1. DEFINISI
Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit, pada janin dan bayi proses ini
berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas
hanya pada sumsum tulang. (Dorland edisi 31)
2. Mekanisme
Selama perkembangan intrauterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk sac dan kemudian
oleh hati dan limpa sampai sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih produksi eritrosit
secara ekslusif. (Sherwood, 2011)
Pada anak, sebagian tulang terisi oleh sumsum tulang merah yang mampu memproduksi sel
darah. Namun, seiring dengan pertambahan usia, sumsum tulang kuning yang tidak mampu
melakukan eritropoiesis secara perlahan menggantikan sumsum merah, yang tersisa hanya di
beberapa tempat, misalnya sternum, iga dan ujung-ujung atas tulang panjang ekstremitas.
(Sherwood, 2011)
Sumsum tulang tidak hanya memproduksi SDM tetapi juga merupakan sumber leukosit dan
trombosit. Di sumsum tulang terdapat sel punca pluripotent tak berdiferensiasi yang secara terus
menerus membelah diri dan berdiferensiasi untuk menghasilkan semua jenis sel darah.
(Sherwood, 2011)
Ginjal mendeteksi penurunan/ kapasitas daraah yang mengangkut oksigen. Jika O2 yang
disalurkan ke ginjal berkurang, maka ginjal mengeluarkan hormon eritropoietin dalam darah
yang berfungsi merangsang eritropoiesis (produksi eritrosit) dalam sumsum tulang. Tambahan
eritrosit di sirkulasi meningkatkan kemampuan darah mengangkut O2. Peningkatan kemampuan
3. Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita pneumonia.
Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah dalam darah,
sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah mengangkut O2 dan memulihkan penyaluran O2 ke
jaringan ke tingkat normal. Apabila penyaluran O2 ke ginjal telah normal, sekresi eritropoetin
dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia tidak mengaktifkan langsung sumsum
tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal yang nantinya memberikan stimulus hormon
yang akan mengaktifkan sumsum tulang. Selain itu, testosterone pada pria juga meningkatkan
produksi EPO oleh ginjal. Hormon seks wanita tidak berpengaruh terhadap stimulasi EPO, itulah
sebabnya jumlah RBC pada wanita lebih rendah daripada pria.
Eritropoeitin
- Dihasilkan oleh: sel interstisial peritubular ginjal, hati
- Stimulus pembentukan eritroprotein: dipengaruhi oleh tekanan O2 dalam jaringan ginjal.
- Penurunan penyaluran O2 ke ginjal merangsang ginjal mengeluarkan hormon eritropoetin ke
dalam darah merangsang eritropoiesis di sumsum tulang dengan merangsang proliferasi
dan pematangan eritrosit jumlah eritrosit meningkat kapasitas darah mengangkut O 2
meningkat dan penyaluran O2 ke jaringan pulih ke tingkat normal stimulus awal yang
mencetuskan sekresi eritropoetin hilang sampai diperlukan kembali.
- Pasokan O2 meningkat ke jaringan akibat peningkatan massa eritrosit/Hb dapat lebih mudah
melepaskan O2: stimulus eritroprotein turun
- Fungsi EPO: mempertahankan sel-sel prekursor dengan memungkinkan sel-sel tersebut terus
berproliferasi menjadi elemen-elemen yang mensintesis Hb.
- Bekerja pada sel-sel tingkat G1
- Hipoksia: rangsang fisiologis dasar untuk eritropoiesis karena suplai O 2 & kebutuhan O2
mengatur pembentukan eritrosit.
3. Morfologi & Kelainan
1. Kelainan Ukuran
Makrosit, diameter eritrosit 9 m dan volumenya 100 fL
Mikrosit, diameter eritrosit 7 dan volumenya 80 fL
Anisositosis, ukuran eritrosit tidak sama besar
2. Kelainan Warna
Hipokrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit 1/3 diameternya
Hiperkrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit 1/3 diameternya
Polikrom, eritrosit yang memiliki ukuran lebih besar dari eritrosit matang, warnanya lebih
gelap.
3. Kelainan Bentuk
Sel sasaran (target cell), Pada bagian tengah dari daerah pucat eritrosit terdapat bagian
yang lebih gelap/merah.
http://laboratoryinfo.com/variations-in-red-blood-cell-morphology/
2. MM Hemoglobin
1. DEFINISI
Hemoglobin adalah pigmen pembawa oksigen pada eritrosit, dibentuk oleh
eritrosit yang sedang berkembang di dalam sumsum tulang. (Dorland, 2011)
Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu
molekul organik dengan satu atom besi. Hemoglobin tersusun dari empat molekul protein
(globulin chain) yang terhubung satu sama lain. Hemoglobin normal orang dewasa (HbA)
terdiri dari 2 alpha-globulin chains dan 2 beta-globulin chains, sedangkan pada bayi yang
masih dalam kandungan atau yang sudah lahir terdiri dari beberapa rantai beta dan molekul
hemoglobinnya terbentuk dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gama yang dinamakan sebagai
HbF. Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung 4 subunit protein),
yang terdiri dari masing-masing dua subunit alfa dan beta yang terikat secara nonkovalen.
Subunit-subunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama
Pada pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin yang
menahan satu atom besi; atom besi ini merupakan situs/loka ikatan oksigen. Porfirin yang
mengandung besi disebut heme Tiap subunit hemoglobin mengandung satu heme, sehingga
secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat molekul oksigen. Pada molekul
heme inilah zat besi melekat dan menghantarkan oksigen serta karbondioksida melalui
darah, zat ini pula yang menjadikan darah kita berwarna merah.
2. FUNGSI HB
3. MEKANISME PEMBENTUKAN HB
Sintesis heme
Sintesis heme melibatkan 2 kompartemen, yaitu mitokondria dan sitosol. Sintesis heme
terjadi di dalam mitokondria. Proses ini diawali dengan kondensasi glisin dan succinyl-CoA
yang kemudian diubah menjadi asam 5-aminolevulinik (ALA) oleh enzim asam aminolevulinat (ALA) sintase. Kemudian, asam 5-aminolevulinik mengalami serangkaian
reaksi pada sitoplasma sampai akhirnya menjadi Ko-proporfirinogen dan masuk kembali ke
mitokondria dan menjadi protoprofirinogen. Kemudian, protoprofirinogen diubah menjadi
protoporfirin dan bergabung dengan besi yang diangkut oleh transferin menjadi heme.
Transferin mengangkut besi ke jaringan yang mempunyai reseptor transferin. (Hoffbrand,
2013)
Sintesis globin
Globin merupakan protein yang terbentuk dari asam-asam amino yang disintesis di
ribosom. Kelompok gen -globin berada pada kromosom 16, sedangkan kelompok gen globin berada pada kromosom 11.
Dua rantai globin yang berbeda, alpha dan non-alpha (masing-masing dengan
molekul heme sendiri) bergabung membentuk hemoglobin. Dengan pengecualian pada
minggu pertama perkembangan embrio, salah satu rantai globin selalu alpha. Sejumlah
variabel mempengaruhi sifat dasar dari rantai non-alpha di dalam molekul hemoglobin.
Fetus mempunyai sebuah rantai non-alpha yang berbeda yaitu gamma. Setelah lahir, rantai
globin non-alpha berbeda dinamakan beta, berpasangan dengan rantai alpha. Gabungan
dari dua rantai alpha dan dua rantai non alpha menghasilkan sebuah molekul hemoglobin
yang lengkap (total 4 rantai per molekul).
Gabungan dari dua rantai alpha dan dua rantai gamma membentuk hemoglobin
fetal (janin) yakni Hb F. Dengan pengecualian bahwa 10 hingga 12 minggu pertama setelah
pembuahan, Hb F sebagai hemoglobin dasar di dalam perkembangan janin. Gabungan dua
rantai alpha dan dua rantai beta membentuk hemoglobin adult (dewasa) yang juga disebut
sebagai Hb A. Walaupun Hb A dinamankan dewasa, Hb A menjadi hemoglobin yang
menonjol sekitar 18 hingga 24 minggu kelahiran.
Sepasang dari satu rantai alpha dan satu rantai non-alpha menghasilkan sebuah
dimer (dua rantai) hemoglobin. Dimer hemoglobin tidak efisien membawa oksigen. Dua
dimer bergabung membentuk sebuah tetramer hemoglobin yang merupakan bentk
fungsional dari hemoglobin. Ciri-ciri biofisika lengkap dari tetramer hemoglobin yakni
mengontrol pengambilan oksigen di paru-paru dan melepaskannya di jaringan yang
membutuhkan untuk mempertahankan hidup.
Gen-gen yang mengkode rantai globin alpha terletak pada kromosom 16,
sedangkan gen-gen yang mengkode rantai globin non-alpha terletak pada kromosom 11.
Kompleks alpha disebut lokus globin alpha, sedangkan kompleks non-alpha disebut lokus
globin beta. Keseimbangan ekspresi gen pada rantai globin dibutukan untuk fungsi normal
sel darah merah. Gangguan keseimbangan ekspresi gen pada rantai globin menghasilkan
sebuah penyakit yang dinamakan talasemia
Biosintesis hemoglobin
Sintesis hemoglobin di mulai dalam proteoblast dan berlanjut bahkan dalam stadium
retikulosit pada pembentukan sel darah merah.
Oleh karena itu ketika retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke aliran darah,
retikulosit tetap membentuk sejumlah kecil hemoglobin satu hari sesudah dan seterusnya
sampai sel tersebut menjadi eritrosit yang matur.
Tahap dasar pembentukan secara kimiawi :
Suksinil-KoA, di bentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin membentuk molekul
priol.
Empat priol bergabung membentuk protoporfirin IX bergabung dengan besi membentuk
molekul heme.
Setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang yaitu globin yang di
sintesis oleh ribosom membentuk sub unit hemoglobin yang di sebut rantai hemoglobin.
Katabolisme Hb
Hemolisis ekstravaskuler
Katabolisme heme
Katablisme Heme Menghasilkan Bilirubin
Dalam keadaan normal, umur eritrosit sekitar 120 hari. Sehingga, sekitar 100-200 juta
eritrosit dihancurkan setiap jammya. Dalam 1 hari lebih kurang 6 gram hemoglobin (untuk berat
badan 70 kg) dihancurkan. Proses degradasi ini terjadi di jaringan retikulo endothelial (limpa,
hati, dan sumsum tulang), yaitu pada bagian mikrosom dari sel retikulo endothelial.
Hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin. Bagian protein globin diuraikan menjadi asam
amino-asam amino pembentuknya kemudian digunakan kembali. Besi akan dilepaskan dari heme
kemudian memasuki depot besi yang juga dapat dipakai kembali. Sedangkan porfirinnya akan
dikatabolisme dan menghasikan bilirubin.
Proses pertama dari katabolisme heme dilakukan oleh kompleks enzim heme oksigenase.
Pada saat mencapai heme oksigenase besi umumnya sudah teroksidasi menjadi bentuk feri
membentuk hemin. Hemin kemudian direduksi dengan NADPH, besi feri dirubah kembali menjadi
fero. Dengan bantuan NADPH kembali, oksigen ditambahkan pada jembatan a metenil (antara
cincin pirol I dan II) membentuk gugus hidroksil, besi fero teroksidasi kembali menjadi feri.
Heme oksigenase dapat diinduksi oleh substrat. Selanjutnya, dengan penambahan oksigen lagi
ion feri dibebaskan serta terbentuk karbon monoksida dan biliverdin IXa yang berwarna hijau.
Pada reaksi ini heme bertindak sebagai katalisator. Pada burung dan amfibia, diekskresi
biliverdin IXa. Sedangkan pada mamalia, dengan bantuan enzim biliverdin reduktase, terjadi
reduksi jembatan metenil antara cincin pirol III dan IV menjadi gugus metilen, membentuk
bilirubin IXa yang berwarna kuning. Satu gram hemoglobin diperkirakan menghasilkan 35 mg
bilirubin. Perubahan heme menjadi bilirubin secara in vivo dapat diamati pada warna ungu
hematom yang perlahan-lahan beirubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning.
Metabolisme Bilirubin di Hati
Metabolisme bilirubin dalam hati dibagi menjadi 3 proses:
1. Pengambilan (uptake) bilirubin oleh sel hati
2. Konjugasi bilirubin
3. Sekresi bilirubin ke dalam empedu
Pengambilan Bilirubin oleh HatiBilirubin hanya sedikit larut dalam plasma dan terikat dengan
protein, terutama albumin. Beberapa senyawa seperti antibiotika dan obat-obatan bersaing
dengan bilirubin untuk mengadakan ikatan dengan albumin. Sehingga, dapat mempunyai pengaruh
klinis. Dalam hati, bilirubin dilepaskan dari albumin dan diambil pada permukaan sinusoid dari
hepatosit melalui suatu sistem transport berfasilitas (carrier-mediated saturable system) yang
saturasinya sangat besar. Sehingga, dalam keadaan patologis pun transport tersebut tidak
dipengaruhi. Kemungkinan pada tahap ini bukan merupakan proses rate limiting.
Konjugasi Bilirubin
Dalam hati, bilirubin mengalami konjugsi menjadi bentuk yang lebih polar sehingga lebih mudah
diekskresi ke dalam empedu dengan penambahan 2 molekul asam glukoronat. Proses ini
dikatalisis oleh enzim diglukoronil transferase dan menghasilkan bilirubin diglukoronida. Enzim
tersebut terutama terletak dalam retikulum endoplasma halus dan menggunakan UDP-asam
glukoronat sebagai donor glukoronil. Aktivitas UDP-glukoronil transferase dapat diinduksi oleh
sejumlah obat misalnya fenobarbital.
Sekresi Bilirubin yang sudah terkonjugasi akan disekresi kedalam empedu melalui mekanisme
pangangkutan yang aktif dan mungkin bertindak sebagai rate limiting enzyme metabolisme
bilirubin. Sekeresi bilirubin juga dapat diinduksi dengan obat-obatan yang dapat menginduksi
konjugasi bilirubin. Sistem konjugasi dan sekresi bilirubin berlaku sebagai unit fungsional yang
terkoordinasi.
Metabolisme Bilirubin di Usus
Setelah mencapai ileum terminalis dan usus besar bilirubin terkonjugasi akan dilepaskan
glukoronidanya oleh enzim bakteri yang spesifik (b-glukoronidase). Dengan bantuan flora usus
bilirubin selanjutnya dirubah menjadi urobilinogen.
Urobilinogen tidak berwarna, sebagian kecil akan diabsorpsi dan diekskresikan kembali lewat
hati, mengalami siklus urobilinogen enterohepatik. Sebagian besar urobilinogen dirubah oleh
flora normal colon menjadi urobilin atau sterkobilin yang berwarna kuning dan diekskresikan
melalui feces. Warna feces yang berubah menjaadi lebih gelap ketika dibiarkan udara
disebabkan oksidasi urobilinogen yang tersisa menjadi urobilin
LI 3 MM ANEMIA
1. DEFINISI
Anemia berarti penurunan jumlah massa eritrosit(red cell mass) sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup (IPD, 2006)
Etiologi
1 Karena cacat sel darah merah (SDM)
Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap
komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah bagi SDM
sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan cepat
mengalami penuaan dan segera dihancurkan.
Pada umumnya cacat yang dialami SDM menyangkut senyawa-senyawa protein yang
menyusunnya. Oleh karena kelainan ini menyangkut protein, sedangkan sintesis protein
dikendalikan oleh gen di DNA.
2 Karena kekurangan zat gizi
Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor luar
tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam SDM
disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut. Anemia jenis ini tidak dapat
diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya memperpanjang usia SDM sehingga mendekati
umur yang seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya mengurangi
penyulit yang terjadi.
3 Karena perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya
jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar dan
dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi karena
kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha
akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin mengembalikan jumlah
darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.
4.
Karena otoimun
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan menghancurkan
bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini sebanarnya tidak
seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi terhadap SDM, umur SDM
akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh sistem imun. 1.
Anemia akibat kehilangan darah
Setelah mengalami perdarahan tubuh mengganti cairan plasma dengan cepat 1 hingga 3
hari, yang menyebabkan konsenrasi sel darah merah menjadi rendah.
Bila tidak terjadi perdarahan berikutnya kondisi konsentrasi sel darah merah akan kembali
ke dalan jumlah normal 3 hingga 6 minggu.
Anemia aplastic
Aplasia sumsum tulang berarti tidak berfungsinya sumsum tulang, sehingga pembentukan
sel darah merah terganggu.
Penyebab terjadinya aplasia adalah adanya paparan sinar-x secara berlebihan, zat kimia
tertentu pada industry, bahkan obat obatan pada pasien yang sensitif
Anemia megaloblastik
Anemia hemolitik
Berbagai kelainan sel darah merah kebanyakan di dapat secara keturunan. Sel-sel tersebut
bersifat rapuh, sehingga mudah pecah sewaktu melewati kapiler, terutama sewaktu
melalui limpa. Walaupun sel darah merah yang terbentuk jumlahnya dapat mencapai
normal, atau bahkan lebih besar dari normal pada penyakit-penyakit hemolitik, masa
hidup sel darah merah sangat singkat sehingga sel ini di hancurkan lebih cepat di
bandingkan pembentukannya sehingga mengakibatkan anemia yang parah
2. KLASIFIKASI
A. Berdasarkan Etiologi
1. Kehilangan darah (akut, kronis)
2. Gangguan pembentukan eritrosit
- Insuficient eritropoiesis (eritropoiesis tidak cukup)
- Ineffective eritropoiesis (eritropoiesis tidak efektif)
Klasifikasi anemia
Kadar
MCV
MCH
Jenis
penyakit
Mikrositer
hipokrom
< 80 fl
< 27 pg
1. Anemia
defisiensi besi
2. Thalasemia
3. Anemia
penyakit
kronik
4. Anemia
sideroblastik
Normositer normokrom
Makrositer
80 95 fl
27 34 pg
1. Anemia
pasca
perdarahan
2. Anemia aplastik
hipoplastik
3. Anemia hemolitik
4. Anemia
penyakit
kronik
5. Anemia mieloptisik
6. Anemia gagal ginjal
7. Anemia mielofibrosis
8. Anemia
sindrom
> 95 fl
Megaloblastik
1. Anemia defisiensi folat
2. Anemia defisiensi vit
B12
Nonmegaloblastik
a) Anemia penyakit
hati kronik
b) Anemia hipotiroid
mielodisplastik
9. Anemia leukimia akut
c) Anemia sindroma
mielodisplastik
3. ETIOLOGI
Etiologi
1.
Karena cacat sel darah merah (SDM)
Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali.
Tiap-tiap komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan
menimbulkan masalah bagi SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi
sebagai mana mestinya dan dengan cepat mengalami penuaan dan segera
dihancurkan.
Pada umumnya cacat yang dialami SDM menyangkut senyawa-senyawa
protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini menyangkut protein,
sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA.
2.
Karena kekurangan zat gizi
Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor
luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan
dalam SDM disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut.
Anemia jenis ini tidak dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya
memperpanjang usia SDM sehingga mendekati umur yang seharusnya,
mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya mengurangi penyulit yang
terjadi.
3.
Karena perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan
kurangnya jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena
perdarahan besar dan dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi.
Keadaan ini biasanya terjadi karena kecelakaan dan bahaya yang
diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha akan dilakukan
untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin mengembalikan jumlah
darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.
4.
Karena otoimun
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan
menghancurkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan.
Keadaan ini sebanarnya tidak seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal
tersebut terjadi terhadap SDM, umur SDM akan memendek karena dengan
cepat dihancurkan oleh sistem imun. 1.
Anemia akibat kehilangan darah
Manifestasi Klinis
Gejala anemia sangat bervariasi, tetapi pada umumnya dapat dibagi menjadi 3 golongan besar,
yaitu:
1. Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, atau anemic syndrome. Gejala umum anemia
adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun
di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi
tubuh terhadap penurunan hemoglobin.
Gejala-gejala tersebut jika diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah sebagai
berikut:
a)
System kardiovaskular : lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak nafas,
angina pectoris dan gagaljantung
b)
System saraf : sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunangkunang, kelemahan otot, iritabel.
c)
Sistem urogenital : gangguan hadidan libido menurun
d)
Epitel : pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis
dan halus
2. Gejala khas masing-masing anemia
1
2
3
4
Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang mengandung
besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang.
Kekurangan besi dapat disebabkan:
Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa
remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden ADB
meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan massa
hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir. Bayi
premature dengan pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat badannya
dapat mencapai 6 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3 kali
dibanding saat lahir.
Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada perempuan adalah kehilangan
darah lewat menstruasi.
Kurangnya besi yang diserap
a.
Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat
b.
Malabsorpsi besi
Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya
mengalami perubahan secara histology dan fungsional. Pada orang yang telah
mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita
mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah
asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat
utama penyerapan besi heme dan non heme
Perdarahan
Merupakan penyebab penting terjadinya ADB. Kehilangan darah akan
mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan
mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga kehilangan darah 3-4 ml/ hari (1,52 mg besi) dapat mengakibatkan keseimbangan negative besi.
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced enteropathy, ulkus
peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin, obat
anti inflamasi non steroid) dan infestasi cacing (Ancylostoma duodenale dan Necaor
americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan menghisap darah dari
pembuluh darah submukosa usus.
Transfuse feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pada
akhir masa fetus dan pada awal masa neonates.
Hemoglobinuria
Dijumpai pada anak yang memakai katup jantung buatan. Pada Paroxismal Nocturnal
Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melalui urin rata-rata 1,8-7,8 mg/hari.
Iatrogenic blood loss
Pada saat pengambilan darah vena (yang banyak) untuk pemeriksaan laboratorium.
Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Jarang terjadi. Ditandai dengan perdarahan paru yang hebat dan berulang serta
adanya infiltrate pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan
kadar Hb menurun drastic hingga 1,5-3g/dl dalam 24 jam.
Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolahraga berat, sekitar 40% remaja perempuan dan 17% remaja
laki-laki kadar feritin serumnya < 10ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak
tampak sebagai akibat iskemia yang hilang timbul pada usus selama latihan berat
terjadi pada 50% pelari.
Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang berasal dari :
Saluran cerna: kanker lambung, kanker colon, infeksi cacing tambang
Saluran genital: menorhagia / metiorhagia
Saluran kemih: hematuria
Saluran nafas: hemoptoe
Faktor nutrisi: kurangnya jumlah besi di makanan / kualitas besi
Kebutuhan besi meningkat: anak pada pertumbuhan, kehamilan, dan prematuritas
Gangguan absorbsi besi: gastroektomi, tropical sprue / kolitis kronis
3. PATOGENESIS
Ditandai dengan berkurangnya atau tidak adanya cadanagn besi, hemoglobin dan
fungsi protein besi normal. Terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin
serum menurun sedangkan pemeriksaan terlihat normal.
2. Tahap kedua (iron deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis)
Supply besi yang tidak memadai untuk eritropoiesis, dari hasil laboratorium
diperoleh nilai serum dab saturasi transferin turun sedangkan total iron binding
capacity (TIBC) dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
3. Tahap ketiga (iron deficiency anemia)
Terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan
mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini terjadi perubahan epitel
terutama pada ADB lanjut.
4. MENIFESTASI KLINIS
Pada anemia defisiensi besi biasanya penurunan hemoglobinnya terjadi
perlahan-lahan dengan demikian memungkinkan terjadinya kompensasi dari
tubuh, sehingga gejala aneminya tidak terlalu tampak atau dirasa oleh
penderita.
Gejala klinis dari anemia defisiensi besi dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1.
Gejala umum dari anemia, yang sering disebut sebagai sindroma
anemia yaitu merupakan kumpulan dari gejala anemia, dimana hal ini akan
tampak jelas jika Hb di bawah 7-8 gr/dl dengan tanda-tanda kelemahan
tubuh, lesu, mudah lelah, pucat, pusing, palpitsai, penurunan daya
konsentrasi, sulit nafas saat latihan fisik, mata berkunang-kunang, telinga
mendenging, letargi, menurun daya tahan tubuh, dan keringat dingin.
2.
Gejala anemia defisiensi besi:
a.
Kolonychia/ kuku sendok: kuku berubah jadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan jadi cekung sehingga mirip sendok.
b.
Angular cheilosis: permukaan lidah tampak licin dan mengkilap
disebabkan karena hilangnya papil lidah
c.
Stomatitis angularis: inflamasi sekitar sudut mulut
d.
Glositis
e.
Pica: keinginan makan yang tidak biasa
f.
Disfagia: nyeri telan yang disebabkan pharyngeal web
g.
Atrofi mukosa gaster
h.
Sindroma plummer vinson/paterson kelly: kumpulan gejala atrofi papil
lidah dan disfagia
3.
Gejala yang ditimbulkan dari penyakit yang mendasari terjadinya
anemia defisiensi besi, misalnya infeksi cacing tambang maka akan dijumpai
dispepsia, tangan warna kuning. Jika karena pendarahan kronis karena
metastase karsinoma tergantung lokasi metastasenya.
5. DIAGNOSA & DIAGNOSIS BANDING
1. Diagnosis
Anamnesis
Penting pada anamnesis untuk menanyakan hal- hal yang mengindikasikan adanya kausa
-
Pemeriksaan laboratorium
Tahapan dasar Diagnosis Anemia:
1.Pemeriksaan Darah Tepi Lengkap
N: kadar feritin serum: wanita 14-148 g/L dan pria 40-340 g/L. Kadar feritin
serum < 10g/L menunjukkan cadangan besi tubuh berkurang.
Eritrosit
Trombosit
Leukosit
4. Pemeriksaan khusus untuk mencari etiologi: misalnya analisa makanan, tumor marker,
pemeriksaan tinja untuk mencari darah samar dan parasit, serta pemeriksaan terhadap
adanya hemoglobinuria dan hemosiderinuria.
(Lee GR, Iron Deficiency and Iron-Deficiency Anemia. In: Lee GR et al. (eds). Wintrobes clinical
hematology. Philadelphia : Lee&Febiger. 1999: 979-1010)
Nilai batas ambang (cut off point) anemia di Indonesia menurut Departemen Kesehatan
sebagai berikut :
: 16,5 g/dL
: 11,5 g/dL
: 12,0 g/dL
: 13,0 g/dL
: 14,0 g/dL
: 15,5 g/dL
: 11 g/dL
: 12 g/dL
: 11 g/dL
: 12 g/dL
: 12 g/dL
: 13 g/dL
Jenis
Nilai
Pemeriksaan
Hemoglobin
MCV
MCH
Morfologi
Ferritin
kelamin pasien
Menurun (anemia mikrositik)
Menurun (anemia hipokrom)
Terkadang dapat ditemukan ring cell atau pencil cell
Ferritin mengikat Fe bebas dan berkamulasi dalam sistem RE sehingga
kadar Ferritin secara tidak langsung menggambarkan konsentrasi kadar Fe.
Standar kadar normal ferritin pada tiap center kesehatan berbeda-beda.
Kadar ferritin serum normal tidak menyingkirkan kemungkinan defisiensi
besi namun kadar ferritin >100 mg/L memastikan tidak adanya anemia
TIBC
defisiensi besi
Total Iron Binding Capacity biasanya akan meningkat >350 mg/L (normal:
Saturasi
300-360 mg/L )
Saturasi transferin bisanya menurun <18% (normal: 25-50%)
transferrin
Pulasan
sel Dapat ditemukan hyperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan
sumsum tulang
Pemeriksaan
penyait dasar
Jika
dilihat
dari
beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi enjadi 3 tingkatan, yaitu
:
Deplesi besi adalah penurunan cadangan besi tanpa diikuti penurunan kadar besi
serum. Deteksi dari tingkatan ini adalah dengan menggunakan teknik biopsi atau
dengan pengukuran ferritin. Karena absorpsi besi berbanding terbalik dengan
cadangan besi, maka terjadi peningkatan absorpsi besi pada fase ini.
Eritropoiesis defisiensi besi dikatakan ada ketika cadangan besi habis namun
kadar hemoglobin dalam darah masih dalam batas bawah normal. Dalam fase
ini, beberapa abnormalitas dalam pemeriksaan laboratorium dapat dideteksi,
terutama menurunnya saturasi transferrin serta meningkatnya total iron-binding
capacity. Meningkatnya protoporfirin eritrosit bebas dapat dilihat di pertengahan
dan akhir dari fase ini. Mean corpuscular volume (MCV) biasanya masih dalam
batas normal walaupun sudah terlihat beberapa mikrosit pada hapusan darah.
Ketika konsentrasi hemoglobin menurun hingga di bawah batas normal, anemia
defisiensi besi terjadi. Pada fase ini, kadar enzim yang mengandung besi seperti
MCV
MCH
Anemia
Anemia
defisiensi besi
panyakit
sideroblastik
Menurun
Menurun
kronik
Menurun / N
Menurun / N
Menurun
Menurun
Menurun / N
Menurun / N
Besi serum
TIBC
Menurun
Meningkat
Negatif
Menurun
Menurun
Normal
Normal
Positif
Meningkat
Positif kuat
Normal
/ Normal
Meningkat
Positif dengan
ring
Protoporfirin
Meningkat
Meningkat
Normal
sideroblastik
Normal
eritrosit
Elektroforesis Hb
Normal
Normal
Hb.A2
Normal
meningkat
6. TATALAKSANA
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy) :
a
Terapi besi oral
Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphate
Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg.
Preparat lain : ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, ferrous
succinate.
b
Terapi besi parenteral, sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih besar
dan harganya lebih mahal hanya dipakai pada indikasi tertentu, seperti:
Pengobatan lain
a Diet tinggi protein terutama berasal dari protein hewani.
b Vitamin C, untuk meningkatkan absorposi besi
c Transfusi darah, ADB jarang memerlukan transfusi darah. Diberikan hanya
pada keadaan anemia yang sangat berat atau disertai infeksi yang dapat
mempengaruhi respons terapi
7. KOMPLIKASI
Gangguan jantung yang pada awalnya hanya berdebar, lama-lama
jantung bisa membesar. Jantung yang membesar lama-lama terganggu
fungsinya, sehingga terjadilah gagal jantung.
Gangguan kehamilan, kemungkinan tinggi terjadi lahir prematur &
berat lahir rendah.
Gangguan pertumbuhan & mudah kena infeksi, bila terjadi pada anak.
Cepat lelah, pucat, lemas, nafas cepat, sakit kepala, pusing atau
pening.
Telapak kaki tangan dingin, sering sariawan, detak jantung cepat dan
dada berdebar.
8. PROGNOSIS
Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan
memberikan respon baik bila retikulosit naik pada minggu pertama,
mencapai puncak pada hari ke 10 dan normal lagi setelah hari ke 14 di ikuti
kenaikan Hb 0,15 g/hari atau 2 g/dl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi
normal setelah 4-10 minggu.
Daftar Pustaka
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3 Revisi. Jakarta: EGC
Dorland, W. A. Newman. (2002). Kamus Kedokteran Dorland. EGC 29.
Hoffbrand, A. V., Moss, P. A. H. 2013. Kapita Selekta Hematologi Edisi 6. Jakarta: EGC
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC
www.kamuskesehatan.com/arti/eritrosit/ diakses pada 21 Oktober 2014
www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20481/4/Chapter%20II.pdf
Oktober 2015
diakses
pada
22
www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21579/4/Chapter%20II.pdf
Oktober 2015
diakses
pada
22