rambut yang
tidak sesuai terhadap antigen. Diagnosis alopesia areata ditegakkan berdasarkan anamnesis,
gambaran klinis, pemeriksaan dermoskopik dan histopatologik.4,6
Dalam tinjauan pustaka berikut, akan dibahas mengenai definisi, epidemiologi,
etiologi, patogenesis, diagnosis banding, diagnosis kerja, komplikasi, prognosis, dan
tatalaksana alopesia areata. Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012,

4
kompetensi seorang dokter umum untuk kasus alopesia areata adalah dapat mendiagnosis dan
menentukan rujukan yang paling tepat ke layanan kesehatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu
tinjauan pustaka ini dibuat untuk mengetahui dasar diagnosis dan mengetahui tata laksana dari
alopesia areata sebagai bahan untuk memberikan informasi dan edukasi kepada pasien dan
keluarga.7

ANATOMI DAN FISIOLOGI RAMBUT


Rambut merupakan derivat dari epidermis. Dari segi makrostruktural, rambut
bervariasi dalam panjang, diameter, warna, dan bentuk diantara berbagai etnis maupun antar
berbagai individu. Rambut memiliki dua struktur yang terpisah, yakni folikel rambut yang
terdapat didalam kulit dan batang rambut yang terlihat pada permukaan tubuh.4,7
Batang rambut berasal dari matriks keratinosit yang berproliferasi di dalam bulbus
rambut, terdiri dari sel korteks dan kutikula, dan terkadang juga terdapat medula. Medula
merupakan bagian tengah rambut, sedangkan korteks, merupakan bagian perifer rambut yang
membentuk sekitar 50-60% makrofibril. Kutikula mengelilingi rambut mulai dari akar sampai
ke puncak epidermis, memiliki tebal sekitar 0.3-0.5 πm. Integritas dan struktur lapisan
kutikula memiliki peran penting untuk melindungi korteks dari gangguan fisik dan kimiawi,
menjadikan rambut bersih serta memiliki peran penting untuk penampilan rambut.4,7
Folikel rambut merupakan struktur yang esensial untuk pertumbuhan rambut. Dari
segi histologi, struktur folikel rambut terdiri dari outer root sheath dan inner root sheath.
Outer root sheath (ORS) merupakan reservoir dari stem sel multipoten, dan mengandung
keratinosis. Inner root sheath (IRS) terdiri dari 3 lapisan, yakni lapisan Henle’s, lapisan
Huxley’s dan kutikula. Lapisan kutikula pada IRS bergabung dengan lapisan kutikula pada
batang rambut, mengokohkan batang rambut pada folikel. Sel IRS memproduksi keratin dan
trikohialin yang bertindak sebagai semen intraselular, berfungsi menguatkan IRS untuk
mendukung proses perkembangan batang rambut. IRS memisahkan batang rambut dari
ORS.4,7
Bulbus merupakan bagian dari folikel yang aktif memproduksi rambut. Bulbus dibagi
menjadi dua bagian, bagian bawah terdiri dari sel yang belum berdiferensiasi dan bagian atas
terdiri dari sel yang telah berdiferensiasi. Garis yang membentang pada bagian terlebar dari
papilla memisahkan kedua bagian tersebut adalah garis Auber’s. Dibawah garis tersebut
terdapat matriks dimana terdapat sel yang aktif membelah secara mitosis dan papilla dermis.4,7

5
Gambar 1. Anatomi folikel rambut3

Diatas bulbus, sisi atas folikel rambut terdiri dari dua bagian, yakni infundibulum dan
isthmus. Infundibulum merupakan bagian yang berisi sebum yang dihasilkan oleh kelenjar
sebasea, membentang dari permukaan kulit sampai kelenjar sebasea. Isthmus melengkapi
bagian atas folikel rambut, dan membentang dari duktus kelenjar sebasea ke muskulus
arrector pili.4,7
Proses pertumbuhan rambut merupakan hal yang dinamis, bersiklus teratur dengan
durasi siklus yang dikoordinasi oleh banyak hormon dan sitokin. Secara umum, proses ini
dapat dibagi menjadi tiga fase, yakni anagen atau fase pertumbuhan, katagen atau fase
transisional dan telogen atau fase istirahat.4,7
Fase anagen merupakan fase dimana rambut aktif tumbuh, yakni selama folikel
rambut membesar sampai mencapai karakteristiknya yang berbentuk seperti bawang dan
terbentuknya fiber rambut. Anagen dapat dibagi menjadi 6 stadium (I-VI). Selama stadium I-
V, sel progenitor rambut berproliferasi, menyelimuti papilla dermis, tumbuh kearah bawah
kulit dan mulai untuk berdiferensiasi menjadi batang rambut dan IRS. Kemudian, batang
rambut yang baru akan mulai terbentuk dan sel melanosis mulai menunjukkan aktivitas
produksi pigmen. Pada stadium VI, terjadi restorasi penuh rambut, ditandai dengan
terbentuknya bulbus yang mengelilingi papilla dermis, dan batang rambut baru muncul dari
permukaan tubuh. Fase ini dapat bertahan bertahun-tahun.2,7
Fase katagen mulai ketika fase anagen mulai berakhir. Pada awalnya, diferensiasi dan
proliferasi keratinosit matriks rambut turun signifikan, aktivitas produksi pigmen oleh
melanosit terhenti, dan produksi batang rambut telah selesai. Folikel rambut mengalami
apoptosis, menyebabkan penurunan diameter rambut sekitar 1/6 kali dari normal. Fase telogen
6
mulai terjadi setelah katagen, rambut masuk pada fase istirahat, dan fase ini dapat bertahan
beberapa minggu sampai delapan bulan. Rambut telogen memiliki ciri-ciri berupa kurangnya
jumlah melanosit yang menghasilkan pigmen dan IRS.2,4

Gambar 2. Fase pertumbuhan rambut3

EPIDEMIOLOGI

Alopesia menyerang semua jenis kelamin dan kelompok usia, meskipun lebih sering
mengenai anak-anak. Sekitar 0,2% populasi dunia mengalami alopesia areata dan besar risiko
terkena alopesia areata sebesar 1,7%. Alopesia mengenai hampir 2% dari semua populasi di
Eropa, Amerika, dan Asia. Onset alopesia dapat mengenai semua usia, terutama pada anak
dan usia sebelum 40 tahun, dengan rata-rata onset usia 25-36 tahun. Alopesia onset cepat
(rata-rata 5-10 tahun) biasanya akan mengalami alopesia universalis.6,8
Sebanyak 5% dari pasien mengalami perkembangan alopesia menjadi alopesia areata
totalis sedangkan sebanyak 1% mengalami kehilangan seluruh rambut tubuh. Dua studi
populasi telah mengukur insiden dan prevalensi alopesia areata di Amerika serikat. Estimasi
insiden di Amerika Serikat dari tahun 1990-2009 adalah 20,9 per 100.000 orang/tahun dengan
angka kumulatif mencapai 2,1% dan meningkat linear dengan usia. Berdasarkan studi rumah
sakit di dunia mendapatkan estimasi insiden alopesia sebesar 0,57% dan 3,8%. Terdapat
estimasi sebesar 2,4 juta kunjungan dokter untuk kejadian alopesia. Sedangkan di Jepang,
prevalensi alopesia mencapai 2,45%. Data mengenai angka kejadian alopesia areata di
Indonesia sangat terbatas. Penelitian retrospektif di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
menunjukkan data bahwa alopesia areata merupakan jenis kebotakan rambut terbanyak pada
pasien poliklinik kulit dan kelamin dari tahun 2009-2011 (39,7%) dan paling sering
ditemukan pada laki-laki (56,8%).1,4,5

