Anda di halaman 1dari 33

ILMU KESEHATAN MATA JURNAL

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2018


UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

“TRAUMA OPTIC NEUROPATI”

Dewi SartikaMuliadi,S.Ked
11-16-777-14-120

Supervisior/Pembimbing:
dr. Citra Azma Anggita,M.Kes, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT
PALU
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa mahasiswa yang


bersangkutan sebagai berikut:

Nama : Dewi Sartika Muliadi


No stambuk : 11-16-777-14-120
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Alkhairaat
Judul Jurnal : Trauma Optic Neuropati
Bagian : Ilmu Kesehatan Mata

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Ilmu Kesehatan Mata RSU Anutapura Palu, Fakultas Kedokteran Universitas Al-
Khairaat.

Palu, April 2018

Mengetahui,

Pembimbing Dokter Muda

dr. Citra Azma Anggita,M.Kes,Sp.M Dewi Sartika Muliadi,S.Ked


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Organ penglihatan manusia terdiri atas banyak elemen yang saling bersinergi
untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Salah satu organ yang berperan
penting dalam melaksanakan fisiologis dari penglihatan ini adalah suatu lapisan
vaskular pada mata yang dilindungi oleh kornea dan sklera disebut uvea.(1)

Uveitis merujuk pada inflamasi intraokuler yang dimana terjadinya proses


inflamasi secara kompleks, melibatkan terutama traktus uvealis dengan atau tanpa
melibatkan struktur intraokuler yang membatasinya. Penyebab yang mendasari
dari inflamasi intraokuler diantaranya mengenai traktus uvealis, retina, lensa dan
jaringan ocular lainnya. Uveitis tersebut dapat mendasari terjadinya kebutaan pada
negara-negara berkembang termasuk India.(2)

Meskipun inflamasi dapat dikarenakan berbagai penyebab yang bervariasi


diantaranya karena infeksi, penyakit sistemik, proses autoimun (terutama mediasi
T-cell Th2 atau Th17), trauma, dan neoplasma oculi yang primer atau sekunder
secara klinis dengan adanya uveitis yang dimana gejala-gejalanya sama dan
berdampak pada penglihatan pasien.(2)

Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan. Morbiditas akibat uveitis


terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga menimbulkan peningkatan
tekanan intra okuler dan gangguan pada nervus optikus. Selain itu, dapat timbul
katarak akibat penggunaan steroid. Oleh karena itu, diperlukan penanganan uveitis
yang meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan oftalmologis
yang menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan yang tepat.(6)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Traktus Uvealis

Traktus uvealis terdiri dari iris, corpus cilliare, dan koroid. Bagian ini
merupakan lapisan vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh karena dan sclera.
Struktur ini ikut mendarahi retina.(3)

Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang
berasal dari arteri oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari
sirkulus arteri mayoris iris yang terletak di badan siliaris yang merupakan
anastomosis arteri siliaris anterior dan arteri siliaris posterior longus.
Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan brevis.(7)

2.1.1 Iris

Iris adalah perpanjangan corpus cilliare ke anterior. Iris berupa permukaan


pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah, pupil. Iris terletak
bersambungan dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik mata depan
dari bilik mata belakang, yang masing-masing berisi aqueous humor. Didalam
stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat
pada permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel
pigmen retina kearah anterior.(3)

Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris


mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga
normalnya tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara IV. Persarafan
sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi cilliares.(3)

Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran


pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat
aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi
yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.(3)

Gambar 1. Bagian penampang mata(4)

2.1.2 Corpus Ciliare

Corpus ciliare yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan


melintang, membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris
(sekitar 6 mm). corpus cilliare terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak,
pars plicata (2 mm), dan zona posterior yang datar, pars plana (4 mm). Processus
ciliares berasal dari pars plicata. Processus ciliare ini terutama terbentuk dari
kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena vorticosa. Kapiler-kapilernya besar
dan berlubang-lubang sehingga membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara
intravena. (3)
Ada 2 lapisan epitel siliaris yaitu satu lapisan tanpa pigmen disebelah dalam
yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior dan satu lapisan berpigmen
disebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen retina. Procesus
cilliares dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueous
humor.(3)

Muscullus cilliares tersusun dari gabungan serat-serat longitudional,


sirkular, dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan dan
relaksasi serat-serat zonula yang berorigo di lembah-lembah di antara procesus
cilliares. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat
mempunyai berbagai focus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang berjarak
jauh dalam lapangan pandang. Serat-serat longitudinal muscullus cilliaris
menyisip ke dalam anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar porinya.(3)

Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus cilliaris berasal dari


circulus arteriosus major iris. Persarafan sensoris iris melalui saraf-saraf siliaris.(3)

2.1.3 Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sclera. Koroid
tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid ; vesikuler besar, sedang dan kecil.
Semakin dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya.
Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari
pembuluh koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran
posterior. Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran bruch dan disebelah
luar oleh sclera. Ruang suprakoroid terletak diantara koroid dan sclera. Koroid
melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus opticus. Di sebelah anterior koroid
bergabung dengan corpus cilliares. Kumpulan pembuluh darah koroid mendarahi
bagian luar retina yang menyokongnya.(3)
Gambar 2. Lapisan koroid(8)

Sumber: Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors.
General Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw Hill, 2007

2.2 Definisi Uveitis

Uveitis adalah bentuk peradangan mata yang mempengaruhi lapisan


tengah jaringan di dinding mata (uvea). Uveitis sebagai tanda bahaya karena
seringkali datang secasecara tiba-tiba dan progresif untuk menjadi lebih buruk
dengan cepat. Kondisi uveitis ini dapat mempengaruhi satu atau dua mata dan
terutama mempengaruhi pada usai 20 tahun hingga 50 tahun tetapi dapat juga
mempengaruhi anak-anak. Uveitis bisa menjadi serius karena menyebabkan
kehilangan penglihatan yang permanen.(5)
2.3 Epidemiologi

Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun,
angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya
uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk uveitis
pada laki-laki umumnya oftalmia simpatika akibat tingginya angka trauma tembus
dan uveitis nongranulomatosa anterior akut. Sedangkan pada wanita umumnya
berupa uveitis anterior kronik idiopatik dan toksoplasmosis.(9)

Sekitar 25% kebutaan di India dan negara-negara berkembang lainnya


adalah disebabkan oleh uveitis dan komplikasinya seperti katarak sekunder,
glaucoma, edema macula cystoids atau fotoreseptor retina atau kerusakan saraf
optic. Di negara maju, sebaliknya kebutaan dari uveitis bervariasi dari 3% menjadi
10%. Di Eropa kejadian tersebut diperkirakan antara 3% dan 7% dan di Amerika
Serikat, angka terbaru dari California mengungkapkan bahwa 10% kebutaan
karena uveitis. Perbedaan yang luar biasa dalam kejadian kebutaan antara negara
berkembang dan negara maju bisa disebabkan oleh perbedaan kondisi sosial
ekonomi atau akses keperawatan medis atau kesenjangan lain, perbedaan etiologi
yang mendasari, serta adanya infeksi terutama penyebab uveitis di India dan
negara-negara berkembang lainnya, sedangkan uveitis idiopatik diyakini sebagai
proses kekebalan inflamasi organ spesifik adalah penyebab utama di negara-
negara maju.(1)

2.4 Etiologi

A. Penyebab spesifik infeksi


a. Uveitis tuberkulosis
Tuberkulosis dapat menyebabkan berbagai jenis uveitis, tetapi memerlukan
perhatian khusus bila terdapat keratic precipitate granulomatosa atau granuloma
koroid atau granuloma iris. Granuloma-granuloma atau tuberkel, tersebut
mengandung sel epithelial dan sel raksasa. Nekrosis perkijuan yang khas
ditemukan pada pemeriksaan histopatologik. Walaupun infeksi berasal dari suatu
focus primer di suatu tempat di dalam tubuh, uveitis tuberkulosis jarang
ditemukan pada pasien-pasien tuberkulosis paru aktif. Temuan yang khas pada
pasien ini adanya mutton fat keratic precipitate, nodul busacca dan posterior
sinekia.(11)

b. Iridosiklitis heterokromik fuchs (Sindrom Uveitis Fuchs)


Iridosiklitis heterokromik fuchs adalah suatu kelainan yang jarang, tidak
sampai 5% dari semua kasus uveitis. Basanya mengenai dewasa muda, khususnya
perempuan. Penyakit ini awalnya samar dan muncul pada decade ketiga atau
keempat. Kemerahan, nyeri, dan fotofobia hanya minimal. Pasien biasanya
mengeluhkan penglihatan kabur, yang disebabkan oleh katarak. Iris heterokromia,
tampak jelas pada cahaya alami, dapat tersembunyi dan sering kali paling jelas
terlihat di atas muskulus spinhcter pupil. Keratic precipitate pada penyakit ini
bentuknya stelata, kecil, dan tersebar di seluruh endotel. Pada pemeriksaan akan
idapatkan 1+ - 2+ sel flare. Pembuluh darah teleangiektatik terlihat di sudut bilik
mata pada gonioskopi. Sinekia posterior jarang terjadi, tetapi bisa timbul pada
beberapa pasien pascaoperasi katarak. Suatu reaksi vitreus bisa ditemukan pada
10-20% pasien. Hilangnya pigmen stroma cenderung menjadikan mata yang
berpigmentasi padat tampak hipokromik; sebaliknya, atrofi stroma pada iris
berpigmen-sedikit dapat menampakkan epitel berpigmen di baliknya, di
permukaan posterior iris, dan menyebabkan hiperkromia paradoksikal. Secara
patologis, iris dan korps silairis menunjukkan atrofi sedang dengan depigmentasi
berbentuk bercak dan infiltrasi difus sel-sel plasma dan limfosit.
Akhirnya, katarak akan timbul pada sebagian besar pasien; glaukoma lebih
jarang, tetapi bisa terjadi pada 10-15% kasus. Prognosisnya baik.(11)

c. Sarkoidosis
Sarkoidosis adalah penyakit granulomatosa kronik yang belum diketahui
penyebabnya; biasanya terjadi pada decade keempat atau kelima kehidupan.
Kelainan paru ditemukan pada lebih dari 90% pasien. Nyatanya, hamper seluruh
system organ tubuh dapat terlibat, termasuk kulit, tulang, hati, limpa, system saraf
pusat, dan mata. Reaksi jaringan yang terjadi jauh lebih ringan daripada uveitis
tuberkulosis dan jarang disertai perkijaun. Rekasi alergi pada uji kulit menukung
diagnosis sarkoidosis. Bila kelenjar parotis terkena, penyakit ini disebut demam
uveoparotis (Heerfordt), bila kelenjar lakrimal terkena disebut sindrom Mikulicz.
Uveitis terjadi pada sekitar 25% pasien sarkoidosis sistemik. Sama halnya
dengan tuberkulosis, setiap jenis uveitis bisa ditemukan, tetapi sarkoid
memerlukan perhatian khusus bila uveitisnya granulomatosa atau terdapat flebitis
retina, terutama pada pasien-pasien ras kulit hitam.(11)

d. Toksoplasmosis okular
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, suatu protozoa
intrasel obligat. Lesi ocular mungkin didapat in utero atau muncul sesudah infeksi
sistemik. Gejala-gejala konstitusional mungkin ringan dan mudah terlewatkan.
Kucing peliharaan dan spesies kucing lainnya berperan sebagai hospes definitive
parasite ini. Wanita-rentan yang terkena selama kehamilan dapat menularkan
penyakit ke janinnya, yang bisa berakibat fatal. Sumber infeksi pada manusia
adalah ookista di tanah atau debu di udara, daging kurang matang yang
mengadnugn bradiozit (parasite bentuk kista), dan takizoit (bentuk proliferative)
yang ditularkan melalui plasenta. Pasien retinokoroiditis mengelihkan floaters dan
penglihatan kabur. Pada kasus-kasus yang berat, dapat pula disertai nyeri dan
fotofobia. Lesi okularnya terdiri atas sejumlah daerah putih halus retinokoroiditis
nekrotik fokal yang bisa kecil atau besar, tungga atau multiple. Lesi edema yang
aktif sering didapatkan bersebelahan dengan parut retina yang telah sembuh. Pada
retina dapat terjadi vaskulitis dan perdarahan. Edema macula kistoid bisa
menyertai lesi pada macula atau didekatnya. Iridosiklitis sering terlihat pada
pasien-pasien dengan infeksi berat dan tekanan intraokularnya bisa meningkat.(11)

e. Sifilis
Sifilis merupakan penyebab uveitis yang jrang, tetapi dapat disembuhkan.
Peradangan intraocular hamper seluruhnya terjadi pada infeksi stadium kedua dan
ketiga, dan semua jenis uveits bisa terjadi. Retinitis atau neuritis optic sering
menyertai. Atrofi luas dan hyperplasia epiel pigmen retina dapat terjadi pada
stadium lanjut jika peradangan dibiarkan tanpa diobati.(11)

f. Herpes virus
Uveitis yang disebabkan oleh virus herpes, biasanya penyebabnya ada dua
yaitu virus herpes simpleks dan virus varicella zoster. Biasanya untuk mengetahui
penyebab pasti di antara kedua virus tersebut agak sulit. Namun biasanya virus
herpes simpleks mengenai anak-anak dan dewasa muda, sedangkan virus varicella
zoster mengenai orang lanjut usia atau orang yang immunocompromised. Selain
itu, virus herpes simpleks menimbulkan vesikel-vesikel bergerombol di kulit
penderita dan terdapat edema, sedangkan vesikel yang ditimbulkan oleh virus
varicella zoster terpisah-pisah. Manifestasi klinis yang timbul biasanya hanya
pada satu mata (unilateral), penglihatan kabur, mata sakit dan merah, fotofobia.
Pada pemeriksaan akan didapatkan hipopion, hifema, tekanan intraocular
meningkat, iris atrofi sektoral, edema kornea.(3,11)

g. AIDS
Uveitis sering ditemukan pada pasien terinfeksi human immunodeficiency
virus (HIV) khususnya pada stadium penyakit lanjut saat AIDS timbul. Jumlah
limfosit T CD4 merupakan predictor yang baik untuk risiko infeksi oprtunistik
yang kebanyakan terjadi pada jumlah kurang dari 100 sel/L. Uveitis paling
sering terjadi pada infeksi di segmen posterior mata. Retinitis sitomegalovirus-
retinitis geografik yang sering disertai perdarahan, mengenai 30-40% pasien HIV-
positif pada suatu waktu selama perjalanan penyakitnya sebelum dimulainya
terapi antiretroviral kombinasi. Virus herpes lain, seperti aricella-zoster dan
herpes simpleks juga bisa menimbulkan retinitis yang tampilannya sangat mirip,
tetapi biasanya dapat dibedakan karena progresifitasnya yang sangat cepat.
Organisme lain, misalnya t gondii, Treponema pallidum, Cryptococcus
neoformans, mycobacterium tuberculosis, dan Mycobacterium avium-
intracellulare menginfeksi kurang dari 5% pasien HIV-positif; namun, tetap harus
dipertimbangkan, terutama bila terdapat riwayat terinfeksi atau terpajan, ada
koroiditis, atau bila retinitisnya tidak khas ata tidak berespons terhadap terapi
antiviral. Limfoma intraocular terjadi pada kurang dari 1% pasien hiv-positif,
tetapi harus dipikirkan pada retinitis yang tidak khas atau tidak responsive dengan
terapi antiviral, khususnya bila ditemukan gejala-gejala neurologis.(3,11)

B. Klasifikasi berdasarkan anatomis


a. Uveitis anterior
- Iritis: peradangan terbatas pada iris
- Iridosklitis: peradangan pada iris an badan siliar
b. Uveitis intermediet: Uveitis intermediet disebut juga siklitis, uveitis perifer
atau pars planitis, adalah jenis peradanan intraocular terbanyak kedua. Tanda
uveitis intermediet yang terpenting adanya peradangan korpus siliaris pars
plana, retina perifer dan vitreus.
c. Uveitis posterior: Termasuk di dalam uveitis posterior adalah retinitis,
koroiditis, vaskulitis retina, dan papilitis, yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau
bersamaan
d. Panuveitis: inflamasi pada seluruh uvea(11)

2.5 Patofisiologi

Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung


suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Bentuk uveitis paling sering terjadi
adalah uveitis anterior akut (iritis), umumnya unilateral dan ditandai dengan
adanya riwayat sakit, fotopobia dan penglihatan kabur, mata merah, dan pupil
kecil serta ireguler. Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral,
biasanya terjadi pada orang dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus
penyebabnya tidak diketahui. Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis
besar uveitis: yang non-granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Uveitis
non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu iris dan
korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit
(3)
dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Uveitis
yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitivitas
terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam (antigen
endogen).

Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus)
yang memberi makanan kepada lensa dan kornea.(10) Radang iris dan badan siliar
menyebabkan rusaknya blood aqueous barrier sehingga terjadi peningkatan
protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan
biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil
dengan gerak Brown (efek tyndall). Dengan adanya peradangan di iris dan badan
siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar,
pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaukoma
sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui
oleh sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan mengakibatkan
tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan glaukoma.

Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar
lensa iris, dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh
karena iris banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan
berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah
kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu menurun dan berat jenis
cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak ke bawah. Sambil turun
sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea, membentuk keratik
presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke
bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula
masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila
keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada
batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut
kamera okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma
sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau
sakit.(10)
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-
sel radang didalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun
migrasi eritrosit ke dalam BMD dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang
dapat juga terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila
dipermukaan iris disebut Busacca nodules.(3)

Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan antara


iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun
antara iris dengan endotel kornea yang disebut dengan sinekia anterior. Pada
kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli
anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut
seklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya
trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik
mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata
belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombe dan
menyebabkan sudut kamera okuli anterior menyempit, dan timbullah glaukoma
sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada lens menyebabkan bentuk pupil tidak
teratur.

Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi
jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula menyebabkan
kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan
adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan dapat
mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun
dapat mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang
terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut
retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi
retina.
2.6 Gejala Klinis

Klasifikasi uveitis yang digunakan secara luas adalah klasifikasi menurut


Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN) Working Group. Dalam klasifikasi ini
uveitis dibagi menurut lokasi proses peradangan jaringan uvea, yaitu uveitis anterior,
uveitis intermediet, uveitis posterior dan panuveitis. Istilah panuveitis digunakan pada
proses inflamasi yang terjadi pada segmen anterior, vitreus, retina dan koroid.

a. Uveitis anterior

Uveitis anterior dapat berupa gejala yang akut, kronis atau rekuren. Uveitis
anterior umumnya inflamasi intraokuler dan umumnya adalah unilateral dengan
nyeri atau photophobia, kemerahan pada circumlimbal dan adanya sel dan flare
pada bagian anterior serta dengan onset akut.(11)

Gambar 5 . Gambaran cells dan flare pada slit lamp 3x1 mm

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and
management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19

Pasien dengan uveitis anterior biasanya mengeluh sakit, mata merah,


penglihatan kabur, dan fotofobia, mata berair. Sebagian besar pasien akan terjadi
serangan yang berulang dan akan pergi berobat berulang ke beberapa dokter mata
akan digunakan obat topikal/sistemik. Penglihatan yang kabur dimana menjadi
gejala yang umum, penyebabnya adalah kekeruhan dari aliran aqueous.
Photophobia umumnya dikarenakan spasme otot siliar tetapi infiltrasi di ruang
anterior seluler, edema epitel kornea dan keterlibatan otot pupil dapat juga
berkontribusi. Derajat nyerinya bervariasi terlihat pada uveitis anterior dapat
dikaitkan pada spasme otot siliar. Hal ini biasanya sakitnya seperti berdenyut atau
dirasakan nyeri. Nyeri yang sangat parah dikaitkan dengan peningkatan tekanan
intraokuler. Umumnya tanda-tanda klinis pasien dengan uveitis anterior adalah
derajat dari edema korneanya. Kongesti sirkumkorneal dapat dilihat karena
pelebaran dari pembuluh darah di episklera pada daerah badan siliar. Keratic
prespitat (KPs) adalah deposit seluler pada endothelium kornea.(11)

Gambar 6. Gambaran keratic presipitat

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and
management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19

KPs yang halus dianggap menjadi jenis peradangan non-granulomatosa


sedangkan yang besar dan mutton fat. KPs adalah termasuk jenis inflamasi
granulomatous. Keratic presipitat yang berpigmen atau berwarna merujuk pada
terjadinya uveitis anterior yang sebelumnya. Secara mikroskopis, KPs adalah
akumulasi sel-sel lymphoplasmacytic, dengan sel-sel epiteloid yang terlihat
sebagai tambahan pada KPs granulomatous. . Keratic precipitate granulomatosa
atau non-granulomatosa biasanya terdapat disebelah inferior, di daerah berbentuk
baji yang dikenal sebagai segitiga Arlt. Sebaliknya keratic precipitate stelata
biasanya tersebar rata di seluruh endotel kornea dan dapat dilihat pada uveitis
akibat virus herpes simpleks, herpes zoster, toksoplasmosis, iridosiklitis
heterokromk Fuch, dan sarkoidosis. Keratic precipitate mungkin juga ditemukan
terlokalisasi pada daerah-daerah keratitis aktif atau pra-keratitis, terutama akibat
infeksi herpes virus. Nodul-nodul iris dapat terlihat pada tepi iris (noduli Koeppe),
di dalam stroma iris (noduli Busacca), atau pada sudut bilik mata depan (noduli
Berlin). (11)

Gambar 7 . Gambaran Nodul Koeppe dan Nodul Busacca

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and
management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19
Gambar 8 . Gambaran membrane fibrous dan membrane pupil dengan
hipopion

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and
management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19

Gambaran penyakit granulomatosa, seperti mutton fat keratic precipitates


atau noduli iris pada uveitis, dapat mengindikasikan adanya penyebab infeksius
atau salah satu dari sejumlah kecil penyebab non infeksius, seperti sarkoidosis,
penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, oftalmia simpatika, atau uveitis terinduksi lensa.
Sel-sel aqueous dan β disebabkan oleh infiltrasi seluler dan eksudasi protein ke
dalam segmen anterior. Adanya sel aqueous secara dini dinyatakan inflamasinya
lagi aktif. Penembusan dari aqueous dikarenakan tingkat albumin yang tinggi
yang disebut aqueous flare. Pupil kemungkinan kecil (miosis) atau ireguler karena
terdapat sinekia posterior. Peradangan yang terbatas pada bilik mata depan disebut
iritis, peradangan pada bilik mata depan dan vitreus anterior sering disebut
sebagai iridosiklitis. Sensasi kornea dan tekanan intraokuler harus diperiksa pada
setiap pasien uveitis. Penurunan terjadi pada infeksi herpes simpleks atau herpes
zoster atau lepra., sedangkan peningkatan tekanan intraokuler bisa terjadi pada
iridosiklitis, herpes simpleks, herpes zoster, toksoplasmosis, sifilis, sarkoidosis
atau bentuk iridosiklitis lain yang jarang, yang disebut krisis glaukomatosiklitik –
juga dikenal sebagai sindrom Posner-Schlossman Peradangan bilik mata depan
yang sangat berat dapat menyebabkan timbulnya tumpukan sel-sel radang di sudut
inferior (hipopion). Penyebab ueitis hipopion yang tersering di Amerika Utara dan
Eropa adalah uveitis yang berkaitan dengan HLA-B27; di Asia, penyakit Behcet;
pada komunitas agrikulural- di daerah-daerah yang lebih lembab di Negara-negara
berkemban, leptospirosis. Iris harus diperiksa secara teliti untuk mencari tanda-
tanda atrofi atau transiluminasi, yang bsa mengenai sebagian daerah (sektoral)
atau membentuk pola bercak (patchy) pada infeksi virus herpes simpleks atau
herpes zoster, atau membentuk pola difus pada iridosiklitis heterokromik Fuch.
Adanya sinekia anterior atau posterior juga harus diperhatikan karena keduanya
menimbulkan predisposisi terhadap glaukoma.(11)

Inflamasi tersebut dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan


tekanan intraokuler. Serangan akut dari uveitis anterior dengan inflamasi pada
segmen anterior dan menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler yang
umumnya dapat dilihat pada keratouveitis virus atau sindrom posner schlosman.
Meskipun uveitis idiopatik anterior dapat meninggikan tekanan intraokuler.
Inflamasi yang hebat pada badan siliar dapat menurunkan produksi aqueous
humour dan tekanan intraokuler menjadi turun dikarenakan inflamasi sendiri,
sequelae atau inflamasi atau karena pengobatan dengan steroid. Pada inflamasi
yang aktif, peningkatan tekanan intraokuler dapat dihubungkan karena trabekulitis
atau karena penutupan sudut tertutup. Pemeriksaan dengan menggunakan fundus
akan terlihat adanya edema CD dan hiperemis, vaskularisasi, eksudat
perivaskular, edema macula cystoids, retinitis, infiltrate koroid, ablatio retina,
eksudat pars plana. Gonioskopi akan memperlihatkan gonio-sinekia atau
neovaskularisasi pada segitiga dan segitiga akan membuka atau menutup segitiga
tersebut tergantung dari derajat uveitisnya.(11)
Gambar 9. Gambaran deposit fibrin pada gonioskopi

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and
management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19

- Sistematis pada pasien dengan uveitis anterior (11)


- Anamnesis
Pasien akan banyak berobat ke beberapa dokter mata, riwayat yang lengkap
penting sekali untuk diagnosis dan tatalaksana. Riwayat penyakit pasien dari onset
dan progresi dari gejala, dan terapi yang diterima dengan terapi kortikosteroid.
Riwayat dahulu dapat menimbulkan serangan rekuren dari uveitis atau
sebelumnya respons dari terapi.
- Pemeriksaan fisik

Tabel 1. Tingkat derajat cells dan flare


Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis and
management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19

b. Uveitis Intermediet
Uveitis intermediet juga disebut siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis
adalah jenis peradangan intraokuler terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet
yang terpenting yaitu adanya peradangan vitreus. Uveitis intermediet khasnya
bilateral dan cenderung mengenai pasien pada masa remaja akhir atau dewasa
muda. Pria lebih banyak yang terkena dibandingkan wanita. Gejala-gejala khas
meliputi floaters dan penglihatan kabur. Nyeri, fotofobia, dan mata merah
biasanya tidak ada atau hanya sedikit. Temuan pemeriksaan yang paling
menyolok adalah vitritis- sering kali disertai dengan kondensat vitreus, yang
melayang bebas seperti “bola salju” (snowballs) atau menyelimuti pars plana dan
corpus cilliar seperti gundukan salju (snow banking).” Peradangan bilik mata
depan mungkin hanya minimal, tetapi jika sangat jelas, peradangan ini lebih tepat
disebut sebagai uveitis difus atau panuveitis. Penyebab uveitis intermediet tidak
diketahui pada sebagian besar pasien, tetapi sarkoidosis dan sklerosis multipel
berperan pada 10-20% kasus; sifilis dan tuberculosis (walaupun jarang) harus
disingkirkan dulu kemungkinannya pada setiap pasien. komplikasi uveitis
intermdiet yang tersering meliputi edema macula kistoid, vaskulitis retina, dan
neovaskularisasi pada diskus optikus.(3)

c. Uveitis Posterior
Termasuk di dalam uveitis posterior adalah retinitis, koroiditis, vaskulitis
retina, dan papilitis yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan. Gejala yang
timbul umumnya berupa floaters, kehilangan lapangan pandang atau scotoma,
atau penurunan tajam penglihatan, yang mungkin parah. Ablatio retina walaupun
jarang, paling sering terjadi pada uveitis posterior; jenisnya bisa traksional,
regmatogenosa atau eksudatif. (3)

Retina, koroid dan nervus optikus dipengaruhi oleh sejumlah penyakit


infeksi dan non-infeksi. Kebanyakan kasus uveitis posterior berhubungan dengan
beberapa sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali dapat ditegakkan
berdasarkan morfologi lesi, onset dan perjalanan penyakitnya, atau tanda dan
gejala sistemik yang menyertai. Pertimbangan lainnya adalah umur pasien dan
apakah timbulnya unilateral atau bilateral. Tes laboratorium dan penunjang lain
seringkali membantu. (3)

Lesi di segmen posterior mata bentuknya bisa fokal, multifocal, geografik,


atau difus. Lesi yang cenderung menimbulkan kekeruhan pada vitreus diatasnya
harus dibedakan dari lesi yang kurang atau tidak memicu sel-sel vitreus . Jenis dan
distribusi kekeruhan vitreusnya harus dijelaskan. Lesi peradangan pada segmen
posterior umumnya tidak kentara di awal, tetapi sebagian dapat disertai
kehilangan penglihatan mendadak yang berat. (3)

Di seluruh bagian dunia, penyebab retinitis yang umum pada pasien-pasien


imunokompeten adalah toksoplasmosis, sifilis, dan penyakit Behcet; penyebab
koroiditis tersering adalah sarkoidosis, tuberculosis dan sindrom Vogt-Koyanagi-
Harada. Papilitis inflamatorik (neuritis optik) dapat disebabkan oleh salah satu
dari penyakit-penyakit tersebut, tetapi sklerosis multipel perlu dicurigai,
khususnya pada kasus nyeri mata yang diperparah dengan pergerakan. Penyebab
uveitis posterior yang lebih jarang, antara lain : limfoma intraokuler, sindrom
nekrosis retina akut, oftalmia simpatika, dan sindrom “titik putih” seperti multiple
evanescent white dot syndrome (MEWDS) atau epiteliopati plakoid posterior
multifocal akut (AMPPE). (3)

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang mendalam umumnya tidak diperlukan untuk


uveitis anterior, apalagi untuk tipe non-granulomatosa. Tes kulit terhadap
tuberkulosis dan histoplasmosis dapat berguna demikian juga antibodi terhadap
toksoplasmosis. Berdasarkan tes-tes ini dan gambaran kliniknya, seringkali dapat
ditegakkan diagnosa etiologinya (3)
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat mendukung dalam
penegakan diagnosa dan etiologi adalah radiografi thorak dan fluorescent
treponemal antibody absorption (FTA-ABS). Berikut adalah pemeriksaan dan
indikasi pada penegakan diagnosa dan etiologi uveitis anterior menurut George
(2007) dan AOA (2004):
a. Radiografi thorak untuk Sarkoidosis dan TB
b. Tes darah rutin untuk membedakan penyebab bakteri atau virus dan
mengetahui keganasan seperti limfoma dan leukimia.
c. FTA-ABS test untuk Sifilis
d. VRDL untuk sifilis
e. Purified protein derivative (PPD) test untuk TB
f. Angiotensin-converting enzyme (ACE) test untuk Sarkoidosis
g. Antinuclear antibody (ANA) untuk SLE dan juvenile rheumatoid arthritis.
h. HLA-B27 typing untuk ankylosing spondilytis,sindrom Reiter, inflammantory
bowel disease,psoriasis artritis, sindrom Behcet.
i. Gallium scan untuk Sarkoidosis
j. Anergy evaluation untuk Sarkoidosis
k. Toxoplasmosis enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
l. MRI pada kepala akan membantu dalam penegakan cases of
intraocular (CNS) lymphoma.
m. Pada pasien dengan indikasi sarkoidosis dan pada pemeriksaan radiografi
thorak negatif, pemeriksaan CT thorak untuk mengetahui hilar adenopathy.

2.8 Diagnosis Differensial

Diagnosis banding uvetis anterior menurut Vaughan (2000) antara lain: (3)
a. Konjungtivitis: penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada sekret mata
dan umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi siliaris.
b. Keratitis atau keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit
dan fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan
herpes zooster dapat menyertai uveitis anterior sebenarnya.
c. Glaukoma akut: pupil melebar, tidak ada sinekia posterior, dan
korneanya beruap.
d. Setelah serangan berulang kali, uveitis non-granulomatosa dapat
menunjukkan ciri uveitis granulomatosa

2.10 Komplikasi
a. Glaukoma (peninggian tekanan bola mata)

Pada uveitis anterior dapat terjadi sinekia posterior sehingga mengakibatkan


hambatan aliran aquos humor dari bilik posterior ke bilik anterior. Penupukan
cairan ini bersama-sama dengan sel radang mengakibatkan tertutupnya jalur dari
out flow aquos humor sehigga terjadi glaukoma. Untuk mencegahnya dapat
diberikan midriatika.

b. Katarak

Kelainan segmen anterior mata seperti iridosiklitis yang menahun dan


penggunaan terapi kortikosteroid pada terapi uveitis dapat mengakibatkan
gangguan metabolisme lensa sehingga menimbulkan katarak. Operasi katarak
pada mata yang uveitis lebih kompleks lebih sering menimbulkan komplikasi post
operasi jika tidak dikelola dengan baik. Sehingga dibutuhkan perhatian jangka
panjang terhadap pre dan post operasi. Operasi dapat dilakukan setelah 3 bulan
bebas inflamasi. Penelitian menunjukkan bahwa fakoemulsifikasi dengan
penanaman IOL pada bilik posterior dapat memperbaiki visualisasi dan memiliki
toleransi yang baik pada banyak mata dengan uveitis.

Prognosis penglihatan pasien dengan katarak komplikata ini tergantung pada


penyebab uveitis anteriornya. Pada Fuchs heterochromic iridocyclitis operasi
berjalan baik dengan hasil visualisasi bagus. Sedangkan pada tipe lain (idiopatik,
pars planitis, uveitis associated with sarcoidosis, HSV, HZF, syphilis,
toksoplasmosis, spondylo arthopathies) menimbulkan masalah, walaupun
pembedahan dapat juga memberikan hasil yang baik.

c. Ablasio retina

Akibat dari tarikan pada retina oleh benang-benang vitreus.


 Kerusakan Neovaskular optikus
 Atropi bola mata
 Edem Kisoid Makulae

2.10 Penatalaksanaan

Tujuan utama dari pengobatan uveitis adalah untuk mengembalikan atau


memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi
penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu
diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi
yang tidak diharapkan. Adapun terapi uveitis dapat dikelompokkan menjadi :
A. Terapi non spesifik :
a. Penggunaan kacamata hitam
Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi fotofobi, terutama akibat
pemberian midriatikum.
b. Kompres hangat
Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan berkurang, sekaligus
untuk meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-sel radang dapat lebih
cepat.
c. Midritikum/ sikloplegik
Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot iris dan badan silier
relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan. Selain
itu, midriatikum sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya sinekia, ataupun
melepaskan sinekia yang telah ada.
Midriatikum yang biasanya digunakan adalah:
- Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes
- Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
- Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes
d. Anti inflamasi
Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah kortikosteroid, dengan dosis
sebagai berikut:
Dewasa : Topikal dengan dexamethasone 0,1 % atau prednisolone 1 %. Bila
radang sangat hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau periokuler : :
- Dexamethasone phosphate 4 mg (1 ml)
- Prednisolone succinate 25 mg (1 ml)
- T riamcinolone acetonide 4 mg (1 ml)
- Methylprednisolone acetate 20 mg
Bila belum berhasil dapat diberikan sistemik Prednisone oral mulai 80 mg per
hari sampai tanda radang berkurang, lalu diturunkan 5 mg tiap hari.
Anak : prednison 0,5 mg/kgbb sehari 3 kali.
Pada pemberian kortikosteroid, perlu diwaspadai komplikasi-komplikasi yang
mungkin terjadi, yaitu glaukoma sekunder pada penggunaan lokal selama lebih
dari dua minggu, dan komplikasi lain pada penggunaan sistemik.
B. Terapi spesifik
Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari uveitis
anterior telah diketahui. Karena penyebab yang tersering adalah bakteri, maka
obat yang sering diberikan berupa antibiotik, yaitu:
Dewasa : Lokal berupa tetes mata kadang dikombinasi dengan steroid.
Anak : Chloramphenicol 25 mg/kgbb sehari 3-4 kali.
Walaupun diberikan terapi spesifik, tetapi terapi non spesifik seperti disebutkan
diatas harus tetap diberikan, sebab proses radang yang terjadi adalah sama tanpa
memandang penyebabnya.
C. Terapi terhadap komplikasi
a. Sinekia posterior dan anterior
Untuk mencegah maupun mengobati sinekia posterior dan sinekia anterior,
perlu diberikan midriatikum, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
b. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada uveitis
anterior. Terapi yang harus diberikan antara lain:
Terapi konservatif :
- Timolol 0,25 % - 0,5 % 1 tetes tiap 12 jam
- Acetazolamide 250 mg tiap 6 jam
- Terapi bedah:
Dilakukan bila tanda-tanda radang telah hilang, tetapi TIO masih tetap tinggi.
- Sudut tertutup : iridektomi perifer atau laser iridektomi, bila telah terjadi
perlekatan iris dengan trabekula (Peripheral Anterior Synechia atau PAS)
dilakukan bedah filtrasi.
- Sudut terbuka : bedah filtrasi.
c. Katarak komplikata
Komplikasi ini sering dijumpai pada uveitis anterior kronis. Terapi yang
diperlukan adalah pembedahan, yang disesuaikan dengan keadaan dan jenis
katarak serta kemampuan ahli bedah.

2.11 Prognosis

Dengan pengobatan,serangan uveitis non-granulomatosa umumnya


berlangsung beberapa hari sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis
granulomatosa berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang
dengan remisi dan eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen
dengan penurunan penglihatan yang nyata. Prognosis bagi lesi korioretinal perifer
lokal jauh lebih baik, sering sembuh tanpa gangguan penglihatan yang berarti.(3)
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn.A
Umur : 40 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : jalan cemangi lrg. V
NO RM : 496863
II. ANAMNESIS

Keluhan Utama: Mata Merah

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien laki-laki datang ke Poli Rumah Sakit Umum Anutapura Palu dengan
keluhan mata kiri merah sejak 2 hari terakhir, keluhan mulai dirasakan setelah
pasien mengendarai motor dari Donggala ke palu.awalnya pasien merasa nyeri
pada mata sampai dikepala, mata berair (+), banyak kotoran mata (+), secret (-),
gatal (+), silau melihat cahaya. Riwayat hipertensi (-), DM (-), riwayat trauma
pada mata (-)

Riwayat Penyakit Mata Sebelumnya: beberapa bulan yang lalu pasien sudah
pernah merasakan keluhan yang sama.

Riwayat Penyakit Lain:


- Hipertensi (-)
- Diabetes Melitus (-)

Riwayat Penyakit Mata dalam Keluarga: tidak ada keluarga yang menderita hal
yang sama

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis:

Keadaan Umum : Baik


Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda Vital
- Tekanan Darah : 140/80 mmHg
- Nadi : 80x/menit
Status Oftalmologis
A. INSPEKSI OD OS
Visus 3/60 0
1. P P Palpebra Edema(-) Edema(-)
Apparatus Lakirmalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (+)
3. S Silia Sekret (-) Sekret (-)
K Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Kornea jernih Keruh
Bilik Mata Depan Normal Hipopion
7. Iris Coklat, kripte (+) Sinekia posterior
8. Pupil Bulat, RCL (+) Irreguler, sinekia posterior
9. Lensa keruh Sinekia posterior
10.Mekanisme muscular

B.PALPASI
- Tensi Okular Normal Normal

-Nyeri Tekan Tidak ada Ada


- Massa Tumor Normal Tidak ada
- Glandula Pre aurikuler normal Normal
C. Tonometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
D. Tes Buta Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
E. Oftalmoskopi Refleks fundus (+). Refleks Fundus (+).
F. Slit Lamp Tidak dilakukan Tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


9
WBC : 8,9 x 10 /l
HGB : 12 gr/dl
PLT : 302 x 109/l (150-440)
RBC : 4,3 x 1012/l (3,8-5,2)
HCT : 38 % (35-47)
MCV : 66,7 1fL (80,0-100,0 fL)
MCH : 28,5 pg (26,0-34,0 pg)
MCHC : 35,8 g/dL (32,0-36,0 g/dL)
SGOT : 14 u/l (6 – 30),
SGPT : 107 u/l (7 – 32)
HbSAg: Non Reaktif
Anti HCV : Non Reaktif
Glukosa sewaktu : 148 mg/dl

V. RESUME

Pasien laki-laki datang ke Poli Rumah Sakit Umum Anutapura Palu dengan
keluhan mata kiri merah sejak 2 bulan, keluhan mulai dirasakan setelah pasien
mengendarai motor dari Donggala ke palu.awalnya pasien merasa nyeri pada
mata sampai dikepala, mata berair (+), banyak kotoran mata (+), secret (-), gatal
(+), silau melihat cahaya. Riwayat hipertensi (-), DM (-), riwayat trauma pada
mata (-), riwayat keluhan yangsama beberapa bulan yang lalu.
Pemerisaan fisik : VOS = 0, kornea keruh, BMD terdapat hipopion, Pupil
ireguler dan sinekia posterior.
VI. DIAGNOSIS/ DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis : OS Uveitis Posterior

Diagnosis Banding : Keratitis

VII. PENATALAKSANAAN

1. IVFD RL 20 tpm
2. Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
3. Inj. Metronidazole 500 mg/8jam/iv
4. Inj. Dexametasone 5 mg/8jam.iv
5. Inj.Omeprazole 40 mg/8jam/iv
6. Inj.Ketorolac 30 mg/8jam/iv
7. C. P-pred 1 tetes / 1 jam
8. C-LFX 6 x 1 gtt OS
9. Bralifex 6 x 1 gtt OS

VIII. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Dubia ad Malam
- Quo ad funtionam : Dubia ad Malam
- Quo ad sanationam: Dubia ad Malam
DAFTAR PUSTAKA

1. lyas, Sidarta. (2005). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia: Jakarta.
2. Rao AN. Uveitis in developing countries. Indian Journal of Ophthalmology
2013;61(6):253-254.
3. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi umum. Edisi 14.
Jakarta: Widya medika, 2000
4. https://nei.nih.gov/health/uveitis/uveitis. Acessed on Maret 2018
5. http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/uveitis/basics/definition/con-
20026602. Acessed on Maret 2018
6. Gondhowiardjo TD, Simanjuntak GWS. Panduan Manajemen Klinis
PERDAMI. Jakarta: PP PERDAMI, 2006. 34.
7. Rao NA, Forster DJ. Basic Principles In: Berliner N, editors. The Uvea
Uveitis and Intraocular Neoplasms Volume 2. New York: Gower Medical
Publishing, 1992. 1.1
8. Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-Eva P,
Whitcher JP, editors. General Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw
Hill, 2007
9. Schlaegel TF, Pavan-Langston D. Uveal Tract: Iris, Ciliary Body, and
Choroid In: Pavan-Langston D, editors. Manual of Ocular Diagnosis and
Therapy. 2nd Edition, Boston: Little, Brown and Company, 1980. 143-144.
10. Wijana, N., 1993, Uvea, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta:
126-153
11. Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in diagnosis
and management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb;
58(1):11-19
12. American Optometric Association, 2004, Anterior
Uveitis, dalam Optometric Clinical Practice Guideline, American Optometric
Association, St. Louis.

Anda mungkin juga menyukai