Anda di halaman 1dari 25

CARDIAC ARREST

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS


Dosen Mata Kuliah : Maria Manungkalit, S.Kep.,Ns.,M.Kep

KELOMPOK 1

Anggi Siska Mega 9103015039


Wahidah Almunadiah 9103015053
Ana Aniceta D 9103015023
Tiurma Dian Pramesti P 9103015004

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2018
BAB II
TINJAUN PUSTAKA

A. Definisi
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba
dan mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa
dengan penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa
diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda
tampak. Cardiac arrest adalah penghentian sirkulasi normal darah akibat
kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung
secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat
kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
Cardiac Arrest adalah terhentinya pompa jantung secara mendadak
yang bersifat reversible, dan dapat bersifat irreversible jika tidak dilakukan
intervensi segera (Robert,2001).Cardiac Arrest adalah jantung tidak cukup
memompa darah ke otak, Cardiac Output <20%, dan nadi carotis tidak
teraba.Gejala dan tanda yang tampak, antara lain hilangnya kesadaran;
napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas);
tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi
yang dapat terasa pada arteri; dan tidak denyut jantung.
B. Etiologi
1. Faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan terjadinya henti jantung
dapat berupa :
a. Usia
Insiden henti jantung dapat meningkat seiring dengan
bertambahnya usia bahkan dengan pasien yang bebas dari serangan
jantung tiba-tiba.

b. Jenis Kelamin
Tampaknya pria mempunyai resiko lebih tinggi terkena serangan
jantung tiba-tiba dibandingkan dengan wanita yang lebih beresiko
mengalami henti jantung yang mendasari.
c. Merokok
Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan
insiden SCD(ada efek aritmogenik langsung dari merokok sigaret
atas miokardium ventrikel).Tetapi menurut pengertian
Framingham, peningkatan resiko akibat merokok hanyaterlihat
pada pria. Yang menarik, peningkatan resiko ini menurun pada
pasien yangberhenti merokok. Merokok juga meningkatkan insiden
CAD yang tampil padakebanyakan pasien yang menderita henti jantung
d. Penyakit jantung yang mendasari :
1) Penyakit arteri koronaria
Data dari penelitian Framingham telah memperlihatkan
pasien CAD mempunyai frekuensi SCD Sembilan kali
pasien dengan usia yang sama tanpaCAD yang jelas.The
Multicenter Post Infarction Research Group mengevaluasi
beberapa variable pada pasien yang menderita MI.
Kelompok iniberkesimpulan bahwa pasien pasca MI
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yangkurang dari 40%, 10
atau lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per
jam,sebelum MI dan ronki dalam masa periinfark
mempunyai peningkatanmortalitas (1-2 tahun)
dibandingkan dengan pasien tanpa masalah ini. Jelaspasien
CAD (terutama yang menderita MI) dengan resiko SCD
yang lebih besar.
2) Sindrom prolaps katup mitral (MVPS)
Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah
memperlihatkan tingginyainsiden aritmia ventrikel yang
dapat di induksi, terutama pada pasien denganriwayat
sinkop atau prasinkop. Terapi anti aritmia pada pasien ini
biasanyaakan mengembalikan gejalanya.
3) Hipertrofi septum yang asimetik (ASH)
Pada pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia
atrium dan ventrikel yangbisa menyebabkan kematian
listrik atau hemodinamik (peningkatan obstruksialiran
keluar). Riwayat VT atau bahkan denyut kelompok
ventrikel akanmeningkatkan risiko SCD.
4) Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)
Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1
melalui suatu jalurtambahan atau AF dengan respon
ventrikel sangat cepat (juga karena
hantaran jalur tambahan antegrad) menimbulkan frekuensi
ventrikel yang cepat, yangdapat menyebabkan VF dan bahkan
kematian mendadak.
5) Sindrom Q-T yang memanjang
Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau
idiopatik mempunyaipeningktan resiko SCD. Kematian
sering timbul selama masa kanak-kanak.Mekanisme ini
bisa berhubungan dengan kelainan dalam pernafasan
simpatis jantung yang memprodisposisi ke VF
e. Faktor-faktor lainnya :
1) Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic
merupakanpredisposisi SCD
2) Hiperkolesteremia:tidak ada hubungan jelas antara kadar
kolesterol serum danSCD yang telah ditemukan
3) Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya
pada wanita ditemukan peningkatan insiden SCD yang
menyertai intoleransi glukosa.
4) Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak
jelas dalammengurangi insiden SCD.
5) Obesitas: menurut data Framingham, obesitas
meninggkatkan resiko SCDpada pria, bukan wanita.

f. Riwayat aritmia :
1) Aritmia supraventrikel
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan
aritmia supraventrikeldisertai dengan peningkatan insiden
SCD. Pasien CAD yang kritis jugaberesiko, jika aritmia
supraventrikel menimbulkan iskemia miokardium.Tampak
bahwa iskemia dapat menyebabkan tidak stabilnya listrik,
yangmengubah sifat elektrofisiologi jantung yang
menyebabkan VT terus-menerusatau VF. Tetapi sering
episode iskemik ini asimtomatik.
2) Aritmia ventrikel
Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT
tidak terus-menerusmenpunyai peningkatan insiden SCD
dibandingkan pasien dengan VPCtersendiri. Kombinasi VT
yang tidak terus-menerus dan disfungsi ventrikel
kiridisertai tingginya resiko SCD. Pasien CAD dan VT
spontan mempunyaiambang VT yang lebih rendah
dibandingkan pasien CAD dan tanpa riwayatVT. Sehingga
pasien CAD dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah
danVF atau VT terus-menerus yang spontan mempunyai
insiden SCD tertinggi
2. Faktor-faktor pencetus yang dapat menimbulkan terjadinya henti
jantung dapat berupa :
a. Aktivitas
Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas. Analisis
59pasien yang meninggal mendadak memperlihatkan bahwa
setengah darikejadian ini timbul selama atau segera setelah gerak
badan. Tampak bahwagerak badan bisa mencetuskan SCD,
terutama jika aktivitas berlebih danselama tidur SCD jarang terjadi.
b. Iskemik
Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang jauh
(iskemia dalam distribusi arteri koronaria noninfark) mempunyai
insiden aritmia ventrikel yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien iskemiayang terbatas pada zona infark. Daerah iskemia yang
aktif disertai dengantidak stabilnya listrik dan pasien iskemia pada
suatu jarak mempunyai kemungkinan lebih banyak daerah beresiko
dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.
c. Spasme arteri koronaria
Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra)
dapatmenimbulkan brakikardia sinus, blok AV yang lanjut atau AF.
Semuaaritmia dapat menyokong henti jantung. Tampak bahwa
lebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang menyertai
spasme arteri koronaria, lebihbesar resiko SCD. Tetapi insiden
SDC pada pasien spasme arteri koronaria berhubungn dengan
derajat CAD obsruktif yang tetap. Yaitu pasien CAD multi
pembuluh darah yang kritis ditambah spasme arteri koronaria lebih
mungkin mengalami henti jantung dibandingkan pasien spase
arterikoronaria tanpa obstuksi koronaria yang tetap
C. Patofisiologi

Cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun,


umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat
dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran
darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ
tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen,
termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,
menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal.
Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5
menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (sudden
cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi
yang mendasari terjadinya cardiac arrest :
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang
umumnya dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard
merupakan salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard
terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot
jantung menjadi keras dan menyempit akibat sebuah materia (plak)
yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat ukuran
plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot
jantung tidak lagi memperoleh suplaioksigen yang mencukupi untuk
melakukan fungsinya, sehingga dapat terjadi infark.Ketika terjadi
infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi jaringan
parut.Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung
dari jantung,meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.
2. Stress Fisik
Stress Fisik Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi
jantung gagal berfungsi,diantaranya:
a. Perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
b. Sengatan listrik
c. Kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam
ataupun seranganasma yang berat
d. Kadar kalium dan magnesium yang rendah
e. Latihan yang berlebih, adrenalin dapat memicu sca pada pasien
yang memilikigangguan jantung.
f. Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal
refleksakibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.
Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka.
Anggota keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena
cardiac arrest. Beberapa orang lahirdengan defek di jantung
mereka yang dapat mengganggu bentuk(struktur) jantung dandapat
meningkatkan kemungkinan terkena SCA.
4. Perubahan Struktur Jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung
dapatmenyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada
akhirnrya dapatmengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini
meliputi pembesaran jantungakibat tekanan darah tinggi atau penyakit
jantung kronik. Infeksi dari jantung jugadapat menyebabkan
perubahan struktur dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel
blocker, kokain,digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan
aritmia. Penemuan adanyamateri yang ditemukan pada pasien, riwayat
medis pasien yang diperoleh darikeluarga atau teman pasien,
memeriksa medical record untuk memastikan tidak adanya interaksi
obat, atau mengirim sampel urin dan darah pada
laboratoriumtoksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.
6. Temponade Jantung
Cairan yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung
sehingga tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan
sehingga mengakibatkan kematian.
7. Tension Pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura. Udara
akanterus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan
tekanan dalam paru. Halini akan menyebabkan pergeseran
mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantungakan terdesak dan
pembuluh darah besar (terutama vena cava superior) tertekan,sehingga
membatasi aliran balik ke jantung.
D. Manifestasi Klinis
1. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen,termasuk otak.
2. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan
korban kehilangan kesadaran (collapse).
3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani
dalam 5 menit,selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
4. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).
5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi
yang dapatterasa pada arteri.
6. Tidak ada denyut jantung.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG).
Ketika dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di
bagian tubuh lainnya missal tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan
durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan
pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls
listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah
terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT
berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
2. Tes Darah
a) Pemeriksaan Enzim Jantung
Dari dalam jantung sendiri, ada beberapa jenis enzim yang umum
diketahui. Beberapa enzim jantung atau enzim kardiovaskuler tersebut
antara lain Glutamic Oxaloacetic Transaminase (GOT), Glutamat
Piruvat Transaminase (GPT), Creatine Phosphokinase (CK),
Troponin T (TnC, TnI, dan TnT). Enzim-enzim jantung tertentu akan
masuk ke dalam darah jika jantung terkena serangan jantung. Karena
serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest. Pengujian
sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting
apakah benar-benar terjadi serangan jantung.
b) Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit
yang ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium.
Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang
membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidakseimbangan pada
elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.

c) Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk
menginduksi aritmia termasuk resep tertentu dan obat-obatan
terlarang.
d) Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini
sebagai pemicu cardia arrest.
3. Imaging Test
a) Pemeriksaan Foto
Torak Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta
pembuluh darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang
terkena gagal jantung.
b) Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu
mengidentifikasi masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang
dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran
darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif
mengalir melalui jantung dan paru-paru.
c) Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran
jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah
daerah jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa
secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah
ada kelainan katup.
4. Electrical System (electrophysiological) testing adn mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung Anda belum
ditemukan. Dengan jenis tes ini, dokter mungkin mencoba untuk
menyebabkan aritmia, sementara dokter memonitor jantung Anda. Tes ini
dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes,
kemudian kateter dihubungkan denga electrode yang menjulur melalui
pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat,
elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung
pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk
merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin
memicu - atau menghentikan – aritmia. Hal ini memungkinkan dokter
untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection Fraction Testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest
adalah seberapa baik jantung Anda mampu memompa darah. Dokter dapat
menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang
dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang
dipompa keluar dari ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi
normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen
meningkatkan risiko sudden cardiac arrest. Dokter Anda dapat mengukur
fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir
scan dari jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6. Coronary Chaterization
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi
penyempitan atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah
pembuluh darah yang tersumbat merupakan prediktor penting sudden
cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri
hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri,
biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna
mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video,
menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter
diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan
angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.
F. Penatalaksanaan
1. Menentukan respon
Perawat pertama kali menentukan keresponsifan pasien sebelum
memulai RJP. Jika pasien tidak berespon, perawat memanggil bantuan
(“memulai code”), dan mengadakan BLS yang mengikuti akronim
ABC (jalan napas-pernapasan-sirkulasi)
a) Jalan napas (Airway)
 Head-tilt/chin-lift maneuver : letakkan salah satu tangan di
kening pasien, tekan kening ke arah belakang dengan
menggunakan telapak tangan untuk mendongakkan kepala
pasien. Kemudia letakkan jari-jari dari tangan yang lainnya di
dagu korban pada bagian yang terulang dan angkat rahang ke
depan sampai gigi
 Jaw-thrust maneuver : pegang sudut dari rahang bawah pasien
pada masing-masing sisinya dengan kedua tangan, angkat
mandibula ke atas sehingga kepala mendongak (metode ini
adalah yang paling aman untuk membuka jalan nafas pada
korban yang dicurigai mengalami trauma leher)
 Observasi untuk mengetahui adanya pernapasan spontan.
 Jika pasien tidak bernapas , pasang jalan napas orofaring (jika
mungkin dilakukan) lakukan pengisapan kalau perlu.
b) Pernapasan (Breathing)
 Hubungkan Ambu-bag ke oksigen 100%.
 Beri dua kali napas awal yang lambat (2 detik per napas).
 Pertahankan kerapatan pada mulut dan hidung pasien.
 Pantau oksimeter nadi.
 Auskultasi suara napas bilateral.
c) Sirkulasi (Circulation)
 Periksa adanya denyut nadi karotis dan tanda-tanda sirkulasi
lainnya.
 Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi:
Lakukan kompresi dada pada frekuensi 100/menit yang diikuti
dengan dua kali napas lambat dengan menggunakan rasio 15:2
untuk kompresi banding napas. Setelah empat siklus, perika
kembali denyut nadi karotis.
 Lanjutkan untuk mengkaji keefektifan RJP dengan melihat
monitor EKG untuk membantu memastikan frekuensi,
mempalpasi denyut nadi (radialis,femoralis,pedialis) untuk
menentukan keefektifan.
2. Mengatur posisi pasien
Pasien harus diletakkan dalm posisi telentang pada permukaan yang
datar dan keras. Posisi ini memungkinkan penolong membuka jalan
napas dan mengkaji keberadaan dan keefektifan setiap pernapasan
spontan. Jika pasien berada di tempat tidur rumah sakit standar, papan
resusitasi diletakkan di bawah torso nya ketika bantuan datang. Jika
pasien berada di tempat tidur khusus, pengaturan RJP pada tempat
tidur dipilih.
Jika pasien ditemukan bernafas dengan efektif dan tidak ada tanda-
tanda trsuma, pasien diletakkan dalam posiso pemulihan. Posisi
pemulihan digunakan untuk mengurangi kemungkinan obstruksi jalan
napas oleh lidah atau oleh sekresi atau emesis. Untuk meletakan
pasien dalam posisi pemulihan, penolong berlutut disamping bahu
pasien. Penolong mengangkat lengan pasien yang terdekat denga
penolong dan menekuknya pada siku. Lengan kemudian diatur
posisinya sehingga telapak tangan pasien menghadap ke atas dan
diarahkan ke wajah pasien. Kemudia penolong mengangkat tungkai
pasie yang terjauh dari penolong dan menyilangkannya pada tubuh
pasien, dengan mengarahkannya ke penolong. Satu tangan penolong
menyangga kepala pasien selama mengubah posisi dan kedua tangan
digunakan untuk memindahkan panggul pasien ke arah penolong.
3. Jalan napas
Perawat mengkaji jalan napas yang adekuat, pasien diatur posisinya
untuk memastikan jalan napas terbuka dan paten. Pasien diletakkan
dalam posisi telentag dan jalan napas dibuka dengan menggunakan
metode head titl-chin lift. Dalam metode ini, kepala ditengadahkan ke
belakang dan dagu diangkat untuk meregangkan jalan napas dan
memajukan diah dalam persiapan ventilasi.
Pada kasus pasien dicurigai atau dipastikan mengalami cedera tulang
belakang servikal, jaw thrust di gunakan. Kepala dan leher pasien
tidak boleh digerakkan untuk memastikan bahwa tidak ada kerusakan
yang diakibatkan pada medula spinlis servikal. Dengan
mempertahankan kepala tetap dalm posisi netral, penolong
meletakkan tangan pada kedua sisi kepala pasien di belakang sendi
tempomandibular, dan secara perlahan mendorong rahang ke depan.
Hal ini akan membuka jalan napas yang cukup untuk memungkinkan
ventilasi. Jika pernapasan spontan tidak kembali setelah jalan napas
paten ditetapkan, pasien haru dibantu dengan pernapasan.
4. Pernapasan
Dengan mengggunakan bag-valve device (BVD), yang juga dikenal
sebagai “Ambu-bag”, oksigen diberikan sebagai napas pertolongan.
BVD dihubungkan ke oksigen aliran tinggi 100%, dan bagian masker
diletakkan pada mulut dan hidung pasien. Jika pasien memiliki slang
endotrakeal atau slang trakeostomi, ada adaptor yang memungkinkan
pemberi napas melalui jalan napas buatan. Reservoir kantung
kemudian diperas untuk memberikan napas. Observasi dada pasien
diperlukan untuk menentukan apakah napas yang diberikan benar-
benar memventilasi paru. Orang kedua yang membantu RJP harus
mengauskultasi semua lapang paru untuk memastikan bahwa napas
yang diberikan mencapai paru. Oksimetri nadi digunakan untuk
menentukan oksigenasi. Ketika satu orang melakukan RJP, dua kali
napas lambat diberikan pada awalnya,kemudian rasio 15 kompresi
dengan 2 kali napas lambat. Hal ini dilakukan pada frekuensi 100
kompresi per menit dan sekitar 10 sampai 12 kali napas per menit.
Sejak munculnya American Heart Association CPR Guidelines yang
baru pada tahun 2000,dua penolong RJP saat ini menggunakan rasio
15:2 yang sama, dengan frekuensi yang sama,dengan penolong
pertama memberikan napas dan penolong kedua melakukan kompresi.
Setelah jalan napas aman dan ACLS dimulai,rasio 5:1 dapat
digunakan.
5. Sirkulasi
Setelah ditentukan bahwa ventilasi yang adekuat terjadi,penolong
harus mempalapasi denyut nadi karotis,jika tidak ada denyut nadi
yang terpalpasi,kompres dada harus dimulai sesuai protocol BLS.
Kompres jantung esktrenal pernapasan-sirkulasi(airway-breathing-
circulation).
6. Mengatur Posisi Pasien
Pasien harus diletakan dalam posisi terlentang pada permukaan yang
datar dan keras. Posisi ini memungkinkan penolong membuka jalan
napas dan mengkaji keberadaan dan keefektifan setiap pernapasaan
spontan. Jika pasien beradadi temapat tidur rumah sakit standar,papan
resusitasi diletakandi bawah torso nya ketika bantuan datang. Jika
pasien beradadi tempat tidur khusus,pengaturan RJP pada tempat tidur
dipilih. Jika pasien ditemukan bernapas dengan efektif dan tidak ada
tanda-tanda trauma,pasien diletakkan dala posisi pemulihan. Posisi
pemulihan digunakan untuk mengurangi kemungkinan obstruksi jalan
napas oleh lidah atau oleh sekresi atau emesis. Untuk meletakan pasien
dalam posisi pemulihan,penolong berlutut di samping bahu pasien.
Penolong mengangat lengan pasien yang tredekat dengan penolong
dan menukuknya pada siku. Lengan kemudian diatur posisinya
sehingga telapak tanggan pasien menghadap ke atas dan diarahkan ke
wajah pasien. Kemudian penolong mengangkat tungkai pasien yang
terjauh dari penolong dan menyilangkannya pada tubuh pasien,dengan
mengarahkannya ke penolong. Satu tangan penolong menyangga
kepala pasien selama mengubah posisi dan tangan kedua digunakan
untuk memindahkan panggul pasien ke arah penolong.
G. Terapi Medis
1. Obat pertama :
- Adrenalin : dosis 0,5cc IV atau intrakranial dalam larutan 1:10.000
setiap 3-5 menit
- Isoprenalin
- Kalsium klorida : dosis 0,5 gram dari larutan 10% intrakardiak setiap
5-10 menit
- Natrium bikarbonat : dosis sesui dengan rumus 0,3 mEq x BB x asam
basa atau sekitar 44 mEq IV, setiap 10 menit atau melihat Ph darah
- Lidokain (Xylocain) : dosis 50-100 mg bolus, dilanjutkan infus 1-3
mg/menit dalam dekstrose 5% yang mengandung 500 mg lidokain
- Popanalol : dosis 0,5-1 mg IV
- Metaraminol : dosis 2-5 mg setiap 10-15 menit, melalui infus 20-100
mg/500 cc dekstrose 5%
2. Obat alternatif :
- Digitalis
- Kortikosteroid
- Antibiotik
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
- Nama :
- Usia : Semua Usia
- Jenis kelamin : Lebih beresiko pada laki-laki
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama : Pasien dibawa karena pingsan mendadak dengan

henti jantung dan paru


b. Riwayat kesehatan sekarang :
Perlu dikaji apakah klien
- Sesak nafas
- Penyakit jantung
- Alergi
c. Riwayat kesehatan masa lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit jantung yang
mendasari seperti arteri koronaria, sindrom prolaps katup mitral,
hipertrofi septum yang asimetik, sindrom Wolff-Parkinson-White,
sindrom Q-T yang memanjang, hipertensi, hiperkolesteremia, diabetes
mellitus, ketidakaktifan fisik, obesitas, aritmia
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
........
b. Tanda – Tanda Vital
- TD : < 110/80 mmHg
- Nadi : < 80 x/menit atau bahkan nadi tidak teraba pada arteri
- RR : > 22 x/menit atau bahkan tidak bernafas
- Suhu : 36-37’5 C
c. Status Generalis
 Kepala : normocephal
 Mata : Cekung (-/+), congjungtiva anemis (-/+),
sckera
 Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir kering, faring
hiperemis (-), gigi geligi lengkap
 Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-) peningkatan JVP (-)
 Thorax
Pulmo :
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris
Palpasi :vocal fremitus normal, nyeri tekan (-)
Perkusi :sonor pada lapang paru
Auskultasi :vesicular +/+, wheezing-/- , ronki -/-
 Abdomen
Inspeksi : cembung, skar (-), bekas operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+)
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), hepatosplenomegali(-)
Perkusi : Timpani
 Ekstremitas : atas
bawah
- akral dingin +/+ +/+
- sianosis -/- -/-
- pucat -/- -/-
- udem -/- -/-
- RCT <2 detik +/+ +/+
WOC CARDIAC ARREST

Faktor resiko: Faktor pencetus:


1. Usia 1. Aktivitas
2. Jenis kelamin 2. Iskemik
3. Merokok 3. Spasme arteri
4. Penyakit jantung koronaria
yang mendasari
5. Faktor lain
6. Riwayat aritmia

Penimbunan lipid & Stress fisik : Kelainan Bawaan : Perubahan Obat-obatan Luka pada Peningkatan
jaringan fibrosa 1. Perdarahan struktur jantung cavum pleura cairan pada
dalam arteri koroner 2. Sengatan listrik Kegagalan jantung akibat : perikardium
Antidepresan
3. Kekurangan berkembang ketika 1. Penyakit katup trisiklik, fenotiazin, Udara masuk
oksigen periode janin atau otot beta bloker, calcium pada cavum Mendesak
Lumen pembuluh 4. Kadar kalium dan jantung channel blocker, pleura jantung
darah menyempit magnesium Aliran darah janin dari 2. Pembesaran kokain,digoxin,
rendah ventrikel kanan jantung akibat aspirin,
5. Latihan menuju aorta hipertensi atau Pergeseran Jantung tidak
Resistensi terhadap asetominophen.
berlebihan desenden tanpa penyakit mediastinum mampu
aliran darah 6. Tersedak, melewati pulmonal jantung kronik berdetak
penjeratan Menghambat
adrenoreseptor di Jantung
Penurunan Patent ductus Menggangu impuls terdesak Penurunan
kemampuan arteriosus listrik
System konduksi sirkulasi
pembuluh darah
jantung gagal
vaskular untuk Pembuluh
berfungsi
melebar darah besar
Peninngkatan tertekan
kejadian cardiac
arrest
Ketidakseimbangan Membatasi
antara suplai & alirn balik ke
kebutuhn oksigen jantung
miokardium
Tension
Infark miokard pneumothorax

Perubahan
elektrofisiologi sel
miokardium

HENTI JANTUNG

B1 B2

Penyakit jantung Aliran daraH ke Berhentinya peredaran darah


jantung menurun
(hipertensi, infark
miokard, aritmia) Aliran oksigen berhenti ke
O2 dan nutrient seluruh tubuh
menurun
Jantung kekurangan
Organ tubuh berhenti
O2
Jaringan miokard berfungsi
iskemik
Suplai O2 ke Hipoksia Hypoxia cerebral
jaringan tidak Suplai dan
adekuat Sianosis kebutuhan O2 ke Kehilangan kesadaran
jantung tidak
Hipoksia serebral seimbang
Ketidakefektifan
CRT >3 detik Iskemia otot Jantung
perfusi jaringan
cerebral
Penurunan
kesadaran
Akral dingin Kontrak miokardium
ik
Pola Nafas Tidak
Efektif Gangguan Perfusi Penurunan Curah
Jaringan Perifer Jantung
Jantung mati
mendadak

Kematian jika tidak


ditangani selama
10 menit
B. Analisa Data

No. Data Etiologi Masalah

1 Ds : - Penyakit jantung Pola nafas tidak


Do : efektif
- Retraksi dinding dada (+) Jantung kekurangan
- Penggunaan otot bantu O2
nafas (+)
- Napas cuping hidung (-) Suplai O2 ke jaringan
- RR = 30 x/menit tidak adekuat
- Sianosis (-)
Hipoksia serebral

Penurunan kesadaran

MK : Pola nafas
tidak efektif

2 Ds : - Suplai dan kebutuhan Penurunan curah


Do : O2 ke jantung tidak jantung
- Adanya perdarahan seimbang
terbuka
- Akral dingin Iskemia otot Jantung
- RR = 30 x/menit
- Nadi = 88 x/mnt MK : Penurunan
- TD : 100/80 mmHg curah jantung

3 Ds : Suplai O2 ke jaringan Gangguan perfusi


Do : tidak adekuat jaringan perifer
- Adanya perdarahan
terbuka Pembuluh darah
- Akral dingin vasokonstriksi
- RR : 30 x/menit
- TD : 100/80 mmHg MK : Gangguan
perfusi jaringan
perifer

C. Diagnosa Keperawatan

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan tidak


adekuat yang ditandai dengan Retraksi dinding dada (+), Penggunaan otot
bantu nafas (+), Napas cuping hidung (-), RR = 30 x/menit , Sianosis (-).

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan suplai O2 ke jantung yang


tidak seimbang yang ditandai dengan Adanya perdarahan terbuka, Akral
dingin, RR = 30 x/menit, Nadi = 88 x/mnt , TD : 100/80 mmHg.

3. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai O2 ke


jaringan tidak adekuat yang ditandai dengan Adanya perdarahan
terbuka,Akral dingin, RR : 30 x/menit, TD : 100/80 mmHg.
D. Intervensi
No DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN HASIL
1 Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan 1. Jelaskan pada klien 1. Supaya klien dan keluarga
berhubungan dengan selama 3x24 jam masalah mengenai keadaan klien mengetahui tentang
suplai O2 ke jaringan keperawatan dapat teratasi dan keluarga klien. keadaan klien.
2. Posisikan head up 30 2. Untuk meningkatkan
tidak adekuat dengan kriterian hasil sebagai
derajat ekspansi paru
berikut :
3. Perhatikan pergerakan 3. Suara napas tambahan
1. Menunjukkan pola
dada. Amati dapat menjadi indikator
pernafasan yang efektif.
penggunaaan otot – otot kepatenan jalan napas
2. Pasien tidak mengeluh
bantu nafas. yang tentunya akan
sesak nafas 4. Informasikan kepada
berpengaruh terhadap
3. Pergerakan dada normal
keluarga untuk tidak
4. Tidak ada penggunaan kecukupan pertukarab
merokok diruangan
otot bantu nafas udara
5. Informasikan kepada
5. Pola napas normal 16-20 4. Kualitas udara yang jelek
pasien dan keluarga
x/menit dapat memperburuk
6. Nadi 60-100 x/menit tentang teknik relaksasi
kondisi pasien
7. Tidak terdapat bunyi 6. Kolaborasi dengan
5. Untuk meningkatkan pola
nafas tambahan dokter dalam
nafas
8. Tidak terdapat nafas
pemberian O2 6. Memenuhi kebutuhan
pendek nebulizer. oksigen pasien dan
7. Kolaborasi dengan
mencegah hipoksia
dokter dalam 7. Meredakan nyeri yang
pemberian obat nyeri dialami pasien
8. Observasi TTV 8. Untuk mengetahui
perkembangan kondisi
pasien

2 Penurunan curah jantung Setelah dilakukan tindakan 1. Berikan penjelasan 1. Supaya klien dan keluarga
berhubungan dengan selama 3x24 jam diharapkan kepada pasien dan mengetahui tentang
suplai O2 ke jantung yang masalah keperawatan dapat keluarga mengenai keadaan klien.
2. Kelelahan dan dispnea
tidak seimbang teratasi dengan kriteria hasil keadaan klien saat ini.
eksertional adalah masalah
sebagai berikut : 2. Kaji toleransi aktivitas
umum dengan keadaan
9. TTV dalam batas normal pasien
curah jantung rendah,
120/80 mmHg 3. Auskultasi bunyi
pemantauan respon pasien
10. Nadi dalam batas jantung, catat
secara dekat berfungsi
normal : 60 – 100 frekuensi, bunyi, dan
sebagai panduan untuk
x/menit irama
perkembangan aktivitas
11. Tidak terdapat hipotensi 4. Kolaborasi dengan
yang optimal.
dokter dalam
3. Untuk mengetahui
pemberian O2 kelainan bunyi jantung
nasal/masker 4. Meningkatkan jumlah
5. Kolaborasi dengan sediaan oksigen untuk
dokter dalam miokard, yang menurunkan
pemberian obat nyeri iritabilitas yang disebabkan
6. Observasi TTV oleh hipoksia
5. Mengurangi nyeri yang
dialami pasien
6. Untuk mengetahui
perubahan kondisi pasien
DAFTAR PUSTAKA

1. Prof.DR.Dr.A.Halim Mubin.,Sp.PD,M.Sc,KPTI.2010.PANDUAN
PRAKTIS KEDARURATAN PENYAIT DALAM : DIAGNOSIS &
TERAPI.Jakarta:EGC

2. Susan C. Smeltzer.2011.Handbook For Brunner & Suddarth’s Textbook of


Medical - Surgical Nursing.Jakarta:EGC

3. NANDA Internasional.2012.Diagnosis Keperawatan : Definisi, dan


Klasifikasi.2012-2014.Editor , T. Healther Herdman; Alhi Bahasa
Indonesia , Barrah Bariid.Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai