MM eritropoesis
1.1. Definisi
Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit (sel darah merah), pada janin dan bayi
prosesini berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya
padasumsum tulang. (Dorland, 2012)
Makrosit:
Biasanya pada Anemi Def Vit 12/ Def asam folat
Gambaran makrositik berarti volume eritrosit lebih besar dari normal.
Dapat ditemukan pada penyakit anemia megaloblastik karena kurang
vit.B12 atau asam folat, anemia setelah perdarahan akut, atau anemia
karena penyakit hati kronik. Dari data pemeriksaan darah ditemukan MCV
> 94 fl
Anemia megaloblastik, Anemia aplastik/hipoplastik, Hipotiroidisme,
Malnutrisi, Anemia pernisiosa, Leukimia
Basofilik Stipling:
Eritrosit dengan granula biru-hitam, granula ini dari kondensasi atau
presipitasi RNA ribosom akibat dari defective hemoglobin synthesis
Hipokrom:
Eritrosit pucat ditengah >1/3nya, Kurangnya Hb, Pada anemia Defesiensi
besi
Eliptosit:
Eritrosit berbentuk oval (ovalosyt) atau lonjong (pensil cell), Osmotic
fragility meningkat, Distribusi kolesterol dalam membran akumulasi,
Kolesterol dipinggir. Biasanya disebabkan karena anemia defisiensi besi
Target Cell:
Eritrosit yang gelap di tengah, Akibat cytoplasmic aturation Defects dan
liver disease
Crenated Cell:
Eritrosit dengan sitoplasma mengkerut, Terjadi karena hipertronik larutan
pada saat pengeringan apusan
Stomatocyt:
Eritrosit pucat memanjang di tengah, Normal 5%, Akibat meningkatnya
sodium dalam sel dan menurunnya potassium. Penyebab nya adalah
alkoholisme, dan penyakit hati.
Sferosit:
Eritrosit nampak pucat ditengah, Bentuk lebih kecil, tebal,Akibat
developmental defect. Penyebabnya adalah anemia hemolitik autoimun.
Sickle Cell:
Eritrosit yang memanjang dan melengkung dengan 2 katup runcing
- Nama lain: Drepanocyt
- Eritrosit yang mengalami perubahan bizarre muncul pada keadaan
kurang oksigen di udara
Acantocyte
Eritrosit dengan tonjolan sitoplasma yang runcing
- Tonjolan tidak teratur
- Akibat defisiensilow-dencity betha Lipoprotein
Burr Cell:
Eritrosit dengan tonjolan sitoplasma yang tumpul teratur
- Akibat passage through fibrin network
2. MM hemoglobin
2.1. Definisi
Suatu senyawa protein dengan Fe yang dinamakan konjugat protein. Inti Fe dan
rangka protoperphyrin dan globin (tetra phirin) menyebabkan warna darah merah. Hb
berikatan dengan karbondioksida menjadi karboksi hemoglobin dan warnanya merah tua.
Darah arteri mengandung oksigen dan darah vena mengandung karbondioksida (Sudikno dan
Sandjaja, 2016).
3. MM anemia
3.1. Definisi
Penurunanan kadar hemoglobin darah dibawah nilai normal berdasarkan usia dan
jenis kelamin. Nilai dapat dikatakan normal bervariasi antara laboratrium. Nilai mencapai
anemia adalah untuk laki laki 134 g/L dan 115 g/L untuk perempuan. Perbedaan umur
mempengaruhi kadar hemoglobin. Sejak usia 2 tahun sampai nilai hemoglobin kurang dari
110 g/L sudah mengindikasi anemia. Bayi baru lahir mempunyai kadar hemoglobin yang
tinggi sehingga batas ambang kadar hemoglin 140 g/L.
3.2. Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan menjadi berbagai kategori. Umumnya, anemia diklasifikasikan
berdasarkan morfologi sel-sel darah.
Secara morfologis, anemia dapat diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin yang
dikandungnya.
A. Makrositik
Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin tiap
sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik yaitu:
1. Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat dan gangguan
sintesis DNA;
2. Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang dipercepat dan peningkatan luas
permukaan membran.
B. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh defisiensi besi, gangguan sintesis
globin, porfirin dan heme serta gangguan metabolisme besi lainnya.
C. Normositik
Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini disebabkan kehilangan
darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara berlebihan, penyakit-penyakit
hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.
Anemia juga dapat dikalsifikasikan berdasarkan penyebab terjadi suatu anemia yaitu:
3.3. Etiologi
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh 3 hal yaitu kehilangan darah, meningkatnya
penghancuran sel darah merah, dan melambatnya pembentukan sel darah merah. Setiap dari
penyebab memiliki beberapa kelainan di mana setiap kelainan membutuhkan terapi yang
spesifik dan tepat.
Anemia yang disebabkan kelain genetik Anemia disebabkan penyakit kronis
adalah: -penyakit ginjal
-hemoglobiopatis -penyakithati
- thalasemia -pinfeksi kronis
-ketidak normalan enzim jalur pentosa -neoplasia
fosfat -penyakit kolagen vaskular
-kelainan pada sitoskeleton sel darah
merah Anemia disebabkan penyakit infeksi
-anemia faconni -Infeksi bakteri; gram negatif
Anemia yang disebabkan kelainan nutrisi: -Infeksi viral: hepatitis, CMV
-kekurangan zat besi -Protozoa: malaria, leismaniniasis,
-kekurangan asam folat
-kekurangan vitamin B12 toxoplasma
-kelaparan dan malnutrisi
Anemia disebabkan trauma:
-trauma
-luka bakar
- frostbite
DIAGNOSIS BANDING
Anemia penyakit kronis
Talasemia
Anemia hemolitik autoimun
Anemia sideroblastik
Spherositosis herediter
Kelainan hemoglobin
Kelainan darah
Keracunan logam berat
Infeksi cacing tambang
Hemoglobin
Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin disesuaikan dengan kriteria diagnosis anemia. Angka
ini harus disesuaikan terlebih dahulu, terutama bila pasien merupakan perokok atau tinggal di
dataran tinggi, karena dapat membuat kadar Hb cenderung lebih tinggi. Hasil pengukuran
kadar Hb harus dikurangi angka penyesuaian. Angka penyesuai kadar Hb pada pasien
tersebut adalah sebagai berikut:
Perokok < 1 bungkus/hari : Hb – 0.03 g/dL
Perokok 1 – 2 bungkus/hari : Hb – 0.05 g/dL
Perokok ≥ 2 bungkus/hari : Hb – 0.07 g/dL
Dataran tinggi :
>1000 m : Hb – 0.2 g/dL
>1500 m : Hb – 0.5 g/ dL
> 2000 m : Hb – 0.8 g/ dL
> 2500 m : Hb – 1.3 g/ dL
> 3000 m : Hb – 1.9 g/ dL
> 3500 m : Hb – 2.7 g/ dL
> 4000 m : Hb – 3.5 g/ dL
> 4500 m : Hb – 4.5 g/ dL
Angka penyesuaian ini harus diperhitungkan karena dapat membuat diagnosis anemia
kurang/underdiagnosed.
Hitung Eritrosit / RBC Indices
Pada pemeriksaan ini, dilakukan pengukuran terhadap mean corpuscular volume, mean
corpuscular hemoglobin, dan mean corpuscular hemoglobin concentration.
Mean Corpuscular Volume (MCV) : Dilakukan untuk mengukur volume/ukuran sel
darah. Nilai normal MCV adalah 80-100 fL (normositik). Nilai MCV < 80 fL
menunjukkan adanya sel darah mikrositik, sedangnkan MCV > 100 fL menunjukkan
sel darah makrositik. Pada ADB, sel darah akan ditemukan mikrositik dan terkadang
normositik.
Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) : Dilakukan untuk menilai jumlah
hemoglobin per sel darah.
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) : Dilakukan untuk
menghintung konsentrasi hemoglobin. Pada ADB dapat ditemukan konsentrasi
menurun atau hipokromik.
Studi Besi Darah
Kadar besi dalam darah yang dinilai adalah :
Serum besi/serum iron (SI) : Kadar besi dalam darah umumnya ditemukan rendah
pada ADB, namun hal ini sering kali kurang spesifik dan kurang baik digunakan
untuk mendiagnosis ADB, karena juga bisa muncul pada jenis anemia lain.
