Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHUAN DAN ASUHAN

KEPERAWATAN AIDS PADA ANAK

Disusun Oleh :
Regina Lumingkewas
Renaldo Paulus
Santika Mapahena
Sendra Taalempungan

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S1)


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA
MANADO
2022
BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
HIV/AIDS merupaka penyakit menular yang disebabkan Infeksi
virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang menyerang sistem
kekebalan tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami
penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah terinfeksi berbagai
macam penyakit lain yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) (Kementrian Kesehatan RI, 2017). Orang yang terdiagnosa
positif terinfeksi HIV/AIDS maka orang tersebut dengan ODHA ( Orang
Denga HIV/AIDS.
Perkembangan HIV/AIDS pertama kali pada tahun 1981, namun
kasus HIV/AIDS secara retrospektif telah muncul pada tahun 1970-an di
Amerika Serikat dan beberapa bagian di dunia seperti Haiti, Afrikas, dan
Eropa (Dinas Kesehatan, 2014). UNAIDS (2017) menunjukkan terjadinya
peningkatan jumlah orang menderita HIV pada tahun 2015 berjumlah 36,1
millyar menjadi 36,7 millyar pada tahun 2016. Indonesia merupakan salah
satu negara berkembang yang memiliki tingkat prevalensi HIV/AIDS yang
cukup tinggi.
Penyakit HIV/AIDS menimbulkan masalah yang cukup luas pada
individu yang terinfeksi HIV/AIDS yaitu meliputi fisik, social dan
masalah emosional.
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Teori HIV/AIDS
A. Definisi
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV).
(Mansjoer, 2000:162).
AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system
kekebalan alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu
dengan hancurnya sel limfosit T (sel-T). (Tambayong, J:2000)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas
seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara
keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan
keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn,
M.H.1996:601)
AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan
kekebalan yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti
bakteri, jamur, parasit dan virus tertentu yang bersifat oportunistik.
( FKUI, 1993 : 354).
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan
gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara
bertahap yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah
terkena berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus.

B. Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang
melekat dan memasuki limfosit T helper CD4+. Virus tersebut
menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel imunologik lain dan orang itu
mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz dan Sowden, 2002).
Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV (Human
Immunodeficiency Virus) ke dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005).

C. Patofisiologi
HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen
permukaan CD4, yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini,
yang mencakup limfosit penolong dengan peran kritis dalam
mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan pengurangan
bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi
HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa menginfeksi limfosit dengan antigen
permukaan CD4, yang bekerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini,
yang mencakup linfosit penolong dengan peran kritis dalam
mempertahankan responsivitas imun, juga memperlihatkan pengurangan
bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi
HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti, meskipun
kemungkinan mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis
melalui antigen viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen;
penghancuran sel yang terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral
penjamu dan kematian atau disfungsi precursor limfosit atau sel asesorius
pada timus dan kelenjar getah bening. HIV dapat menginfeksi jenis sel
selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak seperti infeksi pada
limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang terinfeksi
dapat berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat diinduksi,
dan dapat membawa virus ke organ, terutama otak, dan menetap di otak.
Percobaan hibridisasi memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel
kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada
jaringan janin, pemulihan virus yang paling konsisten adalah dari otak,
hati, dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun
sering sulit untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan oleh
infeksi virus local atau komplikasi infeksi lain atau autoimun.
Stadium tanda infeksi HIV pada orang dewasa adalah fase infeksi
akut, sering simtomatik, disertai viremia derajat tinggi, diikuti periode
penahanan imun pada replikasi viral, selama individu biasanya bebas
gejala, dan priode akhir gangguan imun sitomatik progresif, dengan
peningkatan replikasi viral. Selama fase asitomatik kedua-bertahap dan
dan progresif, kelainan fungsi imun tampak pada saat tes, dan beban viral
lambat dan biasanya stabil. Fase akhir, dengan gangguan imun simtomatik,
gangguan fungsi dan organ, dan keganasan terkait HIV, dihubungkan
dengan peningkatan replikasi viral dan sering dengan perubahan pada jenis
vital, pengurangan limfosit CD4 yang berlebihan dan infeksi aportunistik.
Infeksi HIV biasanya secara klinis tidak bergejala saat terakhir,
meskipun “ priode inkubasi “  atau interval sebelum muncul gejala infeksi
HIV, secara umum lebih singkat pada infeksi perinatal dibandingkan pada
infeksi HIV dewasa. Selama fase ini, gangguan regulasi imun sering
tampak pada saat tes, terutama berkenaan dengan fungsi sel B;
hipergameglobulinemia dengan produksi antibody nonfungsional lebih
universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering
meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan. Ketidak mampuan untuk berespon
terhadap antigen baru ini dengan produksi imunoglobulin secara klinis
mempengaruhi bayi tanpa pajanan antigen sebelumnya, berperang pada
infeksi dan keparahan infeksi bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV
pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering merupakan temuan lanjutan, dan
mungkin tidak berkorelasi dengan status simtomatik. Bayi dan anak-anak
dengan infeksi HIV sering memiliki jumlah limfosit yang normal, dan
15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin memiliki resiko limfosit CD4
terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang untuk beberapa
alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan
kerentanan perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi
relatif ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.

D. Pathway
E. Tanda Dan Gejala
Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal
secara klinis dan imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang
secara klinis tidak tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV,
meskipun penilaian imunologik bayi beresiko dipersulit oleh beberapa
factor unik. Pertama, parameter spesifik usia untuk hitung limfosit CD4
dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan jumlah CD4 absolut yang lebih
tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal  masa bayi, diikuti
penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama. Selain itu, pajanan obat
ini beresiko dan bahkan pajanan terhadap antigen HIV tanpa infeksi dapat
membingungkan fungsi dan jumlah limfosit. Oleh karena itu, hal ini peting
untuk merujuk pada standar yang ditentukan usia untuk hitung CD4, dan
bila mungkin menggunakan parameter yang ditegakkan dari observasi bayi
tak terinfeksi yang lahir dari ibu yang terinfeksi.
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa
bayi jarang diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers
For Diseasen Control sebagai bagian definisi mencakup demam,
kegagalan berkembang, hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati
generalisata (didefinisikan sebagai nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2
atau lebih area tidak bilateral selama >2 bulan), parotitis, dan diare.
Diantara semua anak yang terdiagnosis dengan infeksi HIV, sekitar 90%
akan memunculkan gejala ini, kebergunaannya sebagai tanda awal infeksi
dicoba oleh studi the European Collaborativ pada bayi yang lahir dari ibu
yang terinfeksi. Mereka menemukan bahwa dua pertiga bayi yang
terinfeksi memperlihatkan tanda dan gejala yang tidak spesifik pada usia 3
bulan, dengan angka yang lebih rendah diantara bayi yang tidak terinfeksi.
Pada penelitian ini, kondisi yang didiskriminasi paling baik antara bayi
terinfeksi dan tidak terinfeksi adalah kandidiasis kronik, parotitis,
limfadenopati persistem, hepatosplenomegali. Otitis media, tinitis, deman
yang tidak jelas, dan diare kronik secara tidak nyata paling sering pada
bayi yang terinfeksi daripada bayi yang tidak terinfeksi.
PUSAT UNTUK KLASIFIKASI CONTROL PENYAKIT INFEKSI
HIV PADA ANAK
Kelas P-O: infeksi intermediate
Bayi <15 bulan yang lahir dari ibu yang terinfeksi tetapi tanpa tanda
infeksi HIV
Kelas P-1: infeksi asimtomatik
Anak yang terbukti terinfeksi, tetapi tampa gejala P-2; mungkin
memiliki fungsi imun normal (P-1A) atau abnormal (P-1B)
Kelas P-2: infeksi sitomatik
P-2A: gambaran demam nonspesifik (>2 lebih dari 2 bulan) gagal
berkembang,   limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, parotitis, atau
diare rekuren atau persistem yang tidak spesifik.
P-2B: penyakit neurologi yang progresif
P-2C: Pneumonitis interstisial limfoid
P-2D: infeksi oportunistik menjelaskan AIDS, infeksi bakteri
rekuren, kandidiasis oral persisten, stomatitis herpes rekuren, atau zoster
multidermatomal.
P-2E: kanker sekunder, termasuk limfoma non-Hodgkin sel-B atau
limforma otak
P-2F: penyakit end-organ HIV lain (hepatitis, karditis, nefropati,
gangguan hematologi)

Tanda pertama infeksi tidak nyata. Pengalaman dari beberapa pusat


penelitian menunjukkan bahwa sekitar 20% bayi yang terinfeksi secara
cepat akan berkembang menjadi gangguan imun dan AIDS. Banyak dari
bayi ini akan menampakkan gejala aneumonia Pneumocystis carinii (PCP)
pada usia 3 sampai 6 bulan, atau menderita infeksi bakteri serius lain. Pada
beberapa bayi, jumlah CD4 mungkin normal saat terjadinya PCP.
Dalam 2 tahun setelah lahir, kebanyakan bayi akan mengalami
beberapa derajat kegagalan berkembang, demam rekuren atau kronik,
keterlambatan perkembangan, adenopati persisten, atau hepatosplemegali.
Semua ini bukan keadaan kecacatan, dan konsisten dengan kelangsungan
hidup yang lama. Melebihi ulang tahun pertama, sekitar 8% bayi ini akan
berkembang menjadi AIDS terbatas CDC per tahun. Penunjukan “AIDS”
merupakan kebergunaan yang sangat terbatas pada prognosis atau pada
nosologi deskriptif infeksi HIV, tetapi penyakit indicator AIDS berperang
sebagai tanda tingginya perkembangan penyakit dan sebagai catalog
kondisi yang sering terlihat dengan perkembangan penyakit. Masing-
masing dibahas secara singkat dibawah:
Pneumonia Pneumocystis carinii (PCP). PCP merupakan penyakit
indicator AIDS paling sering, yang terjadi pada sekitar sepertiga anak dan
bayi yang terinfeksi. Usia rata untuk munculnya penyakit adalah sekitar
usia 9 bulan, meskipun puncaknya sampai usia 3 sampai 6 bulan diantara
bayi-bayi yang berkembang sangat cepat. Tidak seperti reaksi PCP pada
orang dewasa, infeksi ini biasanya merupakan infeksi primer pada anak
yang terinfeksi HIV, bergejala subkutan atau mendadak dengan demam,
batuk, takipnea, dan ronki. PCP sulit dibedakan dengan infeksi paru lain
atau usia ini, dan karena trimetoprim-sulfametoksasol dan kortikosteroid
intravena diberikan pada awal perjalanan penyakit menyebabkan
perbaikan yang signifikan, lavese bronkoalveolar diagnostic harus
dipikirkan secara serius pada bayi beresiko dengan gambaran klinis
konsisten. PCP memberikan prognosis yang tidak baik pada awal
penelitian dengan kelangsungan hidup media 1 bulan setelah diagnosis.
Saat ini dikenali bahwa penyakit yang lebih ringan dapat terjadi dan
konsisten dengan kelangsungan hidup yang lama. Profilaksin PCP dengan
trimetoprim-sulfametoksasol oral efektif, dan merupakan indikasi untuk
bayi dengan kehilangan limfosit CD4 yang signifikan, sebelum PCP, dan
pada beberapa bayi muda dengan perkembangan gejala terkait HIV yang
cepat.
Pneumolitis Interstisial Limfoid (LIP). Infiltrasi paru intersisial
kronik telah ditentukan pada orang dewasa yang terinfeksi HIV dalam
jumlah kecil, tetapi terjadi pada sekitar 20% anak yang terinfeksi HIV.
Dianggap berhubungan dengan infeksi virus Epstein-Barr. Kondisi ini
ditandai dengan perjalanan kronik eksa-serbasi intermiten (sering selama
infeks respirasi yang terjadi di antara infeksi atau selama infeksi. Infiltra
dada kronik yang terlihat pada sinar-X sering menunjukkan diagnosis,
tetapi hanya biopsy paru terbuka yang dapat dipercaya untuk diagnosis
definitive. Hipoksia jaran parah sampai terbawa selama beberapa tahun,
dan beberapa perbaikan pada kostikosteroid. LIP sebagai gejala yang
timbul pada infeksi HIV dapat disertai prognosis yang lebih baik, dan
sering terlihat pada kelompok gejala dengan hipergamaglobulinemia yang
nyata dan parotitis.
Infeksi Bakteri Rekuren. Untuk criteria AIDS pediatric CDC, infeksi
bakteri rekuren adalah dua atau lebih episode sepsis, meningitis,
pneumonia, abses internal, atau infeksi tulang dan sendi; ini semua terlihat
pada 15% anak-anak dengan AIDS pediatric. Infeksi bakteri yang lebih
sedikit, seperti infeksi sinus rekuren atau kronik, otitis media, dan
pioderma masih sering terjadi. Streptococcus pneumonia merupakan
isolate darah yang paling sering pada anak yang terinfeksi HIV, meskipun
stafilokokal gram-negatif, dan bahkan bakteremia pseudomonal terjadi
berlebihan. Penanganan episode demam pada anak yang terinfeksi HIV
sama dengan penanganan anak dengan kondisi yang menganggu imunitas
lain. Gangguan kemampuan untuk menjaga respons antibody yang efektif
dan kurangnya pajanan membuat anak yang terinfeksi HIV rentang
terhadap penyakit bakteri yang lebih setius. Profilaksis dengan
immunoglobulin intravena dapat mengurangi frekuensi dan keparahan
infeksi bakteri yang serius.
Penyakit Neurologi Progresif. Sampai 60% anak yang terinfeksi HIV
dapat munculkan tanda infeksi system saraf pusat. Pada sekitar
seperempatnya, infeksi ini dalam bentuk ensefalopati static yang biasanya
bermanifestasi pada tahun pertaman dengan keterlambatan perkembangan.
Pada sekitar sepertiganyan, terjadi ensefalopati progresif, dengan
kehilangan kejadian yang penting sebelumnya dan deficit motorik dan
kognitif yang berat. Pencitraan saraf dapat memperlihatkan atrofi serebral,
kelainan subtansi alba, atau klasifikasi ganglion basal, atau kesemuanya,
meskipun keparahan abnormalitas pencitraan sering tidak berkorelasi
dengan gambaran klinis. Zidovudin IV kontinu ditemukan menyebabkan
perbaikan yang dramatic pada beberapa anak dengan deficit perkembangan
saraf; kostikosteroid juga menguntungkan pada laporan terisolasi.
Wasting Syndrome. Kegagalan kronik untuk tumbuh pada infeksi
HIV lanjut terjadi pada sekitar 10% bayi dan anak dengan AIDS dan
hamper selalu multifaktorial. Deficit system saraf pusat dari latergi sampai
kelemahan dalam mengunyah; abnormalitas neuroendokrin; malabsorpsi
dan diare akibat infeksi HIV primer, infeksi usus sekunder, atau terapi; dan
katabolisme yang diinduksi infeksi sering berperang pada masalah yang
menjengkelkan ini.
Infeksi Oportunistik. Lebih dari satu lusin infeksi oportunistik
spesifik memenuhi AIDS, meskipun setelah PCP, paling sering pada AIDS
pediatric adalah esofagistis kandida, terjadi pada sekitar 10%, dan infeksi
kompleks, Mycobakterium avium. Diantara virus-virus, infeksi CMV
diseminata dan lama pada saluran cerna, dan infeksi virus varisela zoster
apitikal, rekuren dan ekstensif sering terjadi. Walaupun daftar panjang
pathogen yang menyebabkan penyakit berat dan lama tidak lazim pada
penjamu ini, virus respirasi yang lazim, mencakup virus sinsitial
respiratorius, jarang menyebabkan penyakit yang berkomplikasi.
Terkenanya organic lain. Terkenanya hepar padi infeksi HIV
pediatric sering mengambil bentuk organ yang membesar sedang sampai
berat, transaminitis berfluktuasi. Yang jarang adalah hepatitis kolestatik
berat yang terjadi pada bayi yang terinfeksi pada tahun pertama, dengan
prognosis buruk. Kelainan hati dapat disebabkan oleh infeksi yang
bersama dengan CMV, HCV, atau HBV, oleh infeksi HIV itu sendiri, atau
banyak agen infeksius lain. Penyakit ginjal yang sering terjadi, paling
sering bermanifestasi protenuria. Perubahan mesangial dan
glomerulokslerosis fokal telah diindentifikasi sebagai patologi yang paling
sering terjadi pada anak dengan AIDS. Kelainan jantung dapat
diperhatikan pada separuh anak semua usia penyakit HIV, meskipun
insiden kardiomiopati simtomatik hanya 12 sampai 20%; efusi pericardial
dan gangguan fungsi ventrikel merupakan kelainan ekokardiografi yang
paling sering ditemukan. Meskipun frekuensi penyakit paru kronik pada
pasien ini, terkenanya vertikel kiri beberapa kali lebih sering daripada
yang kanan. Tekanan HIV langsung, autoimunitas, malnutrisi dan infeksi
bersama dengan virus miotropik semuanya telah dihipotesis sebagai
etiologi. Fenomena autoimun mencakup anemia hemolitik positif-coombs
dan trombositopenia. Sarcoma Kaposi dan kanker sekunder lain jarang
pada anak yang terinfeksi HIV.

