Anda di halaman 1dari 45

SKENARIO MENCRET BERKEPANJANGAN

KELOMPOK : B-9

NAMA NPM

Tri Amira Sowakil (1102014266)

Yuliana Wahyuni (1102014289)

Mashitta Safira Putri (1102015127)

Melani Oktavia (1102015131)

Nazhira Nur Amalia (1102015165)

Rizki Maulana Syukur (1102015203)

Sarah Musyarofah (1102015217)

Salma Nara Fadhilla (1102015212)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

2016

I. SKENARIO 4

0
Mencret Berkepanjangan

Seorang laki-laki berusia 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan diare


yang hilang timbul sejak 3 bulan yang lalu, disertai sering demam, sariawan, tidak
nafsu makan dan berat badan menurun sebanyak 10 kg dalam waktu 3 bulan
terakhir. Dari anamnesis didapatkan pasien adalah anggota komunitas gay.
Pada pemeriksaan fisik pasien terlihat kaheksia, mukosa lidah kering dan
terdapat bercak-bercak putih. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin
didapatkan LED 50 mm/jam. Pemeriksaan feses terdapat sel ragi. Pada
pemeriksaan screening antibody HIV didapatkan hasil (+) kemudian dokter
menganjurkan pemeriksaan konfirmasi HIV dan hitung jumlah limfosit T CD4
dan CD8.
Dari data tersebut dokter menyimpulkan bahwa penderita ini mengalami
gangguan defisiensi imun akibat terinfeksi virus HIV. Dokter menganjurkan
pasien untuk datang ke dokter lain dengan alasan yang tidak jelas.

II. BRAINSTORMING

1
Kata Sulit
1. Kaheksia
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, kaheksia adalah
gangguan keadaan konstitusional yang nyata dan menonjol; kesehatan
umum yang buruk dan malnutrisi.
2. Pemeriksaan LED
Berdasarkan Panduan Lengkap Membaca Hasil Kesehatan, pemeriksaan
LED adalah pemeriksaan yang ditujukan untuk melihat kecepatan darah
dalam membentuk endapan.
3. Mukosa
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, mukosa adalah Tunika
mucosa. Mukus adalah lender bebas selaput lendir, terdiri dari sekresi
kelenjar-kelenjar bersama dengan berbagai garam anorganik, sel yang
berdeskuamasi dan leukosit.
4. Pemeriksaan screening antibodi
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, pemeriksaan screening
antibodi merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui
penyakit yang belum tampak.
5. Limfosit T CD4 dan CD8
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, Limfosit T CD4
merupakan limfosit T helper (Th). Sedangkan Limfosit T CD8 merupakan
limfosit T sitotoksik (Tc).
6. Sel ragi pada feses
Sel ragi pada feses merupakan indikator infeksi jamur pada sistem
pencernaan.
7. Virus HIV
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, virus HIV adalah virus
yang menyerang limfosit T CD4 dan menjadikannya tempat berkembang
biak, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi.
8. Defisiensi imun
Berdasarkan Nelson Ilmu Kesehatan Anak, defisiensi imun adalah
berbagai kelompok gangguan dengan cacat sistem imun humoral, seluler,
dan atau fagosit, menyebabkan infeksi yang sangat berbahaya dengan
kematian prematur dalam usia beberapa tahun pertama.

III. Pertanyaan
1. Kenapa pasien sering mengalami demam, diare, dan sariawan?
2. Kenapa virus HIV dapat menyebabkan defisiensi imun?
3. Mengapa dokter menyarankan pemeriksaan hitung jumlah Limfosit T CD4
dan CD8?
4. Apakah dokter tersebut melanggar KODEKI?
5. Bagaimana cara penularan HIV?
6. Mengapa pasien terlihat kaheksia?
7. Mengapa dilakukan pemeriksaan LED?
8. Berapa jumlah limfosit T CD4 dan CD8 yang normal maupun yang
dimiliki penderita HIV?
9. Apa saja gejala-gejala penyakit HIV?

2
10. Mengapa dokter menyarankan pasien tersebut ke dokter lain dengan alasan
yang tidak jelas?
11. Apa hubungan antara gay dengan infeksi HIV?
12. Bagaimana pandangan Islam tentang penderita HIV?

