Anda di halaman 1dari 6

1.

Koinfeksi

Koinfeksi adalah infeksi simultan dengan dua atau lebih stimulus infeksi maupun
patogen secara bersamaan yang dapat meningkatkan keparahan dan durasi infeksi. Salah satu
kasus koinfeksi yang sering terjadi yaitu infeksi HIV pada orang yang telah terkena TBC.
Pada skenario, koinfeksi yang terjadi adalah Glomerulonefritis dan SLE (Systemic Lupus
Erythematosus). Indikasi dari glomerulonefritis adalah penimbunan imunoglobulin,
komponen komplemen (C3), dan fibrinogen pada membran dasar. Sedangkan pada SLE
terdapat defisiensi C3 dan C4 serta antibodi anti DNA titer yang tinggi.

2. Kondisi imun penderita

Sistem imun atau sistem kekebalan adalah sel-sel dan banyak struktur biologis lainnya
yang bertanggung jawab atas imunitas, yaitu pertahanan pada organisme untuk melindungi
tubuh dari pengaruh biologis luar dengan mengenali dan membunuh patogen. Berdasarkan
skenario diatas, kondisi imun ibu tersebut mengalami peningkatan atau hipersensitivitas.

Hipersensitivitas

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya
non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan
atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen. Reaksi alergi terjadi ketika tubuh
salah mengartikan zat yang masuk sebagai zat yang berbahaya.

Seseorang dapat terserang alergen dengan menghirup, menelan, atau mendapatkan pada atau
di bawah kulit. Setelah seseorang terkena alergi, serangkaian kegiatan menciptakan reaksi
alergi. Reaksi ini melibatkan imunoglobulin, yaitu protein yang membantu dalam respon
kekebalan tubuh, tepatnya Imonuglobulin E (IgE) yang membentuk respon imun tubuh.
Respon imun yang muncul dalam reaksi alergi melalui dua tahap, yaitu tahap sensitisasi
alergen dan tahap elisitasi.

Macam-Macam Hipersensitivitas
Hipersensitivitas obat-obatan
Jenis alergi ini disebabkan oleh penggunaan obat-obatan tertentu. Reaksi alergi obat
merupakan reaksi alergi di mana sistem kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan terhadap
obat-obatan tertentu yang dikonsumsi oleh seseorang. yang diberikan tubuh pun sangat
keras. Contohnya dapat menyebabkan gatal-gatal, terdapat bercak-bercak merah pada kulit,
mual dan muntah. Obat yang berpotensi menimbulkan alergi antara lain antibiotik alergi
(sulfonamid), vaksin, dan obat non alergik (kontras x-ray, aspirin, antibiotik, dan obat
tekanan darah tinggi).

Penyakit Autoimunitas

Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk mengenali bagian-bagian


penyusunnya sendiri sebagai diri, yang memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan
jaringan tubuh. Contoh penyakit autoimun yang paling sering terjadi adalah penyakit seliak,
diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Sjögren, Churg-
Strauss Syndrome, tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, idiopatik thrombocytopenic
purpura, rheumatoid arthritis (RA) dan alergi.

3. Mekanisme terjadinya kelainan ginjal

Penyebab infeksi pada glomerulus akibat dari reaksi hipersensivitas tipe III adalah
kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari infeksi) mengendap di membran basalis
glomerulus yang menyebabkan destruksi pada membran basalis glomerulus. Saat sirkulasi
melalui glomerulus, kompleks-kompleks ini dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir
pada subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau menembus membran basalis dan
terperangkap pada sisi epitel. Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun,
ditemukan endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik pada mesangium,
subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola
nodular atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta
komponen-komponen seperti C3, C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam endapan-
endapan ini.

Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks


imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari
kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks kecil
cenderung menembus membrane basalis kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi
sepanjang dinding kapiler di bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang
tidak sedemikian mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium.

4. Hasil interpretasi laboratorik darah pasien, respon imunopatologis, dan


patogenesisnya

Diagnosis hasil laboratorik darah


Pada skenario, berdasarkan hasil laboratorik darah pasien menunjukan adanya
defisiensi C3 dan C4 serta antibodi anti DNA titer tinggi dalam serum darah, diagnosis
terhadap pemeriksaan tersebut merupakan indikasi penyakit SLE (systemic lupus
eritomatous) dengan manifestasi ginjal

Respon imunologis
Imunopatologi merupakan gangguan atau kelainan pada sistem imunitas tubuh.pada
kasus ini, reaksi imunopatologis terdiri dari reaksi hipersensitivitas dan autoimun. Reaksi
hipersensitivitas yang timbul pada penderita SLE adalah reaksi hipersensitif tipe III. Reaksi
hipersensitivitas tipe III muncul ketika terdapat antibodi dalam jumlah kecil dan antigen
dalam jumlah besar, yang membentuk kompleks imun yang kecil dan sulit diekskresikan dari
sistem sirkulasi. Pada kasus ini ada pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan
terlarut didalam jaringan yang ditandai dengan adanya inflamasi atau radang

Patogenesis

a. Glomerulonefritis

Reaksi imun dibagi menjadi 2 yaitu sel limfosit B dan sel limfosit T. Sel limfosit B
bertugas untuk membentuk antibodi, sedangkan sel limfosit T bertugas untuk
menyerang. Sel limfosit T mengaktifasi makrofag, lalu sel limfosit T salah mengenali
dan menyerang sel-sel glomerulus. Peristiwa ini dapat terjadi secara langsung dan
tidak langsung. Secara langsung, makrofag langsung menyerang sel. Sedangkan
secara tidak langsung, melalui sitokin yang berguna untuk memodulasi dan
membiosintesis aktivitas proliferasi dari glomerulus. Karena terganggunya proses
maka terjadi kerusakan sel dan terjadi penimbunan IgA yang mengakibatkan
penyaringan tidak berfungsi dengan baik.
b. SLE (Systemic Lupus Eritematosus)

Antigen yang masuk kedalam tubuh kita berasal dari 3 faktor yaitu infeksi,
lingkungan dan autoantigen. Saat antigen masuk, antigen berikatan dengan antibodi
yang dinamakan imun kompleks. Antigen dikenali oleh sistem imun pada permukaan
sel apoptotik sehingga autoantigen, autoantibodi dan kompleks imun bertahan dalam
waktu lama sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi dan berkembangnya SLE.

Faktor utama terjadinya SLE adalah adanya defisiensi pada C3 dan C4. Terdapat
bukti bahwa komplemen (C) ikut berperan dalam pertahanan tubuh menghadapi
infeksi. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui
proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau
makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement
receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag.
Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah
kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama. Keadaan
ini memicu pertumbuhan SLE yang berkelanjutan.

Aktivasi sel imun disertai dengan peningkatan sekresi interferon (IFN) tipe 1 dan 2,
interleukin (IL) 7, pematangan sel B dan IL-10. Upregulasi gen yang dicetuskan oleh
IFN merupakan suatu penanda genetic dalam sel darah perifer pada 50-60% pasien
SLE. Selain itu, terdapat kondisi lain yang berkontribusi dalam tercetusnya SLE yaitu
penurunan produksi sitokin IL-2 dan transforming growth factor beta (TGF β) oleh
sel natural killer dan sel lupus T.

5. Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitif terhadap antibiotika jenis tertentu

Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang
umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik.
Dengan kata lain, tubuh manusia berkasi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan
yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang
yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut
alergen. Terdapat 2 kemungkinan yang terjadi pada mekanisme reaksi alergi tipe I.
6. Jenis poket pada region 13-23 serta patogenesis terjadinya poket

Berdasarkan skenario, dikatakan bahwa ada kemerahan pada gingiva regio 13-23,
edema, perdarahan pada probing rata-rata poket 4mm, oral hygiene buruk. Dari pemeriksaan
radiografis terlihat batas tulang alveolar 2mm dari CEJ. Hal ini merupakan tanda-tanda klinis
dari gingivitis, sehingga dapat dikatakan bahwa jenis poketnya adalah poket gingiva. Bisa
dilihat juga dari poketnya, poket gingiva 3-4mm, dan poket periodontal lebih dari 5mm.
Patogenesis terjadinya poket melalui beberapa tahap, yaitu lesi awal, gingivitis tahap awal,
dan gingivitis tahap lanjut. Pada lesi awal perubahan terlihat pertama kali di sekitar pembuluh
darah gingiva disebelah apikal dari epitelium junctional. Pembuluh ini mulai bocor dan
kolagen perivaskular mulai menghilang, digantikan oleh beberapa sel: sel inflamasi, plasma,
imfosit, terutama limfosit T cairan jaringan dan protein serum. Selanjutnya gingivitis tahap
awal bila masih terdapat deposit plak, perubahan inflamasi tahap awal akan berlanjut disertai
dengan meningkatnya aliran cairan gingiva, migrasi PMN dan ada pemisahan sel dan
proliferasi dari basal. Terakhir, gingivitis tahap lanjut, dalam kurun waktu 2-3 minggu, akan
terbentuk gingivitis yang lebih parah. Pada segi perubahan mikroskopik terus berlanjut.
Seperti, sel-sel plasma terlihat mendominasi, limfosit masih tetap ada, sel mast ditemukan
dan jumlah makrofag meningkat. Pada fase ini gingiva lebih bengkak, kemerahan, mudah
berdarah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hikmah, Nuzulul. “Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi)”. Jember. Fakultas


Kedokteran Gigi : Universitas Jember

Anda mungkin juga menyukai