04011181419027
PDU Alpha FK UNSRI
Skenario C Sistem Respirasi
Mandy Putriyudi
04011181419027
PDU Alpha FK UNSRI
Skenario C Sistem Respirasi
2.
3.
4.
5.
Mandy Putriyudi
04011181419027
PDU Alpha FK UNSRI
Skenario C Sistem Respirasi
Kenaikan ventilasi paru yang secara mendadak pada saat kita naik ke tempat tinggi akan
menghilangkan sejumlah besar karbon dioksida sehingga PCO 2 akan turun, dan meningkatkan
Mandy Putriyudi
04011181419027
PDU Alpha FK UNSRI
Skenario C Sistem Respirasi
pH cairan tubuh (alkalosis respiratorik). Semua perubahan itu akan menghambat pusat
pernapasan batang otak dan dengan demikian melawan efek PO2 yang rendah untuk
merangsang pernapasan menggunakan kemoreseptor pernapasan perifer di badan karotid dan
badan aortik. Namun, efek hambatan ini perlahan-lahan hilang dalam waktu 2-5 hari,
sehingga pusat pernapasan dapat mengadakan respons maksimal terjadap rangsangan
kemoreseptor sebagai akibat dari hipoksia, dan ventliasi meningkat sekitar 5x normal.
Penyebab hilangnya hambatan ini dipercaya terjadi terutama karena adanya penurunan
kadar ion bikarbonat dalam cairan serebrospinal sebagaimana dalam jaringan otak.
Perubahan-perubahan tersebut akan menurunkan pH cairan di sekeliling neuron kemosensitif
di pusat pernapasan, dengan demikian akan meningkatkan aktivitas pusat tersebut dalam
menstimulasi pernapasan.
Mekanisme penting penurunan berkala konsentrasi bikarbonat merupakan kompensasi
ginjal terhadap alkalosis respiratorik. Ginjal memberikan respons terhadap penurunan PCO2
dengan cara menurunkan sekresi ion H+ dan meningkatkan ekskresi bikarbonat. Kompensasi
metabolik untuk alkalosis respiratorik ini secara bertahap menurunkan konsentrasi bikarbonat
dalam cairan plasma dan serebrospinal dan menurunkan pH ke arah normal serta membuang
efek inihibisi pernapasan akibat konsentrasi hidrogen yang rendah. Jadi, pusat pernapasan
lebih responsif terhadap stimulus kemoreseptor perifer akibat hipoksia setelah ginjal
melakukan kompen sasi terhadap alkalosis.
Secara singkat bisa dilihat pada gambat berikut:
Aklimatisasi Alami pada Penduduk Asli yang Hidup di Tempat
Tinggi
Pada semua aspek aklimatisasi, penduduk asli yang tinggal di
dataran tinggi sejak lahir akan lebih superior dibandingkan dengan
penduduk dari tempat rendah dengan aklimatisasi terbaik, walaupun
penduduk dari tempat rendah itu telah hidup di tempat tinggi selama 10
tahun atau lebih. Proses aklimatisai pada penduduk asli tersebut telah
dimulai semenjak masa bayi. Ukuran dadanya, terutama sangat
membesar, sedangkan ukuran tubuhnya agak mengecil, sehingga rasio
kapasitas ventilasi terhadap massa tubuh menjadi besar. Selain itu,
jantungnya, yang semenjak lahir sampai dewasa sudah memompa curah
jantung dalam jumlah ekstra, ternyata lebih besar daripada jantung orang
yang tinggal di tempat rendah.
Pengangkutan oksigen oleh darah ke jaringan juga jauh lebih mudah
pada penduduk asli ini. PO2 oksigen arteri pada penduduk asli yang
tinggal di tempat tinggi hanya 40 mmHg, tetapi karena jumlah
hemoglobbinnya lebih banyak, maka jumlah oksigen dalam darah arteri
penduduk asli tersebut menjadi lebih banyak dibandingkan oksigen dalam
darah penduduk asli yang tinggal di tempat rendah. Ini juga menunjukkan
bahwa pengangkutan oksigen ke jaringan sangatlah efektif pada
penduduk asli yang tinggal di tempat tinggi yang teraklimatisasi secara
alami.
Penduduk asli yang teraklimatisasi secara alami, sehari-hari dapat
bekerja di tempat tinggi hampir sama seperti orang normal yang tinggal di
tempat setinggi permukaan laut, tetapi penduduk dari tempat rendah
yang kemudian teraklimatisasi dengan baik hampir tidak pernah
mencapai hasil sebaik penduduk asli itu dalam bekerja.
Mandy Putriyudi
04011181419027
PDU Alpha FK UNSRI
Skenario C Sistem Respirasi
Sumber:
Guyton, Arthur C., Hall, John E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC.