Anda di halaman 1dari 5

Produksi Sel-Sel Darah Merah

Daerah-Daerah Tubuh yang Memproduksi Sel Darah Merah.

Dalam minggu-minggu pertama kehidupan embrio, sel-sel darah merah primitif yang berinti
diproduksi di yolk sac. Selama pertengahan trimester masa gestasi, hati dianggap sebagai
organ utama untuk memproduksi sel-sel darah merah, namun terdapat juga sel darah merah
dalam jumlah cukup banyak yang diproduksi di limpa dan kelenjar limfe. Lalu kirakira
selama bulan terakhir kehamilan dan sesudah lahir, sel-sel darah merah hanya diproduksi di
sumsum tulang. pada dasarnya sumsum tulang dari semua tulang memproduksi sel darah
merah sampai seseorang berusia 5 tahun, tetapi sumsum tulang panjang, kecuali bagian
proksimal humerus dan tibia, menjadi sangat berlemak dan tidak memproduksi sel-sel darah
merah setelah berusia kurang lebih 20 tahun. Setelah usia ini, kebanyakan sel darah merah
diproduksi dalam sumsum tulang membranosa, seperti vertebra, sternum, rusuk, dan ilium.
Bahkan dalam tulang tulang ini, sumsum tulang menjadi kurang produktif seiring dengan
bertambahnya usia.

Pembentukan Sel Darah Sel Punca Hematopoietik Pluripoten, Penginduksi Pertumbuhan, dan
Penginduksi Diferensiasi.

Sel darah memulai kehidupannya di dalam sumsum tulang dari suatu tipe sel yang disebut
sel punca hematopoietik pluripoten, yang merupakan asal dari semua sel dalam darah
sirkulasi. Sewaktu sel-sel darah ini bereproduksi, ada sebagian kecil dari sel-sel ini yang
bertahan persis seperti sel-sel pluripoten aslinya dan disimpan dalam sumsum tulang guna
mempertahankan suplai sel-sel darah tersebut, walaupun jumlahnya berkurang seiring dengan
pertambahan usia. Sebagian besar sel-sel yang direproduksi akan berdiferensiasi untuk
membentuk sel-sel tipe lain. Sel mirip dengan sel puncak pluripoten ini membentuk suatu
jalur khusus pembelahan sel dan disebut committed stem cells. Berbagai committed stem
cells, bila ditumbuhkan dalam biakan, akan menghasilkan koloni tipe sel darah yang spesifik.
Suatu committed stem cells yang menghasilkan eritrosit disebut unit pembentuk koloni
eritrosit, dan singkatan CFU-E digunakan untuk menandai jenis sel punca ini. Demikian pula,
unit yang membentuk koloni granulosit dan monosit ditandai dengan singkatan CFU-GM,
dan seterusnya. Pertumbuhan dan reproduksi berbagai sel punca diatur oleh bermacam-
macam protein yang disebut penginduksi pertumbuhan. Telah dikemukakan empat
pengiduksi pertumbuhan yang utama dan masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Salah
satunya adalah interleukin-3, yang memulai pertumbuhan dan reproduksi hampir semua jenis
commited stem cells yang berbeda-beda, sedangkan yang lain hanya menginduksi
pertumbuhan pada tipe-tipe yang spesifik. Penginduksi pertumbuhan akan memicu
pertumbuhan dan bukan memicu diferensiasi sel-sel. Diferensiasi sel adalah fungsi dari
rangkaian protein yang lain, yang disebut penginduksi diferensiasi. Maing-masing protein ini
akan menyebabkan satu tipe commited stem cells untuk berdiferensiasi sebanyak satu
langkah atau lebih menuju ke sel darah dewasa bentuk akhir. Pembentukan penginduksi
pertumbuhan dan penginduksi diferensiasi itu sendiri dikendalikan oleh faktor-faktor di luar
sumsum tulang. Contohnya, pada eritrosit (sel darah merah), paparan darah dengan oksigen
yang rendah dalam waktu yang lama akan mengakibatkan induksi pertumbuhan, diferensiasi,
dan produksi eritrosit dalam jumlah yang sangat banyak, seperti yang akan dibicarakan
kemudian dalam bab ini. Pada sel darah putih, penyakit infeksi akan menyebabkan
pertumbuhan, diferensiasi, dan akhirnya pembentukan sel darah putih tipe tertentu yang
diperlukan untuk memberantas setiap infeksi.

Tahap-Tahap Diferensiasi Sel Darah Merah

Sel pertama yang dapat dikenali sebagai bagian dari rangkaian sel darah merah adalah
proeritroblas. Dengan rangsangan yang sesuai, sejumlah besar sel ini dibentuk dari sel-sel
punca CFU-E. Begitu proeritroblas ini terbentuk, maka ia akan membelah beberapa kali,
sampai akhirnya membentuk banyak sel darah merah yang matang. Sel-sel generasi pertama
ini disebut eritroblas basofil sebab dapat dipulas dengan zat warna basa, sel yang terdapat
pada tahap ini mengumpulkan sedikit sekali hemoglobin. Pada generasi berikutnya, sel sudah
dipenuhi oleh hemoglobin sampai konsentrasi sekitar 34 persen, nukleus memadat menjadi
kecil, dan sisa akhirnya diabsorbsi atau didorong keluar dari sel. Pada saat yang sama,
retikulum endoplasma direabsorbsi. Sel pada tahap ini disebut retikulosit karena masih
mengandung sejumlah kecil materi basofilik, yaitu terdiri atas sisa-sisa aparatus Golgi,
mitokondria, dan sedikit organel sitoplasma lainnya. Selama tahap retikulosit ini, sel-sel
berjalan dari sumsum tulang masuk ke dalam kapiler darah dengan cara diapedesis (terperas
melalui pori-pori membran kapiler). Materi basofilik yang tersisa dalam retikulosit
normalnya akan menghilang dalam waktu 1 sampai 2 hari, dan sel kemudian menjadi eritrosit
matang. Oleh karena waktu hidup retikulosit ini pendek, maka konsentrasinya di antara
semua sel darah merah normalnya kurang sedikit dari 1 persen.

Pengaturan Produksi Sel Darah Merah—Peran Eritropoietin

Jumlah total sel darah merah dalam sistem sirkulasi diatur dalam kisaran yang sempit,
sehingga (1) sel-sel darah merah yang adekuat selalu tersedia untuk mengangkut oksigen
yang cukup dari paru ke jaringan, namun (2) sel-sel tersebut tidak menjadi berlimpah ruah
sehingga aliran darah tidak terhambat.

Oksigenasi Jaringan adalah Pengatur Utama Produksi Sel Darah Merah.

Setiap keadaan yang menyebabkan penurunan transportasi sejumlah oksigen ke jaringan


biasanya akan meningkatkan kecepatan produksi sel darah merah. Jadi, bila seseorang
menjadi begitu anemis akibat adanya perdarahan atau kondisi lainnya, maka sumsum tulang
mulai memproduksi sejumlah besar sel darah merah. Selain itu, bila terjadi kerusakan pada
sebagian besar sumsum tulang akibat sebab apapun, terutama oleh terapi dengan sinar-x, akan
mengakibatkan hiperlasia sumsum tulang yang tersisa, dalam usahannya untuk memenuhi
kebutuhan sel darah merah dalam tubuh. Di dataran yang sangat tinggi, dengan jumlah
oksigen udara yang sangat rendah, oksigen dalam jumlah yang tidak cukup itu diangkut ke
jaringan, dan produksi sel darah merah sangat meningkat. Dalam hal ini, bukan konsentrasi
sel darah merah dalam darah yang mengatur produksi sel merah, melainkan jumlah oksigen
yang diangkut ke jaringan dalam hubungannya dengan kebutuhan jaringan akan oksigen.
Berbagai penyakit pada sistem sirkulasi yang menyebabkan penurunan aliran darah jaringan,
dan terutama yang dapat menyebabkan kegagalan penyerapan oksigen oleh darah sewaktu
melewati paru, dapat juga meningkatkan kecepatan produksi sel darah merah. Hal ini tampak
jelas terutama pada keadaan gagal jantung, yang lama, dan pada kebanyakan penyakit paru,
karena hipoksia jaringan yang timbul akibat keadaan ini akan meningkatkan produksi sel
darah merah, dengan hasil akhir berupa kenaikan hematokrit dan biasanya juga akan
meningkatkan volume darah total.

Eritropoietin Merangsang Produksi Sel Darah Merah, dan Pembentukannya Meningkat


sebagai Respons terhadap Hipoksia.

Stimulus utama yang dapat merangsang produksi sel darah merah dalam keadaan oksigen
yang rendah adalah hormon dalam sirkulasi yang disebut eritropoietin, yaitu suatu
glikoprotein dengan berat molekul kira-kira 34.000. Tanpa adanya eritropoietin, keadaan
hipoksia tidak akan berpengaruh atau pengaruhnya sedikit sekali dalam perangsangan
produksi sel darah merah. Akan tetapi, bila sistem eritropoietin ini berfungsi, maka hipoksia
akan menimbulkan peningkatan produksi eritropoietin yang nyata, dan eritropoietin
selanjutnya akan memperkuat produksi sel darah merah sampai hipoksia mereda. Secara
normal, kira-kira 90 persen dari eritropoietin total dibentuk dalam ginjal, sisanya sebagian
besar dibentuk di hati. Belum diketahui secara tepat bagian ginjal yang membentuk
eritropoietin. Beberapa penelitian mengarahkan eritropoietin disekresi terutama oleh sel
interstisial mirip fibroblas disekitar tubulus pada sekret korteks dan medula luar, tempat
konsumsi oksigen ginjal banyak terjadi. Ada kemungkinan bahwa sel-sel lain, termasuk sel
epitel ginjal sendiri, juga menyekresi eriptropoetin sebagai respons terhadap hipoksia.
Hipoksia jaringan ginjal akan meningkatkan kadar hypoxiainduciblefactor-1 (HIF-1)
jaringan, yang berfungsi sebagai faktor transkripsi untuk sejumlah besar gen terinduksi
hipoksia (hypoxia-inducible genes), termasuk gen eritropetin. HIF-1 mengikat unsur respons
hipoksia (hypoxia response element) yang ada pada gen eritropetin, merangsang transkripsi
mRNA dan pada akhirnya meningkatkan sintesis eritropoietin. Kadang-kadang, keadaan
hipoksia di bagian tubuh lainnya, tetapi bukan di ginjal, akan merangsang sekresi
eritropoietin ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin terdapat beberapa sensor di luar
ginjal yang mengirimkan sinyal tambahan ke ginjal untuk memproduksi hormon tersebut.
Khususnya, baik norepinefrin maupun epinefrin serta beberapa prostaglandin akan
merangsang produksi eritropoietin. Bila kedua ginjal seseorang diangkat atau rusak akibat
penyakit ginjal, maka orang tersebut akan menjadi sangat anemis, sebab 10 persen
eritropoietin normal yang dibentuk di jaringan lain (terutama di hati) hanya cukup
menyediakan sepertiga sampai setengah dari produksi sel darah merah yang diperlukan oleh
tubuh.

Efek Eritropoietin pada Pembentukan Sel Darah Merah.

Bila kita menempatkan seekor hewan atau seseorang dalam atmosfer yang kadar oksigennya
rendah, eritropoietin akan mulai dibentuk dalam beberapa menit sampai beberapa jam, dan
produksinya mencapai maksimum dalam waktu 24 jam. Namun, hampir tidak dijumpai
adanya sel darah merah baru dalam sirkulasi darah sampai 5 hari kemudian. Berdasarkan
fakta ini, dan juga penelitian lain, sudah dapat ditentukan bahwa pengaruh utama eritropoietin
adalah merangsang produksi proeritroblas dari sel punca hematopoietik di sumsum tulang.
Selain itu, begitu proeritroblas terbentuk, maka eritropoietin juga menyebabkan sel-sel ini
dengan cepat melalui berbagai tahap eritroblastik ketimbang pada keadaan normal. Hal
tersebut akan lebih mempercepat produksi sel darah merah yang baru.

. Pematangan Sel Darah Merah—Kebutuhan Vitamin B12 (Sianokobalamin) dan Asam Folat

Oleh karena adanya kebutuhan yang berkesinambungan untuk memenuhi sel darah merah,
maka sel eritropoietik sumsum tulang merupakan salah satu sel yang tumbuh dan
bereproduksi paling cepat di seluruh tubuh. Oleh karena itu, seperti yang diperkirakan,
pematangan dan kecepatan produksinya sangat dipengaruhi oleh nutrisi seseorang. Dua
vitamin yang khususnya penting untuk pematangan akhir sel darah merah adalah, vitamin
B12 dan asam folat. Keduanya penting untuk sintesis DNA karena masing-masing vitamin
dengan cara yang berbeda dibutuhkan untuk pembentukan timidin trifosfat, yaitu salah satu
zat pembangun esensial DNA. Oleh karena itu, kurangnya vitamin B12 atau asam folat dapat
menyebabkan abnormalitas dan berkurangnya DNA dan akibatnya adalah, kegagalan
pematangan inti dan pembelahan sel. Selanjutnya, sel-sel eritroblastik pada sumsum tulang,
selain gagal berproliferasi secara cepat, akan menghasilkan sel darah merah yang lebih besar
dari normal, disebut makrosit, dan sel itu sendiri mempunyai membran yang sangat lemah
dan sering kali berbentuk tidak teratur, besar, dan oval berbeda dengan bentuk lempeng
bikonkaf yang biasa. Sel yang berbentuk kurang baik ini setelah masuk dalam sirkulasi darah,
mampu mengangkut oksigen secara normal, akan tetapi kerapuhannya menyebabkan sel
tersebut memiliki masa hidup yang pendek, yakni setengah sampai sepertiga normal. Oleh
karena itu, dikatakan bahwa defisiensi vitamin B12 atau asam folat dapat menyebabkan
kegagalan pematangan dalam proses eritropoiesis. (Guyton and hall ed.11)

Syarat donor darah

- Golongan darah resipien dengan donor harus sesuai atau sama (guyton and hall)
- Umur 17-65 tahun
- Bb 50kg atau bisa lebih
- Tekanan darah normal
- Suhu tubuh normal
- Tidak menderita tuberkulosis aktif
- Tidak menderita asma bronkial simptomatik
- Tidak ada riwayat kejang
- Tidak ada riwayat perdarahan abnormal
- Tidak menderita penyakit infeksi yang menular melalui darah
- Donor terakhir minimal 8 minggu yang lalu
- Tidak hamil (IPD UI ed.6)

Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi

1. Anemia hipokromik mikrositer


a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
2. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
3. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
o Anemia defisiensi asam folat
o Anemia defisiensi B12 termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non megaloblastik
o Anemia pada penyakit hati kronik
o Anemia pada hipotiroidisme
o Anemia pada sindrom mielodisplastik (IPD UI ed.6)

Anda mungkin juga menyukai