Anda di halaman 1dari 44

Skenario

MENCRET BERKEPANJANGAN
Seorang laki-laki, 25 tahun, mengeluh diare yang hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu,
disertai sering demam, sariawan, tidak nafsu makan, dan berat badan menurun sebanyak 10 kg
dalam waktu 3 bulan terakhir. Dari anamnesis didapatkan pasien.adalah anggota komunitas
gay.Pada pemeriksaan fisik pasien terlihat kaheksia, mukosa lidah kering dan terdapat bercakbercak putih. Pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan LED 50 mm/jam. Pemeriksaan
feses terdapat sel ragi. Pada pemeriksaan screening antibodi HIV didapatkan hasil (+) kemudian
dokter menganjurkan pemeriksaan konfirmasi HIV dan hitung jumlah limfosit T CD4 dan
CD8.Dari data tersebut dokter menyimpulkan bahwa penderita ini mengalami gangguan
defisiensi imun akibat terinfeksi virus HIV. Dokter menganjurkan pasien untuk datang ke dokter
lain dengan alasan yang tidak jelas.

Kata Sulit
1. Kaheksia: kondisi kelainan kontitusional yang nyata dan menonjol, kesehatan yang buruk
dan malnutrisi.
2. Gangguan defisiensi imun: gangguan yang disebabkan oleh kerusakan herediter yang
mempengaruhi sistem imun.
3. HIV (Human Immunodeficiency Virus): suatu virus RNA dengan diameter 100 yang
termasuk retrovirus dari famili lentivirus.
4. Sel ragi: sel bersel satu yang biasanya berbentuk jamur bulat yang diproduksi dari
pertunasan (pembentukan blastospora).
5. CD4 dan CD8: sel limfosit T helper dan sel limfosit T sitotoksik.
Brainstroming dan Jawaban
1. Apa hubungan kenaikan LED dengan penyakit HIV?
Semakin cepat mengendap protein darahnya, semakin tinggi inflamasinya (karena berat
proteinnya bertambah) dan bisa juga karena terdapat imunodefisiensi
2. Mengapa pada pasien HIV berat badannya menurun drastis?
Karena sariawan, nafsu makannya menjadi berkurang, dan diare pasien tersebut
menambah parah penurunan berat badannya
3. Mengapa pada feses pasien HIV terdapat sel ragi?
Karena dalam tubuh pasien sel limfosit T (CD4 dan CD8) sudah melemah sehingga
masuklah jamur patogen dari luar atau flora normal yang menjadi oportunis karena
lingkungan yang berubah dan tidak ada lagi barrier pertahanan
4. 4. Apa saja komplikasi dari HIV?
Tumor, diabetes, anemia, tuberculosis, gangguan saluran cerna kronik, gangguan
jiwa, dan lain sebagainya.
5. Bagaimana HIV bisa muncul?
Awalnya dibawa oleh primata. Ada dua jenis HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 terdapat di
seluruh dunia dan penyebab paling banyak, HIV-2 hanya ada di Afrika. Selain itu
adanya orang yang carrier juga menyebabkan HIV muncul
6. Bagaimana cara penularan HIV?
Aktif: secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anaknya. Pasif: dengan jarum
suntik/ alat tajam lainnya yang tercemar, transfusi darah, transplantasi organ
7. Apa faktor yang mempengaruhi LED?
Berat molekul darah
8. Bagaimana sikap doker dalam mengangani HIV?
Tetap menjalankan pekerjaannya dan memperlakukan pasien sesuai dengan KODEKI
yang ada
9. Berapa nilai normal LED?
N pada pria = 0-15 mm/jam
N pada wanita = 0-20 mm/jam
N pada anak = 0-10 mm/jam
10. Bagaimana virus HIV bisa berkembang dalam tubuh?
Virus HIV berikatan dengan CD4, memasukan substansinya, sel limfosit T menjadi
terganggu, sehingga terjadilah imunodefisiensi
2

11. Bagaimana pandangan Islam terhadap komunitas gay dan semacamnya?


Haram. Hubungan sejenis = 2x lipat zina (cerita kaum Nabi Luth)
12. Mengapa dokter menganjurkan pemeriksaan CD4 dan CD8?
Karena HIV menyerang CD4 sehingga dapat membuat jumlah CD4 menurun yang
mengakibatkan juga CD8 ikut menurun. N = 500-1500 sel/ mm, pada pasien HIV
= <200 sel/mm
13. Bagaimana penanganan HIV?
Diberikan antivirus untuk mengahambat pertumbuhan HIV
14. Bagaimana pencegahan HIV?
Menjauhi pergaulan bebas, tidak menggunakan jarum suntik bergantian, berhati-hati saat
menggunakan pisau cukur bergantian dan peralatan yang dipakai berganti-gantian di
salon
Hipotesis
HIV menyerang sel T helper bagian CD4 sehingga menurun dan menyebabkan sel B ikut
menurun, maka terjadi defisiensi imun. Penderita AIDS memiliki gejala sariawan, kaheksia,
diare (berkepanjangan), mukosa lidah kering, dll. HIV dapat ditularkan melalui kontak seksual,
transfusi darah, penggunaan jarum suntik bersamaan, dan ASI. Dapat diketahui dengan
pemeriksaan ELISA, darah rutin, western blot, viral load test. Penanganan penyakit ini dapat
dilakukan secara farmako (pemberian obat: antiretrovirus) dan nonfarmako (terapi psikologis).
Jika tidak ditangani akan mengalami komplikasi dan kematian. Setiap dokter tidak boleh
mendiskriminasi dan harus berkomunikasi baik dengan pasien.

Sasaran Belajar
LI.1 Memahami dan Menjelaskan gangguan defisiensi imun
LO 1.1 Definisi
LO 1.2 Klasifikasi dan contoh penyakit
LO 1.3 Etiologi
LO 1.4 Pemeriksaan Penunjang Defisiensi Imun
LI.2 Memahami dan Menjelaskan HIV/AIDS
LO 2.1 Definisi HIV/AIDS
LO 2.2 Epidiomologi HIV/AIDS
LO 2.3 Etiologi HIV/AIDS
LO 2.4 Faktor Risiko dan Cara Penularan HIV/AIDS
LO 2.5 Patofisiologi HIV/AIDS
LO 2.6 Manifestasi Klinis HIV/AIDS
LO 2.7 Diagnosis & Diagnosis Banding HIV/AIDS
LO 2.8 Komplikasi HIV/AIDS
LO 2.9 Prognosis HIV/AIDS
LO 2.10 Pencegahan, promotif, dan screening HIV/AIDS
LO 2.11 Tatalaksana HIV/AIDS
LI. 3. Memahami dan Mempelajari Etika dalam menghadapi Kasus HIV/AIDS
LI. 4. Memahami dan Mempelajari Pandangan Islam dan Hukum dalam menangani Kasus
HIV/AIDS

LI. 1. Memahami dan Mempelajari Gangguan Defisiensi Imun


LO. 1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Defisiensi Imun
Gangguan defisiensi imun adalah gangguan yang dapat disebabkan oleh kerusakan
herediter yang mempengaruhi perkembangan sistem imun atau dapat terjadi akibat efek
sekunder dan penyakit lain (misalnya infeksi, malnutrisi, penuaan, imunosupresi,
autoimunitas, atau kemoterapi). Penyakit imunodefisiensi adalah defisiensi respon imun
akibat hipoaktivitas atau penurunan jumlah sel limfoid. Defisiensi imun tersebut
merupakan salah satu jenis defisiensi jaringan limfoid yang dapat timbul pada pria
maupun wanita dari berbagai usia dan ditentukan oleh faktor genetik atau timbul
sekunder oleh karena faktor lain.
Penyakit defisiensi imun adalah defek salah satu komponen sistem imun yang dapat
menimbulkan penyakit berat bahkan fatal yang secara kolektif.
LO. 1.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Defisiensi Imun
1. Defisiensi Imun Non-Spesifik
a. Defisiensi Komplemen
Dapat berakibat meningkatnya insiden infeksi dan penyakit autoimun
(SLE), komponen komplemen diperlukan untuk membunuh kuman, opsonisasi,
kemotaksis, pencegahan penyakit autoimun dan eliminasi kompleks antigen
antibodi. Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter.
i. Defisiensi Komplemen Kongenital
Menimbulkan infeksi berulang /penyakit kompleks imun (SLE dan
glomerulonefritis).
Defisiensi inhibitor esterase C1 (berhubungan dengan angioedema
herediter, penyakit yang ditandai dengan edem lokal sementara tetapi
seringkali. Menimbulkan aktivitas C1 yang tidak dapat dikontrol dan
produksi kinin yang meningkatkan permeabilitas kapiler)
Defisiensi C2 dan C4 (menimbulkan penyakit serupa LES, mungkin
disebabkan kegagalan eliminasi kompleks imun yang komplemen
dependen)
Defisiensi C3 (menimbulkan reaksi berat yang fatal terutama yang
berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik. Tidak adanya C3 berarti
fragmen kemotaktik C5 tidak diproduksi. Kompleks antigen-antibodi
C3b tidak diendapkan di membran dan terjadi gangguan opsonisasi)
Defisiensi C5 (menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri yang
berhubungan dengan gangguan kemotaksis)
Defisiensi C6, C7 dan C8 (meningkatkan kerentanan terhadap
septikemi, meningokok dan gonokok)
ii. Defisiensi Komplemen Fisiologik
Ditemukan pada neonatus disebabkan kadar C3, C5, dan faktor B yang
masih rendah.
iii.
Defisiensi Komplemen Didapat
Disebabkan oleh depresi sintesis (sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori).
5

Defisiensi Clq,r,s (terjadi secara bersamaan dengan penyakit autoimun


terutama pada penderita LES. Penderita ini sangat rentan terhadap
infeksi bakteri)
Defisiensi C4 (ditemukan pada beberapa penderita LES)
Defisiensi C2 (paling sering terjadi)
Defisiensi C3 (menunjukkan infeksi bakteri rekuren)
Defisiensi C5-C8 (kerentanan yang meningkat terhadap infeksi neseria)
Defisiensi C9 (jarang ditemukan)
b. Defisiensi Interferon dan lisozim
i. Interferon kongenital
Menimbulkan infeksi mononukleosis fatal
ii. Interferon dan lisozim didapat
Pada malnutrisi protein/kalori
c. Defisiensi Sel NK
i. Defisiensi Kongenital
Pada penderita osteoporosis (defek osteoklas dan monosit), kadar IgG, IgA,
dan kekerapan autoantibodi meningkat.
ii. Defisiensi Didapat
Akibat imunosupresi atau radiasi.
d. Defisiensi Sistem fagosit
Menyebabkan infeksi berulang, kerentanan terhadap infeksi piogenik
berhubungan langsung dengan jumlah neutrofil yang menurun, resiko
meningkat apabila jumlah fagosit turun < 500/mm 3. Defek ini juga mengenai
sel PMN.
i. Defisiensi Kuantitatif
Terjadi neutropenia/granulositopenia yang disebabkan oleh menurunnya
produksi atau meningkatnya destruksi. Penurunan produksi diakibatkan
pemberian depresan (kemoterapi pada kanker, leukimia) dan kondisi
genetik (defek perkembangan sel hematopioetik). Peningkatan destruksi
merupakan fenomena autoimun akibat pemberian obat tertentu (kuinidin,
oksasilin).
ii. Defisiensi Kualitatif
Mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, fagositosis, dan membunuh
mikroba intrasel.
1. Chronic Granulomatous Disease (infeksi rekuren mikroba gram dan
+)
2. Defisiensi G6PD (menyebabkan anemia hemolitik)
3. Defisiensi Mieloperoksidase (menganggu kemampuan membunuh
benda asing)
4. Chediak-Higashi Syndrome (abnormalitas lisosom sehingga tidak
mampu melepas isinya, penderita meninggal pada usai anak)
5. Job Syndrome (pilek berulang, abses staphylococcus, eksim kronis, dan
otitis media. Kadar IgE serum sangat tinggi dan ditemukan eosinofilia).
6. Lazy Leucocyte Syndrome (merupakan kerentanan infeksi mikroba
berat. Jumlah neutrofil menurun, respon kemotaksis dan inflamasi
terganggu)
6

7. Adhesi Leukosit (defek adhesi endotel, kemotaksis dan fagositosis


buruk, efeks sitotoksik neutrofil, sel NK, sel T terganggu. Ditandai
infeksi bakteri dan jamur rekuren dan gangguan penyembuhan luka)
2. Defisiensi Imun Spesifik
a. Defisiensi Kongential/primer
Sangat jarang terjadi.
i. Sel B
Defisiensi sel B ditandai dengan penyakit rekuren (bakteri)
1 X-linked hypogamaglobulinemia: Hanya terjadi pada bayi laki-laki
tampak pada usia 5-6 bulan sewaktu IgG asal ibu mulai menghilang.
Penyakit ini jarang terjadi.
2 Hipogamaglobulinemia sementara: Terjadi pada bayi bila sintesis IgG
terlambat. Biasanya usia antara 6-7 bulan. Sebabnya tidak jelas, tetapi
berhubungan dengan defisiensi sementara dari sel Th.
3 Common variable hypogammaglobulinemia: Penyakit berhubungan
dengan insidens autoimun yang tinggi. Meskipun jumlah sel B dan Ig
normal, kemampuan memproduksi dan atau melepas Ig mengalami
gangguan. Kadar Ig menurun seiring dengan memberatnya penyakit.
4 Disgamaglobulinemia: Adanya penurunan kadar satu atau lebih Ig,
sedang kadar Ig yang lain normal atau meningkat.
ii. Sel T
Defisensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur, dan protozoa yang
rekuren
1 Sindrom DiGeorge (aplasi timus kongenital): Penderita ini sangat
sedikit memiliki sel T dalam darah, KGB, dan limpa
2 Kandidiasis mukokutan kronik: Infeksi jamur yang disertai dengan
gangguan fungsi sel T yang selektif.
iii. Kombinasi sel T dan sel B
1. Severe combined immunodeficiency disease (SCID): Defisiensi
kombinasi sel B dan sel T yang berat.
2. Sindrom nezelof: Golongan penyakit dengan gambaran imun yang
sama. Imunitas sel T tampak jelas menurun. Defisiensi sel B variable
dan kadar Ig spesifik dapat rendah, normal atau meningkat.
3. Sindrom wiskott-aldrich: Menunjukkan trombositopenia.
4. Ataksia telangiektasi: Penyakit autosomal resesif mengenai saraf,
endokrin, dan sistem vascular.
5. Defisiensi adenosin deaminase: Adenosine deaminase tidak ditemukan
di semua sel, hal ini berbahaya, karena bila hal itu tejadi kadar bahan
toksik berupa ATP dan deoksi-ATP dalam sel limfoid akan meningkat.
b. Fisiologik
i. Kehamilan
Defisiensi imun seluler dapat ditemukan pada kehamilan. Hal ini karena
peningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif faktor humoral yang
dibentuk trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas
pengaruh estrogen.
7

ii. Usia tahun pertama


Sistem imun pada anak usia satu tahun pertama sampai usia 5 tahun masih
belum matang.
iii. Usia lanjut
Golongan usia lanjut sering mendapat infeksi karena terjadi atrofi timus
dengan fungsi yang menurun.
c. Defisiensi imun didapat/sekunder
i. Malnutrisi
ii. Infeksi
Infeksi dapat menimbulkan defisiensi imun. Malaria dan rubella kongenital
dapat berhubungan dengan defisiensi antibody. Campak sudah diketahui
berhubungan dengan defek imunitas selular yang menimbulkan reaktivasi
tuberkulosis. Hal-hal tersebut dapat terjadi bersama pada penderita sakit
berat. Campak dan virus lain dapat menginfeksi tubuh dan menginduksi
DTH sementara. Jumlah sel T dalam sirkulasi dan respons limfosit terhadap
antigen dan mitogen menurun.
iii. Obat, trauma, tindakan, kateterisasi, dan bedah
Obat sitotoksik, gentamisin, amikasin, tobramisin dapat mengganggu
kemotaksis neutrofil. Kloramfenikol, tetrasiklin dapat menekan antibodi
sedangkan rifampisin dapat menekan baik imunitas humoral ataupun
selular. Penderita yang mendapat trauma (luka bakar atau tindakan bedah
besar/mayor) akan kurang mampu menghadapi patogen. Hal ini mungkin
karena penglepasan faktor yang menekan respon imun.
iv. Penyinaran
Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan dosis
rendah menekan aktivitas sel Ts secara selektif.
v. Penyakit berat
Defisiensi imun dapat terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang
jaringan limfoid seperti Hodgkin, mieloma multipel, leukemia dan
limfosarkoma. Uremia dapat menekan sistem imun dan menimbulkan
defisiensi imun. Gagal ginjal dan diabetes menimbulkan defek fagosit
sekunder yang mekanismenya belum jelas. Imunoglobulin juga dapat
menghilang melalui usus pada diare
vi. Kehilangan Ig/leukosit
Pada sindrom nefrotik terjadi kehilangan protein dan penurunan IgG dan
IgA, sedangkan IgM normal. Pada diare (limfangiektasi intestinal, protein
losing enteropaty) dan luka bakar akibat kehilangan protein.
vii. Stres
viii. Agamaglobulinemia dengan timoma
Agamaglobulinemia dengan timoma disertai dengan menghilangnya sel B
total dari sirkulasi. Eosinopenia atau aplasia sel darah merah juga dapat
menyertai agamaglobulinemia.
d. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
Beberapa jenis virus dapat mengganggu respon imun dengan menekan fungsi
sistem imun atau dengan menginfeksi sel sistem imun. Contoh fenomena yang
baik adalah AIDS. AIDS adalah penyakit yang disebabkan HIV-1, dan
8

beberapa kasus seperti di Afrika Tengah disebabkan HIV-2 yang merupakan


homolog HIV-1. Keduanya merupakan virus lenti yang menginfeksi sel CD4 + T
yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV., makrofag dan jenis
sel lain. Transmisi virus terjadi melalui cairan tubuh yang terinfeksi seperti
hubungan seksual, homoseksual, penggunaan jarum yang terkontaminasi,
transfusi darah atau produk darah seperti hemofili dan bayi yang dilahirkan ibu
dengan HIV.
LO. 1.3. Memahami dan Menjelaskan Etiologi Defisiensi Imun
Dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1
2

Defisiensi imun primer


a Kongenital/genetik
Terkadang bermanifestasi, tetapi keadaan klinis terjadi pada usia lebih lanjut.
Defisiensi imun sekunder
a Malnutrisi
b Kanker generalisata
c Pengobatan imunosupresan
d Infeksi penyakit (HIV/AIDS)
e Immatur limfosit

Selain itu dapat diakibatkan oleh :


Defek genetik
Defek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan (misal ataksiateleangiektasia, defisiensi deaminase adenosin). Defek gen tunggal khusus pada
sistem imun (misal defek tirosin kinase pada X-linked agammaglobulinemia;
abnormalitas rantai epsilon pada reseptor sel T). Kelainan multifaktorial dengan
kerentanan genetik (misal common variable immunodeficiency).
b Obat atau toksin
Imunosupresan (kortikosteroid, siklosporin) dan antikonvulsan (fenitoin).
c Penyakit nutrisi dan metabolic
Malnutrisi (misal kwashiorkor), protein losing enteropathy (misal
limfangiektasia intestinal), dan defisiensi vitamin (misal biotin, atau transkobalamin
II).
d Defisiensi mineral
Seng pada Enteropati Akrodermatitis
e Kelainan kromosom
Anomali DiGeorge (delesi 22q11) dan defisiensi IgA selektif (trisomi 18).
f Infeksi
Imunodefisiensi sementara (pada campak dan varicella) dan imunodefisiensi
permanen (infeksi HIV, infeksi rubella kongenital).
Penyebab defisiensi imun sangat beragam dan penelitian berbasis genetik berhasil
mengidentifikasi lebih dari 100 jenis defisiensi imun primer dan pola menurunnya
terkait pada X-linked recessive, resesif autosomal, atau dominan autosomal.
9

Tabel 1. Gangguan Defisiensi imun umum (Baratawidjaja,2012)


Gangguan fungsi sistem imun yang umum
Gangguan
imun

fungsi

sistem Penyakit yang menyertai

Defisiensi
Sel B

Infeksi bakteri rekuren seperti otitis media, pneumonia rekuren

Sel T

Kerentanan meningkat terhadap virus, jamur dan protozoa

Fagosit

Infeksi sistemik oleh bakteri yang dalam keadaan biasa


mempunyai virulensi rendah, infeksi piogenik

Komplemen

Infeksi bakteri, autoimunitas

Disfungsi
Sel B

Gamopati monoclonal

Sel T

Peningkatan sel Ts yang menimbulkan infeksi penyakit

Fagosit

Limfoproliteratif

Komplemen

Edem angioneurotik akibat tidak adanya inhibitor esterase c1

10

Contoh-Contoh Penyakit
Tabel 2. Beberapa Penyakit Imunodefisiensi akibat Kelainan Genetik
LO.1.4. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang Defisiensi Imun

LI. 2. Memahami dan Mempelajari Infeksi HIV/AIDS


LO. 2.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi HIV/AIDS
HIV adalah termasuk retrovirus dari family retroviridae dan genus lentivirus yang
menginfeksi sistem imun terutama sel CD4+ sel T yang memiliki reseptor dengan
afinitas yang tinggi untuk HIV.
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi.
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan
infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari
serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak
Limfosit B
- Total WBC
-

Hitung neutrofil

Hitung limfosit

Hitung eosinofil
Pemeriksaan
kadar :
a) IgG
b) IgM
c) IgA

Limfosit T
Fagosit
Komplemen
- Hitung limfosit - Total WBC
- Titer C3 dan C4
total
- Uji kulit tipe - Hitung
jenis - Aktivitas CH50
lambat
leukosit
- X foto thorax
- Uji NBT (Nitro
blue
tetrazolium),
kemiluminesensi
:
fungsi
metabolic
neutrofil
- Titer IgE
- Ab monoclonal - Reduksi
- Opsonin assay
dengan Marker
dihidrorhodamin
(CD3,
CD4,
CD8)
- HLA typing
- Phagocytosis
- Component
assay
assay
- Analisa
- Bacterial assay
- Hemolysis
kromosom
assay

11

sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit
lain.
LO. 2.2. Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi HIV/AIDS
Seperti diketahui, pasien HIV/AIDS adalah orang yang sangat rentan dengan
berbagai penyakit termasuk TB. Dari data yang diketahui bahwa epidemik HIV
menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemik TB di seluruh dunia yang
berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi ini merupakan
tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa
pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV.
Sebaliknya TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama
kematian pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).
Setiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus TB baru per 100.000 penduduk dengan
perkiraan prevalensi HIV di antara pasien TB sebesar 0,8% secara nasional (WHO
Report 2007). Sampai saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran
HIV di antara pasien TB. Hasil studi tentang seroprevalensi yang dilaksanakan di
Yogyakarta pada tahun 2006 menunjukkan angka prevalensi HIV sebesar 2% di antara
pasien TB. Sedangkan survey yang sama di provinsi Papua menunjukkan angka sebesar
15,4%, Jawa Timur sebesar 1,8%, dan di Bali sebesar 3,9%. Berdasarkan Laporan
Triwulan, pengidap Infeksi HIV dan Kasus AIDS sampai dengan 31 Maret 2008
(Kemkes RI), infeksi oportunistik terbanyak dilaporkan adalah TB, yaitu sebesar 6367
kasus di antara 118.868 kasus AIDS. (Depkes RI, 2010)
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25
juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu
epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan
antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa
diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup di tahun 2005 dan lebih dari
setengah juta (570.000) merupakan anak-anak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta
orang kini hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi
dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003
dan jumlah terbesar sejak tahun 1981.
Afrika Sub-Sahara tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan
perkiraan 21,6 sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta (1,5-3 juta) dari
mereka adalah anak-anak yang usianya lebih rendah dari 15 tahun. Lebih dari 64% dari
semua orang yang hidup dengan HIV ada di Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per
empat (76%) dari semua wanita hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, terdapat 12 juta
(10.6-13.6 juta) anak yatim/piatu AIDS hidup di Afrika Sub Sahara. Asia Selatan dan
Asia Tenggara adalah terburuk kedua yang terinfeksi dengan besar 15%. 500.000 anakanak mati di region ini karena AIDS. Dua-tiga infeksi HIV/AIDS di Asia muncul di
India, dengawn perkiraan 5.7 juta infeksi (perkiraan 3.4 - 9.4 juta atau 0.9% dari
populasi), melewati perkiraan di Afrika Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1 juta atau
11.9% dari populasi) infeksi, membuat negara ini dengan jumlah terbesar infeksi HIV
di dunia. Di 35 negara di Afrika dengan perataan terbesar, harapan hidup normal
sebesar 48.3 tahun - 6.5 tahun sedikit daripada akan menjadi tanpa penyakit.
12

LO. 2.3. Memahami dan Menjelaskan Etiologi HIV/AIDS


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu
jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut
terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada
di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia
menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan
dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem
kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang
dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai
CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai
nol).
Struktur HIV terdiri atas :

2 untaian RNA yang identik dan merupakan genom virus yang berhubungan
dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut
diselubungi envelop membran fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein
gp120 dan gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop.
RNA-directed DNA polymerase (reverse transcriptase): Polimerase DNA dalam
retrovirus seperti HIV. Transverse transcriptase diperlukan dalam teknik
rekombinan DNA yang diperlukan dalam sintesis first stand cDNA.
Antigen p24: Core antigen virus HIV, yang merupakan pertanda dini adanya
infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi
sintesis antibodi terhadap HIV-1.
Antigen gp120: Glikoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor CD4+
ini telah digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4+.
Protein envelop: Produk yang menyandi gp120, digunakan dalam usaha
memproduksi antibodi yang efektif dan produktif oleh pejamu.

Menurut spesies terdapat dua jenis virus penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
HIV-1 paling banyak ditemukan di daerah barat, Eropa, Asia, dan Afrika Tengah,
Selatan, dan Timur. HIV-2 terutama ditemukan di Afrika Barat. HIV-1 maupun HIV-2
mempunyai struktur hampir sama, HIV-1 mempunyai gen Vpu, tetapi tidak mempunyai
gen VPX, sedangkan HIV-2 sebaliknya.
a

HIV-1
Merupakan penyebab utama AIDS di seluruh dunia. Genom HIV mengkode
sembilan protein esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus. Pada HIV-1
terdapat protein Vpu yang membantu pelepasan virus. Terdapat 3 tipe dari HIV1 berdasarkan alterasi pada gen amplopnya yaitu tipe M, N, dan O.
HIV-2
Protein Vpu pada HIV-1 digantikan dengan protein Vpx yang dapat
meningkatkan infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan hasil duplikasi
dari protein lain (Vpr). Walaupun sama-sama menyebabkan penyakit klinis
dengan HIV-2, tetapi kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1.
13

HIV memiliki diameter 100-150 nm dan berbentuk sferis (spherical) hingga oval karena
bentuk selubung yang menyelimuti partikel virus (virion). Selubung virus berasal dari
membran sel inang yang sebagian besar tersusun dari lipida. Di dalam selubung
terdapat bagian yang disebut protein matriks.
Bagian internal dari HIV terdiri dari dua komponen utama, yaitu genom dan
kapsid. Genom adalah materi genetik pada bagian inti virus yang berupa dua kopi utas
tunggal RNA. Sedangkan, kapsid adalah protein yang membungkus dan melindungi
genom.

LO. 2.4. Memahami dan Menjelaskan Cara Penularan dan Faktor Risiko HIV/AIDS
Penularan:
HIV menular melalui hubungan seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama
jenis, pinjam meminjam alat suntik (jarum, semprit, kapas, tempat mengaduk) di
antara para pengguna narkoba (IDU= Injecting Drug User), transfusi darah dan
transplantasi organ yang tidak di skrining, tato, tindik, dan penularan dari ibu ke anak
selama kehamilan, persalinan, dan menyusui.
Karena itu mereka yang beresiko tinggi terinfeksi HIV adalah:
-

Wanita dan pria yang berganti-ganti pasangan seks, para pekerja seks dan
langganannya, dan mereka yang melakukan hubungan seks yang tidak wajar
(melalui anus atau mulut).
Para pengguna narkoba yang memakai alat suntik secara bergantian.
Bayi yang dikandung, dilahirkan, dan disusui oleh ibu yang tertular HIV.
Transfusi darah dan transplantasi organ tubuh yang tidak diskrining, akupunktur,
penindikan, pentatoan dengan alat yang tercemar HIV.

LO. 2.5. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi HIV/AIDS


Perlekatan virus

14

Virion virus mempunyai tonjolan terdiri dari gp120 (pada selubung


permukaan/eksternal) dan gp41 (pada bagian transmembran), (gp : glikoprotein, angka
mengacu pada massa protein dalam ribuan dalton). Limfosit CD4+ merupakan target
utama pada infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan
CD4+ (berfungsi dalam imunologis yang penting). HIV menginfeksi sel dengan berikatan
dengan reseptor sel T CD4+. gp120 berikatan kuat dengan reseptor sel T CD4+, agar gp41
dapat memerantarai fusi membran virus ke membran sel, selain itu diperlukan
koreseptor pada permukaan sel T yaitu CCR5/CXCR4.
Individu yang mewarisi defisiensi (homozigot) gen koreseptor CCR5/CXCR4
resisten terhadap timbulnya AIDS, walaupun berulang kali terpajan HIV (1% orang
Amerika keturunan Caucasian), dan yang heterozigot tidak terlindung dari AIDS, akan
tetapi awitan penyakit melambat, hal ini belum pernah ditemukan pada homozigot
populasi Asia dan Afrika. Sel-sel lain yang rentan terinfeksi adalah makrofag, monosit
(berfungsi sebagai resevoar/APC untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus), sel
NK, sel B, sel endotel, sel epitel, sel Langerhans, sel dendritik, sel mikroglia, dan
berbagai jaringan tubuh dikarenakan sifat HIV yang politrofik. APC yang terinfeksi HIV
akan menuju ke limfonodus regional, virus dapat dideteksi 5 hari setelah inokulasi.
Dalam limfonodus APC baru dapat dideteksi dengan teknik hibridisasi in situ 7-14 hari
setelah inokulasi.
Replikasi virus
1
2
3
4

Perlekatan virus dengan sel T CD4+


Fusi dan masuknya virus kedalam sel T CD4+
Pelepasan nukleokapsid dan bekerjanya enzim reverse transcriptase yang membuat
satu untai RNA menjadi DNA salinan untai ganda virus.
cDNA bermigrasi ke dalam inti sel dengan bantuan enzim integrase

15

5
6
7
8
9

Integrasi ke dalam inti sel pejamu menghasilkan DNA provirus dan memicu
transkripsi membentuk mRNA
mRNA virus ditranslasikan menjadi enzim-enzim dan protein struktural oleh
ribosom sel
RNA genom virus dari inti sel dibebaskan ke sitoplasma
RNA virus bergabung dengan protein-protein virus, yang sebelumnya enzim
protease memotong dan menata protein virus menjadi segmen-segmen kecil
mengelilingi RNA virus yang menonjol keluar sel pejamu
Virion HIV baru siap dibebaskan dari sel T CD 4+ yang terbungkus oleh sebagian
sitoplasma dari membran sel T CD4+

Respon imun
Setelah terpajan HIV, individu akan melakukan respon imun terhadap infeksi yaitu
peningkatan sel T CD8+ yang menyebabkan menghilangnya viremia, walaupun demikian
hal ini tidak dapat mengontrol secara optimal terhadap replikasi HIV yang akan berada
pada masa steady-state beberapa bulan setelah infeksi dan untuk seberapa lamanya
bervariasi tergantung tingkat kekebalan tubuh pejamu. Sel NK dan sel T CD 8+
mengeluarkan perforin yang menyebabkan kematian sel terinfeksi. Aktivitas sitotoksik
sel T CD8+ sangat hebat hingga bisa menekan replikasi HIV dalam sel T CD 4+. Aktivitas
sel T CD8+ menurun seiring dengan berkembangnya penyakit.
Selain itu sel B yang dirangsang oleh IL-4 yang dikeluarkan oleh sel T CD 4+ akibat
rangsangan IL- 2 dari APC akan memacu sel B untuk berproliferasi menghasilkan sel
plasma yang menghasilkan antibodi spesifik untuk gp120 dan gp41 virus. Antibodi ini
akan muncul dalam 1-6 bulan pasca infeksi dan dapat dideteksi pertama kali setelah
replikasi virus menurun hingga level steady state, walaupun antibodi memiliki aktivitas
netralisasi yang kuat tetapi tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dengan
mengubah bagian amplopnya yaitu situs glikosilasinya, sehingga konfigurasi 3
dimensinya berubah dan antibodi yang spesifik terhadap glikoprotein terdahulu tidak
akan mengenal dengan glikoprotein yang bar
Patofisiologi

16

17

Dengan adanya sel T mempermudah produksi IL-2 untuk mengaktivasi sel Th lain
untuk berespon terhadap infeksi HIV, sel T CD 4+ juga memproduksi IFN- untuk
mengaktifkan makrofag. Sel T CD4+ memproduksi IL-4 yang akan mengaktivasi sel B
untuk menghasilkan antibodi. Sel T CD4+ memproduksi IL-5 untuk perlawanan terhadap
helminth, sehingga apabila sel T CD4+ dirusak oleh infeksi HIV akan mengakibatkan
infeksi oportunistik berat yang berakibat fatal.
Selain itu defisiensi sel T CD4+ juga disebabkan oleh :
1 ADCC/sel NK yang terinduksi oleh antibodi gp120 dan gp41, akan membantu
menyingkirkan sel T CD4+ yang terinfeksi
2 Apoptosis sel T CD4+
3 Ketidakmampuan pembelahan sel T CD4+ (anergi)
4 Teori sinsitium, sel T CD4+ yang tidak terinfeksi berfusi dengan sel-sel terinfeksi
LO. 2.6. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik HIV/AIDS
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum
terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala Klinis
Gejala Mayor

a. Berat badan menurun lebih dari 10%


dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih
dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1
bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan
neurologis

Gejala Minor

e. Demensia/ HIV ensefalopati


a Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b Dermatitis generalisata
c Adanya herpes zoster multisegmental
dan herpes zoster berulang
d Kandidiasis orofaringeal
e Herpes simpleks kronis progresif
f Limfadenopati generalisata
g Renitis virus Sitomegalo

Berdasarkan stadiumnya:
18

a. Stadium 1 (asimptomatik)
- Tidak ada penurunan berat badan
- Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata
b. Stadium 2 (sakit ringan)
- Penurunan BB 5-10%
- ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
- Ulkus mulut berulang
- Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
- Dermatitis seboroik
- Infeksi jamur kuku
c. Stadium 3 (sakit sedang)
- Penurunan berat badan > 10%
- Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan
- Kandidiasis oral persisten
- Oral hairy leukoplakia
- Tuberkulosis paru
- Infeksi bakteri yang berat (pneumonia, piomiositis, dll)
- TB limfadenopati
- Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut/Stomatitis
- Anemia (Hb <8 g%/dL), neutropenia (<5000/ml), trombositopenia kronis
(<50.000/ml)
d. Stadium 4 sakit berat (AIDS)
- HIV wasting syndrome
- Pneumonia bacterial berat rekuren
- Pneumonia akibat pneumocystis carinii
- Herpes simpleks mukokutan (>1 bulan) atau visceral
- Kandidiasis esophagus, trakea, atau bronkus
- Tuberkulosis extrapulmonal
- Sarkoma Kaposi
- Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
- Toksoplasmosis serebral
- Kriptosporidiasis
- Encefalopati HIV
- Septikemia salmonella nontifoid rekuren
- Mikobakteriosis atipik, diseminata, atau paru
- Mikosis endemic diseminata
- Leukoensefalopati multifocal progresif
Atau :

Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS

Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran
pernapasan atas yang berulang
19

Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari
sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.

Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus


atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.

LO. 2.7. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding HIV/AIDS
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui bahwa mereka terinfeksi karena
mereka tidak mengalami gejala setelah mereka pertama kali terinfeksi HIV. Sebagian
dari mereka memiliki gejala mirip flu dalam beberapa hari sampai beberapa minggu
setelah terpapar virus. Mereka mengeluh demam, sakit kepala, kelelahan, dan terjadi
pembesaran kelenjar getah bening di leher. Gejala-gejala ini biasanya hilang dengan
sendirinya dalam beberapa minggu. Setelah itu, orang tersebut merasa normal dan tidak
memiliki gejala. Fase ini sering berlangsung tanpa gejala selama bertahun-tahun.
Pemeriksaan darah adalah cara paling umum untuk mendiagnosis HIV. Tes ini bertujuan
untuk mencari antibodi terhadap virus HIV. Orang yang terkena virus harus segera
dilakukan pemeriksaan laboratorium. Tindak lanjut tes mungkin diperlukan, tergantung
pada waktu awal paparan.
Sebelum dilakukan tes, pemeriksaan anamnesis juga perlu dilakukan untuk
mengetahui gaya hidup pasien apakah termasuk gaya hidup berisiko tinggi.
Pemeriksaan primer untuk mendiagnosis HIV dan AIDS meliputi:

ELISA
ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) digunakan untuk mendeteksi
infeksi HIV. Jika tes ELISA positif, tes Western blot biasanya dilakukan untuk
mengkonfirmasikan diagnosis. Jika tes ELISA negatif, tetapi ada kemungkinan
pasien tersebut memiliki HIV, pemeriksaan harus diulang lagi dalam satu sampai
tiga bulan.
ELISA sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%, cukup sensitif pada
infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi,
hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu untuk beberapa bulan setelah
terinfeksi. Meskipun hasil tes mungkin negatif selama periode ini, pasien
mungkin memiliki tingkat penularan tinggi. Biasanya tes ini memberikan hasil
positif setelah 2-3 bulan terinfeksi.

Pemeriksaan Air Liur


Pad kapas digunakan untuk memperoleh air liur dari bagian dalam pipi. Pad
ditempatkan dalam botol dan diserahkan ke laboratorium untuk pengujian. Hasil
dapat diperoleh dalam tiga hari. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes
darah.

Hitung CD4+
CD4+ sebagai indicator keadaan system imun pada pasien dengan HIV.
20

Pemeriksaan Antigen p24 (p24 antigen capture assay)


Deteksi protein virus p24 berbentuk antigen yang bebas, atau yang terikat
dengan antibodi p24 dalam darah pasien yang terinfeksi HIV.

Viral Load Test


Tes ini bertujuan untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah. Umumnya,
tes ini digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan atau mendeteksi dini
infeksi HIV. Tiga teknologi yang digunakan untuk mengukur viral load HIV
dalam darah: Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR),
Branched DNA (bDNA) dan Nucleic Acid Sequence-Based Amplification Assay
(NASBA). Prinsip-prinsip dasar dari tes ini sama. HIV dideteksi menggunakan
urutan DNA yang terikat secara khusus pada virus. Penting untuk dicatat bahwa
hasil dapat bervariasi antara tes.

Western Blot
Ini adalah pemeriksaan darah yang sangat sensitif sebesar 99,6-100%, yang
digunakan untuk mengkonfirmasi hasil tes ELISA positif. Tetapi pemeriksaan ini
cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Western Blot
merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi
rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang
ditemukan berarti tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein
ditemukan berarti western blot positif. Tes ini harus diulangi lagi setelah 2
minggu dengan sampel yang sama. Jika western blot tetap tidak bisa disimpulkan
maka tes western blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif
maka pasien dianggap HIV negatif
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pasien ini difikirkan sebagai multipel abses pada HIV yang
disebabkan oleh tuberculosis, karena abses pada tuberculoma juga terdapat multipel
abses, dengan gambaran abses yang lebih kecil dengan ukuran 1-2 mm, serta efek
massa yang minimal. Namun pada pasien ini didapatkan adanya gejala infeksi
tuberkulosis pada paru, yaitu tidak adanya batuk-batuk yang lama dan pada
pemeriksaan fisik paru tidak didapatkan kelaianan serta pada hasil MRI didapatkan
ukuran yang lebih besar dan efek massa (+)

Malaria
Tuberkulosis
Penyakit Autoimun
Untuk diagnosis banding infeksi HIV yang berat yang perlu diingat di antaranya
ialah severe combined immunodeficiency disease (SCID) dan hipogamaglobulinemia. Oleh karena secara klinis infeksi HIV yang berat sulit dibedakan
dengan SCID, maka harus diperiksa adanya HIV. Walaupun sebagian kecil dari
infeksi HIV disertai hipo-gamaglobulinemia, sebagian infeksi HIVpada anak disertai
oleh hipergama-globulinemia.
21

LO.2.8. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi HIV/AIDS


Kebanyakan komplikasi HIV terjadi akibat dari supresi sel T. Karena sel T yang
diserang, kekebalan tubuh menurun hingga dapat terjadi infeksi oportunistik.
Komplikasi-komplikasi pada pasien yang terjangkit HIV menyebabkan AIDS. Obat antiretroviral, yang dikenal sebagai Highly Active Anti-Retroviral Therapy (ART), sekarang
tersedia untuk menghambat replikasi dari virus HIV. Obat-obat ini membantu untuk
memperpanjang hidup, mengembalikan sistem kekebalan pasien hingga mendekati
aktivitas normal dan mengurangi kemungkinan infeksi oportunistik. Kombinasi dari tiga
atau lebih obat-obatan diberikan untuk mengurangi kemungkinan resistensi.
Komplikasi-komplikasi umum pada pasien HIV/AIDS akibat infeksi oportunistik:
Tuberkulosis (TB)
Di negara-negara miskin, TB merupakan infeksi oportunistik yang paling
umum yang terkait dengan HIV dan menjadi penyebab utama kematian di antara
orang yang hidup dengan AIDS. Jutaan orang saat ini terinfeksi HIV dan TBC dan
banyak ahli menganggap bahwa ini merupakan wabah dua penyakit kembar.

Salmonelosis
Kontak dengan infeksi bakteri ini terjadi dari makanan atau air yang telah
terkontaminasi. Gejalanya termasuk diare berat, demam, menggigil, sakit perut,
dan kadang-kadang muntah. Meskipun orang terkena bakteri salmonella dapat
menjadi sakit, salmonellosis jauh lebih umum ditemukan pada orang yang HIVpositif.

Cytomegalovirus (CMV)
Virus ini adalah virus herpes yang umum ditularkan melalui cairan tubuh
seperti air liur, darah, urin, semen, dan air susu ibu. Sistem kekebalan tubuh yang
sehat dapat menonaktifkan virus sehingga virus tetap berada dalam fase dorman
(tertidur) di dalam tubuh. Jika sistem kekebalan tubuh melemah, virus menjadi
aktif kembali dan dapat menyebabkan kerusakan pada mata, saluran pencernaan,
paru-paru atau organ tubuh lainnya.

Kandidiasis
Kandidiasis adalah infeksi umum yang terkait HIV. Hal ini menyebabkan
peradangan dan timbulnya lapisan putih tebal pada selaput lendir, lidah, mulut,
kerongkongan atau vagina. Anak-anak mungkin memiliki gejala parah terutama di
mulut atau kerongkongan sehingga pasien merasa sakit saat makan.

Cryptococcal Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput dan cairan yang mengelilingi otak
dan sumsum tulang belakang (meninges). Cryptococcal meningitis infeksi sistem
saraf pusat yang umum terkait dengan HIV. Disebabkan oleh jamur yang ada
dalam tanah dan mungkin berkaitan dengan kotoran burung atau kelelawar.

Toxoplasmolisis

22

Infeksi yang berpotensi mematikan ini disebabkan oleh Toxoplasma gondii.


Penularan parasit ini disebabkan terutama oleh kucing. Parasit berada dalam tinja
kucing yang terinfeksi kemudian parasit dapat menyebar ke hewan lain.

Kriptosporidiosis
Infeksi ini disebabkan oleh parasit usus yang umum ditemukan pada hewan.
Penularan kriptosporidiosis terjadi ketika menelan makanan atau air yang
terkontaminasi. Parasit tumbuh dalam usus dan saluran empedu yang
menyebabkan diare kronis pada orang dengan AIDS.

Kanker yang biasa terjadi pada pasien HIV/AIDS:


Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor pada dinding pembuluh darah. Meskipun
jarang terjadi pada orang yang tidak terinfeksi HIV, hal ini menjadi biasa pada
orang dengan HIV-positif. Sarkoma Kaposi biasanya muncul sebagai lesi merah
muda, merah atau ungu pada kulit dan mulut. Pada orang dengan kulit lebih gelap,
lesi mungkin terlihat hitam atau coklat gelap. Sarkoma Kaposi juga dapat
mempengaruhi organ-organ internal, termasuk saluran pencernaan dan paru-paru.

Limfoma
Kanker jenis ini berasal dari sel-sel darah putih. Limfoma biasanya berasal
dari kelenjar getah bening. Tanda awal yang paling umum adalah rasa sakit dan
pembengkakan kelenjar getah bening ketiak, leher atau selangkangan.

Komplikasi lainnya:

Wasting Syndrome
Pengobatan agresif telah mengurangi jumlah kasus wasting syndrome, namun
masih tetap mempengaruhi banyak orang dengan AIDS. Hal ini didefinisikan
sebagai penurunan paling sedikit 10 persen dari berat badan dan sering disertai
dengan diare, kelemahan kronis dan demam.

Komplikasi Neurologis
Walaupun AIDS tidak muncul untuk menginfeksi sel-sel saraf, tetapi AIDS
bisa menyebabkan gejala neurologis seperti kebingungan, lupa, depresi,
kecemasan dan kesulitan berjalan. Salah satu komplikasi neurologis yang paling
umum adalah demensia AIDS yang kompleks, yang menyebabkan perubahan
perilaku dan fungsi mental berkurang.

LO.2.9. Memahami dan Menjelaskan Prognosis HIV/AIDS


-

Tanpa pengobatan, waktu hidup bersih rata-rata setelah terinfeksi HIV diperkirakan 9
sampai 11 tahun, tergantung pada subtipe HIV, di daerah-daerah dimana banyak
tersedia, pengembangan ARV sebagai terapi efektif untuk infeksi HIV dan AIDS
mengurangi kematian tingkat dari penyakit dengan 80%, dan meningkatkan harapan
hidup untuk orang yang terinfeksi HIV baru didiagnosis sekitar 20 tahun.

23

Tanpa terapi antiretroviral, kematian biasanya terjadi dalam waktu satu tahun. Laju
perkembangan penyakit klinis sangat bervariasi antara individu dan telah terbukti
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kerentanan host dan fungsi kekebalan tubuh.

LO.2.10. Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Promotif dan screening HIV

Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya: hubungan seks


yang tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini
memungkinkan penularan HIV)
Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua
resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan
bayinya, sehingga keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa
dipertimbangkan.
Abstinensi (puasa, tidak melakukan hubungan seks)
Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia
kepada pasangannya
Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan
melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom

Ada dua hal yang perlu diperhatikan:


Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau pisau
cukur) harus disterilisasi dengan benar
Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan
orang lain
Anjuran dari badan kesehatan dan WHO :
1 Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda
2 Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai kelompok
sasaran
3 Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik
4 Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika, termasuk program
pengadaan jarum suntik steril
5 Program pendidikan agama
6 Program layanan pengobatan infeksi menular seksual (IMS)
7 Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat
8 Pelatihan keterampilan hidup
9 Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling
10 Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak
11 Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan, dan
dukungan untuk ODHA
12 Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV
Pencegahan (preventif)
Pencegahan tentu saja harus dikaitkan dengan cara-cara penularan HIV seperti yang
sudah dikemukakan. Ada beberapa cara pencegahan HIV/AIDS, yaitu :
24

a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual, infeksi HIV terutama terjadi


melalui hubungan seksual, sehingga pencegahan AIDS perlu difokuskan pada
hubungan seksual. Untuk ini perlu dilakukan penyuluhan agar orang berperilaku
seksual yang aman dan bertanggung jawab, yakni : hanya mengadakan hubungan
seksual dengan pasangan sendiri (suami/isteri sendiri), kalau salah seorang
pasangan anda sudah terinfeksi HIV, maka dalam melakukan hubungan seksual
perlu dipergunakan kondom secara benar, mempertebal iman agar tidak terjerumus
ke dalam hubungan-hubungan seksual di luar nikah.
b. Pencegahan Penularan Melalui Darah dapat berupa : pencegahan dengan cara
memastikan bahwa darah dan produk-produknya yang dipakai untuk transfusi
tidak tercemar virus HIV, jangan menerima donor darah dari orang yang berisiko
tinggi tertular AIDS, gunakan alat-alat kesehatan seperti jarum suntik, alat cukur,
alat tusuk untuk tindik yang bersih dan suci hama.
c. Pencegahan penularan dari Ibu-Anak (Perinatal).
Ibu-ibu yang ternyata mengidap virus HIV/AIDS disarankan untuk tidak hamil.
Selain dari berbagai cara pencegahan yang telah diuraikan diatas, ada beberapa
cara pencegahan lain yang secara langsung maupun tidak langsung ikut mencegah
penularan atau penyebaran HIV/AIDS.
Kegiatan tersebut berupa kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang
dalam implementasinya berupa: konseling AIDS dan upaya mempromosikan
kondomisasi, yang ditujukan kepada keluarga dan seluruh masyarakat yang
potensial tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual yang dilakukannya.
Screening HIV
Mempunyai makna melakukan pemeriksaan HIV pada suatu populasi tertentu,
sementara uji diagnostik HIV berarti melakukan pemeriksaan HIV pada orang-orang
dengan gejala dan tanda yang konsisten dengan infeksi HIV. CDC menyatakan bahwa
infeksi HIV memenuhi seluruh kriteria untuk dilakukan skrining, karena:
a. Infeksi HIV merupakan penyakit serius yang dapat didiagnosis sebelum timbulnya
gejala.
b. HIV dapat dideteksi dengan uji skrining yang mudah, murah, dan noninvasif.
c. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki harapan untuk lebih lama hidup bila
pengobatan dilakukan sedini mungkin, sebelum timbulnya gejala.
d. Biaya yang dikeluarkan untuk skrining sebanding dengan manfaat yang akan
diperoleh serta dampak negatif yang dapat diantisipasi. Di antara wanita hamil,
skrining secara substansial telah terbukti lebih efektif dibandingkan pemeriksaan
berdasarkan risiko untuk mendeteksi infeksi HIV dan mencegah penularan
perinatal.
CDC merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HIV secara rutin untuk setiap
orang berusia 13-64 tahun yang datang ke sarana pelayanan kesehatan meskipun tanpa
gejala. Selain itu, CDC juga merekomendasikan agar pemeriksaan HIV dimasukkan
dalam pemeriksaan rutin antenatal bagi wanita hamil. Sementara pemeriksaan wajib
HIV lebih ditekankan untuk dilakukan pada donor darah dan organ. Pemeriksaan wajib
25

HIV juga dapat dilakukan pada bidang perekrutan tentara atau tenaga kerja imigran.
Panduan WHO mengenai PITC tahun 2007 menyebutkan bahwa metode ini dapat
diterapkan pada wilayah dengan tingkat epidemiologi HIV yang berbeda- beda, yaitu
daerah dengan epidemi HIV yang rendah, daerah dengan tingkat epidemi HIV yang
terkonsentrasi, dan daerah dengan tingkat epidemi yang meluas. Yang dimaksud
dengan epidemi yang rendah adalah infeksi HIV hanya ditemukan pada beberapa
individu dengan perilaku berisiko (WPS, pengguna narkoba suntik, laki-laki
berhubungan seks dengan laki-laki); angka prevalensinya tidak melebih 5% pada
subpopulasi tertentu. Sementara itu, yang dimaksud dengan tingkat epidemi yang
terkonsentrasi adalah infeksi HIV telah menyebar di subpopulasi tertentu, namun tidak
ditemukan di populasi umum. Hal ini menunjukkan aktifnya hubungan antara risiko
dengan subpopulasi; angka prevalensi pada subpopulasi melebihi 5%, namun tidak
sampai 1% pada wanita hamil. Kemudian, yang dimaksud tingkat epidemi yang
meluas adalah infeksi HIV telah ditemukan pada populasi umum, dengan prevalensi
pada wanita hamil melebihi 1%.
Pada semua tingkat epidemi, PITC direkomendasikan untuk dilakukan kepada orang
dewasa, remaja, atau anak dengan gejala dan tanda klinis yang sesuai dengan infeksi
HIV; anak yang terpapar HIV atau anak yang lahir dari ibu yang HIV positif; anak
dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi, di daerah dengan epidemi yang
meluas, yang tidak membaik dengan terapi yang optimal; serta pria yang
menginginkan untuk dilakukan sirkumsisi sebagai pencegahan penularan HIV.
Pada daerah dengan epidemi yang meluas, PITC direkomendasikan untuk diterapkan
kepada pasien rawat inap dan rawat jalan, termasuk pasien TB; pelayanan kesehatan
antenatal, persalinan dan post partum; pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan
kesehatan untuk populasi yang berisiko; pelayanan kesehatan untuk anak usia di
bawah 10 tahun; pelayanan kesehatan untuk remaja; pelayanan pembedahan; dan
layanan kesehatan reproduksi, termasuk keluarga berencana.
Untuk daerah dengan tingkat epidemi rendah atau terkonsentrasi, PITC dapat
dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada tempat pelayanan infeksi menular seksual;
pelayanan kesehatan untuk populasi paling berisiko; pelayanan antenatal, persalinan,
dan pascamelahirkan; serta pelayanan untuk TB.
Panduan nasional Inggris tahun 2008 tentang pemeriksaan HIV merekomendasikan
pemeriksaan HIV secara rutin kepada orang-orang berikut:
a. Semua pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan di mana HIV, termasuk
infeksi primer HIV, menjadi salah satu diagnosis banding.
b. Semua pasien yang didiagnosis dengan infeksi menular seksual.
c. Semua partner seksual dari laki-laki atau wanita yang diketahui HIVpositif.
d. Semua laki-laki dengan riwayat berhubungan seksual dengan laki-laki
e. Semua wanita partner seksual dari laki-laki yang berhubungan seksdengan lakilaki.
f. Semua pasien dengan riwayat penggunaan narkoba suntik.
g. Semua laki-laki dan wanita yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan
26

prevalensi HIV yang tinggi (>1%).


h. Semua laki-laki dan wanita yang berhubungan seksual di luar atau didalam Inggris
dengan pasangan yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan prevalensi HIV
yang tinggi.

Pemeriksaan HIV dan Uji Konfirmasi HIV


Pemeriksaan untuk mengetahui adanya antibodi HIV dapat dilakukan dengan 3
strategi. Dalam tahap pertama pemeriksaan tersebut jika hasilnya positif atau positif
palsu (hasil uji saring menyatakan positif, namun sebenarnya tidak terinfeksi HIV)
dapat dilakukan pemeriksaan Anti-HIV konfirmasi yang merupakan pemeriksaan
tahap kedua setelah uji saring. Bila pada pemeriksaan ini menunjukkan hasil positif,
maka hampir dapat dipastikan bahwa seorang individu terinfeksi HIV.

Strategi I

Algoritma pemeriksaan dengan strategi I testing algorithm untuk meningkatkan


keamanan transfusi darah dan transplantasi. A menyatakan pemeriksaan/tes.
27

Hasil akhir dengan strategi I ini tidak boleh dipakai sebagai penegakkan
diagnosis.
Apapun hasil akhir setelah diperiksa lebih lanjut, semua darah atau bahan
donor dengan hasil pemeriksaan awal reaktif/positif tidak boleh dipakai
untuk transfusi atau transplantasi.
Hanya dilakukan satu kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif,
maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan
nonreaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk
pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi
(>99%).

Strategi II

Algoritma pemeriksaan menggunakan strategi II untuk surveilans. A menyatakan


pemeriksaan/tes.
Menggunakan dua kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan
pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama
hasilnya nonreaktif, maka dilaporkan hasilnya negatif. Pemeriksaan
pertama menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi dan pada
pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda
jenis antigen atau tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan
pertama. Bila hasil pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan
sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil pemeriksaan yang kedua
adalah nonreaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan kedua
metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai
indeterminate.

28

Strategi III

Algoritma pemeriksaan menggunakan strategi III untuk menegakkan diagnosis. A


menyatakan pemeriksaan/tes.
Menggunakan tiga kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan
pertama, kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa
pasien tersebut memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak
sama, misalnya hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan tes
ketiga nonreaktif, atau tes pertama reaktif, sementara tes kedua dan
ketiga nonreaktif, maka keadaan ini disebut sebagai equivokal atau
indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan
terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular HIV. Sedangkan bila hasil
seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada orang tanpa riwayat
pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko tertular HIV, maka hasil
pemeriksaan dilaporkan sebagai nonreaktif. Perlu diperhatikan juga
bahwa pada pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal
antigen atau tekniknya, serta memiliki spesifisitas yang lebih tinggi.
Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya
29

infeksi oleh HIV, yang paling sering dipakai saat ini adalah teknik Western Blot
(WB).
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus
mendapatkan konseling pra tes. Hal ini dilakukan agar ia bisa mendapat
informasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat
mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima
apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling
pra tes karena orang yang dites tidak akan diberi tahu hasil tesnya.
Untuk memberi tahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik
hasil tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi
mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara
pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan
untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak
berisiko. Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan
laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi
atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh.

Model Skrining
Menurut UNAIDS/WHO terdapat empat jenis model skrining HIV, antara lain:
1. Pemeriksaan dan konseling HIV (voluntary counselling and testing)
Pemeriksaan HIV yang didorong oleh kemauan klien untuk mengetahui status
HIV-nya ini masih dianggap penting bagi keberhasilan program pencegahan HIV.
Konseling pra tes dapat dilakukan secara individu maupun berkelompok.
UNAIDS/WHO mendukung penggunaan uji cepat sehingga hasilnya dapat
diketahui segera dan dapat ditindaklanjuti langsung dengan konseling pasca tes
baik untuk yang HIV positif maupun HIV negatif.
2. Pemeriksaan HIV diagnostik, diindikasikan pada pasien dengan tanda dan gejala
yang sejalan dengan penyakit-penyakit yang terkait HIV atau AIDS, termasuk
pemeriksaan terhadap tuberkulosis sebagai pemeriksaan rutin. Pada pemeriksaan
ini, pasien sebaiknya diberikan informasi yang cukup sehingga pasien dapat
memutuskan apakah setuju untuk dilakukan pemeriksaan HIV atau tidak. Untuk
keadaan di mana pasien tidak dalam posisi memberikan persetujuan, seperti pasien
30

psikiatrik atau pasien yang tidak sadar, pemeriksaan dapat dilakukan bila hasilnya
bermanfaat bagi pasien. Jika ini terjadi, harus ada usaha untuk
mengkomunikasikan hasil pemeriksaan kepada pasien dan memberitahukan hasil
tersebut dengan konseling.
3. Pemeriksaan HIV dengan inisiatif dari tenaga kesehatan (Provider-Initiated
Testing and Counseling -PITC) dilakukan pada pasien yang:
- Sedang menjalani pemeriksaan terhadap penyakit menular seksual (PMS) di
klinik umum atau khusus infeksi menular seksual (IMS).
- Sedang hamil, untuk mengatur pemberian antiretroviral untuk mencegah
transmisi dari ibu ke bayi.
- Dijumpai di klinik umum atau puskesmas di daerah dengan prevalens HIV
yang tinggi dan tersedia obat antiretroviral, namun tidak memiliki gejala.
Dalam model ini, dibutuhkan mekanisme rujukan yang jelas untuk mendukung
sistem perujukan ke pelayanan konseling pasca tes HIV bagi semua pasien yang
diperiksa, yang menekankan pada pencegahan dan pemberian dukungan medis serta
psikososial bagi pasien yang hasil tesnya positif HIV. Pada pemeriksaan jenis ini, juga
dilakukan konseling sebelum pemeriksaan, hanya saja tidak penuh seperti pada
pemeriksaan jenis VCT di atas. Informasi minimal yang harus diketahui pasien pada
saat melakukan informed consent adalah:
- Manfaat pemeriksaan tersebut secara klinis dan untuk pencegahan.
- Hak untuk menolak.
- Pelayanan tindak lanjut yang ditawarkan.
- Bila hasilnya positif, diberikan pemahaman untuk mengantisipasi keharusan untuk
menginformasikan kepada siapa saja yang berisiko yang mungkin tidak sadar
bahwa mereka terpajan dengan HIV.
Pada pemeriksaan yang sifatnya ditawarkan oleh tenaga medis, misalnya untuk
tujuan diagnosis, atau untuk mengetahui status HIV-nya. Selain itu tenaga medis juga
dapat menawarkan pemeriksaan HIV kepada wanita hamil untuk memberikan
profilaksis antiretroviral untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke bayi. Konseling
pada situasi ini harus diperbanyak agar bisa sedikit memaksa ibu untuk mengikuti
program PMTCM. Meski demikian, dalam semua kondisi tersebut, pasien tetap
memiliki hak untuk menolak.
4. Screening HIV wajib
UNAIDS/WHO mendukung diberlakukannya skrining wajib bagi HIV dan
penyakit yang dapat ditransmisikan lewat darah bagi semua darah yang ditujukan
untuk transfusi atau pengolahan produk darah lainnya. Skrining wajib dibutuhkan
sebelum dilakukannya prosedur-prosedur yang berkaitan dengan pemindahan cairan
atau jaringan tubuh, seperti inseminasi buatan, graft kornea, dan transplantasi organ.
UNAIDS/WHO tidak mendukung pemberlakuan skrining wajib pada tingkat
pelayanan kesehatan individu atau umum. Pemeriksaan sukarela sepertinya dapat
mengubah perilaku untuk menghindari penularan HIV ke orang lain. Menyadari
31

bahwa beberapa negara membutuhkan pemeriksaan wajib HIV untuk tujuan imigrasi
dan beberapa negara lainnya melakukan pemeriksaan wajib untuk perekrutan dan
pemantauan kesehatan tentaranya, UNAIDS/WHO merekomendasikan agar
pemeriksaan tersebut dilakukan hanya bila diiringi dengan konseling baik bagi yang
hasilnya positif maupun negatif dan sistem perujukan ke pelayanan medis dan
psikososial bagi mereka yang mendapat hasil positif. Menyadari pentingnya
menghubungkan orang yang positif HIV ke pusat layanan pencegahan, pengobatan,
dan perawatan, UNAIDS dan WHO pada bulan Mei 2007 merilis panduan operasional
PITC di tempat pelayanan kesehatan. Panduan ini sejalan dengan keputusan
UNAIDS/WHO mengenai pemeriksaan HIV dan merekomendasikan agar seluruh
VCT dilengkapi dengan PITC di seluruh tempat pelayanan kesehatan di tingkat
epidemi meluas, dan fasilitas kesehatan spesialistik (seperti klinik TB, klinik antenatal,
dan klinik infeksi menular seksual) di daerah dengan tingkat epidemi rendah atau
terkonsentrasi.
Tahun 2006, CDC merekomendasikan pemeriksaan diagnostik dan skrining HIV
menjadi suatu pemeriksaan rutin di seluruh sarana pelayanan kesehatan dengan tetap
menjaga hak pasien untuk menolak serta menjamin hubungan tenaga kesehatan dan
pasien yang kondusif. Rekomendasi ini ditujukan untuk seluruh sarana pelayanan
kesehatan, termasuk ruang gawat darurat rumah sakit, ruang rawat inap, klinik infeksi
menular seksual, tuberkulosis, klinik bagi penyalahgunaan zat, klinik umum, serta
pelayanan kesehatan tingkat primer. Tujuan dari rekomendasi CDC ini adalah untuk
meningkatkan jumlah skrining HIV pada pasien di seluruh tempat layanan kesehatan,
termasuk ibu hamil; mengembangkan program deteksi dini terhadap HIV;
mengidentifikasi dan melakukan konseling terhadap orang yang belum diketahui status
HIV-nya serta merujuknya ke tempat pelayanan kesehatan; dan lebih jauh lagi untuk
mengurangi transmisi HIV perinatal di Amerika Serikat.
Mengenai skrining HIV pada wanita hamil, Society of Obstetricians and
Gynecologists of Canada (SOGC) pada tahun 2006 mengeluarkan panduan skrining
sebagai berikut:
1 Semua wanita hamil harus ditawarkan untuk mengikuti skrining HIV dengan
konseling yang memadai. Pemeriksaan harus bersifat sukarela. Skrining harus
dipertimbangkan sebagai salah satu bagian dari standar pelayanan antenatal,
meskipun klien tetap wajib diinformasikan mengenai manfaat dan risiko
pemeriksaan ini serta hak mereka untuk menolak. Mereka tidak boleh diperiksa
tanpa sepengetahuannya.
2

Konseling pre-tes dan keputusan pasien mengenai pemeriksaan ini harus


didokumentasikan di dalam rekam medik pasien.

Pasien yang menolak untuk dilakukan skrining tetap berhak mendapatkan


pelayanan antenatal yang optimal.

Pasien sebaiknya ditawarkan untuk skrining HIV pada kunjungan pertama ke


pelayanan antenatal.

32

Pasien yang hasil tesnya negatif dan berperilaku risiko tinggi harus dites ulang
setiap trimester.

Wanita hamil yang tidak pernah menerima pelayanan antenatal dan tidak diketahui
status HIV-nya harus ditawarkan untuk mengikuti pemeriksaan HIV ketika masuk
RS untuk melahirkan. Wanita yang berisiko tinggi mengidap HIV dan tidak
diketahui status HIV-nya harus diberikan profilaksis saat persalinan. Profilaksis
HIV harus diberikan pada bayi baru lahir.

Wanita hamil yang hasil tesnya positif selanjutnya ditangani oleh dokter yang
berpengalaman dalam menatalaksana wanita hamil yang positif HIV.

LO. 2.11. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana HIV/AIDS


HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukan bukti yang amat menyakinkan
bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral ,
disingkat obat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat
infeksi HIV, orang dengan HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan
produktif. Manfaat ARV di capai melalui pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan
pulihnya kerentanan ODHA terhadap infeksi oportunistik.
Secara umum, penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV)
b. Pengobatan untuk mengatasi beberapa penyakit infeksi dan kangker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkolosis, hepatitis,
toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks
c. Pengobatan suportif, yaitu: makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama seperti juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yanglengkap tersebut, angka
kematian dapat di tekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik akan berkurang.
TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV)
Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA menjadi jauh lebih baik.
Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih mudah
ditangani. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat seperti infeksi sitomegalovirus
dan infeksi mikobakterium atipikal, dapat disembuhkan. Pneumonia pneumocystis
carinii pada ODHA yang hilang-timbul, biasanya mengharuskan ODHA minum obat
infeksi agar tidak kambuh. Namun sekarang dengan minum obat ARV teratur, banyak
ODHA yang tidak memerlukan minum obat profilaksis terhadap pneumonia.
Terhadap penemuan kasus kanker yang terkait dengan HIV seperti sarkoma kaposi dan
limfoma dikarenakan pemberian obat-obat antiretroviral tersebut. Sarkoma kaposi
dapat spontan membaik tanpa pengobatan khusus. Penekanan terhadap replikasi virus
menyebabkanpenurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi
33

pertumbuhan sarkoma kaposi. Selain itu pulihnya kekebalan tubuh menyebabkan


tubuh dapat membentuk responsi imun yang efektif terhadap human herpesvirus 8
(HHP-8) yang di hubungkan dengan kejadian sarkoma kaposi.
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease. Tidak semua ARV yang ada telah
tersedia di indonesia (tabel 3). Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan
dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Obat ARV
direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk
dalam kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukan gejala yang sangat berat, tanpa
melihat jumlah limfosit CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien
asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 200 sel /mm 3. Pasien asimptomatik
dengan limfosit CD4+200-350 sel/mm3 dapat ditawarkan untuk memulai terapi. Pada
pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm 3 dan viral load
lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda.
Terapi ARV tidak dianjurkan di mulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari
350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat
ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan (tabei 4), dengan

keunggulan dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi obat antiretroviral lini


pertama yang umumnya digunakan di indonesia adalah kombinasi zidovudin
(ZDV)/lamivudin (3TC) dengan nevirapin (NVP).

34

Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis
pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV (postexposure prophylaxis) dan pencegahan penularan ibu ke bayi.
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV
penting untuk mendapat perhatian lebih besar karena jumlah bayi di indonesia yang
tertular HIV dari ibunya telah meningkat. Efektivitas penularan HIV dari ibu ke bayi
adalah sebesar 10-30%., artinya dari 100 ibu hamil yang terinfeksi HIV, ada 10-30
bayi yang akan tertular. Sebagian besar penularan terjadi sewaktu proses melahirkan,
dan sebagian kecil melalui plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi melalui air
susu ibu.
Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk membeli obat ARV. Obat ARV yang
dianjurkan untuk PTMCT adalah zidovudin (AZT) atau nevirapin. Pemberian
nevirapin dosis tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat mudah untuk diterapkan dan
ekonomis. Sebelumnya pilihan yang terbaik adalah pemberian ARV yang
dikombinasikan dengan operasi caesar, karena dapat menekan penularan sampai 1%
namun sayangnya di negara berkembang seperti indonesia tidak mudah untuk
melakukan operasi sectio caesaria yang murah dan aman.
Interaksi dengan obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Masalah koinfeksi tuberkulosis dengan HIV merupakan masalah yang sering dihadapi
di indonesia. Pada prinsipnya, pemberian OAT pada ODHA tidak berbeda dengan
pasien HIV negatif. Interaksi antara OAT dan ARV, termasuk efek hepatotoksisitasnya,
harus sangat diperhatikan. Pada ODHA yang telah mendapat obat ARV sewaktu
diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap diteruskan dengan evaluasi yang lebih
ketat. Pada ODHA yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat
disesuaikan dengan kondisinya.
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali
ddl yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer
antasida.
Interaksi dengan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non-nukleosida dan
inhibitor protease. Obat ARV yang di anjurkan digunakan pada ODHA dengan TB
pada kolom B (tabel 4) adalah evafirenz. Rifampisin dapat menurunkan kadar
nelvinafir sampai 82% dan dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%. Namun,
jika evafirenz tidak memungkinkan diberikan, Pada pemberian bersama rifampisin dan
nevirapin, dosis nevirapin tidak perlu dinaikan.

35

EVALUASI PENGOBATAN
Pemantauan jumlah sel CD4 di dalam darah merupakan indikator yang dapat
dipercaya untuk membantu beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV, dan
memudahkan kita untuk mengambil keputusan memberikan pengobatan ARV. Jika kita
mendapat sarana pemeriksaan CD4, maka jumlah CD4 dapat diperkirakan dari jumlah
limfosit total yang sudah dapat dikerjakan dari banyak laboratorium pada umumnya.
Sebelum tahun 1996, para klinisi mengobati, menentukan prognosis dan menduga
staging pasien, berdasarkan gambaran klinik pasien dan jumlah limfosit CD4.
Sekarang ini sudah ada tambahan parameter baru yaitu hitungan virus HIV dalam
darah (viral load) sehingga upaya tersebut menjadi lebih tepat.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan pemeriksaan viral load, kita
dapat memperkirakan risiko kecepatan perjalanan penyakit dan kematian akibat HIV.
Pemeriksaan viral load memudahkan untuk memantau efektivitas obat ARV.
Obat-obat golongan protease inhibitor (PIs) seperti lopinavir/ritonavir, atazanavir,
saquinavir, fosamprenavir, dan darunavir memiliki barier genetik yang tinggi terhadap
resistensi. Obat golongan lain memiliki barier rendah. Walau demikian, kebanyakan
pasien yang mendapatkan Pis-terkait HAART (highly active anti-retroviral therapy)
yang mengalami kegagalan virologis biasanya memiliki strain virus HIV yang masih
sensitif, kecuali bila digunakan jangka panjang. Obat golongan lain biasanya menjadi
resisten dalam waktu yang lebih singkat ketika terdapat kegagalan virologist.
Indikasi terapi untuk merubah terapi pada kasus gagal terapi adalah progresi penyakit
secara klinis dimulai setelah >6 bulan memakai ARV.
Pada WHO stadium 3: penurunan berat badan BB > 10%, diare atau demam >1 bulan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, oral hairly leukoplakia terdapat infeksi bakterial
yang berat atau bedridden lebih dari 50% dari satu bulan terakhir.
Tes resistensi seharusnya dilakukan selama terapi atau dalam 4 minggu penghentian
regimen obat yang gagal. Interpretasi hasil tes resistensi merupakan hal yang
kompleks, bahkan terkadang lebih baik dikerjakan oleh ahlinya.
LI. 3. Memahami dan Mempelajari Etika dalam menghadapi Kasus HIV/AIDS
Etika dokter dalam menghadapi pasien HIV/AIDS :
36

Memberikan dukungan, saran, dan pengobatan alternatif untuk menghindari penularan dan
memberi semangat hidup kepada mereka, sehingga mereka dapat melakukan aktivitasnya
sebagaimana sebelumnya.
Seorang dokter dapat menyikapi penderita HIV/AIDS dengan metode Appreciative
Inquiry, merupakan suatu metode untuk memaksimalkan kekuatan (strength dan
opportunity) yang dimiliki oleh ODHA. Appreciative Inquiry lebih menganjurkan agar
setiap pengidap HIV/AIDS lebih memfokuskan perhatian pada kekuatan yang dimiliki dan
memaksimalkannya. Dengan demikian, hal ini akan membangun citra positif secara
pribadi dan bermanfaat bagi lingkungan. Metode ini diharapkan mampu menjadikan
ODHA untuk menjalani hidup sebagaimana manusia seutuhnya. Tidak selalu memikirkan
penyakit yang dideritannya, karena seorang dokter selalu berusaha untuk mengarahkannya
pada kekuatan dan kepribadiaan yang dimilikinya, sehingga penderita HIV/AIDS akan
lebih percaya diri dan dapat beraktifitas sebagaimana sebelumnya.
Dalam buku PMI Pelatihan Remaja Sebaya tentang Kesehatan dan Kesejahteraan Remaja
tertulis, seorang dokter harus bersikap biasa (tanpa membedakan) seperti sikap terhadap
orang sehat atau penderita penyakit lain.
-

Dokter harus dapat membangkitkan kepercayaan diri ODHA serta memberikan


dukungan dan kasih sayang.
Dokter harus mampu memberikan pemahaman terhadap permasalahan yang
mereka hadapi dan cara mengatasinya.
Dokter harus menasehati agar jangan merasa tertekan secara berlebihan karena
semua orang pasti mendapatkan cobaan.
Dokter harus menerapkan hak asasi dan hak kesehatan yang merupakan hal
utama dalam berhadapan dengan pasien penderita HIV/AIDS.
Tetap menghotmati harkat dan martabat para pasien HIV/AIDS dan keluarganya.
Mencegah perlakuan diskriminatif kepada pasien pengidap HIV/AIDS dan
keluarganya.

KODEKI
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13

37

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
Kaidah Dasar Bioetik
1
2
3
4

Prinsip Autonomy, menghormati hak-hak pasien, hak otonomi pasien. Melahirkan


informed consent.
Prinsip Beneficence, Tindakan untuk kebaikan pasien. Memilih lebih banyak
manfaatnya daripada buruknya.
Prinsip Non-maleficence, Melarang tindakan yang memperburuk kedaan pasien.
Primum non nocere atau above all do no harm.
Prinsip Justice, mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

UUD yang Berhubungan


Pasal 30
Pemberantasan penyakit menular dilaksanakan dengan upaya penyuluhan, penyelidikan,
pengebalan, menghilangkan sumber dan perantara penyakit, tindakan karantina, dan upaya
lain yang diperlukan.
Pasal 31
Pemberantasan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dan penyakit karantina
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Kewajiban etik yang
utama dari professional MIK maupun tenaga kesehatan adalah melindungi privasi dan
kerahasiaan pasien dan melindungi hak-hak pasien dengan menjaga kerahasiaan rekam
medis pasien HIV/AIDS. Kaidah turunan moral bagi tenaga kesehatan adalah privacy,
confidentiality, fidelity, dan veracity. Privacy berarti menghormati hak privacy pasien,
confidentialty berarti kewajiban menyimpan informasi kesehatan sebagai rahasia, fidelity
berarti kesetiaan, dan veracity berarti menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran.
Pengelolaan informasi pasien HIV/AIDS di tempat kerja juga diatur Menurut Kepmenaker
No.KEP. 68/MEN/IV/2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS :
Pasal 6
Informasi yang diperoleh dari kegiatan konseling, tes HIV, pengobatan, perawatan dan
kegiatan lainnya harus dijaga kerahasiaannya seperti yang berlaku bagi data rekam medis.
Dalam kaitannya aspek hukum kerahasiaan pasien HIV/AIDS, kode etik administrator
perekam medis dan informasi kesehatan (PORMIKI, 2006) adalah:
Selalu menyimpan dan menjaga data rekam medis serta informasi yang terkandung di
dalamnya sesuai dengan ketentuan prosedur manajemen, ketetapan pimpinan institusi dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selalu menjunjung tinggi doktrin
kerahasiaan dan hak atas informasi pasien yang terkait dengan identitas individu atau
sosial. Administrator informasi kesehatan wajib mencegah terjadinya tindakan yang
menyimpang dari kode etik profesi. Perbuatan/tindakan yang bertentangan dengan kode
etik adalah menyebarluaskan informasi yang terkandung dalam laporan rekam medis
38

HIV/AIDS yang dapat merusak citra profesi rekam administrator informasi kesehatan. Di
sisi lain rumah sakit sebagai institusi tempat dilaksanakannya pelayanan medis, memiliki
Kode Etik Rumah Sakit (Kodersi) dalam kaitannya manajemen informasi kesehatan:
Pasal 4
Rumah sakit harus memelihara semua catatan/arsip, baik medik maupun non medik secara
baik.
Pasal 9
Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien.
Pasal 10
Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita pasien dan tindakan apa yang
hendak dilakukan.
Pasal 11
Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien (informed consent) sebelum melakukan
tindakan medik. Selain itu, kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU Praktik
Kedokteran No. 29 Tahun 2004 pasal 47 ayat (2) sebagaimana disebutkan di atas. UU
tersebut memang hanya menyebut dokter, dokter gigi dan pimpinan sarana yang wajib
menyimpannya sebagai rahasia, namun PP No 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia
kedokteran tetap mewajibkan seluruh tenaga kesehatan dan mereka yang sedang dalam
pendidikan di sarana kesehatan untuk menjaga rahasia kedokteran.
Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV/AIDS, selain untuk kepentingan
jabatan adalah untuk menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena
terbongkarnya status kesehatan. Menurut Declaration on the Rights of the Patients yang
dikeluarkan oleh WMA memuat hak pasien terhadap kerahasiaan sebagai berikut:
Semua informasi yang teridentifikasi mengenai status kesehatan pasien, kondisi medis,
diagnosis, prognosis, dan tindakan medis serta semua informasi lain yang sifatnya pribadi,
harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah kematian. Perkecualian untuk kerabat pasien
mungkin mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang dapat memberitahukan
mengenai risiko kesehatan mereka.
Stigma dan diskriminasi, di bawah slogan "Live and Let Live" (Hidup dan Tetap
Tegar), telah ditetapkan menjadi tema Kampanye AIDS Dunia di tahun 2002-2003. Stigma
sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan akan mendorong munculnya
pelanggaran HAM bagi orang dengan HIV/AIDS dan keluarganya. Ini karena mengingat
HIV/AIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan narkoba dan kematian, banyak
orang yang tidak peduli, tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini di hampir
seluruh lapisan masyarakat. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV/AIDS.
(Kesrepro, 2007)
Stigma dan diskriminasi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Di mana ia terjadi
ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk
memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan
status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi para staf rumah sakit atau
penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada ODHA; pegawai atasan
39

yang memberhentikan karyawannya berdasarkan status atau prasangka akan status HIV
mereka; atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup, atau dipercayai
hidup, dengan HIV/AIDS. Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk
pelanggaran hak asasi manusia. (Kesrepro, 2007)
LI. 4. Memahami dan Mempelajari Pandangan Islam dan Hukum dalam menangani Kasus
HIV/AIDS
Penyakit HIV/AIDS di mana sekitar 80% - 90% dari penyebabnya adalah berzina,
merupakan penyakit yang sangat berbahaya, khususnya bagi orang-orang yang tidak
memiliki akhlak yang terpuji. Penyakit ini merupakan musibah yang dapat menimpa
siapa saja termasuk orang-orang yang berakhlakul karimah. Orang yang terkena musibah
belum tentu akibat dosa yang diperbuatnya, tetapi boleh jadi merupakan korban
perbuatan orang lain.
Apabila sekitar 80%-90% dari penyebabnya adalah perbuatan zina, maka upaya untuk
menanggulangi HIV/AIDS yang paling efektif adalah menghilangkan penyebabnya itu
sendiri yaitu perbuatan zina. Seperti tersebut di atas, Nabi Muhammad SAW mengatakan
bahwa: "Apabila zina dan riba sudah menjadi perbuatan umum dalam suatu negeri, maka
hal itu berarti penduduk negeri itu telah menghalalkan (mengundang) azab Allah".
Karenanya prinsip "menjaga lebih baik daripada mengobati" juga berarti menghilangkan
sebab lebih baik daripada mengobati penyakit yang diakibatkan oleh sebab tersebut.
Anjuran Islam untuk memperhatikan dan memperlakukan dengan baik kepada orangorang yang sakit itu juga termasuk orang-orang yang sakit terkena virus HIV/AIDS.
Namun tentunya jangan sampai perlakuan yang baik itu justru akan mengorbankan orang
lain yang tidak terkena HIV/AIDS menjadi terkena HIV/AIDS. Hal ini tidak dibenarkan
dalam Islam. Kaidah Fiqh menyebutkan :
"Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain".
Karenanya, diperlukan upaya-upaya yang sangat bijaksana agar para penderita
HIV/AIDS itu dapat dirawat, diobati dan diperlakukan secara manusiawi tetapi tidak
mengorbankan pihak lain sehingga menjadi HIV/AIDS yang baru. Kebijaksanaan ini
akan lebih diperlukan karena sebagai manusia, penderita HIV/AIDS akan selalu
berhubungan dengan orang lain misalnya, ketika menginjak dewasa ia perlu menikah,
ketika ia meninggal dunia perlu mendapat perawatan jenazahnya dan lain sebagainya.
Jalan Menuju Terwujudnya Strategi Penanggulangan HIV-AIDS
Perspektif Islam
a

Upaya Jangka Pendek

Melakukan telaah kritis, membongkar bahaya dan konspirasi strategi


penanggulangan HIV-AIDS perspektif sekuler-liberal produk Barat (versi
UNAIDS) di satu sisi, dan mulai memperkenalkan solusi Islam sebagai strategi
40

alternatif penanggulangan HIV-AIDS yang seharusnya mulai diambil pada sisi


yang lain
Memulai diskusi, sosialisasi dan advokasi kepada individu stakesholderyang
muslim (KPA, MPA, Medis, paramedis, dll) level daerah/lokal
Memulai diskusi, sosialisasi dan advokasi kepada tokoh-tokoh muslimyang
menjadi simpul-simpul umat
Penguatan aqidah, keimanan dan konsekuensi untuk berhukum dengansistem
Islam
Pembinaan ummat secara ideologis (aqidah, syariah dan dakwah)untuk
memperjuangkan tegaknya Islam kaffah

b Upaya Jangka Menengah

Mulai memblow-up hasil telaah kritis, membongkar bahaya dan konspirasi


strategi penanggulangan HIV AIDS perspektif sekuler-liberal produk Barat (versi
UNAIDS) ke masyarakat dan media
Mulai memblow-up solusi Islam sebagai strategi alternatif penanggulangan HIVAIDS yang seharusnya diambil ke masyarakat dan media
Memulai diskusi, sosialisasi dan advokasi kepada instansi stakesholder(KPA,
MPA, Medis, paramedis, dll) level daerah/lokal hingga pusat
Memulai aktivitas mengoreksi penguasa tentang kebijakan dekstruktif
Memulai aktivitas mengoreksi pihak legislatif akan perundang-undangan yang
menjadi bagian kebijakan dekstruktif
Mengingatkan masyarakat luas dan pemerintah akan bahaya NGO-NGO
komprador
Mengingatkan NGO-NGO Komprador

Upaya Jangka Panjang

Secara terus menerus mengungkap kebobrokan yang ditimbulkan oleh sistem


kapitalisme-sekulerisme dalam semua bidang dan konspirasi global di
belakangnya

Secara terus menerus mengupayakan lahirnya pemahaman dan kesadaran umat


(masyarakat) akan Islam sebagai solusi problematika kehidupan mereka dalam
seluruh aspek kehidupan menggantikan sistem kapitalisme-sekulerisme yang
nyata-nyata telah membawa kerusakan kehidupan

Mengupayakan terwujudnya sebuah kekuatan politik pada saatnyananti- yang bisa


menghadapi konspirasi global negara-negara neoimperialisme dan multi national corp di
negeri-negeri Islam yaitu kekuatan Daulah khilafah Islamiyyah (negara yang akan
41

menyatukan seluruh potensi umat dan menerapkan sistem Islam sebagai sistem
kehidupan secara kaaffah) dengan dukungan umat.
Transmisi utama (media penularan yang utama) penyakit HIV/AIDS adalah seks
bebas. Oleh karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas
tersebut. Hal ini meliputi media-media yang merangsang (pornografi-pornoaksi), tempattempat prostitusi, club-club malam, tempat maksiat dan pelaku maksiat.
1

Islam telah mengharamkan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim


berkholwat (berduaan/pacaran).
Sabda Rasulullah Saw:Laa yakhluwanna rojulun bi imroatin Fa inna tsalisuha
syaithanartinya: Jangan sekali-kali seorang lelaki dengan perempuan menyepi
(bukan muhrim) karena sesungguhnya syaithan ada sebagai pihak ketiga. (HR.
Baihaqy)
Islam mengharamkan perzinahan dan segala yang terkait dengannya
Allah Swt berfirman:

Janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji
dan seburuk-buruknya jalan (QS al Isra[17]:32)
3

Islam mengharamkan perilaku seks menyimpang, antara lain homoseks (lakilaki dengan laki-laki) dan lesbian (perempuan dengan perempuan ).
Firman Allah Swt dalam surat al Araf ayat 80-81 : Dan (kami juga telah
mengutus) Luth ( kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka:
Mengapa kamu mengerjakan perbuatan kotor itu, yang belum pernah dikerjakan
oleh seorangpun manusia (didunia ini) sebelummu? Sesungghnya kamu mendatangi
lelaki untuk melepaskan nafsumu ( kepada mereka ), bukan kepada wanita, Bahkan
kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. ( TQS. Al Araf : 80-81)
Islam melarang pria-wanita melakukan perbuatan-perbuatan yang
membahayakan akhlak dan merusak masyarakat, termasuk pornografi dan
pornoaksi.
Islam melarang seorang pria dan wanita melakukan kegiatan dan pekerjaan yang
menonjolkan sensualitasnya. Rafi ibnu Rifaa pernah bertutur demikian: Nahaana
Shallallaahu alaihi wassaliman kasbi; ammato illa maa amilat biyadaiha. Wa
qaala: Haa kadza biashobiihi nakhwal khabzi wal ghazli wan naqsyi.artinya:
Nabi Saw telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang
dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda Seperti inilah jari-jemarinya
yang kasar sebagaimana halnya tukang roti, pemintal, atau pengukir.
Islam mengharamkan khamr dan seluruh benda yang memabukkan serta
mengharamkan narkoba.
Sabda Rasulullah Saw :Kullu muskirin haraamun artinya : Setiap yang
menghilangkan akal itu adalah haram (HR. Bukhori Muslim) Laa dharaara wa la
dhiraara artinya : Tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri dan kepada
42

6
7

orang lain. (HR. Ibnu Majah). Narkoba termasuk sesuatu yang dapat
menghilangkan akal dan menjadi pintu gerbang dari segala kemaksiatan termasuk
seks bebas. Sementara seks bebas inilah media utama penyebab virus HIV/AIDS.
Amar maruf nahi munkar
Yang wajib dilakukan oleh individu dan masyarakat.
Tugas Negara memberi sangsi tegas bagi pelaku mendekati zina.
Pelaku zina muhshan (sudah menikah) dirajam, sedangkan pezina ghoiru muhshan
dicambuk 100 kali. Adapun pelaku homoseksual dihukum mati; dan
penyalahgunaan narkoba dihukum cambuk. Para pegedar dan pabrik narkoba diberi
sangsi tegas sampai dengan mati. Semua fasilitator seks bebas yaitu pemilik media
porno, pelaku porno, distributor, pemilik tempat-tempat maksiat, germo, mucikari,
backing baik oknum aparat atau bukan, semuanya diberi sangsi yang tegas dan
dibubarkan.

Daftar Pustaka
Baratawidjaja, K. G. & Rengganis, I. 2014. Imunologi Dasar. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Dewi, Alexandra I. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Hanafiah M.J., Amir A. 2008. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Kresno, Siti Boedina. 2010. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: FKUI
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis (PPI-TB) di Puskesmas. 2010.
Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar Kementrian Kesehatan RI
Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi VI, vol.
1. Jakarta : EGC.
Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing
Tanto, Chris., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran, edisi IV jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pembrantasan.
Jakarta: Erlangga.
Rosyidah, F. 2011. Kritik Islam Terhadap Strategi Penangulangan HIV-AIDS Berbasis
Paradigma Sekuler-Liberal dan Solusi Islam dalam Menangani Kompleksitas Problematika
HIV-AIDS.

43

Nancy R. Calles, MSN, RN, PNP, ACRN, MPH., Desiree Evans, MD, MPH., DeLouis Terlonge,
MD. Pathophysiology of the human immunodeficiency virus
http://www.bipai.org/Curriculums/HIV-Curriculum/Pathophysiology-of-HIV.aspx diakses pada
26 Mei 2015
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3684/1/fkm-fazidah4.pdf) diakses pada 26 Mei
2015
http://www.ucsfhealth.org/conditions/hiv/diagnosis.html diakses pada 26 Mei 2015
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/hiv-aids/basics/complications/con-20013732
diakses pada 26 Mei 2015
http://www.patient.co.uk/doctor/acquired-immune-deficiency-syndrome-aids diakses pada 26
Mei 2015
http://www.news-medical.net/health/AIDS-prognosis-(Indonesia) diakses pada 26 Mei 2015
http://www.ilunifk83.com/t130-kode-etik-kedokteran-indonesia diakses pada 26 Mei 2015

44

Anda mungkin juga menyukai