IV. Jawaban
1. Ketika tubuh sudah terinfeksi HIV, menyebabkan tubuh mengalami
defisiensi imun dan menyebabkan flora normal yang ada di dalam tubuh
(sel ragi) berkembang biak dengan jumlah yang banyak dan bersifat
patogen. Sel ragi yang brsifat patogen menyebabkan set point hipotalamus
meningkat karena terjadi infeksi, sehingga terjadi demam.
2. Karen HIV menyerang sel limfosit T CD4. Sel limfosit T CD4 menjadi
tidak berfungsi dan menyebabkan proliferasi sel B terganggu, sehingga
pembentukan antibodi terganggu. Terjadilah defisiensi imun.
3. Karena virus HIV memiliki afinitas terhadap molekul permukaan pada sel
Limfosit T CD4 yang membuat virus HIV dapat menyerang sel limfosit T
CD4. Sel limfosit T CD8 kemudian menyerang sel CD4 yang terinfeksi
virus HIV, menyebabkan jumlah sel limfosit T CD4 dan CD8 menurun.
4. Ya, dokter tersebut melanggar KODEKI pasal 10.
5. Melalui cairan tubuh yang terinfeksi, melalui hubungan seks bebas dan
homoseksual, jarum suntik yang terinfeksi, dan transfusi darah.
6. Karena pasien mengalami diare berkepanjangan dan nafsu makan
menurun.
7. Untuk menentukan ada tidaknya infeksi dan peradangan, serta untuk
memantau perjalanan aktivitas penyakit.
8. Kadar CD4 normal: 50% dalam darah, sekitar 1.400-1.500 sel/mm3.
Kadar CD4 penderita HIV: menurun hingga mencapai < 200 sel/mm3
Kadar CD8 normal: 25% dalam darah.
Kadar CD8 penderita HIV: menurun.
9. Gejala mayor: berat badan turun drastic, diare kronik, dan demam
berkepanjangan.
Gejala minor: mudah sakit dan mudah terinfeksi, serta muncul ruam pada
kulit.
10. Karena dokter melakukan diskriminasi terhadap pasien akibat stigma yang
buruk dari HIV.
11. Karena virus HIV dapat ditularkan melalui oral dan anal sex.
12. Penderita HIV tidak semuanya karena kesalahan penderita, oleh karena itu,
Islam menyarankan agar pasien tetap sabar, ikhlas, dan bertawakal pada
Allah SWT.

Hipotesis

3
Virus HIV menyerang sel Limfosit T CD4 dan menyababkan sel tersebut
tidak berfungsi. Sel CD4 yang tidak berfungsi menyebabkan proliferasi sel B
terganggu dan pembentukan antibodi menjadi turut terganggu, sehingga terjadi
defisiensi imun. Defisiensi imun menyebabkan flora normal pada tubuh
berkembang biak tak terkontrol dan menjadi patogen. Hal ini menimbulkan dua
tipe gejala yaitu gejala mayor yang berupa berat badan menurun, diare kronik, dan
demam berkepanjangan, dan gejala minor yang berupa mudah sakit dan mulai
muncul ruam pada kulit. Dapat dilakukan pemeriksaan ELISA, LED, Western
Blot, dan hitung jumlah limfosit T CD4 dan CD8 untuk memastikan apakah
seseorang telah terpapar virus HIV. Jika hasil pemeriksaan positif, dokter
berkewajiban untuk merawat pasien tersebut ataupun merujuknya kepada dokter
ahli dengan alasan yang jelas sesuai dengan KODEKI. Pasien tersebut juga
diharapkan mampu bersabar, ikhlas, dan bertawakal kepada Allah SWT tentang
penyakit tersebut.

Sasaran Belajar

4
LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Defisiensi Imun
LO.1.1. Definisi Defisiensi Imun
LO.1.2. Klasifikasi Defisiensi Imun
LO.1.3. Etiologi Defisiensi Imun
LO.1.4. Patofisiologi Defisiensi Imun
LO.1.5. Diagnosis Defisiensi Imun

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan HIV


LO.2.1. Definisi HIV
LO.2.2. Klasifikasi HIV
LO.2.3. Epidemiologi HIV
LO.2.4. Etiologi HIV
LO.2.5. Patofisiologi HIV
LO.2.6. Manifestasi Klinis HIV
LO.2.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding HIV
LO.2.8. Tata Laksana HIV
LO.2.9. Komplikasi HIV
LO.2.10. Prognosis HIV
LO.2.11. Pencegahan HIV

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Dilema Etik


LO.3.1. Kewajiban Dokter dalam KODEKI untuk Penanganan HIV
LO.3.2. Etika Dokter dalam Penanganan Kasus yang Dapat Menimbulkan
Stigma

LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam tentang Penderita HIV

LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Defisiensi Imun

5
LO.1.1. Definisi Defisiensi Imun
Defisiensi imun terjadi akibat kegagalan satu atau lebih
komponen sistem imun. Defisiensi imun menimbulkan kerentanan
terhadap penyakit yang tergantung dari hilangnya fungsi imun.
Defisiensi imun (immunodeficiency) ditandai dengan kurangnya respon
imun; diklasifikasikan sebagai antibody (sel B), cellular (sel T) atau
combined immunodeficiency, atau phagocytic dysfunction disorder.
Adanya defisiensi imun harus dicurigai bila ditemukan tanda-
tanda klinis sebagai berikut:
a. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan jenis infeksinya
tergantung dari komponen sistem imun yang defektif.
b. Penderita dengan defisiensi imun juga rentan terhadap jenis kanker
tertentu.
c. Defisiensi imun dapat terjadi akibat defek pematangan limfosit
atau aktivasi atau dalam mekanisme efektor imunitas nonspesifik
dan spesifik.
d. Yang merupakan paradoks adalah bahwa imunodefisiensi tertentu
berhubungan dengan peningkatan insidens autoimunitas,
Mekanismenya tidak jelas, diduga berhubungan dengan defisiensi
sel Tr.
Defisiensi imun primer relatif jarang dan yang sekunder lebih
sering terjadi dan disebabkan oleh berbagai faktor sesudah lahir.
Penyakit immunodefisiensi terjadi jika sistem imun gagal
berespons secara adekuat terhadap invasi asing. Penyakit ini dapat
bersifat kongenital (terdapat sejak lahir) atau didapat (nonherediter),
dan mungkin hanya mengganggu imunitas yang diperantarai oleh
antibodi, imunitas yang diperantarai oleh sel, atau keduanya.
LO.1.2. Klasifikasi Defisiensi Imun
Defisiensi Imun dapat diklasifikasikan menjadi defisiensi
spesifik, defisiensi nonspesifik, defisiensi didapat, dan AIDS.
1.2.1. Defisiensi Imun Nonspesifik
1.2.1.1. Defisiensi Komplemen
Defisiensi komplemen atau fungsi komplemen
berhubungan dengan peningkatan insidens infeksi dan
penyakit autoimun seperti LES. Komponen komplemen
dibutuhkan untuk membunuh kuman, opsonisasi,
kemotaksis, pencegahan penyakit autoimun dan eliminasi
kompleks antigen antibodi. Defisiensi komplemen bisa
menimbulkan berbagai akibat seperti infeksi bakteri yang
rekuren dan peningkatan sensitivitas terhadap penyakit
autoimun. Kebanyakan defisiensi komplemen adalah
herediter.
Konsekuensi defisiensi komplemen tergantung pada
komponen yang kurang. Defisiensi C2 tidak begitu
berbahaya. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh karena
mekanisme jalur alternative tidak terganggu. Defisiensi C3
biasanya menimbulkan infeksi rekuren bakteri piyogenik

6
dan gram negative yang mungkin disebabkan oleh karena
tidak adanya factor kemotaktik, opsonisasi dan aktivitas
bakterisidal.
1.2.1.1.1. Defisiensi Komplemen Congenital
Defisiensi komplemen biasanya menimbulkan
infeksi yang berulang atau penyakit kompleks imun
seperti LES dan gromelrulonefritis.
a. Defisiensi inhibitor esterase C1
Defisiensi C1 INH berhubungan dengan
angiodem herediter, penyakit yang ditandai dengan
edem lokal sementara tetapi seringkali. Defek tersebut
menimbulkan aktivitas C1 yang tidak dapat dikontrol
dan produksi kinin yang meningkatkan permeabilitas
kapiler. C2a dan C4a juga dilepas yang merangsang
sel mast melepas histamine di daerah dekat trauma
yang berperan pada edem lokal. Kulit, saluran cerna,
dan napas dapat terkena dan menimbulkan edem
laring yang fatal.
b. Defisiensi C2 dan C4
Defisiensi C2 dan C4 dapat menimbulkan
penyakit serupa LES, mungkin disebabkankegagalan
eliminasi kompleks imun yang komplemen dependen.
c. Defisiensi C3
Defisiensi C3 dapat menimbulkan reaksi berat
yang fatal terutama yang berhubungan dengan infeksi
mikroba piogenik. Tidak adanya C3 berarti fragmen
kemotaktik C5 tidak diproduksi. Kompleks antigen-
antibodi-C3B tidak diendapkan di membrane dan
terjadi gangguan opsonisasi.
d. Defisiensi C5
Defisiensi C5 menimbulkan kerentanan terhadap
infeksi bakteri yang berhubungan dengan gangguan
kemotaksis.
e. Defisiensi C6, C7, dan C8
Defisiensi C6, C7, dan C8 meningkatkan
kerentanan terhadap septikemi meningokok dan
gondok. Lisis melalui jalur komplemen merupakan
mekanisme control utama dalam imunitas terhadap
Neisseria. Penderita dengan defisiensi protein tersebut
menunjukkan derajat infeksi neseria, sepsis, artritis
yang lebih berat dan peningkatan DIC.
1.2.1.1.2. Defisiensi komplemen fisiologik
Defisiensi komplemen fisiologik hanya
ditemukan pada neonatus yang disebabkan kadar C3,
C5, dan factor B yang masih rendah.

1.2.1.1.3. Defisiensi komplemen didapat

7
Disebabkan oleh depresi sintesis, misalnya pada
sirosis hati dan malnutrisi protein atau kalori. Pada
anemia sel sabit ditemukan gangguan aktivasi
komplemen yang meningkatkan risiko infeksi
salmonella dan pneumococcus
a. Defisiensi C1q,r,s
Defisiensi ini terjadi bersamaan dengan penyakit
autoimun, terutama pada penderita LES. Penderita ini
sangat rentan terhadap infeksi bakteri.
b. Defisiensi C2
Defisiensi ini merupakan defisiensi komplemen yang
paling sering terjadi. Defisiensi tersebut tidak
menunjukkan gejala.
c. Defisiensi C3
Defisiensi ini membuat penderita menunjukkan
infeksi bakteri rekuren. Pada beberapa kasus,
penderita disertai dengan glomerulonephritis kronik.
d. Defisiensi C4
Defisiensi C4 ditemukan pada beberapa penderita
LES.
e. Defisiensi C5-8
Penderita dengan defisiensi ini menunjukkan
kerentanan yang meningkat terutama pada infeksi
neseria.
f. Defisiensi C9.
Sangat jarang ditemukan. Penderita tidak
menunjukkan tanda infeksi rekuren.
1.2.1.2. Defisiensi interferon dan lisozim
1.2.1.2.1. Defisiensi Interferon Kongenital
Defisiensi interferon kongenital dapat
menimbulkan infeksi mononucleosis yang fatal.
1.2.1.2.2. Defisiensi iterferon dan lisozim didapat
Defisiensi interferon dan lisozim dapat
ditemukan pada malnutrisi protein/kalori.
1.2.1.3. Defisiensi Sel NK
1.2.1.3.1. Defisiensi congenital
Defisiensi sel NK kongenital telah ditemuka
pada penderita dengan osteopetrosis. Kadar IgG dan
IgA serta kekerapan autoatibodi biasanya meningkat.
1.2.1.3.2. Defisiensi didapat
Defisiensi sel NK yang didapat terjadi akibat
imunosupresi atau radiasi.
1.2.1.4. Defisiensi system fagosit.
Fagosit dapat menghancurkan mikroorganisme
dengan atau tanpa bantuan komplemen. Defisiensi fagosit
sering disertai dengan infeksi berulang. Kerentanan
terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung dengan
jumlah neutrofil yang menurun. Resiko infeksi meningkat

8
bila jumlah fagosit turun sampai di bawah 500/mm3.
Meskipun defek terutama mengenai fagosit, defisiensi
fagosit juga terjadi pada PMN.
1.2.1.4.1. Defisiensi Kuantitatif
Neutropenia atau granulositopenia dapat
disebabkan oleh penurunan produksi atau peningkatan
destruksi. Penurunan produksi neutrofil dapat
disebabkan oleh pemberian depresan sumsum tulang,
leukemia, kondisi genetic yang menimbulkan defek
dalam perkembangan semua sel progenitor dalam
sumsum tulang termasuk precursor myeloid.
Peningkatan destruksi neutrofil dapat
merupakan fenomena autoimun akibat pemberian obat
tertentu. Hipersplenisme dengan ciri destruksi fungsi
limpa yang berlebihan dapat menimbulkan defisiensi
elemen darah perifer.
1.2.1.4.2. Defisiensi Kualitatif
Defisiensi kualitatif dapat mengenai fungsi
fagosit seperti kemotaksis, menelan/memakan dan
membunuh mikroba intarseluler.
a. Chronic granulomatous disease. CGD adalah infeksi
rekuren berbagai mikroba, baik gram negative
maupun positif. CGD biasanya merupakan penyakit
X-linked resesif yang terjadi pada usia 2 tahun
pertama. Pada CGD ditemukan defek neutrofil dan
ketidakmampuan membentuk pereoksid hydrogen
atau metabolit oksigen toksik lainnya.
b. Defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase.
Defisiensi G6PD adalah penyakit imunodefisiensi
yang X-linked dengan gambaran klinis seperti CGD.
Pada penyakit ini ditemukan juga anemia hemolitik.
Penyakit diduga disebabkan oleh defisiensi generasi
NADPH. Gejalanya mulai terlihat pada usia di bawah
dua tahun berupa kerantanan yang tinggi terhadap
kuman yang biasanya mempunyai virulensi rendah
seperti S.epidermidis.
c. Defisiensi mieloperoksidase. Pada beberapa penderita
ditemukan infeksi mikroba rekuren terutama
K.albikans dan S.aureus. pada DMP kemampuan
membunuh neutrofil terganggu.
d. Sindrom chediak-higashi. Penderita ditandai dengan
infeksi rekuren, piogenik. Prognosis buruk dan
kebanyakan penderita meninggal pada usia anak. Dan
juga ditemukan neutrofil dengan kemotaksis dan
kemampuan membunuh yang abnormal dengan
aktivitas sel NK dan kadar enzim lisosom menurun.
e. Sindrom Job. Sindrom ini berupa pilek berulang,
abses stafilokok, eksim kronis, dan otitis media.

