PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
Oleh:
Pembimbing:
PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
Disusun Oleh:
G1A222002
Sebagai Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Bedah
RSUD Raden Mattaher Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
Puji dan syukur penulis panjatkan atas penyertaan Tuhan sebab karena berkat dan
kasihNya, clinical science session yang berjudul “Penyakit Hirschsprung” ini dapat
terselesaikan. Tugas ini dibuat agar penulis dan teman – teman sesama koas periode ini
dapat memahami tentang gambaran satu penyakit pada bagian ilmu bedah anak dari
referat ini. Selain itu juga sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior
di bagian saraf RSUD Raden Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Willy Hardy Marpaung, Sp.BA selaku
pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing dalam
tugas referat ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik kedepannya. Akhir kata, semoga
tugas laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta
pengetahuan kita.
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................2
KATA PENGANTAR.......................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................................5
PENDAHULUAN.............................................................................................................5
BAB II................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................6
BAB III............................................................................................................................26
KESIMPULAN................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................27
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Muskuler
Pada individu normal, struktur otot serat lintang yang berfungsi pada kontrol
defekasi membentuk bangunan seperti cerobong. Muskulus levator merupakan bagian
paling atas dan muskulus sfingter eksternus merupakan bagian paling bawah cerobong.
Otot-otot lain yang membentuk bangunan cerobong ini yaitu muskulus ischiococcygeus,
ileococcygeus, pubococcysigeus, puborektalis dan muskulus sfingter ani internus.
Sfingter terdiri atas otot polos dan otot lurik yang membentuk saluran anal. Otot polos
sfingter interna adalah intrinsik pada dinding usus yang menempati 2/3 bagian distal
saluran anal, sebagian besar terletak distal dari garis pektinea. Sfingter eksterna
merupakan lingkaran otot memanjang mengelilingi katub anal sampai orifisium anal.
Otot ini berupa kumpulan otot-otot parasagittal yang bertemu pada ujung anterior dan
posterior anus. Bangunan otot yang terletak antara muskulus levator dan muskulus
sfingter ani eksternus membentuk serabut-serabut otot vertikal disebut "muscle complex".
Stimulasi pada muskulus levator ani akan menyebabkan kontraksi yang menarik rektum
ke depan, sedangkan stimulasi pada "muscle complex" akan mengangkat anus ke atas.
Stimulasi pada serabut otot parasagital akan menimbulkan gerakan yang searah dengan
serabutnya sehingga menyebabkan anus akan tertutup. Otot-otot dasar panggul yang
terletak pada pintu keluar rongga pelvis, dibentuk oleh otot-otot levator ani,
pubococcygeus, ileococcygeus, ischiococcygeus dan puborectalis4.
Gambar 2. Muskularisasi anorektal
Vaskularisasi
Vaskularisasi daerah sigmoid dan bagian atas rektum berasal dari arteria
mesenterika inferior dan arteria kolika sinistra sedangkan vaskularisasi rektum dan
kanalis analis berasal dari arteri hemorrhoidalis superior, media dan inferior. Arteria
hemorrhoidalis superior merupakan akhir dari arteria mesenterika inferior yang melalui
dinding posterior rektum turun sampai ke linea pektinea. Arteria hemorrhoidalis media
merupakan cabang dari arteria iliaka interna yang pada wanita berupa arteria uterina.
Arteria hemorrhoidalis inferior merupakan cabang arteria pudenda interna. Vena pada
rektum dan anus mengikuti sistem arteri. Vena hemorrhoidalis superior berasal dari
pleksus hemorrhoidalis internus, berjalan ke kranial ke dalam vena mesenterika inferior
dan melalui vena lienalis ke vena porta. Vena hemorrhoidalis media dan inferior
mengalirkan darah ke vena pudenda interna, ke vena iliaka interna untuk selanjutnya ke
vena kava inferior. Anastomosis vena hemorrhoidalis superior, media dan inferior disebut
portosistemic shuns.4
Gambar 3. Vaskularisasi kolon
Sistem saraf intestinal dapat mempengaruhi sistem efektor pada usus secara
langsung maupun secara tidak langsung lewat sel perantara yang berujud sel endokrin, sel
interstisial Cajal dan sel sistem imun seperti sel mast. Gerakan normal traktus
gastrointestinal tergantung pada sistem saraf intestinal dan sel interstitial Cajal yang
bertindak sebagai sel-sel pacemaker. Lokasi sel-sel Cajal terdapat pada lapisan
mienterikus maupun muskularis, yang berfungsi untuk motilitas usus, perkembangan
traktus gastrointestinal serta membawa Receptor Tyrosine Kinase. Pada zona aganglionik
tidak ditemukan sel Cajal sedangkan pada daerah zona transisi sel-sel ini sangat terbatas
dan pada zona ganglionik sel ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan usus normal4.
Peristaltik merupakan proses reflek lokal yang terdiri atas kontraksi otot usus di bagian
proksimal dan relaksasi di distal stimulus. Kamimura dkk., dan Bealer dkk., menyatakan
bahwa nitric oxide (NO) merupakan transmiter saraf nonadrenergik nonkolinergik dan
pada penyakit Hirschsprung, ternyata terdapat kekurangan inervasi saraf nonadrenergik
nonkolinergik pada zone aganglioniknya4
Pleksus saraf pada usus merupakan jaringan saraf yang berfungsi independen, dikenal
sebagai sistem saraf intestinal. Sistem saraf ini dihubungkan dengan sistem saraf otonom
pusat melalui saraf parasimpatis dan saraf simpatis. Sistem saraf intestinal mempengaruhi
efektor secara langsung maupun melewati sel-sel intermediate4.
.
Gerakan peristaltik merupakan reflek lokal yang terdiri dari kontraksi otot usus diatas
stimulus dan relaksasi otot usus dibawah stimulus. Pelepasan 5-HT oleh karena stimulasi
mukosa atau distensi mekanis pada lumen usus akan memicu aktifitas intrinsic afferent
neurons. Di atas stimulus, ascending cholinergic interneurons akan meneruskan
rangsangan ke excitatory motor neurons yang berisi acetylcholine (ACh) dan substansi P.
Akibatnya, terjadi kontraksi pada stratum muskularis diatas stimulus. Pada waktu yang
sama, di bawah stimulus, descending cholinergic interneurons akan mengaktifkan
inhibitory motor neurons yang berisi nitric oxyde (NO), vasoactive intestinal polypeptide
(VIP), dan ATP yang akan menyebabkan relaksasi otot polos usus. Akibat mekanisme ini
maka bolus makanan di dalam lumen usus akan terdorong ke distal4.
2.2.1 Definisi
2.2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat terjadi sekitar 1 kasus per 5400-7200 bayi baru lahir setiap
tahun. Meskipun kejadian pasti di seluruh dunia tidak diketahui, data statistik
internasional melaporkan angka kejadian PH berkisar 1 kasus per 1500-7000 bayi baru
lahir. Demografi terkait ras, jenis kelamin, dan usia berkaitan dengan kejadian Penyakit
Hirschsprung . Namun, kira-kira 3 kali lebih umum terjadi pada orang Asia-Amerika.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, dengan rasio pria-wanita
sekitar 4:1. Penyakit Hirschsprung jarang terjadi pada bayi prematur. Namun, angka
kejadian penyakit Hirschsprung didiagnosis telah semakin menurun selama abad terakhir
ini. 7
Insiden penyakit hirschsprung di Indonesia belum begitu jelas. Jika
diperkirakan angka insiden 1 diantara 5000 kelahiran hidup, maka dapat diprediksi
dengan jumlah penduduk 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per juta kelahiran, akan lahir
1400 bayi setiap tahunnya dengan penyakit hirschsprung. Di RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta, ada 20 sampai 40 penderita penyakit Hirschsprung yang dirujuk
setiap tahunnya.1
Berdasarkan data rekam medis yang diambil dari Departemen Bedah Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar didapatkan 91 pasien yang
positif penyakit Hirschsprung dari 109 pasien yang dilakukan dengan biopsi rektum
dengan insidensi jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Pada anak
dengan penyakit Hirschsprung, cenderung memiliki kualitas hidup yang rendah karena
berkaitan dengan dampak pada kesejahteraan emosional dan sosial serta adanya
penurunan aktivitas fisik2,3.
2.2.3 Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel aganglion selalu tidak
ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.5,6
a) Ketiadaan sel-sel ganglion
Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus myenteric
(Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk
Hirschsprung’s disease. Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa hal ini
disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest vagal servikal dari
esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan. Teori terbaru mengajukan
bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun gagal untuk berkembang menjadi ganglia
dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka mengalami hambatan sewaktu bermigrasi
atau mengalami kerusakan karena elemen-elemen didalam lingkungn mikro dalam
dinding usus. Faktor-faktor yang dapat mengganggu migrasi, proliferasi, differensiasi,
dan kolonisasi dari sel-sel ini mingkin terletak pada genetik, immunologis, vascular,
atau mekanisme lainnya.
b) Mutasi pada RET Proto-oncogene
Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11.2, telah
ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprung’s disease segmen panjang dan
familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat molekular
yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. Gen lainnya
yang rentan untuk Hirschsprung’s disease adalah endothelin-B receptor gene
(EDNRB) yang berlokasi pada kromososm 13q22. sinyal darigen ini diperlukan untuk
perkembangan dan pematangan sel-sel neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi
pada gen ini paling sering ditemukan pada penyakit non-familial dan short-segment.
Endothelian-3 gene baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang rentan juga. Defek
dari mutasi genetik ini adalah mengganggu atau menghambat pensinyalan yang
penting untuk perklembangan normal dari sistem saraf enterik.
Mutasi pada proto- oncogene RET adalah diwariskan dengan pola dominan
autosom dengan 50-70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus familial
dan pada hanya 15-20% kasus spordis. Mutasi pada gen EDNRB diwariskan dengan
pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang
sporadis.
c) Kelainan dalam lingkungan
Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi sel-sel
neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan bermakna dari antigen
major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah terbukti terdapat pada segmen
aganglionik dari usus pasien dengan Hirschsprung’s disease, namun tidak ditemukan
pada usus dengan ganglionik norma pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme
autoimun pada perkembangan penyakit ini.
d) Matriks Protein Ekstraseluler
Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan pergerkan
dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan kolagen tipe IV
yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus aganglionik. Perubahan
dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat mencegah migrasi sel-sel normal
neural crest dan memiliki peranan dalam etiologi dari Hirschsprung’s disease.
Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan kongenital sebagai berikut:1
1. Sindrom Down
2. Sindrom Neurocristopathy
3. Sindrom Waardenburg-Shah
4. Sindrom buta-tuli Yemenite
5. Piebaldism
6. Sindrom Goldberg-Shprintzen
7. Neoplasia endokrin multiple tipe II
8. Sindroma hypoventilasi congenital
2.2.4 Patofisiologi
a. Motilitas Kolon 4
Pada Kolon gerakan peristaltik diganti oleh gerakan haustra yang bermanfaat
untuk mengocok isi usus yang dipicu oleh gerakan otonom sel otot polos kolon. Gerakan
haustra adalah sekali dalam 30 menit.
Terdapat juga gerakan “mass movement” yang merupakan gerakan simultan
kolon ascenden dan kolon transversum yang mendorong isi kolon sepertiga sampai
seperempat panjang kolon sehingga isi kolon mencapai rectum untuk disimpan sampai
terjadi reflek defekasi.
Sirkuit reflek peristaltik terdiri atas terjadinya distensi usus dan depolarisasi sel
cajal pada otot polos yang melewati saraf kolinergik akan memicu interneuron pada
pleksus auerbach dan pleksus Meissner yang merupakan saraf nonadrenergik
nonkolinergik. Salah satu mediator yang bekerja pada interneuron ini yaitu Nitric Oxyde
yang berguna untuk relaksasi otot polos usus, sehingga jika NO tidak ada akan
menyebabkan kegagalan gerakan relaksasi pada segmen usus yang aganglionik. Jadi,
interneuron nonadrenergik nonkolinergik tidak ada maka produksi NO menjadi berurang
atau tidak ada yang menyebabkan kontraksi permanen padssegmen aganglionik kolon.
Namun karena dinding kolon bersifat elastis maka akan tetap ada gerakan tetapi tanpa
koordinasi yang menyebabkan diagnosis PH kadang terlambat.
b. Kontinensia
Kontinensia merupakan kemampuan untuk mengontrol pengeluaran isi rectum pada
waktu dan tempat yang diinginkan. Konrinensi diatur oleh mekanisme volunteer dan
involunter yang menjaga aliran secara anatomis dan fisiologis jalannya feses ke rectum
dan anus. Penghambat yang berperan adalah sudut anus dan rectum yang dihasilkan oleh
otot elevator ani bagian puborektal anterior dan superior. Perbedaan antara tekanan dan
aktivitas motorik anus, rectum dan sigmoid menyebabkan progresivitas pelepasan feses
terhambat.
c. Defekasi
Feses dan material-material sisa yang telah berada di rectum akan menyebabkan
kenaikan tekanan di dalam rongga rectum sehingga akan memacu reseptor regangan dan
mulailah reflek defekasi.
Reflek defekasi menyebabkan relaksasi sfingter interna, kontraksi pada sigmoid dan
rectum. Distensi rectum ini akan disertai kemauan sadar untuk melakukan BAB dan
apabila otot sfingter eksterna juga relaksasi maka defekasi akan terjadi.
Penundaan defekasi menyebabkan rectum secara bertahap melakukan gerakan
relaksasi dan kemauan defekasi akan menurun samai gerakan “mass movement”
berikutnya mendorong lebih banyak feses. Selama periode non aktivasi keadaan sfingter
interna dan eksterna tetap berada pada posisi kontraksi untuk menjaga kontinensi.
Sfingter ani merupaka n bagian akhir otot pendorong yang secara aktif mengeluarkan
feses atau flatus melalui anus. Dasar patofisiologi terjadinya PH adalah gangguan
propagasi gelombang propulsi usus serta gangguan atau tiadanya relaksasi sfingter ani
interna.4
d. Konstipasi
Konstipasi terjadi apabila feses menjadi keras akibat penundaan defekasi yang lama
sehingga absorbs air akan lebih banyak. Penundaan defekasi dapat disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain mengabaikan defekasi , penurunan motilitas kolon obstruksi
kolon serta gangguan reflek defekasi.
Trias klinis Hirschsprung yaitu keterlambatan pengeluaran mekonium lebih dari 24 jam
pertama, muntah hijau, dan distensi abdomen menyeluruh. Gejala akibat komplikasi
enteroolitis dapat mengikuti akibat bakteri yang tumbuh berlebihan karena iskemik
dinding kolon akibat distensi yang hebat. Pada pemeriksaan colok dubur akan terasa
daerah spastik yang apabila jari ditarik keluar maka akan keluar material feses yang
menyemprot diikuti mengecilnya distensi abdomen.4
b. Pemeriksaan penunjang
Gambar 6. Barium enema. Rektum lebih kecil dibanding kolon descendens dengan
gambaran saw-tooth pada dinding kolon. Terlihat titik transisi pada batas sigmoid-
kolon descendens.
Pemeriksaan manometri anorektal
Menggunakan hematoksilin dan pewarnaan eosin akan teridentifikasi tidak adanya sel
ganglion pada pleksus submukosa dan mienterikus dan hipertrofi saraf. Pewarnaan
imunohistokimia menggunakan antibodi neuronal calretinin dan S100 juga berguna untuk
penegakan diagnosis Hirschsprung. Pada tipe TCA mungkin tidak didapatkan adanya
penebalan batang saraf.8
2.2.7 Tatalaksana
Hingga saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat dicapai dengan
pembedahan. Tujuan umum tindakan medis antara lain untuk mengatasi manifestasi dan
komplikasi akibat Hirschsprung yang tidak atau belum teratasi dan mengelola fungsi usus
post operasi. Tujuan lainnya adalah untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
dengan pemberian resusitasi cairan jalur intravena dan meminimalisir distensi abdomen
serta mencegah perforasi dengan dekompresi pipa nasogastrik, serta pemberian
antibiotik dengan indikasi untuk pencegahan terjadinya infeksi dan sepsis7. Tindakan
bedah umumnya terdiri atas dua tahapan, yaitu pembuatan kolostomi sebagai tindakan
darurat untuk menghilangkan distensi abdomen serta mencegah komplikasi dini dan
tahap kedua dengan melakukan operasi definitif untuk membuang segmen aganglionik
dan anastomosis dengan usus ganglionik dengan bagian distal rektum.
a. Swenson
Teknik operasi ini disebut juga deep anterior resection karena dilakukan anastomosis
langsung antara rektum dengan usus yang ganglionik. Insisi laparatomi dilakukan dengan
insisi transrektal kiri. Dilakukan mobilisasi kolon dengan preservasi pembuluh darah.
c. Soave
d. Duhamel
Dilakukan laparotomi dengan insisi Pfanennsteil. Kolon sigmoid dan rektum proksimal
dimobilisasi setelah peritoneum dibuka. Kolon ganglionik ditutup dengan jahitan pursue
string dan rektum ditutup tepat di atas lipatan peritoneum, sama seperti teknik Hartmann.
Satu atau dua lapis jahitan digunakan dalam menutup rektum. Reseksi kolon ganglionik
dilakukan sedikit mungkin, reseksi dilakukan hanya pada segmen usus yang mengalami
dilatasi yang menyulitkan dalam anastomosis dengan rektum dengan diameter yang
normal. Dalam proses mobilisasi kolon diperlukan preservasi pembuluh darah untuk
memastikan segmen usus yang dipullthrough-kan tetap viabel.
Proses membuka mesorektum diperlukan untuk menyiapkan ruangan retrorektal.
Ruangan ini diciptakan dengan membuka perlahan pelvic floor diantara lamina
sakrogenitopubika. Proses ini dilakukan dengan menggunakan forcep bengkok dengan
kassa kecil dan didorong pada ruang posterior dinding kanalis analis sampai anus. Insisi
semisirkuler posterior dilakukan 1-1,5 cm di atas linea dentata. Mukosa dan sfingter
interna dibuka pada daerah retrorektal, dengan landasan forcep bengkok dan kassa.
Menggunakan kassa sebagai panduan, forcep lainnya dimasukkan melalui insisi
pada kanalis analis ke arah ruang peritoneal. Kolon proksimal ditarik menggunakan
forcep ini dan di-pullthrough-kan melalui ruang retrorektal dan inisisi pada kanalis analis.
Perlu diperhatikan torsi atau tarikan dari segmen usus ini. Setelah memastikan vitalitas
dan hemostasis, ini dilakukan anastomosis dengan jahitan interrupted antara kolon yang
di- pullthrough-kan dengan insisi pada kanalis analis. Sisi anterior dari kolon dijahit
dengan sisi atas dari insisi sehingga tercipta anastomosis kolorektal end-to-side.
Pada teknik operasi Duhamel asli, anastomosis side-to-side pada rektum anterior
yang aganglionik dan kolon posterior yang ganglionik, dilakukan dengan membuang
septum dengan dua klem Kocher, dengan menciptakan V terbalik pada apeks pouch
rektum. Posisi klem diperiksa dengan palpasi dari intraabdomen. Klem ini akan terlepas
setelah 4-10 hari. Akhir-akhir ini kebanyakan ahli bedah anak menggunakan stapler
sebagai pengganti klem Kocher.
Pascaoperasi Duhamel diharapkan fungsi pencernaan dapat berfungsi normal
karena segmen kolon yang dipullthrough-kan memiliki ganglion, sehingga memiliki
fungsi peristaltik yang normal. Pada penderita Hirschsprung, sistem sensorik pada usus
yang aganglionik tetap normal, sehingga saat rektum terisi faeses akan terjadi proses
defekasi yang normal.
e. Transanal Endorectal Pullthrough (TEPT)
Saat ini, teknik ini merupakan teknik yang paling luas dan sering digunakan oleh
para ahli bedah anak untuk operasi definitif Hirschsprung. Operasi ini dimulai dengan
melakukan insisi mukosa diatas linea dentata.
Jarak antara linea dentata dengan insisi mukosa, tergantung pada ahli bedahnya
dan ukuran anak, tetapi hal yang paling penting adalah, insisi dibuat setinggi mungkin
dari linea dentata agar tidak merusak epitel transisional. Hal ini dirasa sangat penting
untuk mencegah kehilangan sensasi defekasi, yang dapat menyebabkan anak memiliki
gangguan inkontinensia dikemudian hari.
Benang non absorbable (silk) dijahitkan di mukosa, baik sebelum dilakukan insisi
maupun setelah dilakukan insisi, untuk mencegah terjadinya traksi pada tepi mukosa
selama diseksi berlangsung.
Mukosa mulai dipisahkan dari jaringan dibawahnya sampai jarak yang bervariasi,
biasanya menggunakan kauter listrik dengan ujung jarum, dan dikombinasikan dengan
diseksi tumpul. Setelah diseksi mukosa dirasa sudah cukup panjang, otot rektum diinsisi
secara melingkar, agar dapat melanjutkan diseksi ke arah proksimal sepanjang dinding
rektum.
Hal yang perlu diingat adalah mesokolon harus dipisahkan dari kolon, untuk
menghindari cidera pada saraf pelvis dan pembuluh-pembuluh darahnya. Hal penting
lainnya, jangan sampai terjadi puntiran saat melakukan diseksi proksimal. Hal ini dapat
dicegah dengan menggunakan klem, yang dijepitkan pada bagian distal kolon yang sudah
dikeluarkan. Ketika kolon yang sudah inervasi dicapai, kolon tersebut dipotong dan
dilakukan anastomosis koloanal. Penjahitan harus diyakinkan mengenai otot yang terletak
dibawah dan sedikit mungkin mukosa.
Untuk anak-anak dengan zona transisional yang sangat proksimal, melebihi
pertengahan kolon sigmoid, biasanya tidak cukup panjang untuk diturunkan tanpa
melakukan suatu mobilisasi, paling sedikit kolon descenden dan pada beberapa kasus
bahkan sampai dengan fleksura lienalis. Hal ini dapat diatasi dengan bantuan laparoskopi
atau insisi pada umbilikus. Jika zona transisionalnya di proksimal flesura lienalis atau
lebih, biasanya perlu dilakukan pemisahan pembuluh-pembuluh darah kolika media,
membentuk suatu arkade di sepanjang tepi kolon yang akan diturunkan, sehingga panjang
yang adekuat untuk diturunkan dapat tercapai tanpa menimbulkan tegangan.
2.2.8 Prognosis
KESIMPULAN
Hingga saat ini, tindakan pembedahan adalah tatalaksana definitif untuk penyakit
Hirschsprung. Beberapa prosedur operasi yang biasa dilakukan antara lain, Swenson,
Rehbein, Soave, Duhamel, dan Transanal Endorectal Pullthrough (TEPT).
DAFTAR PUSTAKA