Anda di halaman 1dari 29

ANALISA JURNAL EBN

DALAM INTERVENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


EFEKTIFITAS PENGGUNAAN COLD PACK DIBANDINGKAN DENGAN TEKNIK
RELAKSASI NAFAS DALAM UNTUK MENGATASI NYERI PADA PASIEN POST
ORIF DI RS. PERTAMINA BALIKPAPAN

KELOMPOK I A:

Anisa Rifa Mustika


Annisa Statira Tuti Ningsih

Evelyn Losung Wahyu Edy Yuwangga

Fifin Hartiwi Wenny Wijayanti

Leany Aprilia Yuneka Arifani

M. Taufik Atmaja

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA


PROGAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total atau sebagian
yang disebabkan oleh trauma fisik, kekuatan sudut, tenaga, keadaan tulang, dan
jaringan lunak (Price, 2012). Menurut data dari Depkes RI tahun 2015, dari sekian
banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan
memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%.

Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi


serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Penatalaksanaan fraktur dengan reduksi
salah satunya adalah tindakan operatif yaitu dengan dilakukannya Open Reduction
internal fixation (ORIF). Pasien dengan diagnosa fraktur umumnya dilakukan tindakan
pembedahan yaitu dilakukan ORIF ataupun Open Reduction External Fixation (OREF)
tetapi ada juga yang dilakukan traksi terutama kasus fracture colum femur. Fraktur
dapat terjadi pada semua tingkat usia dan dapat menimbulkan perubahan yang
signifikan pada kualitas hidup individu. Perubahan yang ditimbulkan diantaranya
terbatasnya aktivitas, karena rasa nyeri akibat rusaknya saraf motorik dan sensorik
pada luka fraktur atau luka syatan operasi. Proses pembedahan dalam tindakan ORIF
memberikan dampak yang harus dirasakan ketika proses pembedahan selesai yaitu
timbulnya rasa nyeri secara terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang
telah dimobilisasi.(Smeltzer, 2010).

Nyeri adalah kondisi yang dialami oleh pasien yaitu perasaan yang tidak
menyenangkan. Bersifat subjektif karena rasa nyeri pada setiap pasien berbeda-beda
dalam hal skala ataupun tingkatannya. Nyeri berkaitan dengan kerusakan aktual dan
potensial yang tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh ataupun
sering disebut dengan istilah distruktif dimana jaringan yang terkena memunculkan
perasaan seperti tertusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi dan perasaan takut serta
mual.

Kejadian yang tidak nyaman tersebut menyebabkan kondisi pasien mengalami


guncangan secara fisik dan psikis yang dapat berakibat buruk terhadap pasien.
Manajemen nyeri dibedakan menjadi 2 yang didasari dari teknik yang dilakukan yaitu
secara farmakologi dan nonfarmakologi. Selain manajemen nyeri farmakologis saat ini
juga dikembangkan manajemen nyeri non farmakologis, diantaranya berupa
penggunaan teknik distraksi teknik relaksasi, hypnosis,Transcutaneous Electrical
Nerve Stimulation (TENS).pemijatan, tusuk jarum, aroma terapi, serta kompres hangat
dan dingin .Efektifitas kompres dingin dengan menggunakan metode yang bervariasi
telah banyak diteliti dan diaplikasikan dalam setting pelayanan keperawatan.

Kompres dingin sebagai alternatif penanganan nyeri pada pasien dengan nyeri ringan
ataupun sedang tidak digunakan lagi dalam panduan penanganan nyeri. Penanganan
nyeri ringan lebih menggunakan tehnik relaksasi nafas dalam, sedangkan pada nyeri
sedang dan berat menggunakan terapi obat dalam menangani nyeri. Saat ini telah
dikembangkan Cold Pack sebagai pengganti biang es (Dry Ice) atau es batu. Dalam
praktek klinik keperawatan kompres dingin masih digunakan dalam mengatasi nyeri,
karena merupakan tindakan mandiri perawat dalam mengatasi nyeri.

Cold Pack adalah pengganti biang es (Dry Ice) atau es batu. Bentuknya berupa gel
dalam kontener yang tidak mudah pecah atau bocor. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan tehnologi di dunia kesehatan telah banyak digunakan cold pack sebagai media
untuk melakukan kompres dingin maupun kompres hangat. (Metules, 2007). Cold
pack mempunyai beberapa keunggulan dibanding dengan es batu. Jika es batu
digunakan ia akan habis dan berubah menjadi gas karbon diosida, sehingga hanya
dapat digunakan sekali saja. Cold Pack dapat digunakan berkali-kali dengan hanya
mendinginkan kembali kedalam lemari pembuat es (Freezer). Cold Pack merupakan
produk alternatif pengganti Dry Ice & Es Batu. Ketahanan beku bisa mencapai 8-12
jam tergantung box yang di gunakan, pemakaiannya dapat berulang-ulang selama
kemasan tidak bocor (rusak).

Beberapa penelitian yang mendukung diantaranya dilakukan oleh Lewis & Miller
(2008) dan Block (2010) terkait efektifitas Cold Pack dalam megurangi nyeri pada
kasus ortopaedi ringan, sedangkan pada kasus ortopaedi berat menggunakan
perendaman air es. Penelitian lain yang mendukung telah dilakukan oleh Market &
Summer (2011) dan Sheik et al.(2015) yang mebedakan efektifitas Cryoterapi
( kompres dingin) dengan penggunaan bebat, obat epidural dan narkotik. Kompres
dingin ini juga tidak mengganggu pembuluh darah perifer dan tidak menyebabkan
kerusakan jaringan kulit apabila perendaman dilakukan sesuai prosedur.

Efektifitas tehnik relaksasi nafas dalam menurunkan nyeri juga banyak diteliti
diantaranya penelitian Chandra, (2013) menyatakan bahwa tehnik relaksasi nafas
dalam dikombinasikan dengan Guided Imagery dapat menurunkan nyeri hebat pada
pasien post Sectio Caesare menjadi nyeri sedang atau ringan. Penelitian lain dilakukan
oleh Byung, (2015) menyatakan relaksasi nafas dalam 7 dikombinasikan dengan
Proprioceptive Neuron Facilitation (PNF) dapat menurunkan nyeri pada pasien frozen
shoulder.

2. TUJUAN

Tujuan dari penyampaian materi dari seminar Evidence Based Nursing ini adalah :
1. Mengetahui “Efektifitas Penggunaan Cold Pack untuk Mengatasi Nyeri Pada
Pasien Post Orif ”.
2. Petugas kesehatan terutama di ruang rawat inap Rumah Sakit Pertamina
Balikpapan mampu menerapkan dan menjelaskan Efektifitas Penggunaan Cold
Pack untuk Mengatasi Nyeri Pada Pasien Post Orif”
BAB II
ANALISA JURNAL
A. Jurnal Utama

1. Judul jurnal
Efektivitas penggunaan cold pack dibandingkan dengan teknik relaksasi nafas
untuk mengatasi nyeri pada pasien post orif
2. Peneliti
Agung Kristanto, Fitri Arofiati
3. Populasi, sampel dan tehnik sampling
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien fraktur yang mendapat
perawatan di RSI Siti Khadijah Palembang. Sampel penelitian ini adalah 30
responden yang sedang menjalani perawatan di RS . Tehnik sampling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sampling purposive sampling.
4. Desain Penelitian
Desain Penelitian ini merupakan desain Pra-eksperimental dengan cara melibatkan
satu kelompok subjek, dengan rancangan One Group pretest-posttest.
5. Instrument yang digunakan
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pengukuran skala
nyeri menggunakan Numeric Rating Scale dengan skala 0 (tidak nyeri), 1-3 (nyeri
ringan) dan 4-6 (nyeri sedang).
6. Uji statistik yang digunakan
Hasi uji wilcoxon didapatkan (p-value=0.001) ) < α (0,05) . Untuk
membandingkan data sebelum dan sesudah dilakukan dengan intervensi.

B. Jurnal pendukung
1. Judul jurnal
Pengaruh kompres dingin terhadap tingkat persepsi nyeri insersi arteriovenosa
fistula pada pasien hemodialisa
2. Peneliti
Endiyono , Meida Laely Ramdani

3. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pre-test dan post-test yang dilakukan pada reponden kompres
dingin terhadap tingkat persepsi nyeri saat dilakukan insersi arteriovenosa fistula
pada pasien hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga sebanyak 15
responden (3,66) diketahui bahwa nyeri pada kelompok yang tidak mengalami
intervensi diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa hampir sebagian responden
berada pada tingkat persepsi nyeri 3. Dampak dari nyeri yang dialami pasien akan
membuat pasien cemas saat akan dilakukan insersi. Kecemasan yang dialami
pasien sebelum dilakukan insersi berkontribusi terhadap peningkatan skala nyeri
pada saat dilakukan pemasangan AV shunt. Tingkat persepsi nyeri kelompok
dengan kompres dingin (post test) diperoleh bahwa menunjukkan bahwa sebagian
responden berada pada tingkat persepsi nyeri 2 artinya nyeri berkurang setelah
mendapatkan kompres dingin.

Pada hasil penelitian ini membuktikan bahwa Kompres dingin terbukti efektif
dalam menurunkan persepsi nyeri pada pasien dengan insersi AV shunt. Hasil
penelitian ini didukung hasil penelitian Sabhita (2018) tentang pengaruh kompres
dingin terhadap penurunan nyeri pada insersi arterivenosa fistula menunjukan
penurunan nyeri. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sabhita dilakukan kompres
dengan ice massage pada lokasi large intestine 4 kontralateral selama 10 menit
setelah dilakukan insersi menunjukkan penurunan nyeri yang sangat signifikan.

C. Analisa PICO

1. Problem
Nyeri merupakan masalah utama pasien pada pasien post operasi yang
penatalaksanaannya dapat dilakukan secara farmakologis dan non farmakologis.
Salah satu upaya non farmakologis yang dapat dilakukan adalah menggunakan
cold pack sebagai salah satu inovasi kompres dingin.
Kompres dingin adalah suatu metode dalam penggunaan suhu rendah setempat
yang dapat menimbulkan beberapa efek fisiologisi. Terapi dingin diperkirakan
menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf
sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang
bekerja adalah bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi
nyeri. Salah satu alasan kompres dingin tidak masuk dalam panduan penanganan
nyeri karena kompres dingin tidak efisiensi waktu. Faktor kenyamanan juga
mempengaruhi proses pemberian kompres dingin karena pasien menjadi basah
oleh es batu yang mencair. Namun demikian pemberian perlakuan kompres dingin
tidak mengganggu pembuluh darah perifer dan tidak menyebabkan kerusakan
jaringan kulit apabila perendaman dilakukan sesuai prosedur.

2. Intervention
Intervensi kompres dengan cold pack dilakukan setelah pasien pulih kesadarannya
pasca operasi dan diintervensi kompres dengan cold pack selama 15 menit dan
kemudian dilepas selama 15 menit. Sebelum kompres dilepas dilakukan
pengukuran skala nyeri dengan skala VAS.Siklus pengompresan dengan cold pack
diatas diulang sampai sampai 4 kali siklus pengompresan atau selama 2
jam.Pengompresan dengan cold pack pada tahap analgetik II dilakukan kurang
lebih 3-4 jam setelah pemberian obat di bangsal. Proses pengompresan dan
pengukuran skala nyeri seperti pada siklus pertama. Proses pemberian intervensi
relaksasi nafas dalam juga dilakukan setelah pasien sadar kurang lebih 3-4 jam dan
tidak dalam pengaruh obat anastesi (analgetik I) pasien diajari dan diminta untuk
melakukan tehnik relaksasi nafas selama 15 menit kemudian setelah 15 menit
dilakukan pengukuran skala nyeri dengan skala VAS. Siklus pemberian relaksasi
nafas dalam diulang sampai sampai 4 kali siklus. Relaksasi nafas dalam pada
analgetk II juga dilakukan 3-4 jam setelah pemberian obat analgetik.

3. Comparison
1. Judul jurnal pembanding
Efektifitas tehnik distraksi music klasik Mozart untuk mengurangi nyeri pada
pasien post operasi fraktur
2. Peneliti
Fitra mayenti, yusnita sari
3. Hasil
Rata rata derajat nyeri pada kelompok eksperimen sebelum diberi perlakuan
adalah 6.71 dan sesudah diberikan perlakuan adalah 2.66 rata-rata nyeri pada
kelompok kontrol sebelum adalah 6.35. Ada pengaruh pemberian terapi musik
klasik Mozart untuk mengurangi nyeri pada pasien post operasi di Ruang
Dahlia RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dengan P value 0.000 < 0.05

4.Outcome
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Hasil uji independen t-test
menunjukkan perbedaan yang kecil rasa nyeri post analgetik I antara kelompok
cold pack (5,33 poin) dengan relaksasi nafas dalam (5,4 poin) sebelum
dilakukan kompres dingin cold pack dan relaksasi nafas dalam. Hal tersebut
berati sebelum mendapat intervensi baik dengan cold pack maupun relaksasi
nafas dalam, kondisi nyeri pasien hampir sama. Setelah diintervensi, terdapat
selisih dari pengukuran 1 - 4yang bermakna secara statistik (p <0,05 . hal ini
menunjukkan cold pack lebih efektif menurunkan nyeri pasca operasi.
BAB III
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Kompres dingin


1. Definisi
Menurut Tansuri (2019) kompres dingin adalah suatu metode penurun nyeri dengan
menggunakan suhu rendah sehingga dapat memberikan efek fisiologis yang berarti
pada daerah nyeri. Umtuk menurunkan nyeri, dianjurkan suhu saat mengompres tidak
terlalu dingin karena dapat menyebabkan frost bite serta rasa yang tidak nyaman.

Terapi kompres dingin merupakan penggunaan es atau cold gel pack secara aman
pada sisi anatomis dengan balutan elastis (Block,2010). Terapi kompres dingin
memiliki variasi metode, yang paling modern adalah penggunaan cryo-pad dan yang
paling sederhana adalah kompres dingin es atau cold pack dikombinasikan dengan
elastis perban.

2. Manfaat Kompres Dingin


Menurut Mubarak, Indrawati, dan Susanto (2015), secara umum tujuan dari
penggunaan kompres dingin adalah:
a. Menurunkan suhu tubuh pada kasus hipertermi
b. Mencegah peradangan meluas
c. Mengurangi kongesti
d. Mengurangi perdarahan lokal
e. Mengurangi rasa sakit lokal
f. Agar luka menjadi bersih

Beberapa kondisi yang dapat ditangani dengan terapi dingin adalah:


a. Cedera (sprain, strain, dan kontusi)
b. Sakit kepala
c. Suhu tinggi
d. Radang
e. Memar
f. Nyeri sendi dan lutut
g. Pasca tonsillectomy
h. Batuk/muntah darah
i. Luka tertutup atau terbuka

Terapi kompres dingin berperan mempercepat proses penyembuhan dengan berbagai


indicator. Indicator proses penyembuhan antara lain nyeri, edema, rentang gerak
sendi, dan lama hari rawat. Terapi kompres dingin secara langsung ditujukan untuk
bengkak, inflamasi, dan nyeri berkaitan dengan cedera dengan berbagai mekanisme
(Block, 2010).

3. Mekanisme Kompres Dingin


Aplikasi dingin dapat mengurangi sensitivitas dari akhiran saraf yang berakibat
terjadinya peningkatan ambang batas nyeri. Respon neurohormonal terhadap terapi
dingin adalah pelepasan endorphine, penurunan transmisi saraf sensoris, penurunan
aktivitas badan sel saraf, penurunan iritan yang merupakan limbah metabolisme sel,
dan peningkatan ambang nyeri (Arovah, 2010).

Prasetyo (2010) menjelaskan bahwa stimulasi kutaneus termasuk kompres dingin,


akan merangsang serabut-serabut saraf perifer untuk mengirimkan impuls melalui
dorsal horn pada medulla spinalis, saat impuls yang dibawa oleh serabut A-Beta
mendominasi maka mekanisme gerbang akan menutup sehingga impuls nyeri tidak
dihantarkan ke otak. Hal ini sesuai dengan teori gate control. Keuntungan teknik ini
adalah mudah untuk diimplementasikan pada klien, dan mudah untuk diajarkan pada
klien dan keluarga.

Menurut Arovah (2010), secara fisiologis pada 15 menit pertama setelah pemberian
aplikasi dingin pada suhu 100 C terjadi vasokontriksi arteriola dan venula secara
lokal. Vasokontriksi ini disebabkan oleh aksi reflek dari otot polos yang timbul akibat
stimulasi system saraf otonom dan pelepasan epinephrine dan norepinephrine.
Walaupun demikian apabila aplikasi dingin tersebut terus diberikan selama 15-30
menit akan timbul fase vasodilatasi yang terjadi intermitten selama 4 sampai 6 menit.
Periode ini dikenal sebagai respon hunting. Respon hunting terjadi untuk mencegah
terjadinya kerusakan jaringan akibat dari jaringan mengalami anoxia jaringan. Pada
5-12 menit pemberian aplikasi dingin akan menimbulkan respon anastesi relatif pada
kulit.
4. Jenis Aplikasi Kompres Dingin
Beberapa jenis aplikasi kompres dingin yang sering digunakan adalah:
a. Pijat es
Pijat es akan menghasilkan sensasi dingin yang signifikan dari kulit dan akan
meningkatkan aliran darah ke daerah tersebut. Dalam teknik ini dibutuhkan es,
lalu di gosokkan dengan gerakan melingkar bolak-balik selama 5 sampai 10
menit. Dengan pijat es, rasa sakit akan hilang 1-2 menit (Utami & Istanti, 2015).
Hajiamini (2012) dengan penelitiannya yang berjudul “Comparing The Effects of
Ice Massage and Acupressure on Labor Pain Reduction” menemukan bahwa
pijatan es lebih efektif menurunkan nyeri saat melahirkan jika dibandingkan
dengan akupresur.

b. Ice Pacs
Ice pacs adalah kantong es yang murah dan mempertahankan suhu dengan
konstan, sangat efektif untuk mendinginkan jaringan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Chandra Bagus Ropyanto yang berjudul “Pengaruh Cold
Compression Therapy terhadap Proses Penyembuhan Pasien Pasca Open
Reduction Internal Fixation (ORIF) Extremitas bawah” didapatkan pasien
merasa cukup nyaman dengan suhu ice cold pack serta menyatakan nyeri
berkurang (nyeri pre CCT 6,6 dan nyeri post CCT 3,2), edema berkurang (edema
pre CCT 49,3cm sedangkan edema post CCT 48,2cm), sirkulasi lebih lancar
danotot – otot nya berkurang ketegangannya (rentang gerak sendi pre CCT 25º
sedangkan rentang gerak sendi post CCT 44º). Seperti hal nya dengan penelitian
yang berjudul “Effect of Application of Ice Pack on Reducing Pain During The
Arterial Puncture” yang menemukan bahwa ice pack efektif menurunkan nyeri
pada tindakan pungsi arteri untuk pemeriksaan analisa gas darah (Khalil, 2017).

c. Contras Bath
Contras bath menggunakan air dingin dan panas, berfungsi untuk vasokontriksi
dan vasodilatasi sehingga dapat menurunkan edema dan cidera kronik. Pada
penelitian ini, terapi contras dilakukan selama 7 hari. Terapi contras dilakukan
dengan menggunakan handuk dan diletakkan mengelilingi daerah yang nyeri.
Tindakan ini dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore). Setiap kali melakukan
terapi ini, waktu yang digunakan adalah 20 menit, 4 menit dikompres air hangat,
1 menit tidak dikompres, dan 2 menit dikompres air dingin dan siklus ini
diulangi sebanyak 3 kali (Utami & Istanti, 2015).

d. Ice Gel Pacs


Ice Gel Pacs mengandung gelatin yang tersimpan di dalam kantong plastik. Suhu
paket ini adalah 50C. Karena kantong ini hampir berada disuhu 00C, maka dapat
menyebabkan radang jika digunakan dengan tidak tepat. Handuk atau baju basah
sebaiknya diletakkan diantara kantong dan kulit untuk mencegah peradangan dan
menjaga kebersihan kantong. Hal ini dilakukan selama 15 – 20 menit (Utami &
Istanti, 2015). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ramdhanie & Nugraha
(2018) yang berjudul “Kompres Dingin Menggunakan Cool Pack Efektif
Menurunkan Nyeri Saat Tindakan Pungsi Vena Pada Anak Usia Sekolah”
mendapatkan kesimpulan bahwa sebagian besar anak mengalami sedikit nyeri
setelah diberikan cool pack yang berisi gel.

5. Kontra Indikasi Terapi Dingin


a. Raynaud’s Syndrome yang merupakan kondisi dimana terdapat hambatan pada
arteri terkecil yang menyalurkan darah ke jari tangan dan kaki ketika terjadinya
dingin atau emosi. Pada keadaan ini timbul sianosis yang apabila berlanjut
dapat mengakibatkan kerusakan anggota tubuh perifer.
b. Vasculitis (peradangan pembuluh darah)
c. Gangguan sensasi saraf misal neuropathy akibat diabetes mellitus maupun
leprosy.
d. Cryoglobulinemia yang merupakan kondisi berkurangnya protein dalam darah
yang menyebabkan darah akan berubah menjadi gel bila kena dingin.
e. Paroxysmal cold hemoglobinuria yang merupakan suatu kejadian pembentukan
antibody yang merusak sel darah merah bila tubuh dikenai dingin.

6. Resiko Terapi Dingin


Bila terapi dingin akan dilakukan dalam jangka waktu yang lama, hal ini akan
menyebabkan :
a. Hypotermia yang merupakan suatu kondisi medis dimana suhu tubuh menurun
secara cepat di bawah suhu normal, sehingga merusak metabolisme tubuh.
b. Excema kulit dapat terjadi pada pendinginan kulit selama 1 jam pada suhu 00C –
90C. Excema ini dapat bertahan selama sampai dengan 24 jam.
c. Frosbite yang merupakan kondisi medis dimana kulit dan jaringan tubuh rusak
karena suhu dingin. Frostbite (rusaknya anggota tubuh perifer) dapat terjadi pada
suhu -30 s/d 40C.

7. Penatalaksanaan
Aplikasi cold compression yang paling sederhana, murah, dan mungkin dilakukan
diruangan adalah kompres dingin dengan ice cold pack serta kompresi dengan elastis
verban
Cold compression therapy merupakan kombinasi antara terapi dingin dan kompresi
balutan pada area pembedahan. Cold compression therapy merupakan penggunaan es
atau cold gel pack secara aman pada sisi anatomis dengan balutan elastis (Block,
2010).
a. Persiapan alat :
1) Ice cool pack suhu 2’C-5’C
2) Tissue / kain yang mudar menyerap air
3) Alkohol dan chlorhexidine 2%
4) Elastis verband

b. Langkah-langkah :
1) Terapi dingin dilakukan dengan kompres es, dilakukan saat 24 – 48 jam
pasca operasi sebanyak 3 kali perhari dalam waktu 15 menit.
2) Lakukan pengukuran awal tingkat nyeri, edema, dan rentang gerak sendi.
3) Desinfektan ice cool pack dengan alkohol dan chlorhexidine 2 %.
4) Bungkus ice cold pack dengan tissue / kain yang mudah menyerap air
5) Kompres dilakukan pada area sekitar luka pasca operasi tanpa membuka
elastis verban
6) Lakukan kompres ice cool pack selama 15 menit .
7) Saat dilakukan kompres, respon pasien dan sensasi suhu ice cold pack
dimonitor.
8) Setelah selesai kompres ice cold pack dilakukan, disinfektan ice cool pack
dengan alkohol dan chlorhexidine 2 %., simpan kembali di freezer
9) Terapi dingin yang dilakukan dengan kompres es dilakukan saat 24 – 48 jam
pasca operasi sebanyak 3 kali perhari dalam waktu 15 menit
10) Lakukan evaluasi pengukuran akhir tingkat nyeri, edema, dan rentang gerak
sendi.

B. Konsep Nyeri
Associatione for the Study of Pain menyatakan nyeri merupakan pengalaman
emosional dan sensori yang tidak menyenangkan yang muncul dari kerusakan jaringan
secara aktual atau potensial atau menunjukkan adannya kerusakan. (Maryunani, 2010).

Rasa sakit atau nyeri adalah informasi dari tubuh ke otak yang menyatakan atau
meminta kita untuk lebih perhatian dan waspada karena ada sesuatu yang
mengganggu. Ada tiga komponen d
asar dalam rasa nyeri atau sakit yaitu komponen sensori atau komponen fisik yaitu
bagaimana rasa nyeri atau sakit tersebut dirasakan secara nyata dari tubuh, komponen
afektif atau emosi yang berhubungan tentang rasa/perasaan saat rasa nyeri dating, dan
komponen kognitif/pemikiran, yang memikirkan jenis nyeri yang dirasakan. (Aprillia
Yesie, 2014)

1. Jenis nyeri
a. Nyeri akut
Menurut NANDA (2012) nyeri akut adalah pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan
yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan jaringan;
awitan yang tiba – tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan
akhir yag dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.

b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang di
perkirakan dan sering tidak dapat di kaitkan dengan penyebab atau cidera
spesifik. Nyeri kronis sering di definisikan sebagai nyeri yang berlangsung
selama enam bulan atau lebih, meskipun enam bulan merupakan suatu periode
yang dapat berubah untuk membadakan nyeri akut dan nyeri kronis (Smeltzer
dan Bare, 2002).

2. Skala nyeri

Pengukuran Skala Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah
nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat
berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran
nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan
respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan
tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri
(Tamsuri, 2007).

Ada beberapa macam untuk mengukur skala nyeri pasien, antara lain:

a. Skala penilaian numeric/ Numeric Rating Scale (NRS)

Skala ini menggunakan angka 0 sampai dengan 10 untuk menggambarkan


tingkat nyeri. NRS lebih bermanfaat pada periode post operasi, karena selain
angka 0-10 penilian berdasarkan kategori nyeri juga dilakukan pada penilaian
ini. Skala 0 dideskripsikan sebagai tidak ada nyeri, skala 1-3 dideskripsikan
sebagai nyeri ringan yaitu ada rasa nyeri (mulai terasa tapi masih dapat
ditahan). Lalu skala 5-6 dideskripsikan sebagai nyeri sedang yaitu ada rasa
nyeri, terasa mengganggu dengan usaha yang cukup kuat untuk menahannya.
Skala 7-10 dideskripsikan sebagai nyeri berat yaitu ada rasa nyeri, terasa sangat
mengganggu atau tidak tertahankan sehingga sampai meringis, menjerit atau
berteriak. Penggunaan NRS direkomendasikan untuk penilaian skala nyeri post
operasi. NRS dikembangkan dari VAS dapat digunakan dan sangat efektif
untuk pasien -pasien pembedahan, post anestesi awal dan sekarang digunakan
secara rutin untuk pasien-pasien yang mengalami nyeri di unit post operasi
(McCaffrey &Bebbe, 1993 dalam Novita, 2012) dalam penelitian ini
menggunakan NRS sebagai skala pengukuran untuk menilai nyeri pasien post
operasi ORIF

Gambar 2.1 Numeric Rating Scale (NRS)

Keterangan:
0 = Tidak terasa sakit

1 (sangat ringan) = Nyeri sangat ringan, seperti gigitan nyamuk. Sebagian besar
waktu anda tidak pernah berpikir tentang rasa sakit.

2 (tidak menyenangkan) = Nyeri ringan, seperti cubitan ringan pada kulit.

3 (bisa ditoleransi) = Nyeri sangat terasa, seperti pukulan kehidung


menyebabkan hidung berdarah, atau suntikan oleh dokter.

4 (menyedihkan) = Kuat, nyeri yang dalam, seperti sakit gigi atau rasa sakit
dari sengatan lebah.

5 (sangat menyedihkan) = Kuat, dalam, nyeri yang menusuk, seperti


pergelangan kaki terkilir.

6 (intens) = Kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat sehingga tampaknya
memengaruhi sebagian indra anda, menyebabkan tidak fokus, komunikasi
terganggu.

7 (sangat intens) = Sama seperti 6 kecuali bahwa rasa sakit benar-benar


mendominasi indra Anda menyebabkan tidak dapat berkomunikasi dengan baik
dan tak mampu melakukan perawatan diri.

8 (benar-benar mengerikan) = Nyeri begitu kuat sehingga Anda tidak lagi dapat
berpikir jernih, dan sering mengalami perubahan kepribadian yang parah jika
sakit datang dan berlangsung lama.

9 (menyiksa tak tertahankan) = Nyeri begitu kuat sehingga Anda tidak bisa
mentolerirnya dan sampai-sampai menuntut untuk segera menghilangkan rasa
sakit apapun caranya, tidak peduli apa efek samping atau resikonya.

10 (sakit tak terbayangkan tak dapat diungkapkan) = Nyeri begitu kuat tak
sadarkan diri
b. Skala wajah/ Faces Rating Scale

Skala wajah biasanya digunakan oleh anak-anak yang berusia kurang dari 7
tahun. Pasien diminta untuk memilih gambar wajah yang sesuai dengan
nyerinya. Pilihan ini kemudian diberi skor angka.

Gambar 2.2 Faces Rating Scale

3. Nyeri Post Operasi ORIF

Tindakan pembedahan merupakan salah satu jenis penatalaksanaan pada fraktur


untuk mereposisi tulang yang patah. Tindakan pembedahan ini dapat menyebabkan
rasa nyeri sehingga berisiko menimbulkan komplikasi yang serius dan menghambat
proses pemulihan pasien jika tidak dilakukan manajemen nyeri dengan baik. Pasien
fraktur ekstremitas memiliki tingkat nyeri dan intensitas nyeri lebih tinggi,
peningkatan resiko depresi dan kecemasan 3 bulan pasca kejadian serta beresiko
mengalami nyeri kronis pada waktu 7 tahun. Kategori nyeri yang dialami pasien 86
% dalam kategori nyeri sedang dan berat. Nyeri setelah operasi disebabkan oleh
rangsangan mekanik luka yang menyebabkan tubuh menghasilkan mediator-
mediator kimia nyeri. Mediator kimia dapat mengaktivasi nociceptor lebih sensitif
secara langsung maupun tidak langsung sehingga menyebabkan hiperalgesia. Nyeri
pasca operasi fraktur akan berdampak pada sistem endokrin yang akan meningkatkan
sekresi cortisol, katekolamin dan hormon stres lainnya. Respon fisiologis yang
berpengaruh akibat nyeri adalah takikardia, peningkatan tekanan darah, perubahan
dalam respon imun dan hiperglikemia. Nyeri juga menyebabkan pasien takut untuk
bergerak sehingga beresiko terjadi trombosis vena dalam, atelektasis paru,
mengurangi pergerakan usus dan retensi urin. Resiko masalah – masalah pasca
operasi fraktur tersebut dapat diminimalkan jika pasien dapat beradaptasi terhadap
nyeri yang dialaminya. Sasaran dari kebanyakan pembedahan ortopedi ORIF adalan
memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas, mengurangi
nyeri dan komplikasi (Smeltzer & Bare, 2010).

Sebagian besar pasien mempercayai bahwa 24 nyeri yang akan mereka alami saat
post operasi menimbulkan ketakutan tersendiri yang nantinya akan menentukan
perilaku mereka sebagai bagian dari mekanisme koping. Respon stress pembedahan
ini mengalami puncaknya saat post operasi yang efek utamanya pada jantung,
koagulasi darah, dan sistem imunitas (Rowlingson, 2009 dalam Novita, 2012).
Kemampuan pasien beradaptasi terhadap nyeri pasca operasi fraktur dipengaruhi
oleh manajemen nyeri yang dilakukan oleh perawat. Pada umumnya manajemen
nyeri dilakukan dengan pendekatan farmakologis dan non farmakologis (Smeltzer,
2008)
Pengukuran nyeri terdiri dari pengukuran komponen sensorik (intensitas nyeri) dan
pengukuran komponen afektif (toleransi nyeri).

1. Pengukuran komponen sensorik


Ada 3 metode yang umumnya digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri
yaitu Verbal Rating Scale (VRS), Visual Analogue Scala (VAS), dan
Numerical Rating Scale (NRS).

VRS adalah alat ukur yang menggunakan kata sifat untuk menggambarkan
level intensitas nyeri yang berbeda, range dari “no pain” sampai “nyeri hebat”
(extreme pain). VRS merupakan alat pemeriksaan yang efektif untuk
memeriksa intensitas nyeri. VRS biasanya diskore dengan memberikan angka
pada setiap kata sifat sesuai dengan tingkat intensitas nyerinya. Sebagai contoh,
dengan menggunakan skala 5-point yaitu none (tidak ada nyeri) dengan skore
“0”, mild (kurang nyeri) dengan skor “1”, moderate (nyeri yang sedang)
dengan skore “2”, severe (nyeri keras) dengan skor “3”, very severe (nyeri
yang sangat keras) dengan skore “4”. Angka tersebut berkaitan dengan kata
sifat dalam VRS, kemudian digunakan untuk memberikan skore untuk
intensitas nyeri pasien

Beberapa keterbatasan VRS adalah adanya ketidakmampuan pasien untuk


menghubungkan kata sifat yang cocok untuk level intensitas nyerinya, dan
ketidakmampuan pasien yang buta huruf untuk memahami kata sifat yang
digunakan.

Numeral Rating Scale adalah suatu alat ukur yang meminta pasien untuk
menilai rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala
numeral dari 0 – 10 atau 0 – 100. Angka 0 berarti “no pain” dan 10 atau 100
berarti “severe pain” (nyeri hebat). Dengan skala NRS-101 dan skala NRS-11
point, dokter/terapis dapat memperoleh data basic yang berarti dan kemudian
digunakan skala tersebut pada setiap pengobatan berikutnya untuk memonitor
apakah terjadi kemajuan.

VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri
dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai
dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung kanan
diberi tanda “bad pain” (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai
disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan
pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi
oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan level
intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan
pengobatan/terapi selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap
intensitas nyeri daripada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena
responnya yang lebih terbatas (Jensen et.al, 1986) .

Nyeri merupakan salah satu gangguan yang sering kita rasakan, namun sedikit
yang tau apakah nyeri kita termasuk ringan atau berat. Biasanya seorang dokter
akan menanyakan tingkat nyeri yang kita rasakan merdasarkan urutan angka
dari 0-10, sehinga terapi yang diberikan akan tepat pada sasaran, dan tidak
melebihi dosis yang dibutuhkan

Berikut ini ukuran skala nyeri dari 0-10

SKALA NYERI
0 Tidak nyeri
1 Seperti gatal, tersetrum / nyut-nyut
2 Seperti melilit atau terpukul
3 Seperti perih
4 Seperti keram
5 Seperti tertekan atau tergesek
6 Seperti terbakar atau ditusuk-tusuk
7–9 Sangat nyeri tetapi dapat dikontrol oleh klien
dengan aktivitas yang biasa dilakukan.
10 Sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol oleh
klien.
Keterangan : 1–3 (Nyeri ringan)
4–6 (Nyeri sedang)
7–9 (Nyeri berat)
10 (sangat nyeri)
4. Mekanisme Nyeri

1. Teori Gerbang

Teori Gate-Kontrol Mezack dan Wall dalam Potter & Perry (2012), teori pertama
yang menjelaskan bahwa nyeri memiliki komponen emosional dan kognitif serta
sensai secara fisik. Mereka juga mengusulkan bahwa mekanisme “gerbang” yang
berlokasi di sepanjang sistem saraf pusat dapat mengatur atau menghambat implus-
implus nyeri. Teori ini mengatakan bahwa implus-implus nyeri akan melewati
gerbang dalam posisi terbuka dan akan menghentikan ketika gerbang ditutup.
Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden
dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi
C melepaskan substansi P untuk menghantarkan impuls melalui mekanisme
pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal,
yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan
yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme
pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat
menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan
menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut
delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien
mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan 18 jika impuls nyeri dihantarkan ke otak,
terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf
desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu
pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup
mekanisme pertahanan dengan 19 menghambat pelepasan substansi P (Potter &
Perry, 2010).

2. Teori Spesifisitas

Bagian tertentu dari sistem saraf berperan dalam membawa nyeri dari reseptor
nyeri ke pusat nyeri di sistem saraf pusat. Sejumlah serabut saraf yang hanya (atau
secara maksimal) mengadakan respons terhadap stimulus yang berada dalam
kisaran noksius. Namun, keberadaan apa yang dinamakan sistem nyeri itu sendiri
tidak bisa menerangkan dengan baik semua tampilan nyeri klinik maupun
eksperimental. Nyeri alih (lokasi nyeri sering salah ditentukan) dan nyeri patologik
(misalnya neuralgia trigeminus yang timbul hanya oleh stimulus noksius ringan)
serta efek faktor emosi dan motivasional masih memerlukan penjelasan. Penjelasan
13 yang terbaik mencakup mekanisme seperti sumasi (summation) dan inhibisi
yang bekerja pada suatu gerbang (gate) yang mengendalikan perjalanan masukan
yang potensial menimbulkan nyeri (Walton & Torabinejad, 2008)

C. Relaksasi Nafas Dalam

1. Definisi terapi relaksasi nafas dalam

Terapi relaksasi nafas dalam merupakan pernafasan pada abdomen dengan


frekuensi lambat serta perlahan, berirama, dan nyaman dengan cara memejamkan
mata saat menarik nafas. Efek dari terapi ini ialah distraksi atau pengalihan
perhatian. (Hartanti, dkk, 2016). Mekanisme relaksasi nafas dalam pada sistem
pernafasan berupa suatu keadaan inspirasi dan ekspirasi pernafasan dengan
frekuensi pernafasan menjadi 6-10 kali permenit sehingga terjadi peningkatan
regangan kardiopulmonari. Terapi relaksasi nafas dalam dapat dilakukan secara
mandiri, relatif mudah dilakukan dari pada terapi nonfarmakologis lainnya, tidak
membutuhkan waktu lama untuk terapi, dan dapat mengurangi dampak buruk dari
terapi farmakologis bagi penderita hipertensi (Masnina & Setyawan, 2018).

2. Tujuan terapi relaksasi nafas dalam


Relaksasi napas dalam bertujuan untuk mengontrol pertukaran gas agar menjadi
efisien, mengurangi kinerja bernapas, meningkatkan inflasi alveolar maksimal,
meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola
aktivitas otot-otot pernapasan yang tidak berguna, melambatkan frekuensi
pernapasan, mengurangi udara yang terperangkap serta mengurangi kerja bernapas
(Bruner & Suddart, 2013).
3. Manfaat terapi relaksasi nafas dalam
Beberapa manfaat terapi relaksasi nafas dalam adalah sebagai berikut: (Wardani,
2015)
a. Ketentraman hati
b. Berkurangnya rasa cemas, khawatir dan gelisah
c. Tekanan darah dan ketegangan jiwa menjadi rendah
d. Detak jantung lebih rendah
e.Mengurangi tekanan darah
f. Meningkatkan keyakinan
g. Kesehatan mental menjadi lebih baik
4. Prosedur tindakan terapi relaksasi nafas dalam
Langkah-Langkah teknik terapi relaksasi nafas dalam menurut Wardani (2015)
sebagai berikut:
a. Ciptakan lingkungan yang tenang.
b. Usahakan tetap rileks dan tenang.
c. Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara melalui
hitungan.
d. Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan ekstremitas
atas dan bawah rileks.
e. Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali.
f. Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut secara
perlahan-lahan.
g. Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks.
h. Usahakan agar tetap konsentrasi.
i. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga benar-benar rileks.
j. Ulangi selama 15 menit, dan selingi istirahat singkat setiap 5 kali pernafasan.

D. Konsep orif
1. Pengertian
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah suatu jenis operasi dengan
pemasangan internal fiksasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat
direduksi secara cukup dengan close reduction, untuk mempertahankan posisi yang
tepat pada fragmen fraktur (John C. Adams, 1992 dalam Potter & Perry, 2005).
Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan
tidak mengalami pergerakan. Internal fiksasi ini berupa intra medullary nail,
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur transvers.
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur bedah medis, yang
tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang
diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup
dan piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Brunner &
Suddart, 2003).
2. Tujuan ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Ada beberapa tujuan dilakukannya pembedahan Orif, antara lain:
1. Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas
2. Mengurangi nyeri.
3. Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan dalam lingkup
keterbatasan klien.
4. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang terkena
5. Tidak ada kerusakan kulit
3. Indikasi dan Kontraindikasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

Indikasi tindakan pembedahan ORIF adalah:

1. Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani dengan
metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang memuaskan.

2. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur intraartikular
disertai pergeseran.

3. Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada struktur otot
tendon

Kontraindikasi tindakan pembedahan ORIF:

1. Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan

2. Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk

3. Terdapat infeksi

4. Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi.

5. Pasien dengan penurunan kesadaran

6. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang

7. Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)

4. Keuntungan dan Kerugian ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

Keuntungan dilakukan tindakan pembedahan ORIF:

1. Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.

2. Ketelitian reposisi fragmen-fragmen fraktur.

3. Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf di sekitarnya.

4. Stabilitas fiksasi yang cukup memadai dapat dicapai

5. Perawatan di RS yang relatif singkat pada kasus tanpa komplikasi.

6. Potensi untuk mempertahankan fungsi sendi yang mendekati normal

serta kekuatan otot selama perawatan fraktur.


5. Perawatan Post Operasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Dilakukan
utnuk meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan pada bagian yang sakit. Dapat
dilakukan dengan cara:

1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi.

2. Meninggikan bagian yang sakit untuk meminimalkan pembengkak.

3. Mengontrol kecemasan dan nyeri (biasanya orang yang tingkat kecemasannya

tinggi, akan merespon nyeri dengan berlebihan)

4. Latihan otot Pergerakan harus tetap dilakukan selama masa imobilisasi tulang,

tujuannya agar otot tidak kaku dan terhindar dari pengecilan massa otot akibat

latihan yang kurang.

5. Memotivasi klien untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan menyarankan

keluarga untuk selalu memberikan dukungan kepada klien.


BAB IV
ANALISA SWOT

Analisa situasi Efektivitas penggunaan cold pack untuk Mengatasi Nyeri Pasca Open
Reduction Internal Fixation (ORIF) di ruang Sakura RS. Pertamina Balikpapan
menggunakan pendekatan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats)
sebagai berikut :
1. Strength
Kekuatan dalam program inovasi yang akan dilaksanakan di ruang Sakura RS. Pertamina
Balikpapan antara lain :
a) Cold pack dapat dilakukan dengan mudah dan alat-alat yang digunakan mudah
didapatkan.
b) Perawat diruangan dapat berperan aktif dalam membantu pasien dan keluarga
dalam proses pemberian asuhan keperawatan demi tercapainya kemandirian pada
pasien post ORIF.
2. Weakness
a) Untuk pasien yang sensitif terhadap rasa dingin dapat menimbulkan rasa
ketidaknyamanan
b) Perawat harus selalu memonitor atau memantau waktu pemberian kompres dingin
yang akan membutuhkan waktu.
3. Opportunities
a) Mahasiswa Ners STIKes diberikan kesempatan untuk memaparkan EBN tentang
penggunaan cold pack untuk Mengatasi Nyeri Pasca Open Reduction Internal Fixation
(ORIF)
b) Terdapat pasien dengan kasus Pasien Pasca Open Reduction Internal Fixation
(ORIF) di ruang Sakura RS. Pertamina Balikpapan.
4. Threats
a) Adanya tuntutan akan pelayanan yang maksimal dan lebih profesional.
b) Adanya RS.Kompetitor yang juga mulai meningkatkan mutu layanan dan juga
kelengkapan peralatan medis dan penunjang.
c) Keluarga menolak karena tidak mengerti tentang prosedur yang akan dilakukan.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Pemberian kompres dingin dengan cold pack merupakan tindakan mandiri keperawatan
yang lebih efektif menurunkan nyeri post orif.

B. Saran
Setelah dilakukan seminar EBN tentang Efektifitas Penggunaan Cold Pack Untuk
Mengatasi Nyeri Pada Pasien Post Orif, diharapkan perawat ruang sakura khusunya dan
perawat di RS. Pertamina Balikpapan umumnya dapat mengaplikasikannya kepada
pasien post ORIF .
DAFTAR PUSTAKA
Arovah, N. I. (2010). Terapi Dingin (Cold Therapy) Dalam Penanganan Cedera Olahraga.
Diakses pada tanggal 17 April 2022.

Amanda. P.A (2017) Pengaruh Terapi Kompres Dingin Terhadap Nyeri Post Operasi ORIF (Open
Reduction Internal Fixation) pada Pasien Fraktur di RSD Dr. H. Koesnadi Bondowoso Diakses
pada tanggal 20 April 2022.

Agung. K (2016) Efektifitas Penggunaan Cold Pack Dibandingkan Relaksasi Nafas Dalam untuk
Mengatasi Nyeri Pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) Diakses pada tanggal 19 April
2022.
Fitra.M (2019) Efektifitas tehnik distraksi music klasik Mozart untuk mengurangi nyeri pada
pasien post operasi fraktur Diakses pada tanggal 19 April 2022.

Anda mungkin juga menyukai