Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN ASUHAN KEPERAWATAN

ANEMIA

Oleh

KOMANG WAHYU KRISNA DEVIANI

C1223060

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA USADA BALI
2023
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Anemia merupakan kondisi klinis akibat kurangnya suplai sel darah merah sehat,
volume sel darah merah dan jumlah hemoglobin. Hipoksia terjadi karena tubuh
kekurangan suplai oksigen. Anemia juga mencerminkan kondisi patogenik yang
mengarah pada abnormalitas jumlah, struktur dan fungsi sel darah merah dalam tubuh
(Joyce & Jane, 2014).

Anemia juga dapat dikatakan sebagai keadaan dimana, masa eritrosit dan masa
hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan tubuh. Secara labolatorium anemia terjadi karena penurunan kadar
hemoglobin serta nilai eritrosit yang tidak normal.

Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin (protein


pembawa O2) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga
pengiriman O2 ke jaringan menurun. Anemia adalah istilah yang menunjukkan
rendahnya hitung sel darah dan kadar hematokrit dibawah normal. anemia merupakan
penyakit kurang darah yang ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah
merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan normal (Soebroto, 2010).

Anemia adalah suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari
normal, berdasarkan kelompok jenis kelamin orang dewasa, batas normal dari kadar
Hb dalam darah dapat dilihat pada tabel berikut :

Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa anemia merupakan kurangnya suplai
sel darah merah (eritrosit) dan jumlah hemoglobin dalam tubuh menurun sehingga
dapat mengakibatkan hipoksia, karena kurangnya suplai oksigen didalam tubuh.
B. Anatomi Fisiologi

Darah merupakan cairan di dalam pembuluh darah yang mempunyai fungsi


transportasi oksigen, karbohidrat dan metabolik, mengatur keseimbangan asam dan
basa, mengatur suhu tubuh dengan cara konduksi (hantaran), membawa panas tubuh
dari pusat produksi panas (hepar dan otot) untuk didistribusikan ke seluruh tubuh,
pengaturan hormon dengan membawa dan menghantarkan dari kelenjar ke sasaran.
Darah adalah cairan yang berwarna merah tergantung dengan kadar oksigen dan
karbon dioksida yang ada didalamnya. Darah berada dalam tubuh karena kerja pompa
jantung. Darah bersifat cair apabila berada di dalam pembuluh darah, dan apabila
berada diluar pembuluh darah akan membeku (Syaifuddin. 2010). Karakteristik Darah
adalah sejenis jaringan ikat yang sel-selnya (elemen pembentuknya) tertahan dan
berada dalam matriks cairan (plasma). Darah lebih berat dan lebih kental dari pada air
yaitu memiliki berat jenis 1,041-1,067 dengan temperatur 380C dan PH 7,37-7,45.
Warna darah bervariasi dari merah terang sampai merah tua kebiruan, tergantung pada
kadar oksigen yang di bawa sel darah merah. Darah pada tubuh manusia mengandung
55% plasma darah (cairan darah) dan 45% sel-sel darah (darah padat). Jumlah darah
pada tubuh orang dewasa sebanyak kira-kira 1/13 dari berat badan atau sekitar 4-5
liter. Jumlah darah tersebut pada setiap orang berbeda-beda. Tergantung kepada umur,
ukuran tubuh, dan berbanding terbalik dengan jumlah jaringan adiposa pada tubuh. Di
dalam darah terdapat beberapa sel diantaranya adalah:
a. Eritrosit (Sel Darah Merah)
Eritrosit merupakan bagian utama dari sel darah. Jumlah eritrosit pada
pria dewasa sekitar 5 juta sel/cc darah dan pada wanita sekitar 4 juta sel/cc
darah. Sel darah merah berbentuk Bikonkaf, dan warna merah disebabkan oleh
Hemoglobin (Hb). Fungsi dari sel darah merah sendiri untuk mengikat
Oksigen. Sehingga kadar Hb yang dijadikan patokan dalam menentukan
penyakit Anemia. Usia eritrosit didalam tubuh manusia sekitar 120 hari. Lalu
sel yang telah tua dihancurkan di Limpa. Sehinnga hemoglobin dirombak,
kemudian dijadikan pigmen Bilirubin (pigmen empedu).
b. Lekosit (Sel Darah Putih)
Leukosit memiliki nukleus akan tetapi tidak memiliki hemoglobin. Rentang
hidup lekosit didalam tubuh hanya beberapa hari hingga beberapa jam saja.
Lekosit ini biasanya bersifat amuboid atau tidak memiliki bentuk yang tepat.
Orang yang memiliki kelebihan lekosit biasanya memiliki riwayat penyakit
leukimia, sedangkan orang dengan kekurangan leukosit memiliki riwayat
penyakit leukopenia. Jumlah lekosit didalam tubuh sekitar 4000-11000.
Leukosit digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu granulosit dan agranulosit. ciri
dari glanulosit atau granula, memiliki granula pada sitoplasmanya. Ada 3
macam granulosit, yaitu netrofil atau polimorf (10-12 m), eosinofil (10-12
m) dan basofil (8-10 m). Ciri dari agranulosit adalah tidak memiliki granula
pada sitoplasma. Adapun 2 macam dari agranulosit yaitu limfosit (7-15 m)
dan monosit (14-19 m).
Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem imun tubuh dan bertugas untuk
memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan berbahaya oleh tubuh,
misal virus atau bakteri. Secara rinci, fungsi dari masing-masing jenis lekosit
adalah:
1. Netrofil berfungsi untuk melakukan fagositosi (mematikan agen yang dapat
meyerang siistem kekebalan tubuh seperti bakteri)
2. Eosinofil yang berfungsi untuk melindungi diri dari alergen
3. Basofil yang berfungsi untuk melindungi diri dari alergen
4. Limfosit berfungsi untuk menghasilkan antibiotik untuk melawan antigen
5. Monosit berfungsi untuk melakukan fagositosis
c. Trombosit (Keping Darah)
Trombosit dapat juga disebut sebagai sel darah pembeku. Jumlah sel pada
orang dewasa sekitar 200.000 – 500.000 sel/cc. Di dalam trombosit terdapat
banyak sekali faktor pembeku (Hemostasis) antara lain adalah Faktor VIII
(Anti Haemophilic Factor). Jika seseorang secara genetis trombositnya tidak
mengandung faktor tersebut, maka orang tersebut biasanya mengalami
gangguan Hemofili.
C. Etiologi
Anemia merupakan suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh berbagai macam
penyebab. Berdasarkan penyebabnya anemia dapat dibedakan menjadi 4 yaitu (Black
J & Hawks J, 2014):

A. Akibat Penurunan Produksi Eritrosit


1. Anemia Aplastik terjadi akibat kegagalan produksi, supresi atau destruksi
sel induk di dalam sumsum tulang yang menyebabkan penurunan produksi
eritrosit, leukosit dan trombosit (pansitopenia). Sumsum tulang
menunjukkan penurunan yang nyata pada selularitas.

2. Aplasia Eritrosit terjadi akibat adanya gangguan yang sering mengalami


remisi spontan atau sebagai respon terhadapa terapi kortikosteroid. Aplasia
eritrosit yang di dapat biasanya merupakan komplikasi sementara yang
terjadi pada anemi hemolitik kongental (misalnya anemia sel sabit).
3. Anemia penggantian sumsum (leukoeritroblastik) akibar dari terkenanya
rongga sumsum tulang oleh neoplasma metastatik, limfoma atau leukimia,
penyakit granulomatosa diseminata (misalnya tuberkulosis), ribrosa atau
abses multipel memindahkan dan menggantikan unsur-unsur sumsum
normal. Penggantian sel-sel sumsum yang berproliferse dengan derajat
mamadai dapat mengakibatkan anemia, leukopenia atau trombositopenia.
4. Anemia megaloblastik adalah bagian anemia makrositik yang terjadi karena
kelainan maturasi fase eritropoiesis dalam sumsum tulang. Mengakibatkan
prekursor eritroid membesar dan menunjukkan kegagalan maturasi inti
(Black J & Hawks J, 2014).
5. Anemia pernisiosa adalah bentuk anemia megaloblastik yang disebabkan
oleh kekurangan vitamin B12.
6. Anemia defisiensi besi adalah penyebab anemia tersering diseluruh dunia.
Anemia defisiensi besi sering terjadi karena infeksi cacing tambang.
Keseimbangan besi normal diatur terutama oleh perubahan pada absorpsi
besi dalam usus untuk menyesuaikan kehilangan zat besi normal didalam
tubuh akibat sekresi, sel-sel tereksfoliasi dan darah menstruasi. Besi plasma
berkompleksi dengan protein transferin pengikat besi. Plasma normal
memiliki transferin yang cukup (kapasitas pengikat besi) untuk mengikat
250-400 µg besi desiliter darah. Pada orang dewasa normal, sekitar 30%
transfersin mengalami saturasi, besi plasma normal adalah sebesar 50-150
µ/dl.
7. Anemia penyakit kronik terjadi akibat dari komplikasi penyakit kronik
(misal, infeksi kronik, penyakit kolagen dan neoplasma ganas). Anemia
pada kasus ini disebabkan oleh kegagalan pengankutan cadang besi menuju
plasma dan menuju eritrosit yang sedang berkembang. Han ini
menyebabkan kegagalan hemoglobinisasi dan anemia.
8. Anemia akibat gagal ginjal kronik biasanya terjadi pada pasien gagal ginjal
kronik karena mengalami anemia normokrom normositik yang disebabkan
oleh kegagaln sekresi eritropoietin normal oleh ginjal. Sumsum tulang dapat
menunujukkan hipoplasia ringan pada rangkaian eritroid.
9. Anemia sideroblastik ditandai dengan gambaran eritrosit darah tepi yang
hiprokomik, mikrositik atau dimorfik. Gambaran darah tepi dimorfik adalah
gambaran yang memiliki campuran eritrosit hipokrom mikrositik dan
eritrosit hipokrom makrositik.
B. Anemia Akibat Kehilangan Darah
1. Kehilangan darah akut
Pendarahan akut mengakibatkan hilangnya darah lengkap dari
kompartemen vaskular, menyebabkan hipovolemia dan mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan perfusi organ vital. Pada fase
pendarahan akut, nilai darah meliputi jumlah eritrosit, hemoglobin, dan
hematorik adalah normal, karena jumlah yang hilang seimbang.
Kompensasi penting hipovolemia adalah retensi air dan elektrolit oleh
ginjal untuk memulihkan volume darah.
2. Kehilangan darah kronik
Pendarahan kronik pada awalnya dikompensasi oleh hiperplasia eritroid
sumsum tulang dan peningkatan produksi eritrosit. Hal ini berlangsung
hingga cadangan besi habis, yang pada saat itu defisiensi besi menjegah
kompensasi yang adekuat. Oleh karena itu, anemia yang disebabkan oleh
kehilangan darah kronik merupakan anemia defisiensi besi dan dibahas
dibawah judul tersebut.
C. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah kondisi dimana hancurnya eritrosit lebih cepat
dibandingkan dengan penbentukannya. Anemia hemolitik disebabkan oleh
peningkatan kecepatan destruksi eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan
sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk memenuhi kebutuhan
tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit. Penghancuran sel eritrosit yang
berlebih dapat menyebabkan terjadinya hiperplasi sumsum tulang shingga
prosuksi sel eritrosit akan meningkat dari angka normalnya. Hal ini terjadi
apabila umur eritrosit kurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti
dengan anemia. Namun bila sumsum tulang tidak mampu mengatasi kedaan
tersebut akan mengakibatkan anemia (Reni & Dwi. 2018).
D. Anemia hemolitik diperantarai imun
1. Anemia hemolitik autoimun adalah sekelompok penyakit yang ditandai
dengan hemolisis yang terjadi akibat adanya autoantibodi, dengan spesififitas
terhadap antigen golongan darah. Terikatnya autoantibodi pada membram
eritrosit dapat terjadi secara maksimal pada suhu tubuh (37℃, antibodi
hangat) atau pada 4℃ (antibodi dingin).
2. Anemia hemolitik isoimun adalah anemia yang setiap eritrositnya mengalami
lisis akibat aktivitas antibodi individu pada tranfusi darah (eritrosit donor
yang tidak cocok dilisinya oleh antibodi di dalam plasma resipien) maupun
pada penyakit hemolisis bayi baru lahir (eritrisot janinnya dilisis oleh
antibodi maternal yang telah melewati plasenta).

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi yang menyertai timbulnya anemia adalah akibat dari tubuh yang
berkreasi terhadap hipoksia. Gejala yang muncul bervariasi tergantung dengan tingkat
keparahan dan kecepatan hilangnya darah, lamanya anemia yang diderita, usia, dan
adanya kelainan yang lain. Kadar hemoglobin (HB) biasanya digunakan untuk melihat
tingkat keparahan dari anemia. Orang dengan anemia ringan (kadar HB 10-14 g/dl)
biasanya asimtomatis. Gejala klinis muncul biasanya akibat dari kerja yang terlalu
keras. Orang dengan anemia sedang (kadar HB 6-10 g/dl) biasanya terjadi dispnea,
demam, diaforesi (keringat berlebih) saat beraktifitas dan kelelahan. Beberapa orang
dengan anemia berat (kadar HB kurang dari 6 g/dl) biasanya pada orang dengan gagal
ginjal kronik dan asimtomatis karena anemia yang terjadi secara bertahap.
Pemeriksaan eritrosit, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit untuk melihat adanya
anemia. Spesimen sumsum dilakukan untuk menentukan tipe dari anemia. Serta
asupan perifer atau darah tepi (indeks eritrosit) digunakan untuk menentukan ukuran
dari eritrositnya itu sendiri (Black J & Hawks J, 2014).

