BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1. Memahami etiologi, patofisiologi dan tatalaksana Guillain Barre Syndrome.
2. Memahami perbedaan antara Guillain Barre Syndrome dan Myasthenia Gravis.
3. Memahami kegawatdaruratan dan tatalaksana ICU pada pasien Guillain Barre
Syndrome.
4. Meningkatkan kemampuan menulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
5. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan kepaniteraan klinik senior (KKS) di
departemen anestesi dan terapi intensif fakultas kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
1.3 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai Guillain Barre Syndromeserta kegawatdaruratan dan tatalaksana ICU.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1 Definisi
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom, maupun susunan saraf pusat.1
2.2 Etiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada Guillain Barre Syndrome
(GBS) disebabkan karena hilangnya myelin, material yang membungkus saraf.
Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan
penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali.
GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa
saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (AIDP).1,2
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini
belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh
penyakit autoimun.2,3
Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan
oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus,
cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV.1,5,8 Selain virus, penyakit ini juga
didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni
pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta, Salmonella, Legionella
dan , Mycobacterium Tuberculosa.1,5 Vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella,
dan hepatitis B; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen
dan sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester ketiga; pembedahan dan
anestesi epidural.8,12 Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 4 minggu sebelum
timbul GBS.8
2.3 Patofisiologi
Infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri.5 Antigen
tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses
4
2.4 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4 2,0 per
100.000 penduduk.7 GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko
terjadinya adalah sama di seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya
adalah di Cina, dimana predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter
jejuni, cenderung terjadi pada musim panas. GBS dapat terjadi pada semua orang
tanpa membedakan usia maupun ras. Menurut CDC pada tahun 2012 Orang
berumur 50 tahun keatas merupakan golongan paling tinggi risikonya untuk
mengalami GBS. Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 1,9 per
100.000 penduduk. Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS
merupakan penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.4,7 Angka
kematian berkisar antara 5 10 %. Penyebab kematian tersering adalah gagal
jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada penderita GBS. Antara 5
10 % sembuh dengan cacat yang permanen. 7
2.5 Gejala klinis
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah gangguan di mana sistem
kekebalan tubuh menyerang bagian dari sistem saraf perifer. Gejala pertama dari
5
gangguan ini meliputi berbagai tingkat kelemahan atau rasa kesemutan di kaki.
Kebanyakan kasus, kelemahan dan abnormal sensasi menyebar ke lengan dan
tubuh bagian atas. Gejala ini dapat meningkatkan intensitas sampai otot-otot
tertentu tidak dapat digunakan sama sekali dan, bila berat, pasien hampir lumpuh
sepenuhnya. Walaubagaimanapun kebanyakan pasien sembuh dari Guillain Barre
Sindrom yang parah, meskipun beberapa terus memiliki tingkat kelemahan
tertentu dan walaupun sembuh secara fungsional, pada umumnya EMG masih
menunjukkan kelainan.2,3, 5
Manifestasi klinisnya yaitu sebelum kelumpuhan timbul, terdapat
anamnesis yang khas, yaitu infeksi traktus respiratorius bagian atas dan infeksi
saluran pencernaan. Di antara masa tersebut, dan mulai timbulnya kelumpuhan,
terdapat masa bebas gejala penyakit yang berkisar antara beberapa hari sampai
beberapa (3-4) minggu. Kelumpuhan timbul pada keempat anggota gerak dan
pada umumnya bermula dibagian distal tungkai dan kemudian melanda otot-otot
tungkai proksimal. Kemudian kelumpuhan meluas ke bagian tubuh atas, terutama
ke otot-otot kedua lengan, bahkan leher dan wajah serta otot-otot penelan dan
bulbar yang lain. Maka dari itu sindrom ini juga dikenal sebagai paralisis
asendens. 4,9
Kerusakan pada radiks ventralis dan dorsalis yang reversible dan
menyeluruh dapat terjadi. Kerusakan itu merupakan perwujudan reaksi
imunopatologik. Walaupun segenap radiks (ventralis/dorsalis) terkena, namun
yang berada di intumesensia servikalis dan lumbosakralis paling berat mengalami
kerusakan. Keadaan patologik itu dikenal sebagai poliradikulopatia atau
polyneuritis post infeksiosa.5
Keterlibatan radiks dorsalis dapat diketahui oleh adanya paresthesia di
daerah yang dilanda kelumpuhan asendens itu. Mula terasanya dan perluasannya
ke atasnya berjalan seiring dengan perjalanan kelumpuhan asendens. Pada tahap
permulaan, gangguan miksi dan defekasi dapat juga menjadi ciri penyakit
tersebut.2,4,5,7
Ada lima subtipe khas GBS yang diklasifikasikan yaitu 7,9
a. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
1. Antibody mediated autoimmune disorder.
6
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik
1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
2. Kelemahan yang sifatnya asimetri
3. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
4. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
5. Gejala sensoris yang nyata
2.9 Penatalaksanaan
9
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan
terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi
gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki
prognosisnya.4,10 Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk
terus dilakukan observasi tanda tanda vital.1 Ventilator harus disiapkan disamping
pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam
waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti
hipertensi dan vasoaktif juga harus disiapkan.1,4 Pasien dengan progresivitas yang
lambat dapat hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa.1
Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat-obatan berupa
steroid.1,6 Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak
memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak memperpendek lamanya penyakit,
mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.4,9 Plasma
exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa
dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Plasmaparesis atau plasma exchange
bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Waktu yang
paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya
gejala. Regimen standard terdiri dari 5 sesi (40 50 ml/kgBB) dengan saline dan
albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik
berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE.1,4,12 Intravenous inffusion of
human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang
ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat
katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri
sehingga T cells patologis tidak terbentuk.1, 3
Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan
dosis 0,4 g/kg BB/hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg
tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan
PE atau IVIg.1,3,4,7 Heparin dosis rendah dapat diberikan unutk mencegah
terjadinya trombosis.4,8 Penatalaksanaan rehabilitasi penderita GBS harus dimulai
sejak awal penyakit, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan
10
penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan
fisioterapi yakni pada fase progresif serta fase penyembuhan. Pada fase progresif
yang penting diperhatikan adalah bagaimana mempertahankan kondisi pasien,
sehingga tidak terjadi komplikasi. Penting diperhatikan semua aspek medis dan
rehabilitasi pada fase ini, karena pada fase ini, umumnya kondisi pasien akan terus
menurun.4,5,8
Pada fase penyembuhan, prinsip rehabilitasi ditujukan terutama pada
peningkatan kekuatan dan optimalisasi kondisi pasien. Prinsip rehabilitasi pada
fase ini terutama ditujukan pada masalah muskuloskeletal dan kardiopulmoner.
Tujuan utama dari rehabilitasi pada penderita GBS secara keseluruhan adalah
untuk mengoptimalisasi kemampuan fungsional penderita. Diperkirakan bahwa
sekitar 40% dari pasien yang dirawat inap dengan GBS membutuhkan rehabilitasi
rawat inap. Sayangnya, belum ada penelitian rehabilitasi jangka panjang hasil
yang telah dilakukan, dan pengobatan sering didasarkan pada pengalaman dengan
kondisi neurologis lainnya. Tujuan dari program terapi adalah untuk mengurangi
defisit fungsional dan untuk menargetkan gangguan dan cacat akibat GBS. Pada
awal fase akut penyakit saja, pasien mungkin tidak dapat berpartisipasi penuh
dalam program terapi aktif. Pada tahap itu, pasien manfaat dari berbagai harian
gerak (ROM) latihan dan posisi yang tepat untuk mencegah pemendekan otot dan
kontraktur sendi. 4, 8
Terapi bicara ini ditujukan untuk meningkatkan keterampilan berbicara
dan menelan aman bagi pasien yang memiliki kelemahan orofaringeal signifikan
dengan disfagia resultan dan dysarthria. Pada pasien ventilator dependent, strategi
komunikasi alternatif mungkin juga perlu diterapkan. Setelah dilepaskan dari
ventilator, pasien dengan tracheostomies bisa belajar menyuarakan strategi dan
akhirnya bisa dilepaskan dari tabung trakeostomi. Skrining kognitif juga dapat
dilakukan conjointly dengan neuropsikologi untuk menilai defisit, karena masalah
kognitif telah dilaporkan pada beberapa pasien dengan GBS, terutama setelah
mereka memiliki masa tinggal diperpanjang di unit perawatan intensif (ICU). 4, 8
Kegawatdaruratan GBS10
11
2.10 Komplikasi
12
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi.3
2.11 Prognosis
Sembilan puluh lima persen pasien dengan GBS dapat bertahan hidup
dengan 75 % diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti
dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien.1,9
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian, pada 5 % pasien, yang
disebabkan oleh gagal napas dan aritmia.2,3 Gejala yang terjadinya biasanya hilang
3 minggu setelah gejala pertama kali timbul.3% pasien dengan GBS dapat
mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. PE
dapat mengurangi kemungkinan terjadinya relapsing inflammatory
polyneuropathy.9
13
BAB 3
STATUS PASIEN
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
Telaah : Hal ini dialami os 4 hari yang lalu, dialami secara
perlahan-lahan dan memberat dalam 1 hari terakhir.
Awalnya, 1 minggu yang lalu os mengeluhkan
kelemahan pada tungkai sebelah kiri yang disusul oleh
tungkai sebelah kanan 1 hari berikutnya. Kelemahan
yang dialami os menjalar ke kedua tangan 1 hari yang
lalu diikuti oleh kesulitan bernafas. Riwayat trauma (-).
Riwayat demam (+) sejak 5 hari yang lalu. Riwayat
mencret (-). Riwayat sakit kepala (-). Riwayat kejang
(-).Riwayat mual dan muntah (-). Riwayat keluhan
yang sama sebelumnya (-). Riwayat Hipertensi (+)
sejak 2 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur.
Riwayat Diabetes Melitus (-). Riwayat stroke (-).
Pasien merupakan rujukan dari RS Herna.
B (Breathing) Inspeksi:
Nafas spontan namun usaha nafas besar,
simetris fusiformis, pergerakan toraks
kanan=kiri, ketinggalan bernafas (-), retraksi (-
), luka(-), jejas (-), SpO2: 98%,
Palpasi:
Fremitus suara sulit dinilai
Perkusi:
Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi:
15
3.6. Penatalaksanaan
Bed rest dengan head up 30o
Pasang monitor untuk memantau status hemodinamik pasien
Memasang IV line dengan abocath ukuran 16G dan threeway serta
pastikan lancar
O2 8 L/i via non-rebreathing mask
IVFD RSol20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam/iv
Inj. Methylprednisolone 125 mg/8 jam/ iv
Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam /iv
Inj. Paracetamol 1 g/12 jam/iv
METABOLISME KARBOHIDRAT
KGD ad random 145 mg/dL < 200 mg/dL
GINJAL
BUN 19 mg/dL 7 19 mg/dL
Ureum 41 mg/ dL 15 40 mg/dL
Kreatinin 0,68 mg/dL 0,6 1,1 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 148 mEq/L 135 155 mEq/L
3.7.3. EKG
Hasil : SR, QRS: 130x/i, RAD, Gel. P (+)N, QRS durasi 0,06, ST-T
changes (-), LVH (-), RVH (-), VES (-)
Kesimpulan : Sinus takikardia + RAD
20
3.8. Diagnosis
21
3.9. Rencana
Stabilisasi hemodinamik pasien di IGD
2Pengecekan ulang definitive airway pada pasien di IGD
Konsul untuk dirawat di ruang ICU
3.10. Follow Up
21 30 Agustus 2017 (Anastesi)
S -
O Airway clear terinstubasi dengan MOV SIMV 10 PS 12 TU 420 FrO2
40% SpO2 98% SP: vesikuler (+/+), ST: (-/-)
TD: 130/80 mmHg, HR: 110x/i reguler t/v: kuat/cukup, akral H/M/K,
CRT < 2
Sens: sopor, pupil isokor
UOP (+)
Abdomen soepel, peristalktik (+)N
Edema (-), fraktur (-)
A Sopor + Tetraparese ec. GBS
P Bed rest + Head up 30
Diet SV 1800 kkal
IVFD RSol 20 gtt/i
IVFD Parasetamol 1 gr/12jam
Inj. Metilprednisolon 125 mg/12 jam/IV tapering off (28/8/2017)
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
Inj. Morfin 10 mg + midazolam 15 mg dalam 50 cc NaCl 0,9% 2cc/jam
(28/8/2017) stop (30/8/2017)
Inj. Fentanyl 200 mg + dalam 50 cc NaCl 0,9% 4cc/jam (30/8/2017)
22
BAB 4
DISKUSI KASUS
Teori Kasus
Epidemiologi Epidemiologi
GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa Pada kasus pasien TG laki-laki
membedakan usia maupun ras. Orang berumur 50 tahun berumur 59 tahun
keatas merupakan golongan paling tinggi risikonya
untuk mengalami GBS. (CDC, 2012).
Gejala Klinis Gejala Klinis pada pasien ini:
o Gejala Klinis Kelemahan 4 anggota
Kriteria diagnostik GBS menurut The National gerak
Institute of Neurological and Communicative Disorders and Kelemahan diawali dari
Stroke (NINCDS) ekstremitas bawah
Gejala utama kemudian diikuti dengan
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu kelemahan ekstremitas
atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai bagian atas dengan
sampai ke 4
Penatalaksanaan Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh Bed rest dengan head up 30o
sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomatik. Pasang monitor untuk
Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh memantau status
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup hemodinamik pasien
lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi Memasang IV line dengan
sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan abocath ukuran 16G dan
terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan threeway serta pastikan
mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas lancar
(imunoterapi). O2 8 L/i via non-
Observasi tanda tanda vital. Ventilator harus rebreathing mask
disiapkan disamping pasien sebab paralisa yang terjadi IVFD R-Sol 20 gtt/i
dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12
jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin jam/iv
terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktive juga Inj. Methylprednisolone 125
harus disiapkan. mg/8 jam/ iv
Plasmaparesis Inj. Omeprazole 40 mg/12
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan jam /iv
dapat memperpendek lamanya paralisa dan mepercepat Inj. Paracetamol 1 g/12
terjadinya penyembuhan. Plasmaparesis atau plasma jam/iv
exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor Dilakukan pemberian terapi
autoantibodi yang beredar. Waktu yang paling efektif plasma exchange
untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah
munculnya gejala. Regimen standard terdiri dari 5 sesi
(40 50 ml/kgBB) dengan saline dan albumine sebagai
penggantinya.
Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin
(IVIg) dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang
27
BAB 5
KESIMPULAN
NS, 68 tahun datang ke RSUP Haji Adam Malik dengan kelemahan pada keempat
anggota gerak. Hal ini dialami os 3 minggu yang lalu. Awalnya kelemahan
dirasakan oleh os pada kedua anggota gerak bawah 3 minggu yang lalu, setelah
itu 1 minggu kemudian kelemahan dirasakan pada kedua anggota gerak atas. Os
juga mengeluhkan kebas-kebas pada kedua anggota gerak bawah 1 bulan yang
lalu. Nyeri (-). Riwayat trauma (-) . Riwayat DM, hipertensi (-). Riwayat penyakit
PJK dan stroke pada keluarga (-). Riwayat kelemahan anggota gerak sebelumnya
tidak dijumpai(-). Pasien diberi tatalaksana IVFD R-Sol, Amitriptilin injeksi, B
Comp 3 tablet, KSR, dan dilanjutkan dengan fisioterapi.
29
DAFTAR PUSTAKA