Anda di halaman 1dari 25

1.

MM eritropoesis
1.1. Definisi
Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit (sel darah merah), pada janin dan bayi
prosesini berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya
padasumsum tulang. (Dorland, 2012)

1.2. Mekanisme pembentukan eritropoesis

Dalam keadaan normal eritropoiesis memerlukan 3 faktor yaitu


(1) Stem sel hematopoetik,
(2) Sitokin spesifik, growth factor dan hormonal regulator
(3) Hematopoietik yang mempengaruhi micro-environtment yang merupakan stroma
pendukung dan interaksi sel dengan sel yang diikuti proliferasi dan diferensiasi
hematopoetik sel stem dan mempengaruhi erythroid progenitor yang akhirnya
menghasilkan sel darah merah yang matur. Proliferasi dan maturasi ini diatur oleh
sitokin termasuk eritropoietin sebagai faktor yang terpenting dalam mekanisme ini.
Stadium-stadium diferensiasi dan pematangan sel-sel eritrositik adalah pembentukan
proeritroblast, eritroblast basofilik, eritroblast polikromatofilik, normoblast, retikulosit, dan
akhirnya eritrosit. Sel yang matang adalah sel yang telah berdeferensiasi ke stadium dimana
ia telah mempunyai kemampuan melakukan fungsi spesifiknya. Proses pematangan adalah
sintesis haemoglobin dan bentukkan sel darah yang kecil, eritrosit yang mempunyai
kemampuan terbesar untuk difusi oksigen.
Selama pematangan sel-sel eritrosit, terjadi perubahan morfologi dan histologi
berikut, sesuai dengan peristiwa biokimia perkembangan sel:
1. Volume sel berkurang
2. Anak inti ukurannya berkurang sampai inti tidak terlihat.
3. Kromatin inti bertambah padat sampai inti tampak piknotik dan dikerluarkan dari sel.
4. Terdapat pengurangan akhirnya jumlah poliribosum dan peningkatan jumlah
haemoglobin dalam sitoplasma dan jumlah mitokondria berkurang.
1.3. Factor yang mempengaruhi eritropoesis
Keseimbangan jumlah eritrosit yang beredar di dalam darah mencerminkan adanya
keseimbangan antara pembentukan dan destruksi eritrosit. Keseimbangan ini sangat penting,
karena ketika jumlah eritrosit turun akan terjadi hipoksia dan ketika terjadi kenaikan jumlah
eritrosit akan meningkatkan kekentalan darah. Untuk mempertahankan jumlah eritrosit dalam
rentang hemostasis, sel-sel baru diproduksi dalam kecepatan yang sangat cepat yaitu lebih
dari 2 juta per detik pada orang yang sehat. Proses ini dikontrol oleh hormon dan tergantung
pada pasokan yang memadai dari besi, asam amino dan vitamin B tertentu.
1. Hormonal Control
Stimulus langsung untuk pembentukan eritrosit disediakan oleh hormon eritropoetin
(EPO)dan hormon glikoprotein.Ginjal memainkan peranan utama dalam produksi EPO.
Ketika sel-sel ginjal mengalami hipoksia (kekurangan O2), ginjal akan mempercepat
pelepasan eritropoetin. Penurunan kadar O2 yang memicu pembentukan EPO:
 Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan
 Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah (seperti yang terjadi pada
defisiensi besi)
 Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita
pneumonia.
Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah dalam darah,
sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah mengangkut O2 dan memulihkan penyaluran O2
ke jaringan ke tingkat normal. Apabila penyaluran O2 ke ginjal telah normal, sekresi
eritropoetin dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia tidak mengaktifkan
langsung sumsum tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal yang nantinya memberikan
stimulus hormon yang akan mengaktifkan sumsum tulang. Selain itu, testosterone pada pria
juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal. Hormon seks wanita tidak berpengaruh
terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya jumlah RBC pada wanita lebih rendah daripada pria.
2. Eritropoeitin
 Dihasilkan oleh: sel interstisial peritubular ginjal, hati
 Stimulus pembentukan eritroprotein: dipengaruhi oleh tekanan O2 dalam jaringan
ginjal.
 Penurunan penyaluran O2 ke ginjal merangsang ginjal mengeluarkan hormon
eritropoetin ke dalam darah → merangsang eritropoiesis di sumsum tulang dengan
merangsang proliferasi dan pematangan eritrosit →jumlah eritrosit meningkat→
kapasitas darah mengangkut O2 meningkat dan penyaluran O2 ke jaringan pulih ke
tingkat normal → stimulus awal yang mencetuskan sekresi eritropoetin hilang sampai
diperlukan kembali.
 Pasokan O2 meningkat ke jaringan akibat peningkatan massa eritrosit/Hb dapat lebih
mudah melepaskan O2: stimulus eritroprotein turun
 Fungsi EPO: mempertahankan sel-sel prekursor dengan memungkinkan sel-sel
tersebut terus berproliferasi menjadi elemen-elemen yang mensintesis Hb.
 Bekerja pada sel-sel tingkat G1
 Hipoksia: rangsang fisiologis dasar untuk eritropoiesis karena suplai O2 & kebutuhan
O2 mengatur pembentukan eritrosit.
3. Zat Besi (Fe)
 Untuk sintesis Hb
 Kebutuhan 2 – 4 mg/hari
 Disimpan : 60% (Hb), 10% (mioglobin, enzim), 30% (feritin,hemosiderin)
 6-8% diserap di duodenum, dipengaruhi oleh: HCl, vit C
 Pengaruh mineral Besi (Fe), Tembaga (Cu), Kobalt ( Co):
Zat besi digunakan langsung untuk membentuk hemoglobin. Sedangan tembaga
dan kobalt diperlukan sebagai katalisator dalam tahapan pembentukan hemoglobin.
4. Vitamin B12 dan asam folat
 Untuk sintesis DNA (protein)
 Absorbsinya memerlukan faktor intrinsik (sel parietal lambung)
 Pengaruh asam folat (Asam Pteroilglitamat): Diperlukan dalam proses
pembentukan DNA
5. Vitamin E, B6, B1
6. Hormon tiroksin, androgen

1.4. Morfologi eritrosit dan jumlah pada normalnya


Eritrosit mengalami diferensiasi terminal, tidak memiliki inti, dan dipenuhi oleh
protein hemoglobin pembawa-O2. Dalam keadaan normal, sel-sel ini tidak pernah
meninggalkan sistem sirkulasi.
Seperti kebanyakan sel darah mamalia, eritrosit manusia yang tertahan dalam suatu
medium isotonic merupakan cakram bikonkaf yang fleksibel. Sel-sel tersebut berdiameter
sekitar ± 7,8 μm, dengan tebal 2,6 μm dibagian tepi, dan teal hanya 0,75 μm di bagian tengah.
Bentuk bikonkaf memberikan rasio yang lebih besar untuk luas permukaan terhadap volue
dan mempermudah pertukaran gas. Konsentrasi eritrosit normal dalam darah sekitar 3,9-5,5
juta per microliter pada wanita dan 4,1-6 juta per microliter pada pria.
Eritrosit cukup fleksibel, yang memungkinkanya beradaptasi dengan ketidak-teraturan bentuk
kapiler dan diameter kapiler yang kecil. Pengamatan secara in vivo menunjukkan bahwa saat
melewati sudut percabangan kapiler, eritrosit dengan hemoglobin dewasa (HbA) berubah
bentuk dengan mudah dan sering berbentuk mirip mangkuk.
Sitoplasma eritrosit dipenuhi dengan hemoglobin, protein tetramer pembawa-O 2 yang
menimbulkan sifat asidofilia sel. Bila dikombinasi dengan O2 atau CO2, hemoglobin, masing-
masing membentuk oksihemoglobin atau karbaminohemoglobin. Reversibilitas kombinasi
tersebut merupakan dasar untuk kapabilitas pengangkutan gas oleh hemoglobin. Kombinasi
hemoglobin dengan karbon monoksida (CO) bersifat irreversible, yang mengurangi kapasitas
sel dalam mengangkut O2
Eritrosit manusia dapat bertahan dalam sirkulas lebih kurang selama 120 hari. Pada
saat ini, defek pada jalinan sitoskeleton membrane atau sistem transport ion mulai
menghasilkan pembengkakan atau kelaianan bentuk lainnya, serta perubahan pada kompleks
oligosakarida pada permukaan sel. Eritrosit tua atau usang yang memperlihatkan perubahan
tersebut dihilangkan dari sirkulasi, terutama oleh makrofag limpa, hati, dan sumsum tulang.
1.5. Kelainan eritrosit (kelainan pada jumlah dan bentuk)
Kelainan pada Eritrosit
 Mikrosit:
Biasanya pada Anemi Def Fe
Diameter < 7 mikron, biasa disertai dengan warna pucat (hipokromia).
Pada  pemeriksaan sel darah lengkap didapatkan MCV yang rendah.
Ditemukan pada:
Anemia defesiensi besi, Keracunan tembaga, Anemia sideroblasik,
Hemosiderosis pulmoner idiopatik, Anemia akibat penyakit kronik

 Makrosit:
Biasanya pada Anemi Def Vit 12/ Def asam folat
Gambaran makrositik  berarti volume eritrosit lebih besar dari normal.
Dapat ditemukan pada penyakit anemia megaloblastik karena kurang
vit.B12 atau asam folat, anemia setelah perdarahan akut, atau anemia
karena penyakit hati kronik. Dari data pemeriksaan darah ditemukan MCV
> 94 fl
Anemia megaloblastik, Anemia aplastik/hipoplastik, Hipotiroidisme,
Malnutrisi, Anemia pernisiosa, Leukimia

 Basofilik Stipling:
Eritrosit dengan granula biru-hitam, granula ini dari kondensasi atau
presipitasi RNA ribosom akibat dari defective hemoglobin synthesis

 Hipokrom:
Eritrosit pucat ditengah >1/3nya, Kurangnya Hb, Pada anemia Defesiensi
besi
 Eliptosit:
Eritrosit berbentuk oval (ovalosyt) atau lonjong (pensil cell), Osmotic
fragility meningkat, Distribusi kolesterol dalam membran akumulasi,
Kolesterol dipinggir. Biasanya disebabkan karena anemia defisiensi besi

 Lakrimasit (Tear Drop Cell):


Eritrosit berbentuk tetesan air. Penyebab nya adalah mielofibrosis,
hemopoiesis ekstramedular

 Target Cell:
Eritrosit yang gelap di tengah, Akibat cytoplasmic aturation Defects dan
liver disease

 Crenated Cell:
Eritrosit dengan sitoplasma mengkerut, Terjadi karena hipertronik larutan
pada saat pengeringan apusan

 Stomatocyt:
Eritrosit pucat memanjang di tengah, Normal 5%, Akibat meningkatnya
sodium dalam sel dan menurunnya potassium. Penyebab nya adalah
alkoholisme, dan penyakit hati.
 Sferosit:
Eritrosit nampak pucat ditengah, Bentuk lebih kecil, tebal,Akibat
developmental defect. Penyebabnya adalah anemia hemolitik autoimun.

 Sickle Cell:
Eritrosit yang memanjang dan melengkung dengan 2 katup runcing
                   -    Nama lain: Drepanocyt
                   -    Eritrosit yang mengalami perubahan bizarre muncul pada keadaan  
                      kurang oksigen di udara

 Acantocyte
Eritrosit dengan tonjolan sitoplasma yang runcing
                   -    Tonjolan tidak teratur
                   -    Akibat defisiensilow-dencity betha Lipoprotein

 Burr Cell:
Eritrosit dengan tonjolan sitoplasma yang tumpul teratur
                   -    Akibat passage through fibrin network

2. MM hemoglobin
2.1. Definisi
Suatu senyawa protein dengan Fe yang dinamakan konjugat protein. Inti Fe dan
rangka protoperphyrin dan globin (tetra phirin) menyebabkan warna darah merah. Hb
berikatan dengan karbondioksida menjadi karboksi hemoglobin dan warnanya merah tua.
Darah arteri mengandung oksigen dan darah vena mengandung karbondioksida (Sudikno dan
Sandjaja, 2016).

2.2. Mekanisme pembentukan hemoglobin


Hemoglobin disintesa semasa proses maturasi eritrositik. Proses sintesa heme berlaku
dalam semua sel tubuh manusia kecuali eritrosit yang matang. Pusat penghasilan utama bagi
heme (porfirin) adalah sumsum tulang merah dan hepar. Heme yang terhasil dari prekursor
eritroid adalah identik dengan sitokrom dan mioglobin.
Aktiviti preliminer yang memulai pembentukan heme yaitu sintesa porfirin berlaku
apabila suksinil-koenzim A (CoA) berkondensasi dengan glisin. Asam adipat yaitu perantara
yang tidak stabil yang terhasil melalui proses kondensasi tersebut akan mengalami proses
dekarboksilasi menjadi asam delta-aminolevulinat (ALA). Reaksi kondensasi awalan ini
berlaku di mitokondria dan memerlukan vitamin B6. Faktor pembatas penting pada tahap ini
adalah kadar konversi kepada delta-ALA yang dikatalisir oleh enzim ALA-sintetase.
Aktivitas enzim ini pula dipengaruhi oleh eritropoietin dan kofaktor piridoksal fosfat (vitamin
B6).
Setelah pembentukan delta-ALA di mitokondria, reaksi sintesis terus dilanjutkan di
sitoplasma. Dua molekul ALA berkondensasi untuk membentuk monopirol porfobilinogen
(PBG). Enzim ALA dehidrase mengkatalisir enzim ini. Untuk membentuk uroporfirinogen I
atau III, empat molekul PBG dikondensasikan menjadi siklik tetrapirol. Isomer tipe III
dikonversi melalui jalur koproporfirinogen III dan protoporfirinogen menjadi protoporfirin.
Langkah terakhir yang berlangsung di mitokondria melibatkan pembentukan protoporfirin
dan penglibatan ferum untuk pembentukan heme. Empat daripada enam posisi ordinal ferro
menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase ferrocelatase. Langkah ini
melengkapkan pembentukan heme, yaitu komponen yang mengandung empat cincin pirol
yang dihubungkan oleh jembatan methene supaya membentuk struktur tetrapirol yang lebih
besar.
Struktur dan produksi globin tergantung kepada kontrol genetik. Sekuensi spesifik
asam amino dimulai oleh tiga kode dari basis DNA yang diwariskan secara genetik.
Sekurang-kurangnya terdapat lima loki yang mengarahkan sintesa globin. Kromosom 11
(rantai non-alfa) dan kromosom 16 (rantai alfa) menempatkan loki untuk sintesa globin.
Rantai polipeptida bagi globin diproduksi di ribosom seperti yang terjadi pada protein tubuh
yang lain. Rantai polipeptida alfa bersatu dengan salah satu daripada tiga rantai lain untuk
membentuk dimer dan tetramer. Pada dewasa normal, rantai ini terdiri dari dua rantai alfa dan
dua rantai beta.
Sintesa globin sangat berkoordinasi dengan sintesa porfirin. Apabila sintesa globulin
terganggu, proses sintesa porfirin akan menjadi berkurang dan sebaliknya. Walaupun begitu,
tiada kaitan antara jumlah pengambilan zat besi dengan gangguan pada protoporfirin atau
sintesa globin. Sekiranya penghasilan globin berkurang, ferum akan berakumulasi di dalam
sitoplasma sel sebagai ferritin yang beragregasi (Turgeon, 2005).

2.3. Pengaruh zat besi pada hemoglobin


Zat besi sangat berpengaruh terhadap kadar hemoglobin seseorang. Semakin rendah
asupan zat besi yang didapatkan, semakin rendah pula kadar hemoglobin pada seseorang.
Asupan zat besi yang kurang dapat menyebabkan terjadinya anemia. Hal ini dikarenakan
dalam proses pembentukan hemoglobin, zat besi merupakan salah satu zat penting yang
diperlukan. Zat besi juga berfungsi untuk mengangkut oksigen ke jaringan tubuh, sebagai
bagian dari reaksi enzim dalam sel dan jaringan tubuh.
Zat besi dapat didapatkan dari konsumsi makanan-makanan tinggi zat besi, seperti
daging sapi, kacang-kacang , tomat, dan lain-lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, zat besi yang dibutuhkan manusia berkisaran seperti di bawah
ini:

2.4. Disosiasi oksigen


Pertukaran O2: Terjadi antara saturasi 95% darah arteri dengan tekanan O2 arteri rata-
rata 95 mmHg dan saturasi 70% darah vena dengan tekanan O2 rata-rata vena 45mmHg.
(Hoffbrand & Moss, 2017).
Kurva disosiasi O2 dapat dipengaruhi oleh konsentrasi 2,3-DPG, ion H+, dan C O2
dalam sel darah merah, dan bentuk serta strukur dari hemoglobin itu sendiri. Hal-hal ini
berpengaruh dalam pergeseran kurva. Apabila ada kelainan tingginya konsentrasi 2,3-DPG,
ion H+, dan adanya abnormalitas struktur sel darah marah. Sedangkan adanya kelainan yang
seperti tidak dapat mengikat 2,3-DPG atau hemoglobin abnormal dapat menggeser kurva ke
kiri.
2.5. Struktur hemoglobin dan kadar normalnya
Hemoglobin adalah metaloprotein pengangkut oksigen yang mengandung besi dalam
sel merah dalam darah mamalia dan hewan lainnya. Hemoglobin adalah suatu protein dalam
sel darah merah yang mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan di seluruh tubuh dan
mengambil karbondioksida dari jaringan tersebut dibawa ke paru untuk dibuang ke udara
bebas (Evelyn, 2000).
Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu
molekul organik dengan satu atom besi. Mutasi pada gen protein hemoglobin mengakibatkan
suatu golongan penyakit menurun yang disebut hemoglobinopati, di antaranya yang paling
sering ditemui adalah anemia sel sabit dan talasemia.
Hemoglobin tersusun dari empat molekul protein (globulin chain) yang terhubung
satu sama lain. Hemoglobin normal orang dewasa (HbA) terdiri dari 2 alpha-globulin chains
dan 2 beta-globulin chains, sedangkan pada bayi yang masih dalam kandungan atau yang
sudah lahir terdiri dari beberapa rantai beta dan molekul hemoglobinnya terbentuk dari 2
rantai alfa dan 2 rantai gama yang dinamakan sebagai HbF. Rantai polipeptida ini masing-
masing rantai berikatan dengan satu grup heme. Pada setiap rantai α terdapat 141 asam amino
dan setiap rantai β terdapat 146 asam amino.
Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung 4 subunit protein),
yang terdiri dari masing-masing dua subunit alfa dan beta yang terikat secara nonkovalen.
Subunit-subunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama. Tiap subunit
memiliki berat molekul kurang lebih 16,000 Dalton, sehingga berat molekul total tetramernya
menjadi sekitar 64,000 Dalton.
Pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin yang
menahan satu atom besi; atom besi ini merupakan situs/loka ikatan oksigen. Porfirin yang
mengandung besi disebut heme Tiap subunit hemoglobin mengandung satu heme, sehingga
secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat molekul oksigen. Pada molekul
heme inilah zat besi melekat dan menghantarkan oksigen serta karbondioksida melalui darah.
Kapasitas hemoglobin untuk mengikat oksigen bergantung pada keberadaan gugus
prastitik yang disebut heme. Gugus heme yang menyebabkan darah berwarna merah. Gugus
heme terdiri dari komponen anorganik dan pusat atom besi. Komponen organik yang disebut
protoporfirin terbentuk dari empat cincin pirol yang dihubungkan oleh jembatan meterna
membentuk cincin tetra pirol. Empat gugus mitral dan gugus vinil dan dua sisi rantai
propionol terpasang pada cincin ini (Nelson dan Cox, 2005).
Hemoglobin juga berperan penting dalam mempertahankan bentuk sel darah yang
bikonkaf, jika terjadi gangguan pada bentuk sel darah ini, maka keluwesan sel darah merah
dalam melewati kapiler jadi kurang maksimal. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa
kekurangan zat besi bisa mengakibatkan anemia.
Jika nilainya kurang dari nilai diatas bisa dikatakan anemia, dan apabila nilainya
kelebihan akan mengakibatkan polinemis (Evelyn, 2000).

Gambar 2.1: Struktur 3 dimensi Hemoglobin. ( Mc.Kee T dan Mc.Kee JR,2004 )

2.6. Kelainan hemoglobin


1. Varian pada struktur Hb, seperti (HbS dan HbC), yang disebabkan perubahan satu
asam amino (mutasi misense)
2. Thalassemia, dengan karakterisasi berkurangnya sintesis satu atau lebih rantai globin
pada hemoglobin.
3. Sintesis hemoglobin fetal (Hb F) tetap bertahan di luar periode neonatal yang
kesemuanya dikenal sebagai hereditary persistence of fetal hemoglobin (HPFH)
4. Hemoglobin yang tidak stabil
5. Varian Hb dengan afinitas oksigen yang berubah
6. Methemoglobin (Hb M)

3. MM anemia
3.1. Definisi
Penurunanan kadar hemoglobin darah dibawah nilai normal berdasarkan usia dan
jenis kelamin. Nilai dapat dikatakan normal bervariasi antara laboratrium. Nilai mencapai
anemia adalah untuk laki laki 134 g/L dan 115 g/L untuk perempuan. Perbedaan umur
mempengaruhi kadar hemoglobin. Sejak usia 2 tahun sampai nilai hemoglobin kurang dari
110 g/L sudah mengindikasi anemia. Bayi baru lahir mempunyai kadar hemoglobin yang
tinggi sehingga batas ambang kadar hemoglin 140 g/L.
3.2. Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan menjadi berbagai kategori. Umumnya, anemia diklasifikasikan
berdasarkan morfologi sel-sel darah.

Secara morfologis, anemia dapat diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin yang
dikandungnya.
A. Makrositik
Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin tiap
sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik yaitu:
1. Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat dan gangguan
sintesis DNA;
2. Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang dipercepat dan peningkatan luas
permukaan membran.
B. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh defisiensi besi, gangguan sintesis
globin, porfirin dan heme serta gangguan metabolisme besi lainnya.
C. Normositik
Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini disebabkan kehilangan
darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara berlebihan, penyakit-penyakit
hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.

Anemia juga dapat dikalsifikasikan berdasarkan penyebab terjadi suatu anemia yaitu:

3.3. Etiologi
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh 3 hal yaitu kehilangan darah, meningkatnya
penghancuran sel darah merah, dan melambatnya pembentukan sel darah merah. Setiap dari
penyebab memiliki beberapa kelainan di mana setiap kelainan membutuhkan terapi yang
spesifik dan tepat.
Anemia yang disebabkan kelain genetik Anemia disebabkan penyakit kronis
adalah: -penyakit ginjal
-hemoglobiopatis -penyakithati
- thalasemia -pinfeksi kronis
-ketidak normalan enzim jalur pentosa -neoplasia
fosfat -penyakit kolagen vaskular
-kelainan pada sitoskeleton sel darah
merah Anemia disebabkan penyakit infeksi
-anemia faconni -Infeksi bakteri; gram negatif
Anemia yang disebabkan kelainan nutrisi: -Infeksi viral: hepatitis, CMV
-kekurangan zat besi -Protozoa: malaria, leismaniniasis,
-kekurangan asam folat
-kekurangan vitamin B12 toxoplasma
-kelaparan dan malnutrisi
Anemia disebabkan trauma:
-trauma
-luka bakar
- frostbite

3.4. Manifestasi klinis


Gejala anemia dapat dibagi menjadi 3 jenis gejala yaitu:
A. Gejala Anemia Umum
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada
setiap kasus anemia setelah penuruan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7 g/dL).
Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan disepsia. Pada pemeriksaan pasien
tampak pucat yang dapat dilihat dari konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan
bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit
di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat
(Hb<7 g/dL).
B. Gejala khas anemia
1. Anemia defisiensi besi
 Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris garis
vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok;
 Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil
lidah menghilang;
 Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan;
 Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring;
 Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhlorida;
 Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat, es,
lem dan lain-lain.
2. Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12.
3. Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali.
4. Anemia aplastic: perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
C. Gejala Penyakit Dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang:
sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu
sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit
kronik oleh karena artritis rheumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia
untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan
pemeriksaan laboratorium.

3.5. Diagnosis dan diagnosis banding


Diagnosis anemia defisiensi zat besi dapat diperoleh melalui pemeriksaan darah. Tes hitung
darah lengkap dapat menunjukkan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan
hematokrit (persentase sel darah merah dalam darah). Anemia ditandai dengan kadar
hemoglobin dan hematokrit yang lebih rendah dari normal.
Selain tes hitung darah lengkap untuk melihat anemia, tes darah lainnya juga dapat dilakukan
untuk:
 Melihat banyaknya zat besi dalam darah, dan ferritin atau proteinyang menyimpan zat
besi dalam tubuh.
 Melihat kemampuan tubuh mengikat zat besi (transferrin and total iron-binding
capacity) dan jumlah sel darah merah tidak matang (retikulosit), yang biasanya rendah
dalam anemia defisiensi zat besi.
 Melihat ukuran dan bentuk sel darah merah melalui apusan darah tepi (peripheral
blood smear). Anemia defisiensi besi umumnya ditunjukkan dengan ukuran sel darah
merah yang lebih kecil dari normal dan warna darah yang lebih pucat.
Setelah pemeriksaan darah menujukkan pasien mengalami kekurangan zat besi, sejumlah
pemeriksaan penunjang lain diperlukan untuk memastikan penyebab anemia tersebut.
Pemeriksaan tersebut berupa:
 Pemeriksaan darah dalam tinja. Pemeriksaan feses atau tinja ini dilakukan jika
dicurigai penyebab anemia defisiensi besi adalah perdarahan saluran cerna.
 Endoskopi. Pemindaian ini dilakukan untuk melihat sumber perdarahan dalam
saluran pencernaan yang bisa menyebabkan anemia defisiensi zat besi.
 USG panggul. Pemeriksaan ini dilakukan pada wanita yang mengalami menstruasi
dengan perdarahan banyak, untuk melihat penyebab kondisi tersebut.

DIAGNOSIS BANDING
 Anemia penyakit kronis
 Talasemia
 Anemia hemolitik autoimun
 Anemia sideroblastik
 Spherositosis herediter
 Kelainan hemoglobin
 Kelainan darah
 Keracunan logam berat
 Infeksi cacing tambang

Hemoglobin
Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin disesuaikan dengan kriteria diagnosis anemia. Angka
ini harus disesuaikan terlebih dahulu, terutama bila pasien merupakan perokok atau tinggal di
dataran tinggi, karena dapat membuat kadar Hb cenderung lebih tinggi. Hasil pengukuran
kadar Hb harus dikurangi angka penyesuaian. Angka penyesuai kadar Hb pada pasien
tersebut adalah sebagai berikut:
 Perokok < 1 bungkus/hari : Hb – 0.03 g/dL
 Perokok 1 – 2 bungkus/hari : Hb – 0.05 g/dL
 Perokok ≥ 2 bungkus/hari : Hb – 0.07 g/dL
 Dataran tinggi :
 >1000 m : Hb – 0.2 g/dL
 >1500 m : Hb – 0.5 g/ dL
 > 2000 m : Hb – 0.8 g/ dL
 > 2500 m : Hb – 1.3 g/ dL
 > 3000 m : Hb – 1.9 g/ dL
 > 3500 m : Hb – 2.7 g/ dL
 > 4000 m : Hb – 3.5 g/ dL
 > 4500 m : Hb – 4.5 g/ dL
Angka penyesuaian ini harus diperhitungkan karena dapat membuat diagnosis anemia
kurang/underdiagnosed.
Hitung Eritrosit / RBC Indices
Pada pemeriksaan ini, dilakukan pengukuran terhadap mean corpuscular volume, mean
corpuscular hemoglobin, dan mean corpuscular hemoglobin concentration.
 Mean Corpuscular Volume (MCV) : Dilakukan untuk mengukur volume/ukuran sel
darah. Nilai normal MCV adalah 80-100 fL (normositik). Nilai MCV < 80 fL
menunjukkan adanya sel darah mikrositik, sedangnkan MCV > 100 fL menunjukkan
sel darah makrositik. Pada ADB, sel darah akan ditemukan mikrositik dan terkadang
normositik.
 Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) : Dilakukan untuk menilai jumlah
hemoglobin per sel darah.
 Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) : Dilakukan untuk
menghintung konsentrasi hemoglobin. Pada ADB dapat ditemukan konsentrasi
menurun atau hipokromik.
Studi Besi Darah
Kadar besi dalam darah yang dinilai adalah :
 Serum besi/serum iron (SI) : Kadar besi dalam darah umumnya ditemukan rendah
pada ADB, namun hal ini sering kali kurang spesifik dan kurang baik digunakan
untuk mendiagnosis ADB, karena juga bisa muncul pada jenis anemia lain.
Pemeriksaan yang lebih spesifik adalah ferritin. Kadar besi normal adalah 60 –
150 µg/dL. Pada ADB dapat ditemukan < 60 µg/dL dan < 40 µg/dL pada ADB berat.
 Serum Ferritin : Nilai normal ferritin adalah 40 – 200 µg/dL. Kadar ferritin akan
menurun terlebih dahulu pada defisiensi besi (<40 µg/dL) meskipun tanpa adanya
anemia. Pada ADB kadar ferritin umumnya < 20 µg/dL.
 TIBC : Kadar normal TIBC adalah 300 – 360 µg/dL. Pada ADB, TIBC umumnya
ditemukan meningkat sekitar 350 – 400 µg/dL dan > 410 µg/dL pada ADB
berat.Perlu diperhatikan bahwa penggunaan kontrasepsi oral dan kehamilan dapat
menurunkan kadar TIBC, sehingga pada pasien-pasien tersebut TIBC dapat
ditemukan lebih rendah.
Sediaan Apusan Darah Tepi (SADT)
Pemeriksaan SADT dapat membantu penegakkan diagnosis ADB dan membantu
menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain, seperti talasemia, anemia penyakit kronis, dan
sferositosis.
Hasil SADT yang dapat ditemukan pada ADB adalah: sel mikrositik hipokromik dan sel
pensil. Sel makrosit dapat muncul pada kasus ADB campuran dengan anemia defisiensi folat.
Pada 40% kasus, ADB dapat menunjukkan sel normositik.
Lainnya
Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk mencari sumber perdarahan, seperti:
 Urinalisis : Dilakukan untuk menilai adanya perdarahan ginjal dan saluran kemih.
Dapat ditemukan hematuria baik mikro ataupun makro dan juga hemoglobinuria
(perdarahan tanpa ditemukan eritrosit).
 Tes feces darah okult (fecal occult blood test/FOBT) : Dilakukan untuk menilai
adanya darah samar pada feses. Umum ditemukan positif bila terdapat perdarahan
gastrointestinal bagian atas.
 Aspirasi sumsum tulang/bone marrow aspiration (BMA) : Dapat dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding seperti anemia sideroblastik, dll.
Pemeriksaan BMA juga bisa menjadi pemeriksaan diagnostik untuk ADB.
Ditemukannya spikula pada pewarnaan Perls dapat menegakkan diagnosis ADB.
 Hitung Retikulosit : Retikulosit tinggi menunjukkan peningkatan respon eritropoietik
karena perdarahan atau hemolysis. Retikulosit rendah menunjukkan kurangnya
reproduksi eritrosit karena supresi sumsum tulang.
 Endoskopi : Endoskopi dilakukan untuk mengidentifikasi adanya perdarahan pada
saluran gastrointestinal bawah dan atas.

3.6. Tatalaksana
Penatalaksanaan anemia defisiensi besi (ADB) dilakukan berdasarkan derajat keparahan dan
gejala penyerta, meliputi:
 Modifikasi Diet
 Penanganan kondisi penyerta
 Terapi besi oral
 Terapi besi parenteral
 Transfusi darah
Keberhasilan terapi ADB ditandai dengan peningkatan hemoglobin sebanyak 2 g/dL dalam 3
minggu. Pengobatan harus dilanjutkan selama paling tidak 6 bulan untuk memastikan
persediaan besi dalam darah sudah kembali normal dan menghindari rekurensi.
Modifikasi Diet

Defisiensi besi sering kali terjadi karena kurangnya asupan besi. Modifikasi diet dapat
membantu untuk mencegah rekurensi ADB dan dapat diterapkan bersamaan dengan terapi
besi. Makanan seperti roti, teh, atau susu sering kali menghambat penyerapan besi. Pasien
dengan pica juga harus dilakukan edukasi dan konseling untuk modifikasi diet.[4]
Terapi Kondisi Penyerta

Terapi anemia harus meliputi penanganan kondisi yang menyebabkan. Penyakit yang sering
kali menyertai ADB adalah:
 Gangguan haid
 Perdarahan gastrointestinal
 Perdarahan saluran kemih
 Infeksi cacing
 Gangguan ginjal
Pengobatan dilakukan sesuai dengan masing-masing kondisi tersebut. Bila kondisi penyerta
tidak dapat ditangani, pikirkan untuk merujuk pasien. [4,6,13]
Terapi Besi Oral

Terapi oral zat besi merupakan terapi yang efektif dan paling terjangkau untuk ADB. Dosis
rekomendasi asupan besi untuk ADB adalah besi elemental 150 – 200 mg per hari. Sediaan
yang ada antara lain:
 Besi elemental (garam besi) : Dapat diberikan dengan dosis 50-65 mg sebanyak 3-4
kali sehari pada dewasa. Pada anak dapat diberikan 3 mg/kgBB sebelum makan atau 5
mg/kgBB setelah makan. Tablet besi harus disimpan dengan baik agar jauh dari
jangkauan anak-anak, karena satu tablet dewasa dapat mengakibatkan kematian pada
anak.
 Sulfas ferrosus : Sulfas ferrosus merupakan terapi pilihan pada ADB. Diberikan 3x
sehari dengan tablet 325 mg yang mengandung 65 mg besi elemental. Pemberian
sulfas ferrosus harus dilanjutkan sampai 2 bulan setelah koreksi Hb untuk membuat
persediaan besi normal kembali.
 Ferrous fumarat : Dapat diberikan 2–3 kali sehari. Setiap tablet ferrous fumarat
mengandung 106 mg besi elemental.
 Ferrous glukonat : Dapat diberikan 3 kali sehari. Setiap tablet ferrous glukonat
mengandung 28–36 mg besi elemental.
Konsumsi zat besi oral sebaiknya dilakukan sebelum makan untuk penyerapan yang lebih
baik dan diminum dengan jus jeruk. Penambahan vitamin C 500 Unit atau 100 gram sekali
sehari dapat membantu penyerapan besi.
Terapi zat besi sering kali menimbulkan efek samping, sehingga perlu edukasi pasien tentang
tata cara konsumsi besi oral yang baik. Efek samping yang sering timbul antara lain:
 Mual
 Muntah
 Diare
 Konstipasi
 Nyeri epigastrik
 Heartburn
 Buang air besar kehitaman
 Alergi
Terapi zat besi oral sering kali mengalami kegagalan. Kegagalan terapi besi oral dapat terjadi
pada:
 Diagnosis ADB tidak tepat, misalnya terdapat talasemia, sindrom myelodisplasia, dll
 Kepatuhan minum obat pasien rendah
 Terdapat penyakit lain yang menyertai atau terapi lain yang mengganggu terapi besi,
seperti gagal ginjal, kemoterapi, dll
 Gangguan penyerapan obat, misalnya penggunaan antasida, konsumsi susu, dll
 Terdapat perdarahan melebihi asupan besi, misalnya perdarahan gastrointestinal,
pasien dialisis, dll
 Penyakit kelainan darah bawaan atau herediter
 Anemia defisiensi besi refrakter besi/iron-refractory iron deficiency anemia (IRIDA)
Terapi Besi Parenteral

Besi parenteral dapat diberikan apabila pasien mengalami kegagalan terapi oral atau memiliki
kondisi berikut: (1) Perdarahan berlebih, (2) Gangguan ginjal kronis, (3) Penyakit radang
usus/inflammatory bowel disease, dan (4) Pasien kanker.
Obat yang dapat digunakan antara lain adalah:
 Besi dekstran : Dapat diberikan intramuskuler ataupun intravena dengan dosisi 1000
mg dalam 1 jam.
 Besi sukrosa : Dapat diberikan injeksi intravena dengan bolus lambat (dosis <300 mg)
atau infus (500 mg dalam beberapa jam)
 Kompleks ferik-glukonat (tidak tersedia di Indonesia)
 Besi karboksilmatosa (tidak tersedia di Indonesia)
Pemberian besi parenteral harus dibawah pengawasan dokter spesialis. Penggunaan besi
parenteral ini terkadang kurang dilakukan karena resiko efek samping alergi yang cukup
tinggi, seperti anafilaksis, syok, hingga kematian.
Transfusi Darah

Transfusi darah diindikasikan pada pasien dengan Hb < 6-8 g/dL, terutama pada pada ibu
hamil dengan gawat janin atau gawat ibu, hemodinamik tidak stabil, perdarahan aktif,
iskemia organ karena ADB berat. Transfusi dilakukan dengan packed red cell 300 ml 2 unit.
Pasien yang memerlukan transfusi harus dirujuk.
Follow-Up

Pasien-pasien ADB disarankan untuk melakukan pengecekan darah kembali setiap 3 bulan
selama 1 tahun setelah diagnosis, apabila hasil didapatkan normal tes darah diulang 1 kali
setelah 12 bulan.

3.7. Pencegahan
Beberapa jenis anemia, seperti anemia pada masa kehamilan dan anemia akibat kekurangan
zat besi, dapat dicegah dengan pola makan kaya nutrisi, terutama:

 Makanan kaya zat besi dan asam folat, seperti daging, sereal, kacang-kacangan,
sayuran berdaun hijau gelap, roti, dan buah-buahan
 Makanan kaya vitamin B12, seperti susu dan produk turunannya, serta makanan
berbahan dasar kacang kedelai, seperti tempe dan tahu.
 Buah-buahan kaya vitamin C, misalnya jeruk, melon, tomat, dan stroberi.

Untuk mengetahui apakah asupan nutrisi Anda sudah cukup, berkonsultasilah dengan dokter
spesialis gizi. Bila Anda memiliki keluarga penderita anemia akibat kelainan genetik, seperti
anemia sel sabit atau thalasemia, konsultasikan dengan dokter sebelum merencanakan
kehamilan, agar kondisi ini tidak terjadi pada anak.

3.8. Prognosis
Prognosis anemia tergantung pada penyebab anemia.

Penggantian nutrisi (zat besi, B12, folat) harus segera dimulai. Pada kekurangan zat besi,
penggantian harus dilanjutkan setidaknya selama tiga bulan setelah normalisasi kadar zat
besi, untuk memulihkan simpanan zat besi. Biasanya, kekurangan nutrisi memiliki prognosis
yang baik jika ditangani secara dini dan adekuat.

Anemia, akibat kehilangan darah akut, jika ditangani dan dihentikan lebih awal, memiliki
prognosis yang baik.
4. MM anemia defisiensi zat besi
4.1. Definisi
Anemia defisiensi besi terjadi ketika tubuh menyimpan besi terlalu rendah untuk mendukung
sel darah merah yang normal berproduksi. Besi yang tidak memadai diet, penyerapan zat besi
terganggu, perdarahan, atau kehilangan zat besi tubuh dalam urin mungkin menjadi
penyebabnya. Keseimbangan besi dalam tubuh biasanya diatur dengan hati-hati untuk
memastikan bahwa besi yang cukup diserap dalam rangka untuk mengkompensasi
kekurangan besi dalam tubuh.

4.2. Etiologi
1. Faktor makanan
Daging merupakan sumber zat besi heme, yang kurang dipengaruhi oleh konstituen diet yang
dengan jelas mengurangi bioavailabilitas dari besi non heme ini. Prevalensi anemia defisiensi
besi rendah di wilayah geografis di mana daging merupakan konstituen penting dari diet. Di
daerah di mana daging jarang, kekurangan zat besi adalah hal yang lumrah.
Zat yang mengurangi penyerapan zat besi besi dan besi termasuk phytates, oksalat, fosfat,
karbonat, dan tannates (lihat gambar di bawah). Zat-zat ini memiliki sedikit efek pada
penyerapan zat besi heme. Demikian pula, asam askorbat meningkatkan penyerapan zat besi
besi dan besi dan memiliki sedikit efek pada penyerapan zat besi heme.

Struktur hemoglobin besi

Kedua zat besi non-heme dan besi heme memiliki 6 obligasi koordinasi; Namun, 4 obligasi di
Pyrrole mengikat heme, membuat mereka tidak tersedia untuk kelasi oleh senyawa lain. Oleh
karena itu, asam askorbat kelat besi non-heme untuk meningkatkan penyerapan namun tidak
berpengaruh pada besi heme. Banyak komponen makanan, seperti phytates, fosfat, oksalat,
dan tannates, besi non-heme mengikat untuk mengurangi penyerapan zat besi non-heme.
Mereka tidak mempengaruhi heme. Hal ini menjelaskan mengapa heme begitu efektif diserap
dengan makanan yang mengandung protein.

Heme murni diserap buruk karena heme dipolimerisasi menjadi makromolekul. Produk
degradasi globin berkurang polimerisasi heme, sehingga lebih tersedia untuk penyerapan.
Mereka juga meningkatkan penyerapan zat besi non-heme karena peptida dari globin
terdegradasi mengikat zat besi untuk mencegah kedua presipitasi dan polimerisasi; dengan
demikian, penyerapan zat besi dalam bayam meningkat ketika bayam dimakan dengan
daging. Heme dan penyerapan zat besi non-heme oleh sel serap usus ini kompetitif.

2. Pendarahan
Pendarahan untuk alasan apapun menghasilkan penurunan besi. Jika kehilangan darah yang
cukup terjadi, anemia defisiensi besi terjadi kemudian (lihat gambar di bawah). Kehilangan
darah secara tiba – tiba dapat menghasilkan anemia posthemorrhagic yang normositik.
Sumsum tulang dirangsang untuk meningkatkan produksi hemoglobin, sehingga depleting zat
besi dalam tubuh menyimpan. Setelah mereka habis, sintesis hemoglobin terganggu dan
eritrosit hipokromik diproduksi.
Perubahan maksimal dalam sel darah merah (RBC) indeks seluler terjadi pada sekitar 120
hari, pada saat semua eritrosit normal yang diproduksi sebelum perdarahan yang digantikan
oleh microcytes. Sebelum waktu ini, apusan perifer menunjukkan populasi dimorfik eritrosit,
sel normositik diproduksi sebelum perdarahan, dan sel-sel mikrositik diproduksi setelah
pendarahan. Hal ini tercermin dalam lebar distribusi sel darah merah (RDW); dengan
demikian, bukti awal dari pengembangan eritropoiesis kekurangan zat besi terlihat dalam
apusan perifer, dalam bentuk peningkatan RDW.

3. Hemosiderinuria, hemoglobinuria, dan hemosiderosis paru


Anemia kekurangan zat besi dapat terjadi dari hilangnya besi tubuh dalam urin. Jika spesimen
urin segar yang diperoleh muncul berdarah tetapi tidak mengandung sel darah merah,
tersangka hemoglobinuria. Memperoleh konfirmasi di laboratorium yang pigmen adalah
hemoglobin dan mioglobin tidak. Hal ini dapat dicapai dengan mudah karena 60% amonium
sulfat endapan hemoglobin tetapi tidak mioglobin.
Hemoglobinuria klasik yang berasal hemoglobinuria nokturnal paroksismal, tetapi dapat
terjadi dengan cepat anemia hemolitik intravaskular. Pada hari-hari awal operasi jantung
dengan implantasi katup buatan, mekanisme ini menghasilkan anemia defisiensi besi adalah
biasa di rumah sakit universitas besar. Hari ini, dengan prostesis yang lebih baik, telah
menjadi masalah klinis kurang sering. Dengan gangguan hemolitik kurang parah, mungkin
tidak ada hemoglobinuria signifikan.
Menyelidiki hilangnya ginjal besi dengan pewarnaan sedimen urin untuk besi. Hemosiderin
terdeteksi intraseluler. Sebagian besar pasien ini memiliki haptoglobin plasma rendah atau
tidak ada. Demikian pula, hemosiderosis paru dapat mengakibatkan hilangnya cukup zat besi
sebagai hemosiderin dari paru-paru.

4. Malabsorpsi besi
Achlorhydria berkepanjangan dapat menghasilkan kekurangan zat besi karena kondisi asam
yang diperlukan untuk melepaskan besi besi dari makanan. Kemudian, dapat chelated dengan
mucins dan zat lainnya (misalnya, asam amino, gula, asam amino, atau amida) untuk tetap
larut dan tersedia untuk penyerapan di usus dua belas jari lebih basa. Pati dan makan tanah
liat hasil malabsorpsi besi dan besi Anemia defisiensi. Permintaan khusus diperlukan untuk
memperoleh riwayat baik pati atau makan tanah liat karena pasien tidak sukarela informasi.
Operasi pengangkatan luas dari usus kecil proksimal atau penyakit kronis (misalnya,
sariawan tidak diobati atau sindrom celiac) dapat mengurangi penyerapan zat besi. Jarang,
pasien yang tidak memiliki riwayat malabsorpsi memiliki anemia kekurangan zat besi dan
gagal untuk menanggapi terapi besi oral. Kebanyakan hanya yang patuh dengan terapi.
Kelainan genetik memproduksi kekurangan zat besi telah ditunjukkan pada hewan pengerat
(sex-linked anemia [sla] tikus, anemia mikrositik [mk] tikus, Belgrade tikus). Fenomena ini
belum jelas ditunjukkan pada manusia; jika ada, itu mungkin jarang menyebabkan anemia
defisiensi besi.

4.3. Manifestasi klinis


Pasien dengan anemia defisiensi besi dapat melaporkan hal berikut:
1. Kelelahan dan kemampuan berkurang untuk melakukan kerja keras
2. Kaki kram pada naik tangga
3. Keinginan es (dalam beberapa kasus, seledri dingin atau sayuran dingin lainnya)
untuk menghisap atau mengunyah
4. Kinerja skolastik yang buruk
5. Intoleransi dingin
6. Mengurangi resistensi terhadap infeksi
7. Perilaku berubah (misalnya, kelainan kurang perhatian)
8. Disfagia dengan makanan padat (dari tali pita esofagus)
9. Gejala memburuk penyakit jantung atau paru komorbiditas
Temuan pada pemeriksaan fisik mungkin termasuk yang berikut:
1. Pertumbuhan mengalami gangguan pada bayi
2. Pucat pada membran mukosa (penemuan yang spesifik)
3. Kuku berbentuk sendok (koilonikia)
4. Lidah mengilap dengan atrofi papila lingual
5. Celah di sudut mulut (stomatitis anguler)
6. Splenomegali (di berat, gigih, kasus yang tidak diobati)
7. Pseudotumor cerebri (temuan langka pada kasus yang berat)
4.4. Patofisiologi
A. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya
cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya
masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum
menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih
normal.
B. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron limited
erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis.Dari
hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin
menurun, sedangkan TIBC meningkat dan free erythrocyte porphrin (FEP) meningkat.

C. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang
menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb.
Dari gambaran tepi darah didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progesif. Pada tahap
ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.

4.5. Cara diagnosis dan diagnosis banding


Anamnesis
1) Riwayat faktor predisposisi dan etiologi:
a. Kebutuhan meningkat secara fisiologis terutama pada masa pertumbuhan yang
cepat, menstruasi, dan infeksi kronis
b. Kurangnya besi yang diserap karena asupan besi dari makanan tidak adekuat
malabsorpsi besi
c. Perdarahan terutama perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn,
colitis ulserativa)
2) Badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang serta telinga mendenging.
Pemeriksaan Fisik
1) Anemis, tidak disertai ikterus,organomegali dan limphadenopati
2) Stomatitis angularis, atrofi papil lidah
3) Ditemukan takikardi,murmur sistolik
4) Pucat, terutama pada konjunctiva dan jaringan di bawah kuku.
5) Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi rapuh dan bergaris-
garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.
Pemeriksaan Penunjang
1) Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun
2) Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik
3) Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat , saturasi menurun
4) Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat
5) Sumsum tulang : aktifitas eritropoitik meningkat.

Lanzkowsky menyimpulakn ADB dapat diketahui melalui:


1) Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan MCV,
MCH, dan MCHC yang menurun.
2) Red cell distribution width (RDW) > 17%
3) FEP meningkat
4) Feritin serum menurun
5) Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 10%
6) Respon terhadap pemberian preparat besi
a. Retikulositosis mencapai pundak pada hari ke 5 – 10 setelah pemberian besi
b. Kadar hemolobin meninkat rata-rata 0,25 – 0,4 g/dl/ hari atau PCV mengkat 1% /
hari.
7) Sumsum tulang
a. Tertundanya maturasi sitoplasma
b. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
8) Pemeriksaan Lab Defisiensi Peradangan Talasemia α Anemia
Besi Kronik atau atau β Sideroblastik
keganasan
MCV/ MCH Menurun Normal atau Menurun Rendah pada
terkait Menurun Kongenital
keparahan ringan
Besi Serum Menurun Menurun Normal Meningkat
TIBC Meningkat Menurun Normal Normal
Feritin Serum Menurun Normal atau Normal Meningkat
Meningkat
Cadangan Besi Sumsum Tidak Ada Ada Ada Ada
Tulang
Besi Eritroblas Tidak Ada Tidak Ada Ada Bentuk Cincin
Elektroforesis Hb Normal Normal HbA2 Normal
meningkat
pada bentuk
β

4.6. Tatalaksana
Uji Coba Terapi
- Diutamakan oral.
- Reaksi yang diprediksi:
a. peningkatan retikulosit pada minggu ke 1-2;
b. peningkatan konsentrasi hemoglobin pada minggu ke 3-4;
c. Setengah defisit hemoglobin diperbaiki pada minggu ke 4-5;
d. Hemoglobin kembali normal dalam 2-4 bulan.
- Jika reaksi yang diduga tidak terjadi, ada kemungkinan defisiensi besi bukanlah
penyebab anemia.
Terapi Besi Oral
Oral digunakan jika sumber makanan tidak memadai untuk pengobatan. Pilihan obat yang
aman dan terjangkau adalah garam besi oral (oral ferrous salt): ferous sulfat, ferous glukonat,
ferous fumarat. Ferous sulfat mengandung besi elemental sebanyak 20%. Jangan diberikan
obat bersama dengan antasid, inhibitor produksi asam, maupun setelah makan.
Untuk mengatasi defisiensi besi, dosis yang dibutuhkan adalah 200-400 mg/hari dengan 3-4
dosis satu jam sebelum makan (65 mg unsur besi dalam 325 mg ferrous sulfat USP, atau
dalam 200 mg besi sulfat kering) selama 3-6 bulan. Makan dapat mengurangi absorpsi obat
40%-50%.
Preparat Tablet Elemen besi tiap obat Dosis lazim orang
dewasa (tablet/hari)
Ferrous sulfat 325 mg 65 mg 3-4
Ferous glukonat 325 mg 36 mg 3-4
Ferous fumarat 200 mg 66 mg 3-4
Ferous fumarat 325 mg 106 mg 2-3
Efek Samping: gastrointestinal intoleran terhadap obat, pyrosis, konstipasi, diare.
Terapi Besi Parenteral
- Indikasi:
a. Malabsorpsi;
b. Intoleran terhadap zat besi oral;
c. Membutuhkan dosis yang lebih dari oral;
d. Pasien tidak koperatif atau sulit melakukan follow-up.
- Iron dextran
Pasien dapat diberikan dengan cara IM atau IV. Setiap milimeternya terdiri dari 50 mg besi
elemental.

Keterangan : Dosis maksimum bayi 15 mg/hari, dosis tanggal


Khusus remaja perempuan ditambah 400 µg asam folat
Sumber : Jurnal Averrous
Lama Terapi
Terapi oral dilanjutkan selama 12 bulan setelah hemoglobin kembali normal untuk
mencukupi cadangan besi dalam tubuh.
4.7. Pencegahan
Asupan nutrisi dan gizi yang seimbang dapat mencegah defisiensi besi dalam tubuh,
diantaranya
- Besi dan Garam-Garamnya
a. Kebutuhan Fe setiap harinya dipengaruhi oleh faktor usia dan jenis kelamin
Laki-laki dewasa : 10 mg
Wanita dewasa : 12 mg
Wanita hamil dan menyusui : 17 mg
b. Makanan
Fe tinggi (> 5 mg/100gr): hati, jantung, kuning telur, ragi, kerang, kacang.
Fe sedang (1-5 mg/100gr): daging, ikan, unggas, sayur hijau, biji-bijian.
Fe rendah (<1 mg/100gr): susu, produk susu, sayuran kurang hijau.
Laki-
Usia laki Perempuan Kehamilan Laktasi
Lahir hingga 6 bulan 0.27 mg* 0.27 mg*
7–12 bulan 11 mg 11 mg
1–3 tahun 7 mg 7 mg
4–8 tahun 10 mg 10 mg
9–13 tahun 8 mg 8 mg
14–18 tahun 11 mg 15 mg 27 mg 10 mg
19–50 tahun 8 mg 18 mg 27 mg 9 mg
51+ tahun 8 mg 8 mg
* asupan yang memadai
Tabel: Rekomendasi Asupan Besi Harian (Institute of Medicine. Food and Nutrition Board.
Washington, DC: National Academy Press; 2001)
- Vitamin B12
Kebutuhan Vitamin B12 per hari yaitu 1µg. Sumber alaminya adalah mikroorganisme. Jenis
makanan yang kaya akan Vitamin B12 adalah jeroan, kerrang, kuning telur, susu kering bebas
lemak, dan makanan laut.
- Asam Folat
Kebutuhan asam folat tubuh per hari 50µg. Folat mudah rusak dalam proses pematangan.
Makanan yang mengandung folat yaitu hati, ragi, dan daun hijau segar.

4.8. Prognosis
Prognosis baik jika penyebab anemia hanya defisiensi besi saja dan dilakukan pengobatan
yang adekuat. Manifestasi klinis membaik seiring dengan diberikannya pemberian besi, oral,
maupun parenteral.
Beberapa kemungkinan jika terapi gagal, yaitu:
- Dosis obat yang tidak tepat;
- Perdarahan tidak teratasi;
- Pasien tidak melaksanakan terapi;
- Defisiensi vitamin B12, folat, tiroid;
- Penyakit yang membatasi respon eritropoietik: penyakit hepar, penyakit ginjal,
keganasan, infeksi, inflamasi;
- Diagnosis yang salah: thalassemia.

DAPUS
Beutler, Ernest., Marshall A. Lichtman., Thomas J. Kipps., dan William J. Williams. (2003).
Williams Manual of Hematology 6th Edition. Singapore: McGraw-Hill Education.
Bobak. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4, Jakarta: EGC
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. (2016). Farmakologi dan Terapi Edisi 6.
Erwin, L. 2009. PMI Indonesia. Lintang: Jakarta
Fitriany, J., & Saputri, A. I. (2018). Anemia Defisiensi Besi. AVERROUS, 4(2), 1-14.
Flisberg P, Rundgren M, Engstro M, 2009. The Effects of Transfusions Evaluated Using
Rotational Thromboelastometry. Anesthesia Analgesia. Swiss.
Hoffbrand, A. Victor Kapita Selekta hematologi / A. Victor Hoffbrand, Paul A. H. Moss ;
alih
bahasa, Huriawati Hartanto, Wulan Adinda Lestari; editor edisi bahasa Indonesia, Miranti
Iskandar ... [et al.]. – Ed. 7. – Jakarta : EGC, 2018.
Iman. S. 1997. Hematologi klinik.PT.Alumni Bandung. Bandung.
Institute of Medicine. Food and Nutrition Board. Dietary Reference Intakes for Vitamin
A,Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese, Molybdenum,
Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc: a Report of the Panel on Micronutrients. Washington,
DC: National Academy Press; 2001.
https://journal.uwks.ac.id/index.php/jikw/article/viewFile/340/310
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-9-gizi-dan-darah/91-anemia-dan-gangguan-darah-lain/911-
anemia-defisiensi-besi
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/anemia/diagnosis-treatment/drc-20351366
https://emedicine.medscape.com/article/202333-overview
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499994/

Anda mungkin juga menyukai