Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kulian Patofisiologi yang diampu oleh
Oleh :
Kelompok 3
Tingkat I- B
2020
Pengertian Penyakit Defisiensi Imun
Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan aneka penyakit yang karena memiliki
satu atau lebih ketidaknormalan sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi meningkat.
Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan penyakit lain yang mengganggu sistem
imun, dan banyak yang merupakan akibat kelainan genetik dengan pola bawaan khusus.
Defisiensi imun sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain, umur, trauma, atau
pengobatan.
Imunodefisiensi dapat terjadi akibat gangguan fungsi sebagian atau semua sel darah
putih. Protein komplemen dan koagulasi dapat mengalami defisiensi titik defisiensi imun dan
peradangan dapat bersifat kongenital ( terdapat sejak lahir ) atau didapat setelah infeksi,
penyakit, atau stres berkepanjangan. Defisiensi imun dan peradangan menghambat
kemampuan tubuh untuk berespons terhadap infeksi atau cedera.
SCIDS biasanya bersifat fatal pada masa anak-anak awal. Rekayasa genetik,
yang memperbaiki gen yang hilang atau defektif, mungkin suatu hari dapat
menyembuhkan penyakit ini. imunodefisiensi kongenital juga dapat terjadi apabila
seseorang lahir tanpa antigen tertentu. Tanpa antigen HLA, terjadi gangguan
penyajian HLA ke sel T penolong sehingga terjadi kegagalan fungsi imun sel T. Hal
ini biasanya menyebabkan kematian pada awal masa anak-anak.
Pertimbangan Geriatrik
Defek genetik
Kelainan kromosom
Infeksi
Imunodefisiensi transien (pada campak dan varicella )Imunodefisiensi permanen (infeksi HIV,
infeksi rubella kongenital)
Akibat Imunodefisiensi
Orang yang imunodefisiensi akan berulang kali menderita penyakit infeksi yang parah
dan tidak lazim dan sering tidak dapat melawannya. Orang dengan defisiensi sel T sering
menderita infeksi ragi dan virus, sementara pengidap defisiensi sel B terutama rentan
terhadap infeksi oleh bakteri yang secara normal memerlukan opsonisasi. Virus HIV
menghancurkan sel- sel T penolong (T4) dan juga menginfeksi sel darah putih lainnya.
1. Albinisme
Definisi albinisme
Albinisme merupakan suatu penyakit keturunan yang jarang ditemukan dimana tubuh tidak
dapatmembentuk melanin. Orang yang menderita albinisme disebut albino. Oculocutaneus albinism
adalah kelainan warisan pada pola autosomal recessive. Terdapat pengurangan pigmen pada kulit,
mata dan rambut. Ada beberapa gen mutan yang menunjukkan hasil dalam bentuk berbeda dari
oculocutaneus albinism. Dua bentuk yang paling umum adalah dibedakan dengan ada atau tidak
adanya enzim tyrosinase yang sangat penting untuk produksi pigmen melanin. Tipe- tipe dari
albinisme dikenal sebagai albinisme total dan tidak total.
Albinisme dalam keadaan normal, suatu asam amino disebut tyrosin oleh tubuh diubah menjadi
pigmen (zat warna) melanin. Albinisme terjadi jika tubuh tidak mampu menghasilkan atau
menyebarluaskan melanin karena beberapa penyebab. Secara khusus kelainan metabolisme tyrosin
menyebabkan kegagalan pembentukan melanin sehingga terjadi albisenisme. Albinisme bisa
diturunkan melalui beberapa pola yaitu resesif autosom, dominan autosom dan X-linked.
Penyebab
Albinisme ini di sebabkan oleh alel resesif yang di temukan pada autosom. Seorang anak
albino dapat lahir dari pasangan orang tua yang keduanya nomal heterozigot atau dari pasangan
normal dan albino.Beberapa gen memberikan instruksi untuk membuat satu dari beberapa protein
yang terlibat dalam produksi melanin. Melanin diproduksi oleh sel-sel yang disebut melanosit, yang
ditemukan di kulit, rambut, dan mata Anda.
Albino disebabkan oleh mutasi salah satu gen tersebut. Berbagai jenis albinisme dapat terjadi,
terutama berdasarkan mutasi gen yang menyebabkan kelainan tersebut. Mutasi itu dapat
menyebabkan berkurang atau tidak ada melanin sama sekali.
Albinisme total terjadi jika sama sekali tidak ditemukan pigmen pada rambut, mata, kulit (disebut
juga albinisme okulakutaneus tanpa tirosin ) sehingga rambutnya putih, matanya pink, dan
kulitnya pucat merupakan jenis albinisme paling berat. Penderita albinisme memiliki rambut, kulit
dan iris mata putih disertai gangguan penglihatan. Penderita juga mengalami fotofobia (takut sinar
matahari) dan mudah mengalami luka bakar karena matahari serta bisa menderita kanker kulit
karena tidak memiliki melanin yang berfungsi melindungi kulit terhadap sinar matahari.
Defek berupa tidak adanya sel B matang karena adanya mutasi gen tirosin-kinase
yang diekspresikan pada sel B muda. Pra-sel B ditemukan dalam jumlah normal
dalam sumsum, tetapi sentrum germinativum kelenjar limfe dan limpa tidak
ditemukan, sel plasma tidak ditemukan pada semua jaringan.
Jumlah sel T dan fungsinya normal.
Tanpa alasan yang jelas, penderita menunjukkan kelainan autoimun jaringan ikat yang
meningkat sampai 20%, termasuk artritis menyerupai reumatoid artritis yang bereaksi
pada pemberian gammaglobulin.
1. Penyebab
Penyebab dari X-linked agammaglobulinemia (XLA), atau
Brutonagammaglobulinemia adalah karena kromosom X yang berasal dari sel induk wanita
tidak menghasilkan bruton tyrosin kinase. Bruton tyrosin kinase merupakan enzim yang
berperan dalam proses pematangan atau diferensiasi sel B. Jadi, walaupun didalam sumsum
tulang dihasilkam sel pra-B, akan tetapi tanpa bruton tyrosin kinasemaka tidak akan terbentuk
sel B yang matang dan berdiferesiansi menjadi sel plasma.
2. Tanda dan Gejala
Oleh karena kadar sel B yang sangat rendah atau tidak ada sama sekali membuat sistem imun
penderita sangat rendah sehingga penderita dengan mudah terjangkit penyakit terutama yang
disebabkan oleh bakteri atau parasit. Bayi dengan defisiensisel B menderita otitis media
rekuren, bronkitis, septikemi, pneumonia, artritis, meningitis dan dermatitis. Selain ittu, bayi
dengan penyakit ini memiliki fisik yang lebih kecil dibandingkan dengan bayi laki-laki yang
sehat karena bayi tersebut mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan dari
berbagai penyakit infeksi yang dideritanya. Kelenjar getah bening, tonsil dan jaringan limfoid
lainnya juga sangat kecil atau bahkan tidak ada.
3. Patofisiologi
Dengan tidak adanya BTK, limfosit B tidak dapat berdiferensiasi atau matang.Tanpa
sel limfosit yang matang, antibodi yang memproduksi sel plasma juga tidak ada.Akibatnya,
organ-organ retikuloendothelial dan organ-organ limfoid tempat dimana sel-sel ini
berproliferasi, berdiferensiasi dan disimpan kurang berkembang. Limpa, kelenjar tonsil,
kelenjar adenoid, plak Peyer di usus, dan kelenjar getah bening perifer dapat mengecil atau
tidak ada pada individu dengan Agammaglobulinemia X-linked (XLA).2.6 Pengkodean
protoonkogen untuk BTK telah dikloning dan telah ditentukan genomnya, memungkinkan
dapat melakukan suatu analisis mendalam tentang peran BTK dan tanda-tanda molekul lain
dari diferensiasi sel B.2,6 Mutasi pada masing-masing 5 domain BTK dapat menyebabkan
penyakit yang paling umum adalah mutasi missense. Kebanyakan mutasi menyebabkan
pemotongan dari enzim PTK. Mutasi ini mempengaruhi residu dalam protein sitoplasma dan
BTK sangat bervariasi dan tersebar merata di seluruh molekul.Namun demikian, tingkat
keparahan penyakit tidak dapat diprediksi oleh mutasi spesifik. Sekitar sepertiga dari mutasi
titik mempengaruhi CGG, yang biasanya mengkode untuk residu arginin BTK diperlukan
untuk proliferasi dan diferensiasi limfosit B. Pria dengan XLA tidak mempunyai atau hampir
tidak mempunyai limfosit B dan sel plasma. XLA adalah penyakit kongenital yang dapat
menyerang 1 dari 250.000 laki-laki. Perempuan merupakan carrier yang tidak memiliki
manifestasi klinis. Infeksi
1. DEFINISI
Kelainan multiorgan dengan kerusakan kantong faringeal ketiga dan keempat pada fetus
sebelum kehamilan 8 minggu. Ditandai oleh:
Hipoplasia atau aplasia timus. Defisiensi sel T hilangnya kemampuan respons seluler
(terutama terhadap jamur dan virus), sel B dan kadar Ig normal.
Hipoplasia paratiroid. Pengaturan kalsium abnormal dengan tetani hipokalsemia.
Defek kongenital jangtung dan pembuluh darah besar.
Dysmorphic facies.
Penderita dapat diterapi dengan cangkok timus fetus atau epitel timus. Bila anak dapat
bertahan hidup sampai usia lima tahun, fungsi sel T cenderung menjadi normal meskipun
adanya aplasia timus.
2. PENYEBAB
Normalnya, seseorang mendapatkan 23 kromosom dari ayah dan 23 kromosom dari ibu
dengan total kromosom 46. Pada penderita sindrom DiGeorge, terjadi kelainan genetik di mana
sebagian kecil komponen kromosom 22 hilang, tepatnya pada lokasi yang disebut q11.2. Itulah
sebabnya, kondisi ini disebut juga sebagai sindrom delesi 22q11.2.
Hilangnya bagian kromosom ini bisa terjadi dalam sel sprema ayah, sel telur ibu, atau ketika janin
berkembang. Kelainan genetik ini berdampak pada hampir seluruh sistem organ tubuh dengan tingkat
keparahan yang bervariasi. Beberapa penderitanya bisa tumbuh hingga dewasa, tetapi ada pula yang
mengalami gangguan kesehatan parah hingga mengakibatkan kematian.
Untuk mendiagnosis sindrom DiGeorge secara pasti, dibutuhkan pemeriksaan medis lengkap dari
dokter. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan fisik dan penunjang, seperti foto Rontgen, tes darah,
dan tes genetik.
Kelainan pada bentuk wajah, seperti wajah yang panjang, hidung yang panjang dan lebar,
banyak lipatan pada kelopak mata, telinga pendek dan kecil, dagu dan mulut yang kecil dan
pendek, serta muka terlihat tidak simetris.
Masalah pada bibir dan mulut, seperti bibir sumbing, celah di langit-langit mulut, dan gigi
yang kecil. Kondisi ini mengakibatkan anak kesulitan untuk makan.
Adanya bising jantung dan kulit yang mudah kebiruan. Kondisi ini disebabkan oleh
kurangnya sirkulasi darah yang kaya oksigen akibat kelainan jantung bawaan.
Lemah otot.
Sering kejang.
Gangguan pernapasan, misalnya napas sering sesak dan berat.
Kelainan mental dan perilaku.
Sistem kekebalan tubuh anak lemah.
Kelainan bentuk tulang belakang, seperti skoliosis.
Gangguan tumbuh kembang, seperti terlambat duduk, terlambat bicara, dan kesulitan belajar.
4. Patofisiologi
Anak anak tidak memiliki kelenjar timus, yang merupakan kelenjar penting untuk
perkembangan sel T yang normal. Tanpa sel T penderita tidak dapat melawan inveksi
dengan baik, segera setelah lahir akan terjadi inveksi berulang.
1. DEFINISI
50% dari penderita dengan bentuk resesif autosomal SCID tidak mempunyai enzim
adenosin deaminase (ADA) pada limfosit dan eritrosit, mengakibatkan akumulasi metabolit
seperti deoksiadenosin dan deoksi-ATP, yang toksin untuk limfosit.
Pada penderita SCID X-linked dan defisiensi ADA, timus berhenti berkembang pada
stadium dini fetus, dan kelenjar limfe, limpa, tonsil, dan appendiks tidak mengandung
jaringan limfoid. Penderita bayi ini tidak membentuk antibodi dan gagal menolak tandur kulit
atau terbentuk hipersensitivitas tipe lambat. Kematian terjadi dalam waktu 1 tahun karena
infeksi oportunistik
Defisiensi Rantai Alpha dari IL-7 Receptor adalah mutasi pada gen yang
mengkode komponen reseptor lain faktor pertumbuhan. Bayi dengan
defisiensi Rantai Alpha dari IL-7 reseptor ini memiliki sel-B limfosit dan NK-
sel, tapi tidak ada T-sel. Namun, sel-B tidak bekerja karena kurangnya T-sel.
defisiensi IL-7Rα adalah penyebab paling umum ketiga SCID akuntansi untuk
11% dari kasus SCID. Hal ini diwariskan sebagai sifat resesif autosom. Kedua
anak laki-laki dan perempuan dapat dipengaruhi.
Defisiensi Chains CD3 disebabkan oleh mutasi pada gen yang mengkodekan
enzim yang ditemukan dalam limfosit yang disebut Janus kinase 3 (Jak3).
Enzim ini diperlukan untuk fungsi γc yang disebutkan diatas. Bayi dengan
defisiensi Chains CD3 terlihat sangat mirip dengan orang-orang dengan SCID
X-linked yaitu T-, B+, NK-. Karena ini bentuk SCID diturunkan secara
autosomal resesif kedua anak laki-laki dan perempuan dapat dipengaruhi.
Defisiensi Jak3 kurang dari 10% dari kasus SCID.
CD45 adalah karena mutasi pada gen yang mengkode CD45, protein yang
ditemukan pada permukaan semua sel darah putih yang diperlukan untuk
fungsi sel-T. Kekurangan ini juga diwariskan sebagai sifat resesif autosom.
Lima jenis dari SCID diatas diketahui diakibatkan karena adanya mutasi pada
gen yang mengkode protein yang diperlukan untuk pengembangan reseptor
pengakuan kekebalan tubuh pada T dan limfosit B. Selain itu terdapat
beberapa penyebab lain dari SCID, yaitu rekombinase yang mengaktifkan gen
1 dan 2 (RAG1 dan RAG2) defisiensi (dalam beberapa kasus mutasi pada gen
ini juga menyebabkan Sindrom Omenn ini), defisiensi Artemis, defisiensi
Cernunnos, dan Ligase 4 kekurangan. Bayi dengan jenis SCID kekurangan T
dan limfosit B tetapi memiliki NK-limfosit, yaitu mereka memiliki T-B-NK +
fenotipe. kekurangan ini semua diwariskan sebagai sifat resesif autosomal.
4. PATOFISIOLOGI
SCID disebabkan oleh adanya mutasi yang menyerang lebih dari 15 gen yang
diketahui. Mutasi ini mengakibatkan terganggunya perkembangan dan fungsi limfosit,
serta menghalangi diferensiasi dan proliferasi sel T dan, dalam beberapa jenis, sel B
dan sel NK. Produksi antibodi sangat terganggu bahkan ketika sel B dewasa yang
hadir, karena kurangnya bantuan T-sel. Sel NK yang menjadi komponen kekebalan
bawaan pun ikut terpengaruh. SCID dapat dideteksi pada bayi baru lahir sebelum
timbulnya infeksi, dengan satu contoh didokumentasikan dengan baik oleh pemutaran
lingkaran eksisi T-sel reseptor.
SCID dapat secara luas diklasifikasikan menjadi 2 kelompok : SCID dengan sel B
(70% dari pasien dengan SCID) dan SCID tanpa sel B. Di luar pengelompokan dasar
ini, SCID dapat dikategorikan sesuai dengan profil limfosit fenotipe yang mencakup
baik status sel B (B + atau B-) dan status NK-sel (NK + atau NK-) selain statusnya T-
sel (T, karena selalu ada kekurangan-sel T dalam SCID).
Kondisi genetik yang paling umum bertanggung jawab untuk SCID adalah mutasi
dari rantai γ umum interleukin yang (IL) reseptor bersama oleh reseptor untuk IL-2,
IL-4, IL-7, IL-9, IL-15, dan IL -21 (T B + NK-). [7] Protein ini dikodekan pada
kromosom X; Oleh karena itu, varian ini SCID adalah X-linked (dan kadang-kadang
disebut sebagai X-linked SCID [XL-SCID]). Pasien-pasien ini menyumbang sekitar
50% dari semua pasien dengan SCID.
Dalam SCID X-linked, hilangnya IL-2 reseptor fungsi (IL-2R) menyebabkan
hilangnya sinyal proliferasi limfosit. Hilangnya fungsi IL-4R mengarah
ketidakmampuan sel B ke switch kelas. Hilangnya fungsi IL-7R mengarah pada
hilangnya sinyal antiapoptotic, yang mengakibatkan hilangnya seleksi T-sel di
thymus. Hilangnya fungsi IL-7R juga berhubungan dengan hilangnya reseptor sel T
(TCR) penataan ulang. Hilangnya fungsi IL-15R mengarah ke ablasi pembangunan
NK-cell.
JAK3 adalah protein kinase tirosin (PTK) yang berasosiasi dengan rantai γ umum
dari reseptor IL. Kekurangan ini hasil protein di manifestasi klinis yang sama dengan
XL-SCID.
ADA adalah enzim yang memecah purin. Ketika itu tidak ada, deoxyadenosine
trifosfat (dATP) membangun dan menghambat enzim yang diperlukan untuk
proliferasi limfosit. Hal ini menyebabkan B-, T, dan defisiensi NK-cell.
Defisiensi ZAP-70, mutasi terjadi dalam gen yang kinase tirosin ini, yang penting
dalam signaling sel T dan sangat penting dalam seleksi positif dan negatif dari sel T di
timus. Selektif sel CD8 + T dan berlimpahnya nonfunctioning sel CD4 + T terjadi.
ZAP-70 tampaknya diperlukan dalam pemilihan sel CD8 + T dan diperlukan untuk T
sel fungsi-maka CD4 nonfunctioning + sel.
Disgenesis retikular adalah varian langka SCID yang timbul dari kurangnya
pengembangan sel induk yang sesuai dan ditandai dengan agranulositosis selain
kurangnya kedua sel B dan sel T dalam sistem kekebalan tubuh adaptif. Mutasi pada
mitokondria adenilat kinase 2 telah terungkap pada pasien dengan reticular disgenesis.
Purin nukleotida fosforilase (PNP) defisiensi dan defisiensi IL-2 yang cukup parah
di alam harus diklasifikasikan sebagai SCID, dan cacat lainnya diidentifikasi setiap
tahun. [26] Cacat molekuler yang tepat yang terlibat dalam IL-2 kekurangan produksi
tidak diketahui, tetapi cacat ini sering dikaitkan dengan cacat produksi sitokin lainnya.
Ini adalah bentuk paling umum dan terbaik ditandai dari SCID, tetapi tidak semua
dari kondisi genetik menyebabkan SCID telah dikarakterisasi. Bayi dengan SCID
biasanya hadir dengan infeksi yang sekunder kurangnya fungsi T-cell (misalnya,
Pneumocystis jiroveci (carinii) pneumonia [PCP], kandidiasis sistemik, infeksi herpes
umum, kegagalan parah tumbuh sekunder untuk usus infeksi atau diare). Penyakit
graft versus host (GVHD) dari produk darah nonirradiated merupakan penyebab
penting dari pasien morbidity. Banyak SCID memiliki thymuses atrofi dihuni oleh
beberapa limfosit dan penurunan atau sel darah Hassall absen. Jaringan limfoid perifer
biasanya tidak ada atau sangat menurun. Dalam beberapa keadaan, buruk berfungsi
diaktifkan oligoclonal limfosit berkembang, mungkin karena peningkatan stimulasi
antigen yang mungkin terjadi karena kegagalan kliring antigen appropriately. Human
phosphoglucomutase 3 mutasi menyebabkan gangguan imunodefisiensi berat bawaan
terkait dengan displasia skeletal
Merupakan kelainan resesif X-linked ditandai oleh trombositopenia, eczema, dan infeksi
berulang dengan predileksi terjadinya limfoma.
Morfologi timus normal, tetapi terjadi deplesi sel T perifer pada jaringan limfoid
dengan defek yang berkaitan dengan imunitas seluler.
Respons antibodi beragam, dengan kekhususan lemah terhadap antigen polisakarida.
Patogenesis tidak diketahui, transplantasi sumsum tulang kadang-kadang membawa
kesembuhan.
Merupakan kelainan heterogen, kongenital atau didapat, sporadik atau familial. Gambaran
umum berupa hypogammaglobulinemia, umumnya seluruh kelas Ig, tetapi kadang-kadang
hanya IgG.
Ditemukan infeksi bakteri berulang dengan kecenderungan mengalami kelainan autoimun
dan keganasan limfoid. Ada beberapa subvarian:
Pada sebagian besar kasus ditemukan defek sel B intrinsik. Sel B menunjukkan jumlah
normal dan kemampuan poliferasi terhadap antigen yang juga normal, tetapi tidak
terjadi diferensiasi menjadi sel plasma. Folikel limfoid menunjukkan hiperplasia.
Sering ditemukan kelainan multiorgan dengan granuloma non-kaseosa, tanpa
penyebab yang jelas.
Pada beberapa kasus ditemukan defek pengaturan sel T: Berupa defisiensi sel T
helper atau hiperaktivitas T supresor.
Beberapa penderita menunjukkan keterkaitan dengan gen komplemen dalam
Kompleks HLA, seperti terlihat pada defisiensi IgA yang mengarahkan kepada defek
diferensiasi sel B yang dibawah pengaruh genetik.
Merupakan imunodefisiensi yang sering ditemukan (1 diantara 600 individu) dengan tidak
ditemukan IgA dan kadang-kadang sub-kelas IgG 2 dan IgG4 dalam serum dan secret. Dapat
berupa kelainan familial atau didapat setelah toksoplasmosis, campak, atau infeksi virus lain.
Meskipun umumnya tanpa gejala, dapat juga menunjukkan infeksi sinopolmuner dan
gastrointestinal serta mudah terkena alergi saluran pernapasan atau kelainan autoimun
(SLE, artritis rheumatoid).
Defek yang mendasari adalah pematangan sel B positip-IgA. Bentuk imatur
ditemukan dalam jumlah normal.
40% penderita mempunyai antibodi terhadap IgA. Transfusi dengan produk darah
yang mengandung IgA dapat memicu anfilaksis.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Spesialis1.ika.fk.unair.ac.id tgl 1 maret 2020. Pukul 21:11
Robbins, Cotran & Kumar. 1999. Buku Saku Dasar Patologi Penyakit. Edisi 5.
Jakarta: Buku Kediokteran EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Firmansyah,Rikky, Agus Mawardi H & m. Umar Riandi. 2007. Mudah Dan Aktif Belajar Biologi.
Bandung: PT. Setia Purna Inves.