Anda di halaman 1dari 17

RESPONSI KASUS ANEMIA HEMOLITIK

Oleh:
Faisal Rizki 1700702010111029
Arisna Damayanti 170070201011131
Tika Ayu Saraswati 170070201011166

Pembimbing:
dr. Herwindo, Sp.PD

Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Rumah Sakit Umum Dr.
Saiful Anwar Malang
2018

i
DAFTAR ISI

JUDUL…........................................................................................................................ i

DAFTAR ISI................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

1.1 Latar Belakang........................................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................3

2.1 Definisi.................................................................................................................... 3

2.2 Patofisiologi.............................................................................................................5

2.3 Manifestasi klinis.....................................................................................................6

2.4 Pemeriksaan diagnostik..........................................................................................7

2.5 Prognosis................................................................................................................ 7

2.6 Tatalaksana............................................................................................................. 8

2.7 Monitoring............................................................................................................. 12

BAB III PENUTUP .......................................................................................................12

3.1 Kesimpulan............................................................................................................ 13

3.2 Saran .................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................14

i
BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Anemia hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan destruksi eritrosit

sebelum waktunya. Dalam keadaan in sumsum tulang memproduksi darah lebih

cepat sebagai kompensasi hilangnya sel darah merah. Pada kasus anemia

biasanya ditemukan splenomegali diakibatkan karena absorbsi sel darah yang

telah mati secara berlebihan oleh limpa. Karena pada anemia hemolitik

banyaknya sel darah merah yang mati pada waktu yang relative singkat. Pada

kasus anemia hemolitik yang akut terjadi distensi abdomen di karenakna

hepatomegali dan splenomegali. Anemia hemolitik adalah anemia yang tidak

terlalu sering dijumpai, tetapi bila dijumpai memerlukan pendekatan diagnostik

yang tepat. Pada kasus-kasus penyakit dalam yang dirawat di RSUP sanglah

tahun 1997. Anemia hemolitik merupakan 6% dari kasus anemia, menempati

urutan ketiga setelah anemia aplastik dan anemia sekunder keganasan

hematologis.( Wiwik Handayani.2008)

Anemia hemolitik merupakan penyakit yang jarang ditemukan dengan

perkiraan insiden kasus 1 per 100.000 penduduk pada populasi umum pertahun.

Pada sebuah rumah sakit jarang dijumpai lebih dari 5-6 kasus anemia heolitik

baru dalam setahun, namun di pusat rujukan yang besar dapat ditemukan 15-30

kasus baru setiap tahun. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2013

melaporkan insiden anemia di Indonesia adalah 21,7 %. Anemia hemolitik

mewakili sekitar 5% dari semua anemia. Insiden AIHA berkisar 1-3 kasus per

100.000 orang per tahun, dengan prevalensi 17/100.000 orang pertahun. Angka

kematian AIHA berkisar antara 20-50%, bergantung kepada penyakit yang


mendasari munculnya penyakit AIHA (Zanella dan Barcellini, 2014; Michel,

2011).

Penulisan responsi ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam mengenai

panyakit anemia hemolitik yang kini terjadi di Indonesia dengan harapan sebagai

dokter umum, mampu menjelaskan mengenai penyakit anemia hemoilitk

terhadap masyarakat dan mempelajari lebih dalam cara mendiagnosis penyakit

anemia hemolitik agar dapat ditangani lebih cepat dan tidak sampai terjadi

komplikasi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana dokter umum mendiagnosis suatu penyakit anemia

hemolitik?

2. Bagaimana peran dokter umum dalam menangani penyakit anemia

hemolitik?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui cara mendiagnosis suatu penyakit anemia hemolitik dengan

baik dan mampu mengetahui pentingnya seorang dokter umum dalam

menangani penyakit tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Dapat dijadikan acuan pembelajaran serta sumber informasi

mengenai penyakit anemia hemolitik.

2. Dapat dilakukan Penelitian lebih lanjut mengenai epidemiologi

terjadinya penyakit anemia hemolitik di Indonesia.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis,

yaitu pemecahahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya. Pada

anemia hemolitik, umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit 100-

120 hari). Anemia hemolitik disebabkan oleh, kerusakan abnormal sel-sel darah

merah (sel darah merah), baik di dalam pembuluh darah (hemolisis intravaskular)

atau di tempat lain dalam tubuh. (Handayani, 2015).

Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh 2 faktor yang berbeda yaitu

faktor intrinsik & faktor ekstrinsik.

a. Faktor Intrinsik :

Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam eritrosit itu sendiri sel

eritrosit. Kelainan karena faktor ini dibagi menjadi tiga macam yaitu:

Keadaan ini dapat dibagi menjadi 3 bagian antara lain:

1) Gangguan struktur dinding eritrosit

a. Sferositosis 

Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga disebabkan oleh

kelainan membran eritrosit. Kadang-kadang penyakit ini berlangsung

ringan sehingga sukar dikenal. Pada anak gejala anemianya lebih

menyolok daripada dengan ikterusnya, sedangkan pada orang dewasa

sebaliknya. Suatu infeksi yang ringan saja sudah dapat menimbulkan

krisis aplastik
Kelainan radiologis tulang dapat ditemukan pada anak yang telah lama

menderita kelainan ini. Pada 40-80% penderita sferositosis ditemukan

kolelitiasis.

b. Ovalositosis (eliptositosis)

Pada penyakit ini 50-90% dari eritrositnya berbentuk oval (lonjong).

Dalam keadaan normal bentuk eritrosit ini ditemukan kira-kira 15-20%

saja. Penyakit ini diturunkan secara dominan menurut hukum mendel.

Hemolisis biasanya tidak seberat sferositosis. Kadang-kadang ditemukan

kelainan radiologis tulang. Splenektomi biasanya dapat mengurangi

proses hemolisis dari penyakit ini.

c. A-beta lipropoteinemia

Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk eritrosit yang menyebabkan

umur eritrosit tersebut menjadi pendek. Diduga kelainan bentuk eritrosit

tersebut disebabkan oleh kelainan komposisi lemak pada dinding sel.

d. Gangguan pembentukan nukleotida

Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah,

misalnya pada panmielopatia tipe fanconi.

Anemia hemolitik oleh karena kekurangan enzim sbb:

• Defisiensi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase (G-6PD)

• Defisiensi Glutation reduktase

• Defisiensi Glutation

• Defisiensi Piruvatkinase

• Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)

• Defisiensi difosfogliserat mutase

• Defisiensi Heksokinase

• Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase


e. Hemoglobinopatia 

Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari

hemoglobinnya (95%), kemudian pada perkembangan selanjutnya

konsentrasi HbF akan menurun, sehingga pada umur satu tahun telah

mencapai keadaan yang normal Sebenarnya terdapat 2 golongan besar

gangguan pembentukan hemoglobin ini, yaitu:

a) Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin

abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain 

b) Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin. Misal

talasemia 

b. Faktor Ekstrinsik :

Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.

 Akibat reaksi non imumitas : karena bahan kimia / obat

 Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh antibodi yang

dibentuk oleh tubuh sendiri.

 Infeksi, plasmodium, bori

2.2 Patofisiologi

Hemolisis adalah acara terakhir dipicu oleh sejumlah besar diperoleh

turun-temurun dan gangguan. etiologi dari penghancuran eritrosit prematur

adalah beragam dan dapat disebabkan oleh kondisi seperti membran intrinsik

cacat, abnormal hemoglobin, eritrosit enzimatik cacat, kekebalan penghancuran

eritrosit, mekanis cedera, dan hypersplenism. Hemolisis dikaitkan dengan

pelepasan hemoglobin dan asam laktat dehidrogenase (LDH). Peningkatan

bilirubin tidak langsung dan urobilinogen berasal dari hemoglobin dilepaskan. 

Seorang pasien dengan hemolisis ringan mungkin memiliki tingkat

hemoglobin normal jika peningkatan produksi sesuai dengan laju kerusakan


eritrosit. Atau, pasien dengan hemolisis ringan mungkin mengalami anemia

ditandai jika sumsum tulang mereka produksi eritrosit transiently dimatikan oleh

virus (Parvovirus B19) atau infeksi lain, mengakibatkan kehancuran yang tidak

dikompensasi eritrosit (aplastic krisis hemolitik, di mana penurunan eritrosit

terjadi di pasien dengan hemolisis berkelanjutan). Kelainan bentuk tulang

tengkorak dan dapat terjadi dengan ditandai kenaikan hematopoiesis, perluasan

tulang pada masa bayi, dan gangguan anak usia dini seperti anemia sel sabit

atau talasemia.

2.3 Manifestasi Klinis

Kadang – kadang Hemolisis terjadi secara tiba- tiba dan berat,

menyebabkan krisis hemolotik, yang menyebakan krisis hemolitik yang di tandai

dengan: 

a. Demam 

b. Mengigil

c. Nyeri punggung dan lambung 

d. Perasaan melayang 

e. Penurunan tekana darah yang berarti 

Secara mikro dapat menunjukan tanda-tanda yang khas yaitu:

1) Perubahan metabolisme bilirubin dan urobilin yang merupakan hasil

pemecahan eritrosit. Peningkatan zat tersebut akan dapat terlihat pada

hasil ekskresi yaitu urin dan feses.

2) Hemoglobinemia : adanya hemoglobin dalam plasma yang seharusnya

tidak ada karena hemoglobin terikat pada eritrosit. Pemecahan eritrosit

yang berlebihan akan membuat hemoglobin dilepaskan kedalam plasma.

Jumlah hemoglobin yang tidak dapat diakomodasi seluruhnya oleh sistem

keseimbangan darah akan menyebabkan hemoglobinemia.


3) Masa hidup eritrosit memendek karena penghancuran yang berlebih.

4) Retikulositosis : produksi eritrosit yang meningkat sebagai kompensasi

banyaknya eritrosit yang hancur sehingga sel muda seperti retikulosit

banyak ditemukan.

2.4 Pemeriksaan Diagnostik

a. Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat:

1) Bilirubin serum meningkat

2) Urobilinogen urin meningkat, urin kuning pekat

3) Strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam

b. Gambaran peningkatan produksi eritrosit

1) Retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital

2) hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang

c. Gambaran rusaknya eritrosit:

1) morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom

mikrositer, target cell, sickle cell, sferosit.

2) fragilitas osmosis, otohemolisis

3) umur eritrosit memendek. pemeriksaan terbaik dengan labeling crom.

persentasi aktifikas crom dapat dilihat dan sebanding dengan umur

eritrosit. semakin cepat penurunan aktifikas Cr maka semakin pendek

umur eritrosit

2.5 Prognosis

Prognosis untuk pasien dengan anemia hemolitik tergantung pada

penyebab yang mendasari. Secara keseluruhan, tingkat kematian rendah pada

anemia hemolitik. Namun, risikonya lebih besar pada pasien yang lebih tua dan

pasien dengan gangguan kardiovaskular. Morbiditas tergantung pada etiologi


hemolisis dan gangguan yang mendasarinya, seperti anemia sickle cell atau

malaria.

Pemantauan jangka panjang seseorang harus memantau tingkat

hemoglobin, jumlah retikulosit, nilai bilirubin indirect , kadar LDH, dan nilai

haptoglobin untuk menentukan respon terhadap terapi. Hemoglobin urin dan

hemosiderin harus dipantau untuk mengevaluasi pemulihan pada pasien dengan

hemolisis berat atau intravaskular.

2.6 Tata Laksana

Menurut National heart, lung, and Blood Institute tujuan pengobatan

anemia hemolitik meliputi:

- Mengurangi atau menghentikan penghancuran sel darah merah

- Meningkatkan jumlah sel darah merah ke tingkat yang dapat diterima

- Mengobati penyebab yang mendasari kondisi ini

Perawatan akan tergantung pada jenis, penyebab, dan keparahan

anemia hemolitik yang Anda miliki. Dokter Anda juga akan mempertimbangkan

usia Anda, kesehatan secara keseluruhan, dan riwayat medis. Jika Anda memiliki

bentuk anemia hemolitik yang diwariskan, itu adalah kondisi seumur hidup yang

mungkin memerlukan perawatan berkelanjutan. Jika Anda memiliki bentuk

anemia hemolitik yang diperoleh, mungkin hilang jika penyebabnya dapat

ditemukan dan diperbaiki (Shick, P, 2017).

Ada banyak jenis anemia hemolitik, dan pengobatan mungkin berbeda

tergantung pada jenis hemolisis. Hanya perawatan umum anemia hemolitik dan

manajemen anemia hemolitik yang paling sering ditemui yang dibahas.

a. Asam folat, kortikosteroid, rituximab, dan IVIG


Profilaksis asam folat diindikasikan karena hemolisis aktif dapat

menggunakan asam folat dan menyebabkan megaloblastosis. Kortikosteroid

diindikasikan pada anemia hemolitik autoimun (AIHA). Bukti yang meningkat

mendukung penggunaan rituximab di AIHA, terutama AIHA antibodi hangat

(Dierickx dkk, 2015). Hasil dari percobaan fase III pada 64 pasien mendukung

penggunaannya sebagai terapi lini pertama untuk AIHA hangat, dalam kombinasi

dengan kortikosteroid. Birgens et al melaporkan bahwa setelah 12 bulan,

respons yang memuaskan diamati pada 75% pasien yang diobati dengan

rituximab dan prednisolon, tetapi pada 36% dari mereka yang diberi prednisolon

saja (P = 0,003). Setelah 36 bulan, sekitar 70% dari pasien yang menerima

rituximab dan prednisolone masih dalam pengampunan, dibandingkan dengan

sekitar 45% dari mereka pada kelompok prednisolone (Birgens dkk, 2013).

Imunoglobulin G (IVIG) intravena telah digunakan untuk pasien dengan AIHA,

tetapi hanya beberapa pasien yang telah menanggapi pengobatan ini, dan

tanggapannya bersifat sementara (Shick P, 2017).

b. Terapi Transfusi

Seseorang harus menghindari transfusi kecuali benar-benar diperlukan.

Namun, transfusi mungkin penting untuk pasien dengan angina atau status

kardiopulmonal yang sangat terganggu. Sebaiknya berikan sel darah merah

secara perlahan untuk menghindari stres jantung.

Anemia hemolitik autoimun (AIHA), mengetik dan pencocokan silang

mungkin sulit. Seseorang harus menggunakan darah yang paling tidak cocok jika

transfusi diindikasikan. Risiko penghancuran darah yang ditransfusikan adalah

tinggi, tetapi tingkat hemolisis tergantung pada tingkat infus. Oleh karena itu,

seseorang harus perlahan mentransfusikan setengah unit sel darah merah yang

dikemas untuk mencegah perusakan darah transfusi yang cepat.


Kelebihan zat besi karena beberapa transfusi untuk anemia kronis

(misalnya, thalassemia atau gangguan sel sabit) dapat diobati dengan terapi

chelation. Sebuah tinjauan sistematis yang membandingkan deferasirox

deferasirox oral besi dengan deferiprone chelator oral dan deferoxamine agen

parenteral tradisional menemukan sedikit perbedaan klinis antara 3 agen khelasi

dalam hal menghilangkan zat besi dari darah dan hati (Mcleod C dkk, 2009)

c. Terapi Erythropoietin

Erythropoietin (EPO) telah digunakan untuk mencoba mengurangi

kebutuhan transfusi, dengan hasil yang bervariasi. Pengaturan di mana terapi

EPO telah mengurangi persyaratan transfusi meliputi (Arbach, O, 2012) :

- Anak-anak dengan gagal ginjal kronis

- Anemia hemolitik autoimun yang terkait dengan retikulositopenia

- Seorang pasien dengan penyakit sel sabit menjalani hemodialisis untuk

gagal ginjal

- Saksi-Saksi Yehuwa

- Bayi dengan sferositosis herediter

Namun, kemampuan EPO untuk mengurangi kebutuhan transfusi telah

dipertanyakan pada bayi baru lahir dengan sferositosis herediter dan sindrom

uremik hemolitik pasca-diare. Ada kesan umum bahwa penelitian tambahan

harus dilakukan untuk menetapkan peran dan indikasi untuk EPO pada

gangguan hemolitik. Biaya terapi EPO lebih mahal dari transfusi. Potensi untuk

komplikasi kardiovaskular yang diinduksi EPO perlu dipertimbangkan. EPO

memiliki efek pleiotropik dan mungkin menghambat makrofag pada infeksi

Salmonella. EPO dilaporkan membantu dalam mengobati malaria serebral

karena efek itspleiotropic dan bukan tindakan hematopoietiknya. Oleh karena itu,

EPO harus digunakan dengan bijaksanA (Bienvennu A, 2013).


d. Menghentikan Pengobatan

Penisilin dan agen lain yang dapat menyebabkan hemolisis kekebalan

harus dihentikan pada pasien yang terjadi hemolisis. Berikut ini adalah sebagian

daftar obat yang dapat menyebabkan hemolisis imun (Shick P, 2017) :

- Penisilin

- Cephalothin

- Ampisilin

- Methicillin

- Kina

- Quinidine

Seseorang harus menghentikan obat oksidan seperti obat sulfa pada

pasien dengan defisiensi G-6-PD atau mereka yang memiliki hemoglobin tidak

stabil. Berikut ini adalah sebagian daftar obat dan bahan kimia yang harus

dihindari dalam defisiensi G6PD:

- Acetanilide

- Furazolidone

- Isobutyl nitrit

- Asam nalidiksik

- Naftalena

- Niridazole

e. Terapi Besi

Terapi besi merupakan kontraindikasi pada sebagian besar kasus anemia

hemolitik. Alasannya adalah bahwa zat besi yang dilepaskan dari sel darah

merah di sebagian besar anemia hemolitik digunakan kembali dan penyimpanan

besi tidak berkurang. Namun, terapi besi diindikasikan untuk pasien dengan

hemolisis berat atau intravaskular di mana hemoglobinuria persisten telah


menyebabkan kehilangan zat besi yang substansial. Sebelum memulai terapi

besi, seseorang harus memastikan defisiensi zat besi melalui pemeriksaan

serum besi dan mungkin dengan menilai penyimpanan besi di aspirasi sumsum

tulang (Shick P, 2017).

f. Splenektomi

Splenektomi mungkin merupakan pilihan pertama pengobatan pada

beberapa jenis anemia hemolitik, seperti sferositosis herediter. Dalam kasus lain,

seperti pada AIHA, splenektomi dianjurkan ketika tindakan lain gagal.

Splenektomi biasanya tidak dianjurkan pada gangguan hemolitik seperti anemia

hemolitik aglutinin dingin di mana hemolisis adalah intravaskular. Sepsis

postplenektomi yang luar biasa jarang terjadi tetapi berpotensi fatal, terutama

selama 2 tahun pertama setelah splenektomi. Seseorang harus melakukan

imunisasi terhadap infeksi dengan organisme yang dienkapsulasi, seperti

Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumonia sebelum prosedur.

Imunisasi dapat dilakukan pasca splenektomi (Hamilton, 2004).

2.7 Monitoring

Pemantauan jangka panjang seseorang harus memantau tingkat

hemoglobin, jumlah retikulosit, nilai bilirubin indirect , kadar LDH, dan nilai

haptoglobin untuk menentukan respon terhadap terapi. Hemoglobin urin dan

hemosiderin harus dipantau untuk mengevaluasi pemulihan pada pasien dengan

hemolisis berat atau intravaskular.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan

mencegah komplikasi pada pasien dengan anemia hemolitik. Perawatan khusus

untuk jenis anemia hemolitik. Sebagai contoh, kortikosteroid biasanya

merupakan lini pertama pengobatan pada anemia hemolitik autoimun (AIHA)

tetapi jarang efektif dalam penyakit pediatric cold agglutinin. Rituximab telah

digunakan dan dapat efektif dalam AIHA yang tahan steroid.

3.2 Saran

Konsultasi hematologi akan sangat membantu dalam memilih pendekatan

diagnostik yang tepat dan tes laboratorium dan dalam perencanaan dan

pemantauan terapi.
DAFTAR PUSTAKA

Rajabto, Wulyo, Djumhana Atmakusuma, and Siti Setiati. "Profil Pasien


Anemia Hemolitik Auto Imun (AHAI) dan Respon Pengobatan Pasca
Terapi Kortikosteroid di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto
Mangunkusumo." Jurnal Penyakit Dalam Indonesia 3.4 (2016): 206-
211.
Schreiber AD. Hemolytic Anemias: Autoimmune. In: Goldman L, Ausiello
D, eds. Goldman: Cecil Medicine 21st ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Company; 2000. p.877-82.
Dhaliwal G, Cornett PA, Tierney LM. Hemolytic Anemia. Am Fam
Physician. 2004;69: 2599-606.
Gehrs BC, Friedberg RC. Autoimmune hemolytic anemia. Am J Hematol.
2002;69(4):258-71.
Gertz MA. Cold Hemolytic Syndrome. American Society of Hematology
2006;2006(1):19-23
Mack P, Freedman J. Autoimmune Hemolytic Anemia: A History. Transfus
Med Rev. 2000;14(3):223-33.
Arbach O,et al. Erythropoietin May Improve Anemia in Patients with
Autoimmune Hemolytic Anemia Associated with
Reticulocytopenia. Transfus Med Hemother. 2012 Jun. 39(3):221-223.
Bienvenu AL dan Picot S. Cerebral malaria: protection by
erythropoietin. Methods Mol Biol. 2013. 982:315-24.
Birgens H, et al. A phase III randomized trial comparing glucocorticoid
monotherapy versus glucocorticoid and rituximab in patients with
autoimmune haemolytic anaemia. Br J Haematol. 2013 Nov. 163
(3):393-9
Dierickx, et al. The Role of Rituximab in adults with warm antibody
autoimmune haemolytic anemia. Blood. 2015 May 21. 125 (21):3223-9
Hamilton JW, et al. Glucose-6-phosphate dehydrogenase Guadalajara--a
case of chronic non-spherocytic haemolytic anaemia responding to
splenectomy and the role of splenectomy in this disorder. Hematology.
2004 Aug. 9(4):307-9.
McLeod C, et al. Deferasirox for the treatment of iron overload associated
with regular blood transfusions (transfusional haemosiderosis) in
patients suffering with chronic anaemia: a systematic review and
economic evaluation. Health Technol Assess. 2009 Jan. 13(1):iii-iv, ix-
xi, 1-121
Medscape. Hemolytic Anemia.
(https://emedicine.medscape.com/article/201066-medication#4) diakses
27 November 2018
National Heart, Lung, and Blood Institute. Hemolytic Anemia
(https://www.nhlbi.nih.gov/health-topics/hemolytic-anemia) diakses 27
November 2018
Shick, P, et al. Haemolytic Anemia. Dec 2017. Department of Internal
Medicine, Jefferson Medical College of Thomas Jefferson University.

Anda mungkin juga menyukai