Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 .Latar Belakang
Pada umumnya, penyakit-penyakit yang terjadi pada lansia, termasuk juga penyakit
infeksi, sering memberikan gejala-gejala yang tidak jelas / tidak khas, sehingga memerlukan
kecermatan untuk segera dapat mengenalnya, karena penanganan atau pengobatan yang
terlambat terhadap penyakit infeksi dapat berakibat fatal.
Pada infeksi saluran nafas misalnya, lansia sering tidak mengalami demam atau hanya
demam ringan disertai batuk-batuk ringan bahkan hanya didapati nafsu makan yang berkurang
atau tidak ada sama sekali, rasa lelah disertai penampilan seperti orang bingung yang dialami
dalam beberapa hari, yang jelas berbeda dengan gejala-gejala penyakit infeksi pada orang
dewasa.
Gejala-gejala penyakit infeksi yang tidak khas tadi bukan saja perlu dikenal dan
dipahami oleh dokter ataupun petugas kesehatan lainnya tetapi juga perlu dikenal dan dipahami
oleh masyarakat awam agar sesegera mungkin membawa lansia untuk mendapat pengobatan.
Secara umum, penyakit infeksi telah dapat dikendalikan, akan tetapi pada lansia hal ini
masih merupakan suatu masalah, karena berkaitan dengan menurunnya fungsi organ tubuh dan
daya tahan tubuh akibat proses menua.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Infeksi ?
2. Apa saja faktor-faktor infeksi pada lanjut usia?
3. Apa saja macam-macam manifestasi infeksi pada lanjut usia ?
4. Bagaimanakah jenis-jenis dari infeksi pada lanjut usia?
5. Bagaimanakah ASUHAN KEPERAWATAN infeksi pada lanjut usia?
6. Bagaimanakah contoh ASUHAN KEPERAWATAN infeksi pada lanjut usia?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Definisi dari infeksi
2. Mengetahui faktor-faktor infeksi pada lanjut usia
3. Mengetahui manifestasi infeksi pada lanjut usia
4. Mengetahui jenis-jenis dari infeksi pada lanjut usia



2
5. Mengetahui ASUHAN KEPERAWATAN infeksi pada lanjut usia
6. Mengetahui contoh ASUHAN KEPERAWATAN infeksi pada lanjut usia
1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi kepada lanjut usia tentang infeksi
2. Memberikan solusi pada lanjut usia mengatasi masalah infeksi





























3
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI INFEKSI
Infeksi berarti keberadaan mikroorganisme di dalam jaringan tubuh host, dan mengalami
replikasi. Infeksi merupakan interaksi antara kuman (agent), host (pejamu, dalam hal ini adalah
lansia) dan lingkungan. Pada usia lanjut terdapat beberapa faktor predisposisi / faktor resiko yang
menyebabkan seorang usia lanjut mudah terkena infeksi, antara lain :
1) Faktor hospes meliputi :
a) Penyakit utama
b) Prosedur invasif
c) Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai
d) Malnutrisi
e) Dehidrasi
f) Gangguan mobilitas
g) Inkontinensia
h) Keadaan imunitas tubuh
i) Berbagai proses patologik (ko-morbid) yang terdapat pada penderita tersebut
2) Faktor agent meliputi :
a) Jumlah kuman yang masuk dan ber-replikasi
b) Virulensi dari kuman
3) Faktor lingkungan meliputi :
a) Apakah infeksi didapat di masyarakat, rumah sakit atau panti werdha
b) Faktor lingkungan yang terdapat pada institusi meliputi pengawasan infeksi yang
terbatas, area yang padat, kontaminasi silang, dan lambatnya deteksi dini
Infeksi merupakan penyebab kematian yang paling penting pada umat manusia, sampai
saat digunakannya antibiotika dan pencegahan dengan imunisasi aktif maupun pasif di era
mayarakat modern. Penyakit infeksi mempunyai kontribusi cukup besar terhadap angka
kematian penderita sampai akhir abad 20 pada populai umum, kemudian menurun setelah
ditemukan antibiotika dan teknik pencegahan penyakit. Walaupun demikian revalensi infeksi
sebagai penyebab morbiditas dan motalitas tetap tinggi pada populasi lanjut usia (Yoshikawa,



4
1985, 1986). Suatu laporan penelitian yang membandingkan kasus kasus kematian karena
infeksi tertentu antara tahun 1935 dan 1968 di Amerika Serikat menggambarkan pengaruh
infeksi terhadap kelangsungan hidup umat manusia, misalnya pertusis, morbili difteri, demam
kuning, tetanus, polio mielitis akut, tuberculosis dan sifilis sebagai penyebab kematian bermakna
pada tahun 1935. Walaupun penyakit infeksi tersebut sudah dapat dikendalikan pada populasi
umum, pada usia lanjut masih menjadi masalah, Karena berkaitan dengan menurunnya fungsi
organ akibat proses menua (Smith IM, 1989). Bahkan di Amerika sendiri dimana kemajuan ilmu
kedokteran tidak disangsikan lagi, angka kematian akibat beberapa penyakitinfeksi pada lansia
masih jauh lebih tinggi disbanding dengan yang didapat pada usia muda, dengan data-data
sebagai berikut (Yoshikawa, 1995):
1) Angka kematian pneumonia pada lansia sekitar 3 kali disbanding usia muda
2) Angka kematian akibat sepsis 3 kali disbanding pada dewasa muda
3) Angka kematian akibat ISK lansia sekitar 5-10 %
4) Kolesistisis angka kematian antara 2-8 kali
5) Endokarditis infeksiosa kematian 2-3 kali, meningitis bakterialis sekitar 3 kali.
2.2 FAKTOR INFEKSI PADA LANJUT USIA
1. Faktor Nutrisi
Keadaan nutrisi, yang pada usia lanjut seringkali tidak baik dapat mempengaruhi awitan,
perjalanan dan akibat akhir (outcome) dari infeksi. Secara klinik keadaan ini dapat dilihat dari
keadaan hidrasi, kadar hemoglobin, albumin, beberapa mikronutrien yang penting, misalnya
kadar Cu maupun Zn. Juga beberapa vitamin yang penting pada proses pertahanan tubuh.
2. Faktor Imunitas Tubuh
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan untuk mempertahankan keutuhan
tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam
lingkungan hidup. Beberapa faktor imunitas tubuh, antara lain imunitas alamiah (inate
immunity), misalnya kulit, silia, lendir mukosa dan lain lain sudah berkurang kualitas maupun
kuantitasnya, demikian pula dengan faktor imunitas humoral (berbagai imunoglobulin, sitokin)
dan selular (netrofil, makrofag, limfosit T). Sistem imun alamiah merupakan pertahanan tubuh
terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberi
respons imun langsung terhadap antigen dan tanpa waktu untuk mengenalnya terlebih dahulu.



5

3. Faktor Perubahan Fisiologik
Beberapa organ pada usia lanjut sudah menurun secara fisiologik, sehingga juga sangat
mempengaruhi awitan, perjalanan dan akhir infeksi. Penurunan fungsi paru, ginjal, hati dan
pembuluh darah akan sangat mempengaruhi berbagai proses infeksi dan pengobatannya. Fungsi
orofaring pada usia lanjut sudah menurun sedemikian sehingga seringkali terjadi gerakan kontra
peristaltik (terutama saat tidur), yang menyebabkan terjadinya aspirasi spontan dari flora kuman
di daerah tersebut kedalam saluran nafas bawah dan menyebabkan terjadinya aspirasi pneumonia
(Yoshikawa, 1996). Berbagai obat obatan yang aman diberikan pada usia muda harus secara
hati hati diberikan pada usia lanjut, karena dapat lebih memperburuk berbagai fungsi organ,
antara lain hati dan ginjal.
4. Faktor Terdapatnya Berbagai Proses Patologik
Salah satu karakteristik pada usia lanjut adalah adanya multi-patologi. Berbagai penyakit
antara lain diabetes melitus, PPOM, keganasan atau abnormalitas pembuluh darah akan sangat
mempermudah terjadinya infeksi, mempersulit pengobatannya dan menyebabkan prognosis
menjadi lebih buruk.

2.3 MANIFESTASI INFEKSI PADA USIA LANJUT
Seperti juga berbagai penyakit pada usia lanjut yang lain, manifestasi infeksi pada usia lanjut
sering tidak khas, beberapa hal perlu diperhatikan seperti berikut ini :
Demam, Seringkali tidak mencolok. Glickman dan Hilbert (1982), seperti dikutip oleh
Yoshikawa, mendapatkan bahwa banyak penderita lansia yang jelas menderita infeksi tidak
menunjukkan gejala demam. Walaupun demikian untuk diagnosis infeksi tanda adanya demam
masih penting, sehingga Yoshikawa tetap menganjurkan batasan sebagai berikut :
1) Terdapat peningkatan suhu menetap > 2F
2) Terdapat peningkatan suhu oral > 37,2C atau rektal > 37,5C
3) Gejala tidak khas
4) Gejala nyeri yang khas pada apendisitis akut, kolesistitis akut, meningitis, dll sering
tidak dijumpai. Batuk pada pneumonia sering tidak dikeluhkan, mungkin oleh penderita
dianggap batuk biasa (Fox, 1988; Hadi Martono 1992, 1993).



6
5) Gejala akibat penyakit penyerta (ko-morbid) Sering menutupi, mengacaukan bahkan
menghilangkan gejala khas akibat penyakit utamanya (Hadi Martono, 1993; Yoshikawa,
1986; Smith, 1980).

2.4 JENIS INFEKSI PADA USIA LANJUT

Jenis Infeksi Catatan
Pneumonia Penyebab kematian utama karena infeksi pada usia lanjut,
sehingga dinyatakan sebagai the old mens friend
Infeksi saluran kemih Penyebab terbanyak terjadinya bakteremia/sepsis pada lansia
Infeksi intra abdominal Gangren apendiks dan vesika felea terbanyak pada lansia, di
vertikulitis terdapat terutama pada lansia
Infeksi jaringan lunak Dekubitus dan luka pasca operasi tersering terjadi pada lansia
Bakteremia/sepsis Dari semua kasus 40% terjadi pada lansia, mengakibatkan 60%
kematian
Endokarditis infektif Meningkat prevalensinya pada lansia
Tuberkulosis Peningkatan kasus secara mencolok pada lansia, termasuk yang
berada di panti werdha
Atritis septika Adanya penyakit sendi yang mendahului menyebabkan
peningkatan resiko pada lansia
Tetanus Di AS, 60% dari semua kasus tersering pada lansia
Herpes zoster Prevalensi meningkat seiring dengan penuaan, neuralgia pasca
herpetic sering timbulpertama pada usia lanjut

(Yoshikawa, 1990)



7
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 INFEKSI YANG SERING TERJADI PADA LANSIA
1. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Saat tua tiba, mereka yang lanjut usia beresiko tinggi mengalami infeksi. Infeksi yang
terjadi adalah bakteria uria asimtomatik dan Infeksi Saluran Kemih (ISK). Faktor yang ikut
berperan pada ISK adalah penggunaan kateter dan peningkatan residu urine. Faktor yang secara
spesifik berperan adalah hipertrofi prostat pada pria dan meningkatnya pH vagina dan
pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna.
Inkontinensia urine (ngompol) dan delirium (mata gelap) terkadang menjadi keluhan
pasien ISK, walau tanpa demam. Pada pasien rawat jalan, lansia yang diduga mengalami ISK
harus dilakukan pemeriksaan untuk mengonfirmasi adanya bakteri di urine. Selain tes penyaring
dengan urinalis, kultur urine merupakan pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada
semua pasien yang diduga menderita ISK untuk menentukan jenis mikroorganisme penyebab
ISK. Pada pasien lansia yang memerlukan perawatan di RS, kultur darah juga harus dilakukan.
Pasien yang terinfeksi secara komplikasi (saluran kemih bagian atas, berulang atau
terkait kateter) perlu menjalani tes fungsi ginjalnya. Juga evaluasi terhadap saluran kemih dan
fungsi kandung kemih. Untuk diagnosis yang optimal, pasien perlu mendapat antibiotik yang
sesuai dan lamanya terapi yang memadai. Spesimen urine untuk kultur harus diambil sebelum
terapi dimulai.
Pemilihan antibiotik untuk pengobatan ISK pada lansia sama dengan dewasa muda.
Terapi empirik yang direkomendasikan pada pasien ISK rawat jalan adalah dengan trimetoprim
sulfameyoksazol. Alternatif lain yang dianjurkan, yang intoleransi terhadap trimetoprimsul
fametoksazol atau yang gagal dengan terapi tersebut, adalah fluorokuinolon oral. Lama terapi
sekitar 7 hari. Pada kasus yang komplikasi dapat dilanjutkan sampai 14 hari. Pada laki-laki lansia
terapi antibiotika yang dianjurkan adalah 14 hari. Pemeriksaan kultur urine ulang, harus
dilakukan lagi 7-10 hari setelah terapi selesai.
ISK pada lansia dapat dicegah dengan memodifikasi faktor resiko dan faktor predisposisi
terjadinya ISK. Terapi terhadap kelainan anatomis, baik di saluran kemih (mulai dari ginjal-



8
uretra) serta hipertropi prostrat pada pria, harus dilakukan untuk mencegah kolonisasi kuman di
saluran kemih. Pasien yang suka ngompol sedapat mungkin menghindari pemakaian kateter
jangka panjang. Apabila harus menggunakan, usahakan agar kebersihannya terjaga.

Diagnosa Keperawatan Utama & Kriteria Hasil
1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan inflamasi pada saluran kemih bawah
Kriteria hasil : pasien akan mencapai dan mempertahankan eliminasi urine yang normal.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan insiden kekambuhan ISK yang tinggi
Kriteria hasil : Pasien akan tetap bebas dari ISK berulang seperti yang ditunjukkan dengan
urinalisis normal dan tidak adanya tanda dan gejala ISK.
3. Nyeri akut berhubungan dengan spasme dan kram kandung kemih
Kriteria hasil : pasien akan bebas dari nyeri ketika ISK hilang.
Intervensi Keperawatan
1. Perhatikan apakah ada gangguan GI akibat terapi antimikroba. Jika diprogramkan, berikan
makrokristal nitrofurantoin bersama susu atau makanan untuk mencegah distress GI.
2. Jika rendam duduk tidak dapat meredakan ketidaknyamanan perineum, berikan kompres
hangat sedang ke perineum, tetapi hati-hati agar tidak membakar pasien.
3. Oleskan antiseptik topikal pada meatus urinarius jika perlu.
4. Tampung semua spesimen urine untuk biakan dan pengujian sensitivitas secara hati-hati dan
cepat.













9
2. PNEUMONIA
Pneumonia merupakan peradangan parenkim paru yang biasanya berasal dari suatu infeksi
(Price, 1995).
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli, serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan menimbulkan gangguan pertukaran gas setempat (Zul, 2001).

Perubahan sistem respirasi yang berhubungan dengan usia yang mempengaruhi kapasitas dan
fungsi paru meliputi :
a. Peningkatan diameter anteroposterior dada
b. Kolaps osteoporotik vertebrae yang mengakibatkan kifosis (peningkatan kurvatura konveks
tulang belakang)
c. Kalsifikasi kartilago kosta dan penurunan mobilitas kosta
d. Penurunan efisiensi otot pernapasan
e. Peningkatan rigiditas paru
f. Penurunan luas permukaan alveoli
Etiologi :
a. Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organsime gram positif seperti:
streptococcus pneumonia, s. aureus dan s. pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti Haemophilus
influenza, klebsiella pneumonia dan P.Aeruginosa.
b. Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus
dalam hal ini dikenal sebagai penyabab utama pneumonia virus.
c. Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara yang
mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos.
d.Protozoa
Menimbulkan terjadinya pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya menjangkiti pasien
yang mengalami imunosupresi (Reeves, 2001).



10
Manifestasi klinis
a. Kesulitan dan sakit pada saat bernafas
b. Nyeri pleuritik, nafas dangkal dan mendengkur, takipnea
c. Bunyi nafas di atas area yang mengalami konsolidasi
d. Mengecil, kemudian menjadi hilang, krekels, ronkhi, egofoni
e. Gerakan dada tidak simetris
f. Menggigil dan demam 38,8-41,1C, delirium
g. Diaforesis
h. Anoreksia
i. Malaise
j. Batuk kental, produktif
k. Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi kemerahan atau berkarat
l.Gelisah
m. Sianosis
n. Area sirkumoral, dasar kuku kebiruan
o. Masalah-masalah psikososial: disorientasi, ansietas, takut mati.
Pemeriksaan penunjang
1. Sinar X : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses luas/infilrat,
empiema (stapilococcus); infiltrat menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau
penyebaran/perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia mikoplasma sinar X dada
mungkin bersih
2. GDA : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan
penyakit paru yang ada
3. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum, aspirasi
transtrakheal, bronkoskopi fiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi
organisme penyebab
4. IDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus,
kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya pneumonia bacterial
5. Pemeriksan serologi; titer virus atau legionella, aglutinin dingin
6. LED : meningkat



11
7. Pemeriksaan fungsi paru : volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps); tekanan jalan
nafas mungkin meningkat dan komplain menurun, hipoksemia, elektrolit natrium dan
klorida mungkin rendah
8. Bilirubin mungkin meningkat
9. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka menyatakan intranuklear tipikal dan
keterlibatan sitoplasmik (CMV) (Doenges, 1999).
Penatalaksanaan
1. Kemoterapi
Pemberian kemoterapi harus berdasarkan petunjuk penemuan kuman penyebab infeksi
(hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman terhadap antibodi). Bila penyakitnya ringan
antibiotik diberikan secara oral, sedangkan bila berat diberikan secara parenteral. Apabila
terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka harus diingat kemungkinan
penggunaan antibiotik tertentu perlu penyesuaian dosis (Harasawa,1989).
2. Pengobatan umum
- Terapi oksigen
Hidrasi, bila ringan hidrasi oral, tetapi jika berat dehidrasi dilakukan secara parenteral.
- Fisioterapi
Penderita perlu tirah baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk menghindari
pneumonia hipografik, kelemahan dan dekubitus.
Pengkajian
1. Aktivitas/istirahat
2. Kelemahan, kelelahan, insomnia, letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas
3. Sirkulasi
4. Riwayat gagal jantung kronis, takikardia, penampilan terlihat pucat
5. Integritas ego : Banyak stressor, masalah finansial
6. Makanan/cairan : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, riwayat DM
7. Distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan
malnutrisi



12
8. Neurosensori : Sakit kepala, perubahan mental
9. Nyeri/kenyamanan : Sakit kepala , nyeri dada meningkat dan batuk myalgia.
10. Pernafasan
Riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dispnea, pernafasan dangkal, penggunaan otot
aksesori, pelebaran nasal. Sputum berwana merah muda, berkarat atau purulen.
Perkusi : pekak di atas area yang konsolidasi, gesekan friksi pleural.
Bunyi nafas : menurun atau tidak ada di atas area yang terlibat atau nafas bronchial.
Fremitus : taktil dan vocal meningkat dengan konsolidasi.
Pucat atau sianosis pada bibir/kuku
11. Riwayat gangguan sistem imun, demam.
Berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan mungkin pada kasus rubella/varisela.
Riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis.

Diagnosa keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi trakeobronkial,pembentukan
oedema, peningkatanan produksi sputum, nyeri pleuritik, penurunan energi, kelemahan
ditandai dengan perubahan frekuensi kedalaman pernafasan, bunyi nafas tidak normal,
penggunaan otot aksesori, dispnea, sianosis, batuk efektif/tidak efektif dengan atau tanpa
produksi sputum.
Kriteria hasil :
Menunjukkan perilaku mencapai kebersihan jalan nafas, menunjukkan jalan nafas paten
dengan bunyi nafas bersih, tidak ada dispnea atau sianosis.
Intervensi keperawatan :
Mandiri
1. Kaji frekuensi/ kedalaman pernafasan dan gerakan dada.
2. Auskultasi paru, catat area penurunan/tidak ada aliran udara dan bunyi nafas tambahan
(krakles, mengi).
3. Bantu pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam.
4. Berikan cairan sedikitnya 2500ml/hari.





13
Kolaborasi
1. Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain.
2. Berikan obat sesuai indikasi : mukolitik, ekspektoran, bronkodilator, analgesik.
3. Berikan cairan tambahan
4. Awasi seri sinar X dada, GDA, Nadi oksimetri.
5. Bantu bronkoskopi/torakosintesis bila diindikasikan.

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar kapiler (efek
inflamasi) dan gangguan kapasitas oksigen darah ditandai dengan dispnea, sianosis, taikardia,
gelisah, perubahan mental, hipoksia.

Kriteria hasil :
1. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang
normal dan tidak ada gejala distress pernafasan.
2. Berpastisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigen.

Intervensi keperawatan :
Mandiri
1. Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan bernafas.
2. Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku.
3. Kaji status mental.
4. Awasi status jantung/irama.
5. Awasi suhu tubuh, sesuai indikasi. Bantu tindakan kenyamanan untuk menurunkan
demam dan menggigil.
6. Pertahankan istirahat tidur.
7. Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam dan batuk efektif.
8. Kaji tingkat ansietas.
9. Dorong menyatakan masalah/perasaan.






14
Kolaborasi
1. Berikan terapi oksigen dengan benar.
2. Awasi GDA.

3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi, penurunan kompliance paru,
nyeri ditandai dengan dispnea, takipnea, penggunaan otot aksesori, perubahan kedalaman
nafas, GDA abnormal.

Kriteria hasil :
Menunjukkan pola pernafasan normal/efektif dengan GDA dalam rentang normal.
Intervensi keperawatan :
Mandiri :
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada.
2. Auskultasi bunyi nafas.
3. Tinggikan kepala dan bahu.
4. Observasi pola batuk dan karakter sekret.
5. Dorong/bantu pasien dalam nafas dalam dan latihan batuk efektif.
Kolaborasi
1. Berikan oksigen tambahan.
2. Awasi DGA.

4. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan adanya proses infeksi.
Kriteria hasil :
Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh, tidak menggigil, nadi
normal.

Intervensi keperawatan :
Mandiri
1. Obsevasi suhu tubuh (setiap 4 jam).
2. Pantau warna kulit.
3. Lakukan tindakan pendinginan sesuai kebutuhan.



15
Kolaborasi
1. Berikan obat sesuai indikasi : antiseptik.
2. Awasi kultur darah dan kultur sputum, pantau hasilnya setiap hari.

5. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan utama
dan tidak adekuat pertahanan sekunder (adanya infeksi, penekanan imun).

Kriteria hasil :
1. Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi.
2. Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/ menurunkan resiko infeksi.

Intervensi keperawatan :
Mandiri
1. Pantau TTV.
2. Anjurkan klien memperhatikan pengeluaran sekret dan melaporkan perubahan warna
jumlah dan bau sekret.
3. Dorong teknik mencuci tangan dengan baik.
4. Ubah posisi dengan sering.
5. Batasi pengunjung sesuai indikasi
6. Lakukan isolasi pencegahan sesuai indikasi.
7. Dorong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktivitas sedang.
Kolaborasi
Berikan antimikrobal sesuai indikasi.

6. Nyeri berhubungan dengan inflamasi parenkim paru, reaksi seluler terhadap sirkulasi toksin,
batuk menetap ditandai dengan nyeri dada, sakit kepala, nyeri sendi, melindungi area yang
sakit, perilaku distraksi, gelisah.







16
Kriteria hasil :
1. Menunjukkan nyeri hilang/terkontrol.
2. Menunjukkan rileks, isirahat/tidur dan peningkatan aktivitas dengan cepat.

Intervensi keperawatan :
1. Tentukan karakteristik nyeri.
2. Pantau TTV.
3. Ajarkan teknik relaksasi.
4. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.

7. Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, anoreksia, distensi
abdomen.

Kriteria hasil :
1. Menunjukkan peningkatan nafsu makan.
2. Berat badan stabil atau meningkat.
Intervensi keperawatan :
1. Identifikasi faktor yang menimbulkan mual atau muntah.
2. Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin.
3. Auskultasi bunyi usus.
4. Berikan makan porsi kecil dan sering.
5. Evaluasi status nutrisi.
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurang
terpajan informasi, kurang mengingat, kesalahan interpretasi ditandai dengan permintaan
informasi, penyataan kesalahan konsep, kesalahan mengulang.
Kriteria hasil:
1. Menyatakan pemahaman kondisi proses penyakit dan pengobatan.
2. Melakukan perubahan pola hidup.





17
Intervensi keperawatan :
1. Kaji fungsi normal paru.
2. Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan dan harapan
kesembuhan.
3. Berikan dalam bentuk tertulis dan verbal.
4. Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif.
5. Tekankan perlunya melanjutkan terapi antibiotik selama periode yang dianjurkan.



























18
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Infeksi merupakan penyebab kematian yang paling penting pada umat manusia, sampai saat
digunakannya antibiotika dan pencegahan dengan imunisasi aktif maupun pasif di era
mayarakat modern. Penyakit infeksi mempunyai kontribusi cukup besar terhadap angka
kematian penderita sampai akhir abad 20 pada populai umum, kemudian menurun setelah
ditemukan antibiotika dan teknik pencegahan penyakit. Walaupun demikian revalensi infeksi
sebagai penyebab morbiditas dan motalitas tetap tinggi pada populasi lanjut usia
SARAN
Agar dapat memberikan informasi kepada lanjut usia tentang infeksi dan memberikan solusi
pada lanjut usia mengatasi masalah infeksi dengan tepat.






















19

DAFTAR PUSTAKA

Boedhi, Darmojo. 2009. Geriatri. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Gallo, Joseph, J, dkk. 1998. Buku Saku Gerontologi Edisi 2. Jakarta : EGC.
Maryam, Siti, R. 2008. Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika.
Nugroho, Wahjudi. 2000. Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta : EGC.
Stockslager, Jaime, L. 2007. Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik Edisi 2. Jakarta
: EGC.
Tamer, S. 2009. Kesehatan Usia Lanjut Dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.

http://erfansyah.blogspot.com/2010/01/askep-tuberculosis-tb.html

http://gerontiklansia.blogspot.com/2008/09/asuhan-keperawatan-pada-lansia-dengan_12.html

http://gerontiklansia.blogspot.com/2008/09/gangguan-perkemihan-pada-lansia.html
http://www.infopenyakit.com/2007/12/penyakit-tuberkulosis-tbc.html
http://www.info-sehat.com/inside_level2.asp?artid=1192&secid=&intid=8
http://www.medicastore.com/tbc/penyakit_tbc.htm
http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/264-tuberculosis-paru-tb-paru.html

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2629:mengapa-
lansia-sering-mengalami-infeksi-jamur&catid=28:kesehatan&Itemid=48

Anda mungkin juga menyukai