Anda di halaman 1dari 27

Clinical Science Session (CSS)

* Kepaniteraan Klinik Senior/G1A222002

** Pembimbing : dr. Willy Hardy Marpaung, Sp.BA

PENYAKIT HIRSCHSPRUNG

Oleh:

Meilani Cahyani Silitonga, S.Ked* G1A222002

Pembimbing:

dr. Willy Hardy Marpaung, Sp.BA**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU BEDAH RUMAH SAKIT


UMUM DAERAH RADEN MATTAHER JAMBI FAKULTAS KEDOKTERAN
DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS JAMBI
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Clinical Science Session

PENYAKIT HIRSCHSPRUNG

Disusun Oleh:

Meilani Cahyani Silitonga, S.Ked

G1A222002

Sebagai Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Bedah
RSUD Raden Mattaher Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, Oktober 2022
Pembimbing,

dr. Willy Hardy Marpaung, Sp.BA


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas penyertaan Tuhan sebab karena berkat dan
kasihNya, clinical science session yang berjudul “Penyakit Hirschsprung” ini dapat
terselesaikan. Tugas ini dibuat agar penulis dan teman – teman sesama koas periode ini
dapat memahami tentang gambaran satu penyakit pada bagian ilmu bedah anak dari
referat ini. Selain itu juga sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior
di bagian saraf RSUD Raden Mattaher Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Willy Hardy Marpaung, Sp.BA selaku
pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing dalam
tugas referat ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik kedepannya. Akhir kata, semoga
tugas laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta
pengetahuan kita.

Jambi, Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................2

KATA PENGANTAR.......................................................................................................3

BAB I.................................................................................................................................5

PENDAHULUAN.............................................................................................................5

BAB II................................................................................................................................6

TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................6

BAB III............................................................................................................................26

KESIMPULAN................................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................27
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit hirschsprung (Megakolon Kongenital) adalah suatu kelainan bawaan


berupa tidak adanya ganglion pada usus besar, mulai dari sfingter ani interna kearah
proksimal, termasuk rektum, dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus. Pasien
dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada
tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang
mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886. Namun patofisiologi terjadinya
penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan
Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan
oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. Robertson dan
Kernohan mempublikasikan penyebab penyakit hirschsprung adalah tidak dijumpai
pleksus auerbach dan pleksus meissneri pada rektum. Tidak adanya sel ganglion ini
mengakibatkan inkoordinasi gerakan peristaltik sehingga terjadi ganguan pasase usus
yang dapat merupakan suatu obstruksi usus fungsional. Obstruksi fungsional ini akan
menyebabkan hipertrofi serta dilatasi pada kolon yang lebih proksimal1.
Penyakit hirschsprung diperkirakan terjadi 1 kasus diantara 5.400- 7.200 bayi yang baru
lahir hidup di Amerika, sementara frekuensi yang tepat untuk seluruh dunia tidak
diketahui secara pasti. Angka kejadian penyakit hirschsprung secara internasional adalah
1:1.500 sampai dengan 1:7.000.1
Insiden penyakit hirschsprung di Indonesia belum begitu jelas. Jika diperkirakan
angka insiden 1 diantara 5000 kelahiran hidup, maka dapat diprediksi dengan jumlah
penduduk 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per juta kelahiran, akan lahir 1400 bayi setiap
tahunnya dengan penyakit hirschsprung. Di RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta, ada
20 sampai 40 penderita penyakit Hirschsprung yang dirujuk setiap tahunnya.1
Berdasarkan data rekam medis yang diambil dari Departemen Bedah Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar didapatkan 91 pasien yang
positif penyakit Hirschsprung dari 109 pasien yang dilakukan dengan biopsi rektum
dengan insidensi jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Pada anak
dengan penyakit Hirschsprung, cenderung memiliki kualitas hidup yang rendah karena
berkaitan dengan dampak pada kesejahteraan emosional dan sosial serta adanya
penurunan aktivitas fisik. 2,3.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kolon

Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm,


sedangkan rektum berasal dari endoderm. Dengan adanya perbedaan embriologi antara
anus dan rektum ini maka sistem vaskularisasi, persarafan serta sistim limfatika juga
berbeda. Rektum dilapisi mukosa glanduler, sedangkan kanalis analis dilapisi epitel
gepeng. Batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan adanya perubahan jenis epitel.
Kanalis analis dan kulit luar di sekitarnya kaya akan persarafan sensorik somatik yang
peka terhadap rangsang nyeri, sedang mukosa rektum mempunyai persarafan otonom
yang tidak peka terhadap rasa nyeri. Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui
sistem porta sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melaui vena
iliaka.4
Makroskopis kanalis analis terdiri atas kolumna analis, valvula analis, sinus analis, papila
analis, zona transisi garis Hilton dan kelenjar analis. Kolumna analis merupakan lipatan
vertikal selaput mukosa, sedang valvula analis merupakan lipatan melintang berbentuk
bulan sabit pada ujung bawah kolumna analis yang terdapat disepanjang linea pektinata
dan garis ini merupakan batas antara endoderm dan ektoderm4.
Gambar 1. Anatomi kolon

Sistem Muskuler

Pada individu normal, struktur otot serat lintang yang berfungsi pada kontrol
defekasi membentuk bangunan seperti cerobong. Muskulus levator merupakan bagian
paling atas dan muskulus sfingter eksternus merupakan bagian paling bawah cerobong.
Otot-otot lain yang membentuk bangunan cerobong ini yaitu muskulus ischiococcygeus,
ileococcygeus, pubococcysigeus, puborektalis dan muskulus sfingter ani internus.
Sfingter terdiri atas otot polos dan otot lurik yang membentuk saluran anal. Otot polos
sfingter interna adalah intrinsik pada dinding usus yang menempati 2/3 bagian distal
saluran anal, sebagian besar terletak distal dari garis pektinea. Sfingter eksterna
merupakan lingkaran otot memanjang mengelilingi katub anal sampai orifisium anal.
Otot ini berupa kumpulan otot-otot parasagittal yang bertemu pada ujung anterior dan
posterior anus. Bangunan otot yang terletak antara muskulus levator dan muskulus
sfingter ani eksternus membentuk serabut-serabut otot vertikal disebut "muscle complex".
Stimulasi pada muskulus levator ani akan menyebabkan kontraksi yang menarik rektum
ke depan, sedangkan stimulasi pada "muscle complex" akan mengangkat anus ke atas.
Stimulasi pada serabut otot parasagital akan menimbulkan gerakan yang searah dengan
serabutnya sehingga menyebabkan anus akan tertutup. Otot-otot dasar panggul yang
terletak pada pintu keluar rongga pelvis, dibentuk oleh otot-otot levator ani,
pubococcygeus, ileococcygeus, ischiococcygeus dan puborectalis4.
Gambar 2. Muskularisasi anorektal

Vaskularisasi

Vaskularisasi daerah sigmoid dan bagian atas rektum berasal dari arteria
mesenterika inferior dan arteria kolika sinistra sedangkan vaskularisasi rektum dan
kanalis analis berasal dari arteri hemorrhoidalis superior, media dan inferior. Arteria
hemorrhoidalis superior merupakan akhir dari arteria mesenterika inferior yang melalui
dinding posterior rektum turun sampai ke linea pektinea. Arteria hemorrhoidalis media
merupakan cabang dari arteria iliaka interna yang pada wanita berupa arteria uterina.
Arteria hemorrhoidalis inferior merupakan cabang arteria pudenda interna. Vena pada
rektum dan anus mengikuti sistem arteri. Vena hemorrhoidalis superior berasal dari
pleksus hemorrhoidalis internus, berjalan ke kranial ke dalam vena mesenterika inferior
dan melalui vena lienalis ke vena porta. Vena hemorrhoidalis media dan inferior
mengalirkan darah ke vena pudenda interna, ke vena iliaka interna untuk selanjutnya ke
vena kava inferior. Anastomosis vena hemorrhoidalis superior, media dan inferior disebut
portosistemic shuns.4
Gambar 3. Vaskularisasi kolon

Sistem saraf intestinal

Sistem saraf intestinal merupakan sekumpulan sel-sel saraf pada saluran


pencernaan yang fungsinya tidak tergantung pada sistem saraf pusat. Sistem ini mengatur
gerakan usus, sekresi eksokrin, sekresi endokrin, mikrosirkulasi saluran pencernaan,
mengatur proses imunitas dan inflamasi. Sistem saraf intestinal mula-mula diperkirakan
sebagai bagian otonom sistem saraf perifer dan sel saraf pada dinding usus dianggap
sebagai sel saraf parasimpatis postganglion. Adapun pada penelitian-penelitian
selanjutnya ternyata menunjukkan bahwa usus mempunyai sistem pengaturan tersendiri,
kontraksi peristaltik diatur oleh reflek-reflek yang melibatkan saraf intramural dan
kebanyakan sel saraf usus tidak berhubungan dengan axon parasimpatis sistem saraf
pusat secara langsung4.
Bagian sistem saraf pusat yang berhubungan dengan sistim saraf intestinal adalah
jaringan saraf sentral otonom. Sistem saraf intestinal bersama jaringan- jaringan
penghubung dengan sistem saraf pusat tersebut secara simultan mengontrol seluruh
fungsi saluran pencernaan4. Pada sistem saraf intestinal, sel bodi saraf akan berkelompok
menjadi ganglion yang dihubungkan dengan bundel-bundel saraf untuk membentuk dua
pleksus besar yaitu pleksus mienterikus Auerbach yang terletak antara lapisan
sirkuler dan lapisan longitudinal serta pleksus submukosus Meissner yang terletak pada
submukosa antara lapisan sirkuler dan muskularis mukosa. Pleksus mienterikus Auerbach
berfungsi sebagai inervasi motorik pada kedua lapisan otot dan inervasi sekretomotor
pada mukosa sedang pleksus submukosus Meissner berperan pada pengaturan fungsi
sekresi4.
Nervus parasimpatis berasal dari cabang anterior nervi sakralis 2, 3, 4. Di dalam rektum
serabut saraf ini berhubungan dengan pleksus ganglion Auerbach. Persarafan simpatis
berasal dari ganglion lumbal 2, 3, 4 dan pleksus praaorta4.
Persarafan simpatis dan parasimpatis menuju kearah rektum dan saluran anal dan
berperan melalui ganglion pleksus Auerbach dan Meissner untuk mengatur peristaltik
serta tonus sfingter interna. Serabut simpatis sebagai inhibitor dinding usus dan motor
sfingter interna sedang parasimpatis sebagai motor dinding usus, inhibitor sfingter dan
juga merupakan persarafan sensorik untuk rasa distensi rektum4.

Inervasi Traktus Gastrointestinal

Sistem saraf intestinal dapat mempengaruhi sistem efektor pada usus secara
langsung maupun secara tidak langsung lewat sel perantara yang berujud sel endokrin, sel
interstisial Cajal dan sel sistem imun seperti sel mast. Gerakan normal traktus
gastrointestinal tergantung pada sistem saraf intestinal dan sel interstitial Cajal yang
bertindak sebagai sel-sel pacemaker. Lokasi sel-sel Cajal terdapat pada lapisan
mienterikus maupun muskularis, yang berfungsi untuk motilitas usus, perkembangan
traktus gastrointestinal serta membawa Receptor Tyrosine Kinase. Pada zona aganglionik
tidak ditemukan sel Cajal sedangkan pada daerah zona transisi sel-sel ini sangat terbatas
dan pada zona ganglionik sel ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan usus normal4.
Peristaltik merupakan proses reflek lokal yang terdiri atas kontraksi otot usus di bagian
proksimal dan relaksasi di distal stimulus. Kamimura dkk., dan Bealer dkk., menyatakan
bahwa nitric oxide (NO) merupakan transmiter saraf nonadrenergik nonkolinergik dan
pada penyakit Hirschsprung, ternyata terdapat kekurangan inervasi saraf nonadrenergik
nonkolinergik pada zone aganglioniknya4
Pleksus saraf pada usus merupakan jaringan saraf yang berfungsi independen, dikenal
sebagai sistem saraf intestinal. Sistem saraf ini dihubungkan dengan sistem saraf otonom
pusat melalui saraf parasimpatis dan saraf simpatis. Sistem saraf intestinal mempengaruhi
efektor secara langsung maupun melewati sel-sel intermediate4.
.
Gerakan peristaltik merupakan reflek lokal yang terdiri dari kontraksi otot usus diatas
stimulus dan relaksasi otot usus dibawah stimulus. Pelepasan 5-HT oleh karena stimulasi
mukosa atau distensi mekanis pada lumen usus akan memicu aktifitas intrinsic afferent
neurons. Di atas stimulus, ascending cholinergic interneurons akan meneruskan
rangsangan ke excitatory motor neurons yang berisi acetylcholine (ACh) dan substansi P.
Akibatnya, terjadi kontraksi pada stratum muskularis diatas stimulus. Pada waktu yang
sama, di bawah stimulus, descending cholinergic interneurons akan mengaktifkan
inhibitory motor neurons yang berisi nitric oxyde (NO), vasoactive intestinal polypeptide
(VIP), dan ATP yang akan menyebabkan relaksasi otot polos usus. Akibat mekanisme ini
maka bolus makanan di dalam lumen usus akan terdorong ke distal4.

2.2. Penyakit Hirschsprung

2.2.1 Definisi

Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionosis usus,


mulai dari sfingter anal internal ke arah proksimal dengan panjang segmen tertentu, tetapi
selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Kelainan ini dikenal juga
sebagai congenital aganglionesis, atau aganglionic megacolon.5 Penyakit Hirschsprung
merupakan penyakit yang menyebabkan obstruksi intestinal pada neonatus. Pada
Hirschsprung, tidak adanya sel ganglion yang terdapat pada pleksus Meissner dan
Auerbach yang berfungsi untuk mengatur gerakan peristaltik dan tonus sfingter interna
dalam menyebabkan kontraksi dan relaksasi otot- otot di intestinal yang memberikan
gambaran klinis kembung, muntah bilier, dan tidak keluarnya feses.5
Terdapat beberapa tipe Hirschsprung berdasarkan panjangnya segmen yang aganglionik,
antara lain : 4

a. Short-segment aganglionosis: segmen aganglionik terbatas pada kolon sigmoid. Jika


hanya mengenai rektum dibawah peritoneum disebut rectal aganglionosis. Persentase
insiden tipe ini sebesar 11,1%.
b. Rectosigmoid aganglionosis: jika segmen aganglionik mengenai kolon sigmoid. Tipe
ini yang paling banyak dijumpai, yakni mencapai 63,1%.
c. Long-segment aganglionosis: ketika segmen aganglionik berada antara kolon
sigmoid hingga ke fleksura splenik atau dapat meluas sampai ke kolon transversum
maupun kolon ascendens. Kejadian tipe ini sebesar 14,9%.
d. Total colonic aganglionosis (TCA): segmen aganglionik mulai dari cecum hingga ke
ileum distal. Jumlah kasus ini dapat mencapai 7,9%.
e. Extensive aganglionosis: hampir sama seperti tipe TCA, namun bagian intestinal
proksimalnya melibatkan jejunum. Persentase tipe ini sebesar 3,1%.
Gambar 4. Beberapa tipe Hirschsprung menurut segmen aganglionik yang terkena.

2.2.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat terjadi sekitar 1 kasus per 5400-7200 bayi baru lahir setiap
tahun. Meskipun kejadian pasti di seluruh dunia tidak diketahui, data statistik
internasional melaporkan angka kejadian PH berkisar 1 kasus per 1500-7000 bayi baru
lahir. Demografi terkait ras, jenis kelamin, dan usia berkaitan dengan kejadian Penyakit
Hirschsprung . Namun, kira-kira 3 kali lebih umum terjadi pada orang Asia-Amerika.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, dengan rasio pria-wanita
sekitar 4:1. Penyakit Hirschsprung jarang terjadi pada bayi prematur. Namun, angka
kejadian penyakit Hirschsprung didiagnosis telah semakin menurun selama abad terakhir
ini. 7
Insiden penyakit hirschsprung di Indonesia belum begitu jelas. Jika
diperkirakan angka insiden 1 diantara 5000 kelahiran hidup, maka dapat diprediksi
dengan jumlah penduduk 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per juta kelahiran, akan lahir
1400 bayi setiap tahunnya dengan penyakit hirschsprung. Di RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta, ada 20 sampai 40 penderita penyakit Hirschsprung yang dirujuk
setiap tahunnya.1
Berdasarkan data rekam medis yang diambil dari Departemen Bedah Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar didapatkan 91 pasien yang
positif penyakit Hirschsprung dari 109 pasien yang dilakukan dengan biopsi rektum
dengan insidensi jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Pada anak
dengan penyakit Hirschsprung, cenderung memiliki kualitas hidup yang rendah karena
berkaitan dengan dampak pada kesejahteraan emosional dan sosial serta adanya
penurunan aktivitas fisik2,3.

2.2.3 Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel aganglion selalu tidak
ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.5,6
a) Ketiadaan sel-sel ganglion
Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus myenteric
(Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk
Hirschsprung’s disease. Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa hal ini
disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest vagal servikal dari
esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan. Teori terbaru mengajukan
bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun gagal untuk berkembang menjadi ganglia
dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka mengalami hambatan sewaktu bermigrasi
atau mengalami kerusakan karena elemen-elemen didalam lingkungn mikro dalam
dinding usus. Faktor-faktor yang dapat mengganggu migrasi, proliferasi, differensiasi,
dan kolonisasi dari sel-sel ini mingkin terletak pada genetik, immunologis, vascular,
atau mekanisme lainnya.
b) Mutasi pada RET Proto-oncogene
Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11.2, telah
ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprung’s disease segmen panjang dan
familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat molekular
yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. Gen lainnya
yang rentan untuk Hirschsprung’s disease adalah endothelin-B receptor gene
(EDNRB) yang berlokasi pada kromososm 13q22. sinyal darigen ini diperlukan untuk
perkembangan dan pematangan sel-sel neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi
pada gen ini paling sering ditemukan pada penyakit non-familial dan short-segment.
Endothelian-3 gene baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang rentan juga. Defek
dari mutasi genetik ini adalah mengganggu atau menghambat pensinyalan yang
penting untuk perklembangan normal dari sistem saraf enterik.
Mutasi pada proto- oncogene RET adalah diwariskan dengan pola dominan
autosom dengan 50-70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus familial
dan pada hanya 15-20% kasus spordis. Mutasi pada gen EDNRB diwariskan dengan
pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang
sporadis.
c) Kelainan dalam lingkungan
Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi sel-sel
neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan bermakna dari antigen
major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah terbukti terdapat pada segmen
aganglionik dari usus pasien dengan Hirschsprung’s disease, namun tidak ditemukan
pada usus dengan ganglionik norma pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme
autoimun pada perkembangan penyakit ini.
d) Matriks Protein Ekstraseluler
Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan pergerkan
dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan kolagen tipe IV
yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus aganglionik. Perubahan
dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat mencegah migrasi sel-sel normal
neural crest dan memiliki peranan dalam etiologi dari Hirschsprung’s disease.
Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan kongenital sebagai berikut:1
1. Sindrom Down
2. Sindrom Neurocristopathy
3. Sindrom Waardenburg-Shah
4. Sindrom buta-tuli Yemenite
5. Piebaldism
6. Sindrom Goldberg-Shprintzen
7. Neoplasia endokrin multiple tipe II
8. Sindroma hypoventilasi congenital
2.2.4 Patofisiologi
a. Motilitas Kolon 4
Pada Kolon gerakan peristaltik diganti oleh gerakan haustra yang bermanfaat
untuk mengocok isi usus yang dipicu oleh gerakan otonom sel otot polos kolon. Gerakan
haustra adalah sekali dalam 30 menit.
Terdapat juga gerakan “mass movement” yang merupakan gerakan simultan
kolon ascenden dan kolon transversum yang mendorong isi kolon sepertiga sampai
seperempat panjang kolon sehingga isi kolon mencapai rectum untuk disimpan sampai
terjadi reflek defekasi.
Sirkuit reflek peristaltik terdiri atas terjadinya distensi usus dan depolarisasi sel
cajal pada otot polos yang melewati saraf kolinergik akan memicu interneuron pada
pleksus auerbach dan pleksus Meissner yang merupakan saraf nonadrenergik
nonkolinergik. Salah satu mediator yang bekerja pada interneuron ini yaitu Nitric Oxyde
yang berguna untuk relaksasi otot polos usus, sehingga jika NO tidak ada akan
menyebabkan kegagalan gerakan relaksasi pada segmen usus yang aganglionik. Jadi,
interneuron nonadrenergik nonkolinergik tidak ada maka produksi NO menjadi berurang
atau tidak ada yang menyebabkan kontraksi permanen padssegmen aganglionik kolon.
Namun karena dinding kolon bersifat elastis maka akan tetap ada gerakan tetapi tanpa
koordinasi yang menyebabkan diagnosis PH kadang terlambat.

b. Kontinensia
Kontinensia merupakan kemampuan untuk mengontrol pengeluaran isi rectum pada
waktu dan tempat yang diinginkan. Konrinensi diatur oleh mekanisme volunteer dan
involunter yang menjaga aliran secara anatomis dan fisiologis jalannya feses ke rectum
dan anus. Penghambat yang berperan adalah sudut anus dan rectum yang dihasilkan oleh
otot elevator ani bagian puborektal anterior dan superior. Perbedaan antara tekanan dan
aktivitas motorik anus, rectum dan sigmoid menyebabkan progresivitas pelepasan feses
terhambat.

c. Defekasi
Feses dan material-material sisa yang telah berada di rectum akan menyebabkan
kenaikan tekanan di dalam rongga rectum sehingga akan memacu reseptor regangan dan
mulailah reflek defekasi.
Reflek defekasi menyebabkan relaksasi sfingter interna, kontraksi pada sigmoid dan
rectum. Distensi rectum ini akan disertai kemauan sadar untuk melakukan BAB dan
apabila otot sfingter eksterna juga relaksasi maka defekasi akan terjadi.
Penundaan defekasi menyebabkan rectum secara bertahap melakukan gerakan
relaksasi dan kemauan defekasi akan menurun samai gerakan “mass movement”
berikutnya mendorong lebih banyak feses. Selama periode non aktivasi keadaan sfingter
interna dan eksterna tetap berada pada posisi kontraksi untuk menjaga kontinensi.
Sfingter ani merupaka n bagian akhir otot pendorong yang secara aktif mengeluarkan
feses atau flatus melalui anus. Dasar patofisiologi terjadinya PH adalah gangguan
propagasi gelombang propulsi usus serta gangguan atau tiadanya relaksasi sfingter ani
interna.4

d. Konstipasi
Konstipasi terjadi apabila feses menjadi keras akibat penundaan defekasi yang lama
sehingga absorbs air akan lebih banyak. Penundaan defekasi dapat disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain mengabaikan defekasi , penurunan motilitas kolon obstruksi
kolon serta gangguan reflek defekasi.

2.2.5 Manifestasi Klinis

Neonatus dengan Hirschsprung biasanya memberikan gejala obstruksi intestinal distal


pada hari awal kehidupan, seperti tidak keluarnya meconium pada 24-48 jam setelah
lahir. Tanda obstruksi intestinal distal lainnya yakni distensi abdomen, muntah bilier,
intoleransi pemberian nutrisi. Dapat juga disertai dengan tanda-tanda perforasi caecum,
kolon ascendens, dan apendiks pada 5% kasus. Pada tipe TCA, mungkin bisa terjadi
gejala baru mulai muncul bisa lebih dari 6 bulan. Jika gejala muncul diluar periode
neonatus, dapat terjadi muntah, distensi abdomen karena konstipasi ringan-berat yang
berlangsung lama yang refrakter terhadap obat pencahar, hingga gangguan pertumbuhan
dan perkembangan. Hirschsprung dengan enterokolitis memberikan gejala diare berat
disertai darah segar, demam, dan distensi abdomen2,4.
2.2.6 Diagnosis

Diagnosis penyakit Hirschsprung harus ditegakkan sedini mungkin mengingat bahaya


komplikasi yang dapat terjadi. Dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang akan membantu penegakkan diagnosis penyakit ini.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Trias klinis Hirschsprung yaitu keterlambatan pengeluaran mekonium lebih dari 24 jam
pertama, muntah hijau, dan distensi abdomen menyeluruh. Gejala akibat komplikasi
enteroolitis dapat mengikuti akibat bakteri yang tumbuh berlebihan karena iskemik
dinding kolon akibat distensi yang hebat. Pada pemeriksaan colok dubur akan terasa
daerah spastik yang apabila jari ditarik keluar maka akan keluar material feses yang
menyemprot diikuti mengecilnya distensi abdomen.4

b. Pemeriksaan penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis.


 Pemeriksaan pencitraan/imaging

Pemeriksaan foto polos abdomen menunjukkan tanda-tanda obstruksi usus


fungsional sedangkan pemeriksaan enema barium memberikan gambaran iregularitas
pada segmen aganglionik, area spastik, zona transisi, dan zona dilatasi, serta
keterlambatan pengeluaran zat kontras. Dibandingkan dengan barium enema, foto polos
abdomen lebih dapat diandalkan untuk menentukan zona transisi antara segmen
ganglionik dengan segmen aganglionik yang sangat berguna untuk menentukan teknik
tindakan pembedahan yang akan dilakukan4.
Gambar 5. Foto polos abdomen, posisi supine: tampak beberapa bagian usus yang
mengalami dilatasi, terutama daerah kolon descendens. Terdapat sedikit udara
pada rectosigmoid.
\

Gambar 6. Barium enema. Rektum lebih kecil dibanding kolon descendens dengan
gambaran saw-tooth pada dinding kolon. Terlihat titik transisi pada batas sigmoid-
kolon descendens.
 Pemeriksaan manometri anorektal

Manometri anorektal dilakukan untuk mengevaluasi adanya kontraksi volunter


dan involunter pada anorektum. Merupakan pemeriksaan yang lebih non invasif
dibandingkan biopsi dan pasien tidak terpapar oleh sinar radiasi. Saat tindakan
berlangsung, kateter fleksibel dengan balon non lateks di ujung distal dimasukkan ke
dalam rektum. Bagian sensor di sepanjang kateter berfungsi untuk mengukur tekanan
intraanal selama pemeriksaan, seperti panjang kanalis analis dan tekanan saat fase
relaksasi (resting pressure), sensoris rektal, rectoanal inhibitory reflex (RAIR), dan
kemampuan rektum dalam mensimulasi defekasi. RAIR adalah refleks relaksasi sfingter
ani interna dalam merespon distensi rektum. Refleks ini dijumpai pada individu dengan
inervasi intrinsik intestinal normal dan sebaliknya pada penyakit Hirschsprung.
Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 91% dengan spesifisitas 94%.2

 Pemeriksaan biopsi rektal

Pemeriksaan biopsi rektal dapat mengkonfirmasi diagnosis secara pasti dengan


menemukan ketiadaan sel ganglion pada pleksus submukosa dan pleksus mienterikus
dengan hipertrofi serat saraf pada segmen aganglionik. Biopsi dilakukan setidaknya dua
kali dengan diameter sampel yang diambil minimal 3 mm. Sampel biopsi yang diambil
harus banyak berasal dari bagian submukosa dan mukosa1.
Pewarnaan acetylcholinesterase (AChE) juga dapat dilakukan dari sampel biopsi ini
dengan mengidentifikasi adanya peningkatan aktivitas saraf parasimpatik di lamina
propria dan mukosa muskularis dapat dijadikan sebagai pemeriksaan tambahan untuk
penegakan diagnosis terutama pada kasus yang tidak khas dan sulit untuk menyingkirkan
diagnosis banding lain. Namun pemeriksaan ini membutuhkan modalitas laboratorium
yang tinggi, membutuhkan banyak waktu, serta memerlukan ahli patologis.1
 Pemeriksaan histopatologi

Menggunakan hematoksilin dan pewarnaan eosin akan teridentifikasi tidak adanya sel
ganglion pada pleksus submukosa dan mienterikus dan hipertrofi saraf. Pewarnaan
imunohistokimia menggunakan antibodi neuronal calretinin dan S100 juga berguna untuk
penegakan diagnosis Hirschsprung. Pada tipe TCA mungkin tidak didapatkan adanya
penebalan batang saraf.8
2.2.7 Tatalaksana

Hingga saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat dicapai dengan
pembedahan. Tujuan umum tindakan medis antara lain untuk mengatasi manifestasi dan
komplikasi akibat Hirschsprung yang tidak atau belum teratasi dan mengelola fungsi usus
post operasi. Tujuan lainnya adalah untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
dengan pemberian resusitasi cairan jalur intravena dan meminimalisir distensi abdomen
serta mencegah perforasi dengan dekompresi pipa nasogastrik, serta pemberian
antibiotik dengan indikasi untuk pencegahan terjadinya infeksi dan sepsis7. Tindakan
bedah umumnya terdiri atas dua tahapan, yaitu pembuatan kolostomi sebagai tindakan
darurat untuk menghilangkan distensi abdomen serta mencegah komplikasi dini dan
tahap kedua dengan melakukan operasi definitif untuk membuang segmen aganglionik
dan anastomosis dengan usus ganglionik dengan bagian distal rektum.

Beberapa prosedur operasi yang dapat dilakukan sebagai berikut4.

a. Swenson

Merupakan teknik tarik-terobos (pullthrough) dengan tujuan untuk anastomosis kolon


yang aganglionik dengan rektum. Dilakukan pembebasan kolon yang ganglionik sampai
panjangnya mencukupi untuk dilakukan tarik-terobos dengan preservasi pembuluh darah.
Peritoneum dipisahkan pada sisi lateral dan refleksi anterior dari rektum untuk eksplorasi
otot-otot pembungkus rektum. Diseksi harus dekat dengan rektum untuk menghindari
kerusakan persarafan splanknik. Diseksi dilakukan sampai setinggi muskulus sfingter
eksternus pada sisi posterior dan lateral, tetapi pada sisi anterior disisakan setinggi 1,5
lebih tinggi untuk preservasi vagina atau uretra.
Rektum yang telah bebas dari perlengketan dengan organ sekitar dikeluarkan ke anus
dengan bantuan jari di intraabdomen. Dilanjutkan dengan insisi pada sisi anterior pada
dinding rektum 1 sampai 2 cm di atas linea dentata sebanyak setengah lingkaran. Usus
yang ganglionik ditarik melalui insisi ini dengan bantuan jahitan multipel. Dilakukan
penjahitan pada sisi anterior dari kolon ke anal kanal dan dilanjutkan pada sisi posterior.
Anastomosis kemudian dikembalikan ke dalam.
b. Rehbein

Teknik operasi ini disebut juga deep anterior resection karena dilakukan anastomosis
langsung antara rektum dengan usus yang ganglionik. Insisi laparatomi dilakukan dengan
insisi transrektal kiri. Dilakukan mobilisasi kolon dengan preservasi pembuluh darah.

c. Soave

Termasuk dalam teknik operasi tarik-terobos endorektal yang sering dilakukan


disamping Swenson dan Duhamel. Konsepnya adalah membuang bagian submukosa dan
mukosa rektum dan menarik usus ganglionik melalui otot aganglionik. Posisi pasien
supinasi dengan bokong berada di ujung tepi meja operasi dan kedua kaki menggantung
bebas di dalam sebuah kantung untuk mencegah tergelincir dari panggul. Meja operasi
fleksi seperti posisi Trendelenburg. Pertama, dilakukan insisi panjang pada sisi
paramedian kiri rectum. Larutan prokain hidroklorida 0,5% di injeksikan ke anterior
lapisan antimesentrium seromuskuler segmen rectosigmoid 8-10 sentimeter diatas pelvis
peritoneum untuk membantu memisahkan antara seromuskuler dari lapisan mukosa.
Bagian ini yang tersulit dari prosedur Soave. Teknik operasi ini dilakukan dengan prinsip
kolon ganglionik di pullthrough-kan melalui rektum yang telah dimukosektomi. Inisisi
laparotom Teknik operasi ini dilakukan dengan prinsip kolon disarankan dengan insisi
Pfannenstiel, dilanjutkan dengan biopsi untuk menentukan batas kolon yang ganglionik.
Pada rektum dilanjutkan dengan tindakan pemisahan lapisan seromuskuler dari
lapisan mukosa (mukosektomi). Tindakan ini dilakukan dengan penyuntikan epinefrin
1:100.000 dan normal saline di antara lapisan tersebut. Dilakukan insisi seromuskuler
longitudinal pada daerah injeksi. Insisi diperluas dengan diseksi tumpul dimulai dengan
aksis panjang dari usus dan melingkar ke arah lateral dan posterior. Sisi usus telah
terpisah mukosa dan seromuskuler dilanjutkan ke arah kaudal, sampai sampai 1-1,5 cm di
atas linea dentata. Pada pasien yang tidak dilakukan kolosotomi, dipisahkan kedua
punktumnya, dengan menyisakan punktum rektum sepanjang 4 cm. Sisi mukosa rektum
dibalik ke arah anus dilanjutkan dengan menarik usus yang ganglionik. Dilakukan
anastomosis bagian mukosa rektum dengan usus ganglionik menggunakan vicryl 3/05.

d. Duhamel
Dilakukan laparotomi dengan insisi Pfanennsteil. Kolon sigmoid dan rektum proksimal
dimobilisasi setelah peritoneum dibuka. Kolon ganglionik ditutup dengan jahitan pursue
string dan rektum ditutup tepat di atas lipatan peritoneum, sama seperti teknik Hartmann.
Satu atau dua lapis jahitan digunakan dalam menutup rektum. Reseksi kolon ganglionik
dilakukan sedikit mungkin, reseksi dilakukan hanya pada segmen usus yang mengalami
dilatasi yang menyulitkan dalam anastomosis dengan rektum dengan diameter yang
normal. Dalam proses mobilisasi kolon diperlukan preservasi pembuluh darah untuk
memastikan segmen usus yang dipullthrough-kan tetap viabel.
Proses membuka mesorektum diperlukan untuk menyiapkan ruangan retrorektal.
Ruangan ini diciptakan dengan membuka perlahan pelvic floor diantara lamina
sakrogenitopubika. Proses ini dilakukan dengan menggunakan forcep bengkok dengan
kassa kecil dan didorong pada ruang posterior dinding kanalis analis sampai anus. Insisi
semisirkuler posterior dilakukan 1-1,5 cm di atas linea dentata. Mukosa dan sfingter
interna dibuka pada daerah retrorektal, dengan landasan forcep bengkok dan kassa.
Menggunakan kassa sebagai panduan, forcep lainnya dimasukkan melalui insisi
pada kanalis analis ke arah ruang peritoneal. Kolon proksimal ditarik menggunakan
forcep ini dan di-pullthrough-kan melalui ruang retrorektal dan inisisi pada kanalis analis.
Perlu diperhatikan torsi atau tarikan dari segmen usus ini. Setelah memastikan vitalitas
dan hemostasis, ini dilakukan anastomosis dengan jahitan interrupted antara kolon yang
di- pullthrough-kan dengan insisi pada kanalis analis. Sisi anterior dari kolon dijahit
dengan sisi atas dari insisi sehingga tercipta anastomosis kolorektal end-to-side.
Pada teknik operasi Duhamel asli, anastomosis side-to-side pada rektum anterior
yang aganglionik dan kolon posterior yang ganglionik, dilakukan dengan membuang
septum dengan dua klem Kocher, dengan menciptakan V terbalik pada apeks pouch
rektum. Posisi klem diperiksa dengan palpasi dari intraabdomen. Klem ini akan terlepas
setelah 4-10 hari. Akhir-akhir ini kebanyakan ahli bedah anak menggunakan stapler
sebagai pengganti klem Kocher.
Pascaoperasi Duhamel diharapkan fungsi pencernaan dapat berfungsi normal
karena segmen kolon yang dipullthrough-kan memiliki ganglion, sehingga memiliki
fungsi peristaltik yang normal. Pada penderita Hirschsprung, sistem sensorik pada usus
yang aganglionik tetap normal, sehingga saat rektum terisi faeses akan terjadi proses
defekasi yang normal.
e. Transanal Endorectal Pullthrough (TEPT)

Saat ini, teknik ini merupakan teknik yang paling luas dan sering digunakan oleh
para ahli bedah anak untuk operasi definitif Hirschsprung. Operasi ini dimulai dengan
melakukan insisi mukosa diatas linea dentata.
Jarak antara linea dentata dengan insisi mukosa, tergantung pada ahli bedahnya
dan ukuran anak, tetapi hal yang paling penting adalah, insisi dibuat setinggi mungkin
dari linea dentata agar tidak merusak epitel transisional. Hal ini dirasa sangat penting
untuk mencegah kehilangan sensasi defekasi, yang dapat menyebabkan anak memiliki
gangguan inkontinensia dikemudian hari.

Benang non absorbable (silk) dijahitkan di mukosa, baik sebelum dilakukan insisi
maupun setelah dilakukan insisi, untuk mencegah terjadinya traksi pada tepi mukosa
selama diseksi berlangsung.

Mukosa mulai dipisahkan dari jaringan dibawahnya sampai jarak yang bervariasi,
biasanya menggunakan kauter listrik dengan ujung jarum, dan dikombinasikan dengan
diseksi tumpul. Setelah diseksi mukosa dirasa sudah cukup panjang, otot rektum diinsisi
secara melingkar, agar dapat melanjutkan diseksi ke arah proksimal sepanjang dinding
rektum.

Hal yang perlu diingat adalah mesokolon harus dipisahkan dari kolon, untuk
menghindari cidera pada saraf pelvis dan pembuluh-pembuluh darahnya. Hal penting
lainnya, jangan sampai terjadi puntiran saat melakukan diseksi proksimal. Hal ini dapat
dicegah dengan menggunakan klem, yang dijepitkan pada bagian distal kolon yang sudah
dikeluarkan. Ketika kolon yang sudah inervasi dicapai, kolon tersebut dipotong dan
dilakukan anastomosis koloanal. Penjahitan harus diyakinkan mengenai otot yang terletak
dibawah dan sedikit mungkin mukosa.
Untuk anak-anak dengan zona transisional yang sangat proksimal, melebihi
pertengahan kolon sigmoid, biasanya tidak cukup panjang untuk diturunkan tanpa
melakukan suatu mobilisasi, paling sedikit kolon descenden dan pada beberapa kasus
bahkan sampai dengan fleksura lienalis. Hal ini dapat diatasi dengan bantuan laparoskopi
atau insisi pada umbilikus. Jika zona transisionalnya di proksimal flesura lienalis atau
lebih, biasanya perlu dilakukan pemisahan pembuluh-pembuluh darah kolika media,
membentuk suatu arkade di sepanjang tepi kolon yang akan diturunkan, sehingga panjang
yang adekuat untuk diturunkan dapat tercapai tanpa menimbulkan tegangan.
2.2.8 Prognosis

Komplikasi dapat terjadi akibat tindakan bedah (pull-through) seperti


enterocolitis, striktur atau anastomosis yang lemah, ekskoriasi anal, dan obstruksi adhesi.
Komplikasi onset lambat berhubungan dengan gejala obstruksi yang lama seperti soiling
dan enterocolitis. Hampir 10% pasien dilakukan kolostomi dan lebih 10% membutuhkan
tindakan bedah lanjut akibat konstipasi berat ataupun inkontinensia.6
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan kongenital dimana tidak terdapat


ganglion pada pleksus submukosa (pleksus Meissner) dan pleksus mienterikus (pleksus
Auerbach). Secara patofisiologis, sel krista neuralis yang berperan dalam pembentukan
saraf intestinal, mengalami kegagalan migrasi ke usus distal, tersering pada daerah rekto-
sigmoid. Akibatnya, segmen aganglionik tersebut dalam kondisi kontraksi terus menerus
dan tidak dapat relaksasi sehingga gerakan peristaltik usus terganggu. Keadaan ini
memberikan gejala trias klasik Hirschsprung, yaitu konstipasi kronis (mekonium tidak
keluar >48 jam), muntah hijau, dan distensi abdomen.

Hingga saat ini, tindakan pembedahan adalah tatalaksana definitif untuk penyakit
Hirschsprung. Beberapa prosedur operasi yang biasa dilakukan antara lain, Swenson,
Rehbein, Soave, Duhamel, dan Transanal Endorectal Pullthrough (TEPT).
DAFTAR PUSTAKA

1. KEMENKES RI. (2017, September 27). Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tata Laksana Penyakit Hirschprung. KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA.
2. Ambartsumyan L, Smith C, Kapur RP. Diagnosis of Hirschsprung Disease.
Pediatr Dev Pathol. 2020;23(1):8–22.
3. Palissei AS, Ahmadwirawan A, Faruk M. Hirschsprung’s disease: epidemiology,
diagnosis, and treatment in a retrospective hospital-based.
4. Lumban Gaol, Leecarlo M, Marpaung WH, Sitorus P. Ilmu Bedah Anak. Jakarta:
EGC; 2014.
5. Kartono, darmawan. 2006. Penyakit hirschsprung. Jakarta. Sagung seto.
6. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON
th
TEXTBOOK of SURGERY. 17 edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page
2113-2114.
7. JUSTIN, Wagner P. Hirschsprung Disease. URL:
https://emedicine.medscape.com/article/178493-overview#a6. 2021
8. Chhabra S, Kenny SE. Hirschsprung’s disease. Surg (United Kingdom)
[Internet]. 2016;34(12):628–32. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.mpsur.2016.10.002.

Anda mungkin juga menyukai