Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN (ANEMIA)

KEPERAWATAN DASAR PROFESIONAL

oleh :
Indri Nurmalasari
NIM P17320122503

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
POLTEKKES BANDUNG
2023

i
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi
Anemia merupakan kondisi klinis akibat kurangnya suplai sel darah merah sehat, volume sel darah merah dan jumlah hemoglobin.
Hipoksia terjadi karena tubuh kekurangan suplai oksigen. Anemia juga mencerminkan kondisi patogenik yang mengarah pada abnormalitas
jumlah, struktur dan fungsi sel darah merah dalam tubuh (Joyce & Jane, 2014).
Anemia juga dapat dikatakan sebagai keadaan dimana, masa eritrosit dan masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya
untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara labolatorium anemia terjadi karena penurunan kadar hemoglobin serta nilai eritrosit
yang tidak normal.
Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin (protein pembawa O2) dari nilai normal dalam darah sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke jaringan
menurun. Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah dan kadar hematokrit dibawah normal. anemia merupakan
penyakit kurang darah yang ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan normal
(Soebroto, 2010).

Anemia adalah suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal, berdasarkan kelompok jenis kelamin orang
dewasa, batas normal dari kadar Hb dalam darah dapat dilihat pada tabel berikut :

2
Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa anemia merupakan kurangnya suplai sel darah merah (eritrosit) dan jumlah hemoglobin

dalam tubuh menurun sehingga dapat mengakibatkan hipoksia, karena kurangnya suplai oksigen didalam tubuh.

1.2. Anatomi Fisiologi

3
Darah merupakan cairan di dalam pembuluh darah yang mempunyai fungsi transportasi oksigen, karbohidrat dan metabolik, mengatur
keseimbangan asam dan basa, mengatur suhu tubuh dengan cara konduksi (hantaran), membawa panas tubuh dari pusat produksi panas
(hepar dan otot) untuk didistribusikan ke seluruh tubuh, pengaturan hormon dengan membawa dan menghantarkan dari kelenjar ke sasaran.
Darah adalah cairan yang berwarna merah tergantung dengan kadar oksigen dan karbon dioksida yang ada didalamnya. Darah berada dalam
tubuh karena kerja pompa jantung. Darah bersifat cair apabila berada di dalam pembuluh darah, dan apabila berada diluar pembuluh darah
akan membeku (Syaifuddin. 2010). Karakteristik Darah adalah sejenis jaringan ikat yang sel-selnya (elemen pembentuknya) tertahan dan
berada dalam matriks cairan (plasma). Darah lebih berat dan lebih kental dari pada air yaitu memiliki berat jenis 1,041-1,067 dengan
temperatur 380C dan PH 7,37-7,45. Warna darah bervariasi dari merah terang sampai merah tua kebiruan, tergantung pada kadar oksigen
yang di bawa sel darah merah. Darah pada tubuh manusia mengandung 55% plasma darah (cairan darah) dan 45% sel-sel darah (darah
padat). Jumlah darah pada tubuh orang dewasa sebanyak kira-kira 1/13 dari berat badan atau sekitar 4-5 liter. Jumlah darah tersebut pada
setiap orang berbeda-beda. Tergantung kepada umur, ukuran tubuh, dan berbanding terbalik dengan jumlah jaringan adiposa pada tubuh. Di
dalam darah terdapat beberapa sel diantaranya adalah:
a. Eritrosit (Sel Darah Merah)

Eritrosit merupakan bagian utama dari sel darah. Jumlah eritrosit pada pria dewasa sekitar 5 juta sel/cc darah dan pada wanita
sekitar 4 juta sel/cc darah. Sel darah merah berbentuk Bikonkaf, dan warna merah disebabkan oleh Hemoglobin (Hb). Fungsi dari sel
darah merah sendiri untuk mengikat Oksigen. Sehingga kadar Hb yang dijadikan patokan dalam menentukan penyakit Anemia. Usia
eritrosit didalam tubuh manusia sekitar 120 hari. Lalu sel yang telah tua dihancurkan di Limpa. Sehinnga hemoglobin dirombak,
kemudian dijadikan pigmen Bilirubin (pigmen empedu).

b. Lekosit (Sel Darah Putih) 

4
Leukosit memiliki nukleus akan tetapi tidak memiliki hemoglobin. Rentang hidup lekosit didalam tubuh hanya beberapa hari
hingga beberapa jam saja. Lekosit ini biasanya bersifat amuboid atau tidak memiliki bentuk yang tepat. Orang yang memiliki kelebihan
lekosit biasanya memiliki riwayat penyakit leukimia, sedangkan orang dengan kekurangan leukosit memiliki riwayat penyakit
leukopenia. Jumlah lekosit didalam tubuh sekitar 4000-11000

Leukosit digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu granulosit dan agranulosit. ciri dari glanulosit atau granula, memiliki granula pada
sitoplasmanya. Ada 3 macam granulosit, yaitu netrofil atau polimorf (10-12 m), eosinofil (10-12 m) dan basofil (8-10 m). Ciri dari
agranulosit adalah tidak memiliki granula pada sitoplasma. Adapun 2 macam dari agranulosit yaitu limfosit (7-15 m) dan monosit (14-
19 m). 
Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem imun tubuh dan bertugas untuk memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan
berbahaya oleh tubuh, misal virus atau bakteri. Secara rinci, fungsi dari masing-masing jenis lekosit adalah:

1. Netrofil berfungsi untuk melakukan fagositosi (mematikan agen yang dapat meyerang siistem kekebalan tubuh seperti bakteri)
2. Eosinofil yang berfungsi untuk melindungi diri dari alergen
3. Basofil yang berfungsi untuk melindungi diri dari alergen
4. Limfosit berfungsi untuk menghasilkan antibiotik untuk melawan antigen
5. Monosit berfungsi untuk melakukan fagositosis
c. Trombosit (Keping Darah)
Trombosit dapat juga disebut sebagai sel darah pembeku. Jumlah sel pada orang dewasa sekitar 200.000 – 500.000 sel/cc.
Di dalam trombosit terdapat banyak sekali faktor pembeku (Hemostasis) antara lain adalah Faktor VIII (Anti Haemophilic Factor).
Jika seseorang secara genetis trombositnya tidak mengandung faktor tersebut, maka orang tersebut biasanya mengalami gangguan
Hemofili.

5
1.3...............................................................................................................................Epidimiologi
Anemi merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat yang sering dijumpai diseluruh dunia, terutama dinegara berkembang seperti
indonesia. Penduduk dunia yang mengalami anemia berjumlah sekitar 30% atau 2,20 miliar orang dengan sebagian besar diantaranya tinggal
pada daerah yang tropis. Prevalensi anemia secara global sekitar 51% (suryani dkk, 2015). Terdapat 1,62 miliyar penduduk dunia mengalami
anemia (24,8%) dengan prevalensi tertinggi terdapat di Asia Tenggara, Afrika Tenggara, dan Afrika Barat. Kurang lebih terdapat 370 juta
wanita di berbagai negara berkembang menderita anemia defisiensi zat besi dengan 41% diantaranya wanita tidak hamil. Sedangkan
prevalensi anemia di India menunjukkan angka kejadian anemia pada remaja putri sebesar 45%. Prevalensi anemia di Indonesia sendiri
masih terbilang cukup tinggi (Fakhidah & Putri, 2016). Kemenkes RI (2013) menunjukkan angka prevalensi anemia secara nasional pada
semua kelompok umur adalah 21,70%. Prevalensi anemia pada perempuan relatif lebih tinggi (23,90%) dibanding laki-laki (18,40%).
Prevalensi anemia berdasarkan lokasi tempat tinggal menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di pedesaan memiliki risisko lebih tinggi
(22,80%) dibandingkan tinggal di perkotaan (20,60%) (Priyanto 2018). Prevalensi anemia di Indonesia cenderung mengalami peningkatan
setiap tahunnya. berdasarkan data Riskesdas tahun 2007, prevalensi anemia sebesar 11,9%. Di Indonesia salah satu penyebab dari terjadinya
anemia itu sendiri karena penggunaan pestisida. Pestisida merupakan bahan yang digunakan secara luas diberbagai sektor, terutama disektor
pertanian tau perkebunan, kehutanan, perikanan, dan pertanian pangan (Arwin N. M, Suyud. 2016).

1.4...............................................................................................................................Etiologi
Anemia merupakan suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Berdasarkan penyebabnya anemia dapat
dibedakan menjadi 4 yaitu (Black J & Hawks J, 2014):
A. Akibat Penurunan Produksi Eritrosit
1. Anemia Aplastik terjadi akibat kegagalan produksi, supresi atau destruksi sel induk di dalam sumsum tulang yang menyebabkan
penurunan produksi eritrosit, leukosit dan trombosit (pansitopenia). Sumsum tulang menunjukkan penurunan yang nyata pada
selularitas.

6
2. Aplasia Eritrosit terjadi akibat adanya gangguan yang sering mengalami remisi spontan atau sebagai respon terhadapa terapi
kortikosteroid. Aplasia eritrosit yang di dapat biasanya merupakan komplikasi sementara yang terjadi pada anemi hemolitik kongental
(misalnya anemia sel sabit).
3. Anemia penggantian sumsum (leukoeritroblastik) akibar dari terkenanya rongga sumsum tulang oleh neoplasma metastatik, limfoma
atau leukimia, penyakit granulomatosa diseminata (misalnya tuberkulosis), ribrosa atau abses multipel memindahkan dan
menggantikan unsur-unsur sumsum normal. Penggantian sel-sel sumsum yang berproliferse dengan derajat mamadai dapat
mengakibatkan anemia, leukopenia atau trombositopenia.
4. Anemia megaloblastik adalah bagian anemia makrositik yang terjadi karena kelainan maturasi fase eritropoiesis dalam sumsum
tulang. Mengakibatkan prekursor eritroid membesar dan menunjukkan kegagalan maturasi inti (Black J & Hawks J, 2014).
5. Anemia pernisiosa adalah bentuk anemia megaloblastik yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12.
6. Anemia defisiensi besi adalah penyebab anemia tersering diseluruh dunia. Anemia defisiensi besi sering terjadi karena infeksi cacing
tambang. Keseimbangan besi normal diatur terutama oleh perubahan pada absorpsi besi dalam usus untuk menyesuaikan kehilangan

7
zat besi normal didalam tubuh akibat sekresi, sel-sel tereksfoliasi dan darah menstruasi. Besi plasma berkompleksi dengan protein
transferin pengikat besi. Plasma normal memiliki transferin yang cukup (kapasitas pengikat besi) untuk mengikat 250-400 µg besi
desiliter darah. Pada orang dewasa normal, sekitar 30% transfersin mengalami saturasi, besi plasma normal adalah sebesar 50-150
µ/dl.
7. Anemia penyakit kronik terjadi akibat dari komplikasi penyakit kronik (misal, infeksi kronik, penyakit kolagen dan neoplasma ganas).
Anemia pada kasus ini disebabkan oleh kegagalan pengankutan cadang besi menuju plasma dan menuju eritrosit yang sedang
berkembang. Han ini menyebabkan kegagalan hemoglobinisasi dan anemia.
8. Anemia akibat gagal ginjal kronik biasanya terjadi pada pasien gagal ginjal kronik karena mengalami anemia normokrom normositik
yang disebabkan oleh kegagaln sekresi eritropoietin normal oleh ginjal. Sumsum tulang dapat menunujukkan hipoplasia ringan pada
rangkaian eritroid.
9. Anemia sideroblastik ditandai dengan gambaran eritrosit darah tepi yang hiprokomik, mikrositik atau dimorfik. Gambaran darah tepi
dimorfik adalah gambaran yang memiliki campuran eritrosit hipokrom mikrositik dan eritrosit hipokrom makrositik.

B. Anemia Akibat Kehilangan Darah


1. Kehilangan darah akut
Pendarahan akut mengakibatkan hilangnya darah lengkap dari kompartemen vaskular, menyebabkan hipovolemia dan mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan perfusi organ vital. Pada fase pendarahan akut, nilai darah meliputi jumlah eritrosit, hemoglobin,
dan hematorik adalah normal, karena jumlah yang hilang seimbang. Kompensasi penting hipovolemia adalah retensi air dan elektrolit
oleh ginjal untuk memulihkan volume darah.
2. Kehilangan darah kronik

8
Pendarahan kronik pada awalnya dikompensasi oleh hiperplasia eritroid sumsum tulang dan peningkatan produksi eritrosit. Hal ini
berlangsung hingga cadangan besi habis, yang pada saat itu defisiensi besi menjegah kompensasi yang adekuat. Oleh karena itu,
anemia yang disebabkan oleh kehilangan darah kronik merupakan anemia defisiensi besi dan dibahas dibawah judul tersebut.

C. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah kondisi dimana hancurnya eritrosit lebih cepat dibandingkan dengan penbentukannya. Anemia hemolitik
disebabkan oleh peningkatan kecepatan destruksi eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan sumsum tulang dalam memproduksi sel
eritrosit untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit. Penghancuran sel eritrosit yang berlebih dapat
menyebabkan terjadinya hiperplasi sumsum tulang shingga prosuksi sel eritrosit akan meningkat dari angka normalnya. Hal ini terjadi
apabila umur eritrosit kurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemia. Namun bila sumsum tulang tidak mampu
mengatasi kedaan tersebut akan mengakibatkan anemia (Reni & Dwi. 2018).

D. Anemia hemolitik diperantarai imun


1. Anemia hemolitik autoimun adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan hemolisis yang terjadi akibat adanya autoantibodi,
dengan spesififitas terhadap antigen golongan darah. Terikatnya autoantibodi pada membram eritrosit dapat terjadi secara maksimal
pada suhu tubuh (37℃, antibodi hangat) atau pada 4℃ (antibodi dingin).
2. Anemia hemolitik isoimun adalah anemia yang setiap eritrositnya mengalami lisis akibat aktivitas antibodi individu pada tranfusi
darah (eritrosit donor yang tidak cocok dilisinya oleh antibodi di dalam plasma resipien) maupun pada penyakit hemolisis bayi baru
lahir (eritrisot janinnya dilisis oleh antibodi maternal yang telah melewati plasenta).

1.5...............................................................................................................................Patofisiologi

9
Transpor oksigen akan terganggu oleh anemia. Kurangnya hemoglobin atau rendahnya jumlah sel darah merah, menyebabkan kurangnya
pasokan oksigen ke jaringan dan meyebabkan hipoksia. Tubuh berusaha mengompensasi hipoksia jaringan dengan meningkatkan kecepatan
produksi sel darah merah, meningkatkan curah jantung dengan meningkatkan volume atau frekuensi denyut jantung, distribusi ulang darah
dari jaringan yang membutuhkan sedikit oksigen ke daerah yang membutuhkan banyak oksigen, serta menggeser kurva disosiasi hemoglobin
oksigen ke arah kanan untuk mempermudah pelepaan oksigen ke jaringan pada tekanan parsial oksigen yang sama (Black J & Hawks J,
2014)

1.6...............................................................................................................................Pemeriksaan Penunjang
Menurut Tarwoto (2010) pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
1.61 Pemeriksaan Laboratorium
a. Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi
setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb
sachli.

b. Penentuan Indeks Eritrosit

Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dapat dihitung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus:

1. Mean Corpusculer Volume (MCV) adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin
parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV ini salah satu indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia
dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100
fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.

10
2. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH) adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi
hemoglobin dan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.

c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)


MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai
normal 30- 35% dan hipokrom < 30%.
d. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer

Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memperhatikan ukuran,
bentuk inti dan sitoplasma sel darah merah. Dilakukan dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah yang dapat dilihat pada
kolom morfology flag.

e. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)

Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan
parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat
anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW salah satu manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih
peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan
dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.

f. Eritrosit Protoporfirin (EP)

EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya
tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, dan naik secara perlahan setelah serangan kekurangan

11
besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi
individu. EP secara umum dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.

g. Besi Serum (Serum Iron = SI)

Besi serum ini peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat
hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah
ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi.
Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.

h. Serum Transferin (Tf)

Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersamaan dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada
kekurangan besi dan dapat menurun secara pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan. Transferrin Saturation
(Jenuh Transferin) adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi
ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap
perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi
populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai
untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan
mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma

i. Serum Feritin

12
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin
secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi,
yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi.

1.6.2 Pemeriksaan Sumsum Tulang


Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Karakteristik dari
kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian
pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif,
sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.

13
BAB 2. ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN TEORI

2.1 Konsep Asuhan Keperawatan Anemia Secara Teori

A. Identitas Pasien
Anemia lebih sering terjadi pada umur 14-15 tahun (WHO 2011), sedangkan menurut jenis kelamin Kemenkes RI (2013) menunjukkan
angka prevalensi anemia pada perempuan relatif lebih tinggi (23,90%) dibanding laki-laki (18,40%), prevalensi anemia berdasarkan lokasi
tempat tinggal (alamat) menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di pedesaan memiliki risisko lebih tinggi (22,80%) dibandingkan
tinggal di perkotaan (20,60%) (Priyanto 2018, pendidikan, pekerjaan yang beresiko terjadinya anemia salah satunya yaitu penggunaan
pestisida, karena pestisida merupakan bahan yang digunakan secara luas diberbagai sektor, terutama disektor pertanian atau perkebunan,

14
kehutanan, perikanan, dan pertanian pangan (Arwin N. M, Suyud. 2016), Diagnosa medis biasanya yang terjadi pada anemia salah satunya
yaitu ketidakseimbanagn nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, keletihan, risiko infeksi.

B. Clinical History
1. Diagnosa Medis
Diagnosa medis yang sering terjadi pada penyakit anemia seperti ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, keletihan,
risiko infeksi, intoleran aktifitas, resiko jatuh, defisit perawatan diri dan gangguan pertukaran gas
2. Keluhan utama
Pasien dengan penyakit anemia biasanya keluhan yang paling khas adalah pusing, pucat, kelelahan dan kelemahan
3. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan pengembangan dari keluhan utama pasien dengan menggunakan metode PQRST.
P (paliatif/profokatif) : sesuatu yang membuat keluhan menjadi berat atau ringan
Q (quality) : bagaimana keluhan yang dirasakan (pada anemia, klien bisanya merasakan lemas dan tidak bisa melakukan aktivitas
seperti biasa)
R (Ronsil) : tempat keluhan dirasakan (biasanya pasien mengeluhkan mula, muntah)
S (scale) : seberapa besar keluhan dirasakan
T (timing) : kapan keluhan dirasakan

4. Riwayat penyakit dahulu


Riwayat penyakit terdahulu merupakan pengkajian mengenai penyakit yang pernah diderita klien, yang berhubungan dengan anemia
maupun tidak
5. Riwayat penyakit keluarga

15
Pada riwayat keluarga yang dikaji adalah riwayat dari anggota yang memiliki penyakit sama seperti klien, penyakit menular seperti
TBC, penyakit keturunan seperti DM, Hipertensi, jantung dan asma. Jika ada riwayat penyakit keturunan selanjutnya dibuat genogram.

C. Pola Fungsingonal
1. Pola persepsepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan pola pikir kesehatan klien, keadaan sehat dan bagaimana memeliharaan kondisi kesehatan. Termasuk persepsi individu
tentang status dan riwayat kesehatan, hubungan dengan aktiv dan rencana yang akan datang serta usaha-usaha preventif yang dilakukan
klien untuk menjaga kesehatannya.
2. Pola nutrisi metabolik
a. Makan
Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diet, porsi makan, riwayat alergi terhadap suatu jenis makanan tertentu. pada klien anemia,
bisanya mengalami penurunan nafsu makan karena badan yang terasa lemas
b. Minum
Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari dan tidak ada perubahan pada pola minum pada pasien
c. Pola eliminasi
Meliputi kebiasaan BAK dan BAB, warnanya, konsisten, frekuensi dan bau baik sebelum masuk kerumahan sakit atau saat masuk
rumah sakit. klien anemia tidak mengalami perubahan dalam pola eliminasinya
d. Pola aktivitas
Dikaji tentang kegiatan dalam pekerjaan, mobilisasi, ola raga, kegiatan diwaktu luang dan apakah keluhan yang dirasakan klien
mengganggu aktivitas klien tersebut. Aktivitas pada klien anemia biasanya terganggu karena pola istirahat yang tidak teratur,
keletihan atau kelemahan yang dialami klien.

16
e. Pola istirahat tidur
Waktu tidur, lamanya tidur setiap hari, apakah ada kesulitan dalam tidur.
Pada pasien anemia biasanya pola tidurnya sering terganggu pada malam hari dan pasien merasakan gelisah akan kondisinya atau
kare pola aktivitas pada saat pagi hari.
f. Pola kognitif-perseptual
Penglihatan, pendengaran, rasa, bau, sentuhan, kemampuan bahasa, kemampuan membuat keputusan, ingatan, ketidaknyamanan dan
kenyamanan. pada klien anemia poal kognitif tidak terlalu terganggu, akan tetapi kemampuan dalam mengambil keputusan tidak
seperti biasanya.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Menggambarkan : body image, identitas diri, harga diri, peran diri, ideal diri dan klien dengan riwayat penyakit anemia biasanya
menginginkan kesmbuhan supaya dapat beraktivitas kembali seperti biasanya
h. Pola peran hubungan sosial
Menggambarkan : pola hubungan keluarga dan masyarakat, masalah keluarga dan masyarakat, peran dan tanggung jawab dalam
keseharian akan terganggua karena keadaan yang lemah dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya.
i. Pola koping toleransi stres
koping yang didapatkan klien biasanya dukungan dari keluarga dan kedekatan keluarga kepada klien.
j. Pola seksual dan reproduksi
Meliputi hubungan klien dengan keluarga (orang tua), mempunya berapa saudara dan termasuk anak keberapa. Hubungan keluarga
dan klien bisanya lebih dekat karena keadaan klien yang membutuhkan kehadiran keluarga.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Pada Pasien anemia, aktivitas dalam beribadah sedikit terganggua karena klien mengalami lemas.

17
D. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1. Pemeriksaan fisik
Pengkajian fisik Head to toe (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi)
a. Kepala
Inspeksi : kepala tampak simetris, rambut berwarna hitam dan berubah, persebaran rambut merata, tampak klien mengalami alopesia
pada bagian depan, tidak tampak benjolan dan jejas pada kepala, ekpresi klien tampak tidak nyaman dengan kondisi.
Palpasi : tidak teraba massa dan nyeri tekan.
b. Mata
Inspeksi : kedua mata simetris, mata terlihat sayu dan berwarna merah, konjungtiva merah muda, terdapat kotoran pada sudut-sudut
mata.
c. Telinga
Inspeksi : kedua telingan simetris, tidak terlihat keluarnya serumen pada kedua telinga, tidak terdapat jejas dan benjolan pada kedua
telinganya
Palpasi : tidak terdapat massa, tidak ada nyeri tekan telinga
d. Hidung
Inspeksi : hidung terlihat simetris, tidak terlihat keluar lendir pada hidung, dari kedua lubang hidung tidak tampak kotoran, tidak
tampak cuping hidung.

18
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada hidung, tidak teraba benjolan klien.
e. Mulut
Inspeksi: klien tidak menggunakan gigi palsu, lidah tampak kotor, gigi tampak kotor, mukosa bibir tampak kering.
f. Leher
Inspeksi: tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak tampak jejas dan massa.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan pada leher.
g. Dada
Jantung:
Inspeksi: dada terlihat simetris , tidak tampak massa, tidak tampak ictus cordis.
Palpasi: tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan, teraba ictus cordis.
Perkusi: pekak pada batas jantung.
Auskultasi: terdengar S1 dan S2 tunggal.
Paru:
Inspeksi: dada terlihat simetris,pengembangan dada simetris .
Palpasi: tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus normal.
Perkusi: sonor pada lapang paru.
Auskultasi: tersengar vesikuler.
Payudarah dan ketiak:
Inspeksi : tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tidak tampak benjolan.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.
h. Abdomen
Inspeksi: perut tampak datar, tidak tampak jejas dan benjolan.

19
Askultasi: bising usus 14x/menit.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa, tidak teraba hepatomegaly.
Perkusi: timpani pada batas lambung.
i. Genetalia dan Anus
Tidak terkaji
j. Ekstremitas
Inspeksi: pasien tampak lemah dan mengurangi aktivitas.
Palpasi: penderita anemia umumnya tidak terdapat nyeri tekan, dan tidak ada krepitasi pada kedua tangan.
k. Kulit dan kuku
Kulit Inspeksi: warna merata, tidak ada jaringan parut, tidak ada lesi, kuku bersih dan pendek
Palpasi: akaral hangat, suhu 36℃
l. Keadaan lokal
Tidak ditemukan adanya kelainan fisik pada klien, klien tampak sedikit khawatir jika dibicarakan indikasi yang akan
dijalankan.

2. Pemeriksaan penunjang meliputi:


a. Tes labolatorium
Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang besar pada diagnosasis anemia, dan terapi sangat berguna dalam menentukan
prognosis dan pengambilan keputusan untuk intervensi spesifik.
b. Kultur
Kultul dan uji resistensi bila diperlukan

20
c. Terapi
Dengan diberikan obat Methylprednisolone

2.2 Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

No. Etiologi Masalah

1. Anemia Ketidakseimbangan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh b.d kurang
Mual muntah asupan makan dan ketidakmampuan
makan
Nafsu makan menurun

Asupan makan menurun

Intake nutrisi kurang

21
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

2. Anemia Keletihan b.d kelesuan fisiologis dan


kelesuan fisik
Aliran darah perifer menurun

Penurunan transportasi oksigen


kejaringan

Metabolisme aerob turun, anaerob naik

Keletihan

3. - 0bat-obatan Risiko infeksi b.d imunosupresi dan


prosedur invasif
- Infeksi

Gangguan Hemapoetik

Leukopenia

22
Depresi sistem imun

Pertahanan sekunder terganggua

Risiko infeksi

4. Anemia Intoleran Aktivitas b.d Fisisk tidak


bugar
Aliran darah perifer menurun

Penurunan transportasi oksigen


kejaringan

Metabolisme aerob turun, anaerob naik

Hipoksia pucat

Intoleran aktivitas

23
5. Anemia Risiko Jatuh b.d Hambatan mobilitas

Aliran darah perifer menurun

Penurunan transportasi oksigen


kejaringan

Metabolisme aerob turun, anaerob naik

Hipoksia pucat

Intoleran aktivitas

Risiko Jatuh

24
6. Anemia Defisit Perawatan Diri: makan b.d
Kelemahan
Aliran darah perifer menurun

Penurunan transportasi oksigen


kejaringan

Metabolisme aerob turun, anaerob naik

Keletihan

Devisit Perawatan Diri

25
7. Anemia Gangguan Pertukaran Gas b.d
Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
Hb turun

Hemoglobin turun

Perfusi jaringan tidak efektif

Kompensasi jantung

Reepirasi meningkat, nadi meningkat

Pola nafas tidak efektif

Gangguan pertukaran gas

2.3 Intervensi
1. Diagnosa Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Kriteria Hasil :
Nafsu Makan (1014):
1. Hasrat/keinginan untuk makan
2. Menyenangi makanan

26
3. Intake makanan
4. Rangsangan untuk makan
Kelelahan: Efek yang Menggangu (0008)
1. Gangguan dengak aktifitas sehari-hari
2. Gangguan pada rutinitas
3. Nafsu makan menurun
4. Gangguan aktivitas fisik
Status Nutrisi: Energi (1007)
1. Stamina
2. Daya tahan
3. Resisten infeksi

Intervensi Keperawatan
a. Manajemen Gangguan Makan (1030)
1. Kolaborasi dengan tim kesehatan untuk mengembangkan rencana perawatan dengan melibatkan klien dan orang terdekat dengan
tepat
2. Dorong klien untuk mendiskusikan makanan yang disukai bersama dengan ahli gizi
3. Kembangkan hubungan yang mendukung dengan klien
4. Berikan dukungan (misal, terapi relaksasi, latihan desentisasi, kesempatan untuk membicaraka perasaan) sembari klien juga
berusaha mengintregasikan perilaku makan yang baru, perubahan citra tubuh dan perubahan gaya hidup.
b. Bantuan Perawatan Diri: Pemberian Makan (1803)

27
1. Atur meja dan nampan makanan agar terlihat menarik
2. Berikan kebersihan mulut sebelum makan
3. Posisikan pasien dalam posisi makan yang nyaman
c. Manajemen Nutrisi (1100)
1. Identifikasi adanya alergi atai intoleransi makanan yang dimiliki pasien
2. Tentukan apa yang menjadi prefensi makanan bagi pasien
3. Tentukan jumlak kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan gizi
4. Tawarkan makanan ringan yang padat gizi
d. Manajemen Energi (0108)
1. Kaji status fisisologi pasien yang menyebabkan kelelahan sesuai dengan konteks usia dan perkembangan
2. Tentukan persepsi pasie/orang terdekat dengan pasien mengenai penyebab kelelahan
3. Pilih intervensi untuk mengurangi kelelahan baik secara farmakologi atau non farmakologi dengan tepat
4. monitor intake/asupan nutrisis untuk menentukan sumber enrgi yang adekuat

2. Diagnosa Keletihan
Kriteria Hasil:
Tingkat Kelelahan (0007)
1. Kelelahan
2. Kelesuhan
3. Kehilangn selera makan
4. Kegiatan sehari-hari
Perawatan Diri: Aktifitas Sehari-hari (0300)

28
1. Makan
2. Kebersihan mulut
3. Berjalan
Tidur (0004)
1. Jam tidur
2. Pola tidur
3. Kualitas tidur
4. Tidur rutin
5. Merokok
Intervensi Keperawatan:
a. Manajemen Lingkungan (6480)
1. Ciptakan lingkungan yang aman bagi pasien
2. Berikan kamar terpisah seperti yang diindikasikan
3. sediakan tempat tidur dan lingkungan yang bersih dan nyaman
4. Sediakan kasur yang kokoh
b. Terapi Aktifitas (4310)
1. Pertimbangkan kemampuan klien dalam berpartisipasi melalui aktivitas spesifik
2. Pertimbangkan komitmen klien untuk meningkatkan frekuensi dan jarak aktivitas
3. Bantu kilen untuk mengeksplorasi tujuan personal dari aktivitas yang dilakukan (misal, bikerja)
c. Pengurangan Kecemasan (5820)
1. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
2. Berikan informasi faktual terkait diagnosa, perawatan dan pronosis
29
3. Berada disisi pasien untuk meningkatkan rasa aman dan mengurangi ketakutan
4. Bantu pasein mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
d. Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201)
1. Lakukan skrining kesehatan sebelum memulai latihan untuk mengidentifikasi risiko dengam mengguankan skala kesiapan latian
fisik terstandar atau melengkapi pemeriksaan riwayat kesehatan dan fisisk
2. Dapatkan persetujuan medis untuk memulai program latian kekuatan, jika diperlukan
3. Spesifikkan tipe dan durasi dari aktivitas pemansan dan pendinginan (misal, berjalan)

3. Diagnosa Risiko Infeksi


Kriteria Hasil:
Status Nutrisi (1004)
1. Asupan Gizi
2. Asupan makan
3. Energi
Kontrol Risiko: Proses Infeksi (1924)
1. Mencari informasi terkait konrol infeksi
2. mengidentifikasi faktor risiko infeksi
3. Mengenali faktor risiko individu terkait infeksi
4. Mengetahui perilaku yang berhubungan dengan infeksi
5. Mengidenfitikasi resiko infeksi dalam aktifitas sehari-hari
6. Menggunakan alat pelindung diri
Perilaku Berhenti Merokok (1625)
30
1. Mengekspresikan keinginan untuk berhenti merokok
2. Mengidentifikasi manfaat dari berhenti merokok
3. Membangun strategi yang efektif untuk berhenti merokok
Intervensi Keperawatan
a. Perlindungan Infeksi (6550)
1. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
2. Monitor kerentanan terhadap infeksi
3. Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
4. Pantau adanya perubahan tingkat energi dan malaise
5. Anjurkan peningkatan mobilitas dan latihan, dengan tepat
6. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya kepada pemberi layanan
kesehatan
7. Ajarkan pasien dan keluarga bagaimana cara menghindari infeksi
b. Monitor Nutrisi (1160)
1. Monitor adanya mual muntah
2. Monitor diet dan asupan kalori
3. Identifikasi perubahan nafsu makan dan aktivitas akhir-akhir ini
4. Monitor tipe dan banyaknay latian yang bisa dilakukan
5. Tentukan Pola makan (misal, maknana yang disukai dan tidak disukai, konsumsi yang berlebihan terhadap makanan siap saji,
makan yang terlewati)

31
32
33
BAB 3 PATHWAYS

- Agen neoplastik
- Radiasi
- 0bat-obatan
- Infeksi

Gangguan Hemapoetik

Leukopenia Eritropetik Trombositopeni


a

Anemia Hb turun
Depresi sistem imun

Mual-muntah Aliran darah hermoglobin turun


Pertahanan sekunder
terganggu perifer menurun

Nafsu Perfusi jaringan tidak


makan efektif
Risiko infeksi Penurunan transportasi
menurun
oksigen kejaringan
Gangguan
Kompensasi jantung pertukaran gas
Asupan makan
menurun
Metabolisme aerob
turun, anaerob naik Reepirasi Pola nafas tidak
Intake nutrisi meningkat, nadi efektif
Hipoksia pucat kurang meningkat
Keletihan

Ketidakseimbangan Cardiomegali
Intoleran
aktivitas nutrisi kurang dari
Devisit
kebuuhan tubuh
perawatan diri
Gagal jantung
RIsiko jatuh/Risiko ceder

34
Daftar Pustaka

Arwin N. M, Suyud. 2016. Pajanan Pestisida dan Kejadian Anemia Pada Petani Holistik Di
Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut. BKM Journal Of Community Medicine And
Public Healt Vol 32 No 7

Astutik R.Y, Ertiana D. 2018. Anemia Dalam Kehamilan. Jember: Pustaka Abadi

Black J.M, Hawks J. H. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Singapore: Elsevier

Chandrasoma P, Taylor C. R. 2005. Patologi Anatomi. Jakarta: EGC

Fakhidah, L. N. Putri, K. S. E. 2016. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status


hemoglobin pada remaja putri. Maternal, Vol 1 No 1

Handayani W, Haribowo A. S. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba

Kemenkes RI. 2013. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI

Priyanto L. D. 2018. Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, Dan Aktivitas Fisik Santriwati
Husada Dengan Anemia. Jurnal Berkala Epidemiologi Vol 6 No 2

Soebroto, I. 2010. Cara Mudah Mengatasi Problem Anemia. Yogyakarta: Bangkit

Sudargo T, Kusmayanti N. A, Hidayati N. L. 2018. Defisiensi Yodium, Zat Besi, Dan


Kecerdasan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres

Suryani, D., Hafiani, R., & Junita, R. (2015). Analisis pola makan dan anemia gizi besi pada
remaja putri Kota Bengkulu. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 10(1), 11– 18.

Syaifuddin. 2010. Anatomi Dan Fisisologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi Untuk


Keperawatan Dan Bidan, Eb 4. Jakarta: EGC

Silalahio V, Aritonang E, Ashar T. 2016. Potensi Pendidikan Gizi Dalam Meningkatkan


Asupan Gizi Pada Remaja Putri Yang Anemia Di Kota Medan. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Vol 11 No 2

Tarwoto. 2010. Buku Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta :
TIM

35

Anda mungkin juga menyukai