Pemeriksaan yang lebih spesifik adalah ferritin. Kadar besi normal adalah 60 –
150 µg/dL. Pada ADB dapat ditemukan < 60 µg/dL dan < 40 µg/dL pada ADB berat.
Serum Ferritin : Nilai normal ferritin adalah 40 – 200 µg/dL. Kadar ferritin akan
menurun terlebih dahulu pada defisiensi besi (<40 µg/dL) meskipun tanpa adanya
anemia. Pada ADB kadar ferritin umumnya < 20 µg/dL.
TIBC : Kadar normal TIBC adalah 300 – 360 µg/dL. Pada ADB, TIBC umumnya
ditemukan meningkat sekitar 350 – 400 µg/dL dan > 410 µg/dL pada ADB
berat.Perlu diperhatikan bahwa penggunaan kontrasepsi oral dan kehamilan dapat
menurunkan kadar TIBC, sehingga pada pasien-pasien tersebut TIBC dapat
ditemukan lebih rendah.
Sediaan Apusan Darah Tepi (SADT)
Pemeriksaan SADT dapat membantu penegakkan diagnosis ADB dan membantu
menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain, seperti talasemia, anemia penyakit kronis, dan
sferositosis.
Hasil SADT yang dapat ditemukan pada ADB adalah: sel mikrositik hipokromik dan sel
pensil. Sel makrosit dapat muncul pada kasus ADB campuran dengan anemia defisiensi folat.
Pada 40% kasus, ADB dapat menunjukkan sel normositik.
Lainnya
Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk mencari sumber perdarahan, seperti:
Urinalisis : Dilakukan untuk menilai adanya perdarahan ginjal dan saluran kemih.
Dapat ditemukan hematuria baik mikro ataupun makro dan juga hemoglobinuria
(perdarahan tanpa ditemukan eritrosit).
Tes feces darah okult (fecal occult blood test/FOBT) : Dilakukan untuk menilai
adanya darah samar pada feses. Umum ditemukan positif bila terdapat perdarahan
gastrointestinal bagian atas.
Aspirasi sumsum tulang/bone marrow aspiration (BMA) : Dapat dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding seperti anemia sideroblastik, dll.
Pemeriksaan BMA juga bisa menjadi pemeriksaan diagnostik untuk ADB.
Ditemukannya spikula pada pewarnaan Perls dapat menegakkan diagnosis ADB.
Hitung Retikulosit : Retikulosit tinggi menunjukkan peningkatan respon eritropoietik
karena perdarahan atau hemolysis. Retikulosit rendah menunjukkan kurangnya
reproduksi eritrosit karena supresi sumsum tulang.
Endoskopi : Endoskopi dilakukan untuk mengidentifikasi adanya perdarahan pada
saluran gastrointestinal bawah dan atas.
3.6. Tatalaksana
Penatalaksanaan anemia defisiensi besi (ADB) dilakukan berdasarkan derajat keparahan dan
gejala penyerta, meliputi:
Modifikasi Diet
Penanganan kondisi penyerta
Terapi besi oral
Terapi besi parenteral
Transfusi darah
Keberhasilan terapi ADB ditandai dengan peningkatan hemoglobin sebanyak 2 g/dL dalam 3
minggu. Pengobatan harus dilanjutkan selama paling tidak 6 bulan untuk memastikan
persediaan besi dalam darah sudah kembali normal dan menghindari rekurensi.
Modifikasi Diet
Defisiensi besi sering kali terjadi karena kurangnya asupan besi. Modifikasi diet dapat
membantu untuk mencegah rekurensi ADB dan dapat diterapkan bersamaan dengan terapi
besi. Makanan seperti roti, teh, atau susu sering kali menghambat penyerapan besi. Pasien
dengan pica juga harus dilakukan edukasi dan konseling untuk modifikasi diet.[4]
Terapi Kondisi Penyerta
Terapi anemia harus meliputi penanganan kondisi yang menyebabkan. Penyakit yang sering
kali menyertai ADB adalah:
Gangguan haid
Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan saluran kemih
Infeksi cacing
Gangguan ginjal
Pengobatan dilakukan sesuai dengan masing-masing kondisi tersebut. Bila kondisi penyerta
tidak dapat ditangani, pikirkan untuk merujuk pasien. [4,6,13]
Terapi Besi Oral
Terapi oral zat besi merupakan terapi yang efektif dan paling terjangkau untuk ADB. Dosis
rekomendasi asupan besi untuk ADB adalah besi elemental 150 – 200 mg per hari. Sediaan
yang ada antara lain:
Besi elemental (garam besi) : Dapat diberikan dengan dosis 50-65 mg sebanyak 3-4
kali sehari pada dewasa. Pada anak dapat diberikan 3 mg/kgBB sebelum makan atau 5
mg/kgBB setelah makan. Tablet besi harus disimpan dengan baik agar jauh dari
jangkauan anak-anak, karena satu tablet dewasa dapat mengakibatkan kematian pada
anak.
Sulfas ferrosus : Sulfas ferrosus merupakan terapi pilihan pada ADB. Diberikan 3x
sehari dengan tablet 325 mg yang mengandung 65 mg besi elemental. Pemberian
sulfas ferrosus harus dilanjutkan sampai 2 bulan setelah koreksi Hb untuk membuat
persediaan besi normal kembali.
Ferrous fumarat : Dapat diberikan 2–3 kali sehari. Setiap tablet ferrous fumarat
mengandung 106 mg besi elemental.
Ferrous glukonat : Dapat diberikan 3 kali sehari. Setiap tablet ferrous glukonat
mengandung 28–36 mg besi elemental.
Konsumsi zat besi oral sebaiknya dilakukan sebelum makan untuk penyerapan yang lebih
baik dan diminum dengan jus jeruk. Penambahan vitamin C 500 Unit atau 100 gram sekali
sehari dapat membantu penyerapan besi.
Terapi zat besi sering kali menimbulkan efek samping, sehingga perlu edukasi pasien tentang
tata cara konsumsi besi oral yang baik. Efek samping yang sering timbul antara lain:
Mual
Muntah
Diare
Konstipasi
Nyeri epigastrik
Heartburn
Buang air besar kehitaman
Alergi
Terapi zat besi oral sering kali mengalami kegagalan. Kegagalan terapi besi oral dapat terjadi
pada:
Diagnosis ADB tidak tepat, misalnya terdapat talasemia, sindrom myelodisplasia, dll
Kepatuhan minum obat pasien rendah
Terdapat penyakit lain yang menyertai atau terapi lain yang mengganggu terapi besi,
seperti gagal ginjal, kemoterapi, dll
Gangguan penyerapan obat, misalnya penggunaan antasida, konsumsi susu, dll
Terdapat perdarahan melebihi asupan besi, misalnya perdarahan gastrointestinal,
pasien dialisis, dll
Penyakit kelainan darah bawaan atau herediter
Anemia defisiensi besi refrakter besi/iron-refractory iron deficiency anemia (IRIDA)
Terapi Besi Parenteral
Besi parenteral dapat diberikan apabila pasien mengalami kegagalan terapi oral atau memiliki
kondisi berikut: (1) Perdarahan berlebih, (2) Gangguan ginjal kronis, (3) Penyakit radang
usus/inflammatory bowel disease, dan (4) Pasien kanker.
Obat yang dapat digunakan antara lain adalah:
Besi dekstran : Dapat diberikan intramuskuler ataupun intravena dengan dosisi 1000
mg dalam 1 jam.
Besi sukrosa : Dapat diberikan injeksi intravena dengan bolus lambat (dosis <300 mg)
atau infus (500 mg dalam beberapa jam)
Kompleks ferik-glukonat (tidak tersedia di Indonesia)
Besi karboksilmatosa (tidak tersedia di Indonesia)
Pemberian besi parenteral harus dibawah pengawasan dokter spesialis. Penggunaan besi
parenteral ini terkadang kurang dilakukan karena resiko efek samping alergi yang cukup
tinggi, seperti anafilaksis, syok, hingga kematian.
Transfusi Darah
Transfusi darah diindikasikan pada pasien dengan Hb < 6-8 g/dL, terutama pada pada ibu
hamil dengan gawat janin atau gawat ibu, hemodinamik tidak stabil, perdarahan aktif,
iskemia organ karena ADB berat. Transfusi dilakukan dengan packed red cell 300 ml 2 unit.
Pasien yang memerlukan transfusi harus dirujuk.
Follow-Up
Pasien-pasien ADB disarankan untuk melakukan pengecekan darah kembali setiap 3 bulan
selama 1 tahun setelah diagnosis, apabila hasil didapatkan normal tes darah diulang 1 kali
setelah 12 bulan.
3.7. Pencegahan
Beberapa jenis anemia, seperti anemia pada masa kehamilan dan anemia akibat kekurangan
zat besi, dapat dicegah dengan pola makan kaya nutrisi, terutama:
Makanan kaya zat besi dan asam folat, seperti daging, sereal, kacang-kacangan,
sayuran berdaun hijau gelap, roti, dan buah-buahan
Makanan kaya vitamin B12, seperti susu dan produk turunannya, serta makanan
berbahan dasar kacang kedelai, seperti tempe dan tahu.
Buah-buahan kaya vitamin C, misalnya jeruk, melon, tomat, dan stroberi.
Untuk mengetahui apakah asupan nutrisi Anda sudah cukup, berkonsultasilah dengan dokter
spesialis gizi. Bila Anda memiliki keluarga penderita anemia akibat kelainan genetik, seperti
anemia sel sabit atau thalasemia, konsultasikan dengan dokter sebelum merencanakan
kehamilan, agar kondisi ini tidak terjadi pada anak.
3.8. Prognosis
Prognosis anemia tergantung pada penyebab anemia.
Penggantian nutrisi (zat besi, B12, folat) harus segera dimulai. Pada kekurangan zat besi,
penggantian harus dilanjutkan setidaknya selama tiga bulan setelah normalisasi kadar zat
besi, untuk memulihkan simpanan zat besi. Biasanya, kekurangan nutrisi memiliki prognosis
yang baik jika ditangani secara dini dan adekuat.
Anemia, akibat kehilangan darah akut, jika ditangani dan dihentikan lebih awal, memiliki
prognosis yang baik.
4. MM anemia defisiensi zat besi
4.1. Definisi
Anemia defisiensi besi terjadi ketika tubuh menyimpan besi terlalu rendah untuk mendukung
sel darah merah yang normal berproduksi. Besi yang tidak memadai diet, penyerapan zat besi
terganggu, perdarahan, atau kehilangan zat besi tubuh dalam urin mungkin menjadi
penyebabnya. Keseimbangan besi dalam tubuh biasanya diatur dengan hati-hati untuk
memastikan bahwa besi yang cukup diserap dalam rangka untuk mengkompensasi
kekurangan besi dalam tubuh.
4.2. Etiologi
1. Faktor makanan
Daging merupakan sumber zat besi heme, yang kurang dipengaruhi oleh konstituen diet yang
dengan jelas mengurangi bioavailabilitas dari besi non heme ini. Prevalensi anemia defisiensi
besi rendah di wilayah geografis di mana daging merupakan konstituen penting dari diet. Di
daerah di mana daging jarang, kekurangan zat besi adalah hal yang lumrah.
Zat yang mengurangi penyerapan zat besi besi dan besi termasuk phytates, oksalat, fosfat,
karbonat, dan tannates (lihat gambar di bawah). Zat-zat ini memiliki sedikit efek pada
penyerapan zat besi heme. Demikian pula, asam askorbat meningkatkan penyerapan zat besi
besi dan besi dan memiliki sedikit efek pada penyerapan zat besi heme.
Kedua zat besi non-heme dan besi heme memiliki 6 obligasi koordinasi; Namun, 4 obligasi di
Pyrrole mengikat heme, membuat mereka tidak tersedia untuk kelasi oleh senyawa lain. Oleh
karena itu, asam askorbat kelat besi non-heme untuk meningkatkan penyerapan namun tidak
berpengaruh pada besi heme. Banyak komponen makanan, seperti phytates, fosfat, oksalat,
dan tannates, besi non-heme mengikat untuk mengurangi penyerapan zat besi non-heme.
Mereka tidak mempengaruhi heme. Hal ini menjelaskan mengapa heme begitu efektif diserap
dengan makanan yang mengandung protein.
Heme murni diserap buruk karena heme dipolimerisasi menjadi makromolekul. Produk
degradasi globin berkurang polimerisasi heme, sehingga lebih tersedia untuk penyerapan.
Mereka juga meningkatkan penyerapan zat besi non-heme karena peptida dari globin
terdegradasi mengikat zat besi untuk mencegah kedua presipitasi dan polimerisasi; dengan
demikian, penyerapan zat besi dalam bayam meningkat ketika bayam dimakan dengan
daging. Heme dan penyerapan zat besi non-heme oleh sel serap usus ini kompetitif.
2. Pendarahan
Pendarahan untuk alasan apapun menghasilkan penurunan besi. Jika kehilangan darah yang
cukup terjadi, anemia defisiensi besi terjadi kemudian (lihat gambar di bawah). Kehilangan
darah secara tiba – tiba dapat menghasilkan anemia posthemorrhagic yang normositik.
Sumsum tulang dirangsang untuk meningkatkan produksi hemoglobin, sehingga depleting zat
besi dalam tubuh menyimpan. Setelah mereka habis, sintesis hemoglobin terganggu dan
eritrosit hipokromik diproduksi.
Perubahan maksimal dalam sel darah merah (RBC) indeks seluler terjadi pada sekitar 120
hari, pada saat semua eritrosit normal yang diproduksi sebelum perdarahan yang digantikan
oleh microcytes. Sebelum waktu ini, apusan perifer menunjukkan populasi dimorfik eritrosit,
sel normositik diproduksi sebelum perdarahan, dan sel-sel mikrositik diproduksi setelah
pendarahan. Hal ini tercermin dalam lebar distribusi sel darah merah (RDW); dengan
demikian, bukti awal dari pengembangan eritropoiesis kekurangan zat besi terlihat dalam
apusan perifer, dalam bentuk peningkatan RDW.
4. Malabsorpsi besi
Achlorhydria berkepanjangan dapat menghasilkan kekurangan zat besi karena kondisi asam
yang diperlukan untuk melepaskan besi besi dari makanan. Kemudian, dapat chelated dengan
mucins dan zat lainnya (misalnya, asam amino, gula, asam amino, atau amida) untuk tetap
larut dan tersedia untuk penyerapan di usus dua belas jari lebih basa. Pati dan makan tanah
liat hasil malabsorpsi besi dan besi Anemia defisiensi. Permintaan khusus diperlukan untuk
memperoleh riwayat baik pati atau makan tanah liat karena pasien tidak sukarela informasi.
Operasi pengangkatan luas dari usus kecil proksimal atau penyakit kronis (misalnya,
sariawan tidak diobati atau sindrom celiac) dapat mengurangi penyerapan zat besi. Jarang,
pasien yang tidak memiliki riwayat malabsorpsi memiliki anemia kekurangan zat besi dan
gagal untuk menanggapi terapi besi oral. Kebanyakan hanya yang patuh dengan terapi.
Kelainan genetik memproduksi kekurangan zat besi telah ditunjukkan pada hewan pengerat
(sex-linked anemia [sla] tikus, anemia mikrositik [mk] tikus, Belgrade tikus). Fenomena ini
belum jelas ditunjukkan pada manusia; jika ada, itu mungkin jarang menyebabkan anemia
defisiensi besi.
C. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang
menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb.
Dari gambaran tepi darah didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progesif. Pada tahap
ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.
4.6. Tatalaksana
Uji Coba Terapi
- Diutamakan oral.
- Reaksi yang diprediksi:
a. peningkatan retikulosit pada minggu ke 1-2;
b. peningkatan konsentrasi hemoglobin pada minggu ke 3-4;
c. Setengah defisit hemoglobin diperbaiki pada minggu ke 4-5;
d. Hemoglobin kembali normal dalam 2-4 bulan.
- Jika reaksi yang diduga tidak terjadi, ada kemungkinan defisiensi besi bukanlah
penyebab anemia.
Terapi Besi Oral
Oral digunakan jika sumber makanan tidak memadai untuk pengobatan. Pilihan obat yang
aman dan terjangkau adalah garam besi oral (oral ferrous salt): ferous sulfat, ferous glukonat,
ferous fumarat. Ferous sulfat mengandung besi elemental sebanyak 20%. Jangan diberikan
obat bersama dengan antasid, inhibitor produksi asam, maupun setelah makan.
Untuk mengatasi defisiensi besi, dosis yang dibutuhkan adalah 200-400 mg/hari dengan 3-4
dosis satu jam sebelum makan (65 mg unsur besi dalam 325 mg ferrous sulfat USP, atau
dalam 200 mg besi sulfat kering) selama 3-6 bulan. Makan dapat mengurangi absorpsi obat
40%-50%.
Preparat Tablet Elemen besi tiap obat Dosis lazim orang
dewasa (tablet/hari)
Ferrous sulfat 325 mg 65 mg 3-4
Ferous glukonat 325 mg 36 mg 3-4
Ferous fumarat 200 mg 66 mg 3-4
Ferous fumarat 325 mg 106 mg 2-3
Efek Samping: gastrointestinal intoleran terhadap obat, pyrosis, konstipasi, diare.
Terapi Besi Parenteral
- Indikasi:
a. Malabsorpsi;
b. Intoleran terhadap zat besi oral;
c. Membutuhkan dosis yang lebih dari oral;
d. Pasien tidak koperatif atau sulit melakukan follow-up.
- Iron dextran
Pasien dapat diberikan dengan cara IM atau IV. Setiap milimeternya terdiri dari 50 mg besi
elemental.
4.8. Prognosis
Prognosis baik jika penyebab anemia hanya defisiensi besi saja dan dilakukan pengobatan
yang adekuat. Manifestasi klinis membaik seiring dengan diberikannya pemberian besi, oral,
maupun parenteral.
Beberapa kemungkinan jika terapi gagal, yaitu:
- Dosis obat yang tidak tepat;
- Perdarahan tidak teratasi;
- Pasien tidak melaksanakan terapi;
- Defisiensi vitamin B12, folat, tiroid;
- Penyakit yang membatasi respon eritropoietik: penyakit hepar, penyakit ginjal,
keganasan, infeksi, inflamasi;
- Diagnosis yang salah: thalassemia.
DAPUS
Beutler, Ernest., Marshall A. Lichtman., Thomas J. Kipps., dan William J. Williams. (2003).
Williams Manual of Hematology 6th Edition. Singapore: McGraw-Hill Education.
Bobak. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4, Jakarta: EGC
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. (2016). Farmakologi dan Terapi Edisi 6.
Erwin, L. 2009. PMI Indonesia. Lintang: Jakarta
Fitriany, J., & Saputri, A. I. (2018). Anemia Defisiensi Besi. AVERROUS, 4(2), 1-14.
Flisberg P, Rundgren M, Engstro M, 2009. The Effects of Transfusions Evaluated Using
Rotational Thromboelastometry. Anesthesia Analgesia. Swiss.
Hoffbrand, A. Victor Kapita Selekta hematologi / A. Victor Hoffbrand, Paul A. H. Moss ;
alih
bahasa, Huriawati Hartanto, Wulan Adinda Lestari; editor edisi bahasa Indonesia, Miranti
Iskandar ... [et al.]. – Ed. 7. – Jakarta : EGC, 2018.
Iman. S. 1997. Hematologi klinik.PT.Alumni Bandung. Bandung.
Institute of Medicine. Food and Nutrition Board. Dietary Reference Intakes for Vitamin
A,Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese, Molybdenum,
Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc: a Report of the Panel on Micronutrients. Washington,
DC: National Academy Press; 2001.
https://journal.uwks.ac.id/index.php/jikw/article/viewFile/340/310
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-9-gizi-dan-darah/91-anemia-dan-gangguan-darah-lain/911-
anemia-defisiensi-besi
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/anemia/diagnosis-treatment/drc-20351366
https://emedicine.medscape.com/article/202333-overview
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499994/