9
Kadar IgE serum sangat tinggi dan dapat ditemukan
eosinophilia.
f. Sindrom leukosit malas. Jumlah neutrofil menurun,
respons kemotaksis dan respon inflamasi terganggu.
g. Defisiensi adhesi leukosit. Merupakan penyakit
imunodefisiensi yang ditandai dengan infeksi bakteri
dan jamur rekuren dan gangguan penyembuhan luka.
Leukosit menunjukkan defek adhesi dengan endothel
dan antar leukosit, kemotaksis dan aktivitas
fagositosisnya buruk.
1.2.2. Defisiensi Imun Spesifik
1.2.2.1. Defisiensi Kongenital
Defisiensi sel B ditandai dengan infeksi rekuren oleh
bakteri. Defisiensi sel T ditandai dengan infeksi virus,
jamur, dan protozoa yang rekuren. Defisiensi fagosit
disertai oleh ketidakmampuan untuk memakan dan
menghancurkan patogen.
1.2.2.1.1. Defisiensi imun primer sel B.
Defisiensi sel B bisa berupa gangguan perkembangan
sel B. berbagai akibat dapat ditemukan seperti tidak
adanya satu kelas atau subkelas Ig atau semua Ig.
Penderita dengan defisiensi semua jenis IgG lebih
mudah menjadi sakit disbanding dengan yang hanya
menderitadefisiensi kelas Ig tertentu saja.
1.2.2.1.2. Defisiensi imun primer sel T.
Penderita dengan defisiensi sel T kongenital ini sangat
rentan terhadap infeksi virus, jamur, dan protozoa.
Oleh karena sel T juga berpengaruh terhadap aktivasi
dan ploriferasi sel B, maka defisiensi sel T disertai
pula dengan gangguan produksi Ig yang nampak dari
tidak adanya respon terhadap vaksinasi. Contoh
penyakitnya sindrom DiGeorge dan kandidiasis
mukokutan kronik.
1.2.2.1.3. Defisiensi kombinasi sel B dan sel T yang berat.
Salah satu contoh penyakit ini adalah Severe
Combined Immunodeficiency Disease (SCID) yang
mana penderitanya rentan terhadap infeksi virus,
bakteri, jamur, dan protozoa. Gejala mulai terlihat
pada usia muda dan bila tidak diobati jarang dapat
hidup melebihi usia satu tahun.
1.2.2.2. Defisiensi Imun Spesifik Fisiologik
1.2.2.2.1. Kehamilan. Keadaan ini dibutuhkan janin untuk
hidup. Hal tersebut diakibatkan karena terjadinya
peningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif factor
humoral yang dibentuk trofoblas. Wanita hamil
memproduksi Ig yang meningkat dan IgG diangkut
melewati plasenta.

10
1.2.2.2.2. Usia Tahun Pertama. Sistem imun pada anak usia satu
tahun pertama sampai lima tahun masih belum
matang. Meskipun neonates menunjukkan sel T yang
tinggi, tapi itu semua masih dalam bentuk sel T naif
sehingga tidak memberikan respon imun yang
adekuat terhadap antigen.
1.2.2.2.3. Usia Lanjut. Akibat atropi timus, jumlah sel T naif
dan kualitasnya makin berkurang. Jumlah sel T
memori meningkat tapi semakin sulit untuk
berkembang. Terutama sel CD8 dan Th 1 yang
menurun akibat apoptosis. Sitokin TH2, IL6
meningkat, sedangkan IL2 menurun.
1.2.3. Defisiensi didapat
1.2.3.1. Infeksi. infeksi dapat menyebabkan defisiensi imun.
Malaria dan rubella kongenital dapat berhubungan dengan
defisiensi antibodi. Campak sudah diketahui berhubungan
dengan defek imunitas seluler yang menimbulkan reaktivasi
tuberculosis. Hal-hal tersebut dapat terjadi bersama pada
penderita sakit berat.
1.2.3.2. Obat, trauma, tindakan kateterisasi, dan bedah. Obat sering
menimbulkan defisiensi imun sekunder. Tindakan
kateterisasi dan bedah dapat menimbulkan
imunokompromatis. Antibiotic dapat menekan system
imun. Obat sitotoksik, gentamisin, amikain, tobramisin
dapat mengganggu kemotaksis neutrofil. Penderita yang
mendapat trauma seperti luka bakar akan kurang mampu
menghadapi pathogen. Sebabnya tidak jelas, mungkin
karena penglepasan factor yang menekan respons imun.
1.2.3.3. Penyinaran. Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh
jaringan limfoid, sedang dosis rendah dapat menekan
aktivitas sel Ts secara selektif.
1.2.3.4. Penyakit berat. Defisiensi imun dapat terjadi akibat
berbagai penyakit seperti penyakit Hodgkin, myeloma
multiple, leukemia, dan limfosarkoma. Immunoglobulin
juga dapat hilang melalui usus pada diare.
1.2.3.5. Kehilangan immunoglobulin, bisa terjadi karena tubuh
kehilangan protein yang berlebihan seperti pada penyakit
ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik terjadi kehilangan
protein dan penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedang
IgM tetap normal. Pada diare dan luka bakar terjadi
kehilangan protein.
1.2.3.6. Agammaglobulinemia dengan timoma.
Agammaglobulinemia dengan timoma disertai dengan
menghilangnya sel B total dari sirkulasi. Eosinopenia atau
aplasia sel darah merah dapat pula menyertai
agamaglobulinemia
1.2.4. AIDS

11
AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang
disebut HIV. Pada umumnya AIDS disebabkan HIV-1 dan
beberapa kasus seperti di Afrika Tengah disebabkan oleh HIV-2.
Keduanya merupakan virus lenti yang menginfeksi sel CD4 T
yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV,
makrofag, dan jenis sel lain.
LO.1.3. Etiologi Defisiensi Imun
Defisiensi imun terjadi akibat kegagalan satu atau lebih
komponen sistem imun.
1.3.1. Defisiensi imun kongenital atau primer
Merupakan defek genetik yang meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi yang sering sudah bermanifestasi pada bayi dan
anak, tetapi kadang secara klinis baru ditemukan pada usia lebih
lanjut. Defisiensi imun dapat dibagi menjadi defisiensi imun
spesifik misalnya, defisiensi imun primer sel B, defisiensi imun
primer sel T, defisiensi kombinasi sel B dan sel T dan defisiensi
imun non spesifik misalnya, defisiensi komplemen kongenital,
defisiensi sel NK kongenital dan defisiensi sistem fagosit.
1.3.2. Defisiensi imun didapat atau sekunder
Merupakan defek yang timbul akibat malnutrisi, kanker
yang menyebar, pengobatan dengan immunosupresan, infeksi sel
sistem imun. Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan
limfosit yang dapat terjadi akibat infeksi HIV, malnutrisi, terapi
sitotoksik, dan lainnya. Defisiensi imun sekunder dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik.

Faktor Komponen yang Terkena


Defek Genetik Defek gen tunggal yang
diekspresikan di banyak
jaringan(misal ataksia
teleangiektasia, defisiensi deaminase
adenosin).

Defek gen tunggal khusus pada


sistem imun (misal defek tirosin
kinase pada X-linked agamma-
globulinemia;abnormalitas rantai
epsilon pada reseptor sel T).

Kelainan multifaktorial dengan


kerentanan genetik (misal common
variable immunodeficiency).
Kelainan Kromosom Anomali DiGeorge (delesi 22q11)

Defisiensi IgA selektif (trisomi 18)


Proses penuaan Infeksi meningkat, penurunan
respons terhadap vaksinasi,

12
penurunan respons sel T dan B serta
perubahan dalam kualitas respons
imun.
Malnutrisi dan Malnutrisi (misalnya kwashiorkor),
Penyakit Metabolik Protein losing enteropathy (misalnya
limfangiektasia intestinal),
Defisiensi vitamin (biotin, atau
transkobalamin II), dan
Defisiensi mineral (Seng pada
Enteropati Akrodermatitis).

Malnutrisi protein-kalori dan


kekurangan elemen gizi tertentu
(besi, seng/Zn); sebab tersering
defisiensi imun sekunder.
Mikroba Contohnya : malaria, campak, virus
imunosupresif terutama HIV; mekanismenya
melibatkan penurunan fungsi sel T
dan APC
Obat immunosupresif Steroid
Obat Obat yang banyak digunakan
sitotoksik/iradiasi terhadap tumor, juga membunuh sel
penting dari sistem imun termasuk
sel induk, progenitor neutrofil dan
limfosit yang cepat membelah dalam
organ limfoid.
Tumor Efek langsung dari tumor terhadap
sistem imun melalui penglepasan
molekul imunoregulator
imunosupresif
Trauma Infeksi meningkat, diduga
berhubungan dengan penglepasan
molekul immunosupresif seperti
glukokortikoid.

Penyakit lain seperti Diabetes sering berhubungan dengan


diabetes infeksi
Lain-lain Depresi, penyakit Alzheimer,
penyakit celiac, sarkoidosis, penyakit
limfoproliferatif, makroglobulinemia
Waldenstrom, anemia aplastik,
neoplasia

LO.1.4. Patofisiologi Defisiensi Imun

13
Pada status immunodefisiensi tertentu, bentuk sel B awal
memperlihatkan tidak adanya Ig permukaan atau dapat ditemukan IgM
dan IgG saja. Jumlah limfosit T dan kemampuannya untuk berfungsi
juga memengaruhi sekresi antibodi, karena pengenalan antibodi oleh
sel T harus mendahului sebagian besar respons antibodi (humoral). Sel
T penolong yang mengandung penanda membran CD4 juga mengatur
proliferasi dan perkembangan sel B sehingga menjadi sel plasma yang
mensekresi Ig. Sebaliknya, sel T supresor (mengandung CD8) dapat
bertindak untuk membatasi respons sel B. Penentuan jumlah
subkelompok sel T ini dapat memberikan petunjuk mengenai faktor-
faktor yang bertanggung jawab atas suatu gangguan respons antibodi
dan gangguan imunitas yang diperantarai sel (CMI).
Ketiadaan fungsi sel T yang hampir lengkap dapat terjadi jika
timus tidak berkembang (seperti pada sindrom Di George), dan bayi-
bayi yang terserang secara imunologis dapat diperbaiki sehingga
fungsinya adekuat dengan pencangkokan jaringan timus fetus secara
dini. Individu yang paling terganggu menderita immunodefisiensi
gabungan yang berat yang sama sekali tidak memiliki fungsi sel B
maupun sel T, dan pasien seringkali meninggal dalam tahun pertama
kehidupannya.
LO.1.5. Diagnosis Defisiensi Imun
1.5.1. Antibodi mikrobial dalam pemeriksaan defisiensi imun
Antibodi terhadap mikroba merupakan bagian penting dalam
pemeriksaan defisiensi imun. Kemampuan untuk memproduksi
antibodi merupakan cara yang paling sensitif untuk menemukan
gangguan daalam produksi antibodi. Antibodi tersebut biasanya
ditemukan dengan esai ELISA.
Antibodi terhadap S.pneumoniae ditemukan hampir semua
orang dewasa sehat, tetapi tidak pada individu dengan defisiensi
imun primer. Antibodi terhadap antigen virus yang umum juga
dapat digunakan bila ditemukan ada riwayat terpajan dengan
virus. Demikian juga, bila seseorang diimunisasi, sebaiknya
diperiksa untuk antibodi terhadap toksoid tetanus, toksoid difteri
dan virus poilo. Bila kadar antibodi rendaah, sebaiknya individu
tersebut dites dengan imunisasi terhadap antigen mati dan
responsnya dievaluasi 4-6 minggu kemudian.
1.5.2. Pemeriksaan in vitro
Sel B dapat dihitung dengan flow cytometry yang
menggunakan antibodi terhadap CD19, CD20 dan CD22. Sel T
dapat dihitung dengan flow cytometry yang menggunakan
antibodi monoklonal terhadap CD23 atau CD2, CD5, CD7, CD4
dan CD8. Penderita dengan defisiensi sel T hanya hiporeaktif
atau tidak reaktif terhadap tes kulit dengan antigen tuberkulin,
kandida, trikofiton, streptokinase/streptodornase dan virus
parotitis.
Tes in vitro dilakukan dengan uji fiksasi komplemen dan
fungsi bakterisidal, reduksi NNBT atau stimulasi produksi

14
superoksida yang memberikan nilai enzim oksidatif yang
berhubungan dengan fagositosis aktif dan aktivitas bakterisidal.

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan HIV


LO.2.1. Definisi HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu genus dari
genus Lentivirus, terbagi menjadi 2 serotipe (HIV-1 dan HIV-2) yang
merupakan agen etiologi AIDS. HIV-1, yang terdiri dari sedikitnya tiga
subgroup (M, N, dan O) tersebar di seluruh dunia, sementara HIV-2
sebagian besar terbatas di Afrika Barat; penularan dan serotype kedua
serotype ini sama.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh suatu infeksi human immunodeficiency virus (HIV),
yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas
selular, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk pria
homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat intravena, penderita
hemophilia, dan penerima transfuse darah lainnya, hubungan seksual
dari individu yang terinfeksi HIV, dan bayi baru lahir dari ibu yang
terinfeksi virus tersebut. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk
melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit.
Akan tetapi, AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh
ini, sehingga tubuh mudah terserang penyakit.
LO.2.2. Klasifikasi HIV
2.2.1. Klasifikasi HIV menurut jenis virus
Menurut spesies terdapat dua jenis virus penyebab AIDS,
yaitu HIV-1 dan HIV-2 . HIV-1 paling banyak ditemukan di
daerah barat, Eropa, Asia, dan Afrika Tengah, Selatan, dan Timur.
HIV-2 terutama ditemukan di Afrika Barat. HIV-1 maupun HIV-2
mempunyai struktur hampir sama, HIV-1 mempunyai gen VPU,
tetapi tidak mempunyai gen VPX, sedangkan HIV-2 sebaliknya.
2.2.1.1. HIV-1
Merupakan penyebab utama AIDS diseluruh dunia.
Genom HIV mengkode sembilan protein esensial untuk
setiap aspek siklus hidup virus. Pada HIV-1 terdapat protein
Vpu yang membantu pelepasan virus. Terdapat 3 tipe dari
HIV-1 berdasarkan alterasi pada gen amplopnya yaitu tipe
M, N, dan O.
2.2.1.2. HIV-2
Protein Vpu pada HIV-1 digantikan dengan protein
Vpx yang dapat meningkatkan infektivitas (daya tular) dan
mungkin merupakan hasil duplikasi dari protein lain (Vpr).
Walaupun sama-sama menyebabkan penyakit klinis dengan
HIV-2 tetapi kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1.
2.2.2. Klasifikasi CDC untuk HIV berdasarkan patofisiologis penyakit
Kelas Kriteria

15
Group I 1. Infeksi akut oleh HIV
2. Gejala mirip influenza; mereda
sempurna
3. Antibodi HIV negatif

HIV
Asimptomatik
Group II 1. Antibodi HIV positif
2. Tidak ada indikator klinis atau
laboratorium adanya imunodefisiensi