7
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS ALOPESIA AREATA

Alopesia areata memiliki proses yang kronis, penyakit autoimun yang mengenai
organ secara spesifik, dimediasi oleh CD8+ autoreaktif, yang mempengaruhi folikel rambut
dan, jarang, kuku. Alopesia areata dipikirkan sebagai penyakit autoimun dengan respon
folikel rambut yang tidak sesuai terhadap antigen. Melanogenesis yang berhubungan dengan
autoantigen, yang secara normal akan terhindar dari imunitas folikel rambut, dapat menjadi
salah satu target inflamasi autoagresif pada alopesia areata. Terdapat frekeunsi tinggi pada
riwayat keluarga dengan alopesia areata yang menyerang individu tertentu, antara 10-42%,
dan lebih banyak kasus yang mengalami onset cepat.4,9
Alopesia areata memiliki keterkaitan dengan genetik, kemunculan alopesia areata
dalam keluarga mencapai 15% namun ekspresi manifestasi klinis dari alopesia areata berbeda
pada setiap anggota keluarga. Beberapa studi menyatakan prevalensi pasien dewasa dengan
riwayat keluarga diestimasikan sebesar 0-8,6%, namun pada pasien anak-anak terdapat 10-
51,6% yang mengalami alopesia areata. Riwayat keluarga ini memiliki hubungan yang lebih
signifikan pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Alopesia areata juga terbukti terjadi
pada kembar identik, saudara, dan keluarga dengan beberapa generasi yang selalu terkena
alopesia.3,5
Alopesia areata berhubungan dengan beberapa penyakit komorbid seperti depresi,
ansietas, dan beberapa penyakit autoimun lain, seperti kelainan tiroid (hipertiroid atau
hipotiroid, goiter dan tiroiditis), lupus eritematous sistemik, vitiligo, psoriasis, rheumatoid
arthritis, dan inflammatory bowel disease. Penyakit atopik seperti sinusitis, asma, rhinitis
alergi dan dermatitis atopik juga lebih sering dijumpai pada pasien-pasien dengan alopesia
areata, dan berhubungan dengan onset yang lebih cepat atau bentuk alopesia yang lebih
berat.3,11
Faktor lain yang berpengaruh adalah genetik. Studi menunjukkan bahwa 28% pasien
dengan alopesia areata memiliki setidaknya satu anggota keluarga yang juga terkena, dan
alopesia areata pada kembar monozigot terjadi sebesar 42-55%. Diketahui, 139 polimorfisme
nukleotida tunggal telah diidentifikasi pada region dari genom.11,12
Pertumbuhan rambut normal terganggu pada pasien dengan alopesia areata.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kehilangan rambut diawali dengan peningkatan
jumlah proporsi rambut telogen dan peningkatan proporsi batang rambut yang abnormal, yang
menghasilkan peningkatan batang rambut yang rapuh (distrofik) dibandingkan dengan orang
normal.4,9
8
Pada keadaan normal, kebanyakan rambut berada pada fase anagen (yang terbagi
menjadi 6 fase: Anagen I-VI) dan tidak terdapat rambut distrofik. Faktanya, fase awal
terjadinya alopesia areata adalah perkembangan rambut yang terlalu cepat dari fase anagen ke
fase katagen dan telogen. Folikel rambut yang tidak terpengaruh tetap berada pada fase
anagen, namun menghasilkan batang rambut yang distrofik yang kemudian juga akan masuk
ke fase telogen. Biopsi dari tepi lesi alopesia mengandung banyak folikel rambut yang sedang
dalam fase katagen atau telogen awal. Akan terbentuk exclamation hair (bentuk distrofik
rambut) yang merupakan ciri dari alopesia areata dan tidak ditemukan pada orang normal.
Meskipun exclamation hair memiliki akar yang sama dengan rambut telogen normal, akarnya
seringkali terlalu kecil dan menyebabkan rambut lebih mudah terlepas dibandingkan
normal.4,9
Pada fase awal kehilangan rambut, alopesia areata dimediasi oleh sitokin tipe 1,
termasuk interleukin (IL)-2, Interferon (IFN)-gamma, dan faktor nekrosis tumor (TNF)-alfa.
Hair bulb normalnya mewakili area imunitas selama proses anagen, karena terdapat bukti
rendahnya ekspresi major histocompatibility complex (MHC). Imunitas ini mencegah
pengenalan antigen oleh sel T CD8+. Jika imunitas ini runtuh, maka akan terjadi inflamasi
pada rambut-rambut yang sedang tumbuh.3,4
Secara histologis, alopesia areata dikarakteristikkan dengan adanya infiltrasi
inflamasi, terutama oleh sel T dalam dan sekitar anagen folikel rambut (swam of bees).
Namun infiltrasi inflamasi klasik mungkin menghilang dalam bentuk kronis atau subakut.3,4

Gambar 3. Siklus rambut pada alopesia areata5

9
MANIFESTASI KLINIS
Alopesia areata ditandai dengan hilangnya rambut secara akut. Biasanya, gambaran
alopesia berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas, patch kebotakan dengan tepi yang rata dan
terdistribusi secara merata. Alopesia areata dapat terjadi pada scalp, jenggot, alis, bulu mata
dan, meskipun sangat jarang, juga dapat terjadi pada area tubuh lain yang memiliki rambut,
dengan prevalensi tersering di scalp yaitu sebesar 90%. Patch biasanya berdiameter 1-5 cm,
dan dapat muncul patch single maupun multipel. Beberapa helai rambut mungkin masih dapat
dijumpai didalam patch.3,4
Karakteristik dari alopesia areata adalah adanya black dot, yang berasal dari rambut
yang patah sebelum mencapai permukaan kulit. Tampilan rambut seperti exclamation mark,
dengan bagian distalnya tumpul dan lancip di bagian proksimalnya, muncul ketika rambut
yang rusak (black dots) terdorong keluar dari folikel. Patch biasanya tidak disertai gejala lain,
namun terkadang dapat disertai rasa gatal dan eritema pada beberapa kasus. Pada stadium
akut, tarikan lembut pada daerah perifer dari kebotakan akan didapatkan lebih dari 10 helai
rambut yang tercabut.3,4
Pada 10-15% kasus alopesia areata, terutama pada kasus yang terjadi secara kronik,
kuku penderita membentuk pit yang dapat berbentuk garis tranversal maupun longitudinal.
Pasien dengan gangguan pada kuku biasanya memiliki tipe kehilangan rambut yang lebih
parah (50.5% pasien dengan alopesia berat memiliki gangguan kuku). Pada penelitian dengan
1000 pasien dengan lesi pada kuku, didapatkan bahwa bentuk nail pitting dijumpai lebih
banyak daripada bentuk kerusakan kuku lainnya, dan lebih banyak pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa.3,9
Alopesia areata dapat diklasifikasikan berdasarkan dengan luas dan bentuk kehilangan
rambut. Klasifikasi tersebut dapat berbentuk patchy, alopesia totalis (hilangnya semua rambut
kepala), alopesia universalis (hilangnya semua rambut di tubuh). Alopesia dengan bentuk
patch dapat menjadi bentuk alopesia totalis atau universalis pada 5-10% kasus. Jenis-jenis
kehilangan rambut dapat berbentuk ophiasis (hilangnya rambut di sepanjang posterior
oksipital dan margin temporal), sisaipho (alopesia pada daerah frontal, temporal dan parietal
tetapi masih terdapat rambut pada bagian perifer), dan bentuk lainnya.6,8

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jika diagnosis masih sulit ditegakkan setelah evaluasi klinis, biopsi kulit biasanya
digunakan untuk penunjang diagnosis. Pada alopesia areata akut, pemeriksaan histologis
10
menunjukkan karateristik “bee-swarm pattern” yang rapat, infiltrasi limfosit perifolikuler
disekitar folikel anagen rambut. Pada pasien kronik, tanda ini tidak didapatkan.5

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding yang harus dipikirkan pada alopesia areata adalah tinea kapitis,
alopesia androgenik, onset awal dari sistemik lupus eritematous, sifilis, telogen effluvium,
triangular alopecia dan trichotillomania. Untuk membedakan alopesia areta dengan diagnosis
banding di atas dapat dilakukan pemeriksaan dermoskopi. Pada pemeriksaan dermoskopi,
patch alopesia yang berbatas tegas dengan exclamation hair pada bagian perifernya dan tidak
adanya sikatrik merupakan tanda dari alopesia areata. Selain itu, biopsi juga dapat
membedakan alopesia areata dengan semua diagnosis banding, kecuali sifilis. Alopesia areata
dapat dibedakan dari tinea kapitis dengan pemeriksan spesimen rambut dengan larutan KOH
20%, dilihat apakah ada infeksi endotrik atau ektotrik. Pemeriksaan laboratorium darah rutin,
ANA test, fungsi tiroid dapat membantu menegakkan diagnosis. Bentuk difus dari alopesia
areata merupakan bentuk yang paling sulit untuk dibedakan dan diperlukan anamnesis yang
lengkap untuk mengetahui episode kehilangan rambut dan distrofi kuku.3,4

PENATALAKSANAAN
Prinsip Umum
Beberapa pilihan terapi dapat digunakan pada alopesia areata, namun masih sedikit
data evidence-based yang tersedia mengenai penatalaksanaan tersebut. Rekomendasi biasanya
hanya berasal dari laporan case series dan penelitian klinis. Sejauh ini, terapi yang tersedia
pada alopesia areata bersifat paliatif, hanya mengontrol episode kehilangan rambut yang
tengah berlangsung, bukan mengobati penyakit. Pemilihan terapi pada pasien dengan alopesia
areata biasanya sangat bergantung dengan umur pasien, luas lesi, lama penyakit, ekspektasi
pasien, biaya pengobatan, dan juga hasil dari laboratorium sebelumnya yang menyingkirkan
komorbid lainnya seperti anemia, rendahnnya kadar besi, abnormalitas tiroid, rendahnya
vitamin D atau penyakit autoimun lainnya.4,12
Tidak semua pasien ingin mendapatkan terapi. Remisi dapat terjadi secara spontan
pada pasien dengan patch alopesia ringan dengan durasi <1 tahun. Pasien harus diberikan
edukasi bahwa pertumbuhan ulang rambut memerlukan waktu setidaknya >3 bulan. Disisi
lain, alopesia yang telah terjadi sangat lama memiliki prognosis yang lebih buruk, dan
keberhasilan terapi sangatlah kecil. Pasien dengan kondisi seperti ini mungkin akan memilih
untuk tidak mendapatkan terapi, terlebih untuk alasan kosmetik. Para dokter harus bisa
11
memberikan konseling mengenai perjalanan penyakit dan penyebabnya, opsi terapi yang ada
dan keberhasilan pengobatan. Beberapa pasien mungkin memerlukan dukungan psikologis.9,12

Terapi Medikamentosa
Mengingat bahwa terjadi proses inflamasi yang hebat pada alopesia areata, kortikosteroid
sebagai agen antiinflamasi sejauh ini merupakan modalitas terapi yang paling sering
digunakan.9

Gambar 7. Algoritma terapi alopesia areata berdasarkan usia dan luas keterlibatan kulit kepala4

a) Kortikosteroid Topikal
Beberapa kortikosteroid topikal dengan efikasi yang beragam telah digunakan
untuk terapi alopesia areata, biasanya berupa kortikosteroid superpoten (kelas I) dan poten
(kelas II), seperti krim flucinolone acetonide, gel flucinolone, dll. Terapi ini merupakan
opsi yang baik digunakan pada anak-anak karena tidak menimbulkan rasa sakit pada saat
aplikasi dan relatif aman.
Terapi kortikosteroid topikal tidak efektif pada alopesia totalis atau universalis.
Folikulitis merupakan efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian terapi ini,
biasanya muncul dalam beberapa minggu setelah terapi. Telangiektasis dan atrofi juga
pernah dilaporkan. Terapi harus diberikan minimal 3 bulan sebelum dapat terjadi
pertumbuhan rambut kembali.4,9

12
b) Kortikosteroid Intralesi
Injeksi kortikosteroid intralesi (triamcinolone acetonide atau triamcinolone
hexacetonide) merupakan terapi lini pertama pada pasien dewasa dengan keterlibatan kulit
kepala <50%. Triamcinolone acetonide digunakan dengan dosis 2.5-10 mg/mL. Terapi ini
diulang setiap 4 sampai 6 minggu, dan total jumlah yang diinjeksi di setiap lesinya
bervariasi dari 15-40 mg. Respon inisial biasanya terlihat setelah 4 sampai 8 minggu.
Beberapa pasien mungkin mengalami indentasi pada kulit kepala pada daerah injeksi
karena atrofi lemak subkutan yang tidak bersifat permanen. Atrofi kulit yang permanen
dapat terjadi apabila injeksi dilakukan pada tempat yang sama berulang-ulang dalam
hitungan bulan sampai tahun. Bila tidak ada pertumbuhan rambut dalam 4 bulan terapi,
perlu dipertimbangkan terapi lain. Injeksi kortikosteroid intralesi biasanya diberikan pada
alopesia areata yang terjadi pada kulit kepala, alis dan janggut, dan bisa dikombinasi
dengan kortikosteroid topikal.4

c) Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik adalah pilihan terapi yang efektif pada alopesia areata.
Namun, biasanya rambut yang telah tumbuh kembali akan segera rontok kembali apabila
terapi dihentikan. Penggunaan terapi kortikosteroid sistemik masih bersifat kontroversial
dan biasanya digunakan dalam jangka pendek saja. Pemberian terapi ini tidak boleh
diberikan sebagai terapi rutin karena tidak mempengaruhi prognosis jangka panjang dan
dapat menyebabkan efek samping seperti striae, jerawat, obesitas, katarak, dan hipertensi.
Dosis bervariasi mulai dari 20-40 mg prednisone harian dengan tapering off 5 mg perhari
dalam beberapa minggu atau regimen terapi dosis jangka pendek dengan prednisolone
oral dosis tinggi (100-300 mg) atau methylprednisolone intravena (250 mg). Penelitian
menunjukkan bahwa pasien yang mendapat terapi prednisolone sekali seminggu selama 3
bulan memiliki pertumbuhan rambut ulang 6 bulan lebih cepat daripada yang mendapat
placebo, namun hal ini tidak signifikan.4,9

d) Minoxidil Topikal
Terdapat beberapa bukti pertumbuhan ulang rambut yang terjadi dengan
pemberian solusio minoxidil 5%, namun mekanisme kerjanya belum diketahui dengan
pasti. Diketahui bahwa minoxidil dapat menstimulasi sintesis DNA di folikel rambut dan
memiliki aksi langsung dengan proliferasi dan diferensiasi keratinosit. Hasil yang lebih

13
baik didapat dengan kombinasi terapi menggunakan kortikosteroid topikal kelas II atau
anthralin. Minoxidil memiliki efikasi yang rendah pada alopesia totalis dan universalis.4

e) Anthralin
Anthralin adalah iritan yang telah digunakan dalam terapi alopesia areata.
Mekanisme pastinya belum diketahui, namun dipercaya akibat dari efek immunosupresan
dan antiinflamasi dengan cara membentuk agen radikal bebas. Anthralin krim atau salep
digunakan dengan konsentrasi 0.21% selama 20-30 menit pada minggu pertama,
kemudian 45 menit per hari selama dua minggu. Setelah itu, kulit kepala dibersihkan
menggunakan shampoo untuk mengurangi efek iritan yang terlalu kuat. Apabila terapi
efektif, pertumbuhan rambut baru akan terlihat setelah 2-3 bulan setelah terapi. Efek
samping yang dapat terjadi antara lain adalah gatal, eritema, bekas pengobatan, folikulitis,
dan limfadenopati regional. Pada suatu penelitian, 25% pasien yang menderita alopesia
areata berat menunjukkan respon dengan pemberian 0.5-1% anthralin. Akan tetapi,
penelitian lebih lanjut masih diperlukan.4

f) Immunoterapi Topikal
Meskipun tidak diperbolehkan oleh FDA, immunoterapi topikal merupakan terapi
yang paling efektif dan paling aman untuk mengobati alopesia areata yang kronis dan
berat. Mekanismennya belum sepenuhnya dipahami. Penurunan rasio limfosit CD4+/CD8+
di peribulbar dan adanya pergeseran limfosit-T dari daerah perifolikular ke interfolikular
dan dermis dipercaya memberikan efek immunomodulasi yang baik. Efek yang
diharapkan terjadi adalah munculnya dermatitis kontak. Diphenylcyclopropenone (DPCP)
dan squaric acid dibutyl ester (SADBE) merupakan agen yang paling sering digunakan.
Pemberian sedikit larutan 2% agen tersebut pada scalp satu minggu sebelum terapi inisiasi
dilakukan untuk melihat alergi dan mensensitisasi pasien. Kemudian, agen DPCP atau
SADBE diberikan dengan konsentrasi awal 0.0001%. Daerah yang akan dioles tidak boleh
dicuci selama 48 jam pascaterapi dan harus dilindungi dari sinar UV. Setiap minggu,
konsentrasi akan ditingkatkan secara hati-hati sampai terjadi eritema dan gatal yang
ringan. Pengobatan kemudian dilanjutkan dengan dosis tersebut, dengan konsentrasi
tertinggi adalah 2%. Angka kesuksesan bervariasi dari 17 sampai 75%. Efek samping
yang dapat terjadi adalah limfadenopati (terjadi 100% pada pasien), severe contact
eczema, diskolorisasi kulit, dan hiperpigmentasi scalp.4,12

14
Terapi Non-Medikamentosa
a) Pengobatan laser
Sinar ultraviolet B dilaporkan memiliki efek yang bagus pada beberapa pasien
alopesia areata. Terapi yang dapat diberikan adalah oral dan topikal psoralen yang diikuti
dengan radiasi UVA (PUVA terapi). PUVA dapat mempengaruhi fungsi sel T dan
presentasi antigen, kemungkinan dapat menghambat efek imunlogis lokal pada folikel
rambut. Fotokemoterapi memunjukkan relaps yang snagat tinggi, terutama setelah
dilakukan tap off. Kekhawatiran utama pada penggunaan sinar UV jangka panjang adalah
dapat terjadinya kanker kulit, termasuk melanoma. Oleh karena itu penggunaannya harus
sangat berhati-hati.4,9

b) Strategi kosmetik
Pasien dengan alopesia luas dapat memutuskan untuk menggunakan wig atau
penutup kepala lain. Pada pasien laki-laki, biasanya akan memilih untuk sekalian
mencukur rambutnya, meskipun juga banyak yang memilih menggunakan wig.
Penggunaan makeup atau tato semipermanen juga dapat digunakan pada kasus kerontokan
alis.4

c) Dukungan Psikologis
Pada banyak pasien dengan lesi alopesia areata yang luas, alopesia totalis atau
bahkan universalis, sering terjadi kegagalan terapi. Respon pasien menanggapi hal
tersebut bervariasi mulai dari tidak menimbulkan efek apapun sampai dapat menimbulkan
permasalahan psikologis yang serius, seperti depresi, isolasi sosial, hilangnya kepercayaan
diri, dll. Dokter memiliki peran penting untuk memahami aspek psikologis tersebut dan
menolong pasien untuk mampu memahami dan menangani masalah tersebut. Beberapa
pasien membutuhkan bantuan psikologis professional.4,9

PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan alopesia areata sangat beragam. Pertumbuhan ulang rambut
secara spontan sering terjadi pada alopesia areata yang ringan. Sebanyak 60% pasien
setidaknya mengalami pertumbuhan ulang parsial selama 1 tahun, namun diikuti dengan
episode kerontokan rambut yang berulang. Sekitar 40% kasus relaps muncul pada tahun
pertama, namun persentasi terbesar terjadinya relaps adalah setelah 5 tahun. Rambut dapat
tumbuh kembali dengan berwarna putih namun dapat berubah sesuai dengan rambut penderita

15
seiring berjalannya waktu. Prognosis yang berat terjadi pada ophiasis, kasus kronik, adanya
perubahan pada kuku, dan onset yang terjadi pada anak-anak.4

RINGKASAN
Alopesia areata merupakan penyakit rambut tanpa ada sikatriks, merupakan suatu
penyakit autoimun dengan periode relaps dan remisi. Alopesia menyerang semua jenis
kelamin dan kelompok usia, meskipun lebih sering mengenai anak-anak, dengan insidensi
sebesar 0.57 sampai 3,8% diseluruh dunia. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun dan
kebanyakan pathogenesis yang berperan adalah terjadinya inflamasi di folikel rambut, yang
mengakibatkan kerontokan rambut. Menifestasi yang terjadi adalah adanya kebotakan, baik
berbentuk oval atau bulat, kecil ataupun luas, dengan karakteristik adanya black dot, dapat
disertai rasa gatal dan kemerahan pada kulit, dan pada beberapa kasus disertai dengan
keterlibatan kuku berupa munculnya nail pitting. Penyakit ini dapat terjadi pada kulit kepala,
alis, bulu mata, janggut, atau bagian tubuh lain yang memiliki rambut. Terapi yang dapat
diberikan adalah medikamentosa seperti kortikosteroid baik topikal, intralesi maupun
sistemik, anthralin, minoxidil, dan immunoterapi topikal atau non-medikamentosa seperti
terapi laser dan penggunaan strategi kosmetik serta dukungan psikologis. Prognosisnya cukup
beragam, dengan prognosis yang buruk pada ophiasis, kasus kronik, adanya perubahan pada
kuku, dan onset yang terjadi pada anak-anak.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Legiawati L. Jenis Kerontokan Rambut dan Kebotakan Pasien Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Tahun 2009-2011. MDVI 2013;40:159-
163.
2. Messenger, A.G., De Berker, D.A.R., Sinclair, R.D. Chapter 66 Disorders of Hair.
Dalam: Burns, T., S. Breathnach, et al. Rook's Textbook of Dermatology. West Sussex:
John Wiley & Sons Ltd. 2010. 66.31-38.

3. James WD, Berger TG, Elston DM. 2016. Chapter 33 Diseases of the Skin
Appendages. Dalam: Andrew’s Diseases of The Skin: Clinical Dermatology 12th Eds.
Philadelphia: Elsevier. 2016. 747-749.
4. Otberg, N., Shapiro,J. Alopecia Areata. Dalam: Goldsmith La, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine Eighth Eds. New York: McGraw-Hill. 2012. 991-994.

5. Gilhar, A., Etzioni, A., Paus R. Alopecia Areata. The New England Journal of
Medicine. 2012; 366: 1515-1525.
6. Dainichi, T., Kabashima, K. Alopecia areata: What’s new in epidemiology,
pathogenesis, diagnosis, and therapeutic options?. Journal of dermatological science.
2016: 1-10.
7. Barbara, B., Fabio, R., Mauro, L., et al. The Human Hair: From Anatomy to
Physiology. International Journal of Dermatology. 2014; 53: 331-341.
8. Fricke, A.C., Miteva, M. Epidemiology and burden of alopecia areata: a systematic
review. Clinical, Cosmetic and Investigational Dermatology. 2015; 8: 397-403.
9. Pratt, C.H., King Jr, L.E., Messenger, A.G., Christiano, A.M., Sundberg, J.P. Alopecia
areata. Nature reviews. Disease primers. 2017; 3: 1-37.
10. Eshini, P., Leona, Y., Rodney, S. Chapter 10: Alopecia Areata. Dalam Ioanniedes D,
Tosti A, editors. Alopecias-Practical Evaluation and Management.. Basel: Karger.
2015. 1-13.
11. Seetraham, KA. Alopecia Areata: An Update. Indian Journal of Dermatology,
Venereology and Leprology. 2013. (http://www.ijdvl.com/article.asp?issn=0378-
6323;year=2013;volume=79;issue=5;spage=563;epage=575;aulast=Seetharam,
Diakses 11 Oktober 2017)

17
12. Hordinsky, M., Junqueira, A.L. Current Treatments for Alopecia Areata. Seminars in
Cutaneous Medicine and Surgery. 2015; 34: 72-75

18

Anda mungkin juga menyukai