Zaki Luthfi
NIM : 04011181722030
Proses eritropoiesis diatur oleh glikoprotein bernama eritropoietin yang diproduksi ginjal
(85%) dan hati (15%). Pada janin dan neonatus pembentukan eritropoietin berpusat pada hati
sebelum diambil alih oleh ginjal (Ganong, 1999). Eritropoietin bersirkulasi di darah dan
menunjukkan peningkatan menetap pada penderita anemia, regulasi kadar eritropoietin ini
berhubungan eksklusif dengan keadaan hipoksia. Sistem regulasi ini berkaitan erat dengan faktor
transkripsi yang dinamai hypoxia induced factor-1 (HIF-1) yang berkaitan dengan proses
aktivasi transkripsi gen eritropoeitin. HIF-1 termasuk dalam sistem detektor kadar oksigen yang
tersebar luas di tubuh dengan efek relatif luas (cth: vasculogenesis, meningkatkan reuptake
glukosa, dll), namun perannya dalam regulasi eritropoiesis hanya ditemui pada ginjal dan hati
(Williams, 2007). Eritropoeitin ini dibentuk oleh sel-sel endotel peritubulus di korteks ginjal,
sedangkan pada hati hormon ini diproduksi sel Kupffer dan hepatosit. Selain keadaan hipoksia
beberapa zat yang dapat merangsang eritropoiesis adalah garam-garam kobalt, androgen,
adenosin dan katekolamin melalui sistem β-adrenergik. Namun perangsangannya relatif singkat
dan tidak signifikan dibandingkan keadaan hipoksia (Harper,2003).
Eritropoietin yang meningkat dalam darah akan mengikuti sirkulasi sampai bertemu
dengan reseptornya pada sel hematopoietik yaitu sel bakal/stem cell beserta turunannya dalam
jalur eritropoiesis. Ikatan eritropoietin dengan reseptornya ini menimbulkan beberapa efek
seperti :
a. Stimulasi pembelahan sel eritroid (prekursor eritrosit).
b. Memicu ekspresi protein spesifik eritroid yang akan menginduksi diferensiasi sel-sel
eritroid.
c. Menghambat apoptosis sel progenitor eritroid.
Eritropoietin bersama-sama dengan stem cell factor, interleukin-3, interleukin-11, granulocyte-
macrophage colony stimulating factor dan trombopoietin akan mempercepat proses maturasi
stem cell eritroid menjadi eritrosit (Hoffman,2005). Secara umum proses pematangan eritosit
dijabarkan sebagai berikut :
1. Stem cell : eritrosit berasal dari sel induk pluripoten yang dapat memperbaharui diri
dan berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit, monosit dan megakariosit (bakal
platelet).
2. BFU-E : burst-forming unit eritroid, merupakan prekursor imatur eritroid yang lebih
fleksibel dalam ekspresi genetiknya menjadi eritrosit dewasa maupun fetus.
Sensitivitas terhadap eritropoeitin masih relatif rendah.
3. CFU-E : colony-forming unit eritroid, merupakan prekursor eritroid yang lebih matur
dan lebih terfiksasi pada salah satu jenis eritrosit (bergantung pada subunit
hemoglobinnya.
4. Proeritroblast, eritroblast dan normoblast : progenitor eritrosit ini secara morfologis
lebih mudah dibedakan dibanding sel prekursornya, masih memiliki inti, bertambah
banyak melalui pembelahan sel dan ukurannya mengecil secara progresif seiring
dengan penambahan hemoglobin dalam sel tersebut.
5. Retikulosit : eritrosit imatur yang masih memiliki sedikit sisa nukleus dalam bentuk
poliribosom yang aktif mentranslasi mRNA, komponen membran sisa dari sel
prekursornya, dan hanya sebagian enzim, protein serta fosfolipid yang diperlukan sel
selama masa hidupnya. Selelah proses enukleasi, retikulosit akan memasuki sirkulasi
dan menghabiskan sebagian waktu dalam 24 jam pertamanya di limpa untuk
mengalami proses maturasi dimana terjadi remodeling membran, penghilangan sisa
nukleus, dan penambahan serta pengurangan protein, enzim, dan fosfolipid. Setelah
proses ini barulah eritrosit mencapai ukuran dan fungsi optimalnya dan menjadi
matur (Munker, 2006).
Hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin yang membentuk struktur
tetramer. Sintesis globin terjadi seperti protein pada umumnya, mRNA dari intisel akan
ditranslasi ribosom untuk merakit rantai asam amino untuk membentuk globin. Di sisi lain proses
pembentukan heme relatif lebih kompleks, bahan dasar heme adalah asam amino glisin dan
suksinil-KoA, hasil dari siklus asam sitrat. Pada awalnya proses ini terjadi di dalam mitokondria,
kemudian setelah terbentuk δ-aminolevulinat (ALA) reaksi terjadi di sitoplasma sampai
terbentuk coproporhyrinogen III, kemudian substrat akan masuk kembali kedalam mitokondria
untuk menyelesaikan serangkaian reaksi pembentukan heme yaitu penambahan besi ferro ke
cincin protoporphyrin. Proses pembentukan heme dapat dilihat di gambar 2.2. dan gambar 2.3.
(Harper, 2003).
Gambar 3. Sintesis pembentukan heme
Sintesis heme terjadi hampir pada semua sel mamalia dengan pengecualian eritrosit matur yang
tidak memiliki mitokondria, namun hampir 85% heme dihasilkan oleh sel prekursor eritroid pada
sumsum tulang dan hepatosit. Regulasi sintesis heme terjadi melalui mekanisme umpan balik
oleh enzim δ-aminolevulinat sintase (ALAS), ALAS tipe 1 ditemukan pada hati sedangkan
ALAS tipe 2 ditemukan pada sel eritroid. Heme tampaknya bekerja melalui molekul aporepresor
bekerja sebagai regulator negatif terhadap sintesis ALAS1, pada percobaan tampak bahwa
sintesis ALAS1 tinggi saat kadar heme rendah dan hampir tidak terjadi saat kadar heme tinggi.
Selain sintesis hemoglobin, heme juga dibutuhkan enzim hati sitokrom P450 untuk
memetabolisme zat lain, keadaan ini dapat meningkatkan kerja ALAS1 (Harper, 2003) Seiring
dengan berjalannya waktu, eritrosit yang sudah tua, akan dihancurkan oleh sistem
retikuloendothelial (hati, limpa, sumsum tulang). Protein yang dihasilkan akan dipecah menjadi
asam amino yang dapat dipergunakan lagi. Sedangkan bagian heme dari Hb dipecah menjadi Fe
dan biliverdin, yang nantinya diekskresikan melalui saluran empedu sebagai bilirubin
HEMATOPOESIS
c. FAKTOR RESIKO
1. Genetik Studi menemukan bahwa lupus dapat dikaitkan dengan defisiensi gen HLA-DR2, HLA-DR3
atau komplemen C4. Anggota keluarga pasien SLE memiliki kesempatan lebih tinggi untuk
mendapatkan penyakit ini.
2. Estrogen:Lupus berhubungan erat dengan estrogen, seperti yang sering terjadi pada wanita usia
reproduksi. Kehamilan dan konsumsi pil kontrasepsi yang mengandung estrogen dapat menyebabkan
penyakit ini memburuk. Banyak pasien pasca menopause akan menemukan gejala mereka mereda
tanpa memerlukan pengobatan lebih lanjut.
3. Suku bangsa: SLE lebih umum terjadi pada orang-orang Asia dan Afrika daripada orang Kaukasia.
4. Ultraviolet Ray: Berjemur bisa menyebabkan SLE. Sementara penyebabnya masih belum jelas, ada
kemungkinan protein yang dihasilkan oleh sel kulit pada paparan sinar ultraviolet mengganggu
sistem kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan peradangan.
5. Pengobatan: Konsumsi obat-obatan tertentu yang berkepanjangan, termasuk obat anti-hipertensi
seperti hydralazine,obat-obatan mental seperti obat chlorpromazine atau anti-tuberkulosis dapat
menyebabkan lupus. Namun, lupus yang diinduksi obat jarang terjadi.
6. Faktor lainnya: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi virus atau bakteri, kontak dengan
bahan kimia dan merokok juga dapat menyebabkan lupus.
Imunopatogenesis
SLE adalah penyakit kronis yang mempengaruhi berbagai sistem organ, terutama sebagai
konsekuensi dari pembentukan dan pengendapan autoantibodi dan kompleks imun, yang
akhirnya menyebabkan kerusakan organ. Sel B yang hiperaktif, yang dihasilkan dari stimulasi
sel-T dan antigen, meningkatkan produksi antibodi terhadap antigen yang terpapar pada
permukaan sel apoptosis.
Antigen yang menyebabkan stimulasi sel T dan sel B pada pasien SLE dapat dikaitkan
dengan pembuangan sel apoptosis yang tidak tepat. Selama proses kematian sel, potongan bahan
seluler terbentuk pada permukaan sel. Antigen yang biasanya tidak ada di permukaan bahan
seluler, tetapi tertanam di dalamnya, kini terdapat pada permukaan sel.
Nukleosom dan fosfolipid anion adalah contohnya antigen yang telah diidentifikasi pada
pasien dengan SLE, dan mereka berpotensi memicu respons imun. Diyakini bahwa
pengangkatan sel-sel apoptosis ini terganggu karena gangguan fungsi fagositik sel, menghasilkan
pembuangan sel yang sekarat dan pengenalan antigen pada pasien SLE secara suboptimal.
Abnormalitas Imunologi pada SLE. Penelitian telah mengungkapkan beberapa unsur sistem imun
bawaan dan adaptif pada patogenesis SLE.
1. Interferon tipe I. Sel-sel darah menunjukkan jejak molekuler yang kuat yang menyertai pemajanan
terhadap interferon-α (IFN-α), interferon tipe I yang dihasilkan terutama oleh sel dendrit
plasmasitoid. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sel semacam itu pada penderita SLE
juga menghasilkan IFN-α dalam jumlah yang sangat besar.
2. Isyarat TLR. Penelitian pada model binatang telah menunjukkan bahwa TLR yang mengenal DNA
dan RNA, khususnya TLR9 yang mengenal DNA dan TLR7 yang mengenal RNA, menghasilkan
isyarat yang mengaktifkan sel B yang khas untuk antigen diri jenis inti sel.
3. Kegagalan toleransi sel B. Penelitian terhadap sel B yang berasal dari penderita SLE mengesankan
adanya cacat baik toleransi sentral maupun perifer, yang menghasilkan frekuensi sel B autoreaktif
yang lebih tinggi daripada orang sehat.
Berdasarkan kenyataan ini, suatu model patogenesis SLE diusulkan. Menurut model ini, sinar UV
dan rangsangan lingkungan lain menyebabkan apoptosis sel. Pembersihan sisa inti sel yang tidak
adekuat, sebagian karena cacat mekanisme pembersihan seperti peranan protein dan reseptor,
menghasilkan penumpukan antigen inti sel. Polimorfisme pada berbagai gen, yang merupakan
gen kepekaan penyakit lupus, menyebabkan cacat kemampuan mempertahankan toleransi diri
pada limfosit B dan T, sehingga limfosit yang reaktif diri tetap berfungsi. Sel B yang reaktif diri
dirangsang oleh antigen diri jenis inti sel, dan antibodi diproduksi terhadap antigen inti sel.
Kompleks antara antigen dan antibodi berikatan dengan reseptor Fc pada sel sel B dan sel dendrit
dan mungkin mengalami internalisasi. Unsur asam nukleat bergabung dengan TLR dan sel
dendrit, terutama sel dendrit
plasmasitoid, untuk memproduksi
IFN-α, yang kemudian
meningkatkan reaksi imun dan
apotosis. Hasil akhir adalah
lingkaran reaksi pelepasan antigen
dan aktivasi reaksi imun yang
menghasilkan pembentukan
autoantibodi berafinitas tinggi.
Mekanisme jejas jaringan
Apabila urutan yang tepat tentang pembentukan autoantibodi tidak diperhatikan, tampaknya autoantibodi
merupakan mediator dari jejas jaringan, mungkin melalui berbagai mekanisme.
1. Sebagian kerusakan organ pada SLE disebabkan oleh endapan imun. Biopsi kulit dan ginjal dari
penderita SLE secara khas menunjukkan endapan komplemen dan imunoglobulin yang bersifat difus
dan bercak granuler yang tebal. Autoantibodi yang berikatan dengan DNA juga dapat ditemukan.
Endapan kompleks imun ini dianggap menyebabkan kerusakan jaringan melalui aktivasi jalur
komplemen yang klasik (hipersensitivitas tipe III); 75% penderita akan mengalami penurunan kadar
C3 dan C4 pada masa aktif SLE, dianggap karena komplemen diaktivasi dan digunakan dalam
jumlah lebih cepat dari pada yang diproduksi. Walaupun demikian, manusia atau binatang dengan
defisiensi Clq tidak terlindung dari SLE dan sesungguhnya dapat menderita SLE secara spontan, hal
ini menunjukkan bahwa mekanisme yang tidak bergantung kepada komplemen juga berperan pada
kerusakan jaringan.
2. Autoantibodi dengan berbagai spesifisitas berperan pada perubahan patologi dan manifestasi klinis
SLE (hipersensitivitas tipe II). Autoantibodi terhadap sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit melapisi (opsonisasi) sel-sel tersebut dan mereka mengalami fagositosis, menghasilkan
sitopeni. Autoantibodi terhadap berbagai fosfolipid menyebabkan peningkatan trombosis pada
penderita, dengan berbagai konsekuensi klinis, termasuk abortus spontan yang berulang dan episode
trombosis. Kelainan-kelainan ini merupakan bagian dari sindrom antifosfolipid. Secara paradoks,
antibodi tersebut memengaruhi uji pembekuan dan sebenarnya disebut "antikoagulan lupus".
Autoantibodi juga ditujukan terhadap faktor pembekuan seperti trombin, dan ini juga menyebabkan
kelainan pembekuan. Autoantibodi terhadap reseptor sistem saraf pusat untuk berbagai
neurotransmitor juga diungkapkan pada komplikasi neuropsikiatrik dari penyakit.
3. Tidak ada bukti bahwa ANA dapat menerobos ke dalam sel. Walaupun demikian, apabila inti sel
terpajan, ANA dapat berikatan dengan inti sel. Jaringan, nukleus dari sel yang rusak bereaksi dengan
ANA, kehilangan pola kromatin, dan menjadi homogen, menghasilkan apa yang disebut jisim LE
atau jisim hematoksilin. Bentuk in vitro dari kelainan ini adalah sel LE, suatu neutrofil atau makrofag
yang telah memangsa nukleus yang mengalami denaturasi dari sel lain yang cedera. Apabila darah
diambil dan diagitasi sejumlah leukosit cukup rusak dan memajankan intinya kepada ANA, disertai
aktivasi komplemen sekunder; inti sel yang telah mengalami opsonisasi oleh antibodi dan
komplemen ini siap untuk mengalami fagositosis. Walaupun sel LE dapat ditemukan pada 70%
penderita, sekarang hanya menjadi perhatian historik.
d. KLASIFIKASI
1. Lupus Eritematosus Sistemik (systemic lupus erythemato sus/SLE)
Paling sering dirujuk masyarakat umum sebagai penyakit Lupus.
SLE dapat menyerang jaringan serta organ tubuh mana saja dengan tingkat gejala yang
ringan sampai parah. Gejala SLE dapat datang dengan tiba-tiba atau berkembang secara
perlahan-lahan atau dapat bertahan lama atau bersifat lebih sementara sebelum akhirnya
kambuh lagi.
Banyak yang hanya merasakan beberapa gejala ringan untuk waktu lama atau bahkan tidak
sama sekali sebelum tiba-tiba mengalami serangan yang parah. Gejala-gejala ringan SLE,
terutama rasa nyeri dan lelah berkepanjangan, dapat menghambat rutinitas kehidupan.
Karena itu para penderita SLE bisa merasa tertekan, depresi, dan cemas meski hanya
mengalami gejala ringan.
SLE belum dapat disembuhkan. Tujuan pengobatannya adalah untuk mendapatkan remisi
panjang. mengurangi tingkat gejala serta mencegah kerusakan organ pada penderita SLE
serta meningkatnya kesintasan.
2. Lupus Eritematosus kutaneus (cutaneous lupuserythematosus/CLE)
Dapat dikenali.dari ruam yang muncul pada kulit dengan berbagai tampilan klinis. Pada
Lupus jenis ini dapat didiagnosis dengan mengenali gambaran klinis dan beberapa
pengujian diantaranya melalui biopsi pada ruam.
Pada gambaran biopsi akan terlihat adanya infiltrasi sel inflamasi dan endapan kompleks
imun pada batas dermo epidermal yang dikenal dengan Lupus Band.
3. Lupus Imbas Obat
Efek sanmping obat berbeda-beda pada tiap orang. Terdapat lebih dari 100 jenis obat yang
dapat menyebabkan efek sampingyang mirip dengan gejala Lupus pada orang-orang
tertentu.
Gejala Lupus akibat obat umumnya akan hilang jika berhenti mengonsumsi obat tersebut
sehingga tidak perlu menjalani perngobatan khusus. Tetapi perlu diperhatikan untuk tidak
lupa berkonsultasi kepada dokter sebelum memutuskan berhenti nmengonsumsi obat
dengan resep dokter.
4. Sindroma Overlap, Undifferentiated Connective Tissue Disease (UCTD),dan Mixed Connective
Tissue Disease (MCTD)
Pada sebagian pasien LES ternyata ditemukan juga manifestasi klinis lain yang memenuhi
kriteria diagnostik penyakit autoimun lain seperti artritis reumatoid, skleroderma, atau
miositi.
e. MANIFESTASI KLINIS
Keadaan setiap pasien dengan sistemik lupus erythematosus bervariasi, dan organ-organ jaringan
yang terkena juga berbeda. Gejalanya bisa ringan atau serius, dan bisa akut atau lambat. Beberapa terjadi
dalam waktu singkat, namun beberapa mungkin bertahan. Gejalanya juga bergantung pada daerah lupus
eritematosus sistemik mana yang memengaruhi. Berikut ini adalah gejala umum:
Sebagian besar pasien akan menderita nyeri sendi dan bengkak, sehingga menyebabkan radang
sendi. Dalam banyak kasus, ini adalah gejala paling awal, dan sangat penting untuk diagnosis dini.
Sendi yang terkena mungkin termasuk jari tangan, pergelangan tangan, bahu, lutut dan sendi pinggul,
dll. Pasien akan merasa sakit parah pada persendian, sensitif dan bengkak. Sebagian besar kondisi
pasien membaik atau memburuk pada waktu, dan kekakuan pagi bisa terjadi, yang berarti sendi yang
terkena pada pasien mungkin menjadi kaku saat mereka bangun di pagi hari. Secara umum, arthritis
yang disebabkan oleh lupus jarang menyebabkan deformitas persendian.
2. Ruam:
a) Ruam di jembatan hidung dan kedua pipi. Sekitar 40% pasien memiliki gejala awal ruam di pipi
mereka, namun ada juga pasien yang mengalami ruam beberapa bulan atau bahkan beberapa
tahun setelah onset penyakit. Ruam terjadi di pipi pada awalnya, dan beberapa pasien
mengalami ruam yang menyebar ke jembatan hidung, sehingga membentuk ruam berbentuk
kupu-kupu yang khas (ruam malar).
b) Di bagian belakang tangan, di dada dan punggung, pada kulit kepala dan pipi, dan sebagainya,
muncullah ruam tipe disk biru ungu. Kondisi pasien dengan gejala ini relatif ringan, dan
kemungkinan organ lain yang terkena dampak rendah.
c) Eritematosa bersisik muncul pada kulit mirip dengan psoriasis. Lesi sistemik lain dari pasien
dengan penyakit ini tidak akan terlalu serius, dan jarang terjadi bahwa ginjal akan rusak.
d) Sangat sedikit pasien yang akan mengidap bulosa, dengan lecet pada kulit.
a) Fotosensitifitas terhadap sinar ultraviolet dan ruam kulit muncul setelah paparan sinar matahari
b) Kelelahan
c) Demam terus-menerus rendah dengan alasan yang tidak diketahui o Berat badan atau
keuntungan
e) Hilangnya Penglihatan
f) Jari-jari tangan atau kaki menjadi putih saat dingin atau tertekan, lalu berubah menjadi biru
ungu (fenomena Raynaud)
g) Sulit bernafas
h) Nyeri di dada
i) Mata Kering
j) Hematuria
l) Nervousness
n) Kram
Kriteria klasifikasi
Untuk mendiagnosis pada pasien yang menderita SLE, setidaknya ada empat kriteria dari
daftar kriteria klinis dan imunologis yang digabungkan, termasuk satu kriteria klinis dan satu
kriteria imunologis, sesuai dengan kriteria SLICC. Jika pasien memiliki lupus nephritis (LN)
yang terbukti biopsi dengan ANA positif dan anti-dsDNA, maka itu sudah cukup untuk
menyebutnya SLE. Persyaratan satu kriteria klinis dan satu kriteria imunologis adalah untuk
menghindari pasien tanpa gambaran klinis atau antibodi.
2. Tatalaksana farmakologi
Tabel 4.jenis dan dosis yang dapat digunakan pada SLE
KORTI KOSTEROI D
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Meski
dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan obat yang
banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga
bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah
standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.
Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai
sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE
yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti
pada vaskulitis luas, nefritis lupus, lupus serebral.
Efek Samping
Efek samping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu, dengan meminimalkan jumlah
KS, akan meminimalkan juga risiko efek samping.
HUBUNGAN ANEMIA HEMOLITIK DENGAN SLE
Patogenesis terjadinya AIHA pada pasien SLE belum sepenuhnya diketahui. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya keterkaitan dengan penurunan ekspresi gen CD55 dan CD59 pada eritrosit penderita
SLE yang akan memicu terjadinya AIHA. Protein membran ini merupakan suatu barier pertahanan untuk
melawan adanya mekanisme lisis yang berasal dari antibodi, sebagaimana penjelasan AIHA itu sendiri.
Jika barier ini tidak ada maka akan timbul penghancuran eritrosit secara progresif.
Mekanisme patogen untuk AHA di SLE melibatkan kerusakan eritrosit yang disebabkan oleh
antibodi, biasanya dimediasi oleh antibodi IgG tipe hangat. Antigen spesifik target antibodi anti-eritrosit
masih belum jelas. Sebuah glikoprotein transporter dari membran eritrosit, yaitu band 3 anion, telah
terlibat sebagai target yang mungkin Antibodi anti-band 3 juga ditemukan dalam keadaan sehat individu,
dan mungkin terlibat dalam pembersihan proses eritrosit tua, yang pada saat penuaan menghasilkan band
3 protein-derived neoantigens. Beberapa penulis punya menyarankan bahwa neoepitop antigenik, terkena
ini sel darah merah, mampu memicu peristiwa autohemolitik.
Hipotesis patogen lain yang sedang diselidiki adalah lisis seluler dengan aktivasi komplemen.
Hubungan antara AHA dan fitur klinis lainnya seperti keterlibatan ginjal dan manifestasi neuropsikiatri
SLE telah dilaporkan sebelumnya pada beberapa kohort pasien, termasuk hasil yang menunjukkan itu
kelompok pasien ini cenderung mengalami AHA yang lebih parah
DAFTAR PUSTAKA
Kumar, Vinay dkk. 2013. Buku Ajar Patologi Klinik Robbins. Philadelphia: Elseiver
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III.
Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing