KELOMPOK 1
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2018
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
A. Definisi
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba
dan mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa
dengan penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa
diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda
tampak. Cardiac arrest adalah penghentian sirkulasi normal darah akibat
kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung
secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat
kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
Cardiac Arrest adalah terhentinya pompa jantung secara mendadak
yang bersifat reversible, dan dapat bersifat irreversible jika tidak dilakukan
intervensi segera (Robert,2001).Cardiac Arrest adalah jantung tidak cukup
memompa darah ke otak, Cardiac Output <20%, dan nadi carotis tidak
teraba.Gejala dan tanda yang tampak, antara lain hilangnya kesadaran;
napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas);
tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi
yang dapat terasa pada arteri; dan tidak denyut jantung.
B. Etiologi
1. Faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan terjadinya henti jantung
dapat berupa :
a. Usia
Insiden henti jantung dapat meningkat seiring dengan
bertambahnya usia bahkan dengan pasien yang bebas dari serangan
jantung tiba-tiba.
b. Jenis Kelamin
Tampaknya pria mempunyai resiko lebih tinggi terkena serangan
jantung tiba-tiba dibandingkan dengan wanita yang lebih beresiko
mengalami henti jantung yang mendasari.
c. Merokok
Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan
insiden SCD(ada efek aritmogenik langsung dari merokok sigaret
atas miokardium ventrikel).Tetapi menurut pengertian
Framingham, peningkatan resiko akibat merokok hanyaterlihat
pada pria. Yang menarik, peningkatan resiko ini menurun pada
pasien yangberhenti merokok. Merokok juga meningkatkan insiden
CAD yang tampil padakebanyakan pasien yang menderita henti jantung
d. Penyakit jantung yang mendasari :
1) Penyakit arteri koronaria
Data dari penelitian Framingham telah memperlihatkan
pasien CAD mempunyai frekuensi SCD Sembilan kali
pasien dengan usia yang sama tanpaCAD yang jelas.The
Multicenter Post Infarction Research Group mengevaluasi
beberapa variable pada pasien yang menderita MI.
Kelompok iniberkesimpulan bahwa pasien pasca MI
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yangkurang dari 40%, 10
atau lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per
jam,sebelum MI dan ronki dalam masa periinfark
mempunyai peningkatanmortalitas (1-2 tahun)
dibandingkan dengan pasien tanpa masalah ini. Jelaspasien
CAD (terutama yang menderita MI) dengan resiko SCD
yang lebih besar.
2) Sindrom prolaps katup mitral (MVPS)
Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah
memperlihatkan tingginyainsiden aritmia ventrikel yang
dapat di induksi, terutama pada pasien denganriwayat
sinkop atau prasinkop. Terapi anti aritmia pada pasien ini
biasanyaakan mengembalikan gejalanya.
3) Hipertrofi septum yang asimetik (ASH)
Pada pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia
atrium dan ventrikel yangbisa menyebabkan kematian
listrik atau hemodinamik (peningkatan obstruksialiran
keluar). Riwayat VT atau bahkan denyut kelompok
ventrikel akanmeningkatkan risiko SCD.
4) Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)
Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1
melalui suatu jalurtambahan atau AF dengan respon
ventrikel sangat cepat (juga karena
hantaran jalur tambahan antegrad) menimbulkan frekuensi
ventrikel yang cepat, yangdapat menyebabkan VF dan bahkan
kematian mendadak.
5) Sindrom Q-T yang memanjang
Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau
idiopatik mempunyaipeningktan resiko SCD. Kematian
sering timbul selama masa kanak-kanak.Mekanisme ini
bisa berhubungan dengan kelainan dalam pernafasan
simpatis jantung yang memprodisposisi ke VF
e. Faktor-faktor lainnya :
1) Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic
merupakanpredisposisi SCD
2) Hiperkolesteremia:tidak ada hubungan jelas antara kadar
kolesterol serum danSCD yang telah ditemukan
3) Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya
pada wanita ditemukan peningkatan insiden SCD yang
menyertai intoleransi glukosa.
4) Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak
jelas dalammengurangi insiden SCD.
5) Obesitas: menurut data Framingham, obesitas
meninggkatkan resiko SCDpada pria, bukan wanita.
f. Riwayat aritmia :
1) Aritmia supraventrikel
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan
aritmia supraventrikeldisertai dengan peningkatan insiden
SCD. Pasien CAD yang kritis jugaberesiko, jika aritmia
supraventrikel menimbulkan iskemia miokardium.Tampak
bahwa iskemia dapat menyebabkan tidak stabilnya listrik,
yangmengubah sifat elektrofisiologi jantung yang
menyebabkan VT terus-menerusatau VF. Tetapi sering
episode iskemik ini asimtomatik.
2) Aritmia ventrikel
Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT
tidak terus-menerusmenpunyai peningkatan insiden SCD
dibandingkan pasien dengan VPCtersendiri. Kombinasi VT
yang tidak terus-menerus dan disfungsi ventrikel
kiridisertai tingginya resiko SCD. Pasien CAD dan VT
spontan mempunyaiambang VT yang lebih rendah
dibandingkan pasien CAD dan tanpa riwayatVT. Sehingga
pasien CAD dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah
danVF atau VT terus-menerus yang spontan mempunyai
insiden SCD tertinggi
2. Faktor-faktor pencetus yang dapat menimbulkan terjadinya henti
jantung dapat berupa :
a. Aktivitas
Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas. Analisis
59pasien yang meninggal mendadak memperlihatkan bahwa
setengah darikejadian ini timbul selama atau segera setelah gerak
badan. Tampak bahwagerak badan bisa mencetuskan SCD,
terutama jika aktivitas berlebih danselama tidur SCD jarang terjadi.
b. Iskemik
Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang jauh
(iskemia dalam distribusi arteri koronaria noninfark) mempunyai
insiden aritmia ventrikel yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien iskemiayang terbatas pada zona infark. Daerah iskemia yang
aktif disertai dengantidak stabilnya listrik dan pasien iskemia pada
suatu jarak mempunyai kemungkinan lebih banyak daerah beresiko
dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.
c. Spasme arteri koronaria
Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra)
dapatmenimbulkan brakikardia sinus, blok AV yang lanjut atau AF.
Semuaaritmia dapat menyokong henti jantung. Tampak bahwa
lebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang menyertai
spasme arteri koronaria, lebihbesar resiko SCD. Tetapi insiden
SDC pada pasien spasme arteri koronaria berhubungn dengan
derajat CAD obsruktif yang tetap. Yaitu pasien CAD multi
pembuluh darah yang kritis ditambah spasme arteri koronaria lebih
mungkin mengalami henti jantung dibandingkan pasien spase
arterikoronaria tanpa obstuksi koronaria yang tetap
C. Patofisiologi
c) Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk
menginduksi aritmia termasuk resep tertentu dan obat-obatan
terlarang.
d) Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini
sebagai pemicu cardia arrest.
3. Imaging Test
a) Pemeriksaan Foto
Torak Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta
pembuluh darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang
terkena gagal jantung.
b) Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu
mengidentifikasi masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang
dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran
darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif
mengalir melalui jantung dan paru-paru.
c) Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran
jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah
daerah jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa
secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah
ada kelainan katup.
4. Electrical System (electrophysiological) testing adn mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung Anda belum
ditemukan. Dengan jenis tes ini, dokter mungkin mencoba untuk
menyebabkan aritmia, sementara dokter memonitor jantung Anda. Tes ini
dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes,
kemudian kateter dihubungkan denga electrode yang menjulur melalui
pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat,
elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung
pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk
merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin
memicu - atau menghentikan – aritmia. Hal ini memungkinkan dokter
untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection Fraction Testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest
adalah seberapa baik jantung Anda mampu memompa darah. Dokter dapat
menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang
dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang
dipompa keluar dari ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi
normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen
meningkatkan risiko sudden cardiac arrest. Dokter Anda dapat mengukur
fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir
scan dari jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6. Coronary Chaterization
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi
penyempitan atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah
pembuluh darah yang tersumbat merupakan prediktor penting sudden
cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri
hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri,
biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna
mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video,
menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter
diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan
angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.
F. Penatalaksanaan
1. Menentukan respon
Perawat pertama kali menentukan keresponsifan pasien sebelum
memulai RJP. Jika pasien tidak berespon, perawat memanggil bantuan
(“memulai code”), dan mengadakan BLS yang mengikuti akronim
ABC (jalan napas-pernapasan-sirkulasi)
a) Jalan napas (Airway)
Head-tilt/chin-lift maneuver : letakkan salah satu tangan di
kening pasien, tekan kening ke arah belakang dengan
menggunakan telapak tangan untuk mendongakkan kepala
pasien. Kemudia letakkan jari-jari dari tangan yang lainnya di
dagu korban pada bagian yang terulang dan angkat rahang ke
depan sampai gigi
Jaw-thrust maneuver : pegang sudut dari rahang bawah pasien
pada masing-masing sisinya dengan kedua tangan, angkat
mandibula ke atas sehingga kepala mendongak (metode ini
adalah yang paling aman untuk membuka jalan nafas pada
korban yang dicurigai mengalami trauma leher)
Observasi untuk mengetahui adanya pernapasan spontan.
Jika pasien tidak bernapas , pasang jalan napas orofaring (jika
mungkin dilakukan) lakukan pengisapan kalau perlu.
b) Pernapasan (Breathing)
Hubungkan Ambu-bag ke oksigen 100%.
Beri dua kali napas awal yang lambat (2 detik per napas).
Pertahankan kerapatan pada mulut dan hidung pasien.
Pantau oksimeter nadi.
Auskultasi suara napas bilateral.
c) Sirkulasi (Circulation)
Periksa adanya denyut nadi karotis dan tanda-tanda sirkulasi
lainnya.
Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi:
Lakukan kompresi dada pada frekuensi 100/menit yang diikuti
dengan dua kali napas lambat dengan menggunakan rasio 15:2
untuk kompresi banding napas. Setelah empat siklus, perika
kembali denyut nadi karotis.
Lanjutkan untuk mengkaji keefektifan RJP dengan melihat
monitor EKG untuk membantu memastikan frekuensi,
mempalpasi denyut nadi (radialis,femoralis,pedialis) untuk
menentukan keefektifan.
2. Mengatur posisi pasien
Pasien harus diletakkan dalm posisi telentang pada permukaan yang
datar dan keras. Posisi ini memungkinkan penolong membuka jalan
napas dan mengkaji keberadaan dan keefektifan setiap pernapasan
spontan. Jika pasien berada di tempat tidur rumah sakit standar, papan
resusitasi diletakkan di bawah torso nya ketika bantuan datang. Jika
pasien berada di tempat tidur khusus, pengaturan RJP pada tempat
tidur dipilih.
Jika pasien ditemukan bernafas dengan efektif dan tidak ada tanda-
tanda trsuma, pasien diletakkan dalam posiso pemulihan. Posisi
pemulihan digunakan untuk mengurangi kemungkinan obstruksi jalan
napas oleh lidah atau oleh sekresi atau emesis. Untuk meletakan
pasien dalam posisi pemulihan, penolong berlutut disamping bahu
pasien. Penolong mengangkat lengan pasien yang terdekat denga
penolong dan menekuknya pada siku. Lengan kemudian diatur
posisinya sehingga telapak tangan pasien menghadap ke atas dan
diarahkan ke wajah pasien. Kemudia penolong mengangkat tungkai
pasie yang terjauh dari penolong dan menyilangkannya pada tubuh
pasien, dengan mengarahkannya ke penolong. Satu tangan penolong
menyangga kepala pasien selama mengubah posisi dan kedua tangan
digunakan untuk memindahkan panggul pasien ke arah penolong.
3. Jalan napas
Perawat mengkaji jalan napas yang adekuat, pasien diatur posisinya
untuk memastikan jalan napas terbuka dan paten. Pasien diletakkan
dalam posisi telentag dan jalan napas dibuka dengan menggunakan
metode head titl-chin lift. Dalam metode ini, kepala ditengadahkan ke
belakang dan dagu diangkat untuk meregangkan jalan napas dan
memajukan diah dalam persiapan ventilasi.
Pada kasus pasien dicurigai atau dipastikan mengalami cedera tulang
belakang servikal, jaw thrust di gunakan. Kepala dan leher pasien
tidak boleh digerakkan untuk memastikan bahwa tidak ada kerusakan
yang diakibatkan pada medula spinlis servikal. Dengan
mempertahankan kepala tetap dalm posisi netral, penolong
meletakkan tangan pada kedua sisi kepala pasien di belakang sendi
tempomandibular, dan secara perlahan mendorong rahang ke depan.
Hal ini akan membuka jalan napas yang cukup untuk memungkinkan
ventilasi. Jika pernapasan spontan tidak kembali setelah jalan napas
paten ditetapkan, pasien haru dibantu dengan pernapasan.
4. Pernapasan
Dengan mengggunakan bag-valve device (BVD), yang juga dikenal
sebagai “Ambu-bag”, oksigen diberikan sebagai napas pertolongan.
BVD dihubungkan ke oksigen aliran tinggi 100%, dan bagian masker
diletakkan pada mulut dan hidung pasien. Jika pasien memiliki slang
endotrakeal atau slang trakeostomi, ada adaptor yang memungkinkan
pemberi napas melalui jalan napas buatan. Reservoir kantung
kemudian diperas untuk memberikan napas. Observasi dada pasien
diperlukan untuk menentukan apakah napas yang diberikan benar-
benar memventilasi paru. Orang kedua yang membantu RJP harus
mengauskultasi semua lapang paru untuk memastikan bahwa napas
yang diberikan mencapai paru. Oksimetri nadi digunakan untuk
menentukan oksigenasi. Ketika satu orang melakukan RJP, dua kali
napas lambat diberikan pada awalnya,kemudian rasio 15 kompresi
dengan 2 kali napas lambat. Hal ini dilakukan pada frekuensi 100
kompresi per menit dan sekitar 10 sampai 12 kali napas per menit.
Sejak munculnya American Heart Association CPR Guidelines yang
baru pada tahun 2000,dua penolong RJP saat ini menggunakan rasio
15:2 yang sama, dengan frekuensi yang sama,dengan penolong
pertama memberikan napas dan penolong kedua melakukan kompresi.
Setelah jalan napas aman dan ACLS dimulai,rasio 5:1 dapat
digunakan.
5. Sirkulasi
Setelah ditentukan bahwa ventilasi yang adekuat terjadi,penolong
harus mempalapasi denyut nadi karotis,jika tidak ada denyut nadi
yang terpalpasi,kompres dada harus dimulai sesuai protocol BLS.
Kompres jantung esktrenal pernapasan-sirkulasi(airway-breathing-
circulation).
6. Mengatur Posisi Pasien
Pasien harus diletakan dalam posisi terlentang pada permukaan yang
datar dan keras. Posisi ini memungkinkan penolong membuka jalan
napas dan mengkaji keberadaan dan keefektifan setiap pernapasaan
spontan. Jika pasien beradadi temapat tidur rumah sakit standar,papan
resusitasi diletakandi bawah torso nya ketika bantuan datang. Jika
pasien beradadi tempat tidur khusus,pengaturan RJP pada tempat tidur
dipilih. Jika pasien ditemukan bernapas dengan efektif dan tidak ada
tanda-tanda trauma,pasien diletakkan dala posisi pemulihan. Posisi
pemulihan digunakan untuk mengurangi kemungkinan obstruksi jalan
napas oleh lidah atau oleh sekresi atau emesis. Untuk meletakan pasien
dalam posisi pemulihan,penolong berlutut di samping bahu pasien.
Penolong mengangat lengan pasien yang tredekat dengan penolong
dan menukuknya pada siku. Lengan kemudian diatur posisinya
sehingga telapak tanggan pasien menghadap ke atas dan diarahkan ke
wajah pasien. Kemudian penolong mengangkat tungkai pasien yang
terjauh dari penolong dan menyilangkannya pada tubuh pasien,dengan
mengarahkannya ke penolong. Satu tangan penolong menyangga
kepala pasien selama mengubah posisi dan tangan kedua digunakan
untuk memindahkan panggul pasien ke arah penolong.
G. Terapi Medis
1. Obat pertama :
- Adrenalin : dosis 0,5cc IV atau intrakranial dalam larutan 1:10.000
setiap 3-5 menit
- Isoprenalin
- Kalsium klorida : dosis 0,5 gram dari larutan 10% intrakardiak setiap
5-10 menit
- Natrium bikarbonat : dosis sesui dengan rumus 0,3 mEq x BB x asam
basa atau sekitar 44 mEq IV, setiap 10 menit atau melihat Ph darah
- Lidokain (Xylocain) : dosis 50-100 mg bolus, dilanjutkan infus 1-3
mg/menit dalam dekstrose 5% yang mengandung 500 mg lidokain
- Popanalol : dosis 0,5-1 mg IV
- Metaraminol : dosis 2-5 mg setiap 10-15 menit, melalui infus 20-100
mg/500 cc dekstrose 5%
2. Obat alternatif :
- Digitalis
- Kortikosteroid
- Antibiotik
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
- Nama :
- Usia : Semua Usia
- Jenis kelamin : Lebih beresiko pada laki-laki
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama : Pasien dibawa karena pingsan mendadak dengan
Penimbunan lipid & Stress fisik : Kelainan Bawaan : Perubahan Obat-obatan Luka pada Peningkatan
jaringan fibrosa 1. Perdarahan struktur jantung cavum pleura cairan pada
dalam arteri koroner 2. Sengatan listrik Kegagalan jantung akibat : perikardium
Antidepresan
3. Kekurangan berkembang ketika 1. Penyakit katup trisiklik, fenotiazin, Udara masuk
oksigen periode janin atau otot beta bloker, calcium pada cavum Mendesak
Lumen pembuluh 4. Kadar kalium dan jantung channel blocker, pleura jantung
darah menyempit magnesium Aliran darah janin dari 2. Pembesaran kokain,digoxin,
rendah ventrikel kanan jantung akibat aspirin,
5. Latihan menuju aorta hipertensi atau Pergeseran Jantung tidak
Resistensi terhadap asetominophen.
berlebihan desenden tanpa penyakit mediastinum mampu
aliran darah 6. Tersedak, melewati pulmonal jantung kronik berdetak
penjeratan Menghambat
adrenoreseptor di Jantung
Penurunan Patent ductus Menggangu impuls terdesak Penurunan
kemampuan arteriosus listrik
System konduksi sirkulasi
pembuluh darah
jantung gagal
vaskular untuk Pembuluh
berfungsi
melebar darah besar
Peninngkatan tertekan
kejadian cardiac
arrest
Ketidakseimbangan Membatasi
antara suplai & alirn balik ke
kebutuhn oksigen jantung
miokardium
Tension
Infark miokard pneumothorax
Perubahan
elektrofisiologi sel
miokardium
HENTI JANTUNG
B1 B2
Penurunan kesadaran
MK : Pola nafas
tidak efektif
C. Diagnosa Keperawatan
2 Penurunan curah jantung Setelah dilakukan tindakan 1. Berikan penjelasan 1. Supaya klien dan keluarga
berhubungan dengan selama 3x24 jam diharapkan kepada pasien dan mengetahui tentang
suplai O2 ke jantung yang masalah keperawatan dapat keluarga mengenai keadaan klien.
2. Kelelahan dan dispnea
tidak seimbang teratasi dengan kriteria hasil keadaan klien saat ini.
eksertional adalah masalah
sebagai berikut : 2. Kaji toleransi aktivitas
umum dengan keadaan
9. TTV dalam batas normal pasien
curah jantung rendah,
120/80 mmHg 3. Auskultasi bunyi
pemantauan respon pasien
10. Nadi dalam batas jantung, catat
secara dekat berfungsi
normal : 60 – 100 frekuensi, bunyi, dan
sebagai panduan untuk
x/menit irama
perkembangan aktivitas
11. Tidak terdapat hipotensi 4. Kolaborasi dengan
yang optimal.
dokter dalam
3. Untuk mengetahui
pemberian O2 kelainan bunyi jantung
nasal/masker 4. Meningkatkan jumlah
5. Kolaborasi dengan sediaan oksigen untuk
dokter dalam miokard, yang menurunkan
pemberian obat nyeri iritabilitas yang disebabkan
6. Observasi TTV oleh hipoksia
5. Mengurangi nyeri yang
dialami pasien
6. Untuk mengetahui
perubahan kondisi pasien
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof.DR.Dr.A.Halim Mubin.,Sp.PD,M.Sc,KPTI.2010.PANDUAN
PRAKTIS KEDARURATAN PENYAIT DALAM : DIAGNOSIS &
TERAPI.Jakarta:EGC