Seorang laki-laki, 25 tahun, mengeluh diare yang hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu.
Selain itu pasien juga mengeluh sering demam, sariawan, tidak nafsu makan, dan berat badan
menurun 10 kg dalam waktu 3 bulan terakhir. Dari riwayatnya dikatakan pasien sering
melakukan hubungan seksual secara bebas.
Pada pemeriksaan fisik pasien terlihat kaheksia, mukosa lidah kering dan terdapat bercak-
bercak putih. Pemeriksaan laboratorium darah rutin LED 50 mm/jam. Pemeriksaan feses terdapat
sel ragi. Pada pemeriksaan screening antibodi HIV didapatkan hasil (+) kemudian dokter
menganjurkan pemeriksaan konfirmasi HIV dan hitung jumlah limfosit T CD4 dan CD8.
Dari data tersebut dokter menyimpulkan bahwa penderita ini mengalami gangguan
defisiensi imun akibat terinfeksi virus HIV. Dokter menganjurkan pasien untuk datang ke dokter
lain dengan alasan yang tidak jelas. Walaupun demikian dokter menasehati pasien agar tabah dan
sabar dalam menghadapi cobaan penyakit ini.
PERTANYAAN:
1. Apa hubungan diare, demam terhadap penyakit HIV?
1
2. Bagaimana cara penularan HIV?
3. Termasuk golongan apakah virus HIV?
4. Apa hubungan limfosit dengan virus HIV?
5. Apa yang menyebabkan ditemukannya sel ragi pada saat pemeriksaan feses?
6. Mengapa dilakukan pemeriksaan laboraturium darah rutin LED?
7. Mengapa dilakukan pemeriksaan konfirmasi setelah didapatkan hasil positive pada
pemeriksaan screening antibody?
8. Apakah dokter tersebut melanggar KODEKI?
9. Apakah hanya virus HIV saja yang dapat menyebabkan defisiensi imun?
10. Berapa nilai normal untuk LED?
11. Apa saja gejala HIV?
JAWABAN :
1. Ketika tubuh sudah terinfeksi virus HIV sehingga menyebabkan tubuh mengalami
defisiensi imun, dan menyebabkan flora normal yang ada didalam tubuh (sel ragi)
berkembang biak dengan jumlah yang banyak dan bersifat pathogen sehingga hal
tersebut menyebabkan adanya defisiensi imun.
2. Cara penularannya dapat melalui :
- Seksual : Berhubungan dengan yang bukan suami istri, berhubungan seks dengan
sesame jenis, oralgenital, anogenital, genogenital.
- Aseksual : Paretral (jarum suntik), transparetral(janin)
3. Virus HIV termasuk family retroviridae dengan genus lentivirus.
4. Limfosit merupakan salah satu komponen penting dalam mekanisme petahanan
tubuh. Ketika virus HIV masuk ke dalam tubuh maka virus tersebut akan menyerang
limfosit T khusuhnya sel T helper. Ketika sel T helper diserang maka jumlahnya akan
menurun dan mengakibatkan limfosit B jumlahnya juga menurun. Hal ini disebabkan
karena limfosit sel B kerjanya dipengaruhi oleh limfosit sel T.
5. Sel ragi yang ditemukan pada feses disebkan oleh flora normal dalam system
perncernaan yang jumlahnya bertambah sangat banyak.
6. Tujuan dari dilakukannya pemeriksaan LED :
- Menentuka peradangan
2
- Memantau perjalanan aktivitas penyakit
- Penafsiran peradangan, contohnya neoplasma yang tersembunyi
7. Karena mendiagnosis penyakit HIV tidak bisa hanya dilakukan dengan satu kali
pemeriksaan, oleh karena itu dilakukannya pemeriksaan konfirmasi (follow up)
contohnya seperti pemeriksaan western blotting.
8. Ya, dokter tersebut melanggar KODEKI pasal 10. Seharusnya dokter tersebut apabila
ingin merujuk ke dokter lain harus diikuti dengan alasan yang jelas dan harus
merujuk ke dokter yang lebih mampu menanganinya.
9. Bukan hanya virus HIV saja yang menyebabkan imunodefisiensi. Banyak penyebab
lainnya seperti kompleks imun(autoimun), genetic.
10. Nilai normal untuk LED :
- Laki – laki : <50 tahun : <15mm/jam
>50 tahun : <20 mm/jam
- Perempuan : <50 tahun : <20 mm/jam
>50 tahun : <30 mm/jam
- Anak – anak : <10 mm/jam
- Bayi baru lahir : 0-2 mm/jam
11. Gejala terinfeksi virus HIV terbagi menjadi 2, yaitu :
- Mayor :
1. Berat badan menurun drastic
2, Diare kronik
3. demam berkepanjangan
- Minor:
1. Ruam pada kulit
2. Mudah sakit dan terinfeksi terus menerus
3. Herpes simpatis
SASARAN BELAJAR:
3
1.1 Definisi
1.2 Etiologi
1.3 Klasifikasi
1.4 Diagnosis
4
1. Gangguan defisiensi imun adalah gangguan yang dapat disebabkan oleh kerusakan
herediter yang mempengaruhi perkembangan sistem imun atau dapat terjadi akibat efek
sekunder dan penyakit lain (misalnya infeksi malnutrisi, penuaan, imunosupresi,
autoimunitas atau kemoterapi)
2. Penyakit defisiensi imun adalah defek salah satu komponen system imun yang dapat
menimbulkan penyakit berat bahkan fatal yang secara kolektif. (Imunologi Dasar FKUI)
3. Penyakit imunodefisiensi adalah defisiensi respon imun akibt hipoaktivitas atau
penurunan jumlah sel limfoid.
1.2 Etiologi
Penyakit defisiensi imun dibagi menjadi:
1. Defisiensi imun kongenital atau primer
Relatif jarang, Merupakan defek genetic yang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
yang sering sudah bermanifestasi pada abyi dan anak, tetapi kadang secara klinis baru
ditemukan usia lebih lanjut.
5
Disebabkan oleh depresi sintesis (sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori).
c. Sel NK
i. Kongenital
Pada penderita osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit), kadar IgG, IgA, dan
kekerapan autoantibodi meningkat.
ii. Didapat
Akibat imunosupresi atau radiasi.
d. Sistem fagosit
Menyebabkan infeksi berulang, kerentanan terhadap infeksi piogenik berhubungan
langsung dengan jumlah neutrofil yang menurun, resiko meningkat apabila jumlah
fagosit turun < 500/mm3. Defek ini juga mengenai sel PMN.
i. Kuantitatif
Terjadi neutropenia/granulositopenia yang disebabkan oleh menurunnya produksi
atau meningkatnya destruksi. Penurunan produksi diakibatkan pemberian depresan
(kemoterapi pada kanker, leukimia) dan kondisi genetik (defek perkembangan sel
hematopioetik). Peningkatan destruksi merupakan fenomena autoimun akibat
pemberian obat tertentu (kuinidin, oksasilin).
ii. Kualitatif
Mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, fagositosis, dan membunuh mikroba
intrasel.
1. Chronic Granulomatous Disease (infeksi rekuren mikroba gram – dan +)
2. Defisiensi G6PD (menyebabkan anemia hemolitik)
3. Defisiensi Mieloperoksidase (menganggu kemampuan membunuh benda asing)
4. Chediak-Higashi Syndrome (abnormalitas lisosom sehingga tidak mampu
melepas isinya, penderita meninggal pada usai anak)
5. Job Syndrome (pilek berulang, abses staphylococcus, eksim kronis, dan otitis
media. Kadar IgE serum sangat tinggi dan ditemukan eosinofilia).
6. Lazy Leucocyte Syndrome (merupakan kerentanan infeksi mikroba berat.
Jumlah neutrofil menurun, respon kemotaksis dan inflamasi terganggu)
7. Adhesi Leukosit (defek adhesi endotel, kemotaksis dan fagositsosis buruk, efeks
sitotoksik neutrofil, sel NK, sel T terganggu. Ditandai infeksi bakteri dan jamur
rekuren dan gangguan penyembuhan luka)
6
a. Kongential/primer
Sangat jarang terjadi.
i. Sel B
Defisiensi sel B ditandai dengan penyakit rekuren (bakteri)
1. X-linked hypogamaglobulinemia
2. Hipogamaglobulinemia sementara
3. Common variable hypogammaglobulinemia
4. Disgamaglobulinemia
ii. Sel T
Defisensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur, dan protozoa yang rekuren
1. Sindrom DiGeorge (aplasi timus kongenital)
2. Kandidiasis mukokutan kronik
iii. Kombinasi sel T dan sel B
1. Severe combined immunodeficiency disease
2. Sindrom nezelof
3. Sindrom wiskott-aldrich
4. Ataksia telangiektasi
5. Defisiensi adenosin deaminase
b. Fisiologik
i. Kehamilan
Defisiensi imun seluler dapat diteemukan pada kehamilan. Hal ini karena
pningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif faktor humoral yang dibentuk
trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh estrogen
ii. Usia tahun pertama
Sistem imun pada anak usia satu tahun pertama sampai usia 5 tahun masih belum
matang.
iii. Usia lanjut
Golongan usia lanjut sering mendapat infeksi karena terjadi atrofi timus dengan
fungsi yang menurun.
7
fagosit sekunder yang mekanismenya belum jelas. Imunoglobulin juga dapat
menghilang melalui usus pada diare.
vi. Kehilangan Ig/leukosit
Sindrom nefrotik penurunan IgG dan IgA, IgM norml. Diare (linfangiektasi
intestinal, protein losing enteropaty) dan luka bakar akibat kehilangan protein.
vii. Stres
viii. Agammaglobulinmia dengan timoma
Dengan timoma disertai dengan menghilangnya sel B total dari sirkulasi.
Eosinopenia atau aplasia sel darah merah juga dapat menyertai
Struktur HIV:
HIV memiliki diameter 1000 angstrom dan berbentuk sferis. Strukturnya terdiri dari lapisan
luar/envelop terdiri atas glikoprotein gp 120 yang melekat pada gp 41. Dilapisan kedua terdapat
protein p17, terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24, antigen p24 sebagai core antigen
yaitu petanda terdini adanya infeksi HIV-1. Didalam inti terdapat 2 buah rantai RNA dan enzim
reverse transcriptase.
Etiologi HIV/AIDS adalah virus HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ
vital sistem kekebalan manusia seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik.
Struktur virus HIV-1 terdiri dari 2 untaian RNA yang identik dan merupakan genom virus yang
berhubungan dengan P17 dan P24 berupa intipolipeptida. Semua komponen tersebut diselubungi
envelop membrane fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp120 dan gp41 yang disandi
virus ditemukan dalam envelop.
8
RNA-directed DNA polymerase (reverse transcriptase) : polimerase DNA dalam
retrovirus seperti H V. Transverse transcriptase diperlukan dalam teknik rekombinan
DNA yang diperlukan dalam sintesis first stand cDNA.
Antigen p24 : core antigen virus HIV, yang merupakan pertanda dini adanya infeksi
HIV-1, ditemukan beberapa hari minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis
antibody terhadap HIV-1.
Antigen gp120 : gilkoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor CD4+ ini
telah digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksisel CD4+.
Protein envelop : produk yang menyandi gp120, digunakan dalam usaha
memproduksi antibodi yang efektif dan produktif oleh pejamu.
2.2 Klasifikasi
Menurut spesies terdapat dua jenis virus penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2 . HIV-1
paling banyak ditemukan di daerah barat, Eropa, Asia, dan Afrika Tengah, Selatan, dan Timur.
HIV-2 terutama ditemukan di Afrika Barat. HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur hampir
sama, HIV-1 mempunyai gen VPU, tetapi tidak mempunyai gen VPX, sedangkan HIV-2
mempunyai gen VPX tapi tidak memiliki gen VPU.
a. HIV-1
Merupakan penyebab utama AIDS diseluruh dunia. Genom HIV mengkode sembilan
protein esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus. Pada HIV-1 terdapat protein Vpu
yang membantu pelepasan virus. Terdapat 3 tipe dari HIV-1 berdasarkan alterasi pada gen
amplopnya yaitu tipe M, N, dan O.
b. HIV-2
Protein Vpu pada HIV-1 digantikan dengan protein Vpx yang dapat meningkatkan
infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan hasil duplikasi dari protein lain (Vpr).
Walaupun sama-sama menyebabkan penyakit klinis dengan HIV-2 tetapi kurang patogenik
dibandingkan dengan HIV-1.
2.3 Etiologi
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung
HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu. Penularan HIV dapat terjadi
melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak dengan darah atau sekret yang infeksius,
ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI.
1. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua cara
penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama sesama laki-laki dengan
perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi
vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi
vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
9
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam tubuh
yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna narkotik suntik
secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi
sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan karena
dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan sepenuhnya sebelum
digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan dan
sesudah lahir melalui ASI.
7. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.
LO.2.4 Patofisiologi
Virion virus mempunyai tonjolan terdiri dari gp120 dan gp41 gp120 berikatan dengan
reseptor CD4+ sel T dan gp41 untuk memerantai fusi membrane virus ke membrane sel selain itu
diperlukan koreseptor pada permukaan sel T yaitu CCR5/CXCR4 APC terinfeksi virus HIV
ke limfonodus regional.
Replikasi virus :
1. Perlekatan virus dengan sel T CD4+
2. Fusi dan masuknya virus kedalam sel T CD4+
3. Pelepasan envelop virus oleh enzim “protease”
4. Membuat 1 rantai RNA DNA untai ganda oleh enzim “transkriptase”
5. cDNA bermigrasi ke dalam inti sel dengan bantuan enzim “integrase”
6. Menghasilkan DNA provirus memicu transkripsi membentuk mRNA ditranslasi
menjadi enzim-enzim dan protein-protein oleh ribosom sel dilepas ke sitoplasma.
7. RNA virus bergabung dengan protein-protein virus
8. Virion HIV baru siap dibebaskan dari sel T CD4+ yang terbungkus oleh sebagian sitoplasma
dari membran sel T CD4+
HIV menginfeksi : CD4+, makrofag, sel dendritic.
Beberapa sel lain yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vivo dan in vitro :
megakariosit, epidermal Langerhans, peripheral dendritic, folikular dendritic, mukosa rektal,
mukosa saluran cerna, sel serviks, mikroglia, astrosit, sel trofoblast, lim CD8, sel retina dan
epitel ginjal.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda/gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu dan bisa terjadi pada 5
hari dan 3 bulan setelah terinfeksi. Seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kel getah
bening, ruam, diare atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik
berlangsung selama 8-10 tahun.
Seiring dengan semakin memburuknya kekebalan tubuh, mulailah Nampak gejala-gejala
akibat infeksi oportunistik : BB menurun, demam lama, rasa lelah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, TB, infeksi jamur, herpes dll.
10
Pada penderita AIDS, CD4+ perlahan menurun disebabkan karena replikasi virus yang
aktif aktif dan destruksi sel T yang terjadi di jaringan limfoid.
Normal CD4+ = 500-1500 sel/mm3
CD4+ <200 = rentan terhadap infeksi dan dapat menderita AIDS.
CD4+ <100 = dapat terjadi infeksi toksoplasma.
CD4+ <50 = daapt terjadi infeksi sitomegal.
Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton (kD) yang
kemudian membelah menjadi bagian 120-kD(eksternal) dan 41-kD (transmembranosa).
Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang berikatan dengan CD4 dan mempunyai
peran yang sangat penting dalam membantu perlekatan virus dangan sel target (Borucki, 1997).
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk
mentransfer informasi genetik mereka dariRNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang
disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif (Borucki, 1997).
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan
yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh
dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon
imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun,
dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara
sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi
replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan
dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus
hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit TCD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari.
Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang
berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis
harian (Brooks, 2005).
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang nyata
seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam
plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama
tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi
(Brooks, 2005). Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan
daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis
mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang
selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Zein, 2006).
Berdasarkan stadiumnya:
a.Stadium 1 Asimptomatik
11
- Tidak ada penurunan berat badan
- Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata
Persisten
Atau :
Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS
Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernapasan
atas yang berulang
Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan,
infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
12
Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau
paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan
gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research(MFMER) (2008), gejala klinis
dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase:
13
a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi
kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang
lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi
seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita
HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar
getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam,
batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit
yang disebut AIDS.
LO 2.6 Diagnosis
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui bahwa mereka terinfeksi karena mereka
tidak mengalami gejala setelah mereka pertama kali terinfeksi HIV. Sebagian dari mereka
memiliki gejala mirip flu dalam beberapa hari sampai beberapa minggu setelah terpapar virus.
Mereka mengeluh demam, sakit kepala, kelelahan, dan terjadi pembesaran kelenjar getah bening
di leher. Gejala-gejala ini biasanya hilang dengan sendirinya dalam beberapa minggu. Setelah
itu, orang tersebut merasa normal dan tidak memiliki gejala. Fase ini sering berlangsung tanpa
gejala selama bertahun-tahun. Pemeriksaan darah adalah cara paling umum untuk mendiagnosis
HIV. Tes ini bertujuan untuk mencari antibodi terhadap virus HIV. Orang yang terkena virus
harus segera dilakukan pemeriksaan laboratorium. Tindak lanjut tes mungkin diperlukan,
tergantung pada waktu awal paparan.
14
- Pemeriksaan primer untuk mendiagnosis HIV dan AIDS meliputi:
- ELISA
ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) digunakan untuk mendeteksi infeksi
HIV. Jika tes ELISA positif, tes Western blot biasanya dilakukan untuk
mengkonfirmasikan diagnosis. Jika tes ELISA negatif, tetapi ada kemungkinan pasien
tersebut memiliki HIV, pemeriksaan harus diulang lagi dalam satu sampai tiga bulan.
ELISA cukup sensitif pada infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi
segera setelah infeksi, hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu untuk beberapa
bulan setelah terinfeksi. Meskipun hasil tes mungkin negatif selama periode ini, pasien
mungkin memiliki tingkat penularan tinggi.
Kebanyakan komplikasi HIV terjadi akibat dari surpresi sel T. Karena sel T yang
diserang, kekebalan tubuh menuruh hingga dapat terjadi infeksi oportunistik. Komplikasi-
komplikasi pada pasien yang terjangkit HIV menyebabkan AIDS. Obat anti-retroviral, yang
dikenal sebagai Highly Active Anti-Retroviral Therapy (ART), sekarang tersedia untuk
15
menghambat replikasi dari virus HIV. Obat-obat ini membantu untuk memperpanjang
hidup, mengembalikan sistem kekebalan pasien hingga mendekati aktivitas normal dan
mengurangi kemungkinan infeksi oportunistik. Kombinasi dari tiga atau lebih obat-obatan
diberikan untuk mengurangi kemungkinan resistensi.
a. Tuberkulosis (TB)
Di negara-negara miskin, TB merupakan infeksi oportunistik yang paling umum yang
terkait dengan HIV dan menjadi penyebab utama kematian di antara orang yang hidup
dengan AIDS. Jutaan orang saat ini terinfeksi HIV dan TBC dan banyak ahli menganggap
bahwa ini merupakan wabah dua penyakit kembar.
b. Salmonelosis
Kontak dengan infeksi bakteri ini terjadi dari makanan atau air yang telah terkontaminasi.
Gejalanya termasuk diare berat, demam, menggigil, sakit perut dan, kadang-kadang,
muntah. Meskipun orang terkena bakteri salmonella dapat menjadi sakit, salmonellosis
jauh lebih umum ditemukan pada orang yang HIV-positif.
c. Cytomegalovirus (CMV)
Virus ini adalah virus herpes yang umum ditularkan melalui cairan tubuh seperti air liur,
darah, urine, semen, dan air susu ibu. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat
menonaktifkan virus sehingga virus tetap berada dalam fase dorman (tertidur) di dalam
tubuh. Jika sistem kekebalan tubuh melemah, virus menjadi aktif kembali dan dapat
menyebabkan kerusakan pada mata, saluran pencernaan, paru-paru atau organ tubuh
lainnya.
d. Kandidiasis
Kandidiasis adalah infeksi umum yang terkait HIV. Hal ini menyebabkan peradangan dan
timbulnya lapisan putih tebal pada selaput lendir, lidah, mulut, kerongkongan atau vagina.
Anak-anak mungkin memiliki gejala parah terutama di mulut atau kerongkongan
sehingga pasien merasa sakit saat makan.
e. Cryptococcal Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput dan cairan yang mengelilingi otak dan
sumsum tulang belakang (meninges). Cryptococcal meningitis infeksi sistem saraf pusat
yang umum terkait dengan HIV. Disebabkan oleh jamur yang ada dalam tanah dan
mungkin berkaitan dengan kotoran burung atau kelelawar.
f. Toxoplasmolisis
Infeksi yang berpotensi mematikan ini disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Penularan
parasit ini disebabkan terutama oleh kucing. Parasit berada dalam tinja kucing yang
terinfeksi kemudian parasit dapat menyebar ke hewan lain.
g. Kriptosporidiosis
Infeksi ini disebabkan oleh parasit usus yang umum ditemukan pada hewan. Penularan
16
kriptosporidiosis terjadi ketika menelan makanan atau air yang terkontaminasi. Parasit
tumbuh dalam usus dan saluran empedu yang menyebabkan diare kronis pada orang
dengan AIDS.
h. Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor pada dinding pembuluh darah. Meskipun jarang
terjadi pada orang yang tidak terinfeksi HIV, hal ini menjadi biasa pada orang dengan
HIV-positif. Sarkoma Kaposi biasanya muncul sebagai lesi merah muda, merah atau ungu
pada kulit dan mulut. Pada orang dengan kulit lebih gelap, lesi mungkin terlihat hitam
atau coklat gelap. Sarkoma Kaposi juga dapat mempengaruhi organ-organ internal,
termasuk saluran pencernaan dan paru-paru.
i. Limfoma
Kanker jenis ini berasal dari sel-sel darah putih. Limfoma biasanya berasal dari kelenjar
getah bening. Tanda awal yang paling umum adalah rasa sakit dan pembengkakan
kelenjar getah bening ketiak, leher atau selangkangan.
Komplikasi lainnya:
j. Wasting Syndrome
Pengobatan agresif telah mengurangi jumlah kasus wasting syndrome, namun masih tetap
mempengaruhi banyak orang dengan AIDS. Hal ini didefinisikan sebagai penurunan
paling sedikit 10 persen dari berat badan dan sering disertai dengan diare, kelemahan
kronis dan demam.
k. Komlikasi Neurologis
Walaupun AIDS tidak muncul untuk menginfeksi sel-sel saraf, tetapi AIDS bisa
menyebabkan gejala neurologis seperti kebingungan, lupa, depresi, kecemasan dan
kesulitan berjalan. Salah satu komplikasi neurologis yang paling umum adalah demensia
AIDS yang kompleks, yang menyebabkan perubahan perilaku dan fungsi mental
berkurang.
a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual, infeksi HIV terutama terjadi melalui
hubungan seksual, sehingga pencegahan AIDS perlu difokuskan pada hubungan seksual.
Untuk ini perlu dilakukan penyuluhan agar orang berperilaku seksual yang aman dan
17
bertanggung jawab, yakni : hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan
sendiri (suami/isteri sendiri), kalau salah seorang pasangan anda sudah terinfeksi HIV,
maka dalam melakukan hubungan seksual perlu dipergunakan kondom secara benar,
mempertebal iman agar tidak terjerumus ke dalam hubungan-hubungan seksual di luar
nikah.
b. Pencegahan Penularan Melalui Darah dapat berupa : pencegahan dengan cara
memastikan bahwa darah dan produk-produknya yang dipakai untuk transfusi tidak
tercemar virus HIV, jangan menerima donor darah dari orang yang berisiko tinggi tertular
AIDS, gunakan alat-alat kesehatan seperti jarum suntik, alat cukur, alat tusuk untuk tindik
yang bersih dan suci hama.
c. Pencegahan penularan dari Ibu-Anak (Perinatal).
Ibu-ibu yang ternyata mengidap virus HIV/AIDS disarankan untuk tidak hamil. Selain
dari berbagai cara pencegahan yang telah diuraikan diatas, ada beberapa cara pencegahan
lain yang secara langsung maupun tidak langsung ikut mencegah penularan atau
penyebaran HIV/AIDS.
Kegiatan tersebut berupa kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang
dalam implementasinya berupa : konseling AIDS dan upaya mempromosikan
kondomisasi, yang ditujukan kepada keluarga dan seluruh masyarakat yang potensial
tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual yang dilakukannya.
2.Penatalaksanaan:
- Terapi antiretroviral (ARV)
Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (Highly Active
Antiretroviral Therapy), yang menggunakan kombinasi minimal tiga obat antiretroviral.
Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus (viral load) sampai dengan
kadar di bawah ambang deteksi. Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan
dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. ARV dapat
18
diberikan apabila infeksi HIV telah ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan
dibuktikan secara laboratories.
Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala
yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS atau menunjukkan gejala yang sangat berat
tanpa melihat jumlah CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik
dengan jumlah limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan
limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3 dapatditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien
asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari
100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak
dianjurkan dimulai pada pasien dengan jumlah limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan
viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.
Tujuan terapi :
20
Menurutrekomendasi WHO, orang dewasadanremajadengan HIV sebaiknyamemulaiterapi
antiretroviral ketika:
1. Infeksi HIV stadium IV menurutkriteria WHO, tanpamemandangjumlah CD4
2. Infeksi HIV stadium III menurutkriteria WHO, denganjumlah CD4 <350/ mm3
3. Infeksi HIV stadium I atau II menurutkriteria WHO, denganjumlah CD4 <200/ mm3
Apabilates CD4 tidakdapatdilaksanakan, makaterapi ARV sebaiknyadilaksanakan:
1. Infeksi HIV stadium IV, tanpamemandangjumlahlimfosit total
2. Infeksi HIV stadium III, tanpamemandangjumlahlimfosit total
3. Infeksi HIV stadium I atau II, denganjumlahlimfosit total <1200/ mm3c
Begitumemulaipengobatan HIV, iaharusdigunakanuntukwaktu yang sangat lama.
Dengandemikianiadapatmenundakemungkinanefeksampingobatdanbenar-
benarmemanfaatkankemapuhanefekawalpengobatanterhadap HIVdalamtubuhmanusia.
(ODHA Indonesia, 2007)
PREVENTIF dan PROMOTIF
Bagipenggunanarkoba:
1. Beralihdari NAPZA yang disuntikanke NAPZA oral
2. Janganbergantianmenggunakansemprit, air ataualatuntukmenyiapakn NAPZA
3. Ketikamempersiapkan NAPZA gunakan air yang steril/
bersihdangunakankapaspembersihberalkoholuntukmembersihkantempatsuntiksebelu
mdisuntik
(Watters and Guydish, 1994)
21
(The Nermours Foundation, 1995)
Stigma adalah stempel yang menimbulkan kesan jijik, kotor, antipati dan berbagai perasaan
negatif lainnya. Stigma pada ODHA :
Lingkungan masyarakat (71,4%),
Ditempat pelayanan kesehatan (35,5%)
Dilingkungan keluarga (18,5%).
KODEKI
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat
dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
22
Prinsip Justice, mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam
mendistribusikan sumber daya (distributiv justice)
Pasal 10
Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita pasien dan tindakan apa yang
hendak dilakukan.
Pasal 11
Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien ( informed consent ) sebelum melakukan
tindakan medik. Selain itu, kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU Praktik Kedokteran
No. 29 Tahun 2004 pasal 47 ayat (2) sebagaimana disebutkan di atas. UU tersebut memang
23
hanya menyebut dokter,dokter gigi dan pimpinan sarana yang wajib menyimpannya sebagai
rahasia, namun PP No 10tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran tetap mewajibkan
seluruh tenaga kesehatan dan mereka yang sedang dalam pendidikan di sarana kesehatan untuk
menjaga rahasia kedokteran.
Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV AIDS, selain untuk kepentingan jabatan
adalahuntuk menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena terbongkarnya
statuskesehatan. Menurut Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh
WMA memuat hak pasien terhadap kerahasiaan sebagai berikut:
Semua informasi yang teridentifikasi mengenai status kesehatan pasien, kondisi
medis,diagnosis, prognosis, dan tindakan medis serta semua informasi lain yang sifatnya pribadi,
harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah kematian. Perkecualian untuk kerabat pasien
mungkin mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang dapat memberitahukan mengenai
resiko kesehatan mereka.
LO 4. Mampu memahami dan menjelaskan pandangan islam dalam menangani kasus HIV
Solusi Preventif
Solusi Preventif
Transmisi utama (media penularan yang utama) penyakit HIV/AIDS adalah seks bebas. Oleh
karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas tersebut. Hal ini
meliputi media-media yang merangsang (pornografi-pornoaksi), tempat-tempat prostitusi, club-
club malam, tempat maksiat dan pelaku maksiat.
24
1. Islam telah mengharamkan laki-laki dan perempuan yang bukanmuhrim berkholwat
(berduaan/pacaran). Sabda Rasulullah Saw:‘Laa yakhluwanna rojulun bi imroatin Fa inna
tsalisuha syaithan’artinya: “Jangan sekali-kali seorang lelaki dengan perempuan menyepi
(bukan muhrim) karena sesungguhnya syaithan ada sebagai pihak ketiga”. (HR. Baihaqy)
6. Amar ma’ruf nahi munkar yang wajib dilakukan oleh individu danmasyarakat.
7. Tugas Negara memberi sangsi tegas bagi pelaku mendekati zina. Pelaku zina muhshan
(sudah menikah) dirajam, sedangkan pezina ghoiru muhshan dicambuk 100 kali. Adapun
pelaku homoseksual dihukum mati; dan penyalahgunaan narkoba dihukum cambuk. Para
pegedar dan pabrik narkoba diberi sangsi tegas sampai dengan mati. Semua fasilitator seks
bebas yaitu pemilik media porno, pelaku porno, distributor, pemilik tempat-tempat maksiat,
germo, mucikari, backing baik oknum aparat atau bukan, semuanya diberi sangsi yang tegas
dan dibubarkan.
Solusi Kuratif
25
Orang yang terkena virus HIV/AIDS, maka tugas negara untuk melakukanbeberapa hal sebagai
berikut:
1. Orang yang tertular HIV/AIDS karena berzina maka jika dia sudahmenikah dihukumrajam.
Sedangkan yang belum menikah dicambuk100 kali dan selanjutnya dikarantina.
4. Orang yang tertular HIV/AIDS karena efek spiral (tertular secara tidak langsung) misalnya
karena transfusi darah, tertular dari suaminya dan sebagainya, maka orang tersebut
dikarantina.
Penderita HIV/AIDS yang tidak karena melakukan maksiat dengan sangsi hukuman mati, maka
tugas negara adalah mengkarantina mereka. Karantina dalam arti memastikan tidak terbuka
peluang untuk terjadinya penularan harus dilakukan, terutama kepada pasien terinfeksi fase
AIDS. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang artinya: “Sekali-kali janganlah orang
yang berpenyakit menularkan kepada yang sehat” (HR Bukhori ). “Apabila kamu mendengar ada
wabah di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya dan apabila wabah itu berjangkit
sedangkan kamu berada dalam negeri itu , janganlah kamu keluar melarikan diri” (HR. Ahmad,
Bukhori, Muslim dan Nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf).
Mengkarantina agar penyakit tersebut tidak menyebar luas, perlu memperhatikan hal-hal
berikut:
26
Di sisi lain, jika selama ini penyakit seperti HIV/AIDS belum ditemukan obatnya maka negara
wajib menggerakkan dan memberikan fasilitas kepada para ilmuwan dan ahli kesehatan agar
secepatnya bisa menemukan obatnya.
Melakukan telaah kritis, membongkar bahaya dan konspirasi strategi penanggulangan HIV-
AIDS perspektif sekuler-liberal produk Barat (versi UNAIDS) di satu sisi, dan mulai
memperkenalkan solusi Islam sebagai strategi alternatif penanggulangan HIV-AIDS yang
seharusnya mulai diambil pada sisi yang lain
Memulai diskusi, sosialisasi dan advokasi kepada individu stakesholderyang muslim (KPA,
MPA, Medis, paramedis, dll) level daerah/lokal
Memulai diskusi, sosialisasi dan advokasi kepada tokoh-tokoh muslimyang menjadi
simpul-simpul umat
Penguatan aqidah, keimanan dan konsekuensi untuk berhukum dengansistem Islam
Pembinaan ummat secara ideologis (aqidah, syari’ah dan dakwah)untuk memperjuangkan
tegaknya Islam kaffah
Mulai memblow-up hasil telaah kritis, membongkar bahaya dan konspirasi strategi
penanggulangan HIV AIDS perspektif sekuler-liberal produk Barat (versi UNAIDS) ke
masyarakat dan media
Mulai memblow-up solusi Islam sebagai strategi alternatif penanggulangan HIV-AIDS
yang seharusnya diambil ke masyarakat dan media
Memulai diskusi, sosialisasi dan advokasi kepada instansi stakesholder(KPA, MPA, Medis,
paramedis, dll) level daerah/lokal hingga pusat
Memulai aktivitas mengoreksi penguasa tentang kebijakan dekstruktif
Memulai aktivitas mengoreksi pihak legislatif akan perundang-undangan yang menjadi
bagian kebijakan dekstruktif
Mengingatkan masyarakat luas dan pemerintah akan bahaya NGO-NGO komprador
Mengingatkan NGO-NGO ‘Komprador’
Secara terus menerus mengungkap kebobrokan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme-
sekulerisme dalam semua bidang dan konspirasi global di belakangnya
27
aspek kehidupan menggantikan sistem kapitalisme-sekulerisme yang nyata-nyata telah
membawa kerusakan kehidupan
Mengupayakan terwujudnya sebuah kekuatan politik –pada saatnyananti- yang bisa menghadapi
konspirasi global negara-negara neoimperialisme dan multi national corp di negeri-negeri Islam
yaitu kekuatan Daulah khilafah Islamiyyah (negara yang akan menyatukan seluruh potensi umat
dan menerapkan sistem Islam sebagai sistem kehidupan secara kaaffah) dengan dukungan umat
Daftar Pustaka
Baratawidjaja KG, Rengganis I. (2010). Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Djoerban, Zubairi. Djauzi, Samsuridjal (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, vol III Jakarta :
Departemen Penyakit Dalam FKUI.
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. (2005). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Hanafiyah MJ, Amir A. (2008). Etika kedokteran dan hokum kesehatan. Edisi 4.
Rosyidah, F. (2011). Kritik Islam Terhadap Strategi Penangulangan HIV-AIDS Berbasis
Paradigma Sekuler-Liberal dan Solusi Islam dalam Menangani Kompleksitas Problematika
HIV-AIDS.
Merati,Tutii Parwati. Djauzi, Samsuridjal (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, vol I Jakarta :
Departemen Penyakit Dalam FKUI.
28
Price, Sylvia Anderson. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi VI,
vol. 1. Huriawati Hartanto. Jakarta : EGC.
(http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/yemima-septiany-puraja-0781141201.pdf)
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3684/1/fkm-fazidah4.pdf)
29