Anda di halaman 1dari 21

ANEMIA

BUKU MODUL

ANEMIA

FAKULTAS KEDOKTERAN Editor :


BAGIAN PATOLOGI KLINIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO Indranila KS
Daftar Isi

Modul Anemia i
BAB I.
PENDAHULUAN

1. Batasan anemia.
Anemia adalah berkurangnya jumlah sel-sel darah merah. Karena anemia dihubungkan
dengan penurunan kemampuan pengangkutan oksigen dalam darah, kondisi ini
biasanya dinyatakan dalam hubungannya dengan konsentrasi hemoglobin. Umumnya,
anemia ditemukan pada pemeriksaan laboratorium saat kadar hemoglobin atau
hematokrit seorang penderita berkurang di bawah nilai yang diharapkan (dari nilai
kisaran yang normal).

2. Manifestasi anemia.
Kecuali pada kasus-kasus yang nyata, anemia jarang terdiagnosis dari penampakannya
sendiri. Manifestasi klinis yang timbul secara primer berhubungan dengan upaya
kompensasi tubuh yang dirangsang oleh keadaan hipoksia. Anemia lebih sering
ditemukan pada pemeriksaan darah rutin bagi pasien-pasien yang mengeluhkan
perasaan mudah lelah ataupun nafas yang pendek. Hanya kadang-kadang ditemukan
penderita dengan anemia lanjut yang disertai dengan tanda-tanda dan gejala-gejala
anemia. Walaupun demikian, anemia dengan derajat yang ringan dapat terjadi tanpa
keluhan atau gejala apa pun. Jenis anemia harus ditentukan dengan segera untuk
mempersempit upaya pencarian keadaan yang mungkin menjadi penyebabnya.

Modul Anemia 1
BAB II.
KONSEP FISIOLOGIS ANEMIA

2.1 FUNGSI DAN MORFOLOGI ERITROSIT


1. Fungsi utama eritrosit
Fungsi utama dari sel-eritrosit, yang juga dikenal sebagai eritrosit, adalah mengangkut
hemoglobin (Hb), yang kemudian mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan. Pada
beberapa hewan tingkat rendah, Hb beredar sebagai protein bebas dalam plasma, tidak
terbatas dalam eritrosit. Bila pada manusia hal ini terjadi, setiap kali darah bersirkulasi
sekitar 3 % bocor ke jaringan atau melalui membran glomerulus ginjal. Karena itu, agar
tetap berada dalam aliran darah, Hb harus berada dalam eritrosit.

2. Fungsi lain eritrosit


Selain mengangkut Hb, eritrosit juga mempunyai fungsi lain. Contohnya, ia mengandung
banyak sekali enzim karbonik anhidrase, yang mengkatalisis reaksi antara karbon
dioksida dan air, sehingga meningkatkan kecepatan reaksi bolak balik ini beberapa ribu
kali lipat. Cepatnya reaksi ini membuat air dalam darah dapat bereaksi dengan banyak
sekali karbon dioksida, dan dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru-
paru dalam bentuk ion bikarbonat (HCO3-). Hb yang terdapat dalam sel juga merupakan
penyangga asam-basa (seperti juga pada kebanyakan protein), sehingga eritrosit
bertanggung jawab untuk sebagian besar daya pendaparan seluruh darah.

3. Besar, ukuran, dan bentuk eritrosit


Eritrosit normal berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter + 7,8 um dan dengan
ketebalan 1 um di tengah hingga 2,5 um di pinggir. Volume rata-rata eritrosit adalah 90-
95 um3. Sesungguhnya, eritrosit merupakan satu “kantong” yang dapat diubah menjadi
berbagai bentuk ketika sel berjalan melewati kapiler. Karena mempunyai membran yang
sangat kuat, maka perubahan bentuk tadi tidak akan memecahkan sel, seperti yang akan
terjadi pada sel lainnya.

4. Jumlah Hb dalam sel


Eritrosit mampu mengkonsentrasikan Hb intraseluler sampai sekitar 34 g/dl sel.
Konsentrasi ini tak pernah meningkat lebih dari nilai tersebut, karena ini merupakan
batas metabolik dari mekanisme pembentukan Hb sel. Pada orang normal, persentase Hb
hampir selalu mendekati maksimum dalam setiap sel. Namun, bila pembentukan Hb
dalam sumsum tulang berkurang, persentase Hb dalam sel dapat turun sampai di bawah
nilai ini, dan akibatnya volume eritrosit juga menurun karena Hb untuk mengisi sel
berkurang.

5. Konsentrasi Hb dan pengangkutan oksigen


Bila hematokrit (persentase sel dalam darah – normalnya 40-45%) dan jumlah Hb dalam
masing-masing sel nilainya normal, maka seluruh darah seorang pria rata-rata
mengandung Hb 16 g/dl, dan wanita 14 g/dl. Setiap gram Hb murni mampu berikatan
dengan kira-kira 1,39 ml oksigen, sehingga lebih dari 19 - 21 ml oksigen dapat dibawa
dalam bentuk gabungan dengan Hb pada setiap dl darah.

6. Organ yang memproduksi eritrosit.


Dalam minggu-minggu pertama kehidupan embrio,  eritrosit primitif yang berinti
diproduksi oleh yolk sac. Sampai trimester kedua, hati merupakan organ produksi
eritrosit yang utama. Lalu selama bulan terakhir kehamilan dan sesudah lahir, eritrosit
hanya diproduksi oleh sumsum tulang. Sumsum tulang dari semua tulang mempro-duksi

Modul Anemia 2
eritrosit selama 5 tahun, namun sumsum tulang panjang, kecuali proksimal humerus dan
tibia, menjadi sangat berlemak dan tidak memproduksi eritrosit setelah usia 20 tahun.
Setelah usia ini, eritrosit diproduksi dalam sumsum tulang membranosa, seperti vertebra,
sternum, iga, dan ilium, yang produktivitasnya menurun pula seiring pertambahan usia.

2.2 PEMBENTUKAN DAN PENGATURAN PRODUKSI ERITROSIT


1. Sel stem hemopoietik pluripoten menginduksi pertumbuhan & diferensiasi sel-sel
darah.
 Pada sumsum tulang terdapat sel stem hemopoietik pluripoten, yang merupakan asal
dari seluruh sel-sel dalam darah sirkulasi, termasuk eritrosit. Karena sel-sel darah
diproduksi terus sepanjang hidup seseorang, maka sebagian sel-sel ini masih tepat
seperti sel-sel pluripoten asalnya dan disimpan dalam sumsum tulang, walaupun
jumlahnya berkurang seiring bertambahnya usia.
 Sebagian besar dari sel-sel stem yang direproduksi akan berdiferensiasi untuk
membentuk sel-stem-commited, sel paling mula yang masih belum dapat dibedakan
dari sel stem pluripoten, walaupun telah membentuk jalur sel khusus. Bila
ditumbuhkan dalam biakan, sel stem ini akan menghasilkan koloni tipe sel darah yang
spesifik yang bila menghasilkan eritrosit disebut unit pembentuk koloni eritrosit, dan
singkatan CFU-E.
 Pertumbuhan dan reproduksi berbagai sel stem diatur oleh bermacam-macam protein
yang disebut penginduksi pertumbuhan, misalnya interleukin 3, yang memicu
pertumbuhan tetapi tidak membedakan sel-sel. Membedakan sel-sel adalah fungsi dari
rangkaian protein lain, yang disebut penginduksi diferensiasi, menuju tipe akhir sel-
sel darah dewasa.
 Pembentukan protein-protein tersebut dikendalikan oleh faktor-faktor di luar sumsum
tulang. Pada eritrosit, kontak dengan oksigen yang rendah dalam waktu lama akan
mengakibatkan induksi pertumbuhan, diferensiasi, dan produksi eritrosit dalam
jumlah yang sangat meningkat.

2. Oksigenasi jaringan sebagai pengatur dasar dari produksi eritrosit.


Jumlah total eritrosit diatur secara teratur, sehingga jumlahnya cukup memadai untuk
selalu dapat menyediakan oksigen bagi jaringan, namun tidak terlalu padat sehingga
dapat menghalangi aliran darah. Setiap keadaan yang menyebabkan penurunan suplai
oksigen ke jaringan akan meningkatkan kecepatan produksi eritrosit.
 Bila seseorang menjadi begitu anemik akibat perdarahan atau kondisi lain, maka
sumsum tulang segera memproduksi eritrosit dalam jumlah yang banyak sekali.
 Bila terjadi kerusakan pada sebagian besar sumsum tulang, misalnya pada terapi
dengan sinar-x, akan terjadi hiperplasia sumsum tulang yang tersisa, dalam usaha
untuk menyediakan kebutuhan eritrosit dalam tubuh.
 Pada ketinggian yang sangat tinggi, di mana kadar oksigen dalam udara sangat
rendah, maka jumlah oksigen yang diangkut ke jaringan tidak cukup, dan produksi
eritrosit pun meningkat. Jadi, bukan konsentrasi eritrosit dalam darah yang mengatur
kecepatan produksi sel, melainkan kemampuan fungsional sel untuk mengangkut
oksigen ke jaringan sehubungan dengan kebutuhannya akan oksigen.
 Bermacam-macam penyakit pada sistem sirkulasi, terutama yang menyebabkan
kegagalan absorbsi oksigen oleh darah di paru-paru, dapat juga meningkatkan
kecepatan produksi eritrosit, misalnya pada gagal jantung yang lama, serta berbagai
penyakit paru. Hipoksia jaringan akibat keadaan ini akan meningkatkan kecepatan
produksi eritrosit, dengan hasil akhir kenaikan hematrokit dan dan biasanya pun
peningkatan volume darah total.

Modul Anemia 3
3. Pembentukan eritropoietin sebagai respon terhadap hipoksia.
 Faktor utama yang dapat merangsang produksi eritrosit adalah hormon dalam
sirkulasi yang disebut eritropoietin, suatu glikoprotein dengan BM 34.000. Bila
eritropoietin ini tidak ada, maka keadaan hipoksia tidak akan berpengaruh atau
pengaruhnya sedikit sekali dalam perangsangan produksi eritrosit. Sebaliknya, bila
sistem eritropoietin ini berfungsi, maka hipoksia akan dengan nyata meningkatkan
produksi eritropoietin, dan eritropoietin selanjutnya akan meningkatkan produksi
eritrosit sampai keadaan hipoksia tertanggulangi.
 Pada orang normal, kira-kira 90% dari seluruh eritropoietin dibentuk dalam ginjal,
sisanya terutama dibentuk dalam hati. Pada seseorang yang kedua ginjalnya diangkat
atau rusak, penderita akan menjadi sangat anemik, sebab 10 persen eritropoietin
normal dari jaringan hati hanya cukup menyediakan 1/3 sampai 1/2 dari produksi
eritrosit yang dibutuhkan.
 Keadaan hipoksia pada bagian tubuh lain, selain ginjal, juga akan merangsang sekresi
eritropoietin, menunjukkan bahwa terdapat sinyal tambahan (khususnya epinefrin dan
norepinefrin) ke ginjal untuk memproduksi eritropoeitin.

4. Peran eritropoietin dalam meningkatkan produksi eritrosit.


 Bila seseorang berada dalam atmosfer dengan kadar oksigen yang rendah, maka
dalam beberapa menit sampai beberapa jam akan mulai dibentuk eritropoietin, yang
mencapai maksimum dalam 24 jam. Namun sampai 5 hari kemudian, hampir tidak
tampak lagi eritrosit baru dalam sirkulasi darah. Hal ini terjadi karena pengaruh utama
eritropoietin adalah merangsang produksi proeritroblas dalam sumsum tulang dan
mempercepat maturasinya. Produksi yang cepat ini akan terus berlangsung sampai
jumlah eritrosit yang terbentuk cukup untuk mengangkut oksigen (dalam jumlah yang
memadai) ke jaringan walaupun kadar oksigen rendah.
 Bila tidak ada eriropoietin, maka sumsum tulang hanya membentuk sedikit eritrosit.
Pada keadaan ekstrem lain, bila eritropoietin yang terbentuk sangat banyak, dan
tersedia banyak sekali Fe dan nutrisi lain yang diperlukan, kecepatan produksi
eritrosit dapat meningkat sampai 10 lipat atau lebih. Karena itu, mekanisme
pengaturan eritropoietin untuk eritrosit merupakan suatu mekanisme yang kuat.

2.3 METABOLIME BESI


Karena Fe penting bagi pembentukan Hb perlu dimengerti cara Fe digunakan dalam tubuh.
1. Fe dalam tubuh
Jumlah total Fe dalam tubuh (sekitar 4-5 gram), 65% dijumpai dalam bentuk Hb, 15-30
% disimpan dalam sistem retikukuloendotelial dan parenkim hati (khususnya dalam
bentuk feritin), sekitar 4 % dalam bentuk mioglobin, 1 % dalam bentuk macam-macam
senyawa heme, dan 0,1 % bergabung dengan protein transferin dalam plasma darah.

2. Absorpsi Fe
Fe diabsorbsi dari semua bagian usus halus, diawali dengan sekresi apotransferin oleh
hati melalui cairan empedu ke duodenum. Dalam usus halus, apotransferin berikatan
dengan senyawa Fe maupun Fe bebas dari hemo atau mioglobin. Kombinasi yang
disebut transferin ini kemudian diabsorbsi ke dalam sel epitel kemudian dilepaskan
dalam bentuk transferin plasma.

Modul Anemia 4
3. Fe dalam plasma dan penyimpanan Fe
Ikatan dengan transferin bersifat longgar sehingga Fe dapat dilepaskan ke setiap jaringan.
Kelebihan Fe dalam darah disimpan dalam seluruh sel tubuh, tapi terutama di hepatosit
hati dan sedikit di sel retikuloendotelial sumsum tulang. Dalam sitoplasma, Fe terutama
bergabung dengan protein apoferitin untuk membentuk feritin. Fe yang disimpan sebagai
feritin ini disebut Fe cadangan. Bila jumlah total Fe dalam tubuh melebihi jumlah yang
dapat ditampung oleh apoferitin, sedikit Fe akan disimpan dalam bentuk yang tidak larut,
yang disebut hemosiderin.  Walaupun terdapat mekanisme pengaturan umpan balik
untuk mengatur absorbsi Fe, bila seseorang makan banyak sekali senyawa Fe, maka Fe
yang berlebihan masuk ke dalam darah dan dapat menyebabkan penyimpanan
hemosiderin yang banyak sekali dalam sel-sel retikuloendotelial di seluruh tubuh. Suatu
saat, hal ini dapat sangat merugikan.

2.4 PEMATANGAN ERITROSIT – KEBUTUHAN VITAMIN B12 & ASAM FOSFAT


Karena harus terus menerus memenuhi kebutuhan akan eritrosit, maka sel-sel sumsum
tulang merupakan sel yang tumbuh dan bereproduksi paling cepat di seluruh tubuh. Adapun
pematangan dan kecepatan produksinya dipengaruhi oleh keadaan nutrisi seseorang.
Dua vitamin yang penting untuk pematangan akhir dan sintesis DNA eritrosit adalah
vitamin B12 dan asam fosfat. Defisiensi vitamin B12 atau asam folat dapat menyebabkan
kegagalan pematangan dan pembelahan inti, sehingga menghasilkan eritrosit yang lebih
besar, disebut makrosit, dengan membran yang sangat tipis dan bentuk yang tidak teratur. Sel
ini secara normal mampu mengangkut oksigen, tetapi kerapuhannya menyebabkannya
memiliki masa hidup yang pendek, yakni 1/2 sampai 1/3 normal.

1. Kegagalan pematangan sel akibat buruknya absorpsi vitamin B12 – anemia


pernisiosa
Sel-sel parietal gaster mensekresi faktor intrinsik, yang bergabung dengan vitamin B12
dari makanan agar vitamin ini dapat diabsorpsi oleh usus. Begitu diabsorbsi, vitamin B 12
akan disimpan dalam jumlah besar di hati dan dilepaskan secara lambat bila dibutuhkan
oleh sumsum tulang dan jaringan tubuh lain. Bila faktor intrinsik tidak ada, maka banyak
vitamin B12 yang terdapat di usus tidak dapat diabsorbsi. Hal ini terjadi pada anemia
pernisiosa, di mana mukosa lambung mengalami atrofi. Namun hal ini juga tidak akan
terjadi dengan segera. Jumlah minimal vitamin B12 yang dibutuhkan per hari untuk
menjaga agar pematangan eritrosit tetap normal hanya sebesar 1-3 mikrogram,
sedangkan yang disimpan dalam hati dan jaringan tubuh lain kira-kira 1000 kali jumlah
ini. Jadi, untuk terjadinya anemia dibutuhkan 3-4 tahun.

2. Kegagalan pematangan akibat defisiensi asam folat


Asam folat adalah bahan yang ditemukan pada sayuran hijau, buah-buahan tertentu, hati,
dan makanan lain. Namun, bahan ini dengan mudah dihancurkan selama makanan
dimasak. Pada orang-orang yang sering mengalami sprue (sariawan usus), sering terjadi
kesulitan yang serius dalam mengabsorbsi asam folat maupun vitamin B 12. Karena itu,
kebanyakan peristiwa kegagalan maturasi disebabkan defisiensi absorbsi asam folat dan
vitamin B12.

Modul Anemia 5
BAB III.
PATOFISIOLOGI ANEMIA

3.1 PATOFISIOLOGI BERBAGAI JENIS ANEMIA


Anemia berarti kurangnya eritrosit, yang dapat disebabkan oleh hilangnya darah yang
terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi eritrosit. Beberapa tipe anemia dan
penyebab fisiologisnya adalah sebagai berikut :
1. Anemia akibat kehilangan darah (defisiensi Fe).
Setelah mengalami perdarahan yang cepat, maka tubuh akan mengganti cairan plasma
dalam 1-3 hari, namun hal ini akan menyebabkan konsentrasi eritrosit menjadi rendah.
Bila perdarahan tidak berlanjut, konsentrasi eritrosit biasanya kembali normal dalam 3-6
minggu. Pada kehilangan darah yang kronis, penderita seringkali tak dapat mengabsorbsi
cukup Fe dari usus halus untuk membentuk Hb secepat darah yang hilang. Akibatnya
terbentuk eritrosit dengan sedikit sekali Hb, sehingga menimbulkan keadaan anemia
hipokromik mikrositik.

2. Anemia aplastik.
Aplasia sumsum tulang berarti tidak berfungsinya sumsum tulang. Pada seseorang yang
terpapar radiasi sinar gamma akibat ledakan bom atom terjadi kerusakan sumsum tulang
yang menyeluruh, yang diikuti dalam beberapa minggu diikuti dengan anemia yang
mematikan. Demikian juga, terapi sinar-x berlebihan, bahan kimia pada industri tertentu,
dan pada penderita sensitif bahkan obat-obatan dapat mengakibatkan efek yang sama.

3. Anemia megaloblastik.
Bila salah satu faktor yang penting dalam pembentukan eritrosit hilang (seperti vitamin
B12, asam folat, dan faktor-faktor intrinsik dari mukosa lambung), maka produksi
eritroblas dalam sumsum tulang menjadi terganggu. Eritroblas tidak dapat berpoliferasi
secara cepat untuk membentuk eritrosit dalam jumlah normal, sehingga tumbuh terlalu
besar dengan bentuknya yang aneh, yang disebut megaloblas. Membrannya pun rapuh
sehingga mudah pecah. Jadi, pada atropi mukosa lambung (seperti pada anemia
pernisiosa) atau setelah gastrektomi total, dapat terjadi anemia megaloblastik. Juga pada
penderita sariawan usus (intestinal sprue), di mana asam folat dan vitamin B 12 sedikit
sekali diabsorbsi, sering terjadi anemia megaloblastik.

4. Anemia hemolitik.
Pada bermacam bentuk eritrosit yang abnormal (kebanyakan herediter), sel-sel bersifat
rapuh, sehingga mudah robek sewaktu melewati kapiler, terutama limpa. Walaupun
jumlahnya normal, atau bahkan berlebihan, masa hidup eritrosit ini sangat singkat
sehingga sering mengakibatkan anemia yang berat. Beberapa tipe anemia ini adalah:
 Pada sferositosis herediter, eritrosit berukuran sangat kecil dan berbentuk sferis. Sel-
sel ini tak dapat dikompresi sebab tidak memiliki struktur membran seperti kantong
yang lentur. Saat melewati pulpa lienalis, sel-sel mudah robek walaupun hanya
dengan sedikit tekanan.
 Pada anemia sel bulan sabit, eritrosit mengandung tipe Hb S yang abnormal. Bila Hb
ini terpapar dengan oksigen kadar rendah, ia akan mengendap menjadi kristal-kristal
panjang dalam eritrosit yang memperpanjang sel dan lebih memberi gambaran sel
seperti bulan sabit. Endapan Hb juga merusak membran sel, sehingga sel menjadi
sangat rapuh.
 Hemolisis juga dapat disebabkan oleh reaksi transfusi, malaria, dan obat-obatan
tertentu.

Modul Anemia 6
3.2 PENGARUH ANEMIA TERHADAP SISTEM SIRKULASI
1. Beban kerja jantung.
Viskositas darah, hampir seluruhnya bergantung pada konsentrasi eritrosit. Pada anemia
berat, viskositas darah dapat turun hingga serendah 1,5 kali air (normal + 3 kali air). Hal
ini akan mengurangi hambatan terhadap aliran darah di perifer, sehingga jumlah darah
yang kembali ke jantung menjadi jauh melebihi normal. Selain itu, hipoksia yang terjadi
akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah perifer, yang makin meningkatkan curah
jantung. Jadi, salah satu efek utama dari anemia adalah meningkatkan beban kerja
jantung.

2. Kompensasi tubuh
Sebenarnya, peningkatan curah jantung pada anemia sebagian dipakai untuk
mengimbangi efek-efek anemia. Walaupun tiap unit jumlah darah hanya mengangkut
sedikit sekali oksigen, karena kecepatan aliran darah cukup meningkat, jumlah oksigen
yang dialirkan ke jaringan hampir mendekati normal. Namun, bila penderita anemia
mulai beraktivitas, jantung tidak mampu memompa darah lebih banyak. Akibatnya dapat
timbul hipoksia jaringan yang serius dan seringkali terjadi gagal jantung akut.

3. Efek lain anemia terhadap tubuh.


Secara lengkap, patofisiologi dan manifestasi anemia adalah :
 Menurunnya konsumsi oksigen
 Menurunnya afinitas oksigen
 Meningkatnya perfusi jaringan
 Meningkatnya curah jantung
 Meningkatnya fungsi paru
 Meningkatnya produksi sel darah merah
 Hipoksia jaringan yang tidak terkoreksi

Modul Anemia 7
BAB IV.
KLASIFIKASI ANEMIA

1. Anemia relatif dan absolut.


Berdasarkan penentuan jumlah eritrosit, anemia harus diklasifikasikan terlebih dahulu
menjadi anemia yang relatif atau absolut. Anemia yang relatif ditandai dengan jumlah sel
darah yang normal. Kondisi ini biasanya tidak dianggap sebagai suatu kelainan
hematologis, namun lebih sebagai gangguan pada pengaturan dari volume plasma.
Walaupun demikian, anemia dilusi ini penting secara klinis maupun dalam diagnosis
banding dari keadaan anemia lainnya.

2. Pembagian utama anemia yang absolut.


Pembagian anemia yang absolut awalnya harus membagi anemia menjadi anemia akibat
penurunan produksi eritrosit, atau peningkatan penghancuran eritrosit. Pembagian ini
secara luas didasarkan pada indeks retikulosit. Untuk petunjuk diagnosis selanjutnya,
dapat digunakan kriteria morfologis ataupun patofisiologis.

3. Klasifikasi morfologis.
Klasifikasi morfologis membagi anemia lebih lanjut menjadi anemia makrositik, anemia
normositik, dan anemia mikrositik. Selain sederhana dan mudah digunakan, pembagian
ini juga memaksa para klinisi untuk selalu mempertimbangkan jenis anemia terpenting
yang dapat diterapi : anemia defisiensi besi, vitamin B 12, dan asam folat. Walaupun
demikian, klasifikasi patofisiologis (tabel 1) paling baik diterapkan untuk
menghubungkan proses yang terjadi dengan terapi yang akan diberikan.

Tabel 1. Klasifikasi Anemia


A. Relatif
 Makroglobulinemia
 Kehamilan
 Olahragawan
 Astronot pasca terbang
B. Absolut
Kegagalan sel-sel induk (stem-cell failure) Peningkatan penghancuran/ kehilangan
 Anemia aplastik eritrosit
 Anemia pada leukemia dan sindroma  Herediter / keturunan
myelodisplastik  Defek membran
 Kegagalan sel-sel progenitor  Defek globin
(progenitor-cell failure)  Defek enzim
 Pure-red cell aplasia  Diperoleh
 Gagal ginjal  Makroangiopati (traumatik)
 Penyakit kronis  Mikroangiopati
 Kelainan endokrin  Antibody-mediated
Kegagalan sel-sel prekursor (precursor-  Hipersplenisme
cell failure)  Kehilangan darah akut
 Anemia megaloblastik (Diterjemahkan dari Erslev, 2001)
 Anemia defisiensi besi
 Talasemia
 Hemoglobinopati
 Defisiensi enzim kongenital

Modul Anemia 8
BAB V.
PENDEKATAN DIAGNOSIS ANEMIA

1. Anemia dan hipoksia jaringan.


Anemia ditandai dengan menurunnya jumlah sel-sel darah merah. Karena dihubungkan
dengan penurunan kemampuan pengangkutan oksigen dalam darah, anemia
menyebabkan berbagai keluhan akibat hipoksia jaringan. Manifestasi klinis yang timbul
secara primer berhubungan dengan upaya kompensasi tubuh yang dirangsang oleh
keadaan hipoksia.

2. Anemia akut hampir selalu berhubungan dengan kehilangan darah atau hemolisis.
Pada kehilangan darah akut, gambaran klinik didominasi oleh hipovolemia. Hematokrit
serta kadar hemoglobin tidak menggambarkan volume darah yang hilang. Tanda-tanda
instabilitas vaskuler menonjol pada kehilangan darah akut sebanyak 10-15% dari volume
darah total. Pada penderita seperti ini, yang menjadi masalah bukanlah anemia,
melainkan hipotensi dan menurunnya perfusi organ.  
Pada penyakit hemolitik akut, tanda dan gejala tergantung dari mekanisme yang
menyebabkan kerusakan sel darah merah. Hemolisis intravaskular dengan pelepasan
hemoglobin bebas dapat disertai nyeri punggung akut, adanya hemoglobin bebas dalam
plasma dan urin, serta gagal ginjal.

3. Anemia kronis.
Gejala-gejala yang menyertai anemia yang lebih kronis atau progresif tergantung pada
usia penderita dan kecukupan suplai darah ke organ-organ kritis. Gejala-gejala yang
menyertai anemia moderat meliputi kelelahan, menurunnya / hilangnya stamina, sesak
nafas, dan takikardia (khususnya setelah aktivitas fisik). Walaupun begitu, dengan
adanya mekanisme kompensasi, anemia terutama pada usia muda dapat tidak disertai
tanda atau gejala sampai menjadi berat (hemoglobin < 7-8 g/dL).

4. Anemia pada keadaan tertentu.


Berbagai penyakit tertentu umumnya disertai dengan anemia. Keadaan inflamasi kronis
(misalnya infeksi, artritis rematoid) disertai dengan anemia ringan sampai sedang,
sedangkan gangguan limfoproliferatif, seperti leukemia limfositik kronis dan neoplasma
sel B yang lain, dapat disertai dengan hemolisis autoimun.

5.1 ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK


Evaluasi pada penderita anemia membutuhkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
seksama.
1. Riwayat penyakit dahulu.
Riwayat penyakit yang sekiranya berguna antara lain meliputi paparan terhadap agen
toksik atau obat-obatan tertentu dan adanya gejala-gejala yang berhubungan dengan
gangguan lain yang biasanya disertai dengan anemia. Hal ini termasuk gejala dan tanda
seperti perdarahan, kelelahan, malaise, demam, kehilangan berat badan, keringat malam,
dan gejala-gejala sistemik lainnya

2. Riwayat nutrisi
Sebaiknya selalu dilakukan penilaian riwayat nutrisi yang terkait dengan penggunaan
obat-obatan atau alkohol dan riwayat anemia dalam keluarga. Latar belakang geografis
dan suku / etnis  tertentu berhubungan dengan peningkatan kemungkinan adanya
kelainan herediter molekul hemoglobin.

Modul Anemia 9
3. Penemuan fisik
Pada penderita anemia, hasil pemeriksaan fisik dapat menunjukkan denyut jantung dan
denyut nadi perifer yang kuat, dan systolic “flow” murmur. Kulit dan membran mukosa
dapat menjadi pucat jika kadar hemoglobin < 8-10 g/dL. Dalam hal ini, pemeriksaan
fisik ini harus difokuskan pada daerah di mana pembuluh darah dekat dengan
permukaan, seperti membran mukosa, jaringan di bawah kuku (nail beds), dan telapak
tangan (palmar creases). Jika warna telapak tangan tampak lebih terang daripada kulit di
sekelilingnya (ketika tangan hiperekstensi), kadar hemoglobin biasanya < 8 g/dL).

4. Patofisiologi anemia
Petunjuk terhadap mekanisme anemia diperoleh dari pemeriksaan fisik, dengan
ditemukannya tanda-tanda infeksi, darah dalam feses, limfadenopati, splenomegali, atau
ptekiae. Splenomegali dan limfadenopati memberi kesan limfoproliferatif sebagai
penyakit yang mendasari, sedangkan ptekiae memberi kesan adanya disfungsi platelet.
Bila tidak ada kepastian apakah anemia ringan sekedar merupakan variasi normal yang
ekstrim, hasil pemeriksaan laboratorium yang lalu mungkin dapat membantu.

5.2 EVALUASI HASIL LABORATORIUM


1. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap yang rutin dibutuhkan sebagai bagian dari evaluasi.
Namun perlu diingat bahwa sejumlah faktor-faktor fisiologis mempengaruhi nilai normal
pemeriksaan darah lengkap, yaitu umur, jenis kelamin, kehamilan, riwayat merokok, dan
ketinggian tempat dari permukaan laut. Kadar hemoglobin normal tinggi dapat terjadi
pada pria dan wanita yang tinggal di ketinggian atau perokok berat.
Perubahan-perubahan nyata pada indeks sel darah merah biasanya
menggambarkan gangguan pematangan atau defisiensi besi. Hasil laboratorium juga
menyediakan pemeriksaan gambaran sel darah merah maupun putih, hitung jenis sel
darah putih, dan hitung platelet. Pada penderita anemia berat dengan morfologi eritrosit
yang abnormal, aspirasi sumsum tulang atau biopsi penting untuk membantu penegakan
diagnosis.
Komponen pemeriksaan darah lengkap juga membantu
pengelompokan/klasifikasi anemia. Mikrositosis digambarkan dengan MCV yang lebih
rendah dari normal (<80), sedangkan nilai yang tinggi (>100) menggambarkan
makrositosis. Namun MCV, karena mewakili puncak dari kurva distribusi, tidak sensitif
terhadap kemunculan populasi kecil dari makrosit atau mikrosit. MCH dan MCHC
menggambarkan defek pada sintesis Hb (hipokromia).

Tabel 2. Pemeriksaan Laboratorium untuk Diagnosis Anemia


I. Pemeriksaan darah lengkap
 Hitung sel darah merah
 Hemoglobin
 Hematokrit
 Indeks sel darah merah
 Mean cell volume (MCV)
 Mean cell hemoglobin (MCH)
 Mean concentration of hemoglobin per volume of red cells (MCHC)
 Red cell distribution width (RDW)
 Hitung sel darah putih
 Diferensiasi sel (cell differential)
 Segmentasi nukleus netrofil

Modul Anemia 10
 Hitung platelet
 Morfologi sel
 Ukuran sel
 Isi hemoglobin
 Anisositosis
 Poikilositosis
 Polikromasia
II. Hitung retikulosit
III. Pemeriksaan suplai besi
 Kadar besi dalam serum
 Total iron-binding capacity
 Feritin dalam serum, marrow iron stain
IV. Pemeriksaan sumsum tulang
 Aspirasi
 Rasio E/G (rasio eritroid terhadap prekursor granulotik)
 Morfologi sel
 Pewarnaan besi (iron stain)
 Biopsi
 Selular
 Morfologi
Diterjemahkan dari Adamson & Longo, 2001)

2. Sediaan apus darah tepi (SADT)


SADT dapat memberikan informasi penting mengenai adanya defek dalam produksi sel
darah merah. Sebagai pelengkap dari indeks sel darah merah, SADT juga dapat
menampakkan variasi ukuran sel (anisositosis) dan variasi bentuk sel (poikilositosis).
SADT dapat juga mengungkapkan adanya polikromasia (sel darah merah yang sedikit
lebih besar dari normal dan berwarna biru keabuan pada perwarnaan dengan Wright-
Giemsa). Kemunculan sel darah merah berinti, badan Howell-Jolly, sel target, sel bulan
sabit, dan lainnya merupakan petunjuk akan adanya gangguan spesifik.

3. Hitung retikulosit.
Hitung retikulosit yang akurat adalah kunci menuju klasifikasi awal dari anemia. Dalam
keadaan normal, retikulosit adalah sel darah merah yang baru saja dilepaskan dari
sumsum tulang. Secara normal, hitung retikulosit berkisar antara 1 – 2 % dan
menggambarkan pergantian harian (daily replacement) 0,8 sampai 1,0% dari populasi sel
darah merah dalam sirkulasi. Interpretasi hitung retikulosit yang tepat merupakan
pengukuran produksi sel darah merah yang terpercaya/dapat diandalkan. Namun perlu
diingat, bahwa penggunaan hitung retikulosit untuk memperkirakan respon sumsum
tulang membutuhkan dua jenis koreksi.

Modul Anemia 11
Modul Anemia 12
SKENARIO
Anemia
Seorang wanita, umur 30 tahun, ke poliklinik dengan keluhan, cepat lelah dan lemah. Disaat
bersepeda pernah mau pingsan. Sering demam, dan mimisan. Menurut keluarganya dia
terlihat lebih pucat dari biasanya.

TUGAS
1. Setelah membaca dengan teliti scenario di atas mahasiswa harus mendiskusikan kasus
tersebut pada satu kelompok diskusi terdiri dari 12-15 orang, dipimpin oleh seorang
ketua dan seorang penulis yang dipilih oleh mahasiswa sendiri. Ketua dan sekretaris ini
sebaiknya bergantian pada setiap kali diskusi. Diskusi kelompok ini bisa dipimpin oleh
seorang tutor atau secara mandiri.
2. Melakukan aktivitas pembelajaran individual di perpustakaan dengan menggunakan
buku ajar, majalah. Slide, tape, vidio,internet, untuk mencari informasi tambahan.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa tutor), melakukan curah pendapat bebas
antar anggota kelompok untuk menganalisa dan atau mensintese informasi dalam
menyelesaikan masalah.
4. Berkonsultasi dengan nara sumber yang ahli pada permasalahan dimaksud untuk
memperoleh pengertian yang lebih mendalam.
5. Mengiuti kuliah khusus(kuliah pakar) dalam kelas untuk masalah yang belum jelas atau
tidak ditemuka jawabannya.
6. Melakukan praktikum di laboratorium patologi klinik, radiology, biokimia, farmakologi.

PROSES PEMECAHAN MASALAH


Dalam diskusi kelompok dengan menggunakan metode cerah pendapat mahasiswa
diharapkan memecahkan problem yang terdapat dalam scenario ini, yaitu dengan mengikuti 7
langkah penyelesaian masalah di bawah ini:
1. Klarifikasi istilah yang tidak jalas dalam scenario di atas, dan tentukan kata/kalimat
kunci scenario di atas
2. Identifikasi problema dasar scenario di atas dengan membuat beberapa pertanyaan
penting
3. Analisa problem-problem tersebut dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas
4. Klasifikasikan jawaban atas pertanyaan –pertanyaan tersebut di atas
5. Tentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai oleh mahasiswa atas kasus di atas
Langkah 1s/d 5 dilakukan dalam diskusi pertama bersama tutor
6. Cari informasi tambahan tentang kasus di atas di luar kelompok tatap muka.
Langkah 6 dilakukan dengan belajar mandiri
7. Laporan hasil diskusi dan sntesis informasi-informasi yang baru ditemukan.
Langkah 7 dilakukan dalam diskusi dengan tutor

PENJELASAN:
Bila dari hasil evaluasi laporan kelompok ternyata masih ada informasi yang diperlukan
untuk sampai pada kesimpulan akhir, maka proses 6 bisa diulang, dan selanjudnya dilakukan
lagi langkah 7. Kedua langkah di atas bisa diulang-ulang di luar tutorial, dan setelah
informasi darasa cukup maka pelaporan dilakukan dalam diskusi akhir, yang biasanya
dilakukan dalam bentuk diskusi panel dimana semua pakar duduk bersama untuk
memberikan penjelasan atas hal-hal yang masih belum jelas.

Modul Anemia 13
PETUNJUK
KATA/ KALIMAT KUNCI
1. Wanita umur 30 tahun
2. Cepat lelah
3. lemah
4. Pucat
5. Demam
6. Mimisan

BEBERAPA PERTANYAAN PRINSIP DAN JAWABAN ALTERNATIFNYA


1. Apa yang dimaksud dengan anemia?
Anemia adalah berkurangnya kadar Hb/ jumlah eritrosit dalam darah tepi dari nilai
normal. Anemia, bila Hb perempuan < 12 gr/dl atau hematokrit < 36 %. Untuk laki-laki
bila Hb < 14 gr/dl atau hematokrit < 42%

2. Apa yang dimaksud dengan hematopoeisis?


Proliferasi sel progenitor dan stem cell mengalami diferensiasi masuk ke aliran darah
perifer

3. Bagaimana gambaran sel darah merah?


Biokimia mengenai membran sel darah merah:
 Membran berlapis ganda yang terdiri dari kurang lebih 50% lipit dan 50% protein
 Kelas-kelas utama lipit adalah fosfolipid dan kolesterol, foefolipit utama adalah
fosfotidilkolin (PC), fosfatidiletanolamin, (PE), dan fosfatidilserin (PS) bersama
dengan spingomielin (Sph)
 Fosfolipit yang mengandung kolin, PC dan Sph mendominasi lembar sebelah luar dan
fosfolipit yang mengandung amino PE dan PS mendominasi lembar sebelah dalam
 Protein integral utama pada membran sel darah merah: Spektrin, ankirin, da protein
membran perifer

4. Bagaimana metabolisme sel darah merah?


Metabolisme sel darah merah sangat tergantung pada glukosa sebagai sumber energi,
membran SDM mengandung afinitas tinggi terhadap transporter glukosa. Glikolisis
menghasilkan laktat adalah tempat pembentukan ATP
 Karena SDM tidak memiiki mitokondria, maka tidak ada produksi ATP oleh
fosforilase oksidatif
 SDM memiliki beragam transporter yang mempertahankan keseimbangan ion dan air
 Besi Hb harus dipertahankan dalam keadaan ferro oleh kerja system methoglobin
reduktase bergantung NADH yang mencakup sitokrom reduktase dan sitokrom
 Glutation pereduksi (GSH) penting dalam metabolisme SDM sebagai bagian dari
kerja meniadakan peroksida beracun yang berpotensi, SDM dapat mensintesis GSH
dan membutuhkan NADPH untuk mengembalikan glutation teroksidasi kembali ke
keadaan tereduksi
 Bila SDM mencapai akhir dari hidupnya, globin akan dipecah menjadi asam amino
(yang akan digunakan kembalioleh tubuh), besi dilepaskan dari heme dan juga akan
digunakan kembali, dan komponen tetrapirol heme diubah menjadi bilirubin yang
terutama diekskresi ke dalam usus melalui empedu

Modul Anemia 14
5. Bagaimana struktur dan fungsi hemoglobin
Protein heme memiliki fungsi dalam pengikatan oksigen, pengangkutan oksigen dan
fotosintesis. Hemoglobin pada manusia melakukan dua fungsi pengangkutan yang
penting, pertama mengangkut O2 dari organ respirasi ke jaringan perifer, kedua
mengangkut CO2 dan berbagai proton dari jaringan ke organ respirasi untuk selanjutnya
diekskresi ke luar.

6. Zat-zat gizi esensial yang mana saja yang berkaitan dengan terjadinya anemia?
Zat besi; Copper (Cu), Cobalt, As. Folat, Vit. B12, Source

7. Bagaimana gambaran radiology penderita anemia?


 Anemia defisiensi besi: Pada foto toraks berupa pembesaran jantung terutama
ventrikel kanan dan sedikit pembesaran pada ventrikel kiri
 Anemia sickle cell: kardiomegali, adanya gambaran osteoporosis, pelebaran ruang
sumsum tulang dan penipisan korteks. Pada tulang panjang tampak lesi osteolitik di
daerah metafisis dan diafisis
 Anemia megaloblastik: Tampak gastritis atropikans pada foto lambung, gambaran
segmentasi dan flokkulasi dari kontras barium di dalam usus halus

8. Apa yang dimaksud dengan anemia megaloblastik?


Anemia megaloblastik adalah anemia terjadi karena gangguan pematangan eritroid
disertai gangguan morfologi darah. Gangguan ini ditandai dengan adanya kelainan
sintesis asam deoksiribonukleat (DNA). Morfologi sel darah merah makrositik
disebabkan pertumbuhan inti dan sitoplasma yang tidak seimbang. Kebanyakan anemia
megaloblastik disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan atau asam folat.

Klasifikasi anemia megaloblastik


I. Defisiensi vit.B12
a. Pemasukan inadekuat: vegetarian
b. Malabsorbsi:
1. Pembentukan factor intrinsic yang tidak inadekuat
2. Gangguan ileum terminal
3. Persaingan dengan vit.B12
4. Obat-obatan: asam aminosalisilat,kolkisin neomisin
c. Defisiensi transkobalamin II
II. Defisiensi asam folat
a. Pemasukan inadekuat
b. Malabsorbsi
c. Kebutuhan meningkat
d. Gangguan metabolisme

III. Penyebab lain


a. Obat yang mengganggu metabolisme DNA
b. Anemia megaloblastik dengan etiologi yang tidak diketahui

Gambaran klinis defisiensi vit B12 mengenai darah, saluran cerna, dan system syaraf.
Gejala-gejala terdiri atas rasa lemah, vertigo, tinnitus, palpitasi,gejala payah jantung
kongestif. Pada pemeriksaan fisis didapatkan pucat,sedikit ikterus, nadi
cepat,kardiomegali, spenomegali. Manifestasi saluran cerna adalah pergantian epitel
saluran cerna yang cepat, mengeluh saklit lidah, lidah tampak licin dan memerah seperti

Modul Anemia 15
daging, anoreksia, dan tanda tanda malabsorbsi Manifestasi neurologist dimulai dari
demielinasi, diikuti dengan degenerasi akson dan kematian syaraf. Tempat yang sering
terkena adalah medulla spinalis, perifer, serebrum

Diagnosis anemia megaloblastik


1. Adanya gejala klinas: pucat, lemah, jantung berdebar, lidah halus dsb
2. Pada pemeriksaan laboratorium: Didapatkan sel makrositik yang bermakna MCV
lebih besar dari 110 fl, HDT didapatkan gambaran Mokroovalosit, anisosotosis,
poikilositosis. Pada neutrofil menunjukan inti hipersekmentasi. Kadar vit B12 dalam
serum kurang dari 100 pg/ml (200-900 pg/ml) Kadar asam folat kurang dari 4 ng/ml
(6-20 ng/ml)

9. Apa yang dimaksud dengan anemia defisiensi Fe?


Anemia yang disebabkan oleh kekurangan kadar Fe. Faktor-faktor yang menyebabkan
defisiensi besi: Kekurangan besi dalam diet, Gangguan penyerapan, Kebutuhan
meningkat, kehilangan darah. Manifestasi klinis: Gejala yang timbul sesuai dengan
anemia kronis pada umumnya, pucat, cepat lelah, jantung berdebar, sesak bila bergiat.
Kelainan jaringan epitel berupa, luka atau atropi lidah, sariawan, stomatitis, kuku tipis
seperti sendok, anoreksia. Gangguan menstruasi berupa, menorhagia, menstruasi yang
tidak teratur, amenorrhea.
Gambaran laboratorium:
 Pada HDT, Anemia bersifat hipokrom mikrositik, sel target ada, poikilositosis ada.
 MCV & MCH menurun.
 Hematokrit sangat berkurang,
 Hitung leukosit normal atau sedikit berkurang,
 Trombosit normal.
 Pada sumsum tulang menunjukkan hiperplasi eritroid, besi serum menurun
 TIBC meningkat
 Saturasi transferin < 16%
 Feritin serum<12ng/lt

Pengobatan:
 Dasar pengobatan: Koreksi factor penyebab, Preparat Fe sesuai yang diperlukan,
Pantau respon pengobatan, Obat komplikasi
 Prinsip pengobatan besi: Dosis berdasar kadar elemen besi, Diberikan peroral, Lama
pengobatan, 3-4 bln setelah Hb normal

10. Apa yang dimaksud dengan anemia aplastik ?


Anemia aplastik digunakan pada semua penderita pansitopenia refrakter dan
progesif,pada sumsum tulang terjadi hipoplasi berat sel eritroid, myeloid, dan
trombopoeitik. Penyebab anemia aplastik adalah cedera atau destruksi daripada stem sel
pluripotensial, yang mempengaruhi semua populasi sel selanjudnya. Penyebab anemia
aplastik: Idiopatik, Konstitusional (anemia Fanconi), Agen kimia dan fisika, Hepatitis,
Kehamilan, Paroksismal nocturnal hemoglobinuria, SLE
Manifestasi klinis:
 Akibat anemia, pucat, lemah.
 Akibat trombositopenia, petekie, ekimosis, perdarahan gusi, mimisan, perdarahan
vagina, perdarahan saluran cerna.
 Akibat netropenia, demam dan tanda-tanda infeksi secara umum.
 Tidak ditemuka limfadenopati dan organomegali, (hepatosplenomegali).

Modul Anemia 16
11. Apa yang dimaksud dengan anemia hemolitik?
Anemia hemolitik ditandai dengan penghancuran sel darah merah yang lebih dari
normal, dan umur sel darah merah lebih pendek.
Klasifikasi anemia hemolitik:
I. Pencetusnya
a. Intrakorpuskuler
1. Kelainan membran sel: sferositosis, ovalositosis, Eliptositosis
2. Hemoglobinopati
3. Defisiensi enzim metabolisme: G6PD, pyruvate kinase, glutation reduktase
b. Ekstrakorpuskuler
1. Anemia hemolitik imun:
Isoimun(reaksi transfusi darah)
Autoimun: idiopatik, Sekunder (obat, kimia,leukemia
2. Anemia hemolitik non imun:obat, kimia, infeksi, Toksin, hipersplenisme
II. Kejadiannya:
a. Herediter (intrinsik)
b. Didapat (ektrensik)
III. Lokasi penghancuran:
a. Intravaskuler
b. Ekstravaskuler

Gejala klinis berdasarkan 3 proses, bukti hemolitik:


1. Kerusakan eritrosit: fragmentasi, aktifitas RES meningkat(plenomegali,
hepatomegali)
2. Katabolisme Hb yang meningkat
 Ikterus: kadar bilirubin darah meningkat
 Hiperbilirubinemia: bilirubin I meningkat
 Hemoglobinuria
3. Regenerasi/kompensasi:
 Retikulositosis
 Hiperplasi eritroid
 Eritropoiesis ekstrameduler

Diagnosis : membuktikan hemolisis (Kerusakan eritrosit, katabolisme Hb, kompensasi


tubuh, penentuan etiologi: hemolisis didapat(ekstrensik), atau hemolisis herediter.

Modul Anemia 17
SKENARIO :
Seorang perempuan berusia 25 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan lemah badan dan
pusing sejak 1 bulan yang dirasakan makin lama, makin lemah. Penderita mudah lelah jika
berkerja. Penderita juga mengeluhkan badan yang semakin kurus dan dalam 1 minggu
terakhir muncul sariawan. Buang air besar tidak ada keluhan. Penderita tidak pernah berobat
untuk penyakit apapun sebelumnya.

Tugas:
1. Tentukanlah Diagnosis dan Diagnosis Banding yang paling memungkinkan pada kasus
di atas!
2. Tentukanlah informasi tambahan (anamnesis dan pemeriksaan lainnya) yang dibutuhkan
untuk menentukan diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus di atas!

INFORMASI TAMBAHAN
Pada anamnesis tambahan:
Riwayat pekerjaan: Membantu orang tua bekerja di kebun sayur. Riwayat kebiasaan sosial:
Diet makan seadanya, jarang makan daging. Jarang mencuci tangan setelah bekerja atau
sebelum makan. Tidak pernah pakai alas kaki. Rumah terbuat dari papan dan lantai tanah
(tidak disemen). Riwayat keluarga: bersaudara 3 orang, pasien anak tertua, saudara semua
sehat.

Pada pemeriksaan fisis


 Status Presens: Sakit Sedang/Compos Mentis/ TB: 145 cm BB: 40 kg
 Tanda Vital: TD: 110/70 mmHg, N: 80x/mnt, P: 20x/mnt, S: 36,5oC
 Status Lokalis:
 Mata: kojungtiva palpebra pucat, sklera tidak ikterus
 Mulut: mukosa pucat, papil lidah atropi, stomatitis angularis +, hipertropi ginggiva -
 Jantung, paru, hepar, lien dan KGB dalam batas normal
 Ekstremitas: tampak pucat, kilonikia (+), edema (-)

Hasil Pemeriksaan Laboratorium:


 Hb : 8,3 gr/dL (13,5 – 18,0 gr/dL)
 Hematokrit : 28 % (40-54%)
 Leukosit : 5.500 sel/mm3 (4500-10000 sel/mm3)
 Trombosit : 200.000 sel/mm3 (150.000 – 400.000 sel/mm3)
 Eritrosit : 3.800.000 sel/mm3 (4.500.000 – 6.200.000 sel/mm3)
 Gambaran Darah Tepi : Mikrositik Hipokrom
 Retikulosit : 0.1%

Tugas:
1. Tentukanlah diagnosis pada kasus di atas!
2. Tentukanlah penatalaksanaan farmakologis pada kasus di atas!
3. Tentukanlah penatalaksanaan non farmakologis pada kasus di atas!

Modul Anemia 18
DAFTAR PUSTAKA

1. Adamson, JW; Longo, DL. 2001. Hematologic Alterations : Anemia and Polycythemia.
Dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 15th Edition. Editor: Braunwald, E;
Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. USA: McGraw-Hill
International.
2. Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. 2002.
Anemia and Polycythemia. Dalam Harrison’s Manual of Medicine 15th Edition. India:
McGraw-Hill International.
3. Erslev, Allan. 2001. The Erythrocyte : Clinical Manifestations and Classification of
Erythrocyte Disorders. Dalam Williams Hematology 6th Edition. USA.
4. Guyton, AC; Hall, JE. 1996. Sel-Sel Darah Merah, Anemia, Dan Polistemia. Dalam
Fisiologi Kedokteran edisi ke-9. Alih bahasa : Irawati Setiawan, Ken Ariata Tengadi,
Alex Santoso, cetakan I 1997. Jakarta : Penerbit EGC
5. Mattingly, D; Seward, C. 1989. Anemia. Dalam Bedside Diagnosis edisi Ke-13. Editor
Bahasa Indonesia : Soeliadi Hadiwandowo, cetakan tahun 1996. Semarang : Gadjah
Mada University Press.
6. http://febriirawanto.blogspot.com/2011/12/modul-anemia.html

Modul Anemia 19

Anda mungkin juga menyukai