F. Diagnosis
Diagnosis awal bayi yang terinfeksi sangat diinginkan, tetapi
pengenalan awal bayi yang beresiko HIV lebih penting. Hanya jika infeksi
HIV pada perempuan hamil teridentifikasi, terhadap kesempatan untuk
mengubah ibu dan bayi secara cepat dengan terapi antiviral atau preventif.
Oleh karena itu uji dan konseling HIV harus menjadi bagian rutin pada
perawatan kehamilan.
Menetapnya antibody terhadap HIV yang didapat secara
transplasenta pada bayi merupakan komplikasi pemakaian uji antibody
konversional dalam mendignosis infeksi HIV pada masa bayi. Karena
antibodi seperti ini dapat menetap dalam sirkulasi bayi yang tidak
terinfeksi selama 18 bulan, diagnosis infeksi pada bayi beresiko
memerlukan biakan virus dari bayi (biakan HIV), atau adanya antigen HIV
(antigen p24) atau asam nuclear viral-[reaksi rantai polymerase HIV
(PCR)]. Uji virolegi dengan PCR atau biakan HIV darah perifer dapat
diharapkan menegakkan atau menyingkirkan (95% dapat dipercaya)
diagnosis infeksi HIV pada usia 3 sampai 6 bulan. Uji-uji ini jika
dilakukan dengan tepat mempunyai angka positivitas palsu rendah yang
dapat diterima dan dapt diandalkan untuk menegaskan infeksi pada semua
usia. Sensitivitas pada tiap-tiap tes lebih rendah pada priode parinatal,
membuat diperlukannya tes serial. Untuk memonitor secara prospektif
bayi yang beresiko, uji firologi diagnostic dianjurkan sekurang-kurangnya
2 kali dalam 6 bulan pertama. Sebagai orang tua diberitahukan bahwa
anaknya terinfeksi, konfirmasi dan tinjauan semua uji laboratorium
dianjurkan.
Bila bayi atau anak tanpa factor resiko yang dikenali untuk infeksi
HIV tampak dengan gambaran atau tanda yang cocok dengan defisiensi
imun, diagnosis HIV harus dijalankan bersama defisiensi imun lain.
Kenyataan bahwa infeksi HIV akhir-akhir ini merupakan penyebab utama
defisiensi imun pada anak yang lebih mudah membantu saat
membersihkan konseling orang tua berkenang dengan uji serologi.
Pada anak berusia 18 bulan sampai masa remaja, tes serologi yang
positif yang dikonfirmasi untuk antibody terhadap HIV (ELISA dan
bekuan Western atau tes konfirmasi lain) biasanya cukup untuk
menegakkan diagnosis infeksi HIV. Beberapa persen bayi tidak terinfeksi
dari ibu yang terinfeksi HIV akan memiliki antibody yang berasal dari ibu
yang dideteksi, sehingga konfirmasi virologi diharapkan. Kesukaran lain
yang jarang dalam diagnosi yang didasarkan pada serologi saja adalah bayi
yang terinfeksi HIV yang tidak menghasilkan antibody spesifik HIV dan
keadaan yang tidak lazim pada bayi terinfeksi yang menjadi seronegatif
setelah pencucian antibody meternal sebelum menghasilkan antibody itu
sendiri.

G. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral,
gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV),
leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan,
keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak
putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati,
kandidiasis oral akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung.
Tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan menelan
yang sulit dan rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal).
2. Neurologik
a)  ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks
dimensia AIDS (ADC; AIDS dementia complex). Manifestasi
dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan
berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik,
apatis dan ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif
global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan efektif
seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi paraparesis
spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan
kematian.
b) Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam,
sakit kepala, malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan
status mental dan kejang-kejang. diagnosis ditegakkan dengan
analisis cairan serebospinal.

3. Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang
diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup
penurunan BB > 10% dari BB awal, diare yang kronis selama
lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang
kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat
menjelaskan gejala ini.
a) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora
normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek,
penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi,
dan dehidrasi.
b) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma
Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual
muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
c) Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan
inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek
inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
4. Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas
(dispnea), batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam
akan menyertai pelbagi infeksi oportunis, seperti yang disebabkan
oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus
influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster,
dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan
dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder
dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes
simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri
dan merusak integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan
infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai
deformitas. dermatitis sosoreika akan disertai ruam yang difus,
bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta
wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis
menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan
mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan
psoriasis.
6. Sensorik
 Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau
kelopak mata : retinitis sitomegalovirus berefek kebutaan
 Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media,
kehilangan pendengaran dengan efek nyeri yang
berhubungan dengan mielopati, meningitis,
sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.

H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan
menguji HIV. Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western
blot. Penilaian Elisa dan latex agglutination dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila dikatakan positif HIV
harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah dengan cara
menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction)
atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi
(biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
 ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan
western blot)
 Western blot (positif)
 P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
   Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara
berturut-turut mendeteksi enzim reverse transcriptase atau
antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
 LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami
penurunan).
 CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan
kemampuan untuk bereaksi terhadap antigen)
   Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
 Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan
berlanjutnya penyakit).
 Kadar immunoglobulin (meningkat)
I. Penatalaksanaan
1. Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV
antara lain:
a) Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup
sehat dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi.
b) Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta
keganasan yang ada.
c) Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti
golongan dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang
dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA
virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV.
d) Mengatasi dampak psikososial
e) Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV,
perjalanan penyakit, dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga
medis.
f) Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan
harus selalu memperhatikan perlindungan universal (universal
precaution)
J. Pengobatan
Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS.
Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan
perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan
dengan menmggunakan tiga parameter : status kekebalan, status infeksi
dan status klinik dalam kategori imun : 1) tanpa tanda supresi, 2) tanda
supresi sedang dan 3) tanda supresi berat. Seorang anak dikatakan dengan
tanda dan gejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi imun
dikategorikan sebagai A2. Status imun didasarkan pada jumlah CD$ atau
persentase CD4 yang tergantung usia anak (Betz dan Sowden, 2002).
Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan
ditujuan terhadap mencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti
Kandidiasis dan pneumonia interstisiel. Azidomitidin ( Zidovudin), videks
dan Zalcitacin (DDC) adalah obat-obatan untuk infeksi HIV dengan
jumlah CD4 rendah, Videks dan DDC kurang bermanfaat untuk oenyakit
sistem saraf pusat. Trimetoprin sulfametojsazol (Septra, Bactrim) dan
Pentamadin digunakan untuk pengobatan dan profilaksi pneumonia cariini
setiap bulan sekali berguna untuk mencegah infeksi bakteri berat pada
anak, selain untuk hipogamaglobulinemia. Imunisasi disarankan untuk
anak-anak dengan infeksi HIV, sebagai pengganti vaksin poliovirus
(OPV), anak-anak diberi vaksin vorus polio yang tidak aktif (IPV) (Betz
dan Sowden, 2002).

K. Pencegahan
Pencegahan infeksi HIV primer pada semua golongan usia
kemungkinan akan memengaruhi epidemil global lebih dari terapi apa pun
dimasa depan yang dapat diketahui. Kesalahan konsepsi mengenai factor
resiko untuk infeksi HIV adalah target esensial untuk usaha mengurangi
perilaku resiko, terutama diantara remaja. Untuk dokter spesialis anak,
kemampuan member konsultasi pada pasien dan keluarga secara efektif
mengenai praktik seksual dan penggunaan obat adalah aliran utama usaha
pencegahan ini. Bahkan pendidikan dan latihan tersedia dari The
American Medical Assosiation dan The American Academy of Pediatrics
yang dapat membantu dokter pediatric memperoleh kenyamanan dan
kompetensi yang lebih besar pada peran ini.
Pencegahan infeksi HIV pada bayi dan anak harus dimulai dengan
tepat dengan pencegahan infeksi pada perempuang hamil. Langkah kedua
harus menekan pada uji serologi HIV bagi semua perempuan hamil.
Rekomendasi ini penting karena uji coba pengobatan mutakhir
menunjukkan bahwa protocol pengobatan bayi menggunakan obat yang
sama selama beberapa minggu secara signifikan mengurangi angka
transmisi dari ibu ke bayi.
Pemberian zidovudin terhadap wanita hamil yang terinfeksi HIV-1
mengurangi penularan HIV-1 terhadap bayi secara dermatis. Penggunaan
zidovudin (100 mg lima kali/24 jam) pada wanita HIV-1 dalam 14 minggu
kehamilan sampai kelahiran dan persalinan dan selama 6 minggu pada
neonatus (180 mg/m2 secara oral setiap jam) mengurangi penularan pada
26% resipien palasebo sampai 8% pada resipien zidovudin, suatu
perbedaan yang sangat bermakna. Pelayanan kesehatan A.S. telah
menghasilkan pedoman untuk penggunaan zidovudin pada wanita hamil
HIV-1 positif untuk mencegah penularan HIV-1 perinatal. Wanita yang
HIV-1 positif, hamil dengan masa kehamilan 14-34 minggu, mempunyai
anak limfosid CD4 +  200/mm atau lebih besar, dan sekarang tidak berada
pada terapi atteretrovirus dianjurkan menggunakan zidovudin. Zidovudin
intravena (dosis beban 1 jam 2 mg/kg/jam diikuti dengan infus terus
menerus 1 mg/kg/jam sampai persalinan) dianjurkan selama proses
kelahiran. Pada semua keadaan dimana ibu mendapat zidovudin untuk
mencegah penularan HIV-1, bayi harus mendapat sirup zidovudin (2
mg/kg setiap 6 jam selama usia 6 minggu pertama yang mulai dan8 jam
sesudah lahir). Jika ibu HIV-1 positif dan tidak mendapatkan zidovudin,
zidovudin harus dimulai pada bayi baru lahir sesegera mungkin sesudah
lahir, tidak ada bukti yang mendukung kemajuan obat dalam mencegah
infeksi HIV-1 bayi baru lahir sesudah 24 jam. Ibu dan anak diobati dengan
zidovudin harus diamati dengan ketak untuk kejadian-kejadian yang
merugikan dan didaftar pada PPP untuk menilai kemungkinan kejadian
yang merugikan jangka lama. Saat ini, hanya anemia ringan reversible
yang telah ditemukan pada bayi. Untuk melaksanakan pendekatan ini
secara penuh, semua wanita harus mendapatkan prenatal yang tepat, dan
wanita hamil harus diuji untuk positivitas HIV-1.
Penularan seksual. Pencegahan penularan seksual mencakup
penghindaran pertukaran cairan-cairan tubuh. Kondom merupakan bagian
integral program yang mengurangi penyakit yang ditularkan secara
seksual. Seks tanpa perlindungan dengan mitra yang lebih tua atau dengan
banyak mitra adalah biasa pada remaja yang terinfeksi HIV-1.
2. Asuhan Keperawatan HIV/AIDS pada anak
A. Pengkajian
1.    Data Subjektif, mencakup:
a) Pengetahuan klien tentang AIDS
b) Data nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
c)   Dispneu (serangan)
d) Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya).
2. Data Objektif, meliputi
a)   Kulit, lesi, integritas terganggu
b) Bunyi nafas
c) Kondisi mulut dan genetalia
d) BAB (frekuensi dan karakternya)
e) Gejala cemas
3. Pemeriksaan Fisik
a) Pengukuran TTV
b) Pengkajian Kardiovaskuler
c) Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat.
Gagal jantung kongestif sekunder akibat kardiomiopati karena
HIV.
d) Pengkajian Respiratori
e) Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea,
hipoksia, nyeri dada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.
f) Pengkajian Neurologik
g)   Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku,
nyeri otot, kejang-kejang, enselofati, gangguan psikomotor,
penurunan kesadaran, delirium, meningitis, keterlambatan
perkembangan.
h) Pengkajian Gastrointestinal
i)   Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan
menelan, bercak putih kekuningan pada mukosa mulut, faringitis,
candidisiasis esophagus, candidisiasis mulut, selaput lender kering,
pembesaran hati, mual, muntah, colitis akibat diare kronis,
pembesaran limfa
j)   Pengkajain Renal
k) Pengkajaian Muskuloskeletal
l)   Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)
m) Pengkajian Hematologi
n) Pengkajian Endokrin
4. Kaji status nutrisi
a) Kaji adanya infeksi oportunistik
b) Kaji adanya pengetahuan tentang penularan

B. Dapatkan riwayat imunisasi


1. Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor resiko terhadap
aids pada anak-anak: exposure in utero to HIV-infected mother,
pemajanan terhadap produk darah, khususnya anak dengan
hemophilia, remaja yang menunjukan prilaku resiko tinggi.
2. Obsevasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh,
limfadenopati, hepatosplenomegali
3. Infeksi bakteri berulang
4. Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii
(pneumonitys inter interstisial limfositik, dan hyperplasia limfoid
paru).
5. Diare kronis
6. Gambaran neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang telah di
capai sebelumnya, kemungkinan mikrosefali, pemeriksaan  neurologis
abnormal
7. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian missal tes antibody
serum.

C. Diagnosa Keperawatan
Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat
dirumuskan pada anak dengan HIV antara lain:
1) Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi
secret sekunder terhadap hipersekresi sputum karena proses
inflamasi
2) Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari
hipotalamus sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody
(Proses inflamasi)
3) Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan
penurunan pemasukan dan pengeluaran sekunder karena
kehilangan nafsu makan dan diare
4) Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan
peningkatan motilitas usus sekunder proses inflamasi system
pencernaan
5) Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan
dermatitis seboroik dan herpers zoster sekunder proses
inflamasi system integumen
6) Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan
tubuh, adanya organisme infeksius dan imobilisasi
7) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan,
kandidiasis oral
8) Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan
fisik, hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV
9) Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK sekunder proses
penyakit (misal: ensefalopati, pengobatan).
10) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai
anak dengan penyakit yang mengancam hidup.

D. Intervensi Keperawatan
Menurut Betz dan Sowden (2002) intervensi keperawatan yang
dapat dilakukan oleh seorang perawat terhadap anak dan ibu yang sudah
menderita infeksi HIV antara lain :
1. Lindungi bayi, anak atau remaja dari kontak infeksius,
meskipun kontak biasa dari orang ke orang tidak menularkan
HIV
2.   Cegah penularan infeksi HIV dengan membersihkan bekas
darah atau cairan tubuh lain dengan larutan khusus, pakai
sarung tangan lateks bila akan terpajan darah atau cairan tubuh,
pakai masker dengan pelindung mata jika ada kemungkinan
terdapat aerosolisasi atau terkena percikan darah atau cairan
tubuh, cuci tangan setelah terpajan darah atau cairan tubuh dan
sesudah lepasa sarung tangan, sampah-sampah yang
terrkontaminasi darah dimasukkan ke dalam kantong plastik
limbah khusus.
3. Lindungi anak dari kontak infeksius bila tingkat kekebalan anak
rendah dengan cara lakukan skrining infeksi, tempatkan anak
bersama anak yang non infeksi dan batasi pengunjung dengan
penyakit infeksi.
4. Kaji pencapaian perkembangan anak sesuai usia dan pantau
pertumbuhan (tinggi badan, berat badan, lingkar kepala
5. Bantu keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
menghambat kepatuhan terhadap perencanaan pengobatan
6. Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim
kesehatan bila terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi, ajarkan
pada anak dan keluarga memberitahu dokter tentang adanya
efek samping
7. Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penjadualan
pemeriksaan tindak lanjut : nama dan nomor telepon dokter
serta anggota tim kesehatan lain yang sesuai, tanggal dan waktu
serta tujuan kunjungan pemeriksaan tindak lanjut
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada ibu dan anak
yang belum terinfeksi HIV antara lain :
1. Ibu jangan melakukan hubungan seksual berganti-ganti
pasangan tanpa kondom.
2. Gunakan jarum suntik steril, dan tidak menggunakan jarum
suntik secara bersama secara bergantian atau tercemar darah
mengandung HIV.
3. Tranfusi darah melalui proses pemeriksaan terhadap HIV
terlebih dahulu.
4. Untuk Ibu HIV positif kepada bayinya saat hamil, proses
melahirkan spontan/normal sebaiknya tidak menyusui bayi
dengan ASInya
5. HIV tidak menular melalui : bersentuhan, bersalaman dan
berpelukan (kontak sosial), berciuman (melalui air liur),
keringat, batuk dan bersin, berbagi makanan atau menggunakan
peralatan makan bersama, gigitan nyamuk atau serangga lain,
berenang bersama, dan memakai toilet bersama sehingga tidak
perlu takut dan khawatir tertular HIV.
BAB 4
PENUTUP

A. Kesimpulan
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer,
2000:162)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas
seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara
keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan
keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
Dengan sedikit pengecualian, bayi dengan infeksi HIV perinatal secara klinis
dan imunologis normal saat lahir. Kelainan fungsi imun yang secara klinis tidak
tampak sering mendahului gejala-gejala terkait HIV, meskipun penilaian
imunologik bayi beresiko dipersulit oleh beberapa factor unik. Pertama, parameter
spesifik usia untuk hitung limfosit CD4 dan resiko CD4/CD8 memperlihatkan
jumlah CD4 absolut yang lebih tinggi dan kisaran yang lebih lebar pada awal
masa bayi, diikuti penurunan terhadap pada beberapa tahun pertama
Gejala terkait HIV yang paling dini dan paling sering pada masa bayi jarang
diagnostic. Gejala HIV tidak spesifik didaftar oleh The Centers For Diseasen
Control sebagai bagian definisi mencakup demam, kegagalan berkembang,
hepatomegali dan splenomegali, limfadenopati generalisata (didefinisikan sebagai
nodul yang >0,5 cm terdapat pada 2 atau lebih area tidak bilateral selama >2
bulan), parotitis, dan diare.

B.   Saran
Pemberian materi yang lebih mendalam dapat meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan disamping
pengarahan dan bimbingan yang senantiasa diberikan sehingga keberhasilan
dalam tugas dapat dicapai
DAFTAR PUSTAKA

Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.

Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.

Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th
edition, Mosby Year Book, Toronto

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I
Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta

Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.

Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua,
EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai