Anda di halaman 1dari 29

Responsi Umum

SEORANG PASIEN DENGAN PNEUMONIA KOMUNITAS


LEMBAR PENGESAHAN

Responsi umum dengan judul:

SEORANG PASIEN DENGAN PNEUMONIA KOMUNITAS

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

LAPORAN KASUS ............................................................................................... 2

PEMBAHASAN .................................................................................................. 16

RINGKASAN ...................................................................................................... 21

LAMPIRAN ......................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25

ii
PENDAHULUAN

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari

bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta

menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. 1

Prevalensi pneumonia di Indonesia berdasarkan diagnosis nakes pada tahun 2018

adalah 2% atau sekitar 5,4 juta penduduk. Sulawesi Utara memiliki prevalensi

pneumonia pada tahun 2018 sebesar 1,9% atau sekitar 46 ribu penduduk.2

Pneumonia dikelompokkan menjadi pneumonia komunitas yakni pneumonia

yang didapat di masyarakat atau terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit, dengan

pneumonia nosokomial yakni pneumonia yang didapat di rumah perawatan terjadi

48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit, baik di ruang rawat umum ataupun

ICU. Penyebab pneumonia antara lain Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma

pneumoniae, dan Haemophilus influenzae. Gejala dari pneumonia adalah demam,

menggigil, batuk berdahak, napas cepat dangkal, nyeri, dan terasa berat pada

seluruh lapangan dada.1

Pneumonia komunitas ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,

pemeriksaan fisik, foto toraks, dan laboratorium di mana diagnosis pasti ditegakkan

jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan

2 atau lebih gejala antara lain batuk-batuk bertambah, perubahan karakterisitik

dahak/purulen, suhu tubuh ≥38°C/riwayat demam, ditemukan tanda-tanda

konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki, leukosit ≥10.000 atau <4.500.3

Berikut akan dilaporkan sebuah kasus mengenai pneumonia komunitas pada

pasien yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof. Dr. R. D.

Kandou Manado.

1
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki Tn. LMH, usia 51 tahun, berlatar belakang suku Minahasa,

alamat tempat tinggal di Pineleng, pekerjaan sebagai petani datang ke instalasi

gawat darurat dirujuk dari Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Manado dengan keluhan

sesak napas, batuk berdahak, dan lemah badan. Sesak napas dirasakan sejak awal

April dan memberat 7 hari sebelum masuk RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

atau pada hari dibawa ke RS Bhayangkara Manado. Sesak napas dirasakan secara

terus menerus saat beraktivitas maupun saat hanya beristirahat, dan dada terasa

berat setiap menarik napas. Pasien merasa sesak berkurang saat duduk dan dirasa

memberat ketika berbaring telentang. Pasien juga mengeluh batuk berdahak bening

kekuningan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien batuk setiap saat dan

terus menerus mengeluarkan dahak. Pasien tidak meminum obat apa pun untuk

meredakan batuknya. Pasien mengeluh tidak bisa tidur karena batuk terus menerus.

Pasien mengeluh demam sumer-sumer sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit.

Pasien tidak meminum obat apa pun untuk meredakan demamnya. Lemah badan

juga dirasa oleh pasien dan memberat sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit.

Pasien masih bisa duduk, berdiri, berjalan, dan menggerakan tubuh saat masuk

rumah sakit. Pasien merasa berkeringat terlebih pada malam hari. Pasien

mengatakan mengalami penurunan berat badan kurang lebih 4 kg dalam 1 bulan

terakhir.

Pasien tidak ada keluhan nyeri kepala, gangguan penciuman, benjolan, nyeri

dada, nyeri ulu hati, nyeri abdomen, susah buang air kecil dan buang air besar.

Pasien sudah dilakukan swab nasofaring untuk pemeriksaan Polymerase Chain

2
Reaction (PCR) Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) oleh rumah sakit yang

merujuk dengan hasil pemeriksaan negatif.

Riwayat penyakit dahulu untuk tuberkulosis paru disangkal, juga penyakit

lainnya seperti hipertensi, diabetes melitus, asam urat, penyakit jantung, penyakit

hati, dan penyakit ginjal disangkal. Pasien tidak pernah pengobatan 6 bulan maupun

pengobatan lainnya. Pasien memiliki kebiasan merokok sejak remaja sehari bisa

menghabiskan 1 bungkus rokok dan baru berhenti 1 bulan lalu. Pasien juga

memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol sejak remaja seminggu bisa 3 kali,

dan 1 kali bisa 1 botol 600 ml alkohol 40%. Pasien memiliki kebiasaan minum kopi

sehari 2 gelas. Keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit yang sama dengan

pasien.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak berat dengan

kesadaran compos mentis. Tekanan darah (TD) 120/80 mmHg, nadi (N) 84

kali/menit, respirasi (R) 30 kali/menit, suhu badan (SB) 37,2C, SpO2 90% tanpa

bantuan pemberian oksigen menjadi 98% dengan bantuan pemberian oksigen

melalui non-breathing mask (NRM) 10 l/menit, berat badan 50 kg, tinggi badan 163

cm dengan indeks massa tubuh (IMT) 18,82 kg/m2, status gizi berat badan kurang.

Pada pemeriksaan kepala tidak ditemukan konjungtiva tidak anemis, sklera tidak

ikterik, pupil bulat isokor, refleks cahaya ada dan normal, hidung normal, faring

tidak hiperemis. Pemeriksaan leher didapatkan tekanan vena jugularis 5+2 cm H2O,

tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan toraks inspeksi

didapatkan retraksi dada saat inspirasi, dan saat mengembang dada kiri tertinggal

dibanding dengan dada kanan, tidak ditemukan jejas. Palpasi ditemukan stem

fremitus menurun pada 1/2 distal lapang paru kiri, tidak ditemukan adanya benjolan

3
pada dada. Perkusi redup pada ruang sela iga 5, 6, dan 7 dada kiri saat pasien duduk,

sedangkan pada lapang paru lainnya sonor. Auskultasi ditemukan suara pernapasan

vesikuler menurun dan bronkial dominan, suara pernapasan menurun pada paru

kiri, rhonki basah nyaring pada kedua lapang paru, wheezing tidak ditemukan pada

kedua lapang paru. Kemudiaan pada pemeriksaan toraks dari sisi posterior, inspeksi

terlihat dada sebelah kiri tertinggal terangkat dibandingkan dada kanan. Palpasi di

temukan stem fremitus menurun pada 1/2 distal lapang paru kiri dan meningkat

pada 1/3 distal lapang paru kanan, tidak ditemukan benjolan. Perkusi redup pada

ruang sela iga 5 ke bawah saat posisi pasien duduk. Auskultasi terdengar suara

pernapasan bronkial, rhonki basah nyaring pada kedua lapang paru, wheezing tidak

ditemukan. Pemeriksaan jantung inspeksi iktus kordis tidak terlihat, palpasi iktus

kordis tidak teraba, perkusi batas jantung kanan pada linea sternalis dextra ruang

sela iga 4, batas jantung kiri linea midklavikularis sinistra ruang sela iga 5,

auskultasi bunyi jantung regular terdengar bunyi jantung 1 dan 2, tidak ada murmur

dan gallop tidak didapat. Pada pemeriksaan abdomen inspeksi perut datar tidak ada

jejas. Auskultasi ditemukan bising usus terdengar normal 6 kali/menit. Palpasi

abdomen lemas, tidak ditemukan pembesaran hepar dan limpa, tidak ada nyeri

tekan epigastrium, suprapubik, dan regio abdomen lainnya. Perkusi didapatkan

perkusi timpani pada seluruh regio abdomen dan tidak ada nyeri ketok

kostovertebra. Pada pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah akral hangat, dan

tidak ditemukan edema di kedua lengan dan kedua tungkai.

4
Pemeriksaan laboratorium pada saat pasien masuk rumah sakit adalah

hemoglobin 12,2 g/dl, hematokrit 36,2%, MCH 30,7 pg, MCHC 33,7 g/dl, MCV

91,2 fl, eritrosit 3,97 x 106/µl, leukosit 15.800/µl, trombosit 512.000/µl, natrium

darah 138 mEq/l, kalium darah 4,03 mEq/l, klorida darah 100,6 mEq/l, SGOT 79

U/l, SGPT 92 U/l, ureum darah 32 mg/dl, kreatinin darah 0,8 mg/dl, albumin 2,21

g/dl. Pada pemeriksaan foto toraks antero-posterior didapatkan konsolidasi

multifokal di lapangan bawah paru kanan, dan konsolidasi luas di paru kiri, sinus

kostofrenikus dan diafragma kiri berselubung, tulang-tulang intak, jantung kesan

normal. Hasil pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) didapatkan irama sinus

rhythm, heart rate 84 bpm, axis normal, gelombang P normal, PR interval normal,

QRS kompleks normal, ST segmen normal, gelombang T normal.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang

maka pasien ini didiagnosis dengan probable COVID-19, pneumonia bilateral et

causa suspek infeksi bakterial, efusi pleura sinistra, leukositosis et causa suspek

infeksi bakterial, hipoalbuminemia, suspek Tuberkulosis (TB) paru. Pasien diterapi

dengan cairan NaCl 0,9% 500 ml/8jam, ceftriaxone 1000 mg/vial 2 g/24jam,

moxifloxacin 1.6 mg/ml 250 ml 400 mg/24jam intravena, n-asetil sistein kapsul 3

x 200 mg, juga pemberian albumin. Pasien direncanakan untuk pemerikasan PCR

COVID-19 dan tes cepat molekuler TB untuk diagnostik, kultur sputum atau darah

dan sensitivitas antibiotik jika pasien tidak mengalami perbaikan klinis setelah

pemberian antibiotik, dan pemeriksaan cairan efusi pleura untuk menunjang

diagnosis jika dibutuhkan, juga pasien akan dirawat di instalasi rawat inap (irina)

isolasi hingga keluar hasil pemeriksaan PCR COVID-19 untuk perencanaan terapi

lebih lanjut.

5
Follow up hari pertama Senin 26 April 2021, pasien belum menunjukkan

perbaikan klinis. Pasien mengeluh sesak napas, batuk berat, lemah badan, dan

demam sumer-sumer. Keadaan umum tampak berat, kesadaran compos mentis. TD

120/80, N 80 kali/menit, R 30 kali/menit, SB 37,4°C, SpO2 98% dengan bantuan

pemberian oksigen melalui NRM 10 l/menit. Pada pemeriksaan fisik kepala leher

konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sputum berwarna bening kekuningan

dan banyak, dan pembesaran kelenjar getah bening (-). Pada pemeriksaan toraks,

inspeksi terlihat retraksi, dada sebelah kiri tertinggal dibanding dada kanan saat

mengembang, palpasi stem fremitus menurun pada 1/2 lapang paru kiri, perkusi

redup pada ruang sela iga 5, 6, dan 7, auskultasi suara pernapasan bronkial dominan

pada kedua lapang paru, ronkhi (+/+) dan wheezing (-/-). Pemeriksaan abdomen

inspeksi datar, auskultasi didapatkan suara bising usus normal 6 kali/menit, palpasi

abdomen lemas, tidak ada nyeri, perkusi timpani pada seluruh regio abdomen.

Pemeriksaan eksterimitas akral hangat pada keempat ekstremitas dan edema (-).

Hasil pemeriksaan PCR COVID-19 negatif. Pasien didiagnosis dengan pneumonia

bilateral, efusi pleura sinistra, dan suspek TB paru. Pasien diterapi dengan

pemberian cairan NaCl 0,9% 500 ml/8jam, ceftriaxone 1000 mg/vial 2 g/24jam,

moxifloxacin 1.6 mg/ml 250 ml 400 mg/24jam intravena, n-asetil sistein kapsul 3

x 200 mg. Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan tes cepat molekuler

TB dan kultur sputum.

6
Follow up hari kedua Selasa 27 April 2021, pasien mengeluh sesak napas, batuk

berat, lemah badan dan demam sumer-sumer. Keadaan umum tampak berat,

kesadaran compos mentis. TD 130/90, N 90 kali/menit, R 28 kali/menit, SB 37,2°C,

SpO2 98% dengan bantuan pemberian oksigen melalui NRM 10 l/menit. Pada

pemeriksaan fisik kepala leher konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), sputum

berwarna bening kekuningan dan banyak, dan pembesaran kelenjar getah bening (-

). Pada pemeriksaan toraks, inspeksi terlihat retraksi, dada sebelah kiri tertinggal

dibanding dada kanan saat mengembang, palpasi stem fremitus menurun pada 1/2

lapang paru kiri, perkusi redup pada ruang sela iga 5, 6, dan 7, auskultasi suara

pernapasan bronkial dominan pada kedua lapang paru, ronkhi (+/+) dan wheezing

(-/-). Pemeriksaan abdomen inspeksi datar, auskultasi didapatkan suara bising usus

normal 6 kali/menit, palpasi abdomen lemas, tidak ada nyeri, perkusi timpani pada

seluruh regio abdomen. Pemeriksaan eksterimitas akral hangat pada keempat

ekstremitas, edema (-). Hasil pemeriksaan PCR COVID-19 kedua adalah negatif,

sehingga pasien dipindah ke irina biasa. Pasien didiagnosis dengan pneumonia

bilateral, efusi pleura sinistra, dan suspek TB paru. Pasien diterapi dengan

pemberian cairan NaCl 0,9% 500 ml/8jam, ceftriaxone 1000 mg/vial 2 g/24jam,

moxifloxacin 1.6 mg/ml 250 ml 400 mg/24jam intravena, n-asetil sistein kapsul 3

x 200 mg. Setelah pindah ruangan, pasien diambil sampel sputum untuk dilakukan

pemeriksaan tes cepat molekuler TB.

7
Follow up hari ketiga Rabu 28 April 2021, pasien masih mengeluh sesak napas

namun berkurang, batuk berat, dan tidak demam. Keadaan umum tampak berat,

kesadaran compos mentis. TD 125/80, N 84 kali/menit, R 24 kali/menit, SB 36,9°C,

SpO2 98% dengan bantuan pemberian oksigen melalui NRM 10 l/menit. Pada

pemeriksaan fisik kepala leher konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), sputum

berwarna bening kekuningan dan banyak, dan pembesaran kelenjar getah bening (-

). Pada pemeriksaan toraks, inspeksi terlihat retraksi, dada sebelah kiri tertinggal

dibanding dada kanan saat mengembang, palpasi stem fremitus menurun pada 1/2

lapang paru kiri, perkusi redup pada ruang sela iga 5, 6, dan 7, auskultasi suara

pernapasan bronkial dominan pada kedua lapang paru, ronkhi (+/+) dan wheezing

(-/-). Pemeriksaan abdomen inspeksi datar, auskultasi didapatkan suara bising usus

normal 6 kali/menit, palpasi abdomen lemas, tidak ada nyeri, perkusi timpani pada

seluruh regio abdomen. Pemeriksaan eksterimitas akral hangat pada keempat

ekstremitas, edema (-). Hasil pemeriksaan tes cepat molekuler TB keluar dengan

hasil MTB not detected. Pemeriksaan laboratorium adalah hemoglobin 11,0 g/dl,

hematokrit 34,5%, MCH 30,8 pg, MCHC 31,9 g/dl, MCV 96,6 fl, eritrosit 3,57 x

106/µl, leukosit 18.700/µl, trombosit 557.000/µl, natrium darah 141 mEq/l, kalium

darah 4,21 mEq/l, klorida darah 103,7 mEq/l, SGOT 44 U/l, SGPT 78 U/l, ureum

darah 17 mg/dl, kreatinin darah 0,6 mg/dl, albumin 2,46 g/dl. Pasien didiagnosis

dengan pneumonia bilateral, efusi pleura sinistra. Pasien diterapi dengan pemberian

cairan NaCl 0,9% 500 ml/8jam, ceftriaxone 1000 mg/vial 2 g/24jam, moxifloxacin

1.6 mg/ml 250 ml 400 mg/24jam intravena, n-asetil sistein kapsul 3 x 200 mg.

Follow up hari keempat Kamis 29 April 2021, pasien merasa sesak napas, batuk,

dan sudah tidak demam. Keadaan umum tampak sedang, kesadaran compos mentis.

8
TD 135/90, N 90 kali/menit, R 24 kali/menit, SB 36,5°C, SpO2 98% dengan

bantuan pemberian oksigen melalui NRM 10 l/menit. Pada pemeriksaan fisik

kepala leher konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), sputum berwarna bening

kekuningan dan banyak, dan pembesaran kelenjar getah bening (-). Pada

pemeriksaan toraks, inspeksi terlihat retraksi, dada sebelah kiri tertinggal dibanding

dada kanan saat mengembang, palpasi stem fremitus menurun pada 1/2 lapang paru

kiri, perkusi redup pada ruang sela iga 5, 6, dan 7, auskultasi suara pernapasan

bronkial dominan pada kedua lapang paru, ronkhi (+/+) dan wheezing (-/-).

Pemeriksaan abdomen inspeksi datar, auskultasi didapatkan suara bising usus

normal 6 kali/menit, palpasi abdomen lemas, tidak ada nyeri, perkusi timpani pada

seluruh regio abdomen. Pemeriksaan eksterimitas akral hangat pada keempat

ekstremitas, edema (-). Pasien didiagnosis dengan pneumonia bilateral dan efusi

pleura sinistra. Pasien diterapi dengan pemberian cairan NaCl 0,9% 500 ml/8jam,

ceftriaxone 1000 mg/vial 2 g/24jam, moxifloxacin 1,6 mg/ml 250 ml 400 mg/24jam

intravena, n-asetil sistein kapsul 3 x 200 mg.

Follow up hari kelima Jumat 30 April 2021, pasien merasa sesak napas

berkurang dan batuk. Keadaan umum tampak sedang, kesadaran compos mentis.

TD 140/90, N 68 kali/menit, R 20 kali/menit, SB 36,7°C, SpO2 98% dengan

bantuan pemberian oksigen melalui NRM 10 l/menit. Pada pemeriksaan fisik

kepala leher konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), sputum berwarna bening

kekuningan dan banyak, dan pembesaran kelenjar getah bening (-). Pada

pemeriksaan toraks, inspeksi terlihat retraksi, dada sebelah kiri tertinggal dibanding

dada kanan saat mengembang, palpasi stem fremitus menurun pada 1/3 lapang paru

kiri, perkusi redup pada ruang sela iga 5, 6, dan 7, auskultasi suara pernapasan

9
bronkial dominan pada kedua lapang paru, ronkhi (+/+) dan wheezing (-/-).

Pemeriksaan abdomen inspeksi datar, auskultasi didapatkan suara bising usus

normal 6 kali/menit, palpasi abdomen lemas, tidak ada nyeri, perkusi timpani pada

seluruh regio abdomen. Pemeriksaan eksterimitas akral hangat pada keempat

ekstremitas, edema (-). Pasien didiagnosis pneumonia bilateral dan efusi pleura.

Pasien diterapi dengan pemberian cairan NaCl 0,9% 500 ml/8jam, ceftriaxone 1000

mg/vial 2 g/24jam, moxifloxacin 1.6 mg/ml 250 ml 400 mg/24jam intravena, n-

asetil sistein kapsul 3 x 200 mg.

Follow up hari keenam Sabtu 1 Mei 2021, pasien merasa sesak napas berkurang

dan masih batuk. Keadaan umum tampak sedang, kesadaran compos mentis. TD

140/90, N 68 kali/menit, R 20 kali/menit, SB 37,0°C, SpO2 98% dengan bantuan

pemberian oksigen melalui NRM 10 l/menit. Pada pemeriksaan fisik kepala leher

konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), sputum berwarna bening kekuningan dan

banyak, dan pembesaran kelenjar getah bening (-). Pada pemeriksaan toraks,

inspeksi terlihat dada sebelah kiri tertinggal dibanding dada kanan saat

mengembang, palpasi stem fremitus menurun pada 1/3 lapang paru kiri, perkusi

redup pada ruang sela iga 5, 6 dan 7, auskultasi suara pernapasan bronkial dominan

pada kedua lapang paru, ronkhi (+/+) dan wheezing (-/-). Pemeriksaan abdomen

inspeksi datar, auskultasi didapatkan suara bising usus normal 6 kali/menit, palpasi

abdomen lemas, tidak ada nyeri, perkusi timpani pada seluruh regio abdomen.

Pemeriksaan eksterimitas akral hangat pada keempat ekstremitas, edema (-). Pasien

didiagnosis dengan pneumonia bilateral dan efusi pleura. Pasien diterapi dengan

pemberian cairan NaCl 0,9% 500 ml/8jam, n-asetil sistein kapsul 3 x 200 mg,

ceftriaxone 1000 mg/vial 2 g/24jam, moxifloxacin 1.6 mg/ml 250 ml 400 mg/24jam

10
intravena, di mana antibiotik ceftriaxone dan moxifloxacin sudah memasuki hari

ketujuh dan direncanakan diganti menjadi ampicillin 1000 mg + sulbactam 500 mg

dengan dosis 3 g/6 jam intravena.

Follow up hari ketujuh Minggu 2 Mei 2021, pasien merasa sesak napas

berkurang dan masih batuk. Keadaan umum tampak sedang, kesadaran compos

mentis. TD 160/110, N 76 kali/menit, R 20 kali/menit, SB 37,4°C, SpO2 98%

dengan bantuan pemberian oksigen melalui NRM 10 l/menit. Pada pemeriksaan

fisik kepala leher konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), sputum berwarna

bening kekuningan dan banyak, dan pembesaran kelenjar getah bening (-). Pada

pemeriksaan toraks, inspeksi terlihat dada sebelah kiri tertinggal dibanding dada

kanan saat mengembang, palpasi stem fremitus menurun pada 1/3 lapang paru kiri,

perkusi redup pada ruang sela iga 5, 6 dan 7, auskultasi suara pernapasan bronkial

dominan pada kedua lapang paru, ronkhi (+/+) dan wheezing (-/-). Pemeriksaan

abdomen inspeksi datar, auskultasi didapatkan suara bising usus normal 6

kali/menit, palpasi abdomen lemas, tidak ada nyeri, perkusi timpani pada seluruh

regio abdomen. Pemeriksaan eksterimitas akral hangat pada keempat ekstremitas,

edema (-).Pasien didiagnosis dengan pneumonia bilateral dan efusi pleura. Pasien

diterapi dengan pemberian cairan NaCl 0,9% 500 ml/8jam, ampicillin 1000 mg +

sulbactam 500mg dengan dosis 3 g/6 jam intravena, n-asetil sistein kapsul 3 x 200

mg.

11
Follow up hari kedelapan Senin 3 Mei 2021, pasien merasa sesak napas sangat

berkurang namun masih batuk. Keadaan umum tampak sedang, kesadaran compos

mentis. TD 170/115, N 84 kali/menit, R 20 kali/menit, SB 37,6°C, SpO2 98%

dengan bantuan pemberian oksigen melalui NRM 10 l/menit. Pada pemeriksaan

fisik kepala leher konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), sputum berwarna

bening kekuningan dan banyak, dan pembesaran kelenjar getah bening (-). Pada

pemeriksaan toraks, inspeksi terlihat dada sebelah kiri sudah tidak tertinggal,

palpasi stem fremitus menurun pada 1/3 lapang paru kiri, perkusi redup pada ruang

sela iga 5, 6, dan 7 dibanding lapang paru lain, auskultasi suara pernapasan bronkial

dominan pada kedua lapang paru, ronkhi (+/+) dan wheezing (-/-). Pemeriksaan

abdomen inspeksi datar, auskultasi didapatkan suara bising usus normal 6

kali/menit, palpasi abdomen lemas, tidak ada nyeri, perkusi timpani pada seluruh

regio abdomen. Pemeriksaan eksterimitas akral hangat pada keempat ekstremitas,

edema (-). Pasien didiagnosis dengan pneumonia bilateral dan efusi pleura. Pasien

diterapi dengan pemberian cairan NaCl 0,9% 500 ml/8jam, ampicillin 1000 mg +

sulbactam 500mg dengan dosis 3 g/6 jam intravena, n-asetil sistein kapsul 3 x 200

mg. Pasien direncanakan untuk penggantian NRM menjadi nasal canule 5 l/menit

mulai besok harinya. Pasien juga diedukasikan mengenai keadaan tekanan

darahnya yang selalu tinggi pada beberapa hari terakhir, pasien diminta untuk

bersiap untuk mulai rutin minum obat hipertensi jika pada pengukuran beberapa

kali setelah pulang dari rumah sakit masih tinggi.

12
Follow up hari kesembilan Selasa 4 Mei 2021, pasien merasa sesak napas sangat

berkurang dan masih batuk. Keadaan umum tampak sedang, kesadaran compos

mentis. TD 150/90, N 80 kali/menit, R 20 kali/menit, SB 37,0°C, SpO2 98% dengan

bantuan pemberian oksigen melalui nasal canule 5 l/menit. Pada pemeriksaan fisik

kepala leher konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), sputum berwarna bening

kekuningan, dan pembesaran kelenjar getah bening (-). Pada pemeriksaan toraks,

inspeksi terlihat dada simetris, palpasi stem fremitus menurun pada 1/3 distal

lapang paru kiri, perkusi redup pada ruang sela iga 5, 6, dan 7, auskultasi suara

pernapasan bronkial dominan pada kedua lapang paru, ronkhi (+/+) dan wheezing

(-/-). Pemeriksaan abdomen inspeksi datar, auskultasi didapatkan suara bising usus

normal 6 kali/menit, palpasi abdomen lemas, tidak ada nyeri, perkusi timpani pada

seluruh regio abdomen. Pemeriksaan eksterimitas akral hangat pada keempat

ekstremitas, edema (-).Pasien didiagnosis dengan pneumonia bilateral dan efusi

pleura. Pasien diterapi dengan pemberian cairan NaCl 0,9% 500 ml/8jam,

ampicillin 1000 mg + sulbactam 500mg dengan dosis 3 g/6 jam intravena, n-asetil

sistein kapsul 3 x 200 mg.

Follow up hari kesepuluh Rabu 5 Mei 2021, pasien merasa sesak napas sangat

berkurang dan masih batuk. Keadaan umum tampak ringan, kesadaran compos

mentis. TD 140/80, N 72 kali/menit, R 20 kali/menit, SB 36,8°C, SpO2 98% dengan

bantuan pemberian oksigen melalui nasal canule 5 l/menit. Pada pemeriksaan fisik

kepala leher konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), sputum berwarna bening

kekuningan, dan pembesaran kelenjar getah bening (-). Pada pemeriksaan toraks,

inspeksi terlihat dada simetris, palpasi stem fremitus menurun pada 1/3 distal

lapang paru kiri, perkusi redup pada ruang sela iga 5, 6, dan 7, auskultasi suara

13
pernapasan bronkial dominan pada kedua lapang paru, ronkhi (+/+) dan wheezing

(-/-). Pemeriksaan abdomen inspeksi datar, auskultasi didapatkan suara bising usus

normal 6 kali/menit, palpasi abdomen lemas, tidak ada nyeri, perkusi timpani pada

seluruh regio abdomen. Pemeriksaan eksterimitas akral hangat pada keempat

ekstremitas, edema (-).Pasien didiagnosis dengan pneumonia bilateral dan efusi

pleura. Pasien diterapi dengan pemberian cairan NaCl 0,9% 500 ml/8jam,

ampicillin 1000 mg + sulbactam 500mg dengan dosis 3 g/6 jam intravena, n-asetil

sistein kapsul 3 x 200 mg.

Follow up hari kesebelas Kamis 6 Mei 2021, pasien merasa sesak napas sangat

berkurang dan masih batuk. Keadaan umum tampak ringan, kesadaran compos

mentis. TD 140/90, N 60 kali/menit, R 20 kali/menit, SB 36,5°C, SpO2 98% dengan

bantuan pemberian oksigen melalui nasal canule 5 l/menit. Pada pemeriksaan fisik

kepala leher konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), sputum berwarna bening

kekuningan, dan pembesaran kelenjar getah bening (-). Pada pemeriksaan toraks,

inspeksi terlihat dada simetris, palpasi stem fremitus menurun pada 1/3 distal

lapang paru kiri, perkusi redup pada ruang sela iga 5, 6, dan 7, auskultasi suara

pernapasan bronkial dominan pada kedua lapang paru, ronkhi (+/+) dan wheezing

(-/-). Pemeriksaan abdomen inspeksi datar, auskultasi didapatkan suara bising usus

normal 6 kali/menit, palpasi abdomen lemas, tidak ada nyeri, perkusi timpani pada

seluruh regio abdomen. Pemeriksaan eksterimitas akral hangat pada keempat

ekstremitas, edema (-).Pasien didiagnosis dengan pneumonia bilateral dan efusi

pleura. Pasien diterapi dengan pemberian cairan NaCl 0,9% 500 ml/8jam,

ampicillin 1000 mg + sulbactam 500mg dengan dosis 3 g/6 jam intravena, n-asetil

sistein kapsul 3 x 200 mg.

14
Follow up hari kedua belas Jumat 7 Mei 2021, pasien merasa sesak napas sangat

berkurang dan masih batuk. Keadaan umum tampak ringan, kesadaran compos

mentis. TD 160/90, N 60 kali/menit, R 20 kali/menit, SB 37,0°C, SpO2 98%

menggunakan nasal canule 5 l/menit, lalu menjadi 95% tanpa menggunakan

bantuan pemberian oksigen. Pada pemeriksaan fisik kepala leher konjungtiva

anemis (-), sklera ikterik (-), sputum berwarna bening kekuningan, dan pembesaran

kelenjar getah bening (-). Pada pemeriksaan toraks, inspeksi terlihat dada simetris,

palpasi stem fremitus menurun pada 1/3 distal lapang paru kiri, perkusi redup pada

ruang sela iga 5, 6, dan 7, auskultasi suara pernapasan bronkial dominan pada kedua

lapang paru, ronkhi (+/+) dan wheezing (-/-). Pemeriksaan abdomen inspeksi datar,

auskultasi didapatkan suara bising usus normal 6 kali/menit, palpasi abdomen

lemas, tidak ada nyeri, perkusi timpani pada seluruh regio abdomen. Pemeriksaan

eksterimitas akral hangat pada keempat ekstremitas, edema (-).Pasien didiagnosis

dengan pneumonia bilateral dan efusi pleura. Pasien diterapi dengan pemberian

cairan NaCl 0,9% 500 ml/8jam, ampicillin 1000 mg + sulbactam 500mg dengan

dosis 3 g/6 jam intravena, n-asetil sistein kapsul 3 x 200 mg. Pasien diedukasi untuk

tidak merokok dan meminum minuman beralkohol lagi, tidak melakukan aktivitas

berat namun juga tidak boleh hanya berbaring saja, pasien harus melakukan

aktivitas menggerakan badan, mengangkat beban ringan. Pasien juga diedukasikan

untuk segera ke instalasi gawat darurat jika terjadi perburukan atau sesak memberat.

Pasien direncanakan untuk rawat jalan kontrol di poli paru setiap minggunya.

15
PEMBAHASAN

Pneumonia adalah peradangan yang disebabkan oleh mikroorganisme yang

mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup

bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru

dan gangguan pertukaran gas setempat, sedangkan peradangan paru yang

disebabkan nonmikroorganisme disebut pneumonitis. Berdasarkan inang dan

lingkungan menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

(PAPDI) atau klinis dan epideologis menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

(PDPI), pneumonia dibagi menjadi pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial,

pneumonia rekurens, pneumonia aspirasi, dan pneumonia pada gangguan imun.

Berdasarkan predileksi infeksi pneumonia dibagi menjadi pneumonia lobaris yang

terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh infeksi

bakterial dan obstruksi bronkus, lalu ada bronkopneumonia yang ditandai dengan

bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru, dan pneumonia interstisial. 1,3 Pada

kasus ini, pasien didiagnosis dengan pneumonia komunitas serta pneumonia lobaris

yang terlihat dari gambaran radiologis dengan kesan pneumonia pada paru kanan

lobus inferior dan pada paru kiri pada lobus superior dan inferior.

Menurut penelitian review Almirall dkk, faktor risiko definitif dari pneumonia

komunitas adalah umur, riwayat merokok aktif, malnutrisi, paparan lingkungan,

pneumonia sebelumnya, bronkitis kronik atau penyakit paru obstruktif kronik,

asma, penurunan fungsi paru, kesehatan mulut yang buruk, immunosuppressive

therapies, steroid oral, dan penggunaan obat-obatan lambung. Faktor risiko yang

didapat pada pasien ini adalah riwayat merokok aktif dan paparan lingkungan.4

16
Bakteri penyebab pneumonia komunitas antara lain adalah Streptococcus

pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Haemophylus

influenzae, dan virus influenza tipe A dan B.1,5 American Thoracic Society (ATS)

mengatakan tujuan dari mengetahui etiologi pneumonia komunitas melalui kultur

sputum adalah mengidentifikasi terdapatnya patogen resisten atau tidak,

pengerucutan terapi, implikasi kesehatan masyarakat, epidemiologi, dan untuk

penyesuaian terapi jika terapi awal tidak efektif. ATS merekomendasikan untuk

tidak melakukan kultur sputum pada pasien yang tidak memiliki gejala berat atau

juga pasien rawat jalan. Pasien pneumonia komunitas yang direkomendasikan

untuk kultur sputum adalah pasien dengan gejala berat, atau dicurigai diinfeksi

methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) atau Pseudomonas

aeruginosa. Kriteria diagnosis pneumonia berat seperti terlampir adalah jika

memenuhi salah satu kriteria mayor atau memenuhi tiga atau lebih kriteria minor. 6,7

Pada pasien didapati 3 kriteria minor yaitu respirasi ≥30 kali/menit, ureum darah

≥20 mg/dl, dan infiltrat multilobaris. Pasien mengalami perbaikan setelah beberapa

hari terapi empirik inisiasi di mana respirasi ≤30 kali/menit dan ureum darah ≤20

mg/dl. Berdasarkan perbaikan klinis tersebut, pasien sudah melewati keadaan

pneumonia beratnya dan sudah tidak perlu dilakukan kultur sputum sesuai dengan

rekomendasi ATS.

Diagnosis banding dari pneumonia antara lain TB paru, COVID-19, penyakit

paru obstruktif kronik (PPOK), dan atelektasis. TB paru, PPOK, dan atelektasis

memiliki gejala klinis batuk yang lama.8 COVID-19 bisa asimtomatik dan

simtomatik di mana gejala dan gambaran radiologis pun mirip dengan pneumonia. 9

TB paru memiliki ciri khas yaitu riwayat bertemu pasien TB, batuk berdahak

17
menahun, keringat malam hari, dan penurunan berat badan. Gambaran radiologis

TB paru ditemukan infiltrat pada daerah apex paru. 10 PPOK bukan merupakan

penyakit menular dan terjadi karena adanya obstruksi pada paru. Atelektasis pada

umumnya memiliki gejala klinis batuk kering dan sesak napas. Atelektasis

berhubungan dengan adanya deviasi atau pergeseran ipsilateral.1,8 Semua diagnosis

banding dapat disingkirkan dengan dilaksanakannya pemeriksaan spesifik masing-

masing, seperti dilakukannya pemeriksaan TCM TB, PCR COVID-19, kultur

sputum, pemeriksaan cairan efusi pleura, juga pemeriksaan foto toraks.1,8,9,10 Pada

kasus ini, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya seperti

laboratorium, radiologis, TCM TB dan PCR COVID-19 sudah dilakukan sehingga

diagnosis pneumonia dapat ditegakkan. Pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan

cairan efusi pleura dengan alasan pemeriksaan tersebut harus dilakukan tindakan

invasif sedangkan pemeriksaan lainnya sudah cukup dalam menunjang diagnosis.

Pemeriksaan kultur sputum juga tidak dilakukan dengan pertimbangan hasil yang

bisa memakan waktu lama sedangkan pasien sudah menunjukkan perbaikan klinis.

Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat dilakukan

dengan menggunakan sistem skor Pneumonia Patient Outcome Research Team

(PORT). Indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah penumonia pada

pengguna NAPZA, skor PORT >70, bila <70 maka penderita tetap perlu dirawat

inap bila dijumpai salah satu dari gejala ini yakni frekuensi napas >30 kali/menit,

PaO2/FiO2 <250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, foto

toraks paru melibatkan >2 lobus, tekanan sistolik <90 mmHg, tekanan diastolik <60

mmHg.11 Pada pasien ini didapati skor PORT 81, frekuensi napas >30 kali/menit,

18
foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan foto toraks paru melibatkan

>2 lobus. Berdasarkan hal-hal tersebut maka pasien ini dirawat inap.

Penanganan pasien pneumonia komunitas sudah dibuat panduannya oleh ATS,

di mana PAPDI dan PDPI berpatokan pada panduan ATS. Penanganan pneumonia

komunitas dibedakan untuk pasien rawat jalan dan rawat inap, serta dibedakan

pasien dengan gejala tidak berat dan gejala berat. Terapi empirik rawat inap pada

pasien pneumonia dengan gejala tidak berat adalah beta-laktam ditambah

makrolida seperti ampicilin/sulbactam 1,5-3 g/6 jam atau ceftriaxone 1-2 g/24 jam

ditambah azithromycin 500 mg/24 jam, serta bisa juga hanya diberikan

fluorokuinolon respiratoris seperti levofloxacin 750 mg/24 jam atau moxifloxacin

400 mg/24 jam. Pada pasien dengan gejala berat direkomendasikan beta-laktam

seperti ampicillin/sulbactam atau ceftriaxone ditambah makrolida seperti

azithromycin atau ditambah fluorokuinolon respiratoris seperti levofloxacin atau

moxifloxacin, serta penambahan obat spesifik jika ditemukan keberadaan MRSA

atau Pseudomonas aeruginosa. Penggunaan kortikosteroid tidak direkomendasikan

oleh ATS kecuali pada pasien PPOK atau pun asma. 1,3,6,7 Pada kasus ini, pasien

diberikan terapi empirik yakni ceftriaxone 2 g/24 jam ditambah moxifloxacin 400

mg/ 24jam selanjutnya setelah 7 hari diganti menjadi ampicillin/sulbactam 3 g/6

jam.

Terdapat penyesuaian alur teknis pelayanan rumah sakit pada masa adaptasi

kebiasaan baru akibat pandemi COVID-19 dan sangat berdampak pada alur

diagnosis dan penatalaksaan pasien pneumonia. Saat skrining di Instalasi Gawat

Darurat (IGD) Triase, jika terdapat gejala COVID-19 maka pasien dimasukkan ke

area IGD khusus COVID-19, lalu dilakukan PCR atau rontgen sesuai protokol

19
layanan di rumah sakit. Bila pasien perlu perawatan lebih lanjut dan memiliki

indikasi rawat inap maka pasien masuk ke irina zona COVID-19 (irina isolasi)

rumah sakit tersebut, sambil menunggu hasil pemeriksaan PCR COVID-19. Jika

hasil pemeriksaan PCR COVID-19 positif maka pasien tetap ditangani di irina

isolasi, dan jika hasil negatif, maka pasien dipindahkan ke irina zona non COVID-

19 (irina biasa).12 Pasien dilayani dengan alur teknis pelayanan RSUP Prof. Dr. R.

D. Kandou Manado yang sudah sesuai dengan panduan Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia (Kemenkes RI).

Efusi pleura dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain Congestive Heart

Failure (CHF), sindrom nefrotik, juga infeksi paru. Penentuan etiologi definitif

efusi pleura dapat dilakukan dengan anamnesis, melihat penyakit utama pada

pasien, dan torakosentesis/pungsi pleura.13 Torakosentesis adalah prosedur

pengambilan cairan dari cavum pleura yang memiliki tujuan antara lain diagnosis

untuk melihat apakah cairan pada pleura itu adalah cairan transudat atau cairan

eksudat juga untuk melihat apakah ada infeksi atau tidak, serta untuk terapeutik jika

pada pasien terdapat efusi pleura masif atau terdapat gejala klinis signifikan seperti

sesak napas berat.13,14 Efusi pleura masif adalah adanya akumulasi cairan abnormal

dalam jumlah besar yakni di atas 50% pada gambaran radiologis dan atau memiliki

volume di atas 600 cc.15 Penatalaksanaan efusi pleura menyesuaikan penyakit

penyebabnya atau torakosentesis. Efusi pleura pasien disebabkan karena

pneumonia komunitas. Pada pemeriksaan radiologis pasien juga tidak ditemukan

gambaran efusi pleura masif. Berdasarkan temuan-temuan yang ada maka pada

pasien tidak dilakukan tindakan torakosentesis diagnostik maupun terapeutik.

20
RINGKASAN

Telah dilaporkan sebuah kasus seorang laki-laki Tn. LMH, usia 51 tahun, datang

dengan keluhan sesak napas, batuk berdahak, dan lemah badan. Pada pemeriksaan

fisik didapatkan palpasi stem fremitus menurun pada 1/2 lapang paru kiri, perkusi

redup pada ruang sela iga 5, 6, dan 7 dada kiri, juga auskultasi suara vesikuler

menurun pada lapang paru kiri, serta terdengar rhonki basah di seluruh lapang paru.

Pemeriksaan laboratorium leukosit 15.800/µl, ureum darah 32 mg/dl, albumin 2,21

g/dl. Pada pemeriksaan foto toraks antero-posterior didapatkan konsolidasi

multifokal di lapangan bawah paru kanan, dan konsolidasi luas di paru kiri, serta

sinus kostofrenikus dan diafragma kiri berselubung. Pemeriksaan PCR COVID-19

negatif dan tes cepat molekuler TB memiliki hasil MTB not detected.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang

maka pasien ini didiagnosis dengan pneumonia komunitas bilateral et causa infeksi

bakterial, efusi pleura sinistra, leukositosis et causa infeksi bakterial, dan

hipoalbuminemia. Pasien diberikan obat pulang n-asetil sistein kapsul 3 x 200 mg.

Pasien diedukasi untuk tidak merokok dan minum minuman beralkohol, membatasi

aktivitas dan pertemuan dengan orang lain, kontrol di poli paru untuk pertimbangan

pengobatan rawat jalan, serta dianjurkan untuk segera ke IGD jika keluhan sesak

memberat.

21
LAMPIRAN

Lampiran 1

Gambar 1. Foto Pasien Tn. LMH

Gambar 2. Foto Toraks Pasien Tn. LMH

22
Lampiran 2

Kriteria Minor Kriteria Mayor


Syok sepsis dan membutuhkan
Respirasi ≥30 kali/menit
vasopressor
Gagal napas dan membutuhkan
Rasio PaO2/FiO2 ≤ 250
ventilator
Infiltrasi multilobaris
Diorientasi/kebingungan
Uremia (ureum ≥ 20 mg/dl)
Leukopenia (leukosit < 4.000/µl)
Trombositopenia (trombosit
<100.000/µl)
Hipotemia (suhu badan <36°C)
Hipotensi yang membutuhkan
resusitasi cairan
Tabel 1. Kriteria diagnosis pneumonia komunitas berat.

23
Karakteristik Penderita
Jumlah Poin
Faktor Demografi
Umur Laki-laki Umur (tahun)
Perempuan Umur (tahun) - 10
Perawatan di rumah + 10
Penyakit
Keganasan + 30
penyerta
Penyakit hati + 20
Gagal jantung
+ 10
kongestif
Penyakit
+ 10
serebrovaskuler
Penyakit ginjal + 10
Pemeriksaan Perubahan status
+ 20
fisik mental
Pernapasan >30
+ 20
kali/menit
Tekanan darah
+ 20
sistol <90 mmHg
Suhu tubuh <
35,00°C atau > + 15
40,00°C
Nadi > 125
+ 10
kali/menit
Hasil Analisis gas
laboratorium/ darah arteri: pH + 30
radiologi 7,35
BUN > 30 mg/dl + 20
Natrium < 130
+ 20
mEq/l
Glukosa >250
+ 10
mg/dl
Hematokrit <
+ 10
30%
PO2 ≤ 60 mmHg + 10
Efusi pleura + 10
Tabel 2. Pneumonia PORT.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Dahlan Z. Pneumonia, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing. 2014:974-80.

2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar. 2018. 88 hal.

3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti: Pedoman

Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003. 24 hal.

4. Almirall J, Serra-Prat M, Bolibar I, Balasso V. Risk Factors for Community-

Acquired Pneumonia in Adults: A Systematic Review of Observational

Studies. 2017

5. Wilson LM. Penyakit Pernapasan Restriktif dalam Price SA, Wilson LM.

Patofisiologi: Konsep Klinis Prosses-proses Penyakit E/6 Vol.2. Jakarta:

EGC. 2012: 796-815.

6. Metlay JP, Waterer G, Long A, dkk. Diagnosis and Treatment of Adults with

Community-Acquired Pneumonia. Amerika Serikat: American Thoracic

Society. 2019.

7. ATS. Guideline for the Management of Community-Acquired Pneumonia.

2020.

8. Rider AC, Frazee BW. Community-Acquired Pneumonia. Emerg Med Clin

North Am. 2018 Nov;36(4):665-683. doi: 10.1016/j.emc.2018.07.001. Epub

2018 Sep 6. PMID: 30296998; PMCID: PMC7126690.

9. Burhan E, Susanto AD, Nasution SA, dkk. Pedoman Tatalaksana COVID-19.

Edisi 3. Jakarta: PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI. 2020.

25
10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis.

2009. 91 hal.

11. Wexner Medical Center.Community-Aqquired Pneumonia: Pneumonia

Severy Index. Akses online pada tanggal https://internalmedicine.osu.edu

/pulmonary/cap/10675.cfm.

12. Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Direktorat Jenderal Pelayanan

Kesehatan. Panduan Teknis Pelayanan Rumah Sakit Pada Masa Adaptasi

Kebiasaan Baru. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020.

13. Halim H. Penyakit-Penyakit Pleura, dalam Sudoyo AW, dkk (editor). Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing.

2014:1066-70.

14. Wiederhold BD, Amr O; Modi P, O'Rourke MC. Thoracentesis.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441866/. Diakses pada tanggal 13

April 2021.

15. Masyhudi AN. Hubungan Jumlah Volume Drainase Water Sealed Drainage

dengan Kejadian Udema Pulmonum Reekspansi pada Pasien Efusi Pleura

Masif. Semarang; Jurnal Medika Media Muda. 2014.

26

Anda mungkin juga menyukai