ANEMIA
A. DEFINISI
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Pendapat lain Anemia
adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM, kuantitas hemoglobin, dan
volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian anemia bukan
suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang
diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi laboratorium.
B. ETIOLOGI
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
• Gangguan pembentukan eritrosit
– Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi
substansi tertentu seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam
folat), asam amino, serta gangguan pada sumsum tulang.
• Perdarahan
– Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel
darah merah dalam sirkulasi.
• Hemolisis
– Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.
Tiap hemoglobin dapat mengikat empat molekul O2, satu molekul untuk tiap
subunit/hemenya. Pada proses pengikatan oksigen ini terjadi fenomena yang
disebut cooperative binding, yaitu molekul oksigen dalam satu struktur tetramer
hemoglobin akan mudah berikatan bila sudah ada molekul oksigen yang telah
berikatan. Fenomena ini memungkinkan pengikatan oksigen dari paru-paru dan
pelepasan oksigen yang maksimal ke jaringan. Selain mengangkut oksigen ke
jaringan, hemoglobin juga berperan dalam mengangkut CO2 yang merupakan hasil
sampingan respirasi dan proton (H+) dari jaringan perifer. Namun afinitas ikatan
CO2 lebih tinggi daripada O2, sehingga tingginya kadar CO2 dapat menurunkan
kemampuan transpor oksigen dari hemoglobin.
1. Stem cell : eritrosit berasal dari sel induk pluripoten yang dapat memperbaharui
diri dan berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit, monosit dan megakariosit
(bakal platelet).
2. BFU-E : burst-forming unit eritroid, merupakan prekursor imatur eritroid yang
lebih fleksibel dalam ekspresi genetiknya menjadi eritrosit dewasa maupun
fetus. Sensitivitas terhadap eritropoeitin masih relatif rendah.
D. PATOFISIOLOGI
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sistem fagositik atau
dalam sistem retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping
proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran
darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan
dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang;
kadar 1,5 mg/dl) mengakibatkan ikterik pada sklera.
Faktor nutrisi: rendahnya asupan besi total dalam makanan atau bioavailabilitas besi
yang dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat, rendah daging, dan rendah
vitamin C).
Kebutuhan yang meningkat, seperti pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu
hamil dan menyusui.
Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, colitis kronik, atau achlorhydria.
Kehilangan besi akibat perdarahan kronis, misalnya: perdarahan tukak peptik,
keganasan lambung/kolon,hemoroid, infeksi cacing tambang, menometrorraghia,
hematuria, atau hemaptoe.
A. Metabolisme Besi
Total besi dalam tubuh manusia dewasa sehat berkisar antara 2 gram (pada
wanita) hingga 6 gram (pada pria) yang tersebar pada 3 kompartemen, yakni 1). Besi
fungsional, seperti hemoglobin, mioglobin, enzim sitokrom, dan katalase, merupakan
80 % dari total besi yang terkandung jaringan tubuh. 2). Besi cadangan, merupakan 15-
20% dari total besi dalam tubuh, seperti feritin dan hemosiderin. 3). Besi transport,
yakni besi yang berikatan pada transferin.
Sumber besi dalam makanan terbagi ke dalam 2 bentuk:
1. Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari
kandungan besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor penghambat.
2. Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 1-2%
dari kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat rumit dan
belum sepenuhnya dimengerti. Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya faktor
pemacu absorpsi (meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat, phytat, tanat).
Fase Luminal: besi dalam makanan diolah oleh lambung (asam lambung
menyebabkan heme terlepas dari apoproteinnya) hingga siap untuk diserap.
Fase Mukosal: proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang berperan
penting pada absorpsi besi ialah duodenum dan jejunum proksimal. Namun sebagian
kecil juga terjadi di gaster, ileum dan kolon. Penyerapan besi dilakukan oleh sel
absorptive yang terdapat pada puncak vili usus. Besi heme yang telah dicerna oleh
asam lambung langsung diserap oleh sel absorptive, sedangkan untuk besi nonheme
mekanisme yang terjadi sangat kompleks. Setidaknya terdapat 3 protein yang terlibat
dalam transport besi non heme dari lumen usus ke sitoplasma sel absorptif. Luminal
mucin berperan untuk mengikat besi nonheme agar tetap larut dan dapat diserap
meskipun dalam suasana alkalis duodenum. Agar dapat memasuki sel, pada brush
border sel terjadi perubahan besi feri menjadi fero oleh enzim feri reduktase yang
diperantarai oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui
membrane difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT-1 atau Nramp-2).
Sesampainya di sitoplasma sel usus, protein sitosol (mobilferrin) menangkap besi feri.
Sebagian besar besi akan disimpan dalam bentuk feritin dalam mukosa sel usus,
sebagian kecil diloloskan ke dalam kapiler usus melalui basolateral transporter
(ferroportin atau IREG 1). Besi yang diloloskan akan mengalami reduksi dari molekul
fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase, kemudian berikatan dengan apotransferin
dalam kapiler usus.
Gambar: proses absorbsi besi
Fase corporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel
yang membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh.
Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam bentuk logam bebas,
melainkan berikatan dengan suatu glikoprotein (β-globulin) pengikat besi yang
diproduksi oleh hepar (transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas dan
dapat merusak jaringan. Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang
membutuhkan terutama sel progenitor eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang.
Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin yang afinitasnya sangat tinggi
terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke dalam sel melalui proses
endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan baku
pembentukan hemoglobin.
Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks besi-
apoferitin) dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum tulang,
dan otot skelet. Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan tersimpan pada
sel parenkimnya, sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama terdapat pada sel
fagosit mononuklear (makrofag monosit) dan berasal dari pembongkaran eritrosit. Bila
jumlah total besi melebihi kemampuan apoferitin untuk menampungnya maka besi
disimpan dalam bentuk yang tidak larut (hemosiderin). Bila jumlah besi plasma sangat
rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin, tidak demikian pada hemosiderin.
Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat dalam plasma, bila kadar ini dapat
terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi dalam tubuh.
B. Sintesis Hemoglobin
Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi
menjadi 3 tingkatan:
Beberapa dampak negatif defisiensi besi, disamping terjadi anemia, antara lain:
Sistem neuromuskuler
Terjadi penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase yang
menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penumpukan asam laktat yang
mempercepat kelelahan otot.
E. Pemeriksaan Laboratorium
Bila pada SADT terdapat anisositosis, merupakan tanda awal terjadinya defisiensi besi
Pada anemia hipokrom mikrositer yang ekstrim terdapat poikilositosis (sel cincin, sel
pensil, sel target)
5. Peningkatan reseptor transferin dalam serum (normal 4-9 µg/dl), dipakai untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia pada penyakit kronis.
6. Gambaran apus sumsum tulang menunjukkan jumlah normoblas basofil yang
meningkat, disertai penurunan stadium berikutnya. Terdapat pula mikronormoblas
(sitoplasma sedikit dan bentuk tidak teratur. Pengecatan sumsum tulang dengan
Prussian blue merupakan gold standar diagnosis defisiensi besi yang akan memberikan
hasil sideroblas negatif (normoblas yang mengandung granula feritin pada
sitoplasmanya, normal 40-60%).
7. Pemeriksaan mencari penyebab defisiensi, misalnya pemeriksaan feses, barium
enema, colon in loop, dll.
F. Diagnosis
Tiga tahap mendiagnosa suatu anemia defisiensi besi: 1). Menentukan adanya anemia
2). Memastikan adanya defisiensi besi 3). Menentukan penyebab defisiensi. Secara laboratoris
dipakai kriteria modifikasi Kerlin untuk menegakkan diagnosa:
→ anemia hipokrom mikrositer pada SADT ATAU MCV <80 fl dan MCH < 31%
dengan satu atau lebih kriteria berikut:
G. Terapi
1. Terapi kausal, untuk mencari penyebab kekurangan besi yang diderita. Bila tidak
dapat menyebabkan kekambuhan.
2. Pemberian preparat besi:
Oral: merupakan pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman, terutama sulfas
ferosus. Dosis anjuran 3x200mg/hari yang dapat meningkatkan eritropoiesis hingga 2-
3 kali dari normal. Pemberian dilakukan sebaiknya saat lambung kosong (lebih sering
menimbulkan efek samping) paling sedikit selama 3-12 bulan. Bila terdapat efek
samping gastrointestinal (mual, muntah, konstipasi) pemberian dilakukan setelah
makan atau osis dikurangi menjadi 3x100mg. Untuk meningkatkan penyerapan dapat
diberikan bersama vitamin C 3x100 mg/hari.
Parenteral,misal preparat ferric gluconate atau iron sucrose (IV pelan atau IM).
Pemberian secara IM menimbulkan nyeri dan warna hitam pada lokasi suntikan.
Indikasi pemberian parenteral:
a. Intoleransi terhadap preparat oral
b. Kepatuhan berobat rendah
c. Gangguan pencernaan, seperti kolitis ulseratif (dapat kambuh dengan
pemberian besi)
d. Penyerapan besi terganggu, seperti gastrektomi
e. Kehilangan darah banyak
f. Kebutuhan besi besar yang harus dipenuhi dalam jangka waktu yang pendek,
misalnya ibu hamil trimester 3 atau pre operasi. Dosis yang diberikan dihitung
menurut formula: Kebutuhan besi (mg) = {(15 – Hbsekarang ) x BB x 2,4} +
(500 atau 1000)
ANEMIA APLASTIK
IV.1. Definisi
II.2. Etiologi
Secara etiologik penyakit anemia aplastik ini dapat dibagi menjadi 2 golongan
besar, yaitu:
1. Anemia aplastik herediter atau anemia aplastik yang diturunkan merupakan faktor
kongenital yang ditimbulkan sindrom kegagalan sumsum tulang herediter antara lain :
sindroma Fanconi (anemia Fanconi) yang biasanya disertai dengan kelainan bawaan
lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, dan kelainan ginjal; diskeratosis
kongenital; sindrom Shwachman-Diamond; dan trombositopenia amegakaryositik.
Kelainan – kelainan ini sangat jarang ditemukan dan juga jarang berespons terhadap
terapi imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter biasanya muncul pada usia
sepuluh tahun pertama dan kerap disertai anomali fisik (tubuh pendek, kelainan lengan,
hipogonadisme, bintik-bintik café-au-lait pada anemia Fanconi (sindroma Fanconi)).
Beberapa pasien mungkin mempunyai riwayat keluarga dengan sitopenia.
Dalam kelompok ini, anemia Fanconi (sindroma Fanconi) adalah penyakit yang paling
sering ditemukan. Anemia Fanconi (sindroma Fanconi) merupakan kelainan autosomal
resesif yang ditandai oleh defek pada DNA repair dan memiliki predisposisi ke arah
leukemia dan tumor padat. Pada pasien anemia Fanconi (sindroma Fanconi) akan
ditemukan gangguan resesif langka dengan prognosis buruk yang ditandai dengan
pansitopenia, hipoplasia sumsum tulang, dan perubahan warna kulit yang berbercak –
bercak coklat akibat deposisi melanin (bintik – bintik café-au-lait).
Diskeratosis kongenital adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan
secara klasik yang muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi kuku, dan
leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki heterogenitas dan manifestasi klinik yang
beragam. Terdapat bentuk – bentuk X-linked recessive, autosomal dominan, dan
autosomal resesif. Bentuk X-linked recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen DKC1,
yang menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk stabilisasi telomerase.
Gangguan telomerase menyebabkan terjadinya pemendekan telomer lebih cepat,
kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini (premature aging). Diskeratosis
kongenital autosomal dominan disebabkan oleh mutasi gen TERC (yang menyandi
komponen RNA telomerase) yang pada akhirnya mengganggu aktivitas telomerase dan
pemendekan telomer abnormal. Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yang dicurigai
menderita anemia aplastik memiliki mutasi TERC.
Trombositopenia amegakaryositik diwariskan merupakan kelainan yang
ditandai oleh trombositopenia berat dan tidak adanya megakaryosit pada saat lahir.
Sebagian besar pasien mengalami missense atau nonsense mutations pada gen C-MPL.
Banyak diantara penderita trombositopenia amegakaryositik diwariskan mengalami
kegagalan sumsum tulang multilineage.
Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan autosomal resesif yang ditandai
dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan sumsum
tulang. Seperti pada anemia Fanconi (sindroma Fanconi), penderita sindrom
Shwachman-Diamond juga mengalami peningkatan resiko terjadinya myelodisplasia
atau leukemia pada usia dini. Belum ditemukan lesi genetik yang dianggap menjadi
penyebabnya, tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7 telah dikaitkan dengan penyakit
ini.
2. Anemia aplastik didapat
Timbulnya anemia aplastik didapat pada seorang anak dapat dikarenakan oleh :
- Penggunaan obat, anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau
penggunaan dosis obat yang berlebihan. Obat yang paling banyak menyebabkan
anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat – obatan lain yang juga sering
dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, anti-rematik, anti-tiroid, preparat
emas dan antikonvulsan, obat – obatan sitotoksik seperti mileran atau nitrosourea.
- Senyawa kimia berupa benzene yang paling terkenal dapat menyebabkan anemia
aplastik. Dan juga insektisida (organofosfat).
- Penyakit infeksi yang bisa menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen,
yakni virus Epstein-Barr, virus Haemophillus influenza A, tuberkulosis milier,
Cytomegalovirus (CMV) yang dapat menekan produksi sel sumsum tulang melalui
gangguan pada sel – sel stroma sumsum tulang, Human Immunodeficiency virus
(HIV) yang berkembang menjadi Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS),
virus hepatitis non-A, non-B dan non-C, infeksi parvovirus.
Infeksi parvovirus B19 dapat menimbulkan Transient Aplastic Crisis. Keadaan ini
biasanya ditemukan pada pasien dengan kelainan hemolitik yang disebabkan oleh
berbagai hal. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron akan ditemukan virus dalam
eritroblas dan dengan pemeriksaan serologi akan dijumpai antibodi virus ini. DNA
parvovirus dapat mempengaruhi progenitor eritroid dengan mengganggu replikasi
dan pematangannya.
- Terapi radiasi dengan radioaktif dan pemakaian sinar Rontgen.
- Faktor iatrogenik akibat transfusion – associated graft-versus-host disease.1,2
Jika pada seorang pasien tidak diketahui penyebab anemia aplastiknya, maka
pasien tersebut akan digolongkan ke dalam kelompok anemia aplastik idiopatik.
II.3. Klasifikasi
II.4. Epidemiologi
Ditemukan lebih dari 70% anak – anak menderita anemia aplastik derajat berat
pada saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara anak laki – laki
dan perempuan, namun dalam beberapa penelitian tampak insidens pada anak laki –
laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Penyakit ini termasuk penyakit yang
jarang dijumpai di negara barat dengan insiden 1 – 3 / 1 juta / tahun. Namun di Negara
Timur seperti Thailand, negara Asia lainnya termasuk Indonesia, Taiwan dan Cina,
insidensnya jauh lebih tinggi. Penelitian pada tahun 1991 di Bangkok didapatkan
insidens 3.7/1 juta/tahun. Perbedaan insiden ini diperkirakan oleh karena adanya faktor
lingkungan seperti pemakaian obat – obat yang tidak pada tempatnya, pemakaian
pestisida serta insidens virus hepatitis yang lebih tinggi.
Kegagalan produksi sel darah berkaitan erat dengan kosongnya sumsum tulang
yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen core
biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic resonance imaging (MRI)
vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata.
Secara kuantitatif, sel – sel hematopoietik yang imatur dapat dihitung dengan flow
cytometry. Sel – sel tersebut mengekspresikan protein cytoadhesive yang disebut
CD34+. Pada pemeriksaan flow cytometry, antigen sel CD34+ dideteksi secara
fluoresens satu per satu, sehingga jumlah sel – sel CD34+ dapat dihitung dengan tepat.
Pada anemia aplastik, sel – sel CD34+ juga hampir tidak ada yang berarti bahwa sel –
sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan megakaryositik sangat kurang
jumlahnya. Assay lain untuk sel – sel hematopoietik yang sangat primitif dan “tenang”
(quiescent) yang sangat mirip jika tidak dapat dikatakan identik dengan sel – sel asal,
juga memperlihatkan adanya penurunan jumlah sel. Pasien yang mengalami
pansitopenia mungkin telah mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk
sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat ini mempunyai konsekuensi kualitatif
yang dicerminkan oleh pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia aplastik.
Destruksi Imun
Pemeriksaan Virologi
Adanya kemungkinan anemia aplastik akibat faktor didapat, maka pemeriksaan
virologi perlu dilakukan untuk menemukan penyebabnya. Evaluasi diagnosis
anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus hepatitis, HIV, parvovirus, dan
sitomegalovirus.
Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Jenis tes ini perlu dilakukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab
terjadinya anemia aplastik.
Pemeriksaan Kromosom
Pada pasien anemia aplastik tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan
sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik
dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti
myelodisplasia hiposeluler.
Pemeriksaan Defisiensi Imun
Adanya defisiensi imun dalam tubuh pasien anemia aplastik dapat diketahui
melalui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T.
Pemeriksaan yang Lain
Pemeriksaan darah tambahan berupa pemeriksaan kadar hemoglobin fetus
(HbF) dan kadar eritropoetin yang cenderung meningkat pada anemia aplastik
anak.
II.8. Diagnosis
Anemia aplastik dapat muncul tiba – tiba dalam hitungan hari atau secara
perlahan (berminggu – minggu hingga berbulan – bulan). Hitung jenis darah akan
menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan kelelahan, dispnea dan jantung
berdebar – debar. Trombositopenia menyebabkan pasien mudah mengalami memar dan
perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien
juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam.
II.9. Penatalaksanaan
1
Terapi Suportif
Adanya terapi suportif bertujuan untuk mencegah dan mengobati terjadinya infeksi dan
perdarahan. Terapi suportif yang diberikan untuk pasien anemia aplastik, antara lain:
1. Berakhir dengan remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali jika dikarenakan faktor
iatrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna biasanya terjadi segera.
2. Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus.
3. Dapat bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Kondisi penderita anemia aplastik
dapat membaik dan bertahan hidup lama, namun masih ditemukan pada kebanyakan
kasus mengalami remisi tidak sempurna.
Remisi anemia aplastik biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan (dengan
oksimetolon setelah 2-3 bulan), mula – mula terlihat perbaikan pada sistem eritropoitik,
kemudian sistem granulopoitik dan terakhir sistem trombopoitik. Kadang – kadang remisi
terlihat pada sistem granulopoitik lebih dahulu lalu disusul oleh sistem eritropoitik dan
trombopoitik. Untuk melihat adanya remisi hendaknya diperhatikan jumlah retikulosit,
granulosit/leukosit dengan hitung jenisnya dan jumlah trombosit. Pemeriksaan sumsum tulang
sebulan sekali merupakan indikator terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi
parsial telah tercapai, yaitu timbulnya aktivitas eritropoitik dan granulopoitik, bahaya
perdarahan yang fatal masih tetap ada, karena perbaikan sistem trombopoitik terjadi paling
akhir. Sebaiknya pasien dibolehkan pulang dari rumah sakit setelah hitung trombosit mencapai
50.000 – 100.000/mm3.
Prognosis buruk dari penyakit anemia aplastik ini dapat berakibat pada kematian yang
seringkali disebabkan oleh keadaan penyerta berupa:
1. Infeksi, biasanya oleh bronchopneumonia atau sepsis. Harus waspada terhadap
tuberkulosis akibat pemberian kortikosteroid (prednison) jangka panjang.
2. Timbulnya keganasan sekunder akibat penggunaan imunosupresif. Pada sebuah
penelitian yang dilakukan di luar negeri, dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20
penderita yang diterapi jangka panjang, berubah menjadi leukemia akut,
mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma. Kejadian ini mungkin
merupakan riwayat alamiah penyakit anemia aplastik, namun komplikasi ini jarang
ditemukan pada penderita yang telah menjalani transplantasi sumsum tulang.
3. Perdarahan otak atau abdomen, yang dikarenakan kondisi trombositopenia.
BAB V
ANEMIA HEMOLITIK
Definisi
Anemia Hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis.
Hemolisis adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya
(sebelum masa hidup rata-rata eritrosit yaitu 120 hari). Hemolisis berbeda dengan
proses penuaan (senescence) , yaitu pemecahan eritrosit karena memang sudah cukup
umurnya. Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah (intravascular) atau di luar
pembuluh darah (ekstravaskular) yang membawa konsekuensi patofisiologik yang
berbeda.
Pada orang dengan sumsum tulang yang normal, hemolisis pada darah tepi akan
direspon oleh tubuh dengan peningkatan eritropoiesis dalam sumsum tulang.
Kemampuan maksimum sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoiesis adalah 6-8
kali normal. Apabila derajat hemolisis tidak terlalu berat (pemendekan masa hidup
eritrosit sekitar 50 hari) maka sumsum tulang masih mampu melakukan kompensasi
sehingga tidak timbul anemia. Keadaan ini disebut sebagai keadaan hemolisis
terkompensasi (compensated hemolytic state). Akan tetapi, jika kemampuan
kompensasi sumsum tulang dilampaui makan akan terjadi anemia yang kita kenal
sebagai anemia hemolitik.
Klasifikasi
BAB VI
ANEMIA MEGALOBLASTIK
A. Definisi
Anemia megaloblastik adalah anaemia yang disebabkan abnormalitas
hematopoesis dengan karakteristik dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel mieloid dan
eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA.
B. Etilogi
C. Patofisiologi
Pada orang dewasa, faktor intrinsik dapat berkurang karena adanya atropi
lambung (gastritis atropikan), gangguan imunologis (antibodi terhadap faktor intrinsik
lambung) yang mengakibatkan defisiensi kobalamin. Defisiensi kobalamin
menyebabkan defisiensi metionin intraseluler, kemudian menghambat pembentukan
folat tereduksi dalam sel. Folat intrasel yang berkurang akan menurunkan prekursor
tidimilat yang selanjutnya akan menggangu sintesis DNA. Model ini disebut
methylfolate trap hypothesis karena defisiensi kobalamin mengakibatkan penumpukan
5-metil tetrahidrofolat.
6. Anemia megalobalstik
7. Glositis
8. Neuropati
Gangguan neurologis terutama mengenai substansia alba kolumna dorsalis dan
lateralios medula spinalis, kortekserebri dan degenerasi saraf perifer sehingga disebut
subacute combine degeneration / combined system disease. Dapat ditemukan gangguan
mental, depresi, gangguan memori, gangguyan kesadaran, delusi, halusinasi, paranoid,
skizopren. Gejala neurologis lainnya adalah : opthalmoplegia, atoni kandung kemih,
impotensi, hipotensi ortostatik (neuropati otonom), dan neuritis retrobulbar.
1. Anemia megaloblastik
2. Glositis
Pada anemia megaloblastik, kadang ditemukan subikterus, petekie dan perdarahan
retina, hepatomegali, dan splenomegali.
E. Diagnosis
- Leukemia akut
- Anemia hemolitik (pada krisi hemolitik)
- Eritroleukemia
- Penyakit hati yang berat
- Hipotiroidisme
- Nefritis kronis
H. Terapi
Transfusi darah adalah pemberian darah atau komponen darah dari satu
individu (donor) ke individu lainnya (resipien), dimana dapat menjadi penyelamat
nyawa, tapi dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi yang dapat terjadi
sehingga transfusi darah hendaklah dilakukan dengan indikasi yang jelas dan tepat
sehingga diperoleh manfaat yang jauh lebih besar daripada resiko yang mungkin
terjadi.
Seluler
Non Seluler
Albumin
Immunoglubulin
Faktor XIII dan Factor IX pekat
Rh immunoglobulin
Plasma ekspander sintetik
Darah lengkap ini berisi sel darah merah, leukosit, trombosit, dan plasma.
Satu unit kantong darah lengkap berisi 450 mL darah dan 63 mL antikoagulan. Di
Indonesia, satu kantong darah lengkap 250 mL darah dengan 37 mL antikoagulan.
Suhu simpan antara 1-6°C. Lama simpan tergantung dari antikoagulan yang dipakai
pada kantong darah, misalnya pemakain sitrat fosfat dextrose (CPD) lama simpan
adalah 21 hari, sedangkan dengan CPD adenine (CPDA) adalah 35 hari.
Menurut masa simpan invitro, ada 2 macam darah lengkap yaitu darah segar
dan darah baru. Darah segar yaitu darah yang disimpan sampai 48 jam, sedang darah
baru yaitu darah yang disimpan sampai dengan 5 hari.
Indikasi
Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan
volum plasma dalam waktu yang bersamaan, misalnya pada perdarahan aktif dengan
kehilangan darah lebih dari 25-30% volum darah total.
Kontraindikasi
Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronik
yang normovolemik atau yang bertujuan meningkatkan sel darah merah.
Dosis tergantung keadaan klinis pasien. Pada orang dewasa, 1 unit darah
lengkap akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl atau hematokrit 3-4%. Pada anak-anak
darah lengkap 8 mL/kg akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl. Pemberian darah
lengkap sebaiknya melalui filter darah dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan
klinis pasien, namun setiap unitnya sebaiknya diberikan dalam 4 jam.
SEL DARAH MERAH PEKAT (PACKED RED BLOOD CELL)
Sel darah pekat berisi eritrosit, trombosit, leukosit, dan sedikit plasma. Sel
darah merah ini didapat dengan memisahkan sebagian besar plasma dari darah
lengkap, sehingga diperoleh sel darah merah dengan nilai hemtokrit 60-70%. Volume
diperkirakan 150-300 mL tergantung besarnya kantung darah yang dipakai, dengan
massa sel darah merah 100-200 mL. Sel darah ini disimpan pada suhu 1-6°C
Indikasi
Sel darah merah pekat ini dugunakan untuk meningkatkan jumlah sel darah
merah pada pasien yang menunjukkan gejala anemia, yang hanya memerlukan massa
sel darah merah pembawa oksigen saja misalnya pada pasien dengan gagal ginjal atau
anemia karena keganasan. Oemberian ini disesuaikan dengan kondisi klinis pasien
bukan pada nila Hb atau hematokrit. Keuntungannya adalah perbaikan oksigenasi dan
jumlah eeritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien anemia dengan gagal
jantung.
Kontraindikasi
Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam jumlah banyak dalam waktu
singkat.
Pada orang dewasa, 1 unit sel darah merah pekat akan meningkatkan Hb sekitar 1
g/dl atau hemtokrit 3-4%. Pemberian sel darah ini harus melalui filter darah standar
(170 µ). Hematokrit yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hiperviskositas dan
menyebabkan kecepatan transfusi menurun sehingga untuk mengatasinya maka
diberikan salin normal 50-100 ml sebagai pencampur sediaan darah merah dalam
CPD atau CPDA-1 tetapi harus hati-hati karena dapat terjadi kelebihan beban.
SEL DARAH MERAH PEKAT DENGAN SEDIKIT LEUKOSIT (PACKED
RED BLOOD CELL AEUCOCYTES REDUCED)
Setiap unit sel darah merah pekat mengandung 1-3 x 10 9 leukosit. American
Association of Blood Bank Standard for Transfusion Services menetapkan bahwa sel
darah merah yang disebut dengan sedikit leukosit jika kandungan leukositnya kurang
dari 5 x 106 leukosit/unit. Sil darah ini dapat diperoleh dengan cara oemutaran,
pencucian sel darah merah dengan garam fisiologis, dengan filtrasi atau
degliserolisasi sel darah merah yang disimpan beku. Karena pada pembuatannya ada
sel darah merah yang hilang, maka kandungan sel darah merah kurang dibandingkan
dengan sel darah merah pekat biasa. Suhu simpan 1-6 derajat celcius.
Indikasi
Produk ini dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien
yang sering mendapat/tergantung pada transfuse darah dan pada mereka yang sering
mendapat reaksi transfuse panas yang berulang dan reaksi alergi yang disebabkan
oleh protein plasma atau antibody leukosit.
Perhatian
Komponen sel darah ini tidak dapat mencegah terjadinya graft versus host
disease 9GVHD), sehingga komponen darah yang dapat diandalkan untuk mencegah
hal itu adalah bila komponen darah tersebut diradiasi.
Indikasi
Pada orang dewasa komponen ini dipakai untuk mencegah reaksi alergi yang
berat atau alergi yang berulang, dapat pula digunakan pada transfusi neonatal atau
transfusi intrauterine.
Perhatian
Sel darah merah beku ini dibuat dengan penambahan gliserol sediaan
krioprotekif terhadap darah yang usianya kurang dari 6 hari. Darah ini kemudian
dibekukan pada suhu minimal 65 derajat atau minus 200 derajat celcius (tergantung
sediaan gliserol) dan dapat disimpan selama 10 tahun. Karena pada proses
penyimpanan beku, pencairan dan pencuciannya ada sel darah merah yang hilang
maka kandungan sel darah minimal 80% dari jumlah sel darah merah pekat asal,
demikian pula hematokrit kurang lebih 70-80%. Proses pencucian dapat
menggunakan larutan glukosa dan salin. Suhu simpan 1-6 derajat celcius dan tidak
boleh digunakan lebih dari 24 jam karena proses pencucian biasanya memakai system
terbuka.
Indikasi
Perhatian
Pemberian komponen darah ini melalui filter darah dan sediaan ini memiliki
massa eritrosit yang rendah karena banyak sel darah yang hilang selama proses
pembuatan.
Berisi trombosit, beberapa leukosit sel darah merah serta plasma. Trombosit
pekat ini dapat diperoleh dengan cara pemutaran sel darahh lengkap segar atau
dengan cara troomboforesis.satu kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 mL
darah lengkap dari seorang donor berisi kira-kira 5,5 x 1010 trombosit dengan volume
sekitar 50 mL. satu kantong trombosit pekat yang diperoleh dengan cara
tromboforesis seorang donor darah berisi sekitar 3 x 1011 trombosit. Produk ini daya
hemostatiknya kurang, sedangkan viability pasca transfusinya lebih baik.
Indikasi
Indikasi
Kontraindikasi
Meskipun sediaan ini dapat meniadakan fenris pada pasien yang mengalami
alloimunisasi terhadap HLA antigen, penggunaannya tidak dapat mempercepat
terjadinya pemulihan jumlah trombosit. Untuk mendapatkan hasil yang baik
sebaiknya dilakukan uji cocok serasi. Terjadinya reaksi transfuse pada sediaan ini
dihubuungkan dengan lamanya penyimpanan akibat dilepaskannya sitokin-sitokin
seperti IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF alfa yang dilepaskan leukosit selama penyimpanan.
GRANULOSIT FERESIS
Indikasi
Kontraindikasi
Indikasi
Dipakai untuk pasien dengan gangguan proses pembekuan bila tidak tersedia
factor pembekuan pekat atau kriopresipitat, misalnya pada defisiensi factor
pembekuan multiple antara lain: penyakit hati, KID, TTP, dan dilusi koagulopati
akibat transfuse massif.
Kontraindikasi
Indikasi
Kontraindikasi
Kriopresipitat tidak diberikan pada pasien yang tidak defisiensi factor-faktor tersebut
di atas.
Indikasi
Kontraindikasi
KONSENTRAT FAKTOR IX
Indikasi
Kontraindikasi
1. Bakta, I Made. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Pendekatan terhadap Pasien Anemia.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Callaham, Michael L. and Christopher W. Barton. Decisison Making in Emergency
Medicine. Jakarta: Binarupa Aksara.
3. Ugrasena, IDG.Anemia Aplastik.Buku Ajar Hematologi – Onkologi Anak
IDAI.Cetakan Kedua.Badan Penerbit IDAI.Jakarta.2006.Hal:10-15.
4. Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder.Anemia Aplastik.Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II.Edisi IV.Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta.2006.Hal:627-633.
5. A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss.Anemia Aplastik dan Kegagalan Sumsum
Tulang.Kapita Selekta Hematologi.Edisi IV.EGC.Jakarta.2006.Hal: 83-87.
6. Kamus Kedokteran Dorland.Edisi ke 27.Jakarta:EGC.2005
7. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Volume I.Edisi VI.EGC.Jakarta.2006.Hal: 258-260.