HIV
Simptomatik
Group III 1. Antibodi HIV positif
2. Limfadenopati generalisata persisten
Group IV-A 1. Antibodi HIV positif
2. Penyakit konstitusional
a. demam atau diare menetap
b. menurunnya berat lebih dari 10%
dibandingkan berat normal
Group IV-B 1. Sama seperti grup IV-A dan
2. Penyakit neurologik
a. demensia
b. neuropati
c. meilopati
Group IV-C 1. Sama seperti grup IV-B dan
2. Hitung limfosit CD4+ kurang daripada
200/l
3. Infeksi oportunistik
Group IV-D 1. Sama seperti group IV-C dan
2. Tuberkulosis paru, kanker serviks
invasif, atau keganasan lain

LO.2.3. Epidemiologi HIV


Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang
ditemukan di Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal
dari kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS
semakin menigkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terliat
peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui
narkotika suntik. Depkes RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah
penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai
130.000 orang.
Sebuah survey dilakukan di Tanjung Balai Karimun
menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks komersil yang
terinfeksi HIV yaitu dari 1% pada tahun 1995 menjadi lebih dari
8,38% pada tahun 2000. Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah

16
peningkatan infeksi HIV yang semakin nyata adalah pada pengguna
narkoba.
Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan
sebagai indicator untuk menggambarkan infeksi HIV/AIDS pada
masyarakat umum. Pada tahun 1990 belum ditemukan darah donor di
PMI, maka pada periode selanjutnya ditemukan infeksi HIV yang
jumlahnya makin lama makin meningkat.

LO.2.4. Etiologi HIV


Penyebab penyakit HIV/AIDS adalah virus HIV. HIV adalah
retrovirus yang biasanya menyerang organ vital sistem kekebalan
manusia seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel

17
dendritik. Struktur virus HIV-1 terdiri dari 2 untaian RNA yang identik
dan merupakan genom virus yang berhubungan dengan P17 dan P24
berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut diselubungi envelop
membrane fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp120 dan
gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop.

a. RNA-directed DNA polymerase (reverse transcriptase):


polimerase DNA dalam retrovirus seperti HIV. Transverse
transcriptase diperlukan dalam teknik rekombinan DNA yang
diperlukan dalam sintesis first stand cDNA.
b. Antigen p24: core antigen virus HIV, yang merupakan pertanda
dini adanyainfeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari minggu
sebelumterjadi serokonversi sintesis antibody terhadap HIV-1.
c. Antigen gp120: glikoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat
reseptor CD4+ ini telah digunakan untuk mencegah antigen gp120
menginfeksi sel CD4+.
d. Protein envelop: produk yang menyandi gp120, digunakan dalam
usaha memproduksi antibodi yang efektif dan produktif oleh
pejamu.
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang
berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan
vagina dan air susu ibu. Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai
cara, yaitu: kontak seksual, kontak dengan darah atau sekret yang
infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan
pemberian ASI.
1. Faktor resiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah:
a. Bayi yang lahir dari:
1. Ibu dengan pasangan biseksual
2. Ibu dengan pasangan berganti
3. Ibu atau pasangannya yang menyalahgunakan obat
intravena
b. Bayi atau anak yang mendapat transfuse berulang
c. Anak yang terpapar HIV karena kekerasa seksual
d. Anak remaja yang melakukan seks bebas.

18
2. Cara penularan:
a. Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum)
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut
ke bayi yang dikandungnya. Disebut juga transmisi vertical.
Transmisi dapat terjadi melalu plasenta (itrauterin) intrapartum,
yaitu ketika bayi terpapar darah ibu.
b. Selama persalinan (intrapartum)
Selama persalinan bayi dapat terpapat cairan servikovaginal
yang mengandung HIV melalui paparan trakeobronkial atau
tertelan pada jalan lahir.
c. Bayi baru lahir terpajar cairan tubuh ibu yang terinfeksi
Pada ibu yang terinfeksi HIV, terdapat 21% virus HIV pada
cairan vagina. Besarnya paparan pada janin lahir sangat
dipengaruhi dengan kadar HIV pada vagina ibu, perlukaan
dinding vagina, ketuban pecah dini, persalinan premature,
episiotomy dan besarnya kadar CD4 pada ibu.
d. Bayi tertular melalui pemberian ASI
Faktor yang mempengaruhi: luka diputing ibu, lesi di mukosa
mulut bayi, prematuritas, dan respon imun bayi.
e. Melalui jarum suntik dan transfuse darah yang terkontaminasi
HIV
f. Melalui seks bebas dan berganti pasangan, dan
g. Melalui luka pada orang sehat yang terkena cairan tubuh
(darah) dari luka orang yang mengidap HIV.

LO.2.5. Patofisiologi HIV


Siklus hidup dari HIV meliputi 6 tahap yaitu: binding and entry,
reverse transcription, integration, replication, budding, dan maturation
a. Binding and Entry
Pada tahap ini, protein amplop gp120 dan gp41 akan
berikatan pada reseptor sel CD4+ dan koreseptor di permukaan
luar sel CD4+ dan makrofag. Reseptor chemokin CCR5 dan
CXCR4 akan memfasilitasi masuknya