Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Oleh :

Atika Najla, S.Ked


NIM: 140611040

Preseptor :

dr. Elli Kusmayati, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus yang
berjudul “Sindrome Nefrotik”. Penyusunan laporan kasus ini dimaksudkan
untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Penyakit Dalam di
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terima kasih kepada


berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini, terutama
kepada dr. Elli Kusmayati, Sp.A selaku preseptor yang telah membimbing
penulis dan saya juga mengucapkan terima kasih kepada pihak lain yang telah
membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih


ditemui banyak kekurangan , baik isi maupun format penyusunan. Maka dari itu
saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di masa
mendatang. Akhir kata, saya selaku penyusun berharap laporan kasus mengenai
“Sindrom Nefrotik” ini dapat bermanfaat.

Lhokseumawe, 29 Juni 2019


Penyusun

Atika Najla, S.Ked


140611040

2
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik adalah merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering

dijumpai pada anak. Dimana sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala-

gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia (< 2,5 g/dL),

edema serta hiperkolesteronemia (>200 mg/dL). Dikatakan proteinuria masif

apabila pada pemeriksaan proteinurin secara kuantitatif didapatkan ≥ 40 mg/m2

LPB/ jam atau secara kualitatif didapatkan dipstik ≥ 2+ atau protein/kreatinin pada

urin sewaktu > 2 mg/mg.1,2,3

Insiden sindrom nefrotik dipengaruhi oleh usia, ras, dan geografis.

Insidens sindroma nefrotik pada anak di Amerika Serikat dan Inggris yaitu 2

sampai 7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,dengan prevalensi berkisar 12

sampai 16 kasus per 100.000 anak. Angka ini berbeda dengan negara berkembang

yang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan kasus sindroma nefrotik

sebesar 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.2

Umumnya sindrom nefrotik disebabkan oleh adanya kelainan glomerulus

yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer dan sekunder. Istilah sindroma

nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik idiopatik, karena

penyebab terjadinya gejala yang tidak diketahui secara pasti. Selain idiopatik,

sindrom nefrotik dapat juga disebabkan oleh gangguan sistemik lain yang

menyebabkan kerusakan ginjal atau yang disebut juga dengan sindrom nefrotik

sekunder.3,4,5

3
Sekitar 80% anak dengan sindrom nefrotik idiopatik mempunyai

gambaran patologi anatomi kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi ana-

tomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial

proliferatif difus (MPD) 2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)


2,4,5
4-6%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%. Pada pengobatan

kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi total

(responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).

Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan

hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi

gagal ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai

penurunan fungsi ginjal. 1,2

4
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas

A. Identitas pasien

Nama : An. N

Tanggal lahir : 26-03-2015

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Paya Bakong

Agama : Islam

No rekam medik : 51-88-24

Tanggal masuk RS : 11 Juni 2019

B. Identitas Orang tua

Nama Ayah : Saiful Bahri

Usia : 36 tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Paya Bakong

Nama Ibu : Mariani

Usia : 32 tahun

Pekerjaan : Petani

Alamat : Paya Bakong

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Bengkak pada mata dan kaki serta perut membesar

Keluhan Tambahan: BAK keruh seperti teh

5
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :

Pasien datang ke poliklinik anak RSU Cut Meutia, diantar oleh keluarga, dengan

keluhan bengkak pada mata, kaki dan perut membesar. Awalnya pasien

merasakan bengkak pada mata sejak 1,5 bulan SMRS, kemudian keluhan bengkak

juga dirasakan pada kedua kaki, perut membesar dan semakin lama bertambah

berat. Selama bengkak, ibu penderita mengeluhkan BAK anaknya berwarna

kuning keruh seperti teh dengan jumlah yang sedikit. Keluhan BAK nyeri saat

BAK, BAK berbuih dan berdarah disangkal. Keluhan bengkak ini tidak disertai

sesak napas saat tidur dan anak masih bisa tidur dengan satu bantal. BAB dalam

batas normal

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) : Sebelumnya pasien belum pernah dirawat

dengan keluhan yang sama.

Riwayat Penyakit Keluarga: Pada keluarga tidak ada keluhan seperti ini

sebelumnya.

Riwayat Pemakaian Obat (RPO) : Ibu pasien sempat membawa pasien berobat

ke mantri dan diberikan obat namun ibu pasien lupa nama obatnya, tetapi tidak

ada perubahan, keluhan bengkak makin menjalar

Riwayat Kehamilan dan Persalinan: Riwayat sakit selama ibu pasien hamil (-)

ANC rutin di posyandu. Pasien anak kedua, lahir secara normal ditolong bidan,

lahir langsung menangis, riwayat kuning / biru setelah lahir (-). BBL ibu lupa

6
Riwayat Makan: Pasien diberikan ASI ekslusif sampai umur 6 bulan, lalu

dilanjutkan dengan pemberiaan MPASI saat usia 6 bulan dan disertai pemberian

ASI dan susu formula. Kemudian dilanjutkan nasi umur 18 bulan sampai

sekarang.

Riwayat Imunisasi: Ibu pasien mengaku pasien mendapatkan imunisasi lengkap

sesuai dengan umurnya di posyandu.

Riwayat Sosial Ekonomi: Pasien tinggal bersama orangtua nya di pedesaan dan

menggunakan BPJS untuk berobat.

2.3 Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum : Baik


o Kesadaran : Compos mentis
o Nadi : 102 x/i
o Pernapasan : 22x/i
o Suhu : 36,8o C
o Berat Badan Sekarang : 16 kg
o BB Sebelum edema : 14 kg
o Tinggi Badan : 98cm
o Lingkar Kepala : 49cm
 Status Gizi
BB/U = (BB aktual / BB baku untuk usia) x 100%
= (14/16) x 100%
= 87,5 % (Gizi Baik)
TB/U = (TB aktual / TB baku untuk usia) x 100%
= (98/101) x 100%
= 97,02 % (Normal)
BB/TB = (BB aktual / BB baku untuk TB) x 100%
= (14/15) x 100%
= 93,33 % (Gizi Baik)

7
 Status Generalis
Normosefali, edema (-), scar (-) rambut tidak mudah
Kepala
dicabut
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra
Mata
(+/+)
Telinga Normotia (+/+)
Hidung Bentuk normal, tidak ada deviasi septum
Mulut Bibir edema (-), sianosis (-)
Paru
Inspeksi: simetris, jejas (-), scar (-)
Palpasi : stem fremitus (+/+) kanan = kiri
Perkusi: sonor (+/+)
Auskultasi: vaskular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Thoraks
Jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi: Tidak ada thrill
Perkusi: Redup, batas jantung dalam batas normal
Auskultasi: BJI>BII reguler
Inspeksi : membuncit
Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, tidak ada defans
Abdomen muskuler.
Perkusi : Tympani, Shifting dullnes (+)
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas atas: edema (-/-), sianosis (-/-)
Ekstremitas
Ekstremitas bawah: edema (+/+) sianosis (-/-)

8
2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah tanggal 12/6/2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 12,9 g/dL 13-18
3
Eritrosit 3.96 jt/mm 4,5-6,5
3
Leukosit 13.52 rb/mm 4-11
Hematokrit 31.2 % 42-52
MCV 78.8 fl 79-99
MCH 32.6 pg 27-32
MCHC 41.4 g% 33-37
RDW-CV 12.0 % 11,5-14,5
3
Trombosit 472 rb/mm 150-450
LED 107 mm/jam <15
KIMIA KLINIK
Fungsi Hati
Protein Total 3.37 g/dL 6.0-8.3
Albumin 1.38 g/dL 3,2-5,2
Globulin 1.99 g/dL 2.7-3.2
Fungsi Ginjal
Ureum 40.55 mg/dL 20-40
Kreatinin 0.45 mg/dL 0,60-1,00
Asam urat 7 mgdL <6.8
Lemak
Kolesterol 781 mg/dL <200
HDL kolesterol 42 mg/dL > 45
LDL kolesterol 487 mg/dL 100-129
Trigliserida 323 mg/dL <150

Pemeriksaan Urin rutin tanggal 14/6/2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


URINE
Makroskopis Urine
Warna Urine Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Bau Khas Khas
Analisa Urine
Berat jenis 1,025 1.010-1.020
pH 6,0 4.5-7.5
Leukosit Negatif Negatif

9
Nitrit Negatif Negatif
Protein Positif 3+ Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Blood Negatif Negatif
Mikroskopis urin
Eritrosit 2-5 0-2
Leukosit 0-2 0-5
Sel epitel 5-10 0-5
Kristal Negatif Negatif
Cast Negatif Negatif
Lain-lain Negatif

Pemeriksaan Urin rutin tanggal 18/6/2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


URINE
Makroskopis Urine
Warna Urine Kuning Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
Bau Khas Khas
Analisa Urine
Berat jenis 1,025 1.010-1.020
pH 6,5 4.5-7.5
Leukosit Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein Positif 3+ Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Blood Positif 3+ Negatif
Mikroskopis urin
Eritrosit 25-50 0-2
Leukosit 5-10 0-5
Sel epitel 10-25 0-5
Kristal Negatif Negatif
Cast Negatif Negatif
Lain-lain Negatif

10
Pemeriksaan Urin rutin tanggal 21/6/2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


URINE
Makroskopis Urine
Warna Urine Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Bau Khas Khas
Analisa Urine
Berat jenis 1,015 1.010-1.020
pH 6,5 4.5-7.5
Leukosit Positif 1+ Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein Positif 2+ Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Blood Positif 2+ Negatif
Mikroskopis urin
Eritrosit 5-10 0-2
Leukosit 2-5 0-5
Sel epitel 5-10 0-5
Kristal Negatif Negatif
Cast Negatif Negatif
Lain-lain Negatif

2.5 Diagnosis

Diagnosis Banding : Sindrom Nefrotik

Sindrom Nefritik Akut/Glomerulonefritis Akut

Diagnosis Kerja : Sindrom Nefrotik

2.6 Tatalaksana Awal

- Diet rendah garam


- Three way
- Inj. Furosemid 20mg/12jam
- Captopril 2x6,25 mg

11
2.7 Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad fuctionam : dubia ad bonam

Ad sanatiam : dubia ad bonam

FOLLOW UP

Tanggal Catatan Instruksi


11/6/2019 S/ Bengkak pada mata, kaki dan Diet rendah garam
perut besar Three way
H+1 BAK seperti teh Inj. Furosemid 20mg/12jam
O/ HR : 110x/i RR : 22x/i Captopril 2x6,25 mg
T : 36.40C
BB : 16,5 kg LP : 57,9cm

12/6/2019 S/ Bengkak pada mata (+) Diet rendah garam


Bengkak kaki (+) Three way
H+2 Asites (+) Inj. Furosemid 20mg/12jam
BAK seperti teh (+) berkurang Captopril 2x6,25 mg
O/ HR : 105x/i RR : 21x/i Spironolacton 2x6,25 mg
T : 36.60C
BB : 16,3 kg LP : 57,3cm

13/6/2019 S/ Bengkak pada mata (+) Diet rendah garam


Bengkak kaki (+) berkurang Three way
Asites (+) Inj. Furosemid 20mg/12jam
H+3 Nyeri perut Captopril 2x6,25 mg
O/ HR : 100x/i RR : 20x/i Spironolacton 2x6,25 mg
T : 36.50C Metilprednisolon 4mg (2-2-1)
BB : 16,3 kg LP : 57cm Inj. Ranitidin 1/3 amp/12jam

Lab 12/6/2019
LED : 107
Albumin : 1.38
Kolesterol : 781

12
14/6/2019 S/ Bengkak pada mata (+) Diet rendah garam
Bengkak kaki (+) berkurang Three way
H+4 Asites (+) Inj. Furosemid 20mg/12jam
Captopril 2x6,25 mg
O/ HR : 105x/i RR : 20x/i Spironolacton 2x6,25 mg
T : 36.50C Metilprednisolon 4mg (2-2-1)
BB : 16,3 kg LP : 56,5cm Inj. Ranitidin 1/3 amp/12jam

Cek Urinalisis
15/6/2019 S/ Bengkak pada mata (+) Diet rendah garam
Bengkak kaki (+) berkurang Three way
H+5 Asites (+) berkurang Inj. Furosemid 20mg/12jam
Captopril 2x6,25 mg
O/ HR : 100x/i RR : 21x/i Spironolacton 2x6,25 mg
T : 36.80C Metilprednisolon 4mg (2-2-1)
BB : 16,2 kg LP : 55cm

Hasil urin tgl 14/6/2019


Protein : +3
Eritrosit : 2-5

16/6/2019 S/ Bengkak pada mata (+) Diet rendah garam


berkurang Three way
H+6 Bengkak kaki (+) berkurang Inj. Furosemid 20mg/12jam
Asites (+)berkurang Captopril 2x6,25 mg
Spironolacton 2x6,25 mg
O/ HR : 104x/i RR : 20x/i Metilprednisolon 4mg (2-2-1)
0
T : 36.7 C
BB : 16 kg LP : 52cm

17/6/2019 S/ Bengkak pada mata (+) Diet rendah garam


berkurang Three way
H+7 Bengkak kaki (+) berkurang Inj. Furosemid 20mg/12jam
Asites (+) berkurang Captopril 2x6,25 mg
Spironolacton 2x6,25 mg
O/ HR : 100x/i RR : 21x/i Metilprednisolon 4mg (2-2-1)
0
T : 37.0 C
BB : 15,7 kg LP : 51cm Cek Urinalisis

13
18/6/2019 S/ Bengkak pada mata (+) Diet rendah garam
berkurang Three way
H+8 Bengkak kaki (+) berkurang Inj. Furosemid 20mg/12jam
Asites (+) berkurang Captopril 2x6,25 mg
Spironolacton 2x6,25 mg
O/ HR : 110x/i RR : 21x/i Metilprednisolon 4mg (2-2-1)
0
T : 36.6 C
BB : 15,4kg LP : 51cm Menunggu hasil urinalisis

19/6/2019 S/ Bengkak pada mata (-) Diet rendah garam


Bengkak kaki (-) Three way
Asites (-) Inj. Furosemid 20mg/12jam
H+9 Captopril 2x6,25 mg
O/ HR : 98x/i RR : 20x/i Spironolacton 2x6,25 mg
T : 36.90C Metilprednisolon 4mg (2-2-1)
BB : 15 kg LP : 50cm Erytromicine syr 3x1 cth

Hasil urin tgl 18/6/2019


Keruh
Protein : +3
Blood : +3
Eritrosit : 25-50
Leukosit : 5-10
Sel epitel : 10-25

20/6/2019 S/ Bengkak pada mata (-) Diet rendah garam


Bengkak kaki (-) Three way
Asites (-) Captopril 2x6,25 mg
H+10 Spironolacton 2x6,25 mg
O/ HR : 102x/i RR : 20x/i Metilprednisolon 4mg (2-2-1)
T : 36.80C Erytromicine syr 3x1 cth
BB : 15 kg LP : 50cm
Cek urinalisis
21/6/2019 S/ Bengkak pada mata (-) Diet rendah garam
Bengkak kaki (-) Three way
Asites (-) Captopril 2x6,25 mg
H+11 Spironolacton 2x6,25 mg
O/ HR : 105x/i RR : 22x/i Metilprednisolon 4mg (2-2-1)
T : 37.10C Erytromicine syr 3x1 cth
BB : 15 kg LP : 50cm Menunggu hasil urinalisis

14
22/6/2019 S/ Bengkak pada mata (-) Pasien dipulangkan
Bengkak kaki (-)
Asites (-) Captopril 2x6,25 mg
H+12 Spironolacton 2x6,25 mg
O/ HR : 110x/i RR : 23x/i Metilprednisolon 4mg (2-2-1)
T : 36.90C Erytromicine syr 3x1 cth
BB : 15 kg LP : 50cm

Hasil urin tgl 21/6/2019


Protein : +2
Leukosit : +1
Blood : +2
Eritrosit : 5-10
Leukosit : 2-5

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi

Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari

proteinuria massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine

sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), edema, dan

dapat disertai hiperkolestrerolemia (> 200 mg/dL).2

Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik, antara

lain :

1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4 mg/m2

LBP/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.

2. Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m2 LBP/jam) selama 3

hari berturut-turut dalam 1 minggu.

3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan

pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun

pengamatan.

4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥2 kali dalam 6 bulan

pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.

5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid

diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal

ini terjadi 2 kali berturut-turut.

6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada

pengobatan prednisone dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4

minggu.

16
3.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik pada anak dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih

banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8 tahun.4,6 Pada anak-anak yang onsetnya

dibawah usia 8 tahun, ratio antara anak laki-laki dan perempuan bervariasi dari 2 :

1 hingga 3 : 2. Pada anak yang lebih tua, remaja dan dewasa, prevalensi antara

laki-laki dan perempuan kira-kira sama. Data dari International Study of Kidney

Disease in Children (ISKDC) menunjukkan bahwa 66% pasien dengan minimal

change nephrotic syndrome (MCNS) dan focal segmental glomerulosclerosis

(FSGS) adalah laki-laki dan untuk membranoproliferative glomerulonephritis

(MPGN) 65 % nya adalah perempuan.2

Sekitar 80% anak dengan sindrom nefrotik idiopatik mempunyai

gambaran patologi anatomi kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi ana-

tomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial

proliferatif difus (MPD) 2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)


2,4,5
4-6%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%. Pada pengobatan

kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi total

(responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).1,2

3.3 Etiologi

a. Sindrom nefrotik primer/idiopatik

Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh

karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus

itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada

anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik

17
kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu

lahir atau usia di bawah 1 tahun.1,7

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer

dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney

Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui

pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan

pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi.

Klasifikasi Kelainan Glomerulus pada Sindrom Nefrotik Primer

Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan

pemeriksaan mikroskop biasa dan elektron, Churg dkk. membagi dalam 4

golongan yaitu8 :

1. Kelainan minimal

Dengan mikroskop biasa glomerulus nampak normal, sedangkan dengan

mikroskop elektron tampak foot processus sel epitel berpadu. Golongan ini

lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa. Prognosis lebih baik

dibandingkan dengan golongan lain.8

18
2. Nefropati membranosa

Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar

tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis kurang

baik.8

3. Glomerulonefritis proliferatif

Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.

Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.

Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan

streptococcus yang berjalan progresif.8

4. Glomerulosklerosis fokal segmental

Pada anak-anak, 85-90% kasus sindrom nefrotik adalah idiopatik dan

sensitif terhadap steroid, sehingga respon terhadap prednisolon sangat baik.

Pada biopsi ginjal akan didapatkan gambaran histologis dengan kelainan

minimal.8

b. Sindrom nefrotik sekunder

Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari

berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang

sering dijumpai adalah :

1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,


sindrom Alport, miksedema.
2. Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute
Bacterial Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.

19
3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion,
probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa
ular.
4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik,
purpura Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
5. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia, tumor
gastrointestinal.
6. Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome

3.4 Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah

proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan

ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus

yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilangnya muatan negatif

glikoprotein dalam dinding kapiler.Akibatnya fungsi mekanisme penghalang yang

dimiliki oleh membran basal glomerulus untuk mencegah kebocoran atau lolosnya

protein terganggu. Mekanisme penghalang tersebut berkerja berdasarkan ukuran

molekul dan muatan listrik. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas

campuran albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam

tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerulus dan akhirnya

diekskresikan dalam urin.5

Pada sindrom nefrotik, protein hilang lebih dari 2 g/kgbb/hari yang

terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia. Pada

umumnya, edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl.

Mekanisme edema belum diketahui secara fisiologis tetapi kemungkinan edema

terjadi karena penurunan tekanan onkotik atau osmotik intravaskuler yang

20
memungkinkan cairan menembus ke ruangan interstisial, hal ini disebabkan oleh

karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan ke ruang interstisial menyebabkan

edema yang diakibatkan pergeseran cairan.9,10

Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah

arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga

mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan

menurunnya tekanan perfusi aliran darah ke ginjal. Hal ini dideteksi lalu

mengaktifkan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS) yang akan

meningkatkan vasokonstriksi dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada

reseptor volume intravaskular yang akan merangsang peningkatan aldosteron

yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus distal dan merangsang pelepasan

hormon antidiuretik yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus.

Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma

berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema.5,4,9

Stimulasi renin angiotensin, aktivasi aldosteron dan hormon antidiuretik

akan mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol,

trigliserid, dan lipoprotein serum meningkat. Hal ini terjadi akibat penurunan

albumin serum dan penurunan tekanan onkotik yang akhirnya merangsang sel

hati untuk membentuk lipoprotein lipid atau lipogenesis.1,10

21
3.5 Manifesrasi Klinis

1. Edema

Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinis utama adalah edema,

yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema

muncul secara lambat sehingga orangtua mengira anak bertambah gemuk. Pada

fase awal sembab sering bersifat intermiten, biasanya awalnya tampak pada

daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah

periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya edema menjadi menyeluruh dan masif

(anasarka).

22
Edema berpindah dengan perubahan posisi. Edema pada wajah sewaktu

bangun tidur, dan menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya.

Edema bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting oedema),

menyeluruh, dan dependen. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka.

Akibat edema kulit, anak tampak lebih pucat. Edema biasanya tampak lebih hebat

pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut

disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien

SNKM.

2. Proteinuria

Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria masif yaitu lebih dari

40mg/m2 luas permukaan tubuh/jam atau > 50 mg/kg berat badan/24 jam,biasanya

berkisar antara 1–10 gram perhari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein

yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe lain.

3. Hipoalbumin dan Hiperlipidemia

Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum <

2,5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan

umumnya berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol

LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar

lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.

Pasien sindrom nefrotik idiopatik mengalami hiperkolesterolemia, dimana

kolesterol serum lebih dari 200 mg/dl.

23
4. Hematuria

Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik,

namun tidak dapat dijadikan pertanda untuk membedakan berbagai tipe

sindrom nefrotik. Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada

saat awal penyakit.Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan

kreatini serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik dari

tipe histologik yang bukan SNKM.

5. Hipertensi

Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian

International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30%

pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil

umur.

6. Gangguan Gastrointestinal

Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan

sembab mukosa usus.Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang

meningkat, atau edema atau keduanya.Pada beberapa pasien, nyeri perut yang

kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh

karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati.Nafsu makan menurun

karena edema.Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi

berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid.Asites berat dapat

menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.

24
7. Gangguan Pernapasan

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak,

maka pernapasan sering terganggu, bahkan dapat menjadi gawat.Keadaan ini

dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik. Anak-anak dengan

asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea.

8. Gangguan Psikososial

Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada

penyakit berat dan kronis umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap

anak yang sedang berkembang dan keluarganya.Kecemasan dan merasa bersalah

merupakan respon emosional, tidak saja pada orangtua pasien, namun juga

dialami oleh anak sendiri.Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu

sering dan lama menyebabkan dunia sosial anak menjadi terganggu.

3.6 Penegakan Diagnosis


a. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak

mata,perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang

berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin keruh dan berwarna

kemerahan.

b. Pemeriksaan fisis

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di

kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia.

Kadang-kadang ditemukan hipertensi.

25
c. Pemeriksaaan penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :


 Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan albumin secara kualitatif +2
sampai +4. Secara kuantitatif > 50 mg/kgBB/hari ( diperiksa memakai
reagen ESBACH ). Pada sedimen ditemukan oval fat bodies yakni epitel
sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit,
leukosit, toraks hialin dan toraks eritrosit.2,3,4,5
 Pada pemeriksaan darah didapatkan protein total menurun (N:6,2-8,1
gm/100ml), albumin menurun (N: 4-5,8 gm/100ml), α1 globulin normal
(N: 0,1-0,3 gm/100ml), α2 globulin meninggi (N:0,4-1 gm/100ml), β
globulin normal (N: 0,5-09 gm/100ml), γ globulin normal (N:0,3-1
gm/100ml), rasio albumin/globulin <1 (N:3/2), komplemen C3
normal/rendah (N:80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin dan klirens
kreatinin normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal, hiperkolesterolemia,
dan laju endap darah yang meningkat. 2,3,4
 Foto Thorax PA dan LDK dilakukan bila ada sindrom gangguan nafas
untuk mencari penyebabnya apakah pneumonia atau edema paru akut.2
 Pemeriksaan histologik yaitu biopsy ginjal. Namun biopsy ginjal secara
perkutan atau pembedahan bersifat invasive, maka biopsy ginjal hanya
dilakukan atas indikasi tertentu dan bila orang tua dan anak setuju.
Indikasi biopsi ginjal :
- Sindrom Nefrotik dengan hematuri nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan
ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
- Sindrom Nefrotik resisten steroid
- Sindrom Nefrotik dependen steroid
3.7 Diagnosis Banding
1. Edema non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal.
2. Glomerulonefritis akut
3. Lupus sistemik eritematosus

26
3.8 Tatalaksana
a. Diet

Pada dekade lalu, sindrom nefrotik ditatalaksana dengan diit tinggi protein

untuk mengatasi hipoalbuminemia, namun tidak ada bukti yang menyebutkan

asupan tinggi protein dapat memperbaiki kadar albumin.11 Diet tinggi protein

tidak dianjurkan lagi, bahkan merupakan indikasi kontra karena akan menambah

beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein pada saat filtrasi

(hiperfiltrasi), yang menyebabkan sklerosis glomerulus. Sedangkan jika diberikan

diet rendah protein akan, pasien akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan

menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet protein

normal sesuai dengan recommended daily allowances yaitu 1,5-2g/KgBB/hari.

Selain itu, dapat juga diberi diet rendah garam (1-2g/hari) tetapi hanya diperlukan

selama anak menderita edema.2,8,12

b. Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama edema berat. Biasanya diberikan

furosemid 1-3 mg/KgBB/hari, bila perlu kombinasi dengan spironolakton 2-4


2,12,13
mg/KgBB/hari. Penambahan amilorid atau mineralocorticoid-receptor-

antagonist (spironolakton) terhadap pemberian loop diuretic dapat meminimaliser

hipokalemia.14

Jika pemberian diuretik tidak berhasil, maka dapat deberikan infus

albumin 20-25% dengan dosis 1 g/KgBB selama 2-4 jam untuk menarik cairan

dari interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid IV 1-2 mg/KgBB.2,10,8

27
Algoritma pemberian diuretik

c. Pemberian obat non-imnunosupresif

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor

blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja

kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan

tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga

mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth

factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya

merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.

Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,

berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai

risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam

kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan

hasil penurunan proteinuria lebih banyak. Proteinuria diturunkan hingga minimal

28
kurang dari proteinuria nefrotik, misalnya <2 g/1,73 m2/hari atau rasio

protein/kreatinin < 0,2 g/mmol dan meningkatkan albumin darah >3,0 g/dL.
2,11,14,15

Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:2,14

 Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5

mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal

 Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

d. Pengobatan dengan kortikosteroid2


1. Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa

kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison

60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis

terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat

badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose)

inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,

dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)

atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan

pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,

pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.2

29
Pengobatan inisial kortikosteroid

2. Pengobatan sindrom nefrotik relaps


Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa

edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya

infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan

bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps.

Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps

dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.2

Pengobatan SN relaps

3. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid2

Keterangan : Relaps sering: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu) kemudian dilajutkan dengan prednison intermittent atau

30
alternating (AD) 40mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral,
dosis tunggal selama 8 minggu

Keterangan : Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB
diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison intermittent atau
alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison
ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5
mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

Atau
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian
dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 12 minggu
dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian
prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan
0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

31
4. Pengobatan SN Resistensi steroid

Keterangan :
 Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan
 Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid
oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1
bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan).
Atau
 Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus
satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan
pasien.
 • Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).

32
3.9 Komplikasi

1. Infeksi

Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering adalah selulitis dan

peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemen

faktor B dan D di urin. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh

kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan

penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu

sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari.2 Bila terjadi penyulit infeksi

bacterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis, selulitis, sepsis, ISK)

diberikan antibiotic yang sesuai dan dapat disertai pemberian immunoglobulin G

intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.11

Pemakaian imunosupresan menambah resiko terjadinya infeksi virus seperti

campak, herpes. Untuk itu pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak

dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imu-

noglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak

memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena

(400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena

(1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80

mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari dan pengobatan steroid sebaiknya

dihentikan sementara.1,2

2. Trombosis

Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti

defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat

33
trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis

telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin

secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih.

Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak

dianjurkan.2,11

3. Hiperlipidemia

Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar

kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan

kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan

trombogenik. Pada sindrom nefrotik sensitive steroid, karena peningkatan zat-zat

tersebut sementara, cukup dengan pengurangan diit lemak.2,12

4. Hipokalsemia

Terjadi hipokalsemia karena :

 Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan

osteopenia

 Kebocoran metabolit vitamin D

Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom nefrotik

resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 500mg/hari dan

vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas

50mg/kgBB intravena.2,14

34
5. Hipovolemia

Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom nefrotik relaps

dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,

ekstremitas dingin dan sering disertai sakit perut.

Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal

ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan

penanganan keadaan ini pada umumnya. Pasien harus segera diberi infus NaCl

fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan

disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10

tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria,

diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.2,11

35
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien anak N, perempuan, usia 4 tahun datang ke poli anak RSU Cut

Meutia dengan keluhan bengkak pada mata dan kaki serta perut yang membesar

sejak ± 1,5 bulan SMRS. Selama bengkak, ibu penderita mengeluhkan BAK

anaknya berwarna kuning keruh seperti teh dengan jumlah yang sedikit. Keluhan

bengkak ini tidak disertai sesak napas saat tidur dan anak masih bisa tidur dengan

satu bantal. BAB dalam batas normal. Dari anamesis didapatkan bahwa pasien

belum pernah mengalami penyakit seperti sekarang ini dan di keluarga pasien pun

tidak ada yang mengalami penyakit seperti ini. Sebelum berobat ke poli anak RSU

Cut Meutia, menurut ibu pasien sempat berobat ke mantri dan keluhannya tidak

berkurang. Untuk obat yang diberikan oleh mantri ibu tidak mengetahui nama

obat tersebut secara pasti

Dari pemeriksaan vital sign didapatkan pasien dengan kesadaran penuh

dengan nadi dalam batas normal 102x/i, frekuensi napas normal 22x/i, suhu badan

normal 36,8⁰C. Dari pemeriksaan fisik didapatkan edema palpebra pada kedua

mata, Sedangkan hasil pemeriksaan thoraks dalam batas normal. Pada

pemeriksaan abdomen, tampak perut anak berbentuk cembung, auskultasi bising

usus kesan normal, dan ditemukan shifting dullness pada pemeriksaan perkusi

abdomen yang menunjukkan adanya asites. Selain itu, pada ekstremitas kedua

tangan dan kedua kaki anak didapatkan edema pitting. Sehingga dari hasil

pemeriksaan fisik ini didapatkan edema anasarka. Dari pemeriksaan laboratorium

didapatkan kadar albumin yang rendah yaitu 1,3gr/dL, protein urin positif 3+,

hiperkolestronemia 781 mg/dL.

36
Berdasarkan data-data tersebut, terdapat beberapa masalah yang

ditemukan pada pasien anak N, yaitu edema anasarka, asites, hipoalbuminemia,

proteinuria masif, hiperkolesterolemia serta hasil anamnesa yang cukup berarti

bahwa pasien belum pernah mengalami sakit seperti ini. Dari beberapa daftar

masalah tersebut, dapat ditentukan assessment pasien yaitu sindrom nefrotik.

Sindoma nefrotik adalah suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri

dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta sembab.

Proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg

berat badan/ hari atau >40mg/m2LPB/ jam atau dipstik ≥ 2+. Albumin dalam

darah biasanya menurun hingga <2,5 gram/dl. Serta dapat disertai

hiperkolesterolemia > 200 mg/dL. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-

kadang juga dijumpai hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.

Pada pasien diberikan terapi diet rendah garam, three way, furosemid

200mg/12 jam IV, captopril 2x6,25mg, spironolacton 2x6,25mg dan

metilprednisolon 4mg (2-2-1)

Pada pasien ini diberikan furosemid untuk meristriksi cairan selama

adanya edema. Dan pemberian furosemid pada pasien ini juga dikombinasikan

dengan spironolacton dimana fungsinya untuk meminimaliser hipokalemia pada

pemberian furosemid. Captopril digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara

kerja obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan

tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus.

Pasien mendapat pengobatan kortikosteroid sesuai dengan panduan

pengobatan sindrom nefrotik, yaitu diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau

37
2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi

remisi. Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila

terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua

dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara

alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Rachmadi, D. Buku Ajar Nefrologi Anak. (Badan Penerbit Ikatan Dokter

Anak Indonesia, (2017).

2. Partini, T. P., Alatas, H., Tambunan, T. & Pardede, S. O. Konsensus

Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. (Badan Penerbit Ikatan

Dokter Anak Indonesia, (2012).

3. Eddy, A. A. & Symons, J. M. Nephrotic syndrome in childhood. Lancet

362, 629–639 (2003).

4. Cohen, E. P. Nephrotic Syndrome. Medscape (2018). Available at:

https://emedicine.medscape.com/article/244631-overview. (Accessed: 23rd

June 2018)

5. Downie, M. L., Gallibois, C., Parekh, R. S. & Noone, D. G. Nephrotic

Syndrome in Infants and Children: Pathophysiology and Management.

Pediatr. Int. Child Heal. 37, 248–258 (2017).

6. Bernward, G. et al. Nephrotic syndrome in the first year of life: twothirds

of cases are caused by mutations in 4 genes(nphs1, nphs2, wt1, and lamb2).

Pediatrics 4, (2007).

7. Noer, M. S. Kompendium Nefrologi Anak. (Badan Penerbit Ikatan Dokter

Anak Indonesia, (2011).

8. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Sindrom Nefrotik. in Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 832–

835 (Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

39
Indonesia, (2007).

9. Siddall, E. & Radhakrishnan, J. The Pathophysiology of Edema Formation

in The Nephrotic Syndrome. Kidney Int 82, 635–642 (2012).

10. Cadnapaphornchai, M. A. & Tkachenko, O. The nephrotic syndrome :

pathogenesis and treatment of edema formation and secondary

complications. Pediatr. Nephrol. 29, 1159–1167 (2014).

11. Pardede, S. O. & Pardede, S. O. Tata Laksana Non Imunosupresan

Sindrom Nefrotik pada Anak. 18, 53–62 (2017).

12. Arsita, E. Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Sindroma Nefrotik. J.

Kedokt. Meditek 23, 73–82 (2017).

13. Pediatri, S., Pediatri, S. & Albar, H. Tata laksana Sindrom Nefrotik

Kelainan Minimal pada Anak. Sari Pediactric 8, 60–68 (2006).

14. McCaffrey, J., Lennon, R. & Webb, N. McCaffrey J, Lennon R, Webb

NJA. The non-immunosuppressive management of childhood nephrotic

syndrome. Pediatr Nephrol 1, (2016).

15. Prabu, O. G. & Shatri, H. Penggunaan ACE -Inhibitor untuk Mengurangi

Proteinuria pada Sindrom Nefrotik. eJKI 3, (2015).

40

Anda mungkin juga menyukai