Anda di halaman 1dari 6

PERUBAHAN IMUNITAS

dr. WILDANA ABBAS, SpPK

IMUNODEFISIENSI

Terbentuknya sistem imunokompeten penting untuk melindungi tubuh


organisme terhadap invasi dari luar. Karenanya setiap defisiensi pada salah satu
komponen dari sistem imun itu dapat mengganggu aktivitas seluruh sistem pertahanan
tubuh. Perubahan patologis dari fungsi imunologis pada awalnya dikelompokkan
sebagai: 1) reaksi hipersensitivitas (stimuli imunogenik kecil menimbulkan respon imun
besar); 2) penyakit autoimun (kemampuan membedakan diri sendiri dari bukan-diri
sendiri, hilang); 3) sindrom imunodefisiensi (kemmpuan untuk memberikan respon
imun efisien dirusak atau tidak ada.

Dari sudut pandang etiologis, sindrom imunodefisiensi dapat diklasifikasikan


sebagai primer dan sekunder. Sindrom imunodefisiensi kongenital atau primer
diakibatkan paling sering oleh abnormalitas yang ditentukan secara genetik yang
merusak respon humoral dan/atau seluler. Sindrom imunodefisiensi didapat atau
sekunder adalah kondisi yang terjadi sebagai akibat dari keadaan penyakit (keganasan,
malnutrisi, infeksi virus) atau akibat tindakan medis (khususnya obat imunosupresif).

Sedangkan dari sudut pandang patogenesis, imunodefisiensi dapat


diklasifikasikan menurut komponen respon imun yang terlibat, seperti 1) sel B, atau
imunitas seluler-antibodi, 2) imunitas seluler sel-T, 3) imunitas yang dimediasi oleh
kerja sel fagosit; dan 4) imunitas yang dihubungkan dengan aktivasi komplemen.

Imunodefisiensi Primer

Kelainan atau defek primer sistem imun diakibatkan dari kegagalan bagian
esensial dari sistem imun untuk berkembang. Defek ini dapat terjadi pada titik manapun
selama masa perkembangan sistem imun dan dapat melibatkan defek organ atau seluler.

Imunodefisiensi sekunder terjadi akibat hilangnya sistem imun yang


sebelumnya efektif, yang mencakup setiap gangguan yang menunjukkan hilangnya
imunokompetensi sebagai akibat kondisi lain. Klasifikasi luasnya mencakup

1
imunodefisiensi akibat stress, proses penuaan, obat imunosupresif, infeksi sistemik,
kanker, malnutrisi, penyakit ginjal, dan terapi radiasi. Kondisi ini dapat menimbulkan
kehilangan imunoglobulin, ketidakadekuatan sintesis imunoglobulin, kehilangan
limfosit spesifik yang bertanggung jawab terhadap imunitas seluler, kehilangan sel
inflamasi fagositik, atau kombinasi dari semua ini. Meskipun penurunan keefektifan
sistem imun sering tidak mengancam hidup, ini sering mengakibatkan penurunan
kemampuan organisme untuk melawan respon inflamasi atau imun. Karenanya,
kerentanan terhadap infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan lainnya meningkat. Pada
beberapa kasus, kehilangan imunokompetensi menyebabkan perubahan yang cukup
pada pertahanan hospes yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Tabel 1. Klasifikasi Kelainan Imunodefisiensi

Penyakit Imunodefisiensi antibodi (Sel B)


Hipogammaglobulinemia kongenital
Hipogammaglobulinemia yang didapat
Defisiensi IgA, IgM, IgG selektif
Penyakit Imunodefisiensi seluler (sel-T)
Aplasia timus kongenital (sindrom Di George)
Kandidiasis mukokutaneus menahun
Penyakit Imunodefisiensi kombinasi antibodi-seluler
Disfungsi fagositik
Defisiensi Glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6-PD)
Penyaki Imunodefisiensi dan kelainan komplemen
Imunodefisiensi sekunder

AIDS disebabkan oleh HIV (Human Immune Deficiency Virus). Setelah


terjangkiti HIV, masih diperlukan bertahun-tahun agar dapat berkembang menjadi
AIDS, tergantung daya tahan tubuh.

AIDS muncul, setelah benteng pertahanan tubuh, yaitu sistem kekebalan


alamiah melawan penyakit, runtuh oleh virus HIV, yaitu dengan hancurnya sel-sel

2
limfosit T (sel-T). Karena kekurangan sel-T, maka penderita mudah sekali terserang
infeksi dan kanker yang sederhana sekalipun, yang untuk orang normal tidak berarti.

HIV biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dengan orang yang


mengidap virus itu, dan terdapat kontak langsung dengan darah atau produk darah dan
cairan tubuh lainnya. Pada wanita virus mungkin masuk melalui luka atau lecet pada
mulut rahim atau vagina. Virus memasuki aliran darah pria jika pada genitalnya ada
luka atau lecet. Hubungan seks melalui dubur berisiko tinggi untuk terinfeksi, juga
melalui vagina dan oral. HIV juga dapat ditularkan melalui kontak langsung darah
dengan darah, seperti jarum suntik (pecandu narkotika suntikan), transfusi darah, ibu
hamil ke bayi saat melahirkan, pisau cukur dan sikat gigi. Tidak ada bukti penularan
karena berjabat tangan, gelas bekas dipakai penderita, handuk atau melalui kloset
umum.

Banyak gejala AIDS yang mirip gejala penyakit biasa seperti pilek, bronkitis
dan influensa. Bedanya, ia berlangsung lebih lama, lebih parah, sukar hilang dan sering
kambuh. Rasa lelah yang berkepanjangan tanpa sebab, demam berminggu lamanya,
diare berkepanjangan, pembengkakan kelenjar getah bening di leher, ketiak atau lipat
paha, berat badan menurun, batuk-batuk. Gejala ini perlu diwaspadai jika
kemunculannya tidak dapat dijelaskan, apalagi jika mengenai orang yang termasuk
kelompok berisiko tinggi terkena AIDS. Kelompok berisiko tinggi terkena HIV- AIDS
adalah homoseksual, pecandu narkotika suntik, hemofilia, transfusi darah, anak dari ibu
HIV (+), perawat, WTS.

Untuk menilai apakah seseorang telah terkena HIV maka diadakan tes antibodi
HIV. Hasil positif berarti ybs telah terinfeksi HIV, dan berpotensi menularkan virus ini
kepada orang lain. Hasil negatif biasanya berarti bebas dari infeksi. Namun harus
diingat bahwa tebentuknya antibodi memerlukan waktu sampai berbulan-bulan.
Sebaiknya diulang 3-6 bulan kemudian.

Sampai sekarang belum ada obat atau vaksin untuk mengobati atau mencegah
infeksi HIV. Walaupun ada obat tertentu yang dapat memperlambat perjalanan
penyakit, tidak satu pun yang telah teruji mampu menyembuhkan AIDS.

3
HIPERSENSITIVITAS

Gangguan imun yang merusak jaringan diklasifikasikan dalam berbagai cara


untuk memperjelas dasar patofisiologisnya. 4 mekanisme gangguan yang dimediasi
secara imunologis telah digambarkan sesuai dengan cara terjadinya cedera jaringan.
Beberapa kondisi ini juga dapat diklasifikasikan sebagai rekasi autoimun.

Istilah klasik untuk reaksi yang merusak jaringan imunologis adalah reaksi
hipersensitivitas, yang mengacu pada respon sistem imun yang berlebihan pada antigen.
Antigen yang menimbulkan respon disebut alergen. Alergen menimbulkan respon
berbeda, bergantung pada predisposisi genetik seseorang terhadap respon yang
berlebihan. Pada beberapa kasus, antigen menghasilkan respon ini tanpa diketahui.

Klasifikasi Cedera Jaringan akibat Hipersensitivitas

Jenis reaksi hipersensitivitas dibahas berdasarkan mekanisme patofisiologisnya


dan bagaimana reaksi ini memanifestasikan diri dalam berbagai penyakit atau keadaan.

Tipe I: Hipersensitivitas Imediat: Anafilaksis atau Atopi

Anafilaksis mengacu pada reaksi akut yang biasanya dihubungkan dengan tipe
reaksi kulit berupa bentol dan merah serta vasodilatasi yang dapat mencetuskan syok
sirkulasi. Atopi, yang diakibatkan oleh mekanisme yang sama, terjadi secara menahun
pada respon yang bergantung pada antigen, frekuensi kontak, rute kontak, dan
sensitivitas sistem orgam pada antigen.

Atopi adalah reaksi hipersensitivitas paling umum. Reaksi ini umumnya


disebut alergi , terjadi pada orga yang terpajan pada antigen lingkungan. Karenanya,
sistem pernapasan, kulit dan sistem gastrointertinal secara khusus terkena. Banyak tipe
antigen atau alergen dapat menimbulkan status hipersensitivitas pada individu rentan.
Yang paling umum adalah alergen lingkungan,serbuk sari, bulu, makanan, gigitan
serangga, dan agen pembersih rumah. Reaksi sensitivitas obat dapat mempengaruhi
respon yang sama. Status penyakit lain yang diklasifikasikan dalam kelompok ini
mencakup demam jerami (hay fever), urtikaria (hives), asm dan ekzema atopik.
Kerentanan terhadap alergi ditentukan oleh faktor genetik dan oleh faktor lain yang
memungkinkan pemajanan pada alergen.

4
Tipe II: Hipersensitivitas Sitotoksik

Pada respon hipersensitivitas tipe II, suatu antibodi sirkulasi, biasanya IgG,
bereaksi dengan antigen pada permukaan sel. Karena individu secara normal
mempunyai ....................

Tipe III: Penyakit Kompleks Imun

Penyakit kompleks imun mengakibatkan pembentukan kompleks antigen-


antibodi yang mengaktivasi berbagai faktor serum, khususnya komplemen. Ini
mengakibatkan pengendapan kompleks pada area yang rentan, yang menimbulkan
inflamasi sebagai akibat aktivasi komplemen. Akibat akhirnya adalah proses inflamasi
intravaskuler, sinovial, endokardial, dan proses inflamasi membran lain yang
mempengaruhi kerentanan organ

Reaksi Tipe IV: Hipersensitivitas Seluler

Respon tipe IV adalah akibat dari limfosit T yang disensitasi secara khusus
tanpa partisipasi antibodi. Aktivasi menyebabkan respon tipe-tertunda. Respon
hipersensitivitas tertunda dihubungkan dengan interaksi khusus sel T dengan antigen.
Sel T bereaksi dengan antigen dan melepaskan limfokin yang menarik makrofag ke
dalam area tersebut. Makrofag melepaskan monokin. Zat ini meningkatkan respon
inflamasi yang menghancurkan benda asing. Respon tuberkilin adalah contoh paling
baik dari respon hipersensitivitas tertunda dan digunakan untuk menentukan apakah
seseorang telah tersensitasi oleh penyakit ini. Respon hipersensitivitas granulomatosa
adalah bentuk paling penting dari hipersensitivitas tertunda, karena ini adalah akibat
dari pembentukan granuloma dalam area tubuh yang lain. Granuloma dikelilingi oleh
fibrosis, dan bahan nekrosis dapat terkurung didalamnya. Suatu reaksi kulit alergis
umum, dermatitis kontak, tampak menjadi respon sel T dengan reaksi tertunda. Ini
terjadi pada kontak denagn bahan kimia rumah tangga umum, kosmetik dan toksi
tanaman. Area kontak menajdi merah dan menonjol.

AUTOIMUNITAS

Penelitian tentang autoimunitas telah dipacu oleh penemuan antibodi yang


mengarah pada sel spesifik pada orang tertentu. Banyak orang menunjukkan auto-
antibodi serum tetapi tidak menunjukkan adanya penyakit. Terutama ini terjadi pada
5
lansia, dan banyak riset berhubungan dengan kehilangan toleransi diri karena proses
penuaan sedang berjalan. Bahkan pada orang yang menderita infark miokard dapat
menunjukkan autoantibodi miokardial tetapi tidak menunjukkan gangguan miokardial
lanjut. Pada DM, autoantibodi pada sel-sel pulau Langerhans pankreas sering terlihat,
yang memunculkan teori bahwa beberapa bentuk DM dapat diakibatkan dari serangan
autoimun pada sel-sel ini.

Respon luas dari autoimun telah dibagi secara klinis ke dalam penyakit non-
organ spesifik dan organ-spesifik. Hubungan reaksi autoimun destruktif ditunjukkan
secara jelas pada miastenia gravis, penyakit Grave, artritis reumatoid, sistemik lupus
eritematous (SLE), dll.

Observasi terhadap fenomena autoimun telah menimbulkan generalisasi ini:

1. Fenomena autoimun spesifik terjadi dengan frekuensi yang lebih besar pada
keluarga tertentu, yang menunjukkan kelainan genetik yang dihubungan dengan
gangguan dasar kontrol imun timik.
2. Penyakit autoimun lebih umum pada wanita daripada pria, yang menunjukkan
hubungan hormon sex dan respon imun.
3. Individu lansia mempunyai prevalensi autoantibodi yang lebih besar, yang
mungkin hasil dari kesalahan genetik karena kelelahan sistem imun sepanjang
proses penuaan.
4. Virus dapat berperan dalam kekampuhan autoimunitas karena kemampunnya untuk
mengganggu sistem imun pada suatu tingkatan manapun.
5. Jaringan antigen-sendiri (self-antigen) diubah oleh penyakit atau cedera, sehingga
hospes tidak lagi mengenalinya sebagai diri sendiri (self).

Anda mungkin juga menyukai