Anda di halaman 1dari 30

HALAMAN JUDUL

BAGIAN KARDIOLOGI REFARAT


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER APRIL 2023
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

CARDIORENAL SYNDROME

OLEH
UMMU SALAMAH
11120222145

PEMBIMBING
dr. Nurhikmawati, M.Kes, Sp.JP., FIHA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN


KLINIK BAGIAN KARDIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023

I
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Ummu Salamah

NIM : 111 2022 2145

Judul Refarat : “Cardiorenal Syndrome”

Telah menyelesaikan Refarat yang berjudul “Cardiorenal

Syndrome” dan telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan dokter

pendidik klinik dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, 28 April 2023

Menyetujui,

Dokter Pembimbing Klinik, Penulis,

dr. Nurhikmawati, M.Kes, Sp.JP., FIHA Ummu Salamah


Stb.111 2022 2145

I
KATA PENGANTAR

Assalamu‘alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh


Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala nikmat kesempatan, kesehatan, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Refarat dengan judul “Cardiorenal Syndrome” sebagai salah satu
syarat dalam menyelesaikan kepaniteraan klinik di Bagian Kardiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Muslim Indonesia. Shalawat serta salam senantiasa
tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam, keluarga, sahabat, serta pengikutnya yang senantiasa istiqamah di jalan
islam.
Keberhasilan penyusunan refarat ini adalah berkat bimbingan,
arahan, serta dukungan dari berbagai pihak yang telah diterima penulis
sehingga segala tantangan dan rintangan yang dihadapi selama
penyusunan refarat ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini tidak lepas
dari bimbingan berbagai pihak. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini.
Semoga amal budi dari semua pihak mendapatkan pahala dan rahmat yang
melimpah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Aamiin ya rabbal alamin
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh

Makassar, April 2023


Hormat Saya

Penulis

DAFTAR ISI

II
HALAMAN JUDUL...............................................................................................I

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................I

KATA PENGANTAR...........................................................................................II

DAFTAR ISI........................................................................................................III

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................4

2.1 Definisi..........................................................................................4

2.2 Epidemiologi.................................................................................4

2.3 Klasifikasi......................................................................................5

2.4 Patofisiologi..................................................................................7

2.5 Faktor Patofisiologi.....................................................................13

2.6 Diagnosis....................................................................................13

2.7 Penatalaksanaan........................................................................18

2.8 Prognosis....................................................................................20

BAB III KESIMPULAN.....................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

III
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jantung bertanggung jawab untuk menyuplai darah ke jaringan

tubuh dan organ- organ, termasuk ginjal, yang berfungsi dalam menjaga

keseimbangan cairan dan homeostasis garam dalam tubuh. Oleh karena

itu, gangguan pada ginjal sering disertai gagal jantung dan gangguan

pada jantung sering disertai gagal ginjal.1

Interaksi antara jantung dan ginjal diatur oleh jaringan banyak

putaran umpan balik yang kompleks dan bertingkat. Dalam beberapa

tahun terakhir, penekanan besar telah ditempatkan pada pemahaman

spektrum gejala yang disebut sindrom kardiorenal (CRS) dan fenomena

patofisiologis yang terlibat, di mana gagal jantung atau ginjal

mengakibatkan cedera pada yang lain.2

Prevalensi gagal jantung diestimasi sekitar 1-2% dari populasi

dewasa pada Negara- negara berkembang, dan angkanya meningkat

10% pada individu dengan usia 70 tahun.Gagal jantung dapat disertai

beberapa kornorbid utama yang berdampak pada pengobatan dan

prognosis penyakit yaitu salah satunya insufisiensi ginjal ataupun gagal

ginjal.2

Fungsi ginjal yang direfleksikan melalui kadar kreatinin serum

ataupun yang lebih akurat melalui estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR)

1
dipengaruhi pada kebanyakan pasien dengan gagal jantung terutama bila

tingkat keparahannya berat dan hal ini merupakan prediktor penting dalarn

menentukan prognosis pasien.1

Berdasarkan Klasifikasi Ronco, Ada 5 Jenis Cardiorenal Syndrome

yang akan dibahas:3

 CRS tipe 1 (sindrom kardiorenal akut), yaitu perburukan fungsi

jantung akut yang berujung pada disfungsi ginjal. Pada CRS tipe

1, biasanya pasien datang dengan gagal jantung akut. Pada

pasien ini, disfungsi ginjal pre-morbid sering terjadi dan

merupakan faktor predisposisi cedera ginjal akut (acute kidney

injury/AKI). AKI terjadi lebih berat pada pasien dengan ejeksi

fraksi ventrikel kiri yang lemah.3

 CRS tipe 2 (sindrom kardiorenal kronis), merupakan kelainan

kronis fungsi jantung yang berujung pada disfungsi dan/atau

cedera ginjal, sebagai contoh gagal jantung kronis. CRS tipe 2

memiliki karakteristik yaitu kelainan fungsi jantung kronik

menyebabkan penyakit gagal ginjal yang progresif.

Prevalensinya mencapai sekitar 25%. Prediktor independen

memburuknya fungsi ginjal termasuk usia tua, hipertensi,

diabetes mellitus, dan sindrom koroner akut.3

 CRS tipe 3 (sindrom renokardiak akut), merupakan perburukan

secara akut fungsi ginjal yang mengarah pada disfungsi

dan/atau cedera jantung, sebagai contoh gagal jantung, aritmia,

2
dan edema paru. CRS tipe 3 ditandai dengan adanya

perburukan fungsi ginjal yang mendadak yang menyebabkan

disfungsi jantung akut (misal gagal jantung, aritmia, iskemia).

AKI teridentifikasi pada 9% pasien yang dirawat inap dan

terdapat pada 35% pasien kritis.3

 CRS tipe 4 (sindrom renokardiak kronik), merupakan gagal

ginjal yang mengarah pada cedera, penyakit dan/atau disfungsi

jantung, sebagai contoh penyakit gromerular kronis. CRS tipe 4

dikarakteristikan dengan gagal ginjal primer yang mengarah

pada menurunnya fungsi jantung, hipertrofi ventrikel, disfungsi

diastolik dan/atau meningkatnya risiko kardiovaskular.3

 CRS tipe 5, yang disebut juga CRS sepsis, adalah disfungsi

renal dan kardiak yang terjadi bersamaan dalam sebuah kondisi

sistemik primer yang mempengaruhi kedua organ. Penyebab

paling umum adalah sepsis. Disfungsi renal dapat dilihat selama

sepsis berat dan merupakan bagian dari syok septik dan

kegagalan multi organ.3

3
4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindroma Kardiorenal pada umumnya didefinisikan sebagai kondisi

gangguan secara patofisiologi pada jantung dan ginjal, dimana terjadi

disfungsi yang akut atau kronis pada salah satu organ yang menyebabkan

gangguan pada organ lainnya (Orvalho, 2017). Sindroma Kardiorenal

adalah penurunan fungsi ginjal akibat adanya penurunan fungsi jantung.

Salah satu fungsi ginjal adalah untuk mengatur garam dan cairan maka

penurunan fungsi ginjal dapat menyebabkan pengobatan terhadap gagal

jantung terganggu.4

2.2 Epidemiologi

Data Registri Nasional Gagal Jantung Dekompensasi Akut

(ADHERE) mendapatkan dari lebih dari 100.000 pasien yang dirawat

dengan gagal jantung dekompensasi akut (ADHF), hampir sepertiganya

memiliki riwayat disfungsi ginjal. Pada studi lain survei rawat jalan gagal

jantung kongestif, 39% merupakan pasien New York Heart Association

(NYHA) kelas IV; dan 31% pasien kelas III NYHA memiliki gangguan

fungsi ginjal parah (clearance kreatinin < 30 mL/menit).5

Demikian pula, gagal ginjal terkait dengan perburukan hasil

kardiovaskular hampir 44% kematian pasien gagal ginjal stadium akhir

(ESRF) disebabkan penyakit kardiovaskular. Sebagai penanda prognosis,

5
fungsi ginjal sama pentingnya dengan fraksi ejeksi dan kelas fungsional

NYHA.5

Sekitar 10,8% (20 juta) penduduk Amerika Serikat mengalami

penyakit ginjal kronis dan sekitar 0,1% (400.000) penduduk Amerika

Serikat mengalami gagal ginjal terminal. Laporan dari studi Hemodialisis

(HEMO) menunjukan prevalensi gagal ginjal terminal berkisar 40%. Pada

pasien-pasien gagal ginjal terminal prevalensi hipertrofi ventrikel kiri dan

penyakit jantung koroner adalah 75% dan 40%.4

2.3 Klasifikasi

Ronco dkk, membuat klasifikasi sindrom kardiorenal berdasarkan

mekanisme patofisiologi yang mendasari kegagalan fungsi jantung dan

ginjal. Klasifikasi tersebut menitikberatkan pada dua aspek yaitu durasi

(onset akut atau kronik), dan urutan kejadian (didahului gagal ginjal atau

didahului gagal jantung, atau terjadi simultan akibat penyakit sistemik.1

1) CRS tipe 1 (sindrom kardiorenal akut) yaitu perburukan fungsi

jantung akut yang berujung pada disfungsi ginjal. Pada CRS tipe

1, biasanya pasien datang dengan gagal jantung akut.3

CRS tipe 1 (CRS-1) (cardirenal akut) ditandai dengan

memburuknya fungsi jantung secara akut yang menyebabkan

cedera ginjal akut (AKI). CRS-1 biasanya muncul dalam

pengaturan penyakit jantung akut seperti gagal jantung

dekompensasi akut (ADHF), seringkali setelah iskemik (sindrom

6
koroner akut, komplikasi operasi jantung) atau penyakit jantung

noniskemik (penyakit katup, emboli paru).6

2) CRS tipe 2 (sindrom kardiorenal kronis) merupakan kelainan

kronis fungsi jantung yang berujung pada disfungsi dan/atau

cedera ginjal, sebagai contoh gagal jantung kronis. CRS tipe 2

memiliki karakteristik yaitu kelainan fungsi jantung kronik

menyebabkan penyakit gagal ginjal yang progresif.3

3) CRS tipe 3 (sindrom renokardiak akut) merupakan perburukan

secara akut fungsi ginjal yang mengarah pada disfungsi

dan/atau cedera jantung, sebagai contoh gagal jantung, aritmia,

dan edema paru.CRS tipe 3 ditandai dengan adanya

perburukan fungsi ginjal yang mendadak yang menyebabkan

disfungsi jantung akut (misal gagal jantung, aritmia, iskemia).3

4) CRS tipe 4 (sindrom renokardiak kronik) merupakan gagal ginjal

yang mengarah pada cedera, penyakit dan/atau disfungsi

jantung, sebagai contoh penyakit gromerular kronis. CRS tipe 4

dikarakteristikan dengan gagal ginjal primer yang mengarah

pada menurunnya fungsi jantung, hipertrofi ventrikel, disfungsi

diastolik dan/atau meningkatnya risiko kardiovaskular.3

5) CRS-5 merupakan keterlibatan simultan dari jantung dan ginjal

dan berkembang dalam beberapa pengaturan klinis seperti

sepsis, sindrom hepatorenal, dan penyakit Fabry.6

7
2.4 Patofisiologi

1) CRS Tipe 1

CRS tipe 1 (CRS-1) ditandai dengan memburuknya fungsi

jantung akut yang menyebabkan AKI. CRS-1 biasanya didapatkan

pada penyakit jantung akut seperti ADHF, setelah kejadian iskemia

(sindrom koroner akut, komplikasi bedah jantung) atau penyakit

jantung non-iskemia (penyakit katup, emboli paru). CRS-1 terjadi

pada sekitar 25% pasien yang dirawat di rumah sakit sebagai

ADHF. Jantung dan ginjal saling berkaitan dan berfungsi menjaga

stabilitas hemodinamika, baik dalam mengatur volume darah

maupun ketahanan vaskular.5

Mekanisme dasar CRS-1 karena adanya penurunan curah

jantung, aktivasi neurohormonal, dan pelepasan zat vasoaktif, yang

akan menyebabkan berkurangnya aliran ke ginjal dan

menyebabkan iskemia ginjal. Juga, tekanan vena sentral (CVP)

yang tinggi akan meningkatkan tekanan intraabdomen yang pada

akhirnya menyebabkan kongesti vena, aktivasi saraf simpatik,

aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), dan

pelepasan zat vasoaktif seperti endothelin, anemia, dan gangguan

sistem kekebalan tubuh.5

8
Gambar 2.1. Patofisiologi CRS tipe 1 (sindrom kardiorenal akut)

2) CRS Tipe 2

CRS tipe 2 (CRS-2) ditandai dengan kelainan kronik fungsi

jantung yang menyebabkan cedera ginjal. CKD sangat merugikan

pasien HF, mengakibatkan rawat inap berkepanjangan dan hasil

klinis lebih buruk. Dalam situasi ini, sulit untuk menetapkan

penyakit utama dan sekunder. Kejadian CKD didapatkan pada

45%-63% pasien HF kronik, namun klasifikasinya masih belum

jelas. Respons ginjal terhadap HF kronik berupa perubahan

haemodinamik glomerular. Hal tersebut dapat dilihat dari perfusi

plasma ginjal (RPF) yang rendah. RPF merupakan volume plasma

yang dialirkan ke ginjal per satuan waktu. HF dengan fraksi ejeksi

9
≥50% (HFpEF) ataupun HF dengan fraksi ejeksi <40% (HFrEF),

kardiomiopati iskemik, fibrilasi atrium (AF), dan penyakit jantung

bawaan merupakan beberapa kondisi yang mendasari CRS-2.

Selain itu, aktivasi RAAS berlebihan dan kurangnya penurunan

volume sirkulasi dapat memperparah keadaan.5

Gambar 2.2. Patofisiologi CRS tipe 2 (sindrom kardiorenal kronis)

3) CRS Tipe 3

CRS tipe 3 (CRS-3) terjadi jika AKI berkontribusi dan/atau

secara langsung ataupun tidak langsung mempercepat

perkembangan cedera jantung akut. Tidak mudah mengidentifikasi

tipe ini karena metode yang berbeda; sulit untuk menetapkan

penyebab penyakit jantung akibat AKI mengingat beberapa kondisi

komorbid dapat mempengaruhi. AKI terkait dengan peningkatan

risiko kematian kardiovaskular sebesar 86% dan peningkatan risiko

10
38% kejadian kardiovaskular mayor.AKI dapat menyebabkan

hiperkalemia, gangguan keseimbangan elektrolit, dan

menyebabkan aritmia yang dapat mengakibatkan serangan

jantung.5

Gambar 2.3. Patofisiologi CRS tipe 3 (sindrom renokardiak akut)

4) CRS Tipe 4

CRS tipe 4 (CRS-4) didefinisikan sebagai penyakit renokardiak

kronik, ditandai dengan keterlibatan kardiovaskular pada pasien

CKD tahap apapun.CKD secara tidak langsung akan memperburuk

penyakit jantung iskemik dan secara langsung akan memengaruhi

tekanan dan kelebihan beban volume yang membuat hipertrofi

ventrikel kiri.Hipertrofi ventrikel kiri lazim dijumpai pada pasien

hemodialisis. Jika CKD berkembang, penurunan fungsi jantung

terjadi karena hipertrofi ventrikel kiri dan disfungsi diastolik yang

terkait dengan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular.5

11
Hiperkalemi dan hipokalemi umum didapatkan pada pasien

CKD yang kemudian menyebabkan gangguan pH ekstraseluler,

magnesium, dan kalsium. Hipertensi, dislipidemia, peradangan

kronik, neuropati primer, dan diabetes melitus menyebabkan

gangguan jantung pada CKD derajat satu dan dua. Pada CKD

derajat tiga dan empat, anemia, toksik uremia, ketidakseimbangan

elektrolit serta volume berlebihan mengakibatkan terganggunya

fungsi jantung. Pada CKD derajat lima akan muncul kalsifikasi

jaringan lunak dan resistensi terhadap eritropoietin (EPO).7

Hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme sekunder, yang juga

digambarkan sebagai gangguan mineral dan tulang pada CKD,

dapat menghasilkan osifikasi pembuluh jantung dan katup karena

transformasi ‘osteoblastik’ sel otot halus vaskular.5

Gambar 2.4. Patofisiologi CRS tipe 4 (sindrom renokardiak kronik)

5) CRS Tipe 5

12
CRS tipe 5 (CRS-5) ditandai dengan disfungsi jantung dan ginjal

yang simultan akibat kondisi sistemik akut atau kronik. Kondisi

paling umum yang mengarah ke tipe ini adalah sepsis, kondisi lain

seperti amiloid atau vaskulitis tergolong jarang. CRS-5 dapat dibagi

menjadi hiperakut (0 - 72 jam setelah diagnosis), akut (3 - 7 hari),

atau subakut (7 - 30 hari) dan kronik (lebih 30 hari). CRS-5 akut

biasanya karena penyakit sistemik yang memengaruhi penyakit

jantung dan ginjal secara bersamaan. CRS jenis ini dapat kembali

seperti keadaaan normal apabila penyakit sistemik yang menjadi

penyebab dasarnya dapat dikontrol. CRS-5 kronik biasanya muncul

berdasarkan perubahan adaptif tubuh untuk melawan dan sebagai

kompensasi kondisi sistemik.5

Sepsis mampu memengaruhi sistem saraf otonom (ANS),

RAAS, dan aksis hipotalamus- hipofisis-kelenjar adrenal yang

dapat memengaruhi fungsi jantung dan/atau ginjal.Disfungsi

otonom dapat dinilai dengan mengamati penurunan variabilitas

denyut jantung, sering dikaitkan dengan pelepasan biomarker

inflamasi seperti IL-6, IL- 10, dan CRP.5

13
Gambar 2.5. Patofisiologi CRS tipe 5

2.5 Faktor Patofisiologi

Proses patofisiologi CRS berguna untuk membedakan antara

pengaturan akut, kronis, dan sistemik untuk alasan terapeutik.8

Gambar 2.6. Faktor Patofisiologi CRS

14
2.6 Diagnosis

1) Biomarker

Biomarker cedera jantung dan ginjal dapat memberikan informasi

berharga ketika diterapkan pada konteks klinis CRS dan dapat

berfungsi untuk menunjukkan cedera jantung atau ginjal dini,

proses perbaikan, dan gejala sisa jangka panjang.

Biomarker Ginjal di CRS

a) Penanda Filtrasi dan Integritas Glomerulus

CysC dan albuminuria mewakili biomarker filtrasi glomerulus

dan integritas pada CRS. CysC adalah protease sistein 13-kDa,

ada di mana-mana di semua sel berinti, yang diproduksi dengan

kecepatan konstan, disaring secara bebas, diserap kembali

sepenuhnya, dan tidak disekresikan di tubulus ginjal. pasien

dengan GJA, serum CysC merupakan indikator kuat untuk rawat

inap kembali dan kematian jangka pendek dan panjang dan

memiliki nilai prognostik aditif bila dikombinasikan biomarker CRS

lainnya seperti NT-proB-NP dan troponin jantung T.9

Demikian pula, albuminuria memiliki nilai prognostik yang kuat

untuk semua penyebab kematian, kematian kardiovaskular, dan

penerimaan kembali pada pasien dengan HF dalam substudi dari

3 percobaan HF utama: CHARM (Candesartan in Heart Failure

Assessment of Reduction in Mortality and Morbidity), GISSI-HF

(Gruppo Italiano per lo Studio della Sopravvivenza nella

15
Insufficienza Cardiaca–Gagal Jantung), dan Val-HeFT (Valsartan

pada Gagal Jantung).9

b) Penanda Cedera Tubular Ginjal

Mikroskopi urin adalah biomarker klinis yang tersedia yang

memiliki nilai diagnostik dalam membedakan penyebab intrinsik

AKI dari perubahan fungsional kreatinin serum dalam pengaturan

GJA. Selain itu, skor keparahan sedimen urin berdasarkan jumlah

sel epitel tubulus ginjal dan gips granular terbukti memiliki nilai

prognostik dalam prediksi memburuknya AKI selama rawat inap.9

NGAL (neutrophil gelatinase-associated lipocalin), protein 25-

kDa yang ditemukan dalam butiran neutrofil yang disekresikan

oleh epitel tubulus ginjal, sel miokard, dan situs organ spesifik

lainnya.NGAL adalah protein yang paling diregulasi yang

diproduksi oleh ginjal dalam pengaturan AKI.9

Kombinasi TIMP-2 (inhibitor jaringan metaloproteinase-2) dan

IGFBP7 (insulin-like growth factorbinding protein 7), keduanya

biomarker tubular yang terlibat dalam penghentian siklus sel G1

selama fase awal cedera sel.9

Biomarker Jantung di CRS

Pasien dengan CKD memiliki lebih tinggi kadar BNP awal

dibandingkan dengan pasien yang cocok dengan fungsi ginjal

normal karena gangguan klirens ginjal, serta kelebihan beban

tekanan/volume kronis dan kardiomiopati terkait CKD. 9

16
ST2 (penekan tumorigenisitas 2) adalah protein umpan yang

diproduksi oleh sel endotel yang melapisi LV dan saluran keluar

aorta sebagai respons terhadap tekanan biomekanik. ST2

berikatan dengan reseptor IL-33 pada kardiomiosit dan sel satelit di

jantung,efek ST2 menyebabkan disfungsi miosit dan fibrosis

jaringan.9

Galektin-3 adalah anggota keluarga lektin pengikat%-

galaktosida yang disintesis oleh makrofag jantung dan diketahui

berinteraksi dengan protein matriks ekstraseluler spesifik, termasuk

laminin, sineksin.9

Troponin jantung sensitivitas tinggi I dan T merupakan

penanda diagnostik dan prognostik pada infark miokard akut (MI).

Selain nilai diagnostiknya, troponin jantung memiliki implikasi

prognostik ketika meningkat pada HF dekompensasi akut bahkan

tanpa adanya iskemia miokard atau penyakit arteri koroner yang

mendasarinya, dan peningkatan kadar dikaitkan dengan risiko

kematian yang lebih tinggi Prevalensi peningkatan troponin jantung

meningkat dengan menurunnya GFR, dan peningkatan

berkelanjutan dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi.9

17
Gambar 2.7. Biomarker Cedera Ginjal dan Jantung Berdasarkan

Lokasi Asal dan Peran Diagnostik dan Prognostik pada AKI, HF, dan CRS

2) Modalitas Pencitraan

a) Ultrasonografi

Ultrasonografi ginjal adalah pemeriksaan rutin yang

digunakan dalam nefrologi. Kemampuan untuk membedakan

antara fibrosis dan peradangan dan untuk membedakan antara

proses patofisiologis yang mendasarinya dalam USG standar

terbatas.2

b) Tomografi Terkomputasi (CT)

CT adalah metode yang memungkinkan evaluasi struktural

dan fungsional ginjal, tetapi memiliki beberapa keterbatasan

yang menghalangi penggunaannya dalam evaluasi serial.2

18
c) Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)

MRI dibandingkan dengan CT adalah pemeriksaan yang

menghindari paparan radiasi. Pencitraan dengan teknik ini

menggunakan medan magnet yang kuat, yang dapat menjadi

kontraindikasi relatif untuk pasien HF tertentu, misalnya, mereka

yang memiliki implan cardioverter-defibrillator non MRI-friendly.2

d) Pencitraan Nuklir

Pencitraan nuklir ginjal adalah modalitas yang sering

digunakan untuk penilaian ginjal. Metode ini memiliki

ketersediaan dan reproduktifitas yang baik; namun, saat ini tidak

dapat diterapkan dalam memantau fungsi ginjal karena dosis

radiasi yang tinggi dan karakteristik pencitraan yang buruk.2

Gambar 2.8. Perbandingan modalitas pencitraan ginjal pada CRS

2.7 Penatalaksanaan

Diuretik loop, termasuk furosemide, torsemide, dan bumetanide, adalah

kelas diuretik yang paling poten. Ada dua strategi dalam hal diuresis: dosis infus

19
kontinu atau menggunakan bolus intravena. Pembersihan kreatinin dapat

digunakan untuk membantu menentukan dosis. Sebagai contoh, pengobatan

dapat dimulai dengan loading dose 40 mg intravena furosemide loading dose

diikuti dengan 10 mg/jam jika klirens kreatinin antara 25 dan 75 mL/menit.10

Gambar 2.9. Tatalaksana pemberian diuretic pada gagal ginjal dan gagal jantung

Di sisi lain, ultrafiltrasi dapat berguna dalam kasus resistif. Namun,

penelitian terbaru menunjukkan bahwa terapi diuretik lebih baik daripada

ultrafiltrasi untuk mengontrol gejala dan penurunan kadar kreatinin dalam

pendekatan awal untuk mendapatkan euvolemia. Inotropik digunakan untuk

kasus refraktori dan dapat membantu memperbaiki fungsi jantung dan

mengurangi kongesti vena.10

Inotropik adalah larutan yang digunakan untuk mengobati hipotensi

dan curah jantung rendah pada pasien dengan CRS. Penggunaan

dopamin, dobutamine, dan milrinone telah meningkatkan indeks jantung,

serta aliran darah ginjal, mengurangi kongesti pasien, dan meningkatkan

angka kematian selama CRS, terutama untuk tipe 1 dan 2.. Kombinasi

dopamin (pada dosis rendah) dan diuretik tampaknya menjadi jawaban

untuk CRS jangka pendek/akut (tipe 1 dan 3).11

Obat yang paling umum digunakan untuk mengobati CRS adalah

20
penghambat β-AR dan inhibitor RAAS. β-AR blocker telah ditunjukkan

untuk mempromosikan peningkatan aliran, mengurangi BP, dan

renoproteksi, mengakibatkan penurunan rawat inap dan kematian akibat

CRS. β-blocker yang paling diindikasikan adalah propranolol, metoprolol,

bisoprolol, dan nebivolol pada pasien gagal jantung, dan carvedilol pada

pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir.11

Inhibitor RAAS dianggap sebagai terapi HF farmakologis pertama

dan telah diperluas untuk pengobatan penyakit ginjal dan kardiorenal,

menunjukkan efisiensi saat mengendalikan CRS. AAS ditargetkan pada

lokasi yang berbeda selama terapi CRS, sebagian besar untuk mengontrol

hipertensi. Terapi RAAS dapat dibagi menjadi angiotensin-converting

enzyme inhibitors (ACEIs), ARBs, dan direct renin inhibitors (DRIs).11

2.8 Prognosis

Mempertimbangkan patofisiologi yang tidak jelas dan modalitas

pengobatan CRS, pasien ini mpaemiliki prognosis yang buruk.

Peningkatan kreatinin serum atau penurunan klirens kreatinin pada pasien

dengan ADHF dikaitkan dengan prognosis yang memburuk. Prognosisnya

bahkan lebih buruk jika peningkatan kreatinin serum atau penurunan

klirens kreatinin disertai dengan oliguria (kurang dari 50 mL/jam), edema,

hiponatremia atau refrakter terhadap diuretik. Selain itu, dua dari tiga

ukuran noninvasif yang ditemukan untuk memprediksi mortalitas di rumah

sakit yang diambil dari analisis ADHFNR adalah cerminan dari fungsi

21
ginjal: kadar nitrogen urea darah awal, tekanan darah sistolik dan

konsentrasi kreatinin serum. Karena disfungsi ginjal secara radikal

memperburuk prognosis pasien dengan gagal jantung, gagal jantung

sebaliknya memperburuk prognosis pasien yang menerima dialisis,

menurunkan kemungkinan bertahan hidup sebanyak 50%.12

22
BAB III

KESIMPULAN

Cardiorenal syndrome adalah penurunan fungsi ginjal akibat adanya

penurunan fungsi jantung. Salah satu fungsi ginjal adalah untuk mengatur garam

dan cairan maka penurunan fungsi ginjal dapat menyebabkan pengobatan terhadap

gagal jantung terganggu. hampir 44% kematian pasien gagal ginjal stadium akhir

(ESRF) disebabkan penyakit kardiovaskular.

Cardiorenal syndrome diklasifikasikan menjadi 5, (1) sindrom kardiorenal

akut yaitu terjadi perburukan fungsi jantung secara akut dan menyebabkan AKI;

(2) sindrom kardiorenal kronis yaitu kelainan kronis fungsi jantung yang berujung

pada disfungsi/cedera ginjal; (3) sindrom renokardiak akut yaitu terjadi

perburukan secara akut fungsi ginjal yang mengarah pada disfungsi dan/atau

cedera jantung, sebagai contoh gagal jantung, aritmia, dan edema paru; (4)

sindrom renokardiak kronik merupakan gagal ginjal yang mengarah pada cedera,

penyakit dan/atau disfungsi jantung, sebagai contoh penyakit gromerular kronis;

(5) sepsis merupakan keterlibatan simultan dari jantung dan ginjal dan

berkembang dalam beberapa pengaturan klinis seperti sepsis, sindrom

hepatorenal, dan penyakit Fabry.

Penegakan diagnosis pada Cardiorenal syndrome ditegakkan dengan (1)

biomarker ginjal di CRS yaitu penanda filtrasi dan integritas glomerulus dan

23
penanda cedera tubular ginjal; (2) biomarker jantung di CRS; (3) modalitas

pencitraan yang meliputi ultrasonografi, tomografi terkomputasi, MRI, dan

pencitraan nuklir.

Pasien dengan Cardiorenal syndrome dapat diberikan diuretic loop

(furosemide, bumetadine, torsemide), ultrafiltrasi dalam kasus resistif, pemberian

inotropic untuk mengobati hipotensi dan curah jantung rendah, pemberian β-

blocker seperti propranolol, metoprolol, bisoprolol, dan nebivolol serta carvedilol

pada pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir.

Prognosis pasien dengan Cardiorenal syndrome buruk. rognosisnya

bahkan lebih buruk jika peningkatan kreatinin serum atau penurunan klirens

kreatinin disertai dengan oliguria (kurang dari 50 mL/jam), edema, hiponatremia

atau refrakter terhadap diuretik.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Dalimunthe NN, Harahap S, Isnanta R, Safri Z, Hasan R, Jamaluddin.

Sindroma Kardiorenal Akibat Gagal Jantung. Published online 2021:1-

32.

2. Łagosz P, Biegus J, Urban S, Zymliński R. Renal Assessment in Acute

Cardiorenal Syndrome. Biomolecules. 2023;13(2):1-20.

doi:10.3390/biom13020239

3. Lucas S. Sindroma Kardiorenal. J Anastesiologi Indones.

2022;14(3):257-273.

4. Fatahillah H, Maret US. Edukasi Pada Pasien Sindroma Kardiorenal

Dalam Upaya Pencegahan Dan Peningkatan Pengetahuan. Ina June.

Published online 2019. https://osf.io/5ces6/download

5. Puspaseruni K. UMM_Sindrom KardioRenal. CDK J. 2021;48(6):327-

332.

6. Ronco C, Bellasi A, Di Lullo L. Cardiorenal Syndrome: An Overview.

Adv Chronic Kidney Dis. 2020;25(5):382-390.

doi:10.1053/j.ackd.2018.08.004

25
7. Kumar U, Garimella PS, Werresten N. Cardiorenal Syndrome-

Pathopysiology. Physiol Behav. 2021;176(3):139-148.

doi:10.1016/j.ccl.2019.04.001.Cardiorenal

8. Prastaro M, Nardi E, Paolillo S, et al. Cardiorenal syndrome:

Pathophysiology as a key to the therapeutic approach in an under-

diagnosed disease. J Clin Ultrasound. 2022;50(8):1110-1124.

doi:10.1002/jcu.23265

9. Rangaswami J, Bhalla V, Blair JEA, et al. Cardiorenal Syndrome:

Classification, Pathophysiology, Diagnosis, and Treatment Strategies:

A Scientific Statement From the American Heart Association. Vol 139.;

2019. doi:10.1161/CIR.0000000000000664

10. Kousa O, Mullane R, Aboeata A. Cardiorenal Syndrome

Pathophysiology Treatment / Management. :7-10.

11. Junho CVC, Trentin-Sonoda M, Panico K, et al. Cardiorenal syndrome:

long road between kidney and heart. Heart Fail Rev. 2022;27(6):2137-

2153. doi:10.1007/s10741-022-10218-w

12. Pokhrel N, Maharjan N, Dhakal B, Arora RR. Cardiorenal syndrome: A

literature review. Exp Clin Cardiol. 2008;13(4):165-170.

26

Anda mungkin juga menyukai