Anda di halaman 1dari 18

Referat

CENTRAL SEROUS RETINOPATHY

Disusun oleh:
Luki (406127003)
Pembimbing:
dr. Saptoyo Argo Morosidi, Sp.M

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
PERIODE 13 JANUARI 15 FEBRUARI 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

Nama

: Luki

NIM

: 406127003

Fakultas

: Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta

Bagian

: Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata, RSUD Ciawi

Diajukan

: 30 Januari 2014

Judul

: Central Serous Retinopathy

Ciawi, 30 Januari 2014


Pembimbing
Kepaniteraan Ilmu Mata RSUD Ciawi

dr. Saptoyo Argo Morosidi, Sp.M

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, penulis telah mendapatkan kesempatan, sehingga referat Central Serous
Retinopathy ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Direktur Rumah Sakit RSUD Ciawi yang telah memberikan kesempatan untuk
mengikuti kegiatan kepaniteraan dan mempelajari Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata di
RSUD Ciawi.
2. dr. Saptoyo Argo Morosidi, Sp.M, Kepala Bagian Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata dan
dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama
kepaniteraan di RSUD Ciawi.
3. dr. Nanda Lessi H.E.P, Sp.M, dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan
kepada penulis selama kepaniteraan di RSUD Ciawi.
4. Keluarga dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada
penulisan referat ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam referat ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat memperbaiki
kekurangan kekurangan tersebut.
Ciawi, 30 Januari 2014

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................1

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................2
KATA PENGANTAR................................................................................................3
DAFTAR ISI.............................................................................................................4
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................5
BAB II. ANATOMI DAN PATOFISIOLOGI...........................................................6
Anatomi Dan Histologi..................................................................................6
Patofisiologi...................................................................................................8
BAB III. DIAGNOSIS.............................................................................................11
Manifestasi klinis..........................................................................................11
Pemeriksaan Penunjang Diagnosis...............................................................12
Diagnosis banding.....................................................................................14
BAB IV TATALAKSANA DAN PROGNOSIS......................................................16
Tatalaksana....................................................................................................16
Prognosis.......................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................18

BAB I
PENDAHULUAN

Central Serous Retionopathy (CSR) adalah penyakit dimana terjadi gangguan di


wilayah lapisan neurosensorik retina. Kemungkinan etiologinya ialah seperti neovaskularisasi
choroidal akibat peradangan atau tumor.1 Penyakit ini jarang ditemukan, bersifat unilateral,
self limited desease, dan ditandai oleh pelepasan serosa sensorik sebagai akibat dari
kebocoran setempat cairan dari koriokapilaris melalui defek di epitel pigmen retina. Penyakit
ini biasanya mengenai pria berusia muda sampai pertengahan dan mungkin berkaitan dengan
kejadian-kejadian stress kehidupan. 2,3,4
Secara epidemiologis, penyakit ini umumnya ditemukan lebih banyak enam kali lipat
pada laki laki dengan insidensi 10 per 100.000 populasi, ras Asian dan Hispanik, serta usia
produktif (20 55 tahun), dengan faktor predisposisi stres dan penggunaan kortikosteroid.1,3
Penjelasan mengenai hal ini adalah karena pria cenderung mempunyai kehidupan
yang lebih stress, paparan terhadap kejahatan lebih tinggi, jam kerja yang lebih panjang,
tanggung jawab keuangan yang lebih besar dan pekerjaan yang lebih berbahaya. 5
Melalui peneletian retrospektif, Haimovici mendapatkan bahwa steroid sistemik dan
kehamilan merupakan faktor sistemik yang berhubungan dengan pembentukan CSR. Faktor
resiko lainnya adalah pemakaian antibiotik, konsumsi alkohol, hipertensi yang tidak
terkontrol, dan penyakit saluran nafas alergik.5
Dalam hal ini, produktivitas adalah salah satu komponen vital fungsi manusia.
Mengingat 83% input sensoris berasal dari organ penglihatan, kelainan pada makula yang
dapat cukup mengganggu fungsi ini sudah seharusnya dapat ditangani dengan baik oleh para
praktisi kesehatan.

BAB II
ANATOMI DAN PATOFISIOLOGI

Anatomi dan Histologi Retina2


Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, yang terdiri
dari lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Merupakan selembar tipis
jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang melapisi bagian dalam dua
per tiga posterior dinding bola mata. Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi dalamnya
adalah :
1. membran limitans interna
2. lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang
berjalan menuju nervus optikus.
3. lapisan sel ganglion.
4. lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan-sambungan sel
ganglion dengan sel amakrin dan bipolar
5. lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal.
6. lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel
bipilar dan horizontal dengan fotoreseptor.
7. lapisan inti luar sel fotoreseptor.
8. membran limitans eksterna.
9. lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
10. lapisan pigmen retina.
Untuk melihat mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor
kompleks dan sebagai suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di
lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf
yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf opticus dan akhirnya ke
korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang
terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di
fovea sentralis, terdapat hubungan antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya dan
6

serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang tajam. Di retina
perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan
sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan ini adalah bahwa makula
terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan otopik)
sedangkan bagian retina yang lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor
batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak dilapisan terluar yang avaskular pada
retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mencetuskan proses penglihatan. Penglihatan siang hari terutama diperantarai oleh
fotoreseptor kerucut, senjakala oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan
penglihatan malam oleh fotoreseptor batang.
Epitel pigmen retina ( RPE ) terbentuk dari satu lapis sel, melekat longgar pada
retina kecuali diperifer ( ora serata ) dan disekitar lempeng optic. RPE ini membentuk
mikrovili yang menonjol diantara lempeng segmen luar sel batang dan sel kerucut dan
menyeimbanginya. Lapisan ini berfungsi memfagosit sisa segmen eksternal sel batang
dan kerucut, memfasilitasi pasase nutrient dan metabolit antara retina dan koroid,
serta berperan dalam regenerasi rodopsin dan opsin sel kerucut, pigmen visual
fotoreseptor yang mengolah kembali vitamin A. RPE juga mengandung granula
melanin yang mengabsorpsi cahaya yang terpencar5

Keterangan gambar : Lapisan pada Retina dan Fovea

Keterangan gambar : lapisan retina secara skematis

Patofisiologi
CSR didefinisikan sebagai terjadinya elevasi / ablasi retina bagian sensoris pada
makula yang disebabkan oleh keberadaan cairan serosa. 3 Adapun patofisiologi yang

mendasari kejadian ini sampai saat ini masih belum terlalu dimengerti (idiopatik), namun
diperkirakan terjadi sebagai akibat dari gangguan pompa ionik dari Retinal Pigmented
Epithelial cells (RPE) maupun vaskulopati yang menyebabkan kebocoran / peningkatan
permeabilitas dari khoriokapiler.1
Faktor risiko yang diketahui berperan pada CSR adalah usia muda / pertengahan (2040 tahun), ras Kaukasia, jenis kelamin (laki-laki lebih banyak 6 kali lipat, wanita umumnya
pada usia lebih tua), stres fisiologis, kepribadian tipe A, hipertensi sistemik, Obstructive
Sleep Apnea (OSA), penggunaan steroid jangka panjang, Cushing syndrome, penyakit lupus,
serta kehamilan pada trimester ke tiga.1,3
Kepribadian tipe A, hipertensi sistemik, stres, maupun OSA diperkirakan terkait
dengan meningkatnya kadar kortisol dan epinefrin yang beredar dalam darah, sehingga
mengubah autoregulasi dari sirkulasi koroid.1
Administrasi glukokortikoid dikatakan dapat menyebabkan CSR dengan cara
mengubah ekspresi gen reseptor adrenergik, sehingga berkontribusi pada efek katekolamin
dan jumlah cAMP pada RPE. Oleh karenanya, terjadi perubahan fungsi pompa ionik ataupun
mengubah permeabilitas dari sawar darah dan karenanya mengganggu sawar darah retina
bagian luar.7
Secara garis besar, perjalanan penyakit CSR dapat dibagi menjadi 6 tahapan, yaitu :8

Tahap 1, akut, belum terdapat kebocoran, namun telah terjadi perubahan pada

area multifokal taut ketat.


Tahap 2, subakut, tahap perkembangan dari tahap 1, dimana mulai terjadi
kebocoran fokal pada taut ketat, umumnya masih tetap asimtomatik namun
dapat pula mulai dirasakan adanya keluhan penglihatan, misalnya penurunan

visus dan metamorfopsia. Umumnya, tahapan ini mengalami regresi spontan.


Tipe 3, kronik, dimana tahap 2 berlangsung kronik, biasanya akan ditemukan
defek pada lapang pandang dan penurunan visus akan terjadi secara lebih
nyata. Umumnya CSR baru terdeteksi pada tahapan ini dan harus ditatalaksana

dengan fotokoagulasi.
Tipe 4, inaktif, yaitu tahapan yang ditemukan pada kasus CSR yang mengenai
satu mata. Mata lain dapat saja telah menunjukkan adanya defek RPE pada FA,
akan tetapi tidak terdapat gejala.

Tipe 5, tahapan komplikasi, misalnya dekompensasi RPE, umumnya muncul 5-

10 tahun setelah onset CSR.


Tipe 6, komplikasi neovaskularisasi subretinal.

CSR dapat diklasifikasikan sebagai berikut :8

Berdasarkan tipenya:
o Tipikal, yaitu ditemukan satu atau dua area kebocoran pada FA.
o Atipikal, yaitu kebocoran multipel.
Berdasarkan keadaan edema yang ditemukan:
o Tipe 1, koleksi cairan terjadi pada ruang subretinal (94% kasus).
o Tipe 2, koleksi cairan terjadi di bawah ruang RPE (3% kasus).
o Tipe 3, campuran tipe 1 dan tipe 2.

10

BAB III
DIAGNOSIS

Manifestasi Klinis
Berdasarkan anamnesis, umumnya dapat ditemukan metamorfopsia unilateral atau
bilateral yang dapat pula disertai mikropsia, dengan berkurangnya lapang pandang terutama
wilayah sentral, kesulitan membedakan warna / diskromatopsia ringan, berkurangnya
sensitivitas terhadap kontras, hingga bintik buta / skotoma. 3 Keluhan ini umumnya
disebabkan oleh adanya edema sentralis sehingga menyebabkan kerapatan sel berkurang.
Melalui pemeriksaan fisik, visus yang ditemukan berkisar antara 6/9 - 6/30, namun
pada beberapa kasus dapat dikoreksi dengan lensa konveks lemah hingga mencapai tajam
penglihatan sempurna. Hal ini disebabkan oleh elevasi retina sensoris tersebut dapat
bermanifestasi pada hipermetropia yang didapat, sehingga dapat saja terkoreksi dengan lensa
positif.1,3
Status oftalmologis di luar pemeriksaan funduskopi umumnya berada dalam batas
normal. Adapun pada pemeriksaan funduskopi, dapat ditemukan elevasi dari retina bagian
sensoris dengan bentuk bulat atau oval / pembengkakan berbatas tegas pada makula serta
cairan subretinal pada lesi awal atau presipitat pada permukaan retina posterior. 3 Dalam hal
ini, dapat ditemukan refleks makula yang menurun atau bahkan tidak ada.8

11

Keterangan gambar : temuan funduskopi pada retina yang normal

Keterangan gambar : temuan funduskopi pada CSR

Pemeriksaan Penunjang Diagnosis


Untuk menunjang diagnosis CSR, dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang,
diantaranya:

Tes Amsler grid. Tes ini digunakan untuk mengevaluasi fungsi makula, yaitu
dengan cara pasien melihat dengan satu mata ke titik sentral dari suatu gambaran

12

dengan kisi-kisi yang tersusun atas garis horizontal dan vertikal, umumnya dengan
warna putih dan latar belakang hitam.
Saat pemeriksaan, ditanyakan pada pasien apakah dengan satu mata keempat sudut
terlihat, apakah terdapat garis yang berbentuk iregular, atau tidak terlihat dengan
acuan suatu titik tengah. Bentuk iregular ini dapat dilaporkan adanya gambaran
bergelombang (metamorfopsia), terlihat kelabu, kabur, maupun tidak terlihat /
skotoma.9
Pada CSR, biasanya ditemukan metamorfosia yang bersesuaian dengan daerah
yang terkena defek.3

Keterangan gambar : Tes Amsler Grid: Normal, Skotoma dan Metamorfopsia

OCT, dapat menunjukkan adanya elevasi bagian neurosensoris dari retina serta
ablasi, maupun defisit dari RPE.3

Keterangan gambar : OCT pada CSR

FA (Fluorescein Angiography), umumnya menunjukkan gambaran smokestack


ataupun ink blot. Gambaran smokestack diperlihatkan sebagai titik yang
mengalami hiperfluoresensi kemudian dilanjutkan dengan difusi melalui area yang
mengalami elevasi / ablasi. Gambaran ink blot adalah temuan yang cukup sering
diperoleh, yaitu titik dengan hiperfluoresensi yang kemudian membesar.3

13

Keterangan gambar : FA pada CSR

ICGA (Indo Cyanine Green Angiography). Pada pemeriksaan ini, terdapat fase
arterial, dimana ditemukan angiogram normal, fase pengisian vena awal / fase
awal, fase pengisian vena akhir / fase tengah, dan fase akhir.8
Fase awal menunjukkan hipoflouresensi dengan pembuluh darah koroid yang
terdilatasi pada kutub posterior dan lokasi kebocoran mulai dapat ditemukan. Fase
tengah menunjukkan area dengan hiperfloresensi karena hiperpermeabilitas koroid
serta tipe kebocoran yang terjadi.3 Fase akhir umumnya masih ditandai dengan
hiperfloresensi karena adanya pengumpulan cairan pada ruang subretinal.

Diagnosis Banding CSR 1


Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik serta ditunjang oleh pemeriksaan
penunjang, diagnosis banding tersebut satu per satu dapat disingkirkan. Diantaranya yang
menjadi diagnosis banding, yaitu :

Neovaskularisasi koroidal subretinal. Angiografi ICR biasanya mengungkapkan hanya


satu bidang hiperfloresens yang semakin melebar

Vaskulopati koroidal polipoidal. Angiografi ICG menunjukkan kaliber kecil, lesi


vaskular koroidal polipoidal dan tidak ada bidang hipermiabilitas. Lebih baik untuk
mengamati pasien dan mengulang angiografi 2 minggu kemudian
14

Membran neovaskular koroidal. Suatu area kebocoran CSCR harus tetap konstan atau
berkurang seiring dengan waktu, sedangkan membran neovaskular koroidal kemungkinan akan
bertambah.

Age Related Macular Degeneration


Retinal Detachments Exudative
Vogt Koyanagi Harada Disease

15

BAB IV
TATALAKSANA DAN PROGNOSIS

Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan kasus CSR adalah observasi selama 3 - 6 bulan pada
kebanyakan kasus karena perjalanannya yang menunjukkan resolusi spontan. 1,3 Di samping
itu, dilakukan pula modifikasi pada beberapa faktor risiko yang dapat diubah, terutama
pemakaian steroid jangka panjang ataupun gaya hidup, terutama terkait dengan stres,
misalnya berupa terapi meditasi / yoga.1,7
Tatalaksana secara medikamentosa Asetazolamid

sebagai terapi pertama kali

dikemukakan oleh Pikkel pada tahun 2002. Percobaan ini didasarkan pada fakta bahwa
asetazolamid terbukti efektif untuk mengurangi edema makula yang disebabkan oleh
tindakan operasi dan berbagai kelainan intraokular lainnya. Penelitian Pikkel ini
membuktikan asetazolamid dapat memperpendek waktu resolusi klinis, tetapi tidak
berdampak terhadap tajam penglihatan akhir dan rekurensi CSR, sehingga tidak
direkomendasikan lagi.5 Medikamentosa lainnya jarang dilakukan, akan tetapi apabila
muncul komplikasi misalnya neurovaskularisasi koroid, berdasarkan penelitian, diperoleh
bahwa administasi agen intravitreal, misalnya Bevicizumab dapat digunakan.7
Tatalaksana lain yang perlu dipertimbangkan adalah fokoagulasi laser pada RPE yang
mengalami kebocoran apabila setelah observasi tidak ditemukan regresi spontan. 1,3 Indikasi
umum untuk terapi ini adalah :

Persistensi CSR lebih dari 4 bulan


Munculnya rekurensi
Keberadaan defek lapang pandang pada mata yang awalnya sehat
Permintaan pasien dengan alasan tuntutan pekerjaan untuk visus baik

Di samping itu, dapat pula dilakukan Photo Dynamic Therapy (PDT), terutama pada
kasus CSR kronik. Tatalaksana ini dapat berefek langsung pada sirkulasi koroid melalui
16

percepatan resorpsi cairan, akan tetapi berisiko untuk menimbulkan iskemia pada makula,
sehingga seringkali tidak dikerjakan.1

Prognosis
Pada umumnya, penyakit ini akan mengalami resolusi spontan pada mayoritas pasien
dalam waktu 3-6 bulan diikuti dengan perbaikan visus pada 80% pasien, walaupun dapat pula
ditemukan kasus tanpa perbaikan tajam penglihatan. Akan tetapi, rekurensi seringkali terjadi
(50% kasus).
Kasus ini dapat pula berlangsung secara kronik, yaitu lebih dari 12 bulan, namun
umumnya hanya terjadi pada minoritas pasien maupun usia yang lebih tua.3

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Theng K. Central Serous Chorioretionopathy. In : Medscape Miscellaneus


Ophtalmology Article. 2013
2. Hardy R A. Retina dan Tumor Intraokular. Dalam : Vaughan Oftalmologi Umum, ed
14. Penerbit Widya Medika : Jakarta. 2000 : 197-219
3. Kanski J J. MIscellaneus Acquired Maculopathies. In : Clinical Ophtalmology A
Systematic Approach. 7th ed. Saunders Elsevier : Philadelphia. 2011 : 398-399
4. Ilyas S. Mata Tidak Merah Visus Turun Mendadak. Dalam : Ilmu penyakit Mata.
Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 2004 : 197-198
5. Sengdy, Chauhari C, Elvoiza. Karakteristik Penderita dan Efektivitas Terapi
Medikamentosa CSR. Dalam : Ophtalmologica Indonesia Jurnal Of The
Indonesian Ophtalmologist Association Volume 32. 2005 : 133-139
6. Bruce J. Retina dan Koroid. Dalam : Lecture Notes Oftalmologi ed 9. Penerbit
Erlangga : Jakarta. 2003 : 114
7. Shah S P, Desai C K, Desai M K, Dikshit R. Steroid-Induced Central Serous
Retionpathy. In : Indian J Pharmacol. 2011 Sep-Oct; 43(5): 607-8
8. Agarwal A. Fundus Fluorescein and Indocyanine Green Angiography. Thorofare :
SLACK Inc. 2008
9. Artini W, Hutauruk J A, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar Mata ed 1. Balai Penerbit
FKUI : Jakarta. 2011.

18

Anda mungkin juga menyukai