E. Patofisiologi
Transpor oksigen akan terganggu oleh anemia. Kurangnya hemoglobin atau
rendahnya jumlah sel darah merah, menyebabkan kurangnya pasokan oksigen ke
jaringan dan meyebabkan hipoksia. Tubuh berusaha mengompensasi hipoksia jaringan
dengan meningkatkan kecepatan produksi sel darah merah, meningkatkan curah
jantung dengan meningkatkan volume atau frekuensi denyut jantung, distribusi ulang
darah dari jaringan yang membutuhkan sedikit oksigen ke daerah yang membutuhkan
banyak oksigen, serta menggeser kurva disosiasi hemoglobin oksigen ke arah kanan
untuk mempermudah pelepasan oksigen ke jaringan pada tekanan parsial oksigen
yang sama (Black J & Hawks J, 2014)
F. Pathway

G. Penatalaksanaan
Dalam penangnanan anemia tujuan utamanya untuk menidentifikasi dan perawatan
yang dikarenakan terjadinya destruksi sel darah atau penurunan produksi sel darah
merah. Sedangkan penanganan pada pasien yang mengalami hipovelemik antara lain:
1) pemberian tambahan oksigen, pemberian cairan intravena,
2) resusitasi pemberian cairan kristaloid dengan normal salin.
3) tranfusi kompenen darah sesuai indikator
Terapi yang diberikan pada pasien dengan anemia dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut (Black J & Hawks J, 2014):
1. Terapi Oksigen : diberikan kepada klien dengan anemia berat, karena darah
mengalami penurunan mengikuti oksigen. Oksigen dapat mencegah hipoksia dan
mengurangi beban jantung karena rendahnya kadar HB
2. Eritripoetin : injeksi eritropoetin dari subkutan diberikan kepada pasien anemia
kronik, karena obat ini akan membantu meningkatkan produksi sel darah merah.
supaya terapi ini efektif, pasien diharuskankan memiliki sumsul tulang yang
normal dan asupan nutrisi yang memadai.
3. Penggantian zat besi : zat besi ni diberikan per oral pada kebuthan yang segera atau
pada saat kebutuhan tubuh diatas normal (biasanya pada kehamilan). pemberian per
oral ini dilakukan karena mudah dan harganya yang relatif murah. Biasanya obat
yang digunakan yaitu fero sulfat (feosol) atau fero glukanat (fergon), 200-325 mg
dosis dengan melalui oral ¾ kali pemberian/hari setelah makan. konsumsi zat besi
dengan vitamin C akan membantu penyerapan dari zat besi. pasien biasanya
menerima suplementasi zat besi selama 6 bulan agar dapat disimpan dalam tubuh.
efek samping dari hal tersebut biasanya terjadi mual, muntah, konstipasi atau diare
dan feses berwarna hitam.
4. Terapi komponen darah: terapai ini digunakan untuk terapi penyakit hematologi
dan beberapa prosedur bedah yang bergantung pada produksi darah. produksi darah
yang didapatkan dari orang lain disebut homolog, sedangkan prosuksi darah yang
diinfuskan kembali daru tubuh pasien sendiri disebut autolog.

H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Tarwoto (2010) pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu


ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia
berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan
dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli.

b. Penentuan Indeks Eritrosit


Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dapat dihitung
dengan flowcytometri atau menggunakan rumus:

1. Mean Corpusculer Volume (MCV) adalah volume rata-rata eritrosit,


MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan
pada saat anemia mulai berkembang. MCV ini salah satu indikator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia
penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit
dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl
dan makrositik > 100 fl.

2. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH) adalah berat hemoglobin rata-rata


dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dan
angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27
pg dan makrositik > 31 pg.

c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)


MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30- 35% dan
hipokrom < 30%.
d. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer

Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual.


Pemeriksaan ini dilakukan dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti dan
sitoplasma sel darah merah. Dilakukan dengan menggunakan
flowcytometry hapusan darah yang dapat dilihat pada kolom morfology
flag.

e. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)

Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah
yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya
untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran
sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara.
Kenaikan nilai RDW salah satu manifestasi hematologi paling awal dari
kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin,
ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah
pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan
eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.
f. Eritrosit Protoporfirin (EP)

EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya


membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu
dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, dan
naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan
EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh
transferin rentan terhadap variasi individu. EP secara umum dipakai dalam
survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.

g. Besi Serum (Serum Iron = SI)

Besi serum ini peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta
menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh.
Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya
yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah
maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid
artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter
lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.

h. Serum Transferin (Tf)

Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersamaan


dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi
dan dapat menurun secara pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit
ginjal dan keganasan. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin) adalah rasio
besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang
paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin
dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan
terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada
penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi
populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh
transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk
mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan
perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi total
(TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma

i. Serum Feritin

Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif


untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas
dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12
ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan
semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk
kekurangan zat besi.

2. Pemeriksaan Sumsum Tulang


Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah
hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Karakteristik dari kekurangan zat besi
adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat
subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum
yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang
adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi
cadangan besi dalam populasi umum
ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN TEORI

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk mengenal
masalah pasien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan. Tahap
pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu pengumpulan data, pengelompokan data dan
merumuskan tindakan keperawatan (Tarwoto, 2013). Data yang di kumpulkan dalam
pengkajian ini meliputi bio-psiko-spiritual. Dalam proses pengkajian ada dua tahap yang
perlu di lalui yaitu pengumpulan data dan analisa data.
1. Identitas Pasien
Nama, umur : anemia umumnya dialami oleh orang dewasa, jenis kelamin : yang
dominan terkena anemia adalah perempuan, agama, status perkawinan, pendidikan
: pendikan rendah lebih besar kemungkinan mengalami anemia dikarenakan
kurangnya pengetahuan, pekerjaan, tanggal masuk, no. Register, diagnosa medis.
Penanggung jawab, meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
hubungan dengan pasien (rohmah, 2010).
2. Keluhan Utama Keluhan utama yang paling utama pada penderita anemia adalah
lemah atau pusing (Rohmah, 2010)
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Keletihan, kelemahan, malaise umum
2) Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.
3) Klien mengatakan bahwa ia depresi
4) Sakit kepala
5) Nyeri mulut & lidah
6) Kesulitan menelan
7) Dyspepsia, anoreksia
8) Klien mengatakan BB menurun
9) Nyeri kepala, berdenyut, sulit berkonsentrasi
10) Penurunan penglihatan
11) Kemampuan untuk beraktifitas menurun
b. Riwayat Penyakit Dahulu Pengkajian riwayat dahulu yang mendukung dengan
melakukan serangkaian pertanyaan, meliputi:
1) Apakah sebelumnya klien pernah menderita anemia.
2) Apakah meminum suatu obat tertentu dalam jangka lama.
3) Apakah pernah menderita penyakit malaria.
4) Apakah pernah mengalami pembesaran limfe.
5) Apakah pernah mengalami penyakit keganasan yang tersebar seperti kanker
payudara, leukimia, dan multipel mieloma.
6) Apakah pernah kontak dengan zat kimia toksik dan penyinaran dengan radiasi
7) Apakah pernah menderita penyakit menahun yang melibatkan ginjal dan hati.
8) Apakah pernah menderita penyakit infeksi dan defisiensi endoktrin.
9) Apakah pernah mengalami kekurangan vitamin penting, seperti vitamin B12
asam folat, vitamin C dan besi.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
1) Kecendrungan keluarga untuk anemia.
2) Adanya anggota keluarga yang mendapat penyakit anemia congenital.
3) Keluarga adalah vegetarian berat.
4) Social ekonomi keluarga yang rendah d. Genogram Untuk mengetahui riwayat
penyakit dari keluarga dan klien
4. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Composmentis
GCS : 15 ( E:4 V:5 M:6)
TTV : Tekanan Darah :Biasanya menurun
Nadi : Biasanya meningkat
Pernafasan :Biasanya cepat
Suhu :Biasanya meningkat
a. B1 (Breathing) Pengkajian pada system pernafasan didapat, Dispnea (kesulitan
bernafas ), nafas pendek, dan cepat lelah waktu melakukan aktifitas jasmani
merupakan berkurangnya pengiriman oksigen. Pada pasien belum sadar dilakukan
evaluasi seperti pola nafas, pergerakan rongga dada: apakah simetris atau tidak,
suara nafas tambahan: apakah tidak ada obstruksi total, udara nafas yang keluar dari
hidung, sianosis pada ekskremitas, auskultasi: adanya wheezing atau rhonkhi
b. B2 (Blood) Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan takikardi dan bising
jantung menggambarkan beban kerja dan curah jantung meningkat, pucat pada kuku,
telapak tangan serta membrane mukosa bibir dan konjungtiva. Penilaian tekanan
darah, nadi, perfusi perifer, status hidrasi (hipotermi : syock) dan kadar Hb. Keluhan
nyeri dada bila melibatkan arteri coroner. Angina (nyeri dada), khususnya pada klien
dengan usia lanjut dengan stenosis coroner dapat diakibatkan iskemik miokardium.
Pada anemia berat, dapat menimbulkan gagal jantung kongesif sebab otot jantung
yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban kerja jantung
yang meningkat.
c. B3 (Brain) Disfungsi neurologis, sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus
(telinga berdengung). Pada Sistem saraf pusat dinilai kesadaran pasien dengn GCS
(Glasgow Coma Scale) dan perhatikan gejala kenaikan TIK Fungsi-fungsi saraf
kranial :
1) Nervus Olfaktorius (N.I) : Penciuman
2) Nervus Optikus (N.II) : ketajaman penglihatan, lapang pandang
3) Nervus Okulomotorius (N.III): reflek pupil, otot ocular, eksternal termasuk otosis
dilatasi pupil
4) Nervus Troklearis (N.IV) : gerakan ocular menyebabkan ketidakmampuan
melihat kebawah dan kesamping.
5) Nervus Trigeminus (N.V): fungsi sensori, reflek kornea, kulit wajah dan dahi,
mukosa hidung dan mulut, fungsi motoric, reflek rahang.
6) Nervus Abdusen (N.VI) : Kaji kemampuan klien untuk menggerakan mata secara
lateral
7) Nervus Fasialis (N.VII) : fungsi motoric wajah bagian atas dan bawah.
8) Nervus Akustikus (N.VII) : Tes saraf koklear, pendengaran, konduksi udara dan
dan tulang
9) Nervus Glosofaringeus (N.IX) : reflek gangguan faringeal
10) Saraf fagus (N.X) : Bicara
11) Nervus Aesorius (N.XI) : kekuatan otot trapezius dan sternocleidomastoid,
kerusakan akan menyebabkan ketidakmampuan mengangkat bahu.
12) Nervus Hipoglosus (N.XII) : fungsi motorik lidah kerusakan akan menyebabkan
ketidakmampuan menjulurkan dan menggerakan lidah.
b. B4 (Bladder) Pada pasien anemia terjadi gangguan ginjal dimana produksi urine
menurun.
c. B5 (Bowel) Didapatkan penurunan intake nutrisi disebabkan karena anoreksia,
nausea, konstipasi atau diare, serta stomatitis (sariawan lidah mulut).
d. B6 (Bone) Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan , serta mudah
lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
B. Diagnosa Keperawatan (SDKI, 2016)
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolus-kapiler
2. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi
hemoglobin
3. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
4. Resiko cedera berhubungan dengan vertigo
5. Risiko ketidak seimbangan cairan
6. Gangguan eliminasi uri berhubungan dengan penurunan kapasitas kansung kemih
7. Deficit nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan mencerna makanan
8. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas gastrointestinal
9. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplaidan
kebutuhan oksigen
10. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis anemia
C. Intervensi Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan merupakan mata rantai antara penetapan kebutuhan pasien
dan pelaksanaan keperawatan. Dengan demikian perencanaan asuhan keperawatan
adalah petunjuk tertulis yang menggambarkan secara tepat mengenai rencana tindakan
yang dilakukan terhadap pasien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosa
keperawatan. Beberapa rencana keperawatan prioritas dari diagnosa keperawatan diatas
adalah :

No SDKI SLKI SIKI

1. Gangguan pertukaran Setelah diberikan intervensi Pemantauan Respirasi (l.01014)


gas berhubungan selama 3x4 jam setiap (SIKI, Hal. 247) Definisi :
dengan perubahan pertemuan diharapkan mengumpulkan dan menganalisa
membrane alveolus- Pertukaran gas meningkat, data untuk memastikan
kapiler (SDKI, kriteria hasil : (SLKI, Hal. kepatenan jalan nafas dan
D.0003) (Hal. 22) 94) 1. Dispnea menurun keefektifan pertukaran gas
Kategori : Fisiologis 2. Bunyi napas tambahan Tindakan Observasi :
Subkategori : Respiras menurun 1. Monitor frekuensi
3. Pola napas membaik irama,kedalaman dan upaya
nafas
2. Monitor pola nafas 3. Monitor
kemampuan batuk efektif
4. Monitor saturasi oksigen
5. Auskultasi bunyi nafas
Terapeutik :
6. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi :
7. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
8. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
Kolaborasi penggunaan oksigen
saat aktifitas dan/atau tidur

2. Perfusi perifer tidak Setelah diberikan intervensi Perawatan Sirkulasi (l.02079)


efektif berhubungan selama 3x4 jam setiap (SIKI, Hal. 345) Definisi :
dengan penurunan pertemuan diharapkan perfusi mengidentifikasi dan merawat
konsentrasi perifer meningkat, dengan area local dengan keterbatasan
hemoglobin (SDKI, kriteria hasil : (SLKI, Hal.84) sirkulasi perifer Tindakan :
D.0005) (Hal. 26) 1. Denyut nadi perifer Observasi :
Kategori : Fisiologis meningkat 1. Periksa sirkulasi perifer
Subkategori : 2. Penyembuhan luka 2. Identifikasi faktor risiko
Respirasi meningkat gangguan sirkulasi
3. Warna kulit pucat menurun 3. Monitor panas, kemerahan,
nyeri atau bengkak pada
ekstremitas
Terapeutik :
4. Hindari pemasangan infus
atau pengambilan darah di area
keterbatasan perfusi
5. Lakukan hidrasi
Edukasi :
6. Anjurkan berolahraga rutin
7. Anjurkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi
9. Informasikan tanda dan gejala
yang harus dilaporkan

3. Intoleransi aktivitas Setelah diberikan intervensi Manajemen Energi (1.05178)


b/d selama 3x4 jam setiap (SIKI, Hal 176) Definisi :
ketidakseimbangan pertemuan diharapkan mengidentifikasi dan mengelola
antara suplai dan toleransi aktivitas meningkat, penggunaan energi untuk
kebutuhan dengan kriteria hasil : mengatasi atau mencegah
(SLKI, Hal 149) kelelahan dan mengoptimalkan
1. Frekuensi nadi meningkat proses pemulihan. Tindakan :
2. Keluhan lelah menurun Observasi : 1. Identifikasi
3. Dyspnea saat aktivitas gangguan fungsi tubuh yang
menurun mengakibatkan kelelahan
4. Dyspnea setelah aktivitas 2. Monitor kelelahan fisik dan
menurun emosional 3. M
onitor pola dan jam tidur
4. Monitor lokasi dan
ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas
Terapeutik :
1. Sediakan lingkungan nyaman
dan rendah stimulus (Mis.
Cahaya, suara, kunjungan)
2. Lakukan rentang gerak fasif
dan atau aktif
3. Berikan aktivitas distraksi
yang menenangkan
4. Fasilitasi duduk di sisi tempat
tidur, jika tidak dapat berpindah
atau berjalan
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan aktivitas
secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan

Nyeri akut (SDKI, Setelah diberikan intervensi Manajemen Nyeri (l.08238)


D.0077) (Hal. 172) selama 3x4 jam setiap (SIKI, Hal. 201) Definisi :
Kategori : Psikologis pertemuan diharapkan tingkat mengidentifikasi dan mengelola
Subkategori : Nyeri nyeri menurun, dengan pengalaman sensoria tau
dan Kenyamanan kriteria hasil : (SLKI, emosional yang berkaitan
Hal.145) dengan kerusakan jaringan atau
1. Pasien mengatakan nyeri fungsional dengan onset
berkurang mendadak atau lambat dan
2. Pasien menunjukkan berintensitas ringan hingga berat
ekspresi wajah tenang 3. dan konstan Tindakan Observasi
Pasien dapat beristirahat :
dengan nyaman 1. Identifikasi lokasi,
karakteristik nyeri,durasi,
frekuensi, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan
nyeri
Terapeutik :
4. Berikan terapi non
farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
5. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
Edukasi :
6. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
7. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk mengurangi
nyeri Kolaborasi :
8. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

Keletihan b/d kondisi Setelah diberikan intervensi Edukasi aktivitas /istirahat


fisiologis anemia selama 3x4 jam setiap (1.12362) (SIKI, Hal 50)
(SDKI, D.0057) (Hal, pertemuan diharapkan tingkat Definisi: mengajarkan
130) Kategori : keletihan membaik, dengan pengaturan aktivitas/istirahat
Fisiologis Subkategori kriteria hasil : (SLKI, Hal 141 Tindakan :
: Aktivitas/Istirahat ) Observasi :
1. Verbalisasi kepulihan 1. Identifikasi kesiapan dan
tenaga meningkat kemampuan menerima informasi
2. Tenaga meningkat Terapeutik :
3. Kemampuan melakukan 1. Sediakan materi dan media
aktivitas rutin meningkat pengaturan aktivitas dan istirahat
4. Verbalisasi lelah menurun 2. Jadwalkan pemberian
5. Lesu menurun pendidikan kesehatan sesuai
kesepakatan
3. Berikan kesempatan pada
pasien dan keluarga untuk
bertanya
Edukasi :
1. Jelaskan pentingnya
melakukan aktivitas
fisik/olahraga secara rutin
2. Anjurkan terlibat dalam
aktivitas kelompok, aktivitas
bermain, atau aktivitas lainnya
3. Anjurkan menyusun jadwal
aktivitas dan istirahat 4. Ajarkan
cara mengidentifikasi kebutuhan
istirahat (mis. Kelelahan, sesak
nafas saat aktivitas)
5. Ajarkan cara mengidentifikasi
target dan jenis aktivitas sesuai
kemampuan

Defisit nutrisi b/d Setelah diberikan intervensi Menejemen Nutrisi (1.03119)


faktor psikologis selama 3x4 jam setiap (SIKI, Hal 200) Definisi:
keengganan untuk pertemuan diharapkan status mengidentifikasi dan mengelola
makan (SDKI, nutrisi membaik, dengan asupan nutrisi yang seimbang
D.0019) (Hal, 54) kriteria hasil : (SLKI, Hal Tindakan Observasi :
Kategori : Fisiologis 121) 1. Porsi makanan yang 1. Identifikasi status nutrisi
Subkategori : Nutrisi dihabiskan cukup meningkat 2. Identifikasi alergi dan
dan Cairan 2. Berat badan membaik intoleransi makanan
3. Indeks masa tubuh (IMT) 3. Identifikasi makanan yang
membaik disukai
4. Identifikasi kebutuhan kalori
dan jenis nutrient
5. Identifikasi perlunya
penggunaan selang nasogastric
6. Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik :
1. Lakukan oral hygine sebelum
makan, jika perlu
2. Fasilitasi menentukan
pedoman diet (mis. Piramida
makanan)
3. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang sesuai
4. Berikan makanan tinggi serat
untuk mencegah konstipasi
5. Berikan makanan tinggi kalori
dan tinggi protein
6. Berikan suplemen makanan,
jika perlu
7. Hentikan pemberian makan
melalui selang nasogastric jika
asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi :
1. Anjurkan posisi duduk, jika
mampu
2. Ajarkan diet yang di
programkan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan (mis.
Pereda nyeri, antlemetik), jika
perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu

D. Implementasi
Tahap ini di lakukan pelaksanaan dan perencanaan keperawatan yang telah
ditentukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal. Pelaksanaan
adalah pengelolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah di susun pada
tahap pencananaan (Muttaqin, 2012).

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah
kegiatan yang disengaja dan terus-menerus dengan melibatkan pasien, perawat, dan
anggota tim lainnya. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan tentang kesehatan,
patofisiologi, dan strategi evaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan
dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukukan (Muttaqin,
2012).

DAFTAR PUSTAKA
Adhisti, A. P., & Puruhita, N. (2011). Hubungan Status Antropometri dan Asupan Gizi
Dengan Kadar HB dan Ferritin Remaja Putri (Penelitian pada remaja putri
pondok pesantren At-Taqwa Semarang). FK Universitas Diponegoro. Retrieved
from http://eprints.undip.ac.id/32867/1/Anyndya.pdf
Amalia, A., & Tjiptaningrum, A. (2016). Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi
Besi. 5(5), 1–4.
Anggi Irna Mantika. (2014). Hubungan Asupan Energi, Protein, Zat Besi dan Aktivitas
Fisik Dengan Kadar Hemoglobin Tenaga Kerja Wanita di Pabrik Pengolahan
Rambut.
Baldy CM. (1992). “Sel Darah Merah” Dalam Patofisiologi Jilid 1. Alih Bahasa :
Dr.Peter Anugerah. Jakarta: EGC.
Carpenito, & Monyet. (2012). Handbook Of Nursing Diagnosis (Ed USA). Lippincot
Williams & Wilkins Inc. Depkes, R. (2008). Kita Bisa Lebih Berprestasi Tanpa
Anemia. Jakarta: Depkes RI.
Goodenough, J. McGuire, B. (2012). Biology of Humans, Concept, Aplication and Issue
(Foorth Edi). San Fransisco: Benjamin Cumings.
Habibie, I. Y., Oktavia, F., & Ventiyaningsing, A. D. I. (2018). Asupan Vitamin C tidak
Berhubungan Dengan Kadar Hemoglobin Pada Remaja Putri di SMA Negeri 5
Kota Malang. Indonesian Journal of Human Nutrition, 5, 113–124.
Handayani, W., & Andi, S. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Hestiantoro, D. (2008). Masalah Gangguan Haid dan Infertilitas. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Kasiati, N., & Rosmalawati, N. W. D. (2016). Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia
(Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan). Jakarta Selatan: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
K Saladin. (2009). Anatomy and Physiology: The Unity of Form, and Function (5th
Editio). New York: McGraw Hill Company.
Khairina, D. (2008). Faktor Faktor Penyebab Anemia. FKMUI.
Mader, S. (2004). Understanding Human Anatomy and Physiology (Fifth Edit). New
York: The McGrawHill Company.
Mader, S. S., & Windelspecth, M. (2011). Human Biology (Twelept Ed). New York: The
McGrawHill Company.
Mariana, W., & Khafidhoh, N. (2013). Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia
Pada Remaja Putri di SMK Swadaya Wilayah Kerja Semarang Tahun 2013.
Jurnal Kebidanan.
Marilyn E Doenges. (2009). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (Edisi 3). Jakarta: EGC.
Martini, F. H., Nath, J. L., & Bartholomew, E. F. (2012). Fundamental Anatomy
Physiology (Ninth Edit). Boston: Benjamin Cumings.
Masrizal. (2007). Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat, (II), 140–145.
Muttaqin, A. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai