MENCRET BERKEPANJANGAN
Seorang laki-laki, 25 tahun, mengeluh diare yang hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu,
disertai sering demam, sariawan, tidak nafsu makan, dan berat badan menurun sebanyak 10 kg
dalam waktu 3 bulan terakhir. Dari anamnesis didapatkan pasien.adalah anggota komunitas
gay.Pada pemeriksaan fisik pasien terlihat kaheksia, mukosa lidah kering dan terdapat bercakbercak putih. Pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan LED 50 mm/jam. Pemeriksaan
feses terdapat sel ragi. Pada pemeriksaan screening antibodi HIV didapatkan hasil (+) kemudian
dokter menganjurkan pemeriksaan konfirmasi HIV dan hitung jumlah limfosit T CD4 dan
CD8.Dari data tersebut dokter menyimpulkan bahwa penderita ini mengalami gangguan
defisiensi imun akibat terinfeksi virus HIV. Dokter menganjurkan pasien untuk datang ke dokter
lain dengan alasan yang tidak jelas.
Kata Sulit
1. Kaheksia: kondisi kelainan kontitusional yang nyata dan menonjol, kesehatan yang buruk
dan malnutrisi.
2. Gangguan defisiensi imun: gangguan yang disebabkan oleh kerusakan herediter yang
mempengaruhi sistem imun.
3. HIV (Human Immunodeficiency Virus): suatu virus RNA dengan diameter 100 yang
termasuk retrovirus dari famili lentivirus.
4. Sel ragi: sel bersel satu yang biasanya berbentuk jamur bulat yang diproduksi dari
pertunasan (pembentukan blastospora).
5. CD4 dan CD8: sel limfosit T helper dan sel limfosit T sitotoksik.
Brainstroming dan Jawaban
1. Apa hubungan kenaikan LED dengan penyakit HIV?
Semakin cepat mengendap protein darahnya, semakin tinggi inflamasinya (karena berat
proteinnya bertambah) dan bisa juga karena terdapat imunodefisiensi
2. Mengapa pada pasien HIV berat badannya menurun drastis?
Karena sariawan, nafsu makannya menjadi berkurang, dan diare pasien tersebut
menambah parah penurunan berat badannya
3. Mengapa pada feses pasien HIV terdapat sel ragi?
Karena dalam tubuh pasien sel limfosit T (CD4 dan CD8) sudah melemah sehingga
masuklah jamur patogen dari luar atau flora normal yang menjadi oportunis karena
lingkungan yang berubah dan tidak ada lagi barrier pertahanan
4. 4. Apa saja komplikasi dari HIV?
Tumor, diabetes, anemia, tuberculosis, gangguan saluran cerna kronik, gangguan
jiwa, dan lain sebagainya.
5. Bagaimana HIV bisa muncul?
Awalnya dibawa oleh primata. Ada dua jenis HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 terdapat di
seluruh dunia dan penyebab paling banyak, HIV-2 hanya ada di Afrika. Selain itu
adanya orang yang carrier juga menyebabkan HIV muncul
6. Bagaimana cara penularan HIV?
Aktif: secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anaknya. Pasif: dengan jarum
suntik/ alat tajam lainnya yang tercemar, transfusi darah, transplantasi organ
7. Apa faktor yang mempengaruhi LED?
Berat molekul darah
8. Bagaimana sikap doker dalam mengangani HIV?
Tetap menjalankan pekerjaannya dan memperlakukan pasien sesuai dengan KODEKI
yang ada
9. Berapa nilai normal LED?
N pada pria = 0-15 mm/jam
N pada wanita = 0-20 mm/jam
N pada anak = 0-10 mm/jam
10. Bagaimana virus HIV bisa berkembang dalam tubuh?
Virus HIV berikatan dengan CD4, memasukan substansinya, sel limfosit T menjadi
terganggu, sehingga terjadilah imunodefisiensi
2
Sasaran Belajar
LI.1 Memahami dan Menjelaskan gangguan defisiensi imun
LO 1.1 Definisi
LO 1.2 Klasifikasi dan contoh penyakit
LO 1.3 Etiologi
LO 1.4 Pemeriksaan Penunjang Defisiensi Imun
LI.2 Memahami dan Menjelaskan HIV/AIDS
LO 2.1 Definisi HIV/AIDS
LO 2.2 Epidiomologi HIV/AIDS
LO 2.3 Etiologi HIV/AIDS
LO 2.4 Faktor Risiko dan Cara Penularan HIV/AIDS
LO 2.5 Patofisiologi HIV/AIDS
LO 2.6 Manifestasi Klinis HIV/AIDS
LO 2.7 Diagnosis & Diagnosis Banding HIV/AIDS
LO 2.8 Komplikasi HIV/AIDS
LO 2.9 Prognosis HIV/AIDS
LO 2.10 Pencegahan, promotif, dan screening HIV/AIDS
LO 2.11 Tatalaksana HIV/AIDS
LI. 3. Memahami dan Mempelajari Etika dalam menghadapi Kasus HIV/AIDS
LI. 4. Memahami dan Mempelajari Pandangan Islam dan Hukum dalam menangani Kasus
HIV/AIDS
fungsi
Defisiensi
Sel B
Sel T
Fagosit
Komplemen
Disfungsi
Sel B
Gamopati monoclonal
Sel T
Fagosit
Limfoproliteratif
Komplemen
10
Contoh-Contoh Penyakit
Tabel 2. Beberapa Penyakit Imunodefisiensi akibat Kelainan Genetik
LO.1.4. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang Defisiensi Imun
Hitung neutrofil
Hitung limfosit
Hitung eosinofil
Pemeriksaan
kadar :
a) IgG
b) IgM
c) IgA
Limfosit T
Fagosit
Komplemen
- Hitung limfosit - Total WBC
- Titer C3 dan C4
total
- Uji kulit tipe - Hitung
jenis - Aktivitas CH50
lambat
leukosit
- X foto thorax
- Uji NBT (Nitro
blue
tetrazolium),
kemiluminesensi
:
fungsi
metabolic
neutrofil
- Titer IgE
- Ab monoclonal - Reduksi
- Opsonin assay
dengan Marker
dihidrorhodamin
(CD3,
CD4,
CD8)
- HLA typing
- Phagocytosis
- Component
assay
assay
- Analisa
- Bacterial assay
- Hemolysis
kromosom
assay
11
sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit
lain.
LO. 2.2. Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi HIV/AIDS
Seperti diketahui, pasien HIV/AIDS adalah orang yang sangat rentan dengan
berbagai penyakit termasuk TB. Dari data yang diketahui bahwa epidemik HIV
menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemik TB di seluruh dunia yang
berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi ini merupakan
tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa
pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV.
Sebaliknya TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama
kematian pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).
Setiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus TB baru per 100.000 penduduk dengan
perkiraan prevalensi HIV di antara pasien TB sebesar 0,8% secara nasional (WHO
Report 2007). Sampai saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran
HIV di antara pasien TB. Hasil studi tentang seroprevalensi yang dilaksanakan di
Yogyakarta pada tahun 2006 menunjukkan angka prevalensi HIV sebesar 2% di antara
pasien TB. Sedangkan survey yang sama di provinsi Papua menunjukkan angka sebesar
15,4%, Jawa Timur sebesar 1,8%, dan di Bali sebesar 3,9%. Berdasarkan Laporan
Triwulan, pengidap Infeksi HIV dan Kasus AIDS sampai dengan 31 Maret 2008
(Kemkes RI), infeksi oportunistik terbanyak dilaporkan adalah TB, yaitu sebesar 6367
kasus di antara 118.868 kasus AIDS. (Depkes RI, 2010)
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25
juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu
epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan
antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa
diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup di tahun 2005 dan lebih dari
setengah juta (570.000) merupakan anak-anak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta
orang kini hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi
dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003
dan jumlah terbesar sejak tahun 1981.
Afrika Sub-Sahara tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan
perkiraan 21,6 sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta (1,5-3 juta) dari
mereka adalah anak-anak yang usianya lebih rendah dari 15 tahun. Lebih dari 64% dari
semua orang yang hidup dengan HIV ada di Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per
empat (76%) dari semua wanita hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, terdapat 12 juta
(10.6-13.6 juta) anak yatim/piatu AIDS hidup di Afrika Sub Sahara. Asia Selatan dan
Asia Tenggara adalah terburuk kedua yang terinfeksi dengan besar 15%. 500.000 anakanak mati di region ini karena AIDS. Dua-tiga infeksi HIV/AIDS di Asia muncul di
India, dengawn perkiraan 5.7 juta infeksi (perkiraan 3.4 - 9.4 juta atau 0.9% dari
populasi), melewati perkiraan di Afrika Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1 juta atau
11.9% dari populasi) infeksi, membuat negara ini dengan jumlah terbesar infeksi HIV
di dunia. Di 35 negara di Afrika dengan perataan terbesar, harapan hidup normal
sebesar 48.3 tahun - 6.5 tahun sedikit daripada akan menjadi tanpa penyakit.
12
2 untaian RNA yang identik dan merupakan genom virus yang berhubungan
dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut
diselubungi envelop membran fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein
gp120 dan gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop.
RNA-directed DNA polymerase (reverse transcriptase): Polimerase DNA dalam
retrovirus seperti HIV. Transverse transcriptase diperlukan dalam teknik
rekombinan DNA yang diperlukan dalam sintesis first stand cDNA.
Antigen p24: Core antigen virus HIV, yang merupakan pertanda dini adanya
infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi
sintesis antibodi terhadap HIV-1.
Antigen gp120: Glikoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor CD4+
ini telah digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4+.
Protein envelop: Produk yang menyandi gp120, digunakan dalam usaha
memproduksi antibodi yang efektif dan produktif oleh pejamu.
Menurut spesies terdapat dua jenis virus penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
HIV-1 paling banyak ditemukan di daerah barat, Eropa, Asia, dan Afrika Tengah,
Selatan, dan Timur. HIV-2 terutama ditemukan di Afrika Barat. HIV-1 maupun HIV-2
mempunyai struktur hampir sama, HIV-1 mempunyai gen Vpu, tetapi tidak mempunyai
gen VPX, sedangkan HIV-2 sebaliknya.
a
HIV-1
Merupakan penyebab utama AIDS di seluruh dunia. Genom HIV mengkode
sembilan protein esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus. Pada HIV-1
terdapat protein Vpu yang membantu pelepasan virus. Terdapat 3 tipe dari HIV1 berdasarkan alterasi pada gen amplopnya yaitu tipe M, N, dan O.
HIV-2
Protein Vpu pada HIV-1 digantikan dengan protein Vpx yang dapat
meningkatkan infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan hasil duplikasi
dari protein lain (Vpr). Walaupun sama-sama menyebabkan penyakit klinis
dengan HIV-2, tetapi kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1.
13
HIV memiliki diameter 100-150 nm dan berbentuk sferis (spherical) hingga oval karena
bentuk selubung yang menyelimuti partikel virus (virion). Selubung virus berasal dari
membran sel inang yang sebagian besar tersusun dari lipida. Di dalam selubung
terdapat bagian yang disebut protein matriks.
Bagian internal dari HIV terdiri dari dua komponen utama, yaitu genom dan
kapsid. Genom adalah materi genetik pada bagian inti virus yang berupa dua kopi utas
tunggal RNA. Sedangkan, kapsid adalah protein yang membungkus dan melindungi
genom.
LO. 2.4. Memahami dan Menjelaskan Cara Penularan dan Faktor Risiko HIV/AIDS
Penularan:
HIV menular melalui hubungan seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama
jenis, pinjam meminjam alat suntik (jarum, semprit, kapas, tempat mengaduk) di
antara para pengguna narkoba (IDU= Injecting Drug User), transfusi darah dan
transplantasi organ yang tidak di skrining, tato, tindik, dan penularan dari ibu ke anak
selama kehamilan, persalinan, dan menyusui.
Karena itu mereka yang beresiko tinggi terinfeksi HIV adalah:
-
Wanita dan pria yang berganti-ganti pasangan seks, para pekerja seks dan
langganannya, dan mereka yang melakukan hubungan seks yang tidak wajar
(melalui anus atau mulut).
Para pengguna narkoba yang memakai alat suntik secara bergantian.
Bayi yang dikandung, dilahirkan, dan disusui oleh ibu yang tertular HIV.
Transfusi darah dan transplantasi organ tubuh yang tidak diskrining, akupunktur,
penindikan, pentatoan dengan alat yang tercemar HIV.
14
15
5
6
7
8
9
Integrasi ke dalam inti sel pejamu menghasilkan DNA provirus dan memicu
transkripsi membentuk mRNA
mRNA virus ditranslasikan menjadi enzim-enzim dan protein struktural oleh
ribosom sel
RNA genom virus dari inti sel dibebaskan ke sitoplasma
RNA virus bergabung dengan protein-protein virus, yang sebelumnya enzim
protease memotong dan menata protein virus menjadi segmen-segmen kecil
mengelilingi RNA virus yang menonjol keluar sel pejamu
Virion HIV baru siap dibebaskan dari sel T CD 4+ yang terbungkus oleh sebagian
sitoplasma dari membran sel T CD4+
Respon imun
Setelah terpajan HIV, individu akan melakukan respon imun terhadap infeksi yaitu
peningkatan sel T CD8+ yang menyebabkan menghilangnya viremia, walaupun demikian
hal ini tidak dapat mengontrol secara optimal terhadap replikasi HIV yang akan berada
pada masa steady-state beberapa bulan setelah infeksi dan untuk seberapa lamanya
bervariasi tergantung tingkat kekebalan tubuh pejamu. Sel NK dan sel T CD 8+
mengeluarkan perforin yang menyebabkan kematian sel terinfeksi. Aktivitas sitotoksik
sel T CD8+ sangat hebat hingga bisa menekan replikasi HIV dalam sel T CD 4+. Aktivitas
sel T CD8+ menurun seiring dengan berkembangnya penyakit.
Selain itu sel B yang dirangsang oleh IL-4 yang dikeluarkan oleh sel T CD 4+ akibat
rangsangan IL- 2 dari APC akan memacu sel B untuk berproliferasi menghasilkan sel
plasma yang menghasilkan antibodi spesifik untuk gp120 dan gp41 virus. Antibodi ini
akan muncul dalam 1-6 bulan pasca infeksi dan dapat dideteksi pertama kali setelah
replikasi virus menurun hingga level steady state, walaupun antibodi memiliki aktivitas
netralisasi yang kuat tetapi tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dengan
mengubah bagian amplopnya yaitu situs glikosilasinya, sehingga konfigurasi 3
dimensinya berubah dan antibodi yang spesifik terhadap glikoprotein terdahulu tidak
akan mengenal dengan glikoprotein yang bar
Patofisiologi
16
17
Dengan adanya sel T mempermudah produksi IL-2 untuk mengaktivasi sel Th lain
untuk berespon terhadap infeksi HIV, sel T CD 4+ juga memproduksi IFN- untuk
mengaktifkan makrofag. Sel T CD4+ memproduksi IL-4 yang akan mengaktivasi sel B
untuk menghasilkan antibodi. Sel T CD4+ memproduksi IL-5 untuk perlawanan terhadap
helminth, sehingga apabila sel T CD4+ dirusak oleh infeksi HIV akan mengakibatkan
infeksi oportunistik berat yang berakibat fatal.
Selain itu defisiensi sel T CD4+ juga disebabkan oleh :
1 ADCC/sel NK yang terinduksi oleh antibodi gp120 dan gp41, akan membantu
menyingkirkan sel T CD4+ yang terinfeksi
2 Apoptosis sel T CD4+
3 Ketidakmampuan pembelahan sel T CD4+ (anergi)
4 Teori sinsitium, sel T CD4+ yang tidak terinfeksi berfusi dengan sel-sel terinfeksi
LO. 2.6. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik HIV/AIDS
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum
terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala Klinis
Gejala Mayor
Gejala Minor
Berdasarkan stadiumnya:
18
a. Stadium 1 (asimptomatik)
- Tidak ada penurunan berat badan
- Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata
b. Stadium 2 (sakit ringan)
- Penurunan BB 5-10%
- ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
- Ulkus mulut berulang
- Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
- Dermatitis seboroik
- Infeksi jamur kuku
c. Stadium 3 (sakit sedang)
- Penurunan berat badan > 10%
- Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
- Kandidiasis oral persisten
- Oral hairy leukoplakia
- Tuberkulosis paru
- Infeksi bakteri yang berat (pneumonia, piomiositis, dll)
- TB limfadenopati
- Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut/Stomatitis
- Anemia (Hb <8 g%/dL), neutropenia (<5000/ml), trombositopenia kronis
(<50.000/ml)
d. Stadium 4 sakit berat (AIDS)
- HIV wasting syndrome
- Pneumonia bacterial berat rekuren
- Pneumonia akibat pneumocystis carinii
- Herpes simpleks mukokutan (>1 bulan) atau visceral
- Kandidiasis esophagus, trakea, atau bronkus
- Tuberkulosis extrapulmonal
- Sarkoma Kaposi
- Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
- Toksoplasmosis serebral
- Kriptosporidiasis
- Encefalopati HIV
- Septikemia salmonella nontifoid rekuren
- Mikobakteriosis atipik, diseminata, atau paru
- Mikosis endemic diseminata
- Leukoensefalopati multifocal progresif
Atau :
Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran
pernapasan atas yang berulang
19
Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari
sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
LO. 2.7. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding HIV/AIDS
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui bahwa mereka terinfeksi karena
mereka tidak mengalami gejala setelah mereka pertama kali terinfeksi HIV. Sebagian
dari mereka memiliki gejala mirip flu dalam beberapa hari sampai beberapa minggu
setelah terpapar virus. Mereka mengeluh demam, sakit kepala, kelelahan, dan terjadi
pembesaran kelenjar getah bening di leher. Gejala-gejala ini biasanya hilang dengan
sendirinya dalam beberapa minggu. Setelah itu, orang tersebut merasa normal dan tidak
memiliki gejala. Fase ini sering berlangsung tanpa gejala selama bertahun-tahun.
Pemeriksaan darah adalah cara paling umum untuk mendiagnosis HIV. Tes ini bertujuan
untuk mencari antibodi terhadap virus HIV. Orang yang terkena virus harus segera
dilakukan pemeriksaan laboratorium. Tindak lanjut tes mungkin diperlukan, tergantung
pada waktu awal paparan.
Sebelum dilakukan tes, pemeriksaan anamnesis juga perlu dilakukan untuk
mengetahui gaya hidup pasien apakah termasuk gaya hidup berisiko tinggi.
Pemeriksaan primer untuk mendiagnosis HIV dan AIDS meliputi:
ELISA
ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) digunakan untuk mendeteksi
infeksi HIV. Jika tes ELISA positif, tes Western blot biasanya dilakukan untuk
mengkonfirmasikan diagnosis. Jika tes ELISA negatif, tetapi ada kemungkinan
pasien tersebut memiliki HIV, pemeriksaan harus diulang lagi dalam satu sampai
tiga bulan.
ELISA sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%, cukup sensitif pada
infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi,
hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu untuk beberapa bulan setelah
terinfeksi. Meskipun hasil tes mungkin negatif selama periode ini, pasien
mungkin memiliki tingkat penularan tinggi. Biasanya tes ini memberikan hasil
positif setelah 2-3 bulan terinfeksi.
Hitung CD4+
CD4+ sebagai indicator keadaan system imun pada pasien dengan HIV.
20
Western Blot
Ini adalah pemeriksaan darah yang sangat sensitif sebesar 99,6-100%, yang
digunakan untuk mengkonfirmasi hasil tes ELISA positif. Tetapi pemeriksaan ini
cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Western Blot
merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi
rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang
ditemukan berarti tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein
ditemukan berarti western blot positif. Tes ini harus diulangi lagi setelah 2
minggu dengan sampel yang sama. Jika western blot tetap tidak bisa disimpulkan
maka tes western blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif
maka pasien dianggap HIV negatif
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pasien ini difikirkan sebagai multipel abses pada HIV yang
disebabkan oleh tuberculosis, karena abses pada tuberculoma juga terdapat multipel
abses, dengan gambaran abses yang lebih kecil dengan ukuran 1-2 mm, serta efek
massa yang minimal. Namun pada pasien ini didapatkan adanya gejala infeksi
tuberkulosis pada paru, yaitu tidak adanya batuk-batuk yang lama dan pada
pemeriksaan fisik paru tidak didapatkan kelaianan serta pada hasil MRI didapatkan
ukuran yang lebih besar dan efek massa (+)
Malaria
Tuberkulosis
Penyakit Autoimun
Untuk diagnosis banding infeksi HIV yang berat yang perlu diingat di antaranya
ialah severe combined immunodeficiency disease (SCID) dan hipogamaglobulinemia. Oleh karena secara klinis infeksi HIV yang berat sulit dibedakan
dengan SCID, maka harus diperiksa adanya HIV. Walaupun sebagian kecil dari
infeksi HIV disertai hipo-gamaglobulinemia, sebagian infeksi HIVpada anak disertai
oleh hipergama-globulinemia.
21
Salmonelosis
Kontak dengan infeksi bakteri ini terjadi dari makanan atau air yang telah
terkontaminasi. Gejalanya termasuk diare berat, demam, menggigil, sakit perut,
dan kadang-kadang muntah. Meskipun orang terkena bakteri salmonella dapat
menjadi sakit, salmonellosis jauh lebih umum ditemukan pada orang yang HIVpositif.
Cytomegalovirus (CMV)
Virus ini adalah virus herpes yang umum ditularkan melalui cairan tubuh
seperti air liur, darah, urin, semen, dan air susu ibu. Sistem kekebalan tubuh yang
sehat dapat menonaktifkan virus sehingga virus tetap berada dalam fase dorman
(tertidur) di dalam tubuh. Jika sistem kekebalan tubuh melemah, virus menjadi
aktif kembali dan dapat menyebabkan kerusakan pada mata, saluran pencernaan,
paru-paru atau organ tubuh lainnya.
Kandidiasis
Kandidiasis adalah infeksi umum yang terkait HIV. Hal ini menyebabkan
peradangan dan timbulnya lapisan putih tebal pada selaput lendir, lidah, mulut,
kerongkongan atau vagina. Anak-anak mungkin memiliki gejala parah terutama di
mulut atau kerongkongan sehingga pasien merasa sakit saat makan.
Cryptococcal Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput dan cairan yang mengelilingi otak
dan sumsum tulang belakang (meninges). Cryptococcal meningitis infeksi sistem
saraf pusat yang umum terkait dengan HIV. Disebabkan oleh jamur yang ada
dalam tanah dan mungkin berkaitan dengan kotoran burung atau kelelawar.
Toxoplasmolisis
22
Kriptosporidiosis
Infeksi ini disebabkan oleh parasit usus yang umum ditemukan pada hewan.
Penularan kriptosporidiosis terjadi ketika menelan makanan atau air yang
terkontaminasi. Parasit tumbuh dalam usus dan saluran empedu yang
menyebabkan diare kronis pada orang dengan AIDS.
Limfoma
Kanker jenis ini berasal dari sel-sel darah putih. Limfoma biasanya berasal
dari kelenjar getah bening. Tanda awal yang paling umum adalah rasa sakit dan
pembengkakan kelenjar getah bening ketiak, leher atau selangkangan.
Komplikasi lainnya:
Wasting Syndrome
Pengobatan agresif telah mengurangi jumlah kasus wasting syndrome, namun
masih tetap mempengaruhi banyak orang dengan AIDS. Hal ini didefinisikan
sebagai penurunan paling sedikit 10 persen dari berat badan dan sering disertai
dengan diare, kelemahan kronis dan demam.
Komplikasi Neurologis
Walaupun AIDS tidak muncul untuk menginfeksi sel-sel saraf, tetapi AIDS
bisa menyebabkan gejala neurologis seperti kebingungan, lupa, depresi,
kecemasan dan kesulitan berjalan. Salah satu komplikasi neurologis yang paling
umum adalah demensia AIDS yang kompleks, yang menyebabkan perubahan
perilaku dan fungsi mental berkurang.
Tanpa pengobatan, waktu hidup bersih rata-rata setelah terinfeksi HIV diperkirakan 9
sampai 11 tahun, tergantung pada subtipe HIV, di daerah-daerah dimana banyak
tersedia, pengembangan ARV sebagai terapi efektif untuk infeksi HIV dan AIDS
mengurangi kematian tingkat dari penyakit dengan 80%, dan meningkatkan harapan
hidup untuk orang yang terinfeksi HIV baru didiagnosis sekitar 20 tahun.
23
Tanpa terapi antiretroviral, kematian biasanya terjadi dalam waktu satu tahun. Laju
perkembangan penyakit klinis sangat bervariasi antara individu dan telah terbukti
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kerentanan host dan fungsi kekebalan tubuh.
HIV juga dapat dilakukan pada bidang perekrutan tentara atau tenaga kerja imigran.
Panduan WHO mengenai PITC tahun 2007 menyebutkan bahwa metode ini dapat
diterapkan pada wilayah dengan tingkat epidemiologi HIV yang berbeda- beda, yaitu
daerah dengan epidemi HIV yang rendah, daerah dengan tingkat epidemi HIV yang
terkonsentrasi, dan daerah dengan tingkat epidemi yang meluas. Yang dimaksud
dengan epidemi yang rendah adalah infeksi HIV hanya ditemukan pada beberapa
individu dengan perilaku berisiko (WPS, pengguna narkoba suntik, laki-laki
berhubungan seks dengan laki-laki); angka prevalensinya tidak melebih 5% pada
subpopulasi tertentu. Sementara itu, yang dimaksud dengan tingkat epidemi yang
terkonsentrasi adalah infeksi HIV telah menyebar di subpopulasi tertentu, namun tidak
ditemukan di populasi umum. Hal ini menunjukkan aktifnya hubungan antara risiko
dengan subpopulasi; angka prevalensi pada subpopulasi melebihi 5%, namun tidak
sampai 1% pada wanita hamil. Kemudian, yang dimaksud tingkat epidemi yang
meluas adalah infeksi HIV telah ditemukan pada populasi umum, dengan prevalensi
pada wanita hamil melebihi 1%.
Pada semua tingkat epidemi, PITC direkomendasikan untuk dilakukan kepada orang
dewasa, remaja, atau anak dengan gejala dan tanda klinis yang sesuai dengan infeksi
HIV; anak yang terpapar HIV atau anak yang lahir dari ibu yang HIV positif; anak
dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi, di daerah dengan epidemi yang
meluas, yang tidak membaik dengan terapi yang optimal; serta pria yang
menginginkan untuk dilakukan sirkumsisi sebagai pencegahan penularan HIV.
Pada daerah dengan epidemi yang meluas, PITC direkomendasikan untuk diterapkan
kepada pasien rawat inap dan rawat jalan, termasuk pasien TB; pelayanan kesehatan
antenatal, persalinan dan post partum; pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan
kesehatan untuk populasi yang berisiko; pelayanan kesehatan untuk anak usia di
bawah 10 tahun; pelayanan kesehatan untuk remaja; pelayanan pembedahan; dan
layanan kesehatan reproduksi, termasuk keluarga berencana.
Untuk daerah dengan tingkat epidemi rendah atau terkonsentrasi, PITC dapat
dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada tempat pelayanan infeksi menular seksual;
pelayanan kesehatan untuk populasi paling berisiko; pelayanan antenatal, persalinan,
dan pascamelahirkan; serta pelayanan untuk TB.
Panduan nasional Inggris tahun 2008 tentang pemeriksaan HIV merekomendasikan
pemeriksaan HIV secara rutin kepada orang-orang berikut:
a. Semua pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan di mana HIV, termasuk
infeksi primer HIV, menjadi salah satu diagnosis banding.
b. Semua pasien yang didiagnosis dengan infeksi menular seksual.
c. Semua partner seksual dari laki-laki atau wanita yang diketahui HIVpositif.
d. Semua laki-laki dengan riwayat berhubungan seksual dengan laki-laki
e. Semua wanita partner seksual dari laki-laki yang berhubungan seksdengan lakilaki.
f. Semua pasien dengan riwayat penggunaan narkoba suntik.
g. Semua laki-laki dan wanita yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan
26
Strategi I
Hasil akhir dengan strategi I ini tidak boleh dipakai sebagai penegakkan
diagnosis.
Apapun hasil akhir setelah diperiksa lebih lanjut, semua darah atau bahan
donor dengan hasil pemeriksaan awal reaktif/positif tidak boleh dipakai
untuk transfusi atau transplantasi.
Hanya dilakukan satu kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif,
maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan
nonreaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk
pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi
(>99%).
Strategi II
28
Strategi III
infeksi oleh HIV, yang paling sering dipakai saat ini adalah teknik Western Blot
(WB).
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus
mendapatkan konseling pra tes. Hal ini dilakukan agar ia bisa mendapat
informasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat
mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima
apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling
pra tes karena orang yang dites tidak akan diberi tahu hasil tesnya.
Untuk memberi tahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik
hasil tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi
mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara
pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan
untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak
berisiko. Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan
laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi
atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh.
Model Skrining
Menurut UNAIDS/WHO terdapat empat jenis model skrining HIV, antara lain:
1. Pemeriksaan dan konseling HIV (voluntary counselling and testing)
Pemeriksaan HIV yang didorong oleh kemauan klien untuk mengetahui status
HIV-nya ini masih dianggap penting bagi keberhasilan program pencegahan HIV.
Konseling pra tes dapat dilakukan secara individu maupun berkelompok.
UNAIDS/WHO mendukung penggunaan uji cepat sehingga hasilnya dapat
diketahui segera dan dapat ditindaklanjuti langsung dengan konseling pasca tes
baik untuk yang HIV positif maupun HIV negatif.
2. Pemeriksaan HIV diagnostik, diindikasikan pada pasien dengan tanda dan gejala
yang sejalan dengan penyakit-penyakit yang terkait HIV atau AIDS, termasuk
pemeriksaan terhadap tuberkulosis sebagai pemeriksaan rutin. Pada pemeriksaan
ini, pasien sebaiknya diberikan informasi yang cukup sehingga pasien dapat
memutuskan apakah setuju untuk dilakukan pemeriksaan HIV atau tidak. Untuk
keadaan di mana pasien tidak dalam posisi memberikan persetujuan, seperti pasien
30
psikiatrik atau pasien yang tidak sadar, pemeriksaan dapat dilakukan bila hasilnya
bermanfaat bagi pasien. Jika ini terjadi, harus ada usaha untuk
mengkomunikasikan hasil pemeriksaan kepada pasien dan memberitahukan hasil
tersebut dengan konseling.
3. Pemeriksaan HIV dengan inisiatif dari tenaga kesehatan (Provider-Initiated
Testing and Counseling -PITC) dilakukan pada pasien yang:
- Sedang menjalani pemeriksaan terhadap penyakit menular seksual (PMS) di
klinik umum atau khusus infeksi menular seksual (IMS).
- Sedang hamil, untuk mengatur pemberian antiretroviral untuk mencegah
transmisi dari ibu ke bayi.
- Dijumpai di klinik umum atau puskesmas di daerah dengan prevalens HIV
yang tinggi dan tersedia obat antiretroviral, namun tidak memiliki gejala.
Dalam model ini, dibutuhkan mekanisme rujukan yang jelas untuk mendukung
sistem perujukan ke pelayanan konseling pasca tes HIV bagi semua pasien yang
diperiksa, yang menekankan pada pencegahan dan pemberian dukungan medis serta
psikososial bagi pasien yang hasil tesnya positif HIV. Pada pemeriksaan jenis ini, juga
dilakukan konseling sebelum pemeriksaan, hanya saja tidak penuh seperti pada
pemeriksaan jenis VCT di atas. Informasi minimal yang harus diketahui pasien pada
saat melakukan informed consent adalah:
- Manfaat pemeriksaan tersebut secara klinis dan untuk pencegahan.
- Hak untuk menolak.
- Pelayanan tindak lanjut yang ditawarkan.
- Bila hasilnya positif, diberikan pemahaman untuk mengantisipasi keharusan untuk
menginformasikan kepada siapa saja yang berisiko yang mungkin tidak sadar
bahwa mereka terpajan dengan HIV.
Pada pemeriksaan yang sifatnya ditawarkan oleh tenaga medis, misalnya untuk
tujuan diagnosis, atau untuk mengetahui status HIV-nya. Selain itu tenaga medis juga
dapat menawarkan pemeriksaan HIV kepada wanita hamil untuk memberikan
profilaksis antiretroviral untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke bayi. Konseling
pada situasi ini harus diperbanyak agar bisa sedikit memaksa ibu untuk mengikuti
program PMTCM. Meski demikian, dalam semua kondisi tersebut, pasien tetap
memiliki hak untuk menolak.
4. Screening HIV wajib
UNAIDS/WHO mendukung diberlakukannya skrining wajib bagi HIV dan
penyakit yang dapat ditransmisikan lewat darah bagi semua darah yang ditujukan
untuk transfusi atau pengolahan produk darah lainnya. Skrining wajib dibutuhkan
sebelum dilakukannya prosedur-prosedur yang berkaitan dengan pemindahan cairan
atau jaringan tubuh, seperti inseminasi buatan, graft kornea, dan transplantasi organ.
UNAIDS/WHO tidak mendukung pemberlakuan skrining wajib pada tingkat
pelayanan kesehatan individu atau umum. Pemeriksaan sukarela sepertinya dapat
mengubah perilaku untuk menghindari penularan HIV ke orang lain. Menyadari
31
bahwa beberapa negara membutuhkan pemeriksaan wajib HIV untuk tujuan imigrasi
dan beberapa negara lainnya melakukan pemeriksaan wajib untuk perekrutan dan
pemantauan kesehatan tentaranya, UNAIDS/WHO merekomendasikan agar
pemeriksaan tersebut dilakukan hanya bila diiringi dengan konseling baik bagi yang
hasilnya positif maupun negatif dan sistem perujukan ke pelayanan medis dan
psikososial bagi mereka yang mendapat hasil positif. Menyadari pentingnya
menghubungkan orang yang positif HIV ke pusat layanan pencegahan, pengobatan,
dan perawatan, UNAIDS dan WHO pada bulan Mei 2007 merilis panduan operasional
PITC di tempat pelayanan kesehatan. Panduan ini sejalan dengan keputusan
UNAIDS/WHO mengenai pemeriksaan HIV dan merekomendasikan agar seluruh
VCT dilengkapi dengan PITC di seluruh tempat pelayanan kesehatan di tingkat
epidemi meluas, dan fasilitas kesehatan spesialistik (seperti klinik TB, klinik antenatal,
dan klinik infeksi menular seksual) di daerah dengan tingkat epidemi rendah atau
terkonsentrasi.
Tahun 2006, CDC merekomendasikan pemeriksaan diagnostik dan skrining HIV
menjadi suatu pemeriksaan rutin di seluruh sarana pelayanan kesehatan dengan tetap
menjaga hak pasien untuk menolak serta menjamin hubungan tenaga kesehatan dan
pasien yang kondusif. Rekomendasi ini ditujukan untuk seluruh sarana pelayanan
kesehatan, termasuk ruang gawat darurat rumah sakit, ruang rawat inap, klinik infeksi
menular seksual, tuberkulosis, klinik bagi penyalahgunaan zat, klinik umum, serta
pelayanan kesehatan tingkat primer. Tujuan dari rekomendasi CDC ini adalah untuk
meningkatkan jumlah skrining HIV pada pasien di seluruh tempat layanan kesehatan,
termasuk ibu hamil; mengembangkan program deteksi dini terhadap HIV;
mengidentifikasi dan melakukan konseling terhadap orang yang belum diketahui status
HIV-nya serta merujuknya ke tempat pelayanan kesehatan; dan lebih jauh lagi untuk
mengurangi transmisi HIV perinatal di Amerika Serikat.
Mengenai skrining HIV pada wanita hamil, Society of Obstetricians and
Gynecologists of Canada (SOGC) pada tahun 2006 mengeluarkan panduan skrining
sebagai berikut:
1 Semua wanita hamil harus ditawarkan untuk mengikuti skrining HIV dengan
konseling yang memadai. Pemeriksaan harus bersifat sukarela. Skrining harus
dipertimbangkan sebagai salah satu bagian dari standar pelayanan antenatal,
meskipun klien tetap wajib diinformasikan mengenai manfaat dan risiko
pemeriksaan ini serta hak mereka untuk menolak. Mereka tidak boleh diperiksa
tanpa sepengetahuannya.
2
32
Pasien yang hasil tesnya negatif dan berperilaku risiko tinggi harus dites ulang
setiap trimester.
Wanita hamil yang tidak pernah menerima pelayanan antenatal dan tidak diketahui
status HIV-nya harus ditawarkan untuk mengikuti pemeriksaan HIV ketika masuk
RS untuk melahirkan. Wanita yang berisiko tinggi mengidap HIV dan tidak
diketahui status HIV-nya harus diberikan profilaksis saat persalinan. Profilaksis
HIV harus diberikan pada bayi baru lahir.
Wanita hamil yang hasil tesnya positif selanjutnya ditangani oleh dokter yang
berpengalaman dalam menatalaksana wanita hamil yang positif HIV.
34
Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis
pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV (postexposure prophylaxis) dan pencegahan penularan ibu ke bayi.
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV
penting untuk mendapat perhatian lebih besar karena jumlah bayi di indonesia yang
tertular HIV dari ibunya telah meningkat. Efektivitas penularan HIV dari ibu ke bayi
adalah sebesar 10-30%., artinya dari 100 ibu hamil yang terinfeksi HIV, ada 10-30
bayi yang akan tertular. Sebagian besar penularan terjadi sewaktu proses melahirkan,
dan sebagian kecil melalui plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi melalui air
susu ibu.
Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk membeli obat ARV. Obat ARV yang
dianjurkan untuk PTMCT adalah zidovudin (AZT) atau nevirapin. Pemberian
nevirapin dosis tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat mudah untuk diterapkan dan
ekonomis. Sebelumnya pilihan yang terbaik adalah pemberian ARV yang
dikombinasikan dengan operasi caesar, karena dapat menekan penularan sampai 1%
namun sayangnya di negara berkembang seperti indonesia tidak mudah untuk
melakukan operasi sectio caesaria yang murah dan aman.
Interaksi dengan obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Masalah koinfeksi tuberkulosis dengan HIV merupakan masalah yang sering dihadapi
di indonesia. Pada prinsipnya, pemberian OAT pada ODHA tidak berbeda dengan
pasien HIV negatif. Interaksi antara OAT dan ARV, termasuk efek hepatotoksisitasnya,
harus sangat diperhatikan. Pada ODHA yang telah mendapat obat ARV sewaktu
diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap diteruskan dengan evaluasi yang lebih
ketat. Pada ODHA yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat
disesuaikan dengan kondisinya.
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
ddl yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer
antasida.
Interaksi dengan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non-nukleosida dan
inhibitor protease. Obat ARV yang di anjurkan digunakan pada ODHA dengan TB
pada kolom B (tabel 4) adalah evafirenz. Rifampisin dapat menurunkan kadar
nelvinafir sampai 82% dan dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%. Namun,
jika evafirenz tidak memungkinkan diberikan, Pada pemberian bersama rifampisin dan
nevirapin, dosis nevirapin tidak perlu dinaikan.
35
EVALUASI PENGOBATAN
Pemantauan jumlah sel CD4 di dalam darah merupakan indikator yang dapat
dipercaya untuk membantu beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV, dan
memudahkan kita untuk mengambil keputusan memberikan pengobatan ARV. Jika kita
mendapat sarana pemeriksaan CD4, maka jumlah CD4 dapat diperkirakan dari jumlah
limfosit total yang sudah dapat dikerjakan dari banyak laboratorium pada umumnya.
Sebelum tahun 1996, para klinisi mengobati, menentukan prognosis dan menduga
staging pasien, berdasarkan gambaran klinik pasien dan jumlah limfosit CD4.
Sekarang ini sudah ada tambahan parameter baru yaitu hitungan virus HIV dalam
darah (viral load) sehingga upaya tersebut menjadi lebih tepat.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan pemeriksaan viral load, kita
dapat memperkirakan risiko kecepatan perjalanan penyakit dan kematian akibat HIV.
Pemeriksaan viral load memudahkan untuk memantau efektivitas obat ARV.
Obat-obat golongan protease inhibitor (PIs) seperti lopinavir/ritonavir, atazanavir,
saquinavir, fosamprenavir, dan darunavir memiliki barier genetik yang tinggi terhadap
resistensi. Obat golongan lain memiliki barier rendah. Walau demikian, kebanyakan
pasien yang mendapatkan Pis-terkait HAART (highly active anti-retroviral therapy)
yang mengalami kegagalan virologis biasanya memiliki strain virus HIV yang masih
sensitif, kecuali bila digunakan jangka panjang. Obat golongan lain biasanya menjadi
resisten dalam waktu yang lebih singkat ketika terdapat kegagalan virologist.
Indikasi terapi untuk merubah terapi pada kasus gagal terapi adalah progresi penyakit
secara klinis dimulai setelah >6 bulan memakai ARV.
Pada WHO stadium 3: penurunan berat badan BB > 10%, diare atau demam >1 bulan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, oral hairly leukoplakia terdapat infeksi bakterial
yang berat atau bedridden lebih dari 50% dari satu bulan terakhir.
Tes resistensi seharusnya dilakukan selama terapi atau dalam 4 minggu penghentian
regimen obat yang gagal. Interpretasi hasil tes resistensi merupakan hal yang
kompleks, bahkan terkadang lebih baik dikerjakan oleh ahlinya.
LI. 3. Memahami dan Mempelajari Etika dalam menghadapi Kasus HIV/AIDS
Etika dokter dalam menghadapi pasien HIV/AIDS :
36
Memberikan dukungan, saran, dan pengobatan alternatif untuk menghindari penularan dan
memberi semangat hidup kepada mereka, sehingga mereka dapat melakukan aktivitasnya
sebagaimana sebelumnya.
Seorang dokter dapat menyikapi penderita HIV/AIDS dengan metode Appreciative
Inquiry, merupakan suatu metode untuk memaksimalkan kekuatan (strength dan
opportunity) yang dimiliki oleh ODHA. Appreciative Inquiry lebih menganjurkan agar
setiap pengidap HIV/AIDS lebih memfokuskan perhatian pada kekuatan yang dimiliki dan
memaksimalkannya. Dengan demikian, hal ini akan membangun citra positif secara
pribadi dan bermanfaat bagi lingkungan. Metode ini diharapkan mampu menjadikan
ODHA untuk menjalani hidup sebagaimana manusia seutuhnya. Tidak selalu memikirkan
penyakit yang dideritannya, karena seorang dokter selalu berusaha untuk mengarahkannya
pada kekuatan dan kepribadiaan yang dimilikinya, sehingga penderita HIV/AIDS akan
lebih percaya diri dan dapat beraktifitas sebagaimana sebelumnya.
Dalam buku PMI Pelatihan Remaja Sebaya tentang Kesehatan dan Kesejahteraan Remaja
tertulis, seorang dokter harus bersikap biasa (tanpa membedakan) seperti sikap terhadap
orang sehat atau penderita penyakit lain.
-
KODEKI
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
37
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
Kaidah Dasar Bioetik
1
2
3
4
HIV/AIDS yang dapat merusak citra profesi rekam administrator informasi kesehatan. Di
sisi lain rumah sakit sebagai institusi tempat dilaksanakannya pelayanan medis, memiliki
Kode Etik Rumah Sakit (Kodersi) dalam kaitannya manajemen informasi kesehatan:
Pasal 4
Rumah sakit harus memelihara semua catatan/arsip, baik medik maupun non medik secara
baik.
Pasal 9
Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien.
Pasal 10
Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita pasien dan tindakan apa yang
hendak dilakukan.
Pasal 11
Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien (informed consent) sebelum melakukan
tindakan medik. Selain itu, kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU Praktik
Kedokteran No. 29 Tahun 2004 pasal 47 ayat (2) sebagaimana disebutkan di atas. UU
tersebut memang hanya menyebut dokter, dokter gigi dan pimpinan sarana yang wajib
menyimpannya sebagai rahasia, namun PP No 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia
kedokteran tetap mewajibkan seluruh tenaga kesehatan dan mereka yang sedang dalam
pendidikan di sarana kesehatan untuk menjaga rahasia kedokteran.
Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV/AIDS, selain untuk kepentingan
jabatan adalah untuk menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena
terbongkarnya status kesehatan. Menurut Declaration on the Rights of the Patients yang
dikeluarkan oleh WMA memuat hak pasien terhadap kerahasiaan sebagai berikut:
Semua informasi yang teridentifikasi mengenai status kesehatan pasien, kondisi medis,
diagnosis, prognosis, dan tindakan medis serta semua informasi lain yang sifatnya pribadi,
harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah kematian. Perkecualian untuk kerabat pasien
mungkin mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang dapat memberitahukan
mengenai risiko kesehatan mereka.
Stigma dan diskriminasi, di bawah slogan "Live and Let Live" (Hidup dan Tetap
Tegar), telah ditetapkan menjadi tema Kampanye AIDS Dunia di tahun 2002-2003. Stigma
sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan akan mendorong munculnya
pelanggaran HAM bagi orang dengan HIV/AIDS dan keluarganya. Ini karena mengingat
HIV/AIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan narkoba dan kematian, banyak
orang yang tidak peduli, tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini di hampir
seluruh lapisan masyarakat. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV/AIDS.
(Kesrepro, 2007)
Stigma dan diskriminasi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Di mana ia terjadi
ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk
memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan
status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi para staf rumah sakit atau
penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada ODHA; pegawai atasan
39
yang memberhentikan karyawannya berdasarkan status atau prasangka akan status HIV
mereka; atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup, atau dipercayai
hidup, dengan HIV/AIDS. Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk
pelanggaran hak asasi manusia. (Kesrepro, 2007)
LI. 4. Memahami dan Mempelajari Pandangan Islam dan Hukum dalam menangani Kasus
HIV/AIDS
Penyakit HIV/AIDS di mana sekitar 80% - 90% dari penyebabnya adalah berzina,
merupakan penyakit yang sangat berbahaya, khususnya bagi orang-orang yang tidak
memiliki akhlak yang terpuji. Penyakit ini merupakan musibah yang dapat menimpa
siapa saja termasuk orang-orang yang berakhlakul karimah. Orang yang terkena musibah
belum tentu akibat dosa yang diperbuatnya, tetapi boleh jadi merupakan korban
perbuatan orang lain.
Apabila sekitar 80%-90% dari penyebabnya adalah perbuatan zina, maka upaya untuk
menanggulangi HIV/AIDS yang paling efektif adalah menghilangkan penyebabnya itu
sendiri yaitu perbuatan zina. Seperti tersebut di atas, Nabi Muhammad SAW mengatakan
bahwa: "Apabila zina dan riba sudah menjadi perbuatan umum dalam suatu negeri, maka
hal itu berarti penduduk negeri itu telah menghalalkan (mengundang) azab Allah".
Karenanya prinsip "menjaga lebih baik daripada mengobati" juga berarti menghilangkan
sebab lebih baik daripada mengobati penyakit yang diakibatkan oleh sebab tersebut.
Anjuran Islam untuk memperhatikan dan memperlakukan dengan baik kepada orangorang yang sakit itu juga termasuk orang-orang yang sakit terkena virus HIV/AIDS.
Namun tentunya jangan sampai perlakuan yang baik itu justru akan mengorbankan orang
lain yang tidak terkena HIV/AIDS menjadi terkena HIV/AIDS. Hal ini tidak dibenarkan
dalam Islam. Kaidah Fiqh menyebutkan :
"Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain".
Karenanya, diperlukan upaya-upaya yang sangat bijaksana agar para penderita
HIV/AIDS itu dapat dirawat, diobati dan diperlakukan secara manusiawi tetapi tidak
mengorbankan pihak lain sehingga menjadi HIV/AIDS yang baru. Kebijaksanaan ini
akan lebih diperlukan karena sebagai manusia, penderita HIV/AIDS akan selalu
berhubungan dengan orang lain misalnya, ketika menginjak dewasa ia perlu menikah,
ketika ia meninggal dunia perlu mendapat perawatan jenazahnya dan lain sebagainya.
Jalan Menuju Terwujudnya Strategi Penanggulangan HIV-AIDS
Perspektif Islam
a
menyatukan seluruh potensi umat dan menerapkan sistem Islam sebagai sistem
kehidupan secara kaaffah) dengan dukungan umat.
Transmisi utama (media penularan yang utama) penyakit HIV/AIDS adalah seks
bebas. Oleh karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas
tersebut. Hal ini meliputi media-media yang merangsang (pornografi-pornoaksi), tempattempat prostitusi, club-club malam, tempat maksiat dan pelaku maksiat.
1
Janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji
dan seburuk-buruknya jalan (QS al Isra[17]:32)
3
Islam mengharamkan perilaku seks menyimpang, antara lain homoseks (lakilaki dengan laki-laki) dan lesbian (perempuan dengan perempuan ).
Firman Allah Swt dalam surat al Araf ayat 80-81 : Dan (kami juga telah
mengutus) Luth ( kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka:
Mengapa kamu mengerjakan perbuatan kotor itu, yang belum pernah dikerjakan
oleh seorangpun manusia (didunia ini) sebelummu? Sesungghnya kamu mendatangi
lelaki untuk melepaskan nafsumu ( kepada mereka ), bukan kepada wanita, Bahkan
kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. ( TQS. Al Araf : 80-81)
Islam melarang pria-wanita melakukan perbuatan-perbuatan yang
membahayakan akhlak dan merusak masyarakat, termasuk pornografi dan
pornoaksi.
Islam melarang seorang pria dan wanita melakukan kegiatan dan pekerjaan yang
menonjolkan sensualitasnya. Rafi ibnu Rifaa pernah bertutur demikian: Nahaana
Shallallaahu alaihi wassaliman kasbi; ammato illa maa amilat biyadaiha. Wa
qaala: Haa kadza biashobiihi nakhwal khabzi wal ghazli wan naqsyi.artinya:
Nabi Saw telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang
dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda Seperti inilah jari-jemarinya
yang kasar sebagaimana halnya tukang roti, pemintal, atau pengukir.
Islam mengharamkan khamr dan seluruh benda yang memabukkan serta
mengharamkan narkoba.
Sabda Rasulullah Saw :Kullu muskirin haraamun artinya : Setiap yang
menghilangkan akal itu adalah haram (HR. Bukhori Muslim) Laa dharaara wa la
dhiraara artinya : Tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri dan kepada
42
6
7
orang lain. (HR. Ibnu Majah). Narkoba termasuk sesuatu yang dapat
menghilangkan akal dan menjadi pintu gerbang dari segala kemaksiatan termasuk
seks bebas. Sementara seks bebas inilah media utama penyebab virus HIV/AIDS.
Amar maruf nahi munkar
Yang wajib dilakukan oleh individu dan masyarakat.
Tugas Negara memberi sangsi tegas bagi pelaku mendekati zina.
Pelaku zina muhshan (sudah menikah) dirajam, sedangkan pezina ghoiru muhshan
dicambuk 100 kali. Adapun pelaku homoseksual dihukum mati; dan
penyalahgunaan narkoba dihukum cambuk. Para pegedar dan pabrik narkoba diberi
sangsi tegas sampai dengan mati. Semua fasilitator seks bebas yaitu pemilik media
porno, pelaku porno, distributor, pemilik tempat-tempat maksiat, germo, mucikari,
backing baik oknum aparat atau bukan, semuanya diberi sangsi yang tegas dan
dibubarkan.
Daftar Pustaka
Baratawidjaja, K. G. & Rengganis, I. 2014. Imunologi Dasar. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Dewi, Alexandra I. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Hanafiah M.J., Amir A. 2008. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Kresno, Siti Boedina. 2010. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: FKUI
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis (PPI-TB) di Puskesmas. 2010.
Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar Kementrian Kesehatan RI
Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi VI, vol.
1. Jakarta : EGC.
Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing
Tanto, Chris., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran, edisi IV jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pembrantasan.
Jakarta: Erlangga.
Rosyidah, F. 2011. Kritik Islam Terhadap Strategi Penangulangan HIV-AIDS Berbasis
Paradigma Sekuler-Liberal dan Solusi Islam dalam Menangani Kompleksitas Problematika
HIV-AIDS.
43
Nancy R. Calles, MSN, RN, PNP, ACRN, MPH., Desiree Evans, MD, MPH., DeLouis Terlonge,
MD. Pathophysiology of the human immunodeficiency virus
http://www.bipai.org/Curriculums/HIV-Curriculum/Pathophysiology-of-HIV.aspx diakses pada
26 Mei 2015
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3684/1/fkm-fazidah4.pdf) diakses pada 26 Mei
2015
http://www.ucsfhealth.org/conditions/hiv/diagnosis.html diakses pada 26 Mei 2015
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/hiv-aids/basics/complications/con-20013732
diakses pada 26 Mei 2015
http://www.patient.co.uk/doctor/acquired-immune-deficiency-syndrome-aids diakses pada 26
Mei 2015
http://www.news-medical.net/health/AIDS-prognosis-(Indonesia) diakses pada 26 Mei 2015
http://www.ilunifk83.com/t130-kode-etik-kedokteran-indonesia diakses pada 26 Mei 2015
44