Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus stase jantung

Overdiagnosis Tuberkulosis Paru pada


Congestive Heart Failure

UNIVERSITAS ANDALAS

dr. Hadya Gorga

Pembimbing: dr. Kino Sp. JP (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


SPESIALIS-1 ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN
PEMBULUH DARAH FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................i

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................Ii

DAFTAR SINGKATAN........................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN................................................................................................1

BAB II......................................................................................................................3

ILUSTRASI KASUS...........................................................................................3

BAB III..................................................................................................................14

DISKUSI............................................................................................................14

BAB IV..................................................................................................................23

KESIMPULAN..................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. Rontgen dada di RSUP M. Djamil......................................................4


Gambar 1. EKG di RSUP M. Djamil...................................................................5
Gambar 3 Hukum Ficks........................................................................................9
Gambar 4 Reseptor Batuk.....................................................................................15
Gambar 5. Mekanisme batuk pada kelainan jantung............................................16
Gambar 6. Alur diagnosis TB Paru.......................................................................7
DAFTAR SINGKATAN

CO : Cardiac Output
TB Tuberculosis
CHF Congestive Heart Failure
ADHF Acute Decompensate Heart Failure
CAP Community Acquired Pneumonia
TCM Tes Cepat Molekuler
CTR : Cardio Thoracic Ratio
EKG : Elektrokardiografi
LAD : Left Anterior Descendent
LCX : Left Circumflex
LVH : Left Ventricle Hypertrophy
PCR : Polymerase Chain Reaction
RCA : Right Coronary Artery
SV : Stroke Volume
OAT Obat Anti Tuberkulosis
TCM Tes Cepat Molekuler
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosa complex yang dapat menyerang paru dan organ tubuh
1,2
lainnya . TB Paru sendiri merupakan masalah kesehatan utama pada negara
berkembang. Di Indonesia, TB paru menduduki urutan ke-4 untuk angka
kesakitan sedangkan sebagai penyebab kematian menduduki urutan ke-
5.Berdasarkan epidemiologi indonesia masuk dalam high burden country untuk
tuberkulosis dengan insiden yang tinggi TB menyerang sebagian besar kelompok
usia produktif dari kelompok sosioekonomi lemah. Walau upaya memberantas TB
telah dilakukan, tetapi angka insiden maupun prevalensi TB paru di Indonesia
tidak pernah turun. Dengan bertambahnya penduduk, bertambah pula jumlah
penderita TB paru2.
Gagal jantung adalah sindroma klinis yang ditandai dengan  gejala gagal
jantung (sesak nafas saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau tidak
kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki);
adanya bukti objektif kelainan struktur atau fungsi jantung saat istirahat yang
menyebabkan gangguan pengisian ventrikel atau pemompaan jantung
Studi Farmingham menyebutkan bahwa kejadian gagal jantung per tahun
pada orang berusia > 45 tahun adalah 7,2 kasus setiap 1000 orang laki-laki dan 4,7
kasus setiap 1000 orang perempuan. Di Amerika hampir 5 juta orang menderita
gagal jantung5. Kejadian gagal jantung diperkirakan akan semakin meningkat di
masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup. Secara
keseluruhan 50% dari total pasien meninggal dalam kurun waktu empat tahun.
Sebanyak 15,8% pasien yang datang ke rumah sakit dengan diagnosis gagal
jantung meninggal dan 32% mendapatkan rawat inap kembali dalam waktu satu
tahun pertama.6Seorang pasien yang menderita gagal jantung biasanya sering
kembali datang ke rumah sakit karena yang tinggi dan peningkatan angka
kematian yang tinggi pada penyakit ini. Sekitar 45% pasien gagal jantung akut
akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam dua
belas bulan pertama. Estimasi risiko kematian dan perawatan ulang antara 60 hari

1
berkisar 30-60%, tergantung dari studi populasi.1,7
Peningkatan modalitas pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) sebagai
salah satu alat diagnostik yang sensitif dan spesifik untuk TB diharapkan akan
meningkatkan angka temuan kasus baru. Hal ini dapat meminimalkan kejadian
overdiagnostik maupun underdiagnostik tuberkulosis.
Pada laporan kasus ini pria 60 th, sebelumnya didiagnosis dengan TB paru
yang ditegakan berdasarkan klinis pada pasien congestive heart failure ( CHF)
dengan komorbid diabete melitus. setelah evaluasi ulang tidak terdapat perbaiakn
baik secara klinis dan radiologis. Berdasarkan hal ini penulis tertarik mengangkat
tema overdiagnosis TB paru pada pasien Acute Decompensate Heart Failure on
CHF

2
. BAB II

ILUSTRASI KASUS

Seorang laki-laki 60 tahun datang ke instalasi gawat darurat (IGD) RSUP


DR. M Djamil Padang pada tanggal 22 Agustus 2021, jam 02.00 WIB dengan
keluhan utama sesak napas meningkat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sesak napas tidak menciut dan dirasakan meningkat dengan aktivitas. Sesak sudah
mulai dirasakan sejak 2 bulan yang lalu, bersifat hilang timbul. Batuk sejak 2
bulan yang lalu bersifat hilang timbul. Riwayat nyeri dada sebelumnya tahun
yang lalu hilang timbul. l. Nyeri dada saat ini tidak ada. riwayat nyeri dada ada 1
tahun yang lalu, dan dirawat di bagian jantung RSUP Dr. M.Djamil, pasien
setelah itu tidak kontrol teratur. Keringat malam ada, mual ada muntah tidak ada,
berdebar-debar tidak ada, pusing tidak ada ada, pingsan tidak ada, lelah / letih
tidak ada.
Pasien sedang dalam pengobatan Obat Anti Tuberkulosis kategori 1. obat
OAT diberikan oleh dokter di RST sejak tanggal 14 september 2021. OAT
diberikan berdasarkan klinis, dimana hasil pemeriksaan pada dahak negatif.
Pasien tidak ada riwayat gastritis, tidak ada riwayat asma, dan tidak ada
riwayat stroke. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 15 tahun yang lalu, sejak
1 tahun terkahir pasien tidak rutin rutin kontrol ke dokter., pasien sudah dikenal
diabetes mellitus sejak 3 bulan yang lalu. dan tidak ada riwayat dislipidemia .
pasien memiliki riwayat atopi, yaitu rhinitis alergi dan rutin berobat ke dokter
sejak tahun 2017. Pasien seorang bekas perokok 20 batang / hari selama ± 40
tahun, dan berhenti sejak 6 bulan yang lalu
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis
kooperatif, TD110/85 mmHg, nadi 80x/menit, suhu 36 ̊ C, nafas 40x/menit, tinggi
badan160, berat badan 70 kg, edem tungkai +/+, dan JVP 5+0 cmH2O.
Pada pemeriksaan fisik toraks terlihat bentuk dada normal, pergerakan
dinding dada simetris kiri dan kanan. Pemeriksaan paru ditemukan fremitus kiri
dan kanan sama, perkusi sonor, auskultasi suara nafas bronkovesikuler, ronki +/+,
wheezing -/-. Pemeriksaan fisik jantung Iktus kordis tidak terlihat, Iktus kordis
teraba 3 jari LMCS RIC VI, perkusi batas atasRIC III, bawahRIC VI, auskultasi
S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-).
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan dalam batas normal, saat inspeksi
abdomen distensi ada, supel, hepar dan lien tidak teraba. Perkusi yaitu timpani.
Auskultasi, bising usus normal. Pada pemeriksaan punggung tidak didapatkan
kelainan. Alat kelamin dan anus tidak diperiksa. Pada ekstremitas ditemukan
adanya edema pada kedua tungkai, akral hangat, capillary refill time < 2 detik.
Pemeriksaan Laboratorium rutin pasien ditemukan, kadar hemoglobin 14,1
gr/dl, leukosit 15.260/mm3, hematokrit 49%, trombosit 254.000/mm3. Gula darah
sewaktu 232 mg/dl, ureum 75 mg/dl, kreatinin 1.1 mg/dl. Kadar elektrolit natrium
133 mmol/l, kalium 4,7 mmol/l, klorida 104 mmol/L, dan procalcitonin 0,59.
Prothrombin time 10, APTT 27, SGOT/SGPT 41/33

Gambar 1. Rontgen dada di RSUP M. Djamil

Pada pemeriksaan rontgen dada didapatkan CTR 59 % tampak


hilus melebar dengan kranialisasi vaskuler, tampak infiltrat diparacardial
kanan . kesan dari rontgen dada tampak cardiomegali dengan bendungan
paru dan pneumonia dextra.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pasien di
diagnosis dengan :
- susp covid 19
-Community acquired pneumonia
-TB paru terkonfirmasi klinis dalam pengobatan OAT kat 1 hari ke-16
-Diabetes melitus tipe 2
Pasien dirawat diruangan yellow zone pinere. Pasien terapi antibiotik
ampisilin sulbactam 3 x 3 gram, levofloksasin 1 x 750 mg , pasien juga
direncanakan untuk pemeriksaan tes PCR dan TCM TB. Selain itu, pasien juga
mendapat terapi dari bagian penyakit dalam Insulin 3 x 10 iu.
Dari hasil pemeriksaan PCR ditemukan hasil negatif, sehingga pasien
masuk kategori discarded covid 19. Hasil Tes Cepat molekuler TB juga
menunjukan tidak adanya bakteri TB yang terdeteksi, sehingga dengan
pertimbangan klinis dan penunjang, maka pengobatan OAT pada pasien
dihentikan dan diagnosa TB paru pada pasien tidak tegak. Pasien kemudian
dipindahkan keruangan greenzone paru.
Gambar 2. EKG di RSUP M. Djamil

Selama rawatan diruangan greenzone Paru, terjadi peningkatan gejala klinis


berupa sesak napas. Dilakukan pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG). Pada
pemeriksaan Elektrokardigraf ditemukan sinus takikardia, QRS rate 115x/menit,
axis normal, P wave normal, PR interval 0,16 s, QRS durasi 0,06 s, ST-T change
tidak ada, Left Ventrikuler hipertrofi (+), Right Ventrikuler Hipertrofi (+), Qtc
412
Pasien kemudian dikonsultasikan ke bagian Jantung dengan kesimpulan
congestive heart failure fc II. Pasien direncanakan untuk echocardiografi. Pasien
mendapat tambahan terapi furosemide 1 x 20 mg, candesartan 1 x 4 mg,
spironolakton 1 x 12,5 mg. setelah dilakukan echocardiografi didapatkan hasil:

 Fungsi sistolik global LV menurun , EF 16% (simpson)


 Kinetik anteroseptal, anterior dan anterolateral , inferoseptal, inferior.
Segmen lain kinetik baik
 LVH eksentrik hipertrofi dengan fungsi diastolik LV tidak bisa dinilai.
 AR Mld
 MR moderate ec iskemik
 TR moderate
 Kontraktilitas RV menurun, efusi pericard minimal disekliling ruang jantung

Pada hari ke 6 rawatan pasien kemudian dipindahkan ke ruangan CVCU


untuk tatalaksana lebih lanjut dengan diagnose Acute Decompencate heart
failure on Congestive heart Failure ec Coronary Artery Desease degan LV
thrombus. Pasien mendapat tambahan terapi drip furosemide 10 ampul dengan
kecepatan 0,3cc/jam, drip nitrogliserin 1 amp dengan kecepatan 1,5
cc/jamlovenox 2 x 0,4 mg dan direncanakan cek PT/APTT/INR ulang
Untuk evaluasi terapi pada pasien juga dilakukan pemeriksaan
hematologi rutin serial, selain itu juga dilakukan pemeriksaan EKG serial dan
pengiriman sampel kultur sputum. Hasil labor terbaru leukosit perbaikan
menjadi 11990, trombosit 75000, na/k/cl 127/3,0/93, albumin 2,5 dan globulin
3.4, pemeriksaan faal paru SGOT/SGPT meningkat 107/761
Pada evaluasi rawatan hari ke-10. keluhan sesak napas sudah berkurang,
batuk masih ada berdahak. Dilakukan evaluasi laboratorium dengan hasil
leukosit 11750, trombosit 138000, procalcitonin 0,32. pemeriksaan fungsi hati
menunjukan perbaikan. Nilai SGOT dan SGPT menurun menjadi 52/358. nilai
elektrolit juga menunjukan perbaikan natrium naik menjadi 132, kalium 3,9 dan
klorida 93. pemberian antibiotik pada pasien dihentikan dan di gantikan dengan
terapi oral cefixim 2 x 200 mg.
BAB III
DISKUSI
Seorang laki-laki berusia 60 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil
Padang dengan diagnosis awal susp covid 19 dd/ CAP, tb paru terkonfirmasi
klinis dalam pengobatan oat hari ke 16 disertai ADHF on CHF. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluhkan
sesak napas meningkat sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Sesak nafas
terasa sejak 1 bulan yang lalu sesak tidak menciut, tidak dipengaruhi emosi,
cuaca, makanan, sesak terasa terus menerus, pasien sering terbangun tengah
malam karena sesaknya. Sesak terutama dirasakan ketika berjalan kaki,dan
beraktivitas. sesak terasa sama beratnya ketika siang maupun malam hari. Pasien
juga mengeluhkan cepat lelah ketika melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien
menyatakan sesak hilang bila beristirahat. Terdapat riwayat kedua tungkai sembab
sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi kuman
TB. Gejala klinis TB dibagi atas 2 golongan yaitu gejala respiratorik dan gejala
sistemik. Gejala respiratoris berupa batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri
dada. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi mulai dari tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis
pada saat medical check up. Gejala respiratorius yang tersering adalah batuk,
batuk terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak keluar. Sedangkan gejala sistemik berupa demam
,malaise, keringat malam, anoreksia dan penurunan berat badan.
Pada pasien ini ditemui gejala respiratorius dan gejala sistemik yang telah
terjadi lebih dari 1 bulan. Gejala pada pasien yang ditemui meliputi, sesak napas
dan batuk yang sudah dirasakan lebih kurang.
Sesak napas merupakan suatu sensasi dengan berbagai kulaitas. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi sesak . Reseptor dan jalur sensorik serta pusat
talamik dan kortikal memegang peranan penting dalam persepsi seseorang yang
mengalami sesak. Terdapat 3 reseptor sensorik, meliputi kemoreseptor,
metaboreseptor, mekanoreseptor. Pada pasien sesak bisa diakibatkan oleh cairan
efusi menhambat pengembangan paru sehinga terjadi stimulasi pada
meknoreseptor yang terdapat pada paru
Peningakatan sesak napas dapat juga diakibatkan oleh adanya infeksi akut
pada paru. Salah satunya adalah pneumonia. Diagnosis pneumonia komuniti
didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisik, foto toraks dan
laboratorium.
Sesak napas pada pasien ini disebabkan oleh adanya infeksi pada parenkim
paru. Infeksi pada parenkim paru menyebabkan adanya infiltrasi dari sel radang
dan terjadi peradangan pada parenkim paru. Berdasarkan hukum Fick’s kecepatan
difusi berbanding lurus dengan perbedaan tekanan (P1-P2), luas permukaan,
kelarutan zat dan berbanding terbalik dengan ketebalan. Semakin besar perbedaan
tekanan yang terjadi maka kecepatan dan konsentrasi O 2 yang mencapai arteri
akan semakin tinggi. Sama halnya dengan luas permukaan alveoli, semakin luas
permukaan alveoli makan akan semakin cepat terjadinya proses difusi. Hal ini
juga berlaku untuk kelarutan zat semakin larut zat tersebut terhadap membrane
alveoli maka akan semakin cepat gas tersebut akan berdifusi, namun hal ini
berbanding terbalik dengan ketebalan semakin tebal suatu membran difusi makan
akan semakin lambat proses difusi terjadi dan berdampak terhapat semakin kecil
5,9
konsentrasi O2 yang mencapai kapiler. Pada kasus pneumonia terjadi
peningkatan ketebalan dari membran difusi sehingga menyebabkan kecepatan
difusi akan berkurang yang berdampak pada penurunan PaO 2. Hal ini dapat dilihat
pada gambar berikut5

Gambar 3. Hukum ficks


Pasien juga di curigai sebagai susp covid dengan memakai kriteria dari
pedoman tatalaksana covid 19 edisi 3 dimana suspekcovid 19 adalah Seseorang
yang memiliki salah satu dari kriteria berikut8:
 Seseorang yang memenuhi salah satu kriteria klinis DAN salah satu kriteria
epidemiologis: Kriteria Klinis: Demam akut (≥ 380 C)/riwayat demam* dan
batuk; ATAU Terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam/riwayat
demam*, batuk, kelelahan (fatigue), sakit kepala, myalgia, nyeri tenggorokan,
coryza/ pilek/ hidung tersumbat*, sesak nafas, anoreksia/mual/muntah*,
diare, penurunan kesadaran DAN
 Kriteria Epidemiologis: Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki
riwayat tinggal atau bekerja di tempat berisiko tinggi penularan**; ATAU
Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau
bepergian di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal***;
ATAU Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan, baik melakukan pelayanan medis, dan non-medis, serta
petugas yang melaksanakan kegiatan investigasi, pemantauan kasus dan
kontak.
Pada pasien dilakuakn pemeriksaan PCR dan ditemukan hasil negatif, sehingga
pasien masuk kategori discarded covid 19 dan pasien dapat dipindahkan keruang
rawtaan greenzone
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah dilakukan pada
pasien ini dapat menegakan diagnosis pneumonia. Berdasarkan Pneumonia
Severity Index , pasien ini berada pada kelas risiko III (nilai 83) dapat dilakukan
rawat inap atau rawat jalan. Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai
untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah9
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.

a. Frekuensi napas > 30/menit


b. Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
c. Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
d. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
e. Tekanan sistolik < 90 mmHg
f. Tekanan diastolik < 60 mmHg

3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

Pada pasien diberikan antibiotik golongan betalaktam dan florokuinolon


respirasi yaitu ampisilin sulbactam dan levofloxacin karena pasien termasuk
kedalam severe pneumonia sesuai dengan Infectious Diseases Society Of America
(IDSA) tahun 2019
Hasil kultur sputum pada pasien ini tidak ditemukan pertumbuhan
mikorganisme. Hasil ini karena pada pasien telah diberikan antibiotik selama satu
hari dan pada hari kedua dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas.
Diperkirakan mikroorganisme penyebab pneumonia pada pasien ini telah respon
terhadap pemberian antibiotik Pasien menunjukkan respon yang baik terhadap
kedua antibiotik intravena yang diberikan. Hal ini dibuktikan dengan adanya
perbaikan gejala klinis dan penurunan jumlah leukosit pada pemeriksaan ulang
darah rutin yang dilakukan pada hari ketiga perawatan. Pemberian antibiotik
dilanjutkan sampai perawatan hari kelima. Antibiotik intravena dialihkan ke oral
pada hari perawatan keempat.
Pengubahan antibiotik intravena ke oral harus memperhatikan
ketersediaan antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral yang
efektivitasnya mampu mengimbangi efektivitas antibiotik iv yang telah
digunakan. Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi
sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau
berbeda, potensi lebih rendah).9
a) Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
b) Contoh switch over : seftasidin iv ke siprofloksasin oral
c) Contoh step down : amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim
oral.
Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada
hari ke 4 diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan.
Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komuniti9:
a) Hemodinamik stabil
b) Gejala klinis membaik
c) Dapat minum obat oral
d) Fungsi gastrointestinal normal
Kriteria klinis stabil
A. Suhu ≤ 37,8 derajat celcius
B. Frekuensi nadi ≤ 100x /menit
C. Frekuensi napas ≤ 24x/menit
D. Tekanan darah sistolik ≥90mmHg
E. Saturasi oksigen arteri ≥90% atau PO2≥60mmHg
Pada pasien ini pengalihan antibiotik dari intravena ke oral langsung
dilakukan setelah didapatkan keadaan klinis pasien yang membaik seperti tidak
ada lagi demam, batuk yang berkurang, sesak napas tidak ada lagi, ronki tidak
ditemukan lagi saat pemeriksaan fisik dan adanya perbaikan nilai leukosit.
Antibiotik oral yang diberikan adalah cefixime9
Sesak napas juga dapat diakibatkan oleh gangguan pada jantung seperti
pada CHF dan gagal jantung akut dan kronik. Gagal jantung adalah kondisi kronis
dan progresif di mana jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk
memenuhi kebutuhan tubuh akan darah dan oksigen. Gagal jantung merupakan
bentuk akhir dan manifestasi terberat dari hampir semua bentuk penyakit jantung.
Etiologi dapat dikelompokkan ke dalam kelompok yang mengganggu
kontraktilitas ventrikel, meningkatkan afterload, atau mengganggu relaksasi dan
pengisian ventrikel.3
Pada pasien ditemukan riwayat nyeri dada ada 6 bulan yang lalu, dan
dirawat di bagian jantung RSUP Dr. M.Djamil. Dari pemeriksaan EKG terdapat
gambaran fragmented QRS (rSR’) di lead III, aVL dan aVF, menunjukkan adanya
infark myocardial lama.8 Terdapat kemungkinan pasien memiliki CAD, hal ini
didukung oleh hasil anamnesis yang menyatakan pasien dulu merupakan seorang
perokok berat (> 60 batang per hari) selama lebih dari 30 tahun dan baru berhenti
3 tahun yang lalu saat gejala sesak mulai timbul
Beberapa mekanisme kompensasi alami terjadi pada pasien gagal jantung
untuk menghambat penurunan curah jantung dan membantu mempertahankan
tekanan darah yang adekuat untuk perfusi organ vital. Kompensasi ini meliputi:
1. Mekanisme Frank-Starling,
Stroke volume menurun akan menyebabkan pengosongan ventrikel
yang tidak lengkap, sehingga volume darah yang terakumulasi di
ventrikel selama diastol lebih tinggi dari biasanya. Peregangan yang
meningkat pada miofibers, yang bekerja melalui mekanisme Frank-
Starling, menginduksi stroke volume yang lebih besar pada kontraksi
selanjutnya, yang membantu mengosongkan ventrikel kiri dan
mempertahankan curah jantung.6,7
2. Perubahan neurohormonal,
Beberapa mekanisme kompensasi neurohormonal diaktifkan pada
gagal jantung sebagai respons terhadap penurunan curah jantung. Tiga
yang terpenting melibatkan sistem saraf adrenergik, sistem renin-
angiotensin-aldosteron, dan peningkatan produksi hormon antidiuretik
(ADH). Mekanisme ini berfungsi untuk meningkatkan ketahanan
vaskular sistemik, yang membantu mempertahankan perfusi arteri ke
organ vital, bahkan dengan curah jantung yang berkurang.
3. Hipertrofi ventrikel dan remodeling
Hipertrofi ventrikel dan remodeling berkembang seiring berjalannya
waktu sebagai respons terhadap beban hemodinamik. Peningkatan
massa serat otot ini berfungsi sebagai mekanisme kompensasi yang
membantu mempertahankan gaya kontraktil dan menangkal stres
dinding ventrikel yang tinggi.6
Pada pemeriksaan EKG pasien didapatkan Berdasarkan kriteria Sokolow-
Lyon ( jumlah tinggi S wave di V2 + R wave di V6 > 35mm) dan kriteria Cornell
(jumlah tinggi R wave di aVL + S wave di V3 > 28mm pada pria atau > 20mm
pada wanita), pasien mengalami hipertrofi ventrikel kiri.
Gagal jantung akut (acute heart failure) adalah serangan cepat/ rapid onset
atau adanya perubahan yang cepat dari tanda dan gejala gagal jantung yang
berakibat diperlukannya tindakan secara urgent. Gagal jantung akut dapat berupa
serangan pertama atau perburukan dari gagal jantung kronik sebelumnya.
Penyakit kardiovaskular dan non-kardiovaskular dapat mencetuskan gagal
jantung akut. Contoh yang paling sering antara lain:
1. Peninggian afterload pada penderita hipertensi sistemik atau pulmonal
2. Peninggian preload karena volume overload atau retensi air
3. Keadaan high-output state seperti pada infeksi
Kondisi lain yang dapar mencetuskan gagal jantung akut adalah ketidakpatuhan
minum obat-obat gagal jantung atau nasehat medik, dan pemakaian obat seperti
NSAIDs dan cyclo-oxygenase inhibitor.7
Pada pasien ini diketahui dari anamnesis bahwa pasien tidak kontrol
teratur setelah dirawat di RSUP M. Djamil 1 th yang lalu. Dari pemeriksaan
rontgen thoraks ditemukan gambaran infiltrat (+) pada paru yang menunjukkan
adanya kejadian infeksi. Salah satu atau gabungan dari faktor-faktor ini dapat
menjadi pencetus terjadinya eksaserbasi akut dari gagal jantung pada pasien ini.
Kehadiran kongesti dapat ditemukan pada 70% sampai 80% kasus gagal
jantung, dengan tanda takipnea, crackles, suara jantung ketiga, peningkatan
tekanan vena jugularis, dan edema kaki.
Pasien juga mengeluhkaan adanya batuk sejak 1 bulan yang lalu, dan sejak
1 minggu ini disertai dengan perubahan karakteristik dahak. Banyak etiologi yang
menyebabkan batuk pada pasien. ekspirasi ekplosif yang berfungsi untuk
melindungi paru dengan cara meningkatkan pembersihan sekresi dan partikel pada
saluran napas serta melindungi dari aspirasi material asing yang terjadi akibat
aspirasi atau inhalasi partikel tertentu, patogen, akumulasi cairan, postnasal drip,
inflamasi dan mediator-mediator yang berhubungan dengan inflamasi.
Gambar 4. Reseptor batuk14
Pada pasien selain terdapat gejala akut, juga terdapat gejala kronis berupa
batuk sejak 1 bulan yang lalu, tidak berdahak. Perubahan karakteristik dahak
terjadi sejak 1 minggu sebelum masuk RS yang menandakan adanya proses akut
yang mendampingi.
Pada dasarnya mekanisme batuk dibagi dalam 4 fase yaitu fase iritan, fase
inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi. Batuk biasanya bermula dari inhalasi
sejumlah udara, kemudian glottis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan
meningkat yang akhirnhya diikuti dengan pembukaan glottis secara tiba tiba dan
ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu. Fase iritasi diawali oleh
reseptor yang teraktivasi akibat bahan iritan seperti asap rokok, debu dan partikel
lainnya. Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah
besar udara, pada saat ini glottis secara reflek sudah terbuka. Inspirasi terjadi
secara dalam dan cepat, sehingga udara dengan cepat dan banyak masuk ke dalam
paru. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara
50% dari tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital. Hal ini meningkatkan
tekanan intratorakal. Peningkatan tekanan intratorakal ini diperlukan untuk fase
selanjutnya yaitu fase ekspirasi. Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase
kompresi yaitu glottis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di
paru dan abdomen akan meningkat sampai 100 – 200 mmHg.
Gambar. 5. mekanisme baruk pada kelainan jantung

Tujuan penutupan glottis adalah untuk mempertahankan volume paru pada


saat tekanan intratorakal tinggi. Pada saat ini juga terjadi pemendekan otot
ekspirasi yang mengakibatkan kontraksi otot ekspirasi sehingga meningkatkan
tekanan intratorakal dan intraabdomen yang diperlukan untuk fase selanjutnya.
Kemudian secara aktif, glottis akan terbuka secara tiba tiba akibat kontraksi aktif
otot ekspirasi, dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar dalam jumlah
besar dengan kecepatan tinggi disertai dengan pengeluaran benda benda asing dan
bahan bahan lain, dan menggetarkan jaringan di saluran napas serta udara yang
ada sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal.14
Batuk pada pasien dengan penyakit jantung dapat terjadi karna beberapa
hal, seperti yang tampak pada gambar.6 . adanya gangguan irama jantung, dan
gagal jantung dsapat mencetuskan batuk dengan mekanisme yang berbeda. Selain
itu terdapat juga peran reseptor batuk yang salah satunya juga terdapat di
pericardium serta peran nervus vagus.10-11

Salah satu penyebab batuk lebih dari 2 minggu adalah tuberkulosis paru.
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi kuman TB.
Gejala klinis TB dibagi atas 2 golongan yaitu gejala respiratorik dan gejala
sistemik. Gejala respiratoris berupa batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri
dada. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi mulai dari tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis
pada saat medical check up. Gejala respiratorius yang tersering adalah batuk,
batuk terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak keluar. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit, maka mungkin pasien tidak ada gejala batuk. Sedangkan gejala sistemik
berupa demam ,malaise, keringat malam, anoreksia dan penurunan berat badan.
Pada pasien terdapat gejala sistemik berupa riwayat demam, dan gejala
respiratorik berupa batuk sejak 1 bulan yang lalu. 4
Berdasarkan guideline yang ada di International Standardized Tuberculosis
(ISTC 3) maupun dari pedoman tuberkulosis yang dikeluarkan Perhimpunan
dokter paru Indonesia pada tahun 2021 pasien TB yang terdiagnosis secara klinis
yaitu pasien TB yang tidak memenuhi kriteria diagnosis secara bakteriologis,
namun berdasarakan bukti lsin yang kuat tetap didianosis dan di tatalaksana
sebagai TB oelhe dokter yang merawat. Termasuk didalam klasifikasi ini adalah4 :
 Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foro torak yang
mendukung TB
 Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotik non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
 Pasien TB ektra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun lanorratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.

Berdasarkan pedoman diatas disimpulkan pemebrian OAT pada pasien ini


berdasarkan klinis batuk pasien yang tidak berkurang walaupun sudah diberikan
antibiotik sebelumhya, ditambah dengan adanya faktor risiko DM pada pasien.
Gambaran radiologis pasien tidak menunjukan gambaran khas TB hal ini bisa
disebabkan oleh risiko DM pada pasien. Dimana dalam beberapa literaut
dikatakan gambaran radiologis TB pada pasien DM maupun imunokompromis
tidak khas pada apek paru, namun dapat ditemukan infitrat pada lobus bawah
terutama pada percabangan bronkus segmen B6. ini dikenal dengan istilah lower
lobe infiltrat.
Gambar 6. Alur Diagnosis TB1

Evaluasi terhadap pengobatan OAT pada pasien dilakukan selama


rawatan. Pasien dilakukan pemeriksaan Tes Cepat Molekuler ulang, dan rongent
dada ulang. Dengan mempertimbangkan klinis pasien yang tidak mengalami
perubahan setelah 3 minggu pemberian OAT , diperkuat dengan hasil
pemeriksaan TCM ulang dan rontgen torak ulang, maka diputuskan pengobatan
Tuberkulosis paru pada pasien dihentikan.1,2
Pada salah satu penelitian yang dilakuakn di beberapa negara berkembang
di afrika ditemjukan adanya kecenderungan overdiagnosis tuberkulosis pada
pasien dengan gangguan jantung. Adanya batuk dan sesak yang lama menjadi
salah satu faktor yang membuat beberapa senter TB untuk mengarahkan diagnosis
ke TB paru. Sebanyak 53% dari sampel penelitian tersebut memiliki gejala sesak
dan batuk kronik yang ternyata terkait dengan perjalan penyakit jantung15.
Berdasarkan penelitian multisenter yang dilakukan pada tahun 2018 di
iran, ada banyak faktor yang menyebabkan adanya kesalahan diagnostik
tuberkulosis pada negara berkembang diantaranya16 :
 Kegagalan dalam menggali informasi riwayat pasien dan pemeriksaan fisik
 Kurangnya wawasan terkait metode klinis dalam mendiagnosis tuberkulosis
 Kegagalan dalam memahami progesivitas penyakit berdasarkan waktu
 Adanya kecenderungan untuk mengobati gejala dibanding penelusuran
penyakit
 Ketidakmampuan dalam mengemukan hipotesis umum dan meningkatkan
pemahaman terkait penyakit secara terstruktur

Kecenderungan overdiagnosis TB Paru pada pasien dengan riwayat batuk


dan sesak lama pada beberapa senter penelitian dapat terjadi terutama pada
penyakit yang juga memliki gejala yang sama salah satunya penyakit
cardiovaskuler. 15

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan beberapa poin


1. Diagnosis tuberkulosis pada pasien ini tidak tegak. Berdasarkan evaluasi
pengobatan tidak ditemukan perbaikan yang berarti dari klinis, radiologis. Serta
pemeriksaan ulang dahak pada pasien negatif.
2. Adanya gejala yang hampir sama antara beberapa kelaianan paru dan jantung
diharapkan dapat menjadi pemacu bagi tenaga medis untuk memikirkan
kemungkinan diagnosis banding lainnya sehingga tatalaksana pada pasien dapat
terjalin secara efektif dan komprehensif
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan


penatalaksanaan tuberkulosis di Indonesia. Jakarta, 2021: 1-64
2. World Health Organization. Global tuberculosis report 2020.
Geneva:WHO Press, 2020: 32-5
3. World Health Organization. INTERNATIONAL STANDARDS FOR
Tuberculosis Care 3th edition.2014
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.67 Tahun 2016
Penanggulangan Tuberkulosis, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta. 2016: 60-63
5. West JB, Pulmonary physiology and pathophysiology : an integrated,
case-based approach 2nd Ed. 2016
6. PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia).
Pedoman tatalaksana gagal jantung. Edisi pertama. 2015.
7. Leonard LS. Patophysiology of heart disease. 5th edition. Philadelphia :
Wolters Kluwer Lippincott Williams and Wilkins, 2011 ; 224
8. PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI. Pedoman tatalaksana COVID-
19 Edisi 3 Desember 2020. Pedoman Tatalaksana COVID-19. 2020. 36–
37 p. Available from: https://www.papdi.or.id/download/983-pedoman-
tatalaksana-covid-19-edisi-3-desember-2020
9. IDSA ATS CAP guidelines [2019]. Available from:
https://www21.ucsg.edu.ec:2128/contents/image?imageKey=ID
%2F71665&topicKey=ID%2F7031&source=see_link
10. Tanabe T, Rozycki HJ, Kanoh S, Rubin BK. Cardiac asthma: New insights into
an old disease. Expert Rev Respir Med. 2012;6(6):705–14.
11. Grabczak EM, Stec S, Dabrowska M, Plevkova J, Krenke R. Cough as a
cause and consequence of heart dysfunction-Current state of art. Physiol
Res. 2020;69:S105–21.
12. Dewayanti SR. Bronchial Hypereactivity in Heart Failure Patients Hipereaktivitas
Bronkus pada Pasien Gagal Jantung. 2011;32(3).

13. Wina JF. in Smear-Negative Pulmonary Tuberculosis Patients.


2012;I(4):8372–8372.
14. Zanasi A, Lanata L, Fontana G, Saibene F, Dicpinigaitis P, Blasio F De.
Sensory Pathways and Neural Modulation of Cough. In: Cough :
Pathophysiology, Diagnosis and Treatment. Springer. 2011. p. 3
15. Neshati H, Sheybani F, Naderi H, Sarvghad M, Soltani AK, Efterkharpoor
E, et al. Diagnostic Errors in Tuberculous Patients: A Multicenter Study
from a Developing Country. J Environ Public Health. 2018;2018.
16. Desalegn DM, Kitila KT, Balcha HM, Gebeyehu CS, Kidan YW, Amare
K, et al. Misdiagnosis of pulmonary tuberculosis and associated factors in
peripheral laboratories: A retrospective study, Addis Ababa, Ethiopia.
BMC Res Notes [Internet]. 2018;11(1):1–7. Available from:
https://doi.org/10.1186/s13104-018-3414-6
.

Anda mungkin juga menyukai