Anda di halaman 1dari 27

ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2018


UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

“SINDROM KARTAGENER”

Dewi SartikaMuliadi,S.Ked
11-16-777-14-120

Supervisior/Pembimbing:
dr. Fatmawati A. said, M.Kes, Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT
PALU
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa mahasiswa yang


bersangkutan sebagai berikut:

Nama : Dewi Sartika Muliadi


No stambuk : 11-16-777-14-120
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Alkhairaat
Judul Referat : Sindrom Kartagener
Bagian : Ilmu Kesehatan THT-KL

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Ilmu Kesehatan THT-KL RSU Anutapura Palu, Fakultas Kedokteran Universitas
Al-Khairaat.

Palu, Mei 2018

Mengetahui,

Pembimbing Dokter Muda

dr. Fatmawati A. said, M.Kes, Sp.THT-KL Dewi Sartika Muliadi,S.Ked


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom kartagener merupakan kasus yang jarang ditemukan, pada sindrom


kartagener terdapat kelainan genetik penyakit autosomal resesif inherediter
dengan manifestasi di paru-paru. Karakteristik sindrom kartagener berupa trias:
situs inversus, bronkiektasis, dan sinusitis. Kelainan tersebut terjadi karena
perubahan sistemik aktifitas protein yang penting dalam pergerakan silia terutama
pada saluran napas dan spermatozoa. Prevalensi sindrom kartagener tidak
tergantung pada ras, jenis kelamin dan geografis.1

Kelainan ini dapat ditemukan pada semua usia dengan insidensi 1 kasus per
32.000 kelahiran hidup (di USA). Mempunyai gejala yang sama dengan fibrosis
kistik dan asma. Sejumlah 50% kasus tidak terdapat dekstrokardia. Individu
dengan sindrom kartagener dengan gejalanya kadang misdiagnosis sebagai
atipikal asma atau fibrosis kistik. Hal yang penting pada proses penegakkan
diagnosis sindrom kartagener adalah manifestasi penyakit pada pernapasan dan
spermatozoa sehingga perlu multidisiplin. Gejala, pola perjalanan penyakit, dan
pewarisan gen tidak dapat diprediksi pada pasien maupun keluarganya, sehingga
diperlukan konseling genetik. Tes genetik DNA tidak berperan dalam penegakkan
diagnosis secara akurat. 2

Beberapa pasien dengan kasus sindrom kartagener memiliki satu atau lebih
efek tambahan berupa: pembengkakan sinus, bronkitis, cenderung untuk menjadi
pneumonia, infeksi telinga. Sindrom kartagener tidak mempunyai terapi yang
menyembuhkan sepenuhnya, akan tetapi diperlukan deteksi awal dan terapi tepat
terhadap gejala yang muncul selama hidupnya untuk mencegah komplikasi.
Pemeriksaan klinis dan radiologis yang lengkap pada saat diagnosis diikuti
dengan penapisan dan tata laksana berkelanjutan menjadikan penderita sindrom
kartagener dapat menjadi mandiri dan mempunyai harapan hidup yang panjang.2
Bronkiektasis menggambarkan suatu proses akhir dari berbagai jenis
gangguan paru yang bersifat irreversible dan kompleks yang dapat dicetuskan
oleh berbagai faktor mulai dari kelainan kongenital, infeksi, sampai dengan
immunodefisiensi. Pada anak dengan gejala klinis bronkiektasis dan
pemeriksaan high-resolution computed tomography (HRCT) menunjukan
gambaran bronkiektasis, harus segera dikonsultasikan ke spesialis terkait untuk
penanganan lebih lanjut. Hal ini berkaitan dengan prognosis anak, dengan
penegakan diagnosis dan tatalaksana dini dapat mencegah dan atau menghentikan
proses inflamasi, infeksi dan destruksi dinding bronkial yang dapat terjadi. 3

Prognosis anak dengan bronkiektasis pada umumnya cukup baik. Pada


pengamatan Clark et al., terhadap 116 anak usia 5-14 tahun 81% anak mengalami
perbaikan kualitas hidup dengan tatalaksana yang baik. 3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Mukosiliar Hidung


a. Mukosa hidung

Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas


permukaan kavum nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Rongga hidung dilapisi
oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu
mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). dan sebahagian besar mukosa pernafasan
(mukosa respiratori) . Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka
superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa
respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia. Permukaan
kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan
dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada hidung dan
mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel kolumnar
tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas dua tipe
yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa olfaktorius
terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa
respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel,membran basalis
dan lamina propia. 1,2

Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang


bervariasi sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari
empat macam sel. Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified
columnar epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia
ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian
apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan
untuk kerja silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat
(yang mempunyai mikrovili).
Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada
daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang
vestibulum. Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan
rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum
akan menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka
dan ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel
akan berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media
dan inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan
tersusun rapi. 1,2

Gambar 1. Histologi Mukosa Hidung1

I. Lapisan Mukosa Hidung (a. Sel bersilia, b. Goblet sel, c. Sel tidak
bersilia). II. Lapisan sel radang (Sel plasma,limfosit dan eosinofil). II.Lapisan
Kelenjar superfisial. IV. Lapisan Vaskuler. V.Lapisan Kelenjar Dalam

Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili
yang berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke
arah nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan
langsing pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya
± 1/3 silia dan mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak
bergerak dan fungsinya mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta
pengaturan cairan diantara sel-sel. Disamping itu juga memperluas permukaan sel.
1,2

Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak
pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya
memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau
sel- sel goblet yang telah mati. 1,2

Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering
terkena aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi
metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah
merah muda dan selalu basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel
goblet. 1,2

Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung,


hanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu
bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat
erat dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium,
gerakannya akan mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar
mukosa juga banyak ditemukan didekat ostium. 1,2

Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa


macam sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang
masuk kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa
dibawah kontrol saraf parasimpatis. 1,2

b. Sel goblet (kelenjar mukus)


Sel goblet atau kelenjar mukus adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan
endoskopis tampak berbentuk piala. Sel ini menghasilkan komplek protein
polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel
goblet tertinggi didaerah konka inferior(11.000sel/mm2) dan terendah di septum
nasi (5700 sel/mm2). Diantara semua sinus, maka sinus maksila mempunyai
kepadatan sel goblet yang paling tinggi. Selain itu sel goblet juga banyak dijumpai
didaerah nasofaring. 1,2

c. Silia hidung
Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia)
memiliki mikrovilia dan silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap
selnya yang bertambah ke arah nasofaring, dan 50-200 silia tiap selnya. Silia
merupakan struktur kecil menyerupai rambut , menonjol dari permukaan sel dan
berperan dalam membersihkan kotoran dalam hidung . Bentuknya panjang,
dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50
- 200 buah tiap selnya. Panjang silia antara 5-7 µm dengan diameter 0,3 µm.
Denyut silia kira-kira 9-15 Hz pada manusia, dengan beragam variasi pada
mamalia. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang
dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing - masing mikrotubulus
dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastik yang disebut dengan neksin dan
jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya di bawah
permukaan sel. Pada gambar 2.3 tampak anatomi molekuler silia. 1,2

Silia bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian


membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat dengan kecepatan pukulan
silia kira-kira 700-1000 siklus permenit. Silia dapat bergerak akibat adanya energi
berupa adenosine triphospat (ATP) yang menggerakkan tangkai dari silia. Gerak
maju dan mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12 sampai 1400
kali/menit. Silia ini dapat terkoordinasi dengan baik, gerakannya dapat
mengalirkan lapisan mukus yang menyelimutinya, yang di depan meneruskan
beban yang disampaikan oleh silia-silia yang di belakangnya. Gerakan silia ini
merupakan gerakan yang berkesinambungan bukan gerakan sinkron. 1,2

Fungsi utama dari silia adalah membawa Gerak silia, berdasarkan sejarahnya
pertama kali diterangkan oleh Sharpey, pada tahun 1835, dalam penelitiannya
tentang konsep pembersihan mukosiliar secara aktif dengan manfaat fisiologiknya
terhadap hidung dan sinus paranasal. Kemudian dilajutkan oleh Hilding ,tahun
1932, dengan melakukan penelitian pada hewan anjing, terhadap pembersihan
mukosiliar pada sinus yang juga memperlihatkan perbaikan mukosa hidung .
Kemudian Sewall dan Boyden melanjutkan untuk mempelajari pentingnya lapisan
mukosa terhadap tulang hidung. Dan berikutnya , Messerklinger memperkenalkan
alat diagnostik, endoskopik nasal. Penemuannya ini adalah sebagai pendekatan
sistemik yang pertama dalam mendiagnosa dan mengobati mukus kembali ke arah
faring. Mukus hidung adalah berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang
tertimbun dari udara inspirasi, juga untuk memindahkan panas; normalnya mukus
menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta
melembabkan udara inspirasi dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya.
Namun, dengan jumlah uap demikian seringkali tidak memadai untuk
melembabkan udara yang sangat kering yang dapat berakibat mengeringnya
mukosa yang disertai berbagai gangguan hidung. Derajat kelembaban selimut
mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar seromukosa pada submukosa
hidung. Silia dapat berdenyut berkisar antara 10-20 kali permenit pada temperatur
tubuh. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting.Dengan gerakan yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong kearah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
masuk ke dalam rongga hidung. 1,2
Gambar 2. Anatomi Molekuler Silia (Sumber Cohen)1

Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan pasang mikrotubulus luar yang dikenal dengan konfigurasi 9+2.
Maksudnya adalah ultra struktur silia dibentuk oleh 2 mikrotubulus sentral dan
sebelah luarnya dikelilingi oleh 9 pasang mikrotubulus(outer double
microtubulus). Pada outer double mikrotubulus ini dapat dibedakan menjadi
subfibril A dan subfibril B . Subfibril A memiliki struktur dynein arms (lengan
dynein) sedangkan subfibril B tidak. Pasangan mikrotubulus luar ini berhubungan
dengan tubulus sentral melalui radial spokes. 1,2

Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya.
Sumber energinya adalah ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari
pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dynein yang
menghubungkan mikrotubulus dengan pasangannya dan menimbulkan aksi-
reaksi. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang lainnya dihubungkan
dengan bahan elastik yang disebut neksin. 1,2
Gambar 3. Diagram gerak silia1

Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah
(active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga
menggerakkan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan
ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi
geraknya kira-kira 1: 3 . Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai
ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi
berurutan seperti efek domino ( metachronical waves) pada satu area arahnya
sama.1

d. Palut lendir

Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat. Lendir ini
diproduksi oleh kelenjar mukus dan serous, terutama oleh sel-sel goblet pada
mukosa. Pada keadaan sehat mempunyai PH 7 atau sedikit asam, dan lebih kurang
komposisinya adalah 2,5-3% musin, garam 1-2% dan air 95%. Mukus ini juga
mengandung IgA. Terdapat pada seluruh rongga hidung (kecuali vestibulum),
sinus, telinga dan lainnya. Gerakan silia di bawahnya menggerakkan lapisan
lendir ini, bersamaan dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya,
secara berkesinambungan ke arah faring dan esophagus untuk kemudian ditelan
atau dibatukkan. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar, yang
menyelimuti batang sillia, lebih tipis dan kurang lengket ; dan lapisan kedua
terletak di atasnya adalah lapisan superfisial, Lapisan kedua terdapat diatasnya
(superfisialis) terdapat lendir yang lebih kental yang ditembus oleh batang silia
bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir
yang tidak berkesinambungan yang menumpang keseluruhan kedua lapisan ini
dinamakan palut lendir. Lapisan perisiliar sangat berperan penting pada gerakan
silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini. . Secara
keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut lendir. 1,2

Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum dan protein


sekresi dengan molekul yang lebih rendah. Lapisan ini sangat berperan penting
pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini,
sedangkan denyutan silia didalam cairan ini. Keseimbangan cairan diatur oleh
elektrolit . Penyerapan diatur oleh transpor aktif natrium (Na+) dan sekresi
digerakkan oleh klorida(Cl-). Tingginya permukaan cairan perisiliar ditentukan
oleh keseimbangan antara kedua elektrolit ini, dan derajat permukaan ini
menentukan kekentalan palut lendir. 1,2

Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung glikoprotein


mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan
dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan atau bersin. Lapisan ini juga
berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau
aeosol yang terinhalasi, serta menginaktifkan virus yang terperangkap. 1,2

Di cairan perisiliar penting adanya pengaturan interaksi antara silia dan palut
lendir, serta sangat menentukan pengaturan transport mukosiliar. Pada lapisan
perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk kedalam
ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan cairan perisiliar, maka
ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan
kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali. Pada keadaan normal
permukaan cairan perisiliar sedikit lebih rendah dibanding ujung silia. Kedua
keadaan ini sangat mengganggu transport mukosiliar. 1,2
Mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior akan mengalir ke meatus
medius untuk berfungsi sebagai pengatur kondisi udara yang utama. Silia pada sel
epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus atau sel goblet dan palut lendir
membentuk satu kesatuan sebagai sistem mekanisme pertahanan penting dalam
sistem respiratori dikenal sebagai sistem mukosiliar. 1,2

e. Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung
untuk membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang
terperangkap pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan
local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar
atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya. 1,2

Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu
gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus
gumpalan mukus dan bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing
yang terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus
mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal dari
dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium sinus
alami. Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan
menggunakan suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan
mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat
merusak bakteri . Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A) ,
dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.
Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung
sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan
masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior
bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan perisiliar yang di
bawahnya akan di alirkan kea rah posterior oleh aktivitas silia, tetapi
mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosiliar yang
bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini
tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lender
akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari TMS
sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm /
menit. 1,2

Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka
gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan
menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan
arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari
ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium,
dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20
mm/menit). 1,2

Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung
dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat
infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius
akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior
dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui
posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga
nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.

Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian hidung.
Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6
segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit. 1,2
2.2 Sindrom Kartagener
A. Definisi

Sindrom Kartagener atau Primary ciliary dyskinesia (PCD), sebelumnya


dikenal sebagai sindrom silia immotil, adalah gangguan struktur silia motil dan
fungsi yang menghasilkan penyakit oto-sinopulmonary kronis. Sindrom
Kartagener adalah triad sinusitis kronis, bronkiektasis, dan situs inversus akibat
tardive ciliary. Sindrom kartagener biasanya muncul dengan gangguan pernapasan
pada bayi, batuk sepanjang tahun, dan hidung tersumbat. Diagnosis sindrom
kartagener sangat sulit karena tidak ada satu pun tes diagnostik dan banyak
kondisi yang menghasilkan gejala serupa. kondisi ini dijelaskan untuk pertama
kalinya oleh Siewert tahun 1904, oleh karena itu beberapa orang menyebutnya
siewert syn-drome tetapi rincian kondisi diberikan oleh Manes Kartagener pada
tahun 1933 dan umumnya dikenal sebagai sindrom Kartagener. Masalah dasar
adalah gerakan cacat dari Silia. Pasien dengan sindrom Kartagener mungkin juga
memiliki anosmia.3,4

B. Etiologi
Diskinesia ciliary primer atau sindrom kartagener adalah kelainan genetik
dengan ultrastruktur silia abnormal. Saat ini ada 33 gen yang diketahui terkait
dengan tardive ciliary primer, dengan mayoritas mengikuti autosomal resesif
pewarisan. DNAI1 dan DNAH5 , yang mengkode komponen-komponen kompleks
lengan dynein luar dalam silia, adalah dua gen paling umum yang terkait dengan
PCD. Dua gen X-linked langka, RPGR dan OFD1, juga telah diidentifikasi. 3,4

C. Epidemiologi
Kartagener sindrom adalah penyakit klinis yang langka. Insiden
keseluruhannya adalah sekitar 1/40.000, dan itu terjadi pada sekitar 1% kasus
bronkiektasis dan 20% kasus situs inversus. Usia onset umum adalah 10-29 tahun,
dan sebagian besar pasien adalah anak usia sekolah atau remaja yang berusia
kurang dari 15 tahun. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kejadian
antara laki-laki dan perempuan. 3,4

D. Patofisiologi

Pengaturan ultrastruktur normal silia menunjukkan pola khas '9 + 2': pada
penampang melintang, dua pusat dan sembilan pasang mikrotubulus perifer dapat
diamati dengan mikroskop elektron. Semua unit ini dihubungkan oleh tiga
struktur berikut. (i) Sambungan nexin, yaitu, jembatan elastis yang
menghubungkan mikrotubulus berurutan, yang memainkan peran dalam
menstabilkan aksonem. (ii) Lengan Dynein, yang memungkinkan sembilan
pasang mikrotubulus bergeser satu sama lain, menghasilkan ayunan
flagel. Lengan dynein luar (ODA) dan lengan dynein bagian dalam (IDA) meluas
dari mikrotubulus perifer, yang dihubungkan oleh nexin links. (iii) Radiasi jari-
jari, yang menghubungkan mikrotubulus sentral dengan mikrotubulus perifer dan
mengubah jarak antara mikrotubulus perifer dan selubung pusat sehingga
mencegah pembengkokan flagela yang berlebihan. Bersama-sama, struktur ini
memainkan peran penting dalam mempertahankan struktur keseluruhan dari
flagellum. 5

Gambar 4. Silia abnormal3

Berbagai cacat struktural di dalam silia telah ditemukan pada pasien dengan
PCD / KS dengan mikroskop elektron. Cacat ini melibatkan jari-jari memancar
abnormal, struktur mikrotubulus, ODA / IDA dan sebagainya. Cacat ini selalu
konsisten dengan kinerja morfologis silia yang kerdil, termasuk kelainan angka
(termasuk ketiadaan) atau struktur (seperti heterotopia, pemendekan) dari unit
yang disebutkan di atas.4

Saat ini, cacat yang diketahui pada silia dapat dibagi secara luas ke dalam
kategori berikut: (i) kelainan pada lengan dynein, yang terjadi paling sering dan
termasuk tidak adanya ODA / IDA sebagian, atau (ii) kelainan memancar jari-
jari, termasuk tidak adanya jari-jari atau centrotheca atau mikrotubulus sentral
yang menyimpang, (iii) directionality silia yang tidak tepat karena ketidakhadiran
sebagian atau total dari mikrotubulus sentral dan (iv) jumlah mikrotubulus perifer
yang abnormal. Struktur atipikal seperti 8 + 1, 8 + 2, 8 + 3 atau 7 + 2 telah diamati
pada penampang melintang di beberapa bagian histologi. Semakin banyak jenis
cacat ditemukan, semakin banyak klasifikasi ilmiah yang sedang
dieksplorasi. Cacat ini silia kerdil biasanya genotipe ditentukan karakteristik
pasien, tetapi anomali lokal sekunder yang disebabkan oleh peradangan juga tidak
dapat dikesampingkan sepenuhnya dalam beberapa kasus. 5

Selama kehidupan embrio dan janin yang normal, rotasi berbagai organ secara
khusus diarahkan dan ditentukan oleh faktor genetik tertentu. Dalam proses ini,
silia memfasilitasi orientasi yang benar dari sinus viscera dalam embrio dengan
berayun ke arah tertentu.Namun, dengan adanya gangguan siliaris, rotasi arah ini
dapat menjadi acak, yang dapat menyebabkan malrotasi berbagai organ. Secara
parsial atau lengkap situs inversus dapat menghasilkan cara ini. Selain itu,
kelainan struktural dan fungsional sistemik kongenital silia selalu menghasilkan
fungsi kliring silia yang cacat, menyebabkan retensi sekresi atau
bakteri. Peradangan juga dapat dimulai dengan penyumbatan lubang sinus. Infeksi
persisten atau berulang menyebabkan bronkiektasis atau sinusitis, sehingga
membentuk bagian dari patologis KS. 5

Patofisiologi PCD / KS didasarkan pada gerakan silia yang abnormal, yang


dihasilkan dari cacat genetik fungsi siliaris. Silia mengandung berbagai protein
struktural atau protein pengatur, dan bahkan hanya aksonem terdiri dari lebih dari
130 jenis polipeptida;karenanya, ratusan gen mengendalikan protein ini. Secara
teoritis, setiap mutasi gen terkait akhirnya dapat mengarah pada pembentukan silia
disfungsional, yang juga mencerminkan heterogenitas genetik pasien PCD /
KS. Untuk alasan ini, dalam beberapa dekade setelah pengakuan PCD / KS
sebagai entitas klinis, banyak pendekatan genetik molekuler telah diterapkan
untuk tujuan berikut: (i) untuk menyaring dan mengidentifikasi gen kandidat yang
terkait dengan penyakit; (ii) untuk melokalisasi wilayah kandidat dari gen-gen
terkait PCD / KS dalam genom; dan (iii) untuk menyelidiki hubungan antara
fungsi gen-gen ini (termasuk mutasinya) dan fenotip berbeda pasien PCD / KS. 5

Gen rantai transisi dyonin axonemal , DNAI1 (terletak pada kromosom 9p12-
21), dan gen rantai berat dyonin aksonemal, DNAH5 (terletak pada kromosom
5p15-14), adalah dua gen yang paling dipelajari di PCD / KS. Mutasi pada gen ini
dapat menyebabkan tidak adanya ODA, yang menyebabkan kelainan struktur
ultrastruktur dan fungsi motorik siliar. Sejumlah penelitian telah menunjukkan
hubungan antara mutasi genetik dan fenotip PCD / KS, sehingga mendorong
penyelidikan mekanisme patologis yang mendasari. Guichard dkk . melakukan
skrining mutasi DNAI1 pada 34 pasien KS;mereka mengidentifikasi cacat gen
di DNAI1 pada tiga pasien independen, dan anggota keluarga dari dua pasien ini
juga menderita PCD tanpa situs inversus viscerum. Studi ini menunjukkan
hubungan antara fungsi silia dan lokalisasi organ. Setelah insersional mutagenesis,
hewan-hewan ini disajikan dengan berbagai eksosyndrom PCD, terutama
hidrosefalus. Selain itu, tidak adanya ODA pada hewan-hewan ini dapat dengan
jelas diamati di bawah mikroskop elektron. Hasil ini menunjukkan bahwa
mutasi Dnah5 adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan PCD dan
memberikan bukti langsung untuk patogenesis hidrosefalus. 5

Selain DNAI1 dan DNAH5 , gen serupa lainnya telah diidentifikasi dan
dipelajari dalam beberapa tahun terakhir. Dynein intermediate chain 2 ( DNAI2 )
mungkin merupakan gen kandidat untuk PCD / KS menurut laporan oleh
Pennarun et al . Ini terdiri dari 14 ekson, terletak di 17q25, dan sangat
diekspresikan dalam trakea dan testis. Pada tahun 2001, rangkaian lengkap cDNA
dan genomik dari axonemal beta heavy chain dynein (DNAH9 ) pertama kali
dilaporkan oleh Bartoloni et al . Pada tahun 2002, kelompok yang sama
melaporkan bahwa mutasi pada dynein rantai berat akonemal tipe 11 (DNAH11 )
dapat menyebabkan gejala terkait PCD / KS. Mereka juga menunjukkan bahwa
KS mungkin terkait dengan disomy uniparental paternal dari kromosom 7.

Terlepas dari gen terkait aksonem, beberapa gen kandidat lain untuk PCD / KS
telah diskrining untuk mutasi dan dipelajari untuk memperjelas fungsi fisiologis
mereka. DNA polymerase lambda (Pol lambda, juga dikenal sebagai Pol beta 2),
anggota keluarga DNA polymerase X, memiliki 32% homologi dengan DNA Pol
beta pada tingkat asam amino. Pada tahun 2002, Kobayashi dkk . menyiapkan
tikus knockout Pol lambda menggunakan teknologi rekombinasi homolog.

Perkembangan embrio tikus ini tampak normal ; Namun, kebanyakan dari


mereka menunjukkan hidrosefalus dengan ekspansi ventrikel lateral yang khas,
yang mengakibatkan kematian postnatal yang tinggi.Individu yang bertahan hidup
selalu menderita sinusitis purulen kronis disertai dengan translokasi visceral; laki-
laki steril karena sperma tidak bergerak. Anak normal dapat diproduksi melalui
injeksi sperma intracytoplasmic (ICSI), menunjukkan bahwa meiosis tidak
terpengaruh, tetapi analisis ultrastructural menunjukkan bahwa IDA dari sel
ependymal dan sel-sel epitel pernapasan tidak utuh, yang mungkin menjadi dasar
dari penyakit. Zariwala dkk . diidentifikasi Dpcd sebagai gen kandidat untuk
PCD. 5

Pada tahun 2011, Geremek dkk . profil ekspresi gen gen-lebar yang dihasilkan
menggunakan ekstraksi bronkus dari pasien PCD dan mengidentifikasi banyak
gen yang sangat terkait dengan PCD dengan menggunakan algoritma
pengelompokan ambang batas kualitas. Dari 372 gen yang diidentifikasi, 164
diketahui, sangat menyarankan bahwa sisa 208 mungkin gen terkait silia baru,
yang menyediakan sejumlah kandidat untuk penyelidikan di PCD / KS. Namun,
ada kemungkinan bahwa tidak semua mutasi pada gen ini akan menyebabkan
gerakan ciliary abnormal, yang secara tidak langsung mencerminkan hubungan
intrinsik kompleks antara variasi genetik dan fenotipe morbid. 5
E. Gejala Klinis

Gambar 5 : Kartagener Syndrome4

A. Silia terdapat pada mukosa hidung,sinus,trakea dan bronkus, B.Daerah


trakea yang terdapat silia, C. Mukosa dengan silia yang normal yang silia dan
mukus seimbang, D. Mukosa dengan silia yang abnormal yang menyebabkan
penumpukan mukus di mukosa.

Silia secara luas hadir dalam berbagai jaringan dan organ, seperti organ
saluran pernapasan, sinus paranasal, tabung Eustachian, telinga tengah, saluran
telur, spermaductus, flagella dari ekor sperma, otak dan ependyma tulang
belakang. Oleh karena itu, PCD klinis / KS mungkin tidak hanya menunjukkan
'triad klinis' yang khas, tetapi mungkin sering disertai dengan berbagai malformasi
atau komplikasi. Komplikasi yang paling umum termasuk penyakit jantung
kongenital, hidrosefalus, langit-langit celah, rusuk serviks bilateral, atresia anal,
retakan uretra dan duplex ginjal. 6

Kartagener Sindrom menunjukkan Trias Gejala yang khas :


a. Situs Inversus
Pada situs inversus, organ vital berkembang pada arah kebalikannya
dibandingkan posisi normal. Contohnya, hepar berkembang ke arah kiri
dibandingkan kearah kanan. Ini disebut transposisi. Jika pasien memiliki sindrom
ini, maka konfigurasi organ terganggu. Terdapat beberpa istilah.

1. Situs Inversus Thoracis : transposisi pada jantung dan paru-paru.


2. Situs inversus Abdominalis : hepar, lien dan lambung transposisi.
3. Situs Inversus Totalis : transposisi seluruh organ internal.

Situs inversus tidak menyebabkan masalah kesehatan. Sindrom ini


cenderung membuat organ vital tetap normal meskipun dalam posisi transposisi.

b. Sinusitis
Pada sinusitis kronis, ruang berongga tengkorak sangat terinfeksi yang
melibatkan peradangan dan pembengkakan dan juga menyebabkan indera
penciuman yang buruk. Lebih lanjut dapat menyebabkan infeksi telinga berulang
yang disebut sebagai otitis media.

c. Bronkhiektasis

Bronkiektasis kronik ditandai oleh batuk kronis, sesak nafas dan ada
kelelahan. Brpnkiektasis terjadi karena adanya penumpukan mukus didalam
bronkus yang menyebabkan pelebaran dari bronkus dan menyebabkan proses
peradangan sehingga merusak struktur anatomi dari bronkus.
Beberapa kasus Kartagener Sindrom menunjukkan Infertil pada pria dan
wanita yang terdiagnosis dengan sindrom kartagener :

a. Motilitas dari flagela sperma dipengaruhi, itu merusak motilitas sperma


dan menyebabkan infertilitas pada pria.
b. Dalam kasus wanita, ada masalah dengan motilitas silia di lapisan tuba
fallopi juga menyebabkan masalah infertilitas di dalamnya.

Selain itu, PCD / KS dapat dipersulit oleh penyakit jantung


paru, glomerulonefritis proliferatif mesangial akut, adenokarsinoma sel
ginjal, granuloma sel raksasa sentral, tumor mediastinum, amyotrophic lateral
sclerosis, difus bronchiolitis, rheumatoid arthritis, glaukoma kongenital/ katarak,
rabun dekat, pupil membranosa, defek penciuman, otitis musin serosa, kehilangan
pendengaran , tuli konduktif, defek tulang nefrogenik, stenosis infundibular
pulmonal, gagal ginjal kronis, retardasi mental, skizofrenia, gangguan pernapasan
6
neonatal dan seterusnya.

F. Diagnosis

a. Anamnesis

1. Riwayat batuk kronis berulang, sputum, hidung tersumbat, cairan hidung,


hemoptisis dan gejala lain infeksi pernapasan.

2. Riwayat keluhan pada telinga seperti adanya keluar cairan dari telinga,
nyeri pada telinga dan telinga berdenging.

3. Riwayat keluhan pada hidung seperti hidung tersumbat, nyeri pada bagian
wajah, keluar cairan pada hidung baik itu cair ataupun kental.

4. Riwayat keturunan PCD adalah penyakit kongenital, klinis dan


ultrastruktural heterogen karena struktur abnormal dan / atau fungsi silia,
dan KS adalah penyakit genetik resesif autosomal sekitar 50% dari kasus
PCD. Ini dapat terjadi pada generasi yang sama atau menunjukkan
kecenderungan keturunan antar generasi. Dengan demikian, orang tua
pasien mungkin memiliki riwayat perkawinan yang konkritatif atau antar
generasi dan saudara atau saudari pasien juga mungkin menderita PCD /
KS. Oleh karena itu, perolehan informasi yang terperinci dan relevan
sangat penting. 6

b. Pemeriksaan Fisik

1. Otoskopi

Pada pemeriksaan otoskopi didapatkan edema membran timpani, tampak


sekret yang banyak, membran timpani tertutup oleh jaringan yang
menunjukkan terjadinya otitis media eksterna akibat fungsi abnormal
silia.

2. Rinoskopi Anterior

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didaptkan mukosa konka hiperemis,


mukosa konka edema, tampak pus pada meatus media yang menunjukkan
terjadinya sinusitis yang sering dikeluhkan pasien.

3. Pemeriksaan Transluminasi

Sinus yang terinfeksi tampak berwarna suram atau gelap. Pemeriksaan ini
bermakna jika hanya satu sisi sinus yang terinfeksi sehingga daerah
tersebut akan tampak lebih suram dibandingkan daerah normal.

4. Pemeriksaan fisik pada Thorax

Inspeksi : Pergerakan dada yang tidak simetris

Palpasi : Vocal premitus biasanya menurun

Perkusi : Didapatkan suara normal sampai hipersonor

Auskultasi : Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing


sesuai tingkat keparahan obstruksi.
c. Pemeriksaan Penunjang

1. Radiologi

Investigasi pencitraan adalah salah satu metode penting dalam diagnosis


KS. Untuk mengkonfirmasi apakah bronkiektasis atau sinusitis, yang keduanya
merupakan petunjuk penting untuk diagnosis KS, ada, pemeriksaan tambahan
pada dada atau sinus mungkin diperlukan, tergantung pada manifestasi
klinis. Diagnosis diagnosis bronkiektasis dan sinusitis relatif mudah karena ini
adalah penyakit yang umum. Dextrocardia adalah dasar utama untuk diagnosis
gambar PCD / KS, karena itu adalah tanda yang paling penting dari sindrom
tersebut. Dextrocardia mungkin terkait dengan pembalikan tabung jantung
berbentuk S selama perkembangan embrio, dan mudah ditemukan melalui
radiografi. 6,7

2. Biopsi

Selain pemeriksaan pencitraan, biopsi mukosa hidung atau saluran napas dapat
berkontribusi untuk diagnosis PCD / KS. Namun, kerusakan sili sekunder buatan
harus dihindari dengan mendapatkan bahan biopsi dari bagian yang relatif sehat
pasien dalam keadaan stabil. Budaya sel epitel silia juga diperlukan. Jika cacat
ultrastructural di dalam silia diamati di bawah mikroskop elektron scanning atau
mikroskop elektron transmisi, dan jika cacat ini memiliki penampilan morfologi
displasia siliaris, PCD dapat didiagnosis. Silia pasien dengan kelainan lendir
lendir lainnya tidak memiliki cacat ultrastructural, tetapi menunjukkan penurunan
frekuensi osilasi atau pola pengaturan abnormal dalam struktur internal
mereka. Mengingat bahwa manifestasi klinis pasien ini mungkin tidak jelas atau
khas, beberapa pemeriksaan noninvasif harus dipertimbangkan, seperti percobaan
sakarin atau pengukuran konsentrasi oksida nitrat dalam udara hidung yang
dihembuskan. Misalnya, jika konsentrasi oksida nitrat nasal jauh lebih rendah
daripada nilai kontrol, PCD / KS lebih mungkin didiagnosis positif. Teknik lain,
tes pembersihan mukosa radioaerosol pulmonal juga menunjukkan sensitivitas
dan spesifisitas yang sangat baik dalam diagnosis PCD / KS. 6,7
3. Pemeriksaan Genetika

Diagnosis genetika adalah pendekatan lain untuk membantu diagnosis PCD /


KS, tetapi belum populer diterapkan dalam pengaturan klinis. Pada tahun 2007,
Morillasdkk . mengembangkan metode analisis genetika klinis yang
menggunakan DNAI1 danDNAH5 dan melibatkan total sembilan ekson; mutasi
yang paling umum pada kedua gen ini dapat dideteksi dengan menggunakan
metode ini, sehingga mempromosikan diagnosis genetik PCD / KS. Mengingat
bahwa jumlah gen dan mutasi PCD / KS yang sedang diidentifikasi terus
meningkat, skrining genetik yang lebih ekstensif harus dilakukan pada pasien
PCD / KS di masa depan. 6,7

Penting bahwa diagnosis yang tidak lengkap dan salah, seperti diagnosis
sinusitis biasa, pneumonia, asma dan tuberkulosis, dihindari sebisa mungkin; ada
beberapa indikasi spesifik selama onset awal PCD / KS, dan beberapa presentasi
atipikal dapat terjadi.Bronkiektasis, misalnya, merupakan indikasi penting
PCD. Untuk diagnosis yang lebih pasti, beberapa penyebab bronkiektasis yang
diketahui, seperti fibrosis, imunodefisiensi primer, defisiensi antitrypsin dan
beberapa penyakit jaringan penghubung, harus disingkirkan. Untuk pasien
dewasa, PCD hampir dapat dikesampingkan jika tidak ada bronkiektasis yang
dapat diamati melalui CT resolusi tinggi. 6,7

G. Penatalaksanaan
McManus dkk . menjelaskan perkembangan lebih cepat gejala pernapasan
sebelum usia 25 tahun, yang memburuk lebih lambat setelah usia ini. Oleh karena
itu, pengobatan untuk PCD / KS harus dimulai sedini mungkin, meskipun saat ini
tidak ada obatnya.

Untuk pengobatan bronkiektasis, penggunaan terapi anti-infeksi yang


mempromosikan pembuangan sekresi sangat diperlukan. Karena bronkiektasis
yang parah dapat mempengaruhi prognosis penyakit, pneumonoreseksi dapat
diterapkan untuk mengobati bronkiektasis lokal tanpa cedera visceral lainnya. 7
Untuk sinusitis, kortikosteroid intranasal dapat digunakan sebagai tambahan
untuk metode drainase, dan antibiotik yang sensitif harus hati-hati diadopsi sesuai
dengan hasil yang diperoleh dalam budaya sekresi. Jika pengobatan konservatif
tidak efektif atau jika polip hidung yang parah disertai dengan sinusitis, operasi
endoskopi hidung dapat dipertimbangkan. Perawatan sinusitis yang efektif dapat
meringankan perkembangan penyakit bronkus dan paru-paru. 7

H. Prognosis

Dengan meningkatkan pencegahan, memfasilitasi diagnosis definitif yang


cepat, menghindari misdiagnosis, memastikan pengobatan aktif, mengendalikan
infeksi dan menunda perkembangan lesi. Kepatuhan terhadap tujuan-tujuan ini
biasanya akan memastikan prognosis yang baik. 7
DAFTAR PUSTAKA

1. Dolly Irfandi. Transport Mukosa. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah


Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP M Djamil
Padang.

2. Higler AP. Hidung : anatomy dan fisiologi terapan. Dalam : Boies, editor.
Buku Ajar Penyakit THT (Boies fundamentals of otolaryngology). Edisi 6.
Alih bahasa Caroline W ed. Jakarta: EGC Penerbit buku kedokteran,1989:
174-89.

3. Leigh MW, Ferkol TW, Davis SD, Lee HS, Rosenfeld M, Dell SD, Sagel SD,
Milla C, Olivier KN, Sullivan KM, Zariwala MA, Pittman JE, Shapiro AJ,
Carson JL, Krischer J, Hazucha MJ, Knowles MR. Clinical Features and
Associated Likelihood of Primary Ciliary Dyskinesia in Children and
Adolescents. Ann Am Thorac Soc. 2016 Aug;13(8):1305-13.

4. Lobo J, Zariwala MA, Noone PG. Primary ciliary dyskinesia. Semin Respir
Crit Care Med. 2015 Apr;36(2):169-79.

5. Shapiro AJ, Zariwala MA, Ferkol T, Davis SD, Sagel SD, Dell SD, Rosenfeld
M, Olivier KN, Milla C, Daniel SJ, Kimple AJ, Manion M, Knowles MR,
Leigh MW., Genetic Disorders of Mucociliary Clearance Consortium.
Diagnosis, monitoring, and treatment of primary ciliary dyskinesia: PCD
foundation consensus recommendations based on state of the art
review.Pediatr. Pulmonol. 2016 Feb;51(2):115-32.

6. Mirra V, Werner C, Santamaria F. Primary Ciliary Dyskinesia: An Update on


Clinical Aspects, Genetics, Diagnosis, and Future Treatment Strategies. Front
Pediatr. 2017;5:135.

7. Panizzi JR, Becker-Heck A, Castleman VH, Al-Mutairi DA, Liu Y,


dkk. Mutasi CCDC103 menyebabkan diskinesia ciliary primer dengan
mengganggu perakitan lengan dynein siliaris. Nat Genet. 2012; 44 : 714–9.

Anda mungkin juga menyukai