Anda di halaman 1dari 13

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS MEDIS

IMUNODEFIENSI

Disusun Oleh :
Elisabeth Amanda R (91030150)
Anggi Siska M.S (9103015039)
Benyamin Hosio (91030150)
Fitri Febri D.J (91030150)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
SURABAYA
2017

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa Definisi Dari Imunodefisiensi
1.2.2 Apa saja klasifikasi Imunodefisiensi
1.2.3 Apa Penyebab Imunodefisiensi
1.2.4 Bagaimana Patofisiologi Imunodefisiensi
1.2.5 Bagaimana Manifestasi Klinis Imunodefisiensi
1.2.6 Bagaimana Penatalaksanaan Imunodefisiensi
1.2.7 Bagaimana Web Of Caution Imunodefisiensi
1.2.8 Bagaimana Diagnosa Dari Imunodefisiensi
1.2.9 Bagaimana Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Diagnosa
MedisImunodefisiensi
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mempelajari tentang Konsep Medis dan Asuhan Keperawatan Imunodefisiensi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.1 Menjelaskan Definisi Imunodefisiensi
1.3.2 Menjelakan Klasifikasi Imunodefisiensi
1.3.3 Menjelaskan Etiologi Imunodefisiensi
1.3.4 Menjelaskan Patofisiologi Imunodefisiensi
1.3.5 Menjelaskan Manifestasi Klinis Imunodefisiensi
1.3.6 Menjelaskan PencegahanImunodefisiensi
1.3.7 Menjelaskan PenatalaksanaanImunodefisiensi
1.3.8 Menjelaskan Web Of CautionImunodefisiensi
1.3.9 Menyusun Asuhan Keperawatan Imunodefisiensi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Imunodefisiensi disebabkan oleh kerusakan herediter yang mempengaruhi
perkembangan sistem imun atau dapat terjadi akibat efek sekunder penyakit lain misal :
infeksi, malnutrisi, penuaan. Imunodefisiensi adalah istilah umum yang merujuk pada
suatu kondisi di mana kemampuan sistem imun untuk melawan penyakit dan infeksi
mengalami gangguan atau melemah. Immunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang
berlainan, dimana sistem kekebalan tidakberfungsi secara adekuat, sehingga infeksi lebih
sering terjadi, lebih sering berulang, luar biasa berat danberlangsung lebih lama dari
biasanya. -Jika suatu infeksi terjadi secara berulang dan berat (pada bayi baru lahir, anak-
anak maupun dewasa) serta tidak memberikan respon terhadap antibiotik, maka
kemungkinan masalahnya terletak padasistem kekebalan. Gangguan pada sistem
kekebalan juga menyebabkan kanker atau infeksi virus, jamuratau bakteri yang tidak
biasa.Oleh karena itu, pasien imunodefisiensi akan rawan terkena berbagai infeksi atau
timbulnya sel tubuh yang ganas. Secara umum, sindrom imunodefisiensi dapat
dikategorikan berdasarkan komponen dari sistem imun yang mengalami gangguan.
Kelainan pada sel B akan menyebabkan kegagalan imunitas humoral. Jenis
imunodefisiensi ini akan menyebabkan hypogammaglobulinemia (berkurangnya jumlah
antibodi) atau agammaglobulinemia (tidak adanya antibodi). Sementara itu, kelainan
pada sel T akan menyebabkan kegagalan imunitas yang dimediasi oleh sel, yang akan
menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi virus. Jenis imunodefisiensi ini biasanya
dikaitkan dengan sindrom imunodefisiensi sekunder. Imunodefisiensi kombinasi parah
(severe combined immunodeficiency/SCID) adalah jenis imunodefisiensi yang paling
parah dan fatal. Pada kasus SCID, sel B dan sel T tidak dapat berfungsi dengan normal,
sehingga pasien akan rentan terhadap segala jenis infeksi. Walaupun lebih jarang terjadi,
namun komponen lain dari sistem imun, seperti granulosit dan sistem komplemen tubuh,
juga dapat mengalami gangguan akibat sindrom imunodefisiensi.

2.2 Klasifikasi
a. Imunodefisiensi kongenital (primer)
Defisiensi imunologik primer memiliki dasar genetik dan memengaruhi mekanisme
imunitas spesifik misal : humoral atau selular, salah satu contoh efek pada imunitas
humoral adalah agamaglobulinemia terkait-X yang disebabkan oleh defisiensi sel B,
ataupun mekanisme pertahanan pejamu non spesifik yang diperantarai oleh protein
komplemen sel seperti sel fagosit dan NK. Penyakit ini dapat menyebabkan tidak
memproduksi imunoglobulin dengan konsekuensi infeksi rekuren atau kronik yang
disebabkan oleh bakteri Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae dan
Stafilokokus. Imunodefisiensi humoral hanya mengenai imunoglobulin tertentu misal :
defisiensi Ig A terisolasi, memperlihatkan peningkatan angka infeksi saluran napas dan
GI. Secara khusus. Defek pada sel T selalu menyebabkan gangguan sintesis anibodi,
sehingga defisiensi sel T tersendiri kombinasi sel T dan sel B. Sebagian besar
imunodefisiensi primer membutuhkan perhatian awal kehidupan (2 bulan – 2 tahun)
biasanya karena kerentanan janin terhadap infeksi yang berulang.
b. Imunodefisiensi Sekunder
Imunodefisensi sekunder dapat dijumpai pada individu dengan berbagai kondisi.
Penyebab yang paling sering adalah virus HIV.Secara umum, imunodefisiensi sekunder
disebabkan oleh dua mekanisme utama, yaitu imunosupresi yang muncul akibat
komplikasi dari penyakit atau keadaan lain, dan imunodefisiensi iatrogenik yang
muncul sebagai efek samping dari suatu terapi atau perlakuan lain.
- Malnutrisi Penyakit/keadaan yang dapat menyebabkan imunodefisiensi sekunder
meliputi :
Malnutrisi protein-kalori sering ditemukan di negara berkembang dan diasosiasikan
dengan gangguan imunitas selular dan humoral pada mikroorganisme yang
disebabkan oleh gangguan proses metabolik tubuh. Gangguan ini dikarenakan
defisiensi konsumsi protein, lemak, vitamin, dan mineral, dan akan mempengaruhi
maturasi serta fungsi dari sel-sel imun.
- Kanker
Pasien dengan kanker yang telah menyebar luas umumnya mudah terinfeksi
mikroorganisme karena defek pada respons imun humoral dan selular. Tumor bone
marrow dan leukemia yang muncul di sumsum tulang dapat menggangu pertumbuhan
limfosit dan leukosit normal. Selain itu, tumor dapat memproduksi substansi yang
menghambat perkembaangan atau fungsi limfosit, seperti pada penyakit Hodgkin.
Dapat pula terjadi anergi, yaitu suatu kondisi dimana sistem imun tidak dapat
menginduksi respon imun terhadap antigen.
- Infeksi
Selain infeksi HIV, infeksi lain juga dapat menyebabkan kelainan respons imun,
contohnya pada virus measles dan HTLV-1 (Human T-cell Lymphothropic Virus-1)
yang keduanya menginfeksi limfosit. HTLV-1 merupakan retrovirus mirip HIV, akan
tetapi HTLV-1 bekerja dengan mengubah sel T helper menjadi sel T neoplasma yang
malignan, disebut juga ATL (adult T-cell Leukemia). HTLV-1 dapat menyebabkan
berbagai infeksi oportunistik. Selain virus, infeksi kronik Mycobacterium
tuberculosis, berbagai jenis fungi, dan berbagai jenis parasit dapat juga menyebabkan
imunosupresi.
c. Imunodefisiensi Gabungan Berat
- Severe Combined Immunodeficiency Disease (SCID) adalah salah satu bentuk
imunodefisiensi kongenitaal yang paling berat. SCID melibatkan gangguan fungsional
imunitas humoral dan seluler. Pada bayi rentan terhadap infeksi, bakteri, fungus, dan
virus. Penyakit ini ditandai dengan cacat sel induk limfoid yang menyebabkan
kegagalan perkembangan limfosit T dan B. Timus gagal turun secara normal dari
leher menuju kedalam mediastinum dan hampir selalu tidak memiliki limfosit misal
kelenjar getah bening, limpa, jaringan limfoid terkait-usus dan darah perifer.
Imunoglobulin tidak terdapat di dalam serum. Imunodefisiensi gabungan berat
merupakan penyakit turunan yang berbeda, yang ditandai ddengan kegagalan
defisiensi sel induk.
- Hipoplasia Timus (Sindrom DiGeorge) adalah Kegagalan perkembangan timus
kongenital menyebabkan kekurangan limfosit T di dalam darah dan daerah sel T pada
kelenjar getah bening dan limpa. Tidak ada cacat genetik pada hipoplasia timus.
Hipoplasia timus pada sindom DiGeorge merupakan bagian kelainan yang lebih berat
pada perkembngan kantung faring ketiga dan keempat. Kondisi tersebut ditandai
dengan ketiadaan kelenjar paratiroid, kelianan perkembngan lengkung aorta dan
kelainan fasies. Bila paratiroid tidak ada, hipoksalsemia berat menyebabkan kematian
dini. Hipoplasia timus berhasil di terapi dengan transplantasi timus janin manusia,
yang dapat memulihkan imunitas sel T.

- Limfopenia T (Sindrom Nezelof) adalah Sekelompok defisit yang kurang terdefinisi


jelas terhadap jumlah dan fungsi sel T. Yang menyebabkan adalah kelainan maturasi
sel T dalam timus. Sindrom Nezelof ini disertai kelianan struktur lain yang berasal
dari kantung faring ketiga dan keeempat.
2.3 Etiologi
Imunodefisiensi bisa timbul sejak seseorang dilahirkan (imunodefisiensi
kongenital/primer) atau bisa muncul dikemudian hari. Imunodefisiensi kongenital
biasanya diturunkan. Terdapat lebih dari 70 macam penyakitimunodefisiensi yang
sifatnya diturunkan (herediter). Pada beberapa penyakit, jumlah sel darahputihnya
menurun; pada penyakit lainnya, jumlah sel darah putih adalah normal
tetapi fungsinyamengalami gangguan. Pada sebagian penyakit lainnya, tidak terjadi
kelainan pada sel darah putih, tetapikomponen sistem kekebalan lainnya mengalami
kelainan atau hilang. Gejala klinis penyakit defisiensi kongenital biasanya jarang
dibawah usia 3-4 bulan, karena efek antibodi maternal. Organ tubuh yang sering terkena
adalah saluran napas yang diserang bakteri piogenik atau jamur.
Imunodefisiensi yang didapat/sekunder biasanya terjadi akibat suatu penyakit.
Imunodefisiensi yang didapat lebihbanyak ditemukan dibandingkan dengan
imunodefisiensi kongenital. Beberapa penyakit hanyamenyebabkan gangguan sistem
kekebalan yang ringan, sedangkan penyakit lainnya menghancurkankemampuan tubuh
untuk melawan infeksi. Pada infeksi HIV yang menyebabkan AIDS, virus menyerangdan
menghancurkan sel darah putih yang dalam keadaan normal melawan infeksi virus dan
jamur.Berbagai keadaan bisa mempengaruhi sistem kekebalan.Pada kenyataannya,
hampir setiap penyakitserius menahun menyebabkan gangguan pada sistem
kekebalan.Orang yang memiliki kelainan limpa seringkali mengalami imunodefisiensi.
Limpa tidak saja membantu menjerat dan menghancurkan bakteri dan organisme
infeksius lainnya yang masuk ke dalam peredarandarah, tetapi juga merupakan salah satu
tempat pembentukan antibodi.Faktor eksternal yang dapat menyebabkan kondisi ini,
termasuk usia lanjut dan kekurangan nutrisi. Penyakit yang dapat menyebabkan
imunodefisiensi adalah infeksi kronis, tuberkulosis diseminata, acquired immune
deficiency syndrome (AIDS) dan kanker, terutama sel ganas yang ada di sel darah dan
sumsum tulang.
Faktor resiko terjadinya imunodefisiensi dapat terjadi pada:
1. Usia
Frekuensi dan intensitas infeksi akan meningkat pada orang yang berusia lanjut dan
peningkatan ini disebabkan oleh penurunan untuk bereaksi secara memadai terhadap
mikroorganisme yang menginfeksinya. Produksi dan fungsi limfosit T dan B dapat
terganggu kemungkinan penyabab lain adalah akibat penurunan antibodi untuk
membedakan diri sendiri dan bukan diri sendiri. Penurunan fungsi sistem organ yang
berkaitan dengan pertambahan usia juga turut menimbulkan gangguan imunitas.
Penurunan sekresi serta motilitas lambung memungkinkan flora normal intestinal
untuk berploriferasi dan menimbulkan infeksi sehingga terjadi gastroenteritis dan
diare.
2. Gender
Kemampuan hormone-hormon seks untuk memodulasi imunitas telah diketahui
dengan baik. Ada bukti yang menunjukkan bahwa estrogen memodulasi aktifitas
limfosit T (khususnya sel-sel supresor) sementara androgen berfungsi untuk
mempertahankan produksi interleukin dan aktifitas sel supresor. Efek hormon seks
tidak begitu menonjol, estrogen akan memgaktifkan populasi sel B yang berkaitan
dengan autoimun yang mengekspresikan marker CD5 (marker antigenic pada sel B).
Estrogen cenderung menggalakkan imunitas sementara androgen bersifat
imunosupresif. Umumnya penyakit autoimun lebih sering ditemui pada wanita dari
pada pria.
3. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat sangat esensial untuk mencapai fungsi imun yang optimal.
Gangguan imun dikarenakan oleh defisiensi protein kalori dapat terjadi akibat
kekurangan vitamin yang diperlukan untuk mensintesis DNA dan protein. Vitamin
juga membantu dalam pengaturan poliferasi sel dan maturasi sel-sel imun.
Kelebihan atau kekurangan unsur-unsur renik (tembaga, besi, mangan, selenium atau
zink) dalam makanan umumnya akan mensupresi fungsi imun Asam-asam lemak
merupakan unsur pembangun (building blocks) yang membentuk komponen
structural membrane sel. Lipid merupakan prekursir vitamin A,D,E, dan K
disamping prekursir kolesterol. Jika kelebihan maupun kekurangan asam lemak
ternyata akan mensupresi fungsi imun. Deplesi simpanan protein tubuh akan
mengakibatkan atrofi jaringan limfoid, depresi respon anti bodi, penurunan jumlah
sel T yang beredar dan gangguan fungsi fagositosik sebagai akibatnya, kerentanan
terhadap infeksi sangat meningkat. Selama periode infeksi dan sakit yang serius,
terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi yang potensial untuk menimbulkan deplesi
protein, asam lemak, vitamin, serta unsur-unsur renik dan bahkan menyebabkan
resiko terganggunya respon imun serta terjadinya sepsis yang lebih besar.
4. Faktor -Faktor Psikoneuro Imunologik
Limfosit dan makrofag memiliki reseptor yang dapat bereaksi terhadap
neurotransmitter serta hormon-hormon endokrin.Limfosit dapat memproduksi dan
mengsekresikan ACTH serta senyawa-senyawa yang mirip endokrin. Neuron dalam
otak, khususnya khusunya dalam hipotalamus, dapat mengenali prostaglandin,
interferon dan interleukin di samping histamine dan serotonin yang dilepaskan
selama proses inflamasi. Sebagaimana sistem biologi lainnya yang berfungsi untuk
kepentingan homoestasis, sistem imun di integrasikan dengan berbagai proses
psikofisiologic lainnya dan diatur serta dimodulasikan oleh otak. Di lain pihak,
proses imun ternyata dapat mempengaruhi fungsi neural dan endokrin termasuk
perilaku. Jadi, interaksi sistem saraf dan system imun tampaknya bersifat dua arah.
5. Kelainan Organ yang Lain
Keadaan seperti luka bakar atau cedera lain, infeksi dan kanker dapat turut
mengubah fungsi system imun. Luka bakar yang luas atau faktor-faktor lainnya
menyebabkan gangguan integritas kulit dan akan mengganggu garis pertama
pertahanan tubuh hilangnya serum dalam jumlah yang besar pada luka bakar akan
menimbulkan deplesi protein tubuh yang esensial, termasuk immunoglobulin.
Stresor fisiologi dan psilkologik yang disertai dengan stress karena pembedahan atau
cidera kan menstimulasi pelepasan kortisol serum juga turut menyebabkan supresi
respon imun yang normal. Keadaan sakit yang kronis dapat turut mengganggu
sistem imun melalui sejumlah cara. Kegagalan ginjal berkaitan dengan defisiensi
limfosit yang beredar. Fungsi imun untuk pertahanan tubuh dapat berubah karena
asidosis dan toksin uremik. Peningkatan insidensi infeksi pada diabetes juga
berkaitan dengan isufisiensi vaskuler, neuropati dan pengendalian kadar glukosa
darah yang buruk. Infeksi saluran nafas yang rekuren berkaitan dengan penyakit
paru obstruksi menahun sebagai akibat dari berubahnya fungsi inspirasi dan
ekspirasi dan tidak efektifnya pembersihan saluran nafas.
6. Penyakit Kanker
Imunosekresi turut menyebabkan terjadinya penyakit kanker. Namun, penyakit
kanker sendiri bersifat imunosupresif. Tumor yang besar dapat melepaskan antigen
ke dalam darah, antigen ini akan mengikat antibodi yang beredar dan mencegah
antibodi tersebut agar tidak menyerang sel-sel tumor. Lebih lanjut, sel-sel tumor
dapat memiliki faktor penghambat yang khusus yang menyalut sel-sel tumor dan
mencegah pengahancurannya oleh limposit T killer. Dalam stadium awal
pertumbuhan tumor, tubuh tidak mampu mengenali antigen tumor sebagai unsure
yang asing dan selanjutnya tidak mampu memulai distruksi sel-sel yang maligna
tersebut.kanker darah seperti leukemia dan limpoma berkaitan dengan berubahnya
produksi serta fungsi sel darah putih dan limposit.
7. Obat-obatan
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan perubahan yang dikehendaki maupun yang
tidak dikehendaki pada fungsi sistem imun. Ada empat klasifikasi obat utama yang
memiliki potensi untuk menyebabkan imunosupresi: antibiotic, kortikostreoid, obat-
obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID Nonsteroidal anti inflamatori drugs) dan
preparat sitotoksik. Penggunaan preparat ini bagi keperluan terapeutik memerlukan
upaya untuk mencari kesinambungan yang sangat tipis antara manfaat terapi dan
supresi sistem pertahanan tubuh resipien yang berbahaya.
8. Radiasi
Terapi radiasi dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kanker atau pencegahan
rejeksi allograft. Radiasi akan menghancurkan limfosit dan menurunkan populasi sel
yang diperlukan untuk menggantikannya. Ukuran atau luas daerah yang akan
disinari menentukan taraf imunosupresi. Radiasi seluruh tubuh dan dapat
mengakibatkan imunosupresi total pada orang yang menerimannya.
9. Genetik
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara
genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah
terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen
tertentu, tetapi terhadap antigen lain tinggi sehingga mungkin ditemukan
keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor genetik dalam respons imun dapat
berperan melalui gen yang berada pada kompleks MHC dengan non MHC.
2.4 Patofiologi
1. Stadium Pengenalan
Dasar setiap reaksi imun adalah pengenalan (recognition) yang merupakan tahap yang
paling pertama. Tahap atau stadium ini merupakan kemampuan dari sistem imunitas
untuk mengenali antigen sebagai unsur yang asing atau bukan bagian dari dirinya
sendiri dan dengan demikian merupakan kejadian pendahulu dalam setiap reaksi
imun.Tubuh harus mengenali penyerang nya sebagai unsure asing sebelum bereaksi
terhadap penyrang tersebut.
2. Stadium Proliferasi
Limfosit yang beredar dan mengandung pesan antigenic akan kembali ke nodus
limfikatikus terdekat. Begitu berada dalam nodus limfatikus, limfosit yang sudah
disentisasi akan menstimulasi sebagian limfotik nonaktif (dormant) yang menghuni
nodus tersebut untuk membesar, membelah diri, mengadakan poliferasi dan
berdiferensiasi menjadi limfosit T atau B. Pembesaran nodus limfatikus dalam leher
yang menyertai sakit leher merupakan salah satu contoh dari respon imun.
3. Stadium Respon
Dalam stadium respon, limfosit yang sudah berubah akan berfungsi dengan cara
humoral atau seluler.Respon humoral inisial, produksi antibody oleh limfosit B
sebagai reaksi terhadap suatu antigen spesifik akan memulai respon humoral
.Humoral mengacu kepada kenyataan bahwa antibody dilepas ke dalam aliran darah
dan dengan demikian akan berdiam di dalam p;asma atau fraksi darah berupa
cairan. Respon seluler inisial, limfosit yang sudah disensitisasi dan kembali ke nodus
limfatikus (yang bukan daerah yang mengandung limfosit yang sudah deprogram
untuk menjadi sel-sel plasma) tempat sel-sel tersebut untuk menstimulasi limfotik
yang berada dalam nodus ini menjadi sel-sel yang akan menyerang langsung mikroba
dan bukan menyerangnya lewat kerja antibody.
4. Stadium Efektor
Dalam stadium ini , antibody dari respon humoral atau sel T sitotoksik dari respon
seluler akan menjangkau antigen dan terangkai dengan antigen tersebut pada
permukaan objek yang asing. Perangkaian ini memulai suatu seri kejadian yang pada
sebagian besar kasus akan mengakibatkan penghancuran mikroba yang menginvasi
tubuh atau menetralisis toksin secara total. Kejadian tersebut meliputi interaksi
antibody (imunitas humoral), komplemen dan kerja sel-sel T sitotoksik (imunitas
seluler)

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala utama dari sindrom imunodefisiensi adalah pasien semakin rentan terhadap
infeksi. Pasien dengan kegagalan imunitas humoral akan rentan terhadap infeksi bakteri.
Pasien dengan jenis imunodefisiensi ini akan mengalami infeksi pernapasan yang
berulang, termasuk pneumonia, infeksi pada saluran pencernaan, dan meningitis. Infeksi
kronis, seperti otitis media, juga dapat terjadi. Pasien dengan agammaglobulinemia
cenderung terkena infeksi yang parah dan biasanya menyebabkan kondisi yang
fatal.Sementara itu, memengaruhi pasien dengan kegagalan imunitas yang dimediasi oleh
sel akan rentan terhadap infeksi akibat virus dan jamur. Pada pasien dengan penyakit ini,
infeksi virus yang belum aktif, misalnya Varicella zoster dan Herpes simplex dapat
menyebar. Infeksi jamur juga cenderung akan seluruh fungsi tubuh. Kandidiasis atau
infeksi ragi juga sering terjadi, biasanya pada membran mukosa.
Respon imun merupakan respon yang terjadi dengan interaksi antara sel B dan sel T;
sehingga biasanya pasien akan mengalami gejala yang berbeda pada saat yang
bersamaan. Oleh karena itu, pasien yang terkena imunodefisiensi humoral juga dapat
mengalami infeksi virus yang berulang dan kronis, sedangkan pasien yang terkena
imunodefisiensi yang dimediasi sel juga rentan terkena infeksi bakteri piogenik. Pasien
dengan imunodefisiensi kombinasi parah biasanya akan mengalami beberapa infeksi
pada saat yang bersamaan.
2.6 Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Menghindari atau mengurangi kontak dengan orang yang telah terkena infeksi.
b. Mengenakan alat pelindung, misalnya masker wajah, terutama saat berada di tempat
umum.
c. Transfusi darah dan pemberian vaksin hidup juga tidak boleh dilakukan pada pasien
yang memiliki defisiensi sel T dan SCID, karena kedua tindakan tersebut dapat
menyebabkan penyakit graft-versus-host (penolakan sel donor terhadap sel penerima)
atau infeksi yang mematikan.
Pola hidup sehat.

2.7 Penatalaksaan
Pengobatan penyakit imunodefisiensi bertujuan untuk mengobati infeksi yang masih
aktif dan mencegah terjadinya infeksi dan penyakit lain. Pasien yang memiliki infeksi
akan ditangani secara agresif. Mereka biasanya akan diberi antibiotik spektrum luas
untuk jangka waktu yang panjang. Apabila dibutuhkan, pasien juga dapat diberi obat anti
virus dan anti jamur. Pengobatan profilaksis atau tindakan pencegahan dengan pemberian
obat-obatan juga dapat dilakukan.
Sementara itu, pasien dengan imunodefisiensi humoral kemungkinan harus
menjalani terapi penggantian, yang dilakukan dengan memberikan immunoglobulin
manusia setiap 4 minggu melalui infus. Hal ini dilakukan untuk mengatur jumlah
antibodi di dalam tubuh. Terapi penggantian harus dilakukan dengan pengawasan medis,
karena pemberian infus yang berisi immunoglobulin dapat menyebabkan efek samping
yang serius. Apabila telah mendapatkan terapi penggantian yang cukup, pasien dengan
imunodefisiensi sel B dapat memiliki kehidupan yang sehat dan produktif.
Transplantasi sumsum tulang juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit
imunodefisiensi tertentu. Pengobatan terapeutik yang baru, misalnya transplantasi sel
induk, juga dapat digunakan untuk mengobati pasien imunodefisiensi. Penelitian tentang
terapi genetik dapat meningkatkan pemahaman tentang imunodefisiensi dan diharapkan
dapat membantu menemukan cara pengobatan baru bagi pasien dengan kondisi ini.
Penyakit imunodefisiensi sekunder diobati dengan mengubah faktor eksternal yang
menyebabkan imunodefisiensi. Dokter mungkin harus mengurangi dosis atau mengganti
obat yang menyebabkan melemahnya sistem imun pasien, misalnya steroid. Pasien yang
menjalani splenektomi elektif harus mendapatkan vaksinasi sebelum tindakan. Pasien
HIV harus diberi obat antiretroviral untuk mengendalikan virus dan memperkuat sistem
imun mereka.
Terapi atau perlakuan lain yang dapat menyebabkan imunodefisiensi adalah :
a. Pemberian obat
Beberapa obat diberikan untuk menyupresi respon imun, seperti kortikosteroid dan
siklosporin. Selain itu, kemoterapi pada penderita kanker juga memliki efek samping
imunosupresi berupa efek sitotoksik pada limfositselama beberapa saat, sehingga
pasien kanker yang baru menjalani kemoterapi akan mengalami satu periode dimana
dia akan lebih mudah terinfeksi suatu mikroorganisme.
b. Pengangkatan lien
Seseorang yang mengalami pengangkatan lien sebagai terapi karena trauma atau
kondisi hematologik dapat menyebabkan adanya peningkatan suspeksibilitas terhadap
infeksi, terutama terhadap bakteri encapsulated seperti Streptococcus pneumoniae.
Hal ini disebabkan oleh defek klirens mikroba teropsonisasi di darah yang semestinya
dilakukan lien.
Daftar Pustaka

1. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran pathologic basis of
disease. 8th Ed. 2010. Philadelphia : Elsevier. Pg.230-5
2. Konsep Imunodefisiensi. Diakses dari http://ocw.usu.ac.id/ pada tanggal 14 April
2017 pukul 11.47
3. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and molecular immunology. 7th Ed. 2012.
Philadelphia : Elsevier. Pg.445-58
4. Ballow M. Primary immunodeficiency diseases. In: Goldman L, Schafer AI, eds.
Goldman’s Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2011:chap
258.

Anda mungkin juga menyukai