KELOMPOK I A:
M. Taufik Atmaja
1. Latar Belakang
Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total atau sebagian
yang disebabkan oleh trauma fisik, kekuatan sudut, tenaga, keadaan tulang, dan
jaringan lunak (Price, 2012). Menurut data dari Depkes RI tahun 2015, dari sekian
banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan
memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%.
Nyeri adalah kondisi yang dialami oleh pasien yaitu perasaan yang tidak
menyenangkan. Bersifat subjektif karena rasa nyeri pada setiap pasien berbeda-beda
dalam hal skala ataupun tingkatannya. Nyeri berkaitan dengan kerusakan aktual dan
potensial yang tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh ataupun
sering disebut dengan istilah distruktif dimana jaringan yang terkena memunculkan
perasaan seperti tertusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi dan perasaan takut serta
mual.
Kompres dingin sebagai alternatif penanganan nyeri pada pasien dengan nyeri ringan
ataupun sedang tidak digunakan lagi dalam panduan penanganan nyeri. Penanganan
nyeri ringan lebih menggunakan tehnik relaksasi nafas dalam, sedangkan pada nyeri
sedang dan berat menggunakan terapi obat dalam menangani nyeri. Saat ini telah
dikembangkan Cold Pack sebagai pengganti biang es (Dry Ice) atau es batu. Dalam
praktek klinik keperawatan kompres dingin masih digunakan dalam mengatasi nyeri,
karena merupakan tindakan mandiri perawat dalam mengatasi nyeri.
Cold Pack adalah pengganti biang es (Dry Ice) atau es batu. Bentuknya berupa gel
dalam kontener yang tidak mudah pecah atau bocor. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan tehnologi di dunia kesehatan telah banyak digunakan cold pack sebagai media
untuk melakukan kompres dingin maupun kompres hangat. (Metules, 2007). Cold
pack mempunyai beberapa keunggulan dibanding dengan es batu. Jika es batu
digunakan ia akan habis dan berubah menjadi gas karbon diosida, sehingga hanya
dapat digunakan sekali saja. Cold Pack dapat digunakan berkali-kali dengan hanya
mendinginkan kembali kedalam lemari pembuat es (Freezer). Cold Pack merupakan
produk alternatif pengganti Dry Ice & Es Batu. Ketahanan beku bisa mencapai 8-12
jam tergantung box yang di gunakan, pemakaiannya dapat berulang-ulang selama
kemasan tidak bocor (rusak).
Beberapa penelitian yang mendukung diantaranya dilakukan oleh Lewis & Miller
(2008) dan Block (2010) terkait efektifitas Cold Pack dalam megurangi nyeri pada
kasus ortopaedi ringan, sedangkan pada kasus ortopaedi berat menggunakan
perendaman air es. Penelitian lain yang mendukung telah dilakukan oleh Market &
Summer (2011) dan Sheik et al.(2015) yang mebedakan efektifitas Cryoterapi
( kompres dingin) dengan penggunaan bebat, obat epidural dan narkotik. Kompres
dingin ini juga tidak mengganggu pembuluh darah perifer dan tidak menyebabkan
kerusakan jaringan kulit apabila perendaman dilakukan sesuai prosedur.
Efektifitas tehnik relaksasi nafas dalam menurunkan nyeri juga banyak diteliti
diantaranya penelitian Chandra, (2013) menyatakan bahwa tehnik relaksasi nafas
dalam dikombinasikan dengan Guided Imagery dapat menurunkan nyeri hebat pada
pasien post Sectio Caesare menjadi nyeri sedang atau ringan. Penelitian lain dilakukan
oleh Byung, (2015) menyatakan relaksasi nafas dalam 7 dikombinasikan dengan
Proprioceptive Neuron Facilitation (PNF) dapat menurunkan nyeri pada pasien frozen
shoulder.
2. TUJUAN
Tujuan dari penyampaian materi dari seminar Evidence Based Nursing ini adalah :
1. Mengetahui “Efektifitas Penggunaan Cold Pack untuk Mengatasi Nyeri Pada
Pasien Post Orif ”.
2. Petugas kesehatan terutama di ruang rawat inap Rumah Sakit Pertamina
Balikpapan mampu menerapkan dan menjelaskan Efektifitas Penggunaan Cold
Pack untuk Mengatasi Nyeri Pada Pasien Post Orif”
BAB II
ANALISA JURNAL
A. Jurnal Utama
1. Judul jurnal
Efektivitas penggunaan cold pack dibandingkan dengan teknik relaksasi nafas
untuk mengatasi nyeri pada pasien post orif
2. Peneliti
Agung Kristanto, Fitri Arofiati
3. Populasi, sampel dan tehnik sampling
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien fraktur yang mendapat
perawatan di RSI Siti Khadijah Palembang. Sampel penelitian ini adalah 30
responden yang sedang menjalani perawatan di RS . Tehnik sampling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sampling purposive sampling.
4. Desain Penelitian
Desain Penelitian ini merupakan desain Pra-eksperimental dengan cara melibatkan
satu kelompok subjek, dengan rancangan One Group pretest-posttest.
5. Instrument yang digunakan
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pengukuran skala
nyeri menggunakan Numeric Rating Scale dengan skala 0 (tidak nyeri), 1-3 (nyeri
ringan) dan 4-6 (nyeri sedang).
6. Uji statistik yang digunakan
Hasi uji wilcoxon didapatkan (p-value=0.001) ) < α (0,05) . Untuk
membandingkan data sebelum dan sesudah dilakukan dengan intervensi.
B. Jurnal pendukung
1. Judul jurnal
Pengaruh kompres dingin terhadap tingkat persepsi nyeri insersi arteriovenosa
fistula pada pasien hemodialisa
2. Peneliti
Endiyono , Meida Laely Ramdani
3. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pre-test dan post-test yang dilakukan pada reponden kompres
dingin terhadap tingkat persepsi nyeri saat dilakukan insersi arteriovenosa fistula
pada pasien hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga sebanyak 15
responden (3,66) diketahui bahwa nyeri pada kelompok yang tidak mengalami
intervensi diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa hampir sebagian responden
berada pada tingkat persepsi nyeri 3. Dampak dari nyeri yang dialami pasien akan
membuat pasien cemas saat akan dilakukan insersi. Kecemasan yang dialami
pasien sebelum dilakukan insersi berkontribusi terhadap peningkatan skala nyeri
pada saat dilakukan pemasangan AV shunt. Tingkat persepsi nyeri kelompok
dengan kompres dingin (post test) diperoleh bahwa menunjukkan bahwa sebagian
responden berada pada tingkat persepsi nyeri 2 artinya nyeri berkurang setelah
mendapatkan kompres dingin.
Pada hasil penelitian ini membuktikan bahwa Kompres dingin terbukti efektif
dalam menurunkan persepsi nyeri pada pasien dengan insersi AV shunt. Hasil
penelitian ini didukung hasil penelitian Sabhita (2018) tentang pengaruh kompres
dingin terhadap penurunan nyeri pada insersi arterivenosa fistula menunjukan
penurunan nyeri. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sabhita dilakukan kompres
dengan ice massage pada lokasi large intestine 4 kontralateral selama 10 menit
setelah dilakukan insersi menunjukkan penurunan nyeri yang sangat signifikan.
C. Analisa PICO
1. Problem
Nyeri merupakan masalah utama pasien pada pasien post operasi yang
penatalaksanaannya dapat dilakukan secara farmakologis dan non farmakologis.
Salah satu upaya non farmakologis yang dapat dilakukan adalah menggunakan
cold pack sebagai salah satu inovasi kompres dingin.
Kompres dingin adalah suatu metode dalam penggunaan suhu rendah setempat
yang dapat menimbulkan beberapa efek fisiologisi. Terapi dingin diperkirakan
menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf
sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang
bekerja adalah bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi
nyeri. Salah satu alasan kompres dingin tidak masuk dalam panduan penanganan
nyeri karena kompres dingin tidak efisiensi waktu. Faktor kenyamanan juga
mempengaruhi proses pemberian kompres dingin karena pasien menjadi basah
oleh es batu yang mencair. Namun demikian pemberian perlakuan kompres dingin
tidak mengganggu pembuluh darah perifer dan tidak menyebabkan kerusakan
jaringan kulit apabila perendaman dilakukan sesuai prosedur.
2. Intervention
Intervensi kompres dengan cold pack dilakukan setelah pasien pulih kesadarannya
pasca operasi dan diintervensi kompres dengan cold pack selama 15 menit dan
kemudian dilepas selama 15 menit. Sebelum kompres dilepas dilakukan
pengukuran skala nyeri dengan skala VAS.Siklus pengompresan dengan cold pack
diatas diulang sampai sampai 4 kali siklus pengompresan atau selama 2
jam.Pengompresan dengan cold pack pada tahap analgetik II dilakukan kurang
lebih 3-4 jam setelah pemberian obat di bangsal. Proses pengompresan dan
pengukuran skala nyeri seperti pada siklus pertama. Proses pemberian intervensi
relaksasi nafas dalam juga dilakukan setelah pasien sadar kurang lebih 3-4 jam dan
tidak dalam pengaruh obat anastesi (analgetik I) pasien diajari dan diminta untuk
melakukan tehnik relaksasi nafas selama 15 menit kemudian setelah 15 menit
dilakukan pengukuran skala nyeri dengan skala VAS. Siklus pemberian relaksasi
nafas dalam diulang sampai sampai 4 kali siklus. Relaksasi nafas dalam pada
analgetk II juga dilakukan 3-4 jam setelah pemberian obat analgetik.
3. Comparison
1. Judul jurnal pembanding
Efektifitas tehnik distraksi music klasik Mozart untuk mengurangi nyeri pada
pasien post operasi fraktur
2. Peneliti
Fitra mayenti, yusnita sari
3. Hasil
Rata rata derajat nyeri pada kelompok eksperimen sebelum diberi perlakuan
adalah 6.71 dan sesudah diberikan perlakuan adalah 2.66 rata-rata nyeri pada
kelompok kontrol sebelum adalah 6.35. Ada pengaruh pemberian terapi musik
klasik Mozart untuk mengurangi nyeri pada pasien post operasi di Ruang
Dahlia RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dengan P value 0.000 < 0.05
4.Outcome
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Hasil uji independen t-test
menunjukkan perbedaan yang kecil rasa nyeri post analgetik I antara kelompok
cold pack (5,33 poin) dengan relaksasi nafas dalam (5,4 poin) sebelum
dilakukan kompres dingin cold pack dan relaksasi nafas dalam. Hal tersebut
berati sebelum mendapat intervensi baik dengan cold pack maupun relaksasi
nafas dalam, kondisi nyeri pasien hampir sama. Setelah diintervensi, terdapat
selisih dari pengukuran 1 - 4yang bermakna secara statistik (p <0,05 . hal ini
menunjukkan cold pack lebih efektif menurunkan nyeri pasca operasi.
BAB III
TINJAUAN TEORI
Terapi kompres dingin merupakan penggunaan es atau cold gel pack secara aman
pada sisi anatomis dengan balutan elastis (Block,2010). Terapi kompres dingin
memiliki variasi metode, yang paling modern adalah penggunaan cryo-pad dan yang
paling sederhana adalah kompres dingin es atau cold pack dikombinasikan dengan
elastis perban.
Menurut Arovah (2010), secara fisiologis pada 15 menit pertama setelah pemberian
aplikasi dingin pada suhu 100 C terjadi vasokontriksi arteriola dan venula secara
lokal. Vasokontriksi ini disebabkan oleh aksi reflek dari otot polos yang timbul akibat
stimulasi system saraf otonom dan pelepasan epinephrine dan norepinephrine.
Walaupun demikian apabila aplikasi dingin tersebut terus diberikan selama 15-30
menit akan timbul fase vasodilatasi yang terjadi intermitten selama 4 sampai 6 menit.
Periode ini dikenal sebagai respon hunting. Respon hunting terjadi untuk mencegah
terjadinya kerusakan jaringan akibat dari jaringan mengalami anoxia jaringan. Pada
5-12 menit pemberian aplikasi dingin akan menimbulkan respon anastesi relatif pada
kulit.
4. Jenis Aplikasi Kompres Dingin
Beberapa jenis aplikasi kompres dingin yang sering digunakan adalah:
a. Pijat es
Pijat es akan menghasilkan sensasi dingin yang signifikan dari kulit dan akan
meningkatkan aliran darah ke daerah tersebut. Dalam teknik ini dibutuhkan es,
lalu di gosokkan dengan gerakan melingkar bolak-balik selama 5 sampai 10
menit. Dengan pijat es, rasa sakit akan hilang 1-2 menit (Utami & Istanti, 2015).
Hajiamini (2012) dengan penelitiannya yang berjudul “Comparing The Effects of
Ice Massage and Acupressure on Labor Pain Reduction” menemukan bahwa
pijatan es lebih efektif menurunkan nyeri saat melahirkan jika dibandingkan
dengan akupresur.
b. Ice Pacs
Ice pacs adalah kantong es yang murah dan mempertahankan suhu dengan
konstan, sangat efektif untuk mendinginkan jaringan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Chandra Bagus Ropyanto yang berjudul “Pengaruh Cold
Compression Therapy terhadap Proses Penyembuhan Pasien Pasca Open
Reduction Internal Fixation (ORIF) Extremitas bawah” didapatkan pasien
merasa cukup nyaman dengan suhu ice cold pack serta menyatakan nyeri
berkurang (nyeri pre CCT 6,6 dan nyeri post CCT 3,2), edema berkurang (edema
pre CCT 49,3cm sedangkan edema post CCT 48,2cm), sirkulasi lebih lancar
danotot – otot nya berkurang ketegangannya (rentang gerak sendi pre CCT 25º
sedangkan rentang gerak sendi post CCT 44º). Seperti hal nya dengan penelitian
yang berjudul “Effect of Application of Ice Pack on Reducing Pain During The
Arterial Puncture” yang menemukan bahwa ice pack efektif menurunkan nyeri
pada tindakan pungsi arteri untuk pemeriksaan analisa gas darah (Khalil, 2017).
c. Contras Bath
Contras bath menggunakan air dingin dan panas, berfungsi untuk vasokontriksi
dan vasodilatasi sehingga dapat menurunkan edema dan cidera kronik. Pada
penelitian ini, terapi contras dilakukan selama 7 hari. Terapi contras dilakukan
dengan menggunakan handuk dan diletakkan mengelilingi daerah yang nyeri.
Tindakan ini dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore). Setiap kali melakukan
terapi ini, waktu yang digunakan adalah 20 menit, 4 menit dikompres air hangat,
1 menit tidak dikompres, dan 2 menit dikompres air dingin dan siklus ini
diulangi sebanyak 3 kali (Utami & Istanti, 2015).
7. Penatalaksanaan
Aplikasi cold compression yang paling sederhana, murah, dan mungkin dilakukan
diruangan adalah kompres dingin dengan ice cold pack serta kompresi dengan elastis
verban
Cold compression therapy merupakan kombinasi antara terapi dingin dan kompresi
balutan pada area pembedahan. Cold compression therapy merupakan penggunaan es
atau cold gel pack secara aman pada sisi anatomis dengan balutan elastis (Block,
2010).
a. Persiapan alat :
1) Ice cool pack suhu 2’C-5’C
2) Tissue / kain yang mudar menyerap air
3) Alkohol dan chlorhexidine 2%
4) Elastis verband
b. Langkah-langkah :
1) Terapi dingin dilakukan dengan kompres es, dilakukan saat 24 – 48 jam
pasca operasi sebanyak 3 kali perhari dalam waktu 15 menit.
2) Lakukan pengukuran awal tingkat nyeri, edema, dan rentang gerak sendi.
3) Desinfektan ice cool pack dengan alkohol dan chlorhexidine 2 %.
4) Bungkus ice cold pack dengan tissue / kain yang mudah menyerap air
5) Kompres dilakukan pada area sekitar luka pasca operasi tanpa membuka
elastis verban
6) Lakukan kompres ice cool pack selama 15 menit .
7) Saat dilakukan kompres, respon pasien dan sensasi suhu ice cold pack
dimonitor.
8) Setelah selesai kompres ice cold pack dilakukan, disinfektan ice cool pack
dengan alkohol dan chlorhexidine 2 %., simpan kembali di freezer
9) Terapi dingin yang dilakukan dengan kompres es dilakukan saat 24 – 48 jam
pasca operasi sebanyak 3 kali perhari dalam waktu 15 menit
10) Lakukan evaluasi pengukuran akhir tingkat nyeri, edema, dan rentang gerak
sendi.
B. Konsep Nyeri
Associatione for the Study of Pain menyatakan nyeri merupakan pengalaman
emosional dan sensori yang tidak menyenangkan yang muncul dari kerusakan jaringan
secara aktual atau potensial atau menunjukkan adannya kerusakan. (Maryunani, 2010).
Rasa sakit atau nyeri adalah informasi dari tubuh ke otak yang menyatakan atau
meminta kita untuk lebih perhatian dan waspada karena ada sesuatu yang
mengganggu. Ada tiga komponen d
asar dalam rasa nyeri atau sakit yaitu komponen sensori atau komponen fisik yaitu
bagaimana rasa nyeri atau sakit tersebut dirasakan secara nyata dari tubuh, komponen
afektif atau emosi yang berhubungan tentang rasa/perasaan saat rasa nyeri dating, dan
komponen kognitif/pemikiran, yang memikirkan jenis nyeri yang dirasakan. (Aprillia
Yesie, 2014)
1. Jenis nyeri
a. Nyeri akut
Menurut NANDA (2012) nyeri akut adalah pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan
yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan jaringan;
awitan yang tiba – tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan
akhir yag dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang di
perkirakan dan sering tidak dapat di kaitkan dengan penyebab atau cidera
spesifik. Nyeri kronis sering di definisikan sebagai nyeri yang berlangsung
selama enam bulan atau lebih, meskipun enam bulan merupakan suatu periode
yang dapat berubah untuk membadakan nyeri akut dan nyeri kronis (Smeltzer
dan Bare, 2002).
2. Skala nyeri
Pengukuran Skala Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah
nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat
berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran
nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan
respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan
tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri
(Tamsuri, 2007).
Ada beberapa macam untuk mengukur skala nyeri pasien, antara lain:
Keterangan:
0 = Tidak terasa sakit
1 (sangat ringan) = Nyeri sangat ringan, seperti gigitan nyamuk. Sebagian besar
waktu anda tidak pernah berpikir tentang rasa sakit.
4 (menyedihkan) = Kuat, nyeri yang dalam, seperti sakit gigi atau rasa sakit
dari sengatan lebah.
6 (intens) = Kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat sehingga tampaknya
memengaruhi sebagian indra anda, menyebabkan tidak fokus, komunikasi
terganggu.
8 (benar-benar mengerikan) = Nyeri begitu kuat sehingga Anda tidak lagi dapat
berpikir jernih, dan sering mengalami perubahan kepribadian yang parah jika
sakit datang dan berlangsung lama.
9 (menyiksa tak tertahankan) = Nyeri begitu kuat sehingga Anda tidak bisa
mentolerirnya dan sampai-sampai menuntut untuk segera menghilangkan rasa
sakit apapun caranya, tidak peduli apa efek samping atau resikonya.
10 (sakit tak terbayangkan tak dapat diungkapkan) = Nyeri begitu kuat tak
sadarkan diri
b. Skala wajah/ Faces Rating Scale
Skala wajah biasanya digunakan oleh anak-anak yang berusia kurang dari 7
tahun. Pasien diminta untuk memilih gambar wajah yang sesuai dengan
nyerinya. Pilihan ini kemudian diberi skor angka.
Sebagian besar pasien mempercayai bahwa 24 nyeri yang akan mereka alami saat
post operasi menimbulkan ketakutan tersendiri yang nantinya akan menentukan
perilaku mereka sebagai bagian dari mekanisme koping. Respon stress pembedahan
ini mengalami puncaknya saat post operasi yang efek utamanya pada jantung,
koagulasi darah, dan sistem imunitas (Rowlingson, 2009 dalam Novita, 2012).
Kemampuan pasien beradaptasi terhadap nyeri pasca operasi fraktur dipengaruhi
oleh manajemen nyeri yang dilakukan oleh perawat. Pada umumnya manajemen
nyeri dilakukan dengan pendekatan farmakologis dan non farmakologis (Smeltzer,
2008)
Pengukuran nyeri terdiri dari pengukuran komponen sensorik (intensitas nyeri) dan
pengukuran komponen afektif (toleransi nyeri).
VRS adalah alat ukur yang menggunakan kata sifat untuk menggambarkan
level intensitas nyeri yang berbeda, range dari “no pain” sampai “nyeri hebat”
(extreme pain). VRS merupakan alat pemeriksaan yang efektif untuk
memeriksa intensitas nyeri. VRS biasanya diskore dengan memberikan angka
pada setiap kata sifat sesuai dengan tingkat intensitas nyerinya. Sebagai contoh,
dengan menggunakan skala 5-point yaitu none (tidak ada nyeri) dengan skore
“0”, mild (kurang nyeri) dengan skor “1”, moderate (nyeri yang sedang)
dengan skore “2”, severe (nyeri keras) dengan skor “3”, very severe (nyeri
yang sangat keras) dengan skore “4”. Angka tersebut berkaitan dengan kata
sifat dalam VRS, kemudian digunakan untuk memberikan skore untuk
intensitas nyeri pasien
Numeral Rating Scale adalah suatu alat ukur yang meminta pasien untuk
menilai rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala
numeral dari 0 – 10 atau 0 – 100. Angka 0 berarti “no pain” dan 10 atau 100
berarti “severe pain” (nyeri hebat). Dengan skala NRS-101 dan skala NRS-11
point, dokter/terapis dapat memperoleh data basic yang berarti dan kemudian
digunakan skala tersebut pada setiap pengobatan berikutnya untuk memonitor
apakah terjadi kemajuan.
VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri
dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai
dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung kanan
diberi tanda “bad pain” (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai
disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan
pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi
oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan level
intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan
pengobatan/terapi selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap
intensitas nyeri daripada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena
responnya yang lebih terbatas (Jensen et.al, 1986) .
Nyeri merupakan salah satu gangguan yang sering kita rasakan, namun sedikit
yang tau apakah nyeri kita termasuk ringan atau berat. Biasanya seorang dokter
akan menanyakan tingkat nyeri yang kita rasakan merdasarkan urutan angka
dari 0-10, sehinga terapi yang diberikan akan tepat pada sasaran, dan tidak
melebihi dosis yang dibutuhkan
SKALA NYERI
0 Tidak nyeri
1 Seperti gatal, tersetrum / nyut-nyut
2 Seperti melilit atau terpukul
3 Seperti perih
4 Seperti keram
5 Seperti tertekan atau tergesek
6 Seperti terbakar atau ditusuk-tusuk
7–9 Sangat nyeri tetapi dapat dikontrol oleh klien
dengan aktivitas yang biasa dilakukan.
10 Sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol oleh
klien.
Keterangan : 1–3 (Nyeri ringan)
4–6 (Nyeri sedang)
7–9 (Nyeri berat)
10 (sangat nyeri)
4. Mekanisme Nyeri
1. Teori Gerbang
Teori Gate-Kontrol Mezack dan Wall dalam Potter & Perry (2012), teori pertama
yang menjelaskan bahwa nyeri memiliki komponen emosional dan kognitif serta
sensai secara fisik. Mereka juga mengusulkan bahwa mekanisme “gerbang” yang
berlokasi di sepanjang sistem saraf pusat dapat mengatur atau menghambat implus-
implus nyeri. Teori ini mengatakan bahwa implus-implus nyeri akan melewati
gerbang dalam posisi terbuka dan akan menghentikan ketika gerbang ditutup.
Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden
dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi
C melepaskan substansi P untuk menghantarkan impuls melalui mekanisme
pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal,
yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan
yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme
pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat
menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan
menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut
delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien
mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan 18 jika impuls nyeri dihantarkan ke otak,
terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf
desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu
pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup
mekanisme pertahanan dengan 19 menghambat pelepasan substansi P (Potter &
Perry, 2010).
2. Teori Spesifisitas
Bagian tertentu dari sistem saraf berperan dalam membawa nyeri dari reseptor
nyeri ke pusat nyeri di sistem saraf pusat. Sejumlah serabut saraf yang hanya (atau
secara maksimal) mengadakan respons terhadap stimulus yang berada dalam
kisaran noksius. Namun, keberadaan apa yang dinamakan sistem nyeri itu sendiri
tidak bisa menerangkan dengan baik semua tampilan nyeri klinik maupun
eksperimental. Nyeri alih (lokasi nyeri sering salah ditentukan) dan nyeri patologik
(misalnya neuralgia trigeminus yang timbul hanya oleh stimulus noksius ringan)
serta efek faktor emosi dan motivasional masih memerlukan penjelasan. Penjelasan
13 yang terbaik mencakup mekanisme seperti sumasi (summation) dan inhibisi
yang bekerja pada suatu gerbang (gate) yang mengendalikan perjalanan masukan
yang potensial menimbulkan nyeri (Walton & Torabinejad, 2008)
D. Konsep orif
1. Pengertian
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah suatu jenis operasi dengan
pemasangan internal fiksasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat
direduksi secara cukup dengan close reduction, untuk mempertahankan posisi yang
tepat pada fragmen fraktur (John C. Adams, 1992 dalam Potter & Perry, 2005).
Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan
tidak mengalami pergerakan. Internal fiksasi ini berupa intra medullary nail,
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur transvers.
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur bedah medis, yang
tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang
diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup
dan piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Brunner &
Suddart, 2003).
2. Tujuan ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Ada beberapa tujuan dilakukannya pembedahan Orif, antara lain:
1. Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas
2. Mengurangi nyeri.
3. Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan dalam lingkup
keterbatasan klien.
4. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang terkena
5. Tidak ada kerusakan kulit
3. Indikasi dan Kontraindikasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
1. Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani dengan
metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang memuaskan.
2. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur intraartikular
disertai pergeseran.
3. Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada struktur otot
tendon
3. Terdapat infeksi
6. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang
4. Latihan otot Pergerakan harus tetap dilakukan selama masa imobilisasi tulang,
tujuannya agar otot tidak kaku dan terhindar dari pengecilan massa otot akibat
Analisa situasi Efektivitas penggunaan cold pack untuk Mengatasi Nyeri Pasca Open
Reduction Internal Fixation (ORIF) di ruang Sakura RS. Pertamina Balikpapan
menggunakan pendekatan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats)
sebagai berikut :
1. Strength
Kekuatan dalam program inovasi yang akan dilaksanakan di ruang Sakura RS. Pertamina
Balikpapan antara lain :
a) Cold pack dapat dilakukan dengan mudah dan alat-alat yang digunakan mudah
didapatkan.
b) Perawat diruangan dapat berperan aktif dalam membantu pasien dan keluarga
dalam proses pemberian asuhan keperawatan demi tercapainya kemandirian pada
pasien post ORIF.
2. Weakness
a) Untuk pasien yang sensitif terhadap rasa dingin dapat menimbulkan rasa
ketidaknyamanan
b) Perawat harus selalu memonitor atau memantau waktu pemberian kompres dingin
yang akan membutuhkan waktu.
3. Opportunities
a) Mahasiswa Ners STIKes diberikan kesempatan untuk memaparkan EBN tentang
penggunaan cold pack untuk Mengatasi Nyeri Pasca Open Reduction Internal Fixation
(ORIF)
b) Terdapat pasien dengan kasus Pasien Pasca Open Reduction Internal Fixation
(ORIF) di ruang Sakura RS. Pertamina Balikpapan.
4. Threats
a) Adanya tuntutan akan pelayanan yang maksimal dan lebih profesional.
b) Adanya RS.Kompetitor yang juga mulai meningkatkan mutu layanan dan juga
kelengkapan peralatan medis dan penunjang.
c) Keluarga menolak karena tidak mengerti tentang prosedur yang akan dilakukan.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Pemberian kompres dingin dengan cold pack merupakan tindakan mandiri keperawatan
yang lebih efektif menurunkan nyeri post orif.
B. Saran
Setelah dilakukan seminar EBN tentang Efektifitas Penggunaan Cold Pack Untuk
Mengatasi Nyeri Pada Pasien Post Orif, diharapkan perawat ruang sakura khusunya dan
perawat di RS. Pertamina Balikpapan umumnya dapat mengaplikasikannya kepada
pasien post ORIF .
DAFTAR PUSTAKA
Arovah, N. I. (2010). Terapi Dingin (Cold Therapy) Dalam Penanganan Cedera Olahraga.
Diakses pada tanggal 17 April 2022.
Amanda. P.A (2017) Pengaruh Terapi Kompres Dingin Terhadap Nyeri Post Operasi ORIF (Open
Reduction Internal Fixation) pada Pasien Fraktur di RSD Dr. H. Koesnadi Bondowoso Diakses
pada tanggal 20 April 2022.
Agung. K (2016) Efektifitas Penggunaan Cold Pack Dibandingkan Relaksasi Nafas Dalam untuk
Mengatasi Nyeri Pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) Diakses pada tanggal 19 April
2022.
Fitra.M (2019) Efektifitas tehnik distraksi music klasik Mozart untuk mengurangi nyeri pada
pasien post operasi fraktur Diakses pada tanggal 19 April 2022.