Anda di halaman 1dari 47

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Defisiensi Imun atau penurunan sistem imun adalah keadaan yang dapat terjadi
secara primer, yang pada umumnya disebabkan oleh kelainan genetic yang diturunkan,
serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti infeksi, pengobatan kemoterapi,
sitostatika, obat-obatan imunosupresan (menekan sistem kekebalan tubuh) atau pada usia
lanjut dan malnutrisi (kekurangan gizi).
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat
sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup memiliki cara bertahan hidup dengan
berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan mampu mencari reservoir lainnya
yang baru dengan cara menyebar atau berpindah (Derviş, 2013). Infeksi adalah suatu
kumpulan jenis- jenis penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus, infeksi bakteri dan infeksi
parasit. (Mutsaqof, Ahmad . Wiharto. Suryani, 2016).
Ancaman defisiensi imun serta infeksi pada lansia memprihatinkan, dimana menurut
penelitian (Boy,Elmanpada, 2019) mendapatkan hasil usia 60-74 tahun (89, 3%) dan
berdasarkan jenis kelamin adalah perempuan (54, 8%). Status gizi berdasarkan IMT didapati
hasil terbanyak responden dengan gizi normal (64, 5%) dan berdasarkan MNA didapati hasil
terbanyak pada responden dengan resiko malnutrisi (59, 2%).Ancaman terkait defisiensi imun
serta infeksi dapat meningkat karena Indonesia saat ini berada pada periode aging
population, dimana terjadi peningkatan umur harapan hidup yang diikuti dengan peningkatan
jumlah lansia. Indonesia mengalami peningkatan jumlah penduduk lansia dari 18 juta jiwa
(7,56%) pada tahun 2010, menjadi 25,9 juta jiwa (9,7%) pada tahun 2019, dan diperkirakan
akan terus meningkat dimana tahun 2035 menjadi 48,2 juta jiwa (15,77%).(Depkes.RI :
2019). Untuk mengurangi ancaman defisiensi imun serta terjadinya infeksi pada lansia yaitu
dengan semua orang perlu mulai memperhatikan kebutuhan lansia tersebut, sehingga
diharapkan mereka dapat tetap sehat, mandiri, aktif, dan produktif, salah satunya penguatan
peran keluarga dalam melakukan perawatan bagi lansia dengan mengetahui gejala dari
defisiensi imun serta infeksi

1
Gejala defisiensi imun adalah Asupan makanan berkurang sekitar 25% pada usia
40-70 tahun. Anoreksia dipengaruhi oleh faktor fisiologis (perubahan rasa kecap,
pembauan, sulit mengunyah, gangguan usus dll), psikologis (depresi dan demensia) dan
sosial (hidup dan makan sendiri) yang berpengaruh pada nafsu makan dan asupan
makanan.(kementerian kesehatan Republik Indonesia, 2018) sedangkan untuk gejala
dari infeksi yaitu infeksi biasanya ditandai dengan meningkatnya temperatur badan,
dan hal ini sering tidak dijumpai pada usia lanjut, malah suhu badan yang rendah lebih
sering dijumpai. Keluhan dan gejala infeksi semakin tidak khas antara lain berupa
konfusi/delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba, badan
menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi pada pasien usia
lanjut. (Kementerian kesehatan Republik Indonesia. 2018)
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi defisiensi imun?


2. Apa etiologi defisiensi imun?
3. Bagaimana patofisiologi defisiensi imun?
4. Apa manifestasi defisiensi imun?
5. Bagaimana WOC defisiensi imun?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada defisiensi imun?
7. Bagaimana pemeriksaan fisik pada defisiensi imun?
8. Bagaimana penatalaksanaan pada defisiensi imun?
9. Apa definisi infeksi saluran kemih?
10. Apa etiologi infeksi saluran kemih?
11. Bagaimana patofisiologi infeksi saluran kemih?
12. Bagaimana WOC infeksi saluran kemih?
13. Apa manifestasi klinis infeksi saluran kemih?
14. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada infeksi saluran kemih?
15. Bagaimana pemeriksaan fisik pada infeksi saluran kemih?
16. Bagaimana penatalaksanaan infeksi saluran kemih?
17. Asuhan Keperawatan pada pasien infeksi saluran kemih?

1.3 Tujuan

1. Mahasiswa mengetahui definisi defisiensi imun


2. Mahasiswa mengetahui etiologi defisiensi imun

2
3. Mahasiswa mengetahui patofisiologi defisiensi imun
4. Mahasiswa mengetahui manifestasi defisiensi imun
5. Mahasiswa mengetahui WOC defisiensi imun
6. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan penunjang pada defisiensi imun
7. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan fisik pada defisiensi imun
8. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan pada defisiensi imun
9. Mahasiswa mengetahui definisi infeksi saluran kemih
10. Mahasiswa mengetahui etiologi infeksi saluran kemih
11. Mahasiswa mengetahui patofisiologi infeksi saluran kemih
12. Mahasiswa mengetahui WOC infeksi saluran kemih
13. Mahasiswa mengetahui manifestasi klinis infeksi saluran kemih
14. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan penunjang pada infeksi saluran kemih
15. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan fisik pada infeksi saluran kemih
16. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan infeksi saluran kemih
17. Mahasiswa mengetahui Asuhan Keperawatan pada pasien infeksi saluran kemih

1.4 Manfaat
Sebagai bahan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menambah
wawasan mengenai definisi imun dan infeksi pada keperawatan gerontik.

3
BAB 2
TINJAUAN TEORI INFEKSI
2.1 DEFISIENSI IMUN
2.1.1 Definisi Defisiensi Imun
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi
tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta
sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas,
organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit. Serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat
dari jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa .
Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun
normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada umumnya disebabkan oleh
kelainan genetis yang diturunkan, serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti
infeksi, pengobatan kemoterapi, sitostatika, obat-obatan imunosupresan (menekan sistem
kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi (kekurangan gizi).
Imunodefisiensi muncul ketika satu atau lebih komponen sistem Imun tidak aktif,
kemampuan sistem Imun untuk merespon patogen berkurang pada baik golongan muda dan
golongan tua, respon imun berkurang pada usia 50 tahun, respon juga dapat terjadi karena
penggunaan Alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari fungsi imun yang buruk,
namun, kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang menyebabkan defisiensi imun di
negara berkembang.

2.1 .2 Etiologi
Penurunan sistem imunitas pada lansia terutama terjadi akibat proses penuaan serta
adanya defisiensi zat gizi yang diperlukan dalam peningkatan sistem imunitas tubuh,
termasuk salah satunya mineral seng Penyebab defisiensi imun pada lansia adalah
kekurangan nutrisi . Diet kekurangan cukup protein berhubungan dengan gangguan imunitas
seluler, aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibodi, IgA dan produksi sitokin,
Defisiensi nutrisi seperti zinc, Selenium, zat besi, tembaga, vitamin A, C, E, B6 dan asam
folat (vitamin B9) juga mengurangi respon imun.Selain itu penggunaan alkohol dan narkoba
juga berpengaruh pada penurunan imun pada lansia .

4
Faktor perancu utama yang berpengaruh pada fungsi imun individu usia lanjut adalah
adanya beragam morbiditas dan kerentanan mereka terhadap stress. Patologi penyakit seperti
kardiovaskuler, Diabetes mellitus, penyakit neurodegeneratif, dan osteoporosis dapat berefek
langsung pada sistem imun (Compte and Goriely, 2012). Stres juga dapat melemahkan sistem
imun dan mempengaruhi kesehatan sehingga memudahkan individu lanjut usia untuk
terserang penyakit. Saat terjadi stress, hormone glukokortikoid dan kortisol yang dilepaskan
akan memicu reaksi inflamasi (Fagundes et al., 2012).
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan defisiensi imun pada lansia pada umumnya , yaitu :
1.Keterbatasan fisiologik & kemampuan menghadapi stress
2.Gangguan mekanisme pertahanan tubuh
3.Adanya penyakit kronik
4.Meningkatnya paparan patogen nosokomial
5.Keterlambatan Diagnosis dan tindakan
6.Meningkatnya frekuensi komplikasi tindakan diagnosis dan tindakan
7.Lambat memberi respon terhadap kemoterapi
8.Meningkatnya Efek samping terhadap kemoterapi
9.Serta lain lain (nutrisi, psikologis, sosial, ekonomi, spiritual

5
2.1.3 Klasifikasi
Imunodefisiensi terbagi menjadi dua, yaitu imunodefisiensi primer yang hampir selalu
ditentukan faktor genetik. Sementara imunodefisiensi sekunder bisa muncul sebagai
komplikasi penyakit seperti infeksi, kanker, atau efek samping penggunaan obat-obatan dan
terapi.

1. Imunodefisiensi Primer

Para peneliti telah mengidentifikasi lebih dari 150 jenis imunodefisiensi


primer.Imunodefisiensi dapat mempengaruhi limfosit B, limfosit T, atau fagosit.
Gangguan imunodefisiensi, diantaranya

2. IgA (immunoglobulin)

Imunoglobulin ditemukan terutama di air liur dan cairan tubuh lain sebagai
perlindungan pertama tubuh. Penyebabnya genetik maupun infeksi toksoplasma,
virus cacar, dan virus lainnya. Orang yang kekurangan IgA cenderung memiliki
alergi atau mengalami pilek dan infeksi pernapasan lain walaupun tidak parah.

3. Granulomatos kronis (CGD)

Penyakit imunodefisiensi yang diwariskan sehingga penderitanya rentan terhadap


infeksi bakteri atau jamur tertentu.Penderitanya tidak dapat melawan infeksi kuman
yang umumnya ringan pada orang normal.

4. Severe combined immunodeficiency (SCID)

SCID adalah gangguan sistem kekebalan tubuh serius karena limfosit B dan limfosit
T. Mereka yang kekurangan hampir mustahil melawan infeksi. Bayi yang
mengalami SCID umumnya mengalami kandidiasis oral, diaper rash, dan kegagalan
berkembang.

5. Sindrom DiGeorge (thymus displasia)

6
Sindrom cacat lahir dengan penderita anak-anak yang lahir tanpa kelenjar timus.
Tanda sindroma ini antara lain menurunnya level sel T, tetanus, dan cacat jantung
bawaan. Telinga, wajah, mulut dan wajah dapat menjadi abnormal.

6. Wiskott -Aldrich Syndrome

Penyakit yang terkait dengan kromosom X ditandai dengan trombositopenia,


eksema, dan rentan infeksi sehingga menyebabkan kematian dini.

2. Imunodefisiensi Sekunder

Penyakit ini berkembang umumnya setelah seseorang mengalami penyakit.


Penyebab yang lain termasuk akibat luka, kurang gizi atau masalah medis lain.
Sejumlah obat-obatan juga menyebabkan gangguan pada fungsi kekebalan tubuh.
Imunodefisiensi sekunder, diantaranya:

1. Infeksi

HIV (human immunodeficiency virus) dan AIDS (acquired immunodeficiency


syndrome) adalah penyakit umum yang terus menghancurkan sistem kekebalan
tubuh penderitanya.Penyebabnya adalah virus HIV yang mematikan beberapa jenis
limfosit yang disebut sel T-helper.Akibatnya, sistem kekebalan tubuh tidak dapat
mempertahankan tubuh terhadap organisme biasanya tidak berbahaya.Pada orang
dewasa pengidap AIDS, infeksi HIV dapat mengancam jiwa.

2. Kanker

Pasien dengan kanker yang menyebar luas umumnya mudah terinfeksi


mikroorganisme.Tumor bone marrow dan leukimia yang muncul di sumsum tulang
belakang dapat mengganggu pertumbuhan limfosit dan leukosit.Tumor juga
menghambat fungsi limfosit seperti pada penyakit Hodgkin.

3. Obat-obatan

7
Beberapa obat menekan sistem kekebalan tubuh, seperti obat kemoterapi yang tidak
hanya menyerang sel kanker tetapi juga sel-sel sehat lainnya, termasuk dalam
sumsum tulang belakang dan sistem kekebalan tubuh.Selain itu, gangguan autoimun
atau mereka yang menjalani transplantasi organ dapat mengurangi kekebalan tubuh
melawan infeksi.

4. Pengangkatan Lien

Pengangkatan lien sebagai terapi trauma atau kondisi hematologik menyebabkan


peningkatan suspensibilitas terhadap infeksi terutama Streptococcus pneumoniae.

2.1.4 Manifestasi Klinis


Gejala yang biasanya dijumpai karena respon imun yang menurun yaitu :

1. Diare dan malabsorpsi


2. Mastoiditis dan otitis persisten
3. Pneumonia atau bronkitis berulang
4. Influenza
5. Penyakit virus yang berat
6. Artritis atau artralgia
7. Hepatitis kronik (virus atau autoimun)
8. Reaksi simpang terhadap vaksinasi
9. Infeksi saluran kemih

8
2.1.5 Patofisiologi
Salah satu perubahan besar yang terjadi seiring pertambahan usia adalah proses
thymic involution 3. Thymus yang terletak di atas jantung di belakang tulang dada adalah
organ tempat sel T menjadi matang. Sel T sangat penting sebagai limfosit untuk
membunuh bakteri dan membantu tipe sel lain dalam sistem imun. Seiring perjalanan
usia, maka banyak sel T atau limfosit T kehilangan fungsi dan kemampuannya melawan
penyakit. Volume jaringan timus kurang dari 5% daripada saat lahir. Saat itu tubuh
mengandung jumlah sel T yang lebih rendah dibandingkan sebelumnya (saat usia muda),
dan juga tubuh kurang mampu mengontrol penyakit dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya. Jika hal ini terjadi, maka dapat mengarah pada penyakit autoimun yaitu
sistem imun tidak dapat mengidentifikasi dan melawan kanker atau sel-sel jahat. Inilah
alasan mengapa resiko penyakit kanker meningkat sejalan dengan usia. Salah satu
komponen utama sistem kekebalan tubuh adalah sel T, suatu bentuk sel darah putih
(limfosit) yang berfungsi mencari jenis penyakit patogen lalu merusaknya. Limfosit
dihasilkan oleh kelenjar limfe yang penting bagi tubuh untuk menghasilkan antibodi
melawan infeksi. Secara umum, limfosit tidak berubah banyak pada usia tua, tetapi
konfigurasi limfosit dan reaksinya melawan infeksi berkurang. Manusia memiliki jumlah
T sel yang banyak dalam tubuhnya, namun seiring peningkatan usia maka jumlahnya
akan berkurang yang ditunjukkan dengan rentannya tubuh terhadap serangan penyakit..
Pada lansia terjadi penurunan imunitas seluler. Penurunan kecepatan dalam pembentukan
limfosit T akan menyebabkan respon imun terhadap infeksi terganggu. Jumlah total
limfosit dalam darah tepi tidak menurun seiring pertambahan usia. Penurunan jumlah sel
imun yang responsif pada lansia diakibatkan oleh kegagalan sel T menghasilkan
interleukin-2 (Fatmah,2010). Interleukin-2 merupakan limfosit yang bersifat mutagenik,
merupakan faktor penting yang berpengaruh pertumbuhan sel T, mempunyai kemampuan
meningkatkan respon imun seluler melalui aktivitas sitotoksik limfosit T, serta aktivasi
sel NK melalui interferon gamma maupun respon humoral dengan meningkatkan sintesis
dan sekresi antibodi (Darmojo, 2010).Pada salah satu studi disebutkan bahwa
penambahan usia membawa perubahan penting pada respon imun alami dan adaptif.
Perubahan yang terjadi disebut sebagai immunosenescence. Immunosenescence adalah
suatu kondisi

9
menurunnya fungsi sistem imun yang diikuti dengan proses penuaan.
Konsekuensi dari hal tersebut antara lain meliputi peningkatan kerentanan terhadap
infeksi, keganasan, penyakit autoimun, penurunan respon vaksinasi serta gangguan proses
penyembuhan luka pada pasien geriatri (Ongrádi & Kövesdi,2010; Putri & Hasan, 2014).
Stres oksidatif diduga merupakan faktor utama yang mempercepat proses
penuaan, kemungkinan dihubungkan dengan peningkatan aktivitas pemendekan telomer
sebagai hasil kerusakan DNA akibat merokok, obesitas ataupun penyakit kardiovaskuler
(Andrews et al., 2010). Insiden kanker meningkat sesuai usia. Pemendekan telomer
tampak memiliki dua peran pada kanker, membatasi masa hidup sel normal dan berperan
sebagai tumor supresor. Mayoritas sel kanker menunjukkan telomer yang sangat pendek.
Telomerase mampu memperpanjang telomer oleh karena adanya peningkatan regulasi
bersamaan dengan aktivasi sel T, akan tetapi aktivitas enzim ini mati pada sel T CD8+
yang distimulasi secara kronis pada kultur sel. Ini menunjukkan bahwa salah satu cara
untuk meningkatkan respon imun pada usia lanjut adalah dengan meningkatkan aktivitas
telomerase (Compte and Goriely, 2012).
Faktor genetik juga berperan dalam proses immunosenescence. Sebagai contoh,
gen IL-6 terlibat dalam regulasi genetik dari usia. Genotif IL-6 VNTR D/D dihubungkan
dengan peningkatan kadar dalam darah dan otak dari pasien Alzheimer dan IL-6 VNTR
alel B dapat rusak pada usia lanjut yang ekstrim. Dilaporkan juga bahwa polimorfisme
promoter IL-10 -1082 meningkat pada orang berumur diatas 100 tahun dibandingkan
dengan usia muda dan dihubungkan dengan peningkatan produksi IL- 10 .
Usia juga dihubungkan dengan perubahan hormonal. Penelitian menunjukkan
bahwa defisiensi estrogen memicu penurunan ekspresi IL-2. Estrogen tampak berperan
penting pada sel B, dibuktikan dengan penelitian dimana jumlah sel B menurun secara
signifikan pada menopause .Hormon DHEA (Dehydroepiandrosterone) erat hubungannya
dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh. Kadarnya dalam serum menurun dramatis
dengan pertambahan usia baik pada laki-laki maupun wanita. Meskipun sel T tidak
memiliki reseptor spesifik untuk DHEA, diduga mekanisme kerjanya melalui konversi
menjadi steroid lain terutama hormone steroid seks (Compte and Goriely, 2012)

10
2.1.6 WOC Defisiensi Imun

11
2.1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan imunodefisiensi termasuk pencegahan, pengobatan infeksi dan meningkatkan
sistem kekebalan tubuh, meliputi :

1. Pola hidup sehat untuk melindungi dari infeksi


2. Pengobatan infeksi virus dan bakteri dengan antivirus ataupun antibiotic
3. Terapi pengganti imunoglobulin, bisa melalui IV atau injeksi subkutan. IV lebih
menguntungkan dan efektif walaupun tindakan hanya bisa dilakukan di rumah sakit.
4. Pengobatan terbaik kekurangan sel T adalah transplantasi sumsum tulang belakang
dari donor yang cocok
5. Pengobatan lain yang masih dalam fase eksperimen termasuk, sitosin, transplantasi
thymic, terapi gen dan transplantasi sel induk.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Hitung sel B

Sel B dapat dikenal dengan petanda reseptor imunoglobulin pada permukaannya (surface
marker imunoglobulin = SmIg). Selain itu sel limfosit B juga mempunyai reseptor
komplemen dan reseptor untuk agregat imunoglobulin (EAC rosettes). Sel makrofag, sel NK
dan beberapa sub populasi sel T juga mempunyai ekspresi permukaan yang sama sehingga
pemeriksaan sel B dengan mengenali reseptor ini kurang akurat dibandingkan dengan
pemeriksaan terhadap reseptor imunoglobulin permukaan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan menggunakan antibodi monoklonal yang tersedia di pasaran, seperti juga
pemeriksaan untuk sel T, makrofag, dan sel NK. Teknik pemeriksaan dapat dilihat pada
brosur kit yang dibuat oleh pabrik. Dengan pemeriksaan tersebut didapatkan nilai normal sel
B darah perifer sekitar 10-20%. Interpretasi hasil tergantung baku normal yang dibuat setiap
laboratorium.

12
2. Antibodi

Untuk menentukan fungsi produksi antibodi dapat dilakukan dengan mengukur antibodi hasil
imunisasi sebelumnya atau dari infeksi alamiah. Pengukuran antibodi yang dapat dilakukan
secara invitro meliputi antibodi terhadap tetanus, difteri, streptokokus, virus polio, campak,
rubella serta beberapa jenis antigen lain di alam bebas.

3. Biopsi kelenjar getah bening

Biopsi kelenjar getah bening dapat membantu menegakkan diagnosis defisiensi imun atau
menyingkirkan kemungkinan keganasan sistem retikuloendotelial yang dapat terjadi pada
penderita defisiensi imun dengan gejala limfadenopati yang mencolok. Pemeriksaan biopsi
kelenjar getah bening ini tidak dilakukan secara rutin karena risiko infeksi dan anestesi. Yang
paling baik diberikan suntikan antigen di daerah anterior paha dan dilakukan biopsi kelenjar
inguinal sisi yang sama, setelah 5-7 hari kemudian. Pada penderita defisiensi imun dapat
dilihat jumlah sel plasma yang rendah, peningkatan jumlah folikel limfoid primer,
disorganisasi selular, korteks yang tipis dan tidak ada pusat germinal. Selain itu dapat juga
terlihat peningkatan jumlah histiosit dan sel endotelial yang lain.

4. Imunoglobulin sekretori

Defisiensi imunoglobulin sekretori tanpa defisiensi imunoglobulin serum biasanya jarang


terjadi. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada kecurigaan defisiensi imunoglobulin serum.
Pemeriksaan yang paling mudah adalah dengan menggunakan bahan air mata.

5. Subkelas IgG

Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita infeksi berulang dengan nilai IgG tota1 normal
atau hanya sedikit di bawah normal dengan atau hanya defisiensi IgA selektif. Defisiensi
IgG2 (kurang lebih 20% dari imunoglobulin serum) dapat terjadi sendiri atau disertai dengan
defisiensi IgA selektif atau defisiensi IgG4. Bila dijumpai defisiensi imunoglobulin G2 perlu
dilakukan pemeriksaan kemampuan pembentukan antibodi terhadap vaksin dengan antigen
polisakarida seperti pneumokokus dengan atau Haemophilus influenzae tipe B. Teknik

13
pemeriksaannya sama dengan teknik pemeriksaan Ig G tota1 yaitu dengan cara imunodifusi
radial.

6. Pemeriksaan limpa

Limpa mempunyai peran penting pada proses fagosit disamping imunitas humoral. Tidak
adanya limpa perlu dicurigai pada penderita sepsis berulang. bentuk eritrosit yang abnormal
atau ditemukan jisim Howell-Jolly pada pemeriksaan darah tepi. Untuk melihat adanya 1impa
dapat dilakukan pemeriksaan scanning.

7. Fungsi leukosit

Pemeriksaan fungsi leukosit dilakukan pada penderita dengan defek ringan yang tidak
terdeteksi atau pemeriksaan lengkap untuk kepentingan penelitian. Pemeriksaan ini meliputi
pemeriksaan enzim mieloperoksidase, glutation peroksidase, lisozim, glukosa 6 fosfat
dehidrogenase (G6PD), piruvat kinase serta pemeriksaan kadar yodium, pengukuran kem
iluminasi dan mikrografik elektronik. Pada keadaan neutropenia, pemeriksaan selanjutnya
meliputi hitung leukosit secara serial, respons leukosit terhadap kortikosteroid, adrenalin,
endotoksin serta pengukuran antibodi leukosit dan pemeriksaan sumsum tulang.

2.1.8 Asuhan Keperawatan Teoritis


Konsep dasar asuhan keperawatan dengan imunodefisiensi pada lansia
Asuhan keperawatan dimulai dari proses pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan
evaluasi

1. Pengkajian

a. Biodata

14
Terdiri atas nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat,
tanggal MRS, data pekerjaan, agama dan pendidikan menentukan intervensi yang
tepat dalam pendekatan

b. Keluhan utama

Perdarahan abnormal limfadenopati (hipertrofi jaringan limfoid), kelelahan,


demam, nyeri sendi.

c. Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengalami gangguan seperti fatigue, kekurangan energi, kepala terasa


ringan, sering mengalami luka memar, penyembuhan luka yang sulit

d. Riwayat penyakit sebelumnya

Berhubungan dengan penyakit ringan yang sering berulang, kecelakaan atau


cidera, tindakan operasi dan alergi. Tanyakan pada pasien pernah mengalami tindakan
seperti transfusi darah atau transplantasi organ

e. Riwayat penyakit keluarga dan social

Klasifikasi jika pasien memiliki riwayat kanker, dalam keluarga kanker atau
gangguan hematologi atau imun. Lingkungan kerja dan tempat tinggal juga
berpengaruh karena berkaitan dengan pemaparan bahan kimia berbahaya

f. Aktivitas/istirahat

Memiliki gangguan dengan gejala: mudah lelah, berkurangnya toleransi


terhadap aktivitas dari biasanya, malaise, terjadinya perubahan pola tidur dengan
tanda kelemahan otot,menurunnya massa otot, respon fisiologi terhadap aktivitas

15
2. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri b.d inflamasi dan kerusakan jaringan.


2. Kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri
pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
3. Kerusakan integritas kulit b.d. perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks
imun..

3. Intervensi
Nyeri b.d inflamasi dan kerusakan jaringan.

Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup


sehari-hari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi :

1. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (masase,


perubahan posisi, istirahat teknik relaksasi pengalihan)
2. Kolaborasikan pemberian antiinflamasi dan analgesik.
3. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri.
4. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat
kronik penyakitnya.
5. Jelaskan penyebab nyeri yang dialami pasien dan penatalaksanaan yang tepat
6. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri
pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.

Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang


optimal.
Intervensi :

1. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.


2. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi

16
3. Menekankan kisaran gerak pada sendi yang sakit
4. Meningkatkan pemakaian alat bantu
5. Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman dan nyaman
6. Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat
7. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
8. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
9. Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
10. Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
11. Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi

Kerusakan integritas kulit b.d perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks
imun.

Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.


Intervensi :

1. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi


2. Hilangkan kelembaban dari kulit
3. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya cedera termal akibat
4. Hindari penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.

17
2.2 INFEKSI SALURAN KEMIH
2.2.1 Definisi Penyakit Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan dimana kuman atau mikroba
tumbuh dan berkembang biak dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna (IDAI,2011).
Istilah ISK umum digunakan untuk menandakan adanya invasi mikroorganisme pada
saluran kemih (Haryono, 2012). ISK merupakan penyakit dengan kondisi dimana
terdapat mikroorganisme dalam urin yang jumlahnya sangat banyak dan mampu
menimbulkan infeksi pada saluran kemih (Dipiro dkk, 2011).
ISK adalah keadaan adanya infeksi yang ditandai dengan pertumbuhan dan
perkembangbiakan bakteri dalam saluran kemih, meliputi infeksi parenkim ginjal sampai
kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna (Soegijanto, 2010).
ISK adalah infeksi akibat berkembang biaknya mikroorganisme di dalam saluran
kemih, yang dalam keadaan normal air kemih tidak mengandung bakteri, virus atau
mikroorganisme lain. Infeksi saluran kemih dapat terjadibaik di pria maupun wanita dari
semua umur, dan dari kedua jenis kelamin ternyata wanita lebih sering menderita
daripada pria (Sudoyo Aru,dkk 2013).
2.2.2. Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih

1. Infeksi Saluran Kemih Bawah (Sistitis)


Sistitis adalah keadaan inflamasi pada mukosa buli-buli yang disebabkan oleh infeksi
bakteri (Purnomo, 2011). Pasien ISK tanpa komplikasi terjadi pada perempuan yang
sehat dan tidak ada perubahan fungsi traktus urinarius. Gambaran klinis yang terjadi pada
pasien ISK bawah, antara lain nyeri di daerah suprapubis bersifat sering berkemih,
disuria, kadang terjadi hematuria (Imam, 2013). Bakteri penyebab infeksi saluran kemih
bawah (sistitis) terutama bakteri Escherichia coli, Enterococcus, Proteus, dan
Staphylococcus aureus yang masuk ke buli-buli melalui uretra (Purnomo, 2011). Jumlah
koloni bakteri yang ditemukan pada pasien ISK bawah sebesar >103 cfu (colony forming
unit)/mL (Grabe et al., 2013).

2. Infeksi Saluran Kemih Atas (Pielonefritis)

18
Pielonefritis adalah keadaan inflamasi yang terjadi akibat infeksi pada pielum dan
parenkim ginjal (Purnomo, 2011). Gambaran klinis yang terjadi pada pasien ISK atas,
antara lain demam tinggi, nyeri di daerah pinggang dan perut, mual serta muntah, sakit
kepala, disuria, sering berkemih (Imam, 2013). Bakteri penyebab infeksi saluran kemih
atas (pielonefritis) adalah Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus, dan Enterococcus
faecalis (Purnomo, 2011). Jumlah koloni bakteri yang ditemukan pada pasien ISK atas
sebesar >104 cfu (colony forming unit)/mL (Grabe et al., 2013).

3. Infeksi Saluran Kemih Komplikasi

Infeksi saluran kemih komplikasi adalah infeksi yang berkaitan dengan kondisi, seperti
kelainan struktural dan fungsional pada saluran genitourinaria atau adanya penyakit yang
mendasari meningkatkan risiko ISK pada individu tanpa faktor risiko yang diketahui atau
gagal terapi (Grabe et al., 2015). Infeksi saluran kemih komplikasi perlu terapi yang lebih
panjang yang disebabkan karena kelainan urologi, penggunaan kateter, obstruksi aliran
urin, diabetes melitus, dan penyakit lainnya (Imam, 2013). Gambaran klinis yang terjadi
pada pasien ISK komplikasi dapat berupa gejala kombinasi antara sistitis dan
pielonefritis (Williams and Wilkins, 1995). Infeksi saluran kemih komplikasi dapat
disebabkan karena batu ginjal dan penggunaan kateter (Grabe et al., 2015). Bakteri yang
berperan sebagai penginfeksi pada pasien ISK komplikasi, antara lain Escherichia coli
(bakteri dominan), Pseudomonas aeruginosa, staphylococci dan enterococci. Jumlah
koloni bakteri yang ditemukan pada pasien ISK komplikasi jumlah koloni sebesar >105
cfu (colony forming unit)/mL (Grabe et al., 2015).
2.2.3.Etiologi Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh bakteri,virus dan jamur
tetapi bakteri yang sering menjadi penyebabnya. Penyebab ISK terbanyak adalah bakteri
gram-negatif termasuk bakteri yang biasanya menghuni usus dan akan naik ke sistem
saluran kemih antara lain adalah Escherichia coli, Proteus sp, Klebsiella, Enterobacter
(Purnomo, 2014). Pasca operasi juga sering terjadi infeksi oleh Pseudomonas, sedangkan
Chlamydia dan Mycoplasma bisa terjadi tetapi jarang dijumpai pada pasien ISK. Selain
mikroorganisme, ada faktor lain yang dapat memicu ISK yaitu faktor predisposisi (Fauci
dkk., 2011). E.coli adalah penyebab tersering. Penyebab lain adalah klebsiella,

19
enterobacter, pseudomonas, streptokokus, dan stafilokokus (SudoyoAru, dkk 2013).
Sedangkan pada lansia dijumpai beberapa faktor yaitu:

1. Gangguan Fungsi Kognitif

Gangguan fungsi kognitif seperti demensia (terutama demensia sedang sampai berat)
akan mengakibatkan usaha perawatan diri sendiri terganggu. Seperti kemampuan untuk
mandi
dengan bersih, membersihkan daerah genetalia dengan seksama, tidak dapat dilakukan
secara mandiri. Bisa jadi seorang penderita geriatri dengan demensia berat menjadi lupa
mandi atau lupa membersihkan genetalia sesudah defekasi sehingga area perineum akan
terpajan dengan bakteri lebih lama

2. Depresi

Depresi yang juga sering terjadi pada penderita geriatri mempunyai gejala antara lain
kehilangan minat, keengganan untuk merawat diri, termasuk membersihkan are genitalia.
Keadaan ini menyebabkan meningkatnya kemungkinan ISK pada penderita geriatri
dengan gangguan mood.

3. Defisiensi Estrogen

Gangguan menurunnya minat dapat berdampak pada menurunnya asupan makan, seingga
status nutrisi menurun akibat menurunnya daya tahan tubuh, defisiensi estrogen akan
mengakibatkan area genitalia menjadi lebih kering sehingga mudah terinfeksi. Selain itu,
keasaman vagina juga dapat berkurang sehingga perlindungan umum pada daerah
mukosa menjadi berkurang.

4. Pengosongan Kandung Kemih Tidak Maksimal (kecepatan ml/detik dan sisa air
seni di kandung kemih lebih dari 100 ml/detik)

Menyebabkan di kandung kemih selalu terdapat air seni yang merupakan media
pertumbuhan kuman. Tindakan bedah dan prolaps vagina (dengan urethral kinking
effect) juga sering mengakibatkan pengosongan kandung kemih tidak optimal.

5. Keterbatasan Gerak Ekstremitas

20
Kemampuan gerak ekstremitas yang berkurang, ketidakseimbangan postural serta
gangguan koordinasi mengakibatkan usia lanjut menjadi kurang seksama dalam
melaksanakan aktivitas membersihkan diri sendiri, termasuk daerah genitalia. Perempuan
usia lanjut dengan status fungsional yang lebih rendah akan mempunyai resiko 2,66 kali
lebih tinggi untuk terjadinya ISK dibandingkan dengan perempuan usia lanjut yang lebih
mandiri
2.2.4 Patofisiologi Terjadinya Infeksi Saluran Kemih
Secara normal, air kencing atau urine adalah steril alias bebas kuman. Infeksi
terjadi bila bakteri atau kuman yang berasal dari saluran cerna jalan jalan ke uretra atau
ujung saluran kencing untuk kemudian berkembang biak disana. Maka dari itu kuman
yang paling sering menyebabkan ISK adalah E.coli yang umum terdapat dalam saluran
pencernaan bagian bawah.
Pertama, bakteri akan menginap di uretra dan berkembang biak disana.
Akibatnya, urethra akan terinfeksi yang kemudian disebut dengan nama urethritis. Jika
kemudian bakteri naik ke atas menuju saluran kemih dan berkembang biak disana maka
saluran kemih akan terinfeksi yang kemudian disebut dengan istilah cystitis. Jika infeksi
ini tidak diobati maka bakteri akan naik lagi ke atas menuju ginjal dan menginfeksi ginjal
yang dikenal dengan istilah pyelonephritis.
Mikroorganisme seperti klamidia dan mikoplasma juga dapat menyebabkan ISK
namun infeksi yang diakibatkan hanya terbatas pada uretra dan sistem reproduksi. Tidak
seperti E. coli, kedua kuman ini menginfeksi orang melalui perantara hubungan seksual.
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang mengatur keseimbangan cairan tubuh
dan elektrolit dalam tubuh, dan sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah
dengan mengeksresikan air yang dikeluarkan dalam bentuk urine apabila berlebih.
Diteruskan dengan ureter yang menyalurkan urine ke kandung kemih. Sejauh ini
diketahui bahwa saluran kemih atau urine bebas dari mikroorganisme atau steril.
Infeksi saluran kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogen dalam
traktus urinarius. Masuknya mikroorganisme kedalam saluran kemih dapat melalui :
Penyebaran endogen yaitu kontak langsung dari tempat infeksi terdekat
(ascending) yaitu :
Masuknya mikroorganisme ke dalam kandung kemih, antara lain: factor anatomi
dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki sehingga
insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi, kontaminasi fekal,

21
pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemasangan kateter), adanya dekubitus
yang terinfeksi
Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal. Kuman penyebab ISK pada
umumnya adalah kuman yang berasal dari flora normal usus. Dan hidup secara komensal
di dalam introitus vagina, prepusium penis, kulit perineum, dan di sekitar anus.
Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui uretra – prostate – vas deferens – testis
(pada pria) buli-buli – ureter, dan sampai ke ginjal
1. Hematogen
Sering terjadi pada pasien yang sistem imunnya rendah sehingga mempermudah
penyebaran infeksi secara hematogen. Ada beberapa hal yang mempengaruhi struktur dan
fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu adanya : bendungan
total urine yang dapat mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat
jaringan parut.
2. Limfogen
Pielonefritis (infeksi traktus urinarius atas) merupakan infeksi bakteri piala ginjal,
tubulus dan jaringan interstisial dari salah satu atau kedua ginjal. Bakteri mencapai
kandung kemih melalui uretra dan naik ke ginjal meskipun ginjal 20 % sampai 25 %
curah jantung; bakteri jarang mencapai ginjal melalui aliran darah ; kasus penyebaran
secara hematogen kurang dari 3 %. Pielonefritis akut biasanya terjadi akibat infeksi
kandung kemih asendens. Pielonefritis akut juga dapat terjadi melalui infeksi hematogen.
Infeksi dapat terjadi di satu atau di kedua ginjal. Pielonefritis kronik dapat terjadi akibat
infeksi berulang, dan biasanya dijumpai pada individu yang mengidap batu, obstruksi
lain, atau refluks vesikoureter.
Sistitis (inflamasi kandung kemih) yang paling sering disebabkan oleh
menyebarnya infeksi dari uretra. Hal ini dapat disebabkan oleh aliran balik urine dari
uretra ke dalam kandung kemih (refluks uretrovesikal), kontaminasi fekal, pemakaian
kateter atau sistoskop.
Uretritis suatu inflamasi biasanya adalah suatu infeksi yang menyebar naik yang
digolongkan sebagai general atau mongonoreal. Uretritis gnoreal disebabkan oleh
niesseria gonorhoeae dan ditularkan melalui kontak seksual. Uretritis nongonoreal;
uretritis yang tidak berhubungan dengan niesseria gonorhoeae biasanya disebabkan oleh
klamidia frakomatik atau urea plasma urelytikum.
Pada usia lanjut terjadinya ISK sering disebabkan karena adanya:

22
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih
yang tidak lengkap atau kurang efektif. Sisa urin yang meningkat mengakibatkan distensi
yang berlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan
resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri
yang selanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal sendiri
1. Mobilitas menurun
2. Nutrisi yang kurang baik
3. Sistem Imunitas yang menurun
4. Adanya hambatan pada saluran urin

23
2.2.5 WOC

24
2.2.6 Manifestasi Klinik Infeksi Pada Lansia
Tanda dan gejala ISK tidak selalu lengkap dan bahkan tidak selalu ada, yaitu pada
keadaan yang disebut bakteriuria tanpa gejala (BTG). Gejala yang lazim ditemukan adalah:

1. Disuria, polakisuria, dan terdesak kencing (urgency), yang semuanya sering terdapat
bersamaan.
2. Rasa nyeri biasa didapatkan di daerah suprapubik atau pelvis berupa rasa nyeri atau
seperti terbakar di uretra atau muara uretra luar sewaktu kencing, atau dapat juga di
luar waktu kencing. Polakisuria terjadi akibat kandung kemih tidak dapat menampung
kencing lebih dari 500 ml akibat rangsangan mukosa yang meradang sehingga sering
kencing. Rasa terdesak kencing dapat sampai menyebabkan seseorang penderita ISK
ngompol, tetapi gejala ini juga didapatkan pada penderita batu atau benda asing di
dalam kandung kemih.
3. Stranguria yaitu kencing yang susah dan disertai kejang otot pinggang yang sering
pada sistitis akut; tenesmus yaitu rasa nyeri dengan keinginan mengosongkan
kandung kencing meskipun telah kosong;
4. Nokturia yaitu kecenderungan buang air kencing lebih sering pada waktu malam hari
akibat kapasitas kandung kencing yang menurun atau rangsangan mukosa yang
meradang dengan volume urin yang kurang.
5. Kolik ureter atau ginjal yang gejalanya khas dan nyeri prostate dapat juga menyertai
gejala ISK.

2.2.7 Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih


a. Terapi antibiotik untuk membunuh bakteri gram positif maupun gram negatif.
b. Apabila pielonefritis kroniknya disebabkanoleh obstruksi atau refluks, maka
diperlukan penatalaksanaan spesifik untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
c. Dianjurkan untuk sering minum dan BAK sesuai kebutuhan untuk membilas
mikroorganisme yang mungkin naik ke uretra, untuk wanita harus membilas dari
depan ke belakang untuk menghindari kontaminasi lubang urethra oleh bakterifaece

2.2.8 Pemeriksaan penunjang diagnosis ISK

25
Analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskopis urin segar tanpa puter, kultur urin, serta jumlah
kuman/mL urin merupakan protokol standar untuk pendekatan diagnosis ISK. Pengambilan
dan koleksi urin, suhu, dan teknik transportasi sampel urin harus sesuai dengan protokol yang
dianjurkan. Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin, harus
berdasarkan indikasi yang kuat. Pemeriksaan radiologis dimaksudkan untuk mengetahui
adanya batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi ISK.Renal imaging
procedures untuk investigasi faktor predisposisi ISK termasuk ultrasonografi (USG),
radiografi (foto polos perut, pielografi IV, micturating cystogram), dan isotop scanning.

2.2.9 Pemeriksaan laboratorium


1. Urinalisis
a. Leukosit
Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap dugaan adalah
ISK. Dinyatakan positif bila terdapat > 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sedimen air
kemih. Adanya leukosit silinder pada sedimen urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal.
Namun adanya leukosit tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat pula dijumpai pada
inflamasi tanpa infeksi. Apabila didapat leukosit yang bermakna, perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan kultur.

b. Hematuria
Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu bila dijumpai 5-10
eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik
berupa kerusakan glomerulus ataupun oleh sebab lain misalnya urolithiasis, tumor ginjal, atau
nekrosis papilaris.

2. Bakteriologis
a. Mikroskopis
Dapat digunakan urin segar tanpa diputar atau tanpa pewarnaan gram. Dinyatakan positif
bila dijumpai 1 bakteri /lapangan pandang minyak emersi.
b. Biakan bakteri
Dimaksudkan untuk memastikan diagnosis ISK yaitu bila ditemukan bakteri dalam
jumlah bermakna sesuai dengan kriteria .Adanya pertumbuhan organisme patogen apapun
pada urin yang diambil dengan cara aspirasi suprapubik

3. Tes kimiawi
Lebih dari 100.000 - 1.000.000 bakteri. Konversi ini dapat dijumpai dengan
perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas 90,7% dan spesifisitas 99,1% untuk mendeteksi

26
Gram-negatif. Hasil palsu terjadi bila pasien sebelumnya diet rendah nitrat, diuresis banyak,
infeksi oleh enterokokus dan asinetobakter.

4. Tes Plat-Celup (Dip-slide)


Lempeng plastik bertangkai dimana kedua sisi permukaannya dilapisi perbenihan
padat khusus dicelupkan ke dalam urin pasien atau dengan digenangi urin. Setelah itu
lempeng dimasukkan kembali ke dalam tabung plastik tempat penyimpanan semula, lalu
dilakukan pengeraman semalaman pada suhu 37° C.
Penentuan jumlah kuman/ml dilakukan dengan membandingkan pola pertumbuhan
pada lempeng perbenihan dengan serangkaian gambar yang memperlihatkan keadaan
kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah kuman antara 1000 dan 10.000.000 dalam tiap
ml urin yang diperiksa. Cara ini mudah dilakukan, murah dan cukup akurat. Tetapi jenis
kuman dan kepekaannya tidak dapat diketahui.

27
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN INFEKSI SALURAN KEMIH
Kasus
Tn. X 65 tahun datang ke Rumah Sakit Universitas Airlangga dibopong oleh anaknya pada
tanggal 28 Februari pukul 09.00 dengan keluhan nyeri di daerah suprapubik dan pelvis
disertai demam. Beberapa hari terakhir Tn. X mengaku mengalami buang air kecil lebih dari
biasanya, terlebih ketika malam hari, dan hal ini juga membuat Tn. X sulit tidur karena harus
bolak-balik ke kamar mandi. Tn. X juga mengaku merasa nyeri dan panas ketika berkemih,
namun urine yang dikeluarkan sedikit dan terdapat darah, ditambah dengan nyeri abdomen
yang menjalar hingga ke belakang. Pada saat dilakukan pengukuran tanda- tanda vital

0
didapatkan suhu 40 C, nadi 108x/menit dan tekanan darah 60/40 mmHg.

1. Pengkajian Keperawatan

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Tanggal MRS : 28 Februari 2019 Jam Masuk : 09.00 WIB


Tanggal Pengkajian : 28 Februari 2019 No. Rekam Medis : 692.xxxx
Jam Pengkajian : 07.00 WIB Diagnosa Masuk : Infeksi Saluran Kemih
Hari rawat ke :1

IDENTITAS
Nama : Tn. X
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 65 Tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Alamat : Surabaya
Suku/Bahasa : Jawa
Sumber Biaya : BPJS

KELUHAN UTAMA
Pasien mengeluh nyeri di daerah suprapubik dan pelvis

28
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Beberapa hari terakhir Tn. X mengaku mengalami buang air kecil lebih dari biasanya,
terlebih ketika malam hari. Pada tanggal 28 Februari Tn. X mengalami demam dengan
suhu 40 °C dan pasien mengeluh nyeri dan panas ketika berkemih, namun urine yang
dikeluarkan

sedikit dan terdapat darah , ditambah dengan nyeri abdomen yang menjalar hingga ke
belakang. Sehingga Tn. X dibopong oleh anaknya menuju Rumah Sakit Universitas
Airlangga.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Pernah dirawat : Ya : Tidak Kapan
Riwayat penyakit kronik dan menular Ya Tidak Jenis: -
Riwayat kontrol :-
Riwayat penggunaan obat : -
Riwayat alergi : Tidak ada
Riwayat operasi : Tidak ada

29
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Ya Tidak
Jenis :-
Genogram :

Keterangan:
: Perempuan : Tinggal serumah

: Laki- laki : Meninggal


: Pasien

RIWAYAT POLA HIDUP


Pasien tidak mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan lainya

PEMERIKSAAN FISIK

30
Pemeriksan Tanda-Tanda Vital
1. Tinggi badan : 170 cm
2. Berat badan : 78 kg
3. Kesadaran : Compos mentis
0
4. Suhu : 40 C

5. Nadi : 108x/menit
6. Tekanan darah: 60/40 mmHg
7. Pemeriksaan B1 – B6

a. B1 (Breathing) :
Batuk: (-) Sputum: (-)
b. B2 (Blood) :
Terjadi penurunan tekanan darah
c. B3 (Brain) :

Kesadaran somnolen

d. B4 (Bladder) :
Urine keluar sedikit dan ada hematuria
e. B5 (Bowel) :
Ada nyeri tekan
f. B6 (Bone) :

Mobilisasi terganggu karena ada nyeri

PENGKAJIAN PSIKOLOGIS DAN SPIRITUAL


Pasien meringis dan wajahnya terlihat pucat menahan nyeri

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pada tes urinalisis terdapat >5/lpb sedimen kemih
2. Hematuria 5-10 eritrosit/lpb sedimen air kemih
3. Kultur urine mengidentifikasi adanya organisme spesifik

31
2. Analisa Data

Data Etiologi Masalah Keperawatan

DS: Mikroorganisme patogen E. Hipertermia (D.0130)


-Anak pasien mengatakan Coli, Proteus, Klebsiella,
sejak malam sebelum ke Pseudomonas
rumah sakit suhu badan
pasien tinggi Bakteri menginfeksi saluran
DO: kemih
-Hasil TTV pasien
N: 108x/menit Terjadi reaksi inflamasi
0
S: 40 C
Reaksi antigen-antibody
RR: 22x/menit
-Teraba panas Pelepasan mediator
inflamasi endogen- pirogen

Pengaktifan prostaglandin

Perangsangan pusat
termostat di hipotalamus

Hipertermia

32
DS: Mikroorganisme patogen E. Nyeri akut (D.0077)
P : Pasien mengatakan nyeri Coli, Proteus, Klebsiella,
timbul pada saat berkemih Pseudomonas
Q : Nyeri terasa panas dan
menjalar hingga ke belakang Berkoloni di uretra
R : Di area suprapubik,
abdomen dan menjalar ke ISK

belakang
S: Skala nyeri 5 Inflamasi pada uretra

T : Timbul pada saat Mengeluarkan mediator


berkemih kimia (histamin, bradikinin,
DO: prostaglandin)
-Pasien tidak bisa mobilisasi
dengan sempurna karena Merangsang ujung- ujung
nyeri saraf tepi
-Pasien terlihat meringis dan
pucat menahan nyeri Dihantarkan ke hipotalamus

-TTV pasien meningkat


-Hematuria 5-10 eritrosit/lpb Dikembalikan lagi ke saraf

sedimen air kemih aferen

-Kultur urine
Nyeri Akut
mengidentifikasi adanya
organisme spesifik

33
DS: Bakterimia sekunder Gangguan eliminasi urine
-Pasien mengeluh nyeri di ↓ (D.0040)Gangguan eliminasi
area suprapubik Ureter urine (D.0040)
-Pasien mengeluh nyeri dan ↓
panas ketika berkemih
Iritasi uretra
-Pasien mengeluh nyeri pada

abdomen hingga menjelar ke
Oliguria
belakang

- Pasien mengatakan
Gangguan eliminasi urine
beberapa buang air kecil
lebih dari biasanya, terlebih
ketika malam hari
- Pasien mengatakan urine
yang dikeluarkan lebih
sedikit
-Pasien mengatakan terdapat
nanah dan darah beberapa
hari lalu ketika berkemih
DO:
-Pada tes urinalisis terdapat
>5/lpb sedimen kemih

- Hematuria 5-10
eritrosit/lpb sedimen air
kemih
- Kultur urine
mengidentifikasi adanya
organisme spesifik
- Ada nyeri tekan pada
abdomen

34
3. Diagnosis Keperawatan

1. Hipertermi b.d proses penyakit d.d suhu tubuh 40°C, kulit terasa hangat, nadi 108
x/menit, RR 22x/menit (D. 0130)
2. Nyeri akut b.d agen pencedera biologis d.d mengeluh nyeri, tampak meringis,
frekuensi nadi 108 x/menit, RR 22 x/menit (D.0077)
3. Gangguan eliminasi urine b.d penurunan kapasitas kandung kemih d.d. berkemih
tidak tuntas (hesitancy) (D. 0040)
4. Intervensi Keperawatan

Diagnosis SLKI SIKI

Hipertermi b.d proses Setelah dilakukan intervensi Manajemen hipertermi (I.


penyakit d.d suhu tubuh keperawatan selama 15506)
40°C, kulit terasa hangat, 3x24jam diharapkan OBSERVASI
nadi 108 x/menit, RR 22 hipertermi pada pasien dapat -identifikasi penyebab
x/menit (D. 0130) teratasi dengan kriteria hasil: hipertermi
Termoregulasi (L. 14134) -monitor suhu tubuh
-suhu tubuh membaik (5) -monitor kadar elektrolit
-suhu kulit membaik (5) -monitor pengeluaran urine
- tekanan darah membaik (5) TERAPEUTIK
-berikan cairan oral
Status kenyamanan (L. EDUKASI
08064) -anjurkan tirah baring
-rileks meningkat (5) KOLABORASI

35
-keluhan sulit tidur menurun -kolaborasi pemberian cairan
(5) intravena jika perlu
-pola eliminasi membaik (5)
-pola tidur membaik (5) Regulasi temperatur (I.
14578)
OBSERVASI
-monitor warna dan suhu
kulit
TERAPEUTIK
-tingkatkan asupan cairan
adekuat
-sesuaikan suhu lingkungan
dengan kebutuhan pasien
KOLABORASI
-kolaborasi pemberian
antipiretik jika perlu

36
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan intervensi Manajemen nyeri (I. 08238)
pencedera biologis d.d keperawatan selama OBSERVASI
mengeluh nyeri, tampak 3x24jam diharapkan nyeri -mengidentifikasi faktor yg
meringis, frekuensi nadi 108 pada pasien dapat teratasi memperberat dan
x/menit, RR 22 x/menit dengan kriteria hasil: memperingan nyeri
(D.0077) Tingkat nyeri (L. 08066) TERAPEUTIK
-keluhan nyeri menurun (1) -berikan teknik non
-meringis menurun (1) farmakologis untuk
-kesulitan tidur menurun (1) mengurangi nyeri
-fungsi berkemih cukup -fasilitasi istirahat dan tidur
membaik EDUKASI
-pola tidur membaik (5) -ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi nyeri
KOLABORASI
-kolaborasi pemberian
analgesik jika perlu

37
Kompres panas (I. 08235)
TERAPEUTIK
-pilih metode kompress yang
nyaman dan mudah di dapat
-balut alat kompress dengan
kain jika perlu

Pemberian Analgesik (I.


08243)
OBSERVASI
-identifikasi karakteristik
nyeri
-identifikasi riwayat alergi
obat
-monitor efektifitas
pemberian analgesik
-identifikasi kesesuaian
analgesik dengan keparahan
tingkat nyeri
EDUKASI
-jelaskan efek terapi dan
efek samping obat
KOLABORASI
-kolaborasi pemberian dosis
dan jenis analgesik sesuai
indikasi

38
Gangguan eliminasi urine Setelah dilakukan intervensi Manajemen eliminasi urine
b.d penurunan kapasitas keperawatan selama (I.04152)
kandung kemih d.d. 3x24jam diharapkan OBSERVASI
berkemih tidak tuntas gangguan eliminasi urine -identifikasi tanda gejala
(hesitency) (D. 0040) pada pasien dapat teratasi retensi atau inkontinensia
dengan kriteria hasil: urine

39
Eliminasi urine (L. 04034) -identifikasi faktor yang
-sensasi berkemih sedang (3) menyebabkan retensi atau
-Desakan berkemih (urgensi) inkontinensia urine
cukup menurun (2) -monitor eliminasi urine
- nokturia menurun (1) -batasi asupan cairan jika
perlu
EDUKASI
-ajarkan tanda dan gejala
infeksi saluran kemih
-ajarkan terapi modalitas
penguatan otot-otot panggul/
berkemih
-anjurkan minum yg cukup
KOLABORASI
-kolaborasi pemberian
suppositoria uretra jika perlu

Perawatan Retensi Urine


(I.04165)
OBSERVASI
-identifikasi penyebab
retensi urine
-monitor intake dan output
cairan
-monitor tingkat distensi
kandung kemih
TERAPEUTIK
-berikan rangsangan
berkemih
- fasilitasi berkemih dengan
interval yang teratur
EDUKASI
-jelaskan penyebab retensi

40
urine
- ajarkan cara melakukan
rangsangan berkemih

41
BAB 4
PENUTUP
KESIMPULAN
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi
tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta
sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas,
mikroorganisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit
sedangkan defisiensi imun seseorang menurun karena beberapa faktor seperti kekurangan
nutrisi seperti Zinc, Selenium, Zat besi, tembaga, Vitamin A,C,E B6 dan asam folat juga
mengurangi respon imun. Selain itu penggunaan alkohol dan narkoba juga berpengaruh pada
penurunan imun pada lansia.
Infeksi Saluran Kemih (ISK) ISK adalah infeksi akibat berkembang biaknya
mikroorganisme di dalam saluran kemih, yang dalam keadaan normal air kemih tidak
mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain. Tanda dan gejala ISK dapat merupakan
Disuria, polakisuria, dan terdesak kencing (urgency), yang semuanya sering terdapat
bersamaan, terasa juga nyeri di daerah suprapubik.

42
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Muttaqin. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:

Salemba Medika

Bulechek, M.G dkk.(2013). Nursing Interventions Classification (NIC), 6th Indonesian

edition. Indonesia: Mocomedia.

Derviş, B. (2013). Infeksi. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9),

1689–1699.Diakses melalui: https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

K. Torayaju. 2017. “Infeksi Saluran Kemih pada Geriatri”. Bali. Fakultas Kedokteran.

Universitas Udayana. Vol. 2. No. 1

Moorhead Sue, dkk. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC), 5th Indonesian

edition. Indonesia: Mocomedia.

Mutsaqof, Ahmad . Wiharto. Suryani, E. (2016). Sistem Pakar Untuk Mendiagnosis

Penyakit Infeksi Menggunakan Forward Chaining. Jurnal Teknologi & Informasi

ITSmart, 4(1), 43. Diakses melalui: https://doi.org/10.20961/its.v4i1.1758

Nasronudin, 2007, Penyakit Infeksi Di Indonesia, Hal 121-125, Airlangga University

Press, Surabaya.

Soejono, Czeresna Heriawan. 2015. “Infeksi Saluran Kemih pada Gertiatri”. Jakarta.

Universitas Indonesia. Vol. 55. No. 3

Suharyanto, Toto, & Madjid. A. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan

Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media.

43
LAMPIRAN
Naskah Keperawatan Gerontik

Narator:

Nyonya Nisa, 65 tahun datang ke Rumah Sakit Universitas Airlangga dibopong oleh

anaknya pada tanggal 28 Februari pukul 09.00 dengan keluhan nyeri di daerah panggul

disertai demam. Beberapa hari terakhir Nyonya Nisa mengaku mengalami buang air kecil

lebih dari biasanya, terlebih ketika malam hari, dan hal ini juga membuat Nyonya Nisa sulit

tidur karena harus bolak-balik ke kamar mandi. Nyonya Nisa juga mengaku merasa nyeri dan

panas ketika berkemih, namun urine yang dikeluarkan sedikit dan terdapat darah, ditambah

dengan nyeri abdomen yang menjalar hingga ke belakang. Pada saat dilakukan pengukuran

0
tanda- tanda vital didapatkan suhu 40 C, nadi 108x/mnt dan tekanan darah 60/40 mmHg.

Anak pasien : “Gimana bu? Masih sakit ya pipisnya?”

Pasien : “Nyeri banget nak, hampir aja ibu gabisa berdiri tadi saking

sakitnya. Ibu takut mati nak”

Anak pasien : “Eh, ibu kok ngomongnya gitu. Gapapa kok bu, kita banyak-

banyak berdoa aja ya”

Perawat 1 : “Ibu Nisa silahkan ke meja registrasi”

Pasien : “Oh baik ners…”

Perawat 1 : “Ibu kita cek tekanan darah dan suhu dulu sebelum diperiksa oleh

dokter ya”

Pasien : “Baik ners”

Perawat 1 : “Suhu ibu 40 derajat, tekanan darahnya juga agak rendah bu. Ibu

pasti lemas sekali ya?”

44
Pasien : “Sakit banget perut saya ners, kalo pipis juga panas banget

kadang saking sakitnya jadi ngga bisa berdiri. Apalagi kalo malem

jadi lebih sering pipis, tersiksa banget”

Perawat 1 : “Baik, nanti ibu ceritakan lagi ke dokter ya bu. Habis ini giliran

ibu kok, semoga setelah periksa hari ini, kondisi ibu bisa cepat

membaik”

Narator:

Tidak lama setelah itu, giliran periksa Nyonya Nisa pun tiba, Nyonya Nisa langsung

memasuki ruang periksa didampingi oleh anaknya.

Dokter : “Selamat pagi ibu, bagaimana kabarnya hari ini?”

Pasien : “Lemas dok, saya nggak bisa tidur”

Dokter : “Waduh, boleh diceritakan ke saya bu keluhannya apa saja?”

Pasien : “Perut saya tuh sakit banget dok, kalo pipis rasanya panas

banget padahal kemarin-kemarin nggak pernah kayak gini. Terus

sakitnya tuh menjalar sampai belakang gitu dok”

Dokter : “Baik, kalau begitu kita periksa sekarang saja ya? Ners, boleh

tolong dibantu pasiennya?”

Perawat 2 : “Baik dok”

Narator:

Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien didiagnosa mengalami infeksi saluran

kemih.

45
Dokter : “Jadi begini, setelah dilakukan pemeriksaan, diagnosa ibu diduga

mengalami infeksi saluran kemih. Bisa jadi hal tersebut

diakibatkan oleh bakteri dan pola hidup ibu yang kurang teratur”

Pasien : “Jadi saya susah tidur terus kalo malem pipis terus tapi yang

keluar cuma sedikit. terus sakit di bagian bawah perut, terus panas

pas pipis itu karena infeksi?”

Anak Pasien : “Ibu, pelan-pelan dong tanya nya. Biar dokternya jelasin dulu”

Pasien : “Ibu takut nak”

Dokter : “Iya ibu, betul itu merupakan ciri-ciri dari infeksi saluran kemih”

Pasien : “Terus dok saya kalo pipis kadang keluar darah malah sempet

keluar nanah. Saya nggak bakal mati kan dok?”

Anak pasien : “Hush, ibu kok ngomongnya gitu”

Pasien : “Ibu takut banget nak, kan biasanya kalo pipis ngga kayak gitu”

Dokter : “Seperti yang saya katakan sebelumnya bu, bisa jadi pipis yang

ibu keluarkan seperti itu karena adanya bakteri di saluran kemih

ibu. Ada beberapa cara yang bisa ibu lakukan untuk mengurangi

hal tersebut seperti perbanyak minum air putih, banyak beristirahat

dan tidak melakukan aktivitas berat untuk sementara”

Pasien : “Oh gitu ya dok”

Dokter : “Bisa jadi juga hal ini terjadi akibat ibu kurang menjaga

kebersihan organ vital”

Perawat 2 : “Ada juga bu cara untuk meredakan rasa nyeri pada perut ibu

seperti mengompres perut ibu dengan air hangat atau berbaring

sambil melakukan tarikan nafas dalam. Caranya menarik nafas

selama detik lalu dihembuskan selama 2 detik. Cara itu bisa

dilakukan sampai ibu merasa lebih baik”

Anak Pasien : “Tuh, bisa dicoba tuh bu caranya mbak perawat”

Pasien : “Baik dok, ners, nanti akan saya perbaiki”

46
Dokter : “Ini saya resepkan obat yang bisa ibu tebus di apotik. Banyak

minum air putih dan istirahat cukup ya bu, semoga cepet sembuh”

Pasien : “Baik, terima kasih ya dok”

Anak Pasien : “Terima kasih banyak dok, ners”

Perawat 2 : “Semoga cepat sembuh”

47

Anda mungkin juga menyukai