Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus

Hirschprungs disease

PEMBIMBING:
dr. Iqbal Pahlevi Adeputra Nst, Sp.BA

PENYUSUN:
Rico Gandy Sinihaji 120100388
Athan Bremana Tarigan 120100364
R. Sindhi Triagustin KM 120100026
Morna Gresella Siahaan 120100340
Delina Sekar Arum 120100144
M. Ikhsan Fadillah 120100035
Hans Andre H. Simorangkir 120100070
Rifhani Atthaya Putri 120100124
Yuli Bintang T. Sihotang 120100299
Deva Letchumy 120100537

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT RUJUKAN HAJI ADAM MALIK
DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
yang berjudul Hirschsprungs disease.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dr. Iqbal Pahlevi
Adeputra Nst, Sp.BA, selaku supervisor pembimbing dan dr. Budi Febrianto
selaku dokter pembimbing yang telah meluangkan waktu danmemberi masukan
dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya
dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga
laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................ 1


Kata Pengantar ........................................................................................... 2
Daftar Isi ...................................................................................................... 3
Bab 1 Pendahuluan ..................................................................................... 4
1.1.Latar Belakang .................................................................................... 4
Bab 2 Tinjauan Pustaka ............................................................................. 5
2.1. Anatomi Dan Fisiologi Kolon ................................................................ 5
2.2. Definisi .............................................................................................. 6
2.3. Patofisiologi ....................................................................................... 6
2.4. Manifestasi Klinis .............................................................................. 7
2.5. Diagnosis ........................................................................................... 10
2.6. Tatalaksana ........................................................................................ 12
2.7. Komplikasi......................................................................................... 14
2.8. Prognosis ........................................................................................... 15
Bab 3 Status Pasien ..................................................................................... 16
3.1.Status Orang Sakit .............................................................................. 17
Bab 4 Diskusi dan Pembahasan ................................................................. 20
Bab 5 Kesimpulan ....................................................................................... 24
Daftar Pustaka ............................................................................................. 25

3
BAB I

PENDAHULUAN

Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak


dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. sembilan puluh
persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh
kolon bahkan seluruh usus (Total Colonic Aganglionois (TCA)).1 Tidak
adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik
sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi
yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal.2
Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh
Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan
adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital
pada tahun 1886. Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui
secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan
bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh
gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion.2,3,4
Pada tahun 1888 Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal
dengan perut gembung oleh kolon yang sangat melebar dan penuh massa
feses. Penyakit ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan
yang tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus.
Pada penyakit ini pleksus mienterikus tidak ada, sehingga bagian usus yang
bersangkutan tidak dapat mengembang.2
HD terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi penyakit
Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta
dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien
penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta.5

4
Penyakit ini sekitar 90% didiagnosa saat bayi lahir dan jarang terjadi pada bayi
prematur. Risiko tertinggi terjadinya HD biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga HD dan pada pasien penderita Down Syndrome.2,5
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko terjadinya HD. dan
lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan
4:1.3,6,7Hirschsprung disease lebih sering diturunkan oleh ibu aganglionosis dibanding
oleh ayah.2

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit hirschprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion di


pleksus myenterikus (auerbachs) dan submukosa (meissners).1

2.2 Insidensi

Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi


terjadinya Penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga Penyakit hirschprung dan pada pasien penderita Down Syndrome.1,4
Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis atau colon
transversum pada 17% kasus.1
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko terjadinya
penyakit hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5 sampai
17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih tinggi pada
anak perempuan. Penyakit hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh
ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien
mengalami aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu
laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena
yang kebanyakan mengalami long segment aganglionosis.2

2.3 Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu
tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.
a) Ketiadaan sel-sel ganglion
Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus
myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis
untuk Hirschsprungs disease. Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa
hal ini disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest

6
vagal servikal dari esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan.
Teori terbaru mengajukan bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun gagal
unutk berkembang menjadi ganglia dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka
mengalami hambatan sewaktu bermigrasi atau mengalami kerusakan karena
elemen-elemen didalam lingkungn mikro dalam dinding usus. Faktor-faktor
yang dapat mengganggu migrasi, proliferasi, differensiasi, dan kolonisasi dari
sel-sel ini mingkin terletak pada genetik, immunologis, vascular, atau
mekanisme lainnya.1,2,6,10

b) Mutasi pada RET Proto-oncogene


Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11.2,
telah ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprungs disease segmen
panjang dan familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada
tingkat molekular yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan diferensiasi
ganglia enterik. Gen lainnya yang rentan untuk Hirschsprungs disease adalah
endothelin-B receptor gene (EDNRB) yang berlokasi pada kromososm 13q22.
sinyal darigen ini diperlukan untuk perkembangan dan pematangan sel-sel
neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi pada gen ini paling sering
ditemukan pada penyakit non-familial dan short-segment. Endothelian-3 gene
baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang rentan juga. Defek dari mutasi
genetik ini adalah mengganggu atau menghambat pensinyalan yang penting
untuk perklembangan normal dari sistem saraf enterik. Mutasi pada proto-
oncogene RET adalah diwariskan dengan pola dominan autosom dengan 50-
70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus familial dan pada
hanya 15-20% kasus spordis. Mutasi pada gen EDNRB diwariskan dengan
pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang
sporadis.7

c) Kelainan dalam lingkungan


Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi
sel-sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan
bermakna dari antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah

7
terbukti terdapat pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan
Hirschsprungs disease, namun tidak ditemukan pada usus dengan ganglionik
normal pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme autoimun pada
perkembangan penyakit ini.6,7

d) Matriks Protein Ekstraseluler


Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan
pergerkan dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan
kolagen tipe IV yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus
aganglionik. Perubahan dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat
mencegah migrasi sel-sel normal neural crest dan memiliki peranan dalam
etiologi dari Hirschsprungs disease.6,7

2.4 Anatomi dan Fisiologi Usus Besar

Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5


kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani, diameter usus
besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar
6,5 cm), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Usus besar dibagi
menjadi sekum, kolon dan rectum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan
apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menepati sekitar dua atau tiga
inci pertama dari usus besar. Katup ilosekal mengontrol aliran kimus dari ileum
ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens,
dan sigmoid. Tempat di mana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada
abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatica dan
fleksura lienalis.8

8
Gambar 1. Letak anatomis usus besar di rongga abdomen

Kolon sigmoid mulai setinggi Krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan
berbentuk-S. lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid
bersatu membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rectum, yang
menjelaskan alasan anatomis meletakkan penderita pada sisi kiri bila diberi
enema. Pada posisi ini, gaya berat membantu mengalirkan air dari rectum ke
fleksura sigmoid. Bagian utama usus besar yang terakhir dinamakan rectum dan
terbentang dari kolon sigmoid sampai anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu
inci terakhir dari rectum dinamakan kanalis ani dan dilindungi oleh sfinter ani
eksternus dan internus. Panjang rectum dan kanalis ani sekitar (5,9 inci (15 cm).8
Usus besar memiliki empat lapis morfologik seperti juga bagian usus
lainnya. Akan tetapi, ada beberapa gambaran yang khs pada usus besar saja.
Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga
pita yang dinamakan taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal, dengan
demikian rectum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang
tenia lebih pendek daripada usus, hal ini menyebabkan usus tertarik dan terkerut
membenutuk kantong-kantong kecil yang dinamakan haustra. Pendises eipploika
adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat di
sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan

9
mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kriptus Lieberkuhn
(kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet
daripada usus halus.8

Gambar 2. (a) Struktur makroskopis usus besar (b) perdarahan usus besar

Usus besar secara klinis dibagi menjadi belah kiri dan kanan sejalan dengan
suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior memperdarahi belahan
bagian kanan (sekum, kolon asendens dan dupertiga proksimal kolon
transversum), dan arteria mesenterika inferior memperdarahi belahan kiri
(sepertiga distal kolon transversum, kolon transversum, kolon desendens dan
sigmoid, dan bagian proksimal rectum). Suplai darah tambahan untuk rectum
adalah melalui arteri sakralis media dan artera hemoroidalis inferior dan media
yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis.8
Aliran balik vena dari kolon dan rectum superior melalui vena mesenterika
superior dan inferior dan vena hemoroidalis superior, yaitu bagian dari system
portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemoroidalis media dan inferior
mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik.
Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media dan inferior,
sehingga peningkatan tekanan portal dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam
vena-vena ini dan mengakibatkan hemoroid.8

10
Persarafan usus besar dilakukan oleh system saraf otonom dengan
perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah control voluntar. Serabut
parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum,
dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sacral mensuplai bagian distal.
Serabut simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf splangnikus untuk
mencapai kolon. Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan
kontraksi, serta perangsangan sfingter rectum, sedangkan perangsangan
parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Sistem syaraf autonomik
intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus : (1) Pleksus Auerbach : terletak diantara
lapisan otot sirkuler dan longitudinal, (2) Pleksus Henle : terletak disepanjang
batas dalam otot sirkuler, (3) Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa. Pada
penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus
tersebut.8

Gambar 3. Persarafan Sistem Pencernaa

11
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi, sedangkan
1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian
ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proximal;
dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur
pasase isi rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas,
medial dan depan.8,9

Gambar 4. Strutur Anatomis Rektum

Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis
(N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf
parasimpatis (N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersarafi oleh N. sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sphincter
ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot
rektum.8,9

12
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh N. N. splanknikus (parasimpatis).
Akibatnya kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N.
splanknikus pelvik (saraf parasimpatis).8

2.5. Patogenesis

Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon dan
sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang
abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian
yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik
selalu terdapat dibagian distal rectum.2
Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive dan
abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang
disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus
besar.3

Gambar 5. Gambaran segmen aganglion pada Morbus Hirschprung

Hipoganglionosis 3

Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area


hipoganglionosis. Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi.
Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10
kali dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari jumlah normal.
Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus berkurang 50% dari normal.

13
Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang colon namun ada pula
yang mengenai seluruh colon.

Imaturitas dari sel ganglion 3

Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki
sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase.
Sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwanns dan sel saraf
lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi
succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah pada minggu pertama
kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh reaksi SDH yang
memerlukan waktu pematangan penuh selama 2 sampai 4 tahun. Hipogenesis
adalah hubungan antara imaturitas dan hipoganglionosis.

Kerusakan sel ganglion 3

Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari


vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah infeksi
Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi kronis
seperti Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran darah
yang inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through
secara Swenson, Duhamel, atau Soave.

Tipe Hirschsprungs Disease:


Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang terkena.
Tipe Hirschsprung disease meliputi:4,8
Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil
dari rectum.
Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari
colon.
Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.
Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum
dan kadang sebagian usus kecil.

14
Gambar 6. Tipe Hirschsprung Disease berdasarkan seberapa banyak
colon yang terkena
2.6 Diagnosis

Diagnosis HD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penujang:2,3,10,11

2.6.1 Anamnesis

Gambaran klinis yang dapat kita temukan pada HD dapat kita bedakan
berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat:

1) Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran
mekonium yang terlambat (>24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan.
Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus,
sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk

15
waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat
berkurang jika mekonium dapat dikeluarkan segera. Hal lain yang harus diperhatikan
adalah jika didapatkan periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare
yang masif kita harus mencurigai adanya enterokolitis karena enterokolitis merupakan
ancaman komplikasi yang serius bagi penyakit ini, yang dapat menyerang pada usia
kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai
pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feses berbau busuk
dan disertai demam.
2) Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di
dinding abdomen. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam
beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.

2.6.2. Gejala klinik

Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama
kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis.
Tidak keluarnya mekonium pada 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda
yang signifikan mengarah pada diagnosis ini. Pada beberapa bayi yang baru lahir
dapat timbul diare yang menunjukkan adanya enterocolitis.2
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami
kesulitan makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi.
Penyakit hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain seperti adanya
periode obstipasi, distensi abdomen, demam, hematochezia dan peritonitis.2
Kebanyakan anak-anak dengan hirschsprung datang karena obstruksi
intestinal atau konstipasi berat selama periode neonatus. Gejala kardinalnya
yaitu gagalnya pasase mekonium pada 24 jam pertama kehidupan, distensi
abdomen dan muntah. Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara
pasien dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala
obstruksi intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan pada
minggu atau bulan pertama kehidupan.3
Beberapa mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola
makan, perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan
padat. Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena adanya riwayat

16
konstipasi, kembung berat dan perut seperti tong, massa faeses multipel dan
sering dengan enterocolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala
dapat hilang namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen. Pada
pemeriksaan colok dubur sphincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya
kosong.3

17
Gambar 7. Gambaran klinis pasien dengan Hirschsprung Disease

Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan penyakit hirschsprung yang


berumur kurang dari 3 bulan. Harus dipikirkan pada gejala enterocolitis dimana
merupakan komplikasi serius dari aganglionosis. Bagaimanapun hubungan
antara penyakit hirschsprung dan enterocolitis masih belum dimengerti.
Dimana beberapa ahli berpendapat bahwa gejala diare sendiri adalah
enterocolitis ringan. 3
Enterocolitis terjadi pada 12-58% pada pasien dengan penyakit
hirschsprung. Hal ini karena stasis feses menyebabkan iskemia mukosal dan
invasi bakteri juga translokasi. Disertai perubahan komponen musin dan
pertahanan mukosa, perubahan sel neuroendokrin, meningkatnya aktivitas
prostaglandin E1 , infeksi oleh Clostridium difficile atau Rotavirus.
Patogenesisnya masih belum jelas dan beberapa pasien masih bergejala
walaupun telah dilakukan colostomy. Enterocolitis yang berat dapat berupa
toxic megacolon yang mengancam jiwa. Yang ditandai dengan demam, muntah
berisi empedu, diare yang menyemprot, distensi abdominal, dehidrasi dan

18
syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik pada mukosa yang berganglion dapat
mengakibatkan sepsis dan perforasi. Hal ini harus dipertimbangkan pada semua
anak dengan enterocolisis necrotican. Perforasi spontan terjadi pada 3% pasien
dengan penyakit hirschsprung. Ada hubungan erat antara panjang colon yang
aganglion dengan perforasi. 3

2.6.3. Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi, tampak perut kembung atau membuncit di seluruh lapang pandang.
Apabila keadaan sudah lanjut, akan terlihat pergerakan usus pada dinding abdomen. Saat
dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising usus melemah atau jarang. Untuk
menentukan diagnosis HD dapat pula dilakukan pemeriksaan rectal touche dapat dirasakan
ampula rekti akan teraba kosong karena massa fekal tidak dapat melalui segmen aganglionik
akibat spasme, sfingter anal yang kaku dan sempit dan saat jari ditarik terdapat explosive
stool (feses biasanya keluar menyemprot) dengan konsistensi semi-liquid dan berbau
busuk.1,4,6,10

2.6.4. Pemeriksaan penunjang

Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan pemeriksaan:2,6,8,10,11,12,13


1. Barium enema. Pada pasien penyakit hirschprung spasme pada distal
rectum memberikan gambaran seperti kaliber/peluru kecil jika
dibandingkan colon sigmoid yang proksimal. Identifikasi zona transisi
dapat membantu diagnosis penyakit hirschprung. 1
Segmen aganglion biasanya berukuran normal tapi bagian proksimal usus
yang mempunyai ganglion mengalami distensi sehingga pada gambaran
radiologis terlihat zona transisi. Dilatasi bagian proksimal usus
memerlukan waktu, mungkin dilatasi yang terjadi ditemukan pada bayi
yang baru lahir. Radiologis konvensional menunjukkan berbagai macam
stadium distensi usus kecil dan besar. Ada beberapa tanda dari penyakit
Hirschsprung yang dapat ditemukan pada pemeriksaan barium enema,

19
yang paling penting adalah zona transisi. Posisi pemeriksaan dari lateral
sangat penting untuk melihat dilatasi dari rektum secara lebih optimal.
Retensi dari barium pada 24 jam dan disertai distensi dari kolon ada tanda
yang penting tapi tidak spesifik. Enterokolitis pada Hirschsprung dapat
didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan adanya
kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem,
spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat
jelas dengan barium enema. Nilai prediksi biopsi 100% penting pada
penyakit Hirschsprung jika sel ganglion ada. Tidak adanya sel ganglion,
perlu dipikirkan ada teknik yang tidak benar dan dilakukan biopsi yang
lebih tebal.

20
Gambar 8. Gambaran
Radiologis Morbus
Hirschprung

Diagnosis radiologi sangat sulit untuk tipe aganglionik yang long segmen,
sering seluruh colon. Tidak ada zona transisi pada sebagian besar kasus
dan kolon mungkin terlihat normal/dari semula pendek/mungkin
mikrokolon. Yang paling mungkin berkembang dari hari hingga minggu.
Pada neonatus dengan gejala ileus obstruksi yang tidak dapat dijelaska.
Biopsi rectal sebaiknya dilakukan. Penyakit hirschsprung harus dipikirkan
pada semua neonates dengan berbagai bentuk perforasi spontan dari usus
besar/kecil atau semua anak kecil dengan appendicitis selama 1 tahun. 6
2. Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit
hirschsprung, gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sphincter
ani interna ketika rectum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini
adalah dapat segera dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena
tidak dilakukan anestesi umum. Metode ini lebih sering dilakukan pada
pasien yang lebih besar dibandingkan pada neonatus. 1
3. Biopsy rectal merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit
1,4
hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan
morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy
rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil 2 cm diatas linea

21
dentate dan juga mengambil sample yang normal jadi dari yang normal
ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya harus
menggunakan anestesi umum karena contoh yang diambil pada mukosa
rectal lebih tebal. 1

Gambar 9. Lokasi pengambilan


sampel biopsi pada Morbus Hirschprung

2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan dengan


obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:7,8,10
Obstruksi mekanik
Meconium ileus
o Simple
o Complicated (with meconium cyst or peritonitis)
Meconium plug syndrome
Neonatal small left colon syndrome
Malrotation with volvulus
Incarcerated hernia

22
Jejunoileal atresia
Colonic atresia
Intestinal duplication
Intussusception
NEC

Obstruksi fungsional
Sepsis
Intracranial hemorrhage
Hypothyroidism
Maternal drug ingestion or addiction
Adrenal hemorrhage
Hypermagnesemia
Hypokalemia

2.8 Tatalaksana
2.8.1 Preoperatif7,8

a. Diet
Pada periode preoperatif, neonatus dengan HD terutama menderita gizi buruk
disebabkan buruknya pemberian makanan dan keadaan kesehatan yang
disebabkan oleh obstuksi gastrointestinal. Sebagian besar memerlukan
resulsitasi cairan dan nutrisi parenteral. Meskipun demikian bayi dengan HD
yang didiagnosis melalui suction rectal biopsy danpat diberikan larutan
rehidrasi oral sebanyak 15 mL/ kg tiap 3 jam selama dilatasi rectal
preoperative dan irigasi rectal.
b. Teapi Farmakologi
Terapi farmakologik pada bayi dan anak-anak dengan HD dimaksudkan untuk
mempersiapkan usus atau untuk terapi komplikasinya. Untuk mempersiapkan
usus adalah dengan dekompresi rectum dan kolon melalui serangkaian
pemeriksaan dan pemasangan irigasi tuba rectal dalam 24-48 jam sebelum

23
pembedahan. Antibiotik oral dan intravena diberikan dalam beberapa jam
sebelum pembedahan.

2.8.2 Operatif2,7,8,12,13

Tindakan operatif tergantung pada jenis segmen yang terkena.


a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah
berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal.
Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan
mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya.
Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat
dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada
penderita penyakit Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan
dilakukan anastomosis.

Gambar 10. Teknik pembedahan pada Hirschprung Disease

b. Tindakan Bedah Definitif


1. Prosedur Swenson
Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan
operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada
penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah

24
rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan
meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah
meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca
operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh
sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan
melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2
cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior.

Gambar 11. Teknik pembedahan pada Hirschprung Disease

Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen,


melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga
dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum,
kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke
dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik
terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian

25
kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan
pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian
anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan
anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos
tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-
muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum
pelvik/ abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum
abdomen ditutup (Kartono,1993; Swenson dkk,1990).
2. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi
kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur
ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui
bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior
rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to
side Fonkalsrud dkk,1997). Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan
pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan
apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi
prosedur Duhamel diantaranya:
a) Modifikasi Grob (1959) : Anastomosis dengan pemasangan 2 buah
klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah
inkontinensia;
b) Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian
stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang;
c) Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;
d) Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal
dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak
langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong
kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem

26
dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih
dititikberatkan pada fungsi hemostasis.

Gambar 12. Teknik pembedahan dengan prosedur Duhamel

3. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun
1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi.
Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah
definitive Penyakit Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur Soave ini
adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik
terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum
yang telah dikupas tersebut.
4. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan
anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level
otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan
1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi,
sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.

27
2.8.3 Post Operatif

Pada awal periode post operatif sesudah PERPT (Primary Endorectal


pull-through), pemberian makanan peroral dimulai sedangkan pada bentuk
short segmen, tipikal, dan long segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih
dahulu dan beberapa bulan kemudian baru dilakukan operasi definitif dengan
metode Pull Though Soave, Duhamel maupun Swenson. Apabila keadaan
memungkinkan, dapat dilakukan Pull Though satu tahap tanpa kolostomi
sesegera mungkin untuk memfasilitasi adaptasi usus dan penyembuhan
anastomosis. Pemberian makanan rata-rata dimulai pada hari kedua sesudah
operasi dan pemberian nutisi enteral secara penuh dimulai pada pertengahan
hari ke empat pada pasien yang sering muntah pada pemberian makanan.
Intolerasi protein dapat terjadi selama periode ini dan memerlukan perubahan
formula. ASI tidak dikurangi atau dihentikan.8

2.9 Komplikasi

Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post


operatif, konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, hasil jangka panjang dengan menggunakan 3 prosedur sebanding
dan secara umum berhasil dengan baik bila ditangani oleh tangan yang ahli.
Ketiga prosedur ini juga dapat dilakukan pada aganglionik kolon total dimana
ileum digunakan sebagai segmen yang di pull-through. 4
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya
berhasil baik, walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga
konstipasi adalah gejala tersering pada pascaoperasi. 2

2.10 Prognosis

Terdapat perbedaan hasil yang didapatkan pada pasien setelah melalui


proses perbaikan penyakit Hirschsprung secara definitive. Beberapa peneliti
melaporkan tingkat kepuasan tinggi, sementara yang lain melaporkan kejadian
yang signifikan dalam konstipasi dan inkontinensia. Belum ada penelitian

28
prospektif yang membandingkan antara masing-masing jenis
operasi yang dilakukan. Kurang lebih 1% dari pasien dengan
penyakit Hirschsprung membutuhkan kolostomi permanen untuk
memperbaiki inkontinensia. Umumnya, dalam 10 tahun follow up
lebih dari 90% pasien yang mendapat tindakan pembedahan
mengalami penyembuhan. Kematian akibat komplikasi dari
tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.7,8

29
BAB 3
STATUS PASIEN

3.1. STATUS ORANG SAKIT


Identitias Pasien
Nama : Nanda Surasih
No. RM : 71.00.09
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 25/10/2010
Usia : 6 tahun 11 bulan 15 hari
Alamat : Dolok Merawan, Deli Serdang
Agama : Islam
Suku :-
Status Pernikahan : Belum Menikah
Pendidikan Terakhir : -
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Tinggi Badan : 120 cm
Berat Badan : 12 kg
Tanggal Masuk RS : 9 Oktober 2017

Anamnesis
Keluhan Utama : Susah Buang Air Besar
Telaah : Hal ini telah dialami oleh pasien sejak 3 minggu
sebelum masuk rumah sakit, dengan perut semakin lama
semakin membesar sejak 7 hari ini. Awalnya BAB sedikit-
sedikit, lama kelamaan tidak bisa BAB bila tidak
menggunakan obat-obatan. BAB berdarah (-). Demam tidak
dijumpai, riwayat demam sebelumnya (-), mual dijumpai,
muntah dijumpai sesekali, muntah berupa makanan yang
dimakan pasien. Pasien pernah dirawat di RSU Herna
Tebing Tinggi dengan diagnosa susp. Hirschsprung

30
disease, kemudian pasien dirujuk ke RSUP HAM untuk
penanganan lebih lanjut.
Riw. Kehamilan : Usia Ibu saat hamil pasien 25 tahun, saat hamil ibu pasien
tidak menderita demam, DM dan hipertensi. Pasien
merupakan anak ke 2.
Riw. Tumbuh Kembang: Saat ini pasien hanya bisa merangkak dan belum bisa
berjalan. Pasien hanya bisa mengoceh tidak jelas
Riw. Kelahiran : Pasien lahir secara normal, cukup bulan, lahir segera
menangis, BBL 3200 kg. Menurut nenek pasien, meconium
pasien keluar 1 hari setelah pasien lahir.
RPT : Pasien merupakan pasien rujukan dari RSU Herna Tebing
Tinggi dengan diagnosa susp. Hirschsprung disease.
Status Presens
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan darah : - mmHg
Frekuensi nadi : 145 x/menit
Frekuensi nafas : 34 x/menit
Suhu : 37.1oC

Status Generalisata
Kepala
Mata : konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-),sklera ikterik (-/-)
refleks cahaya (+/+), pupil isokor 3 mm/ 3 mm
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Tenggorokan : dalam batas normal
Mulut : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Thorax
Paru : Inspeksi : simetris fusiformis, retraksi tidak dijumpai
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru

31
Auskultasi : suara pernafasan vesikuler (+/+), suara
tambahan (-/-)
Jantung : frekuensi jantung 145 x/i, reguler tanpa murmur
Abdomen : Inspeksi : simetris, distensi (+)
Palpasi : sulit dinilai, defans muscular (+)
Perkusi : timpani
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Genitalia : laki-laki, sesuai status lokalisata
Ekstremitas : Atas : oedem (-), sianosis (-)
Bawah : oedem (-), sianosis (-)

Status Lokalisata
Regio Abdomen
Inspeksi : distensi (+)
Palpasi : soepel (+)
Perkusi : timpani
Auskultasi : peristaltik (+) normal
DRE (Digital Rectal Examination): perineum normal, tonus sphincter ani ketat,
mukosa licin, ketika dilepas jarinya, feses berbentuk seperti kacang menyembur
(+) . Sarung tangan feses (+), lendir (-), darah (-)

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (26/09/2017)
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 10,5 1318 g/dl
Eritrosit (RBC) 3,77 x106 (4,5 6,5) x106/l
Leukosit (WBC) 7.560 4.00011.000 /l
Hematokrit 32 3647
Trombosit (PLT) 514 x103 150450 x103

32
GINJAL
Ureum 11 mg/dL 18 55 mg/dL
Kreatinin 0,45 mg/dL 0,7 1,3 mg/dL
Blood Urea Nitrogen 5 mg/dL 8 26 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 142 mEq/L 135155 mEq/L
Kalium (K) 3,4 mEq/L 3,65,5 mEq/L
Klorida (Cl) 109 mEq/L 96106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa darah (sewaktu) 99 mg/Dl <200

Foto Thoraks AP

Kesan : Tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo

33
Colon in Loop

Tampak penyempitan pada daerah rektum dan dibagian proximal tampak dilatasi

Kesan : Hirschprung pada daerah rektum

34
Diagnosis
Hirschprung Disease

Penatalaksanaan
IVFD D5% NaCl 0,225% 10cc/jam

Rencana
1. Konsul Bedah Anak

35
BAB 4
FOLLOW UP

Tanggal Subjective Objective Assessment Plan


10/10/17 BAB (-) Sensorium : Hirschsprung IVFD
CM Disease NaCl 0,9%
HD Stabil 20
Abdomen gtt/menit
Inspeksi :
Distensi (+) Rencana
Palpasi : sulit Colostomy
dinilai, 11/10/17
defans
muscular (+)
Perkusi :
Beda (+)
Auskultasi :
Peristaltik (+)

11/10/17 Nyeri Sensorium : Hirschsprung IVFD RL


pasca CM Disease post 20gtt/i
operasi (+) HD Stabil Colostomy Inj
Abdomen Cefotaxim
Inspeksi : 500 mg/ 12
Distensi (-) jam
Palpasi : Inj
soepel, Paracetamo
peristaltik (+) l 300 mg/ 8
Stoma viabel jam
Perkusi : Inj
Timpani (+) Ranitidin
Auskultasi : 25 mg/ 12
peristalktik jam
(+) Aff
Catheter
Diet M1
12/10/17 Nyeri Sensorium : Hirschsprung IVFD RL
pasca CM Disease post 20gtt/i
operasi (-) HD Stabil Colostomy Inj
Abdomen Cefotaxim
Inspeksi : 500 mg/ 12
Distensi (-) jam
Palpasi : Inj
soepel, Paracetamo

36
peristaltik (+) l 300 mg/ 8
Stoma viabel jam
Perkusi : Inj
Timpani (+) Ranitidin
Auskultasi : 25 mg/ 12
peristalktik jam
(+) GV
Diet M1
13/10/17 Nyeri Sensorium : Hirschsprung IVFD RL
pasca CM Disease post 20gtt/i
operasi (-) HD Stabil Colostomy Inj
Abdomen Cefotaxim
Inspeksi : 500 mg/ 12
Distensi (-) jam
Palpasi : Inj
soepel, Paracetamo
peristaltik (+) l 300 mg/ 8
Stoma viabel jam
Perkusi : Inj
Timpani (+) Ranitidin
Auskultasi : 25 mg/ 12
peristalktik jam
(+) GV
Diet M1

37
BAB 5
DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Teori Kasus
Penyakit Hirschsprung juga disebut Pasien merupakan anak laki laki
dengan aganglionik megakolon berumur 6 Tahun 11 bulan.
congenital adalah salah satu penyebab
paling umum dari obstruksi usus
neonatal (bayi berumur 0-28 hari).
Laporan insidensi tersebut bervariasi
sebesar 1.5 sampai 17,6% dengan 130
kali lebih tinggi pada anak laki dan 360
kali lebih tinggi pada anak perempuan
Anamnesis Anamnesis
Adapun tanda-tanda yang dapat Pasien datang dengan keluhan sulit
dilihat pada saat melakukan anamnesis buang air besar selama 3 minggu
adalah adanya keterlambatan SMRS dan perut membesar sejak 7
pengeluaran mekonium pertama yang hari ini, serta BAB yang awalnya
pada umumnya keluar > 24 jam, sedikit sedikit lalu tidak bisa BAB
muntah berwarna hijau, adanya apabila tidak menggunakan obat.
obstipasi masa neonatus. Jika terjadi
pada anak yang lebih besar obstipasi
semakin sering, perut kembung, dan
pertumbuhan terhambat. Selain itu
perlu diketahui adanya riwayat
keluarga sebelumnya yang pernah
menderita keluhan serupa, misalnya
anak laki-laki terdahulu meninggal
sebelum usia dua minggu dengan
riwayat tidak dapat defekasi.

38
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan Fisik
Pada neonatus biasa ditemukan Status Lokalisata
perut kembung karena mengalami Regio Abdomen
obstipasi. Bila dilakukan colok dubur Inspeksi : distensi (+)
maka sewaktu jari ditarik keluar maka Palpasi : soepel (+)
feses akan menyemprot keluar dalam Perkusi : timpani
jumlah yang banyak dan tampak perut Auskultasi : peristaltik (+) normal
anak sudah kembali normal. DRE (Digital Rectal Examination):
Pemeriksaan ini bertujuan untuk perineum normal, tonus sphincter ani
mengetahui bau dari feses, kotoran ketat, mukosa licin, ketika dilepas
yang menumpuk dan menyumbat pada jarinya, feses berbentuk seperti
usus bagian bawah dan akan terjadi kacang menyembur (+) . Sarung
pembusukan. tangan feses (+), lendir (-), darah (-)

39
Pemeriksaan penunjang Foto Thoraks AP
Pemeriksaan foto polos Kesan : Tidak tampak kelainan pada
abdomen dan khususnya pemeriksaan cor dan pulmo
enema barium merupakan pemeriksaan Colon in Loop
diagnostik terpenting untuk mendeteksi Kesan : Hirschprung pada daerah
penyakit Hirschsprung secara dini pada rektun
neonatus. Pada foto polos abdomen
dapat dijumpai gambaran obstruksi
usus letak rendah, meski pada bayi
masih sulit untuk membedakan usus
halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan
standar dalam menegakkan diagnosa
penyakit Hirschsprung adalah enema
barium, dimana akan dijumpai tiga
tanda khas yaitu adanya daerah
penyempitan di bagian rektum ke
proksimal yang panjangnya bervariasi,
terdapat daerah transisi, terlihat di
proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi, serta terdapat daerah
pelebaran lumen di proksimal daerah
transisi. Apabila dari foto barium
enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat
dilanjutkan dengan foto retensi barium,
yakni foto setelah 24-48 jam barium
dibiarkan membaur dengan feses.
Gambaran khasnya adalah terlihatnya
barium yang membaur dengan feses ke
arah proksimal kolon. Sedangkan pada

40
penderita yang tidak mengalami
Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat
menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan
Penatalaksanaan komplikasi IVFD D5% NaCl 0,225% 10cc/jam
diarahkan pada penyeimbangan cairan
dan elektrolit, menghindari distensi
berlebihan, dan mengatasi komplikasi
sistemik, seperti sepsis. Maka dari itu,
hydrasi intravena, dekompressi
nasogastrik, dan jika diindikasikan,
pemberian antibiotik intravena
memiliki peranan utama dalam
penatalaksanaan medis awal.
Pembersihan kolon, yaitu dengan
melakukan irigasi dengan rectal tube
berlubang besar dan cairan untuk
irigasi. Cairan untuk mencegah
terjadinya ketidakseimbangan
elektrolit. Irigasi colon secara rutin dan
terapi antibiotik prophylaksis telah
menjadi prosedur untuk mengurangi
resiko terjadinya enterocolitis.
Penanganan operatif
a. Tindakan bedah Sementara Pada pasien ini direncanakan tindakan
b. Tindakan bedah Definitif colostomy pada tanggal 11 Oktober
2017

41
BAB 5
KESIMPULAN

N, laki-laki 6 tahun 11 bulan datang ke RSUP HAM dengan keluhan sulit buang
air besar, setelah dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien
didiagnosa dengan Hirschsprung Disease, diberi tatalaksana IVFD D5% Nacl
0,225% 10cc/jam dan dirujuk ke Bedah Anak untuk tatalaksana lebih lanjut dan
telah dilakukan Colostomy pada tanggal 11 Oktober 2017.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Norton JA, Barrie PS, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, et al.
Chapter 36 Pediatric Surgery in Surgery Basic Science and Clinical Evidence.
2nd Ed. New York: Springer;2008.p.672-3.
2. Warner BW. Chapter 70 Pediatric Surgery in Townsend Sabistontextbook of
Surgery. 17thed. Philadelphia: Elsevier-Saunders.;2004.p.2113-4.
3. Holschneider A, Ure B.M. Chapter 34 HD in: Ashcraft Pediatric Surgery. 3rd ed.
Philadelphia: Saunders Company;2000.p. 453-68.
4. Hassan R, Alatas H, editor. Buku kuliah Ilmu Kesehatan anak. Edisi ke-1.
Jakarta: FKUI; 1985.p.205-7.
5. Hackam DJ, Newman K, Ford HR. Chapter 38 Pediatric Surgery in: Schwartzs
Principles of Surgery. 8th ed. NewYork: McGraw-Hill; 2005.p.1496-8.
6. Trisnawan IP, Darmajaya IM. Metode Diagnosis Penyakit Hischsprung.
Denpasar: FK Unud.p.1-15
7. Lee SL. HD Treatment and Management. [serial online];[cited 2014 March
08]:[10 screens]. Available from
URL: http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview#showall
8. Irwan B. pengamatan fungsi anorektal pada penderita HD pasca operasi Pull-
Through. Medan: FK USU;2003.
9. Hansen TJ, Koeppen BM. Chapter 35 Digestive Sistem In NettersAtlas of
Humans Anatomy. New York: McGraw-Hill; 2006.p.617-40.
10. Kartono D. HD pada Neonatus. Dalam: Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta:
FKUI;2010.p.141-3.
11. World Health Organization. Buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Jakarta: WHO Indonesia;2009.p.279
12. Ziegler MM, Azizkhan RG, Weber TR. Chapter 56 HD In: Operative Pediatric
Surgery. New York: McGraw-Hill;2003.p.617-40.
13. Leonidas JC, Singh SP, Slovis TL. Chapter 4 Congenital Anomalies of The
Gastrointestinal Tract In: Caffeys Pediatric Diagnostic Imaging 10 th edition.
Philadelphia: Elsevier-Mosby;2004.p.148-153.7.

43

Anda mungkin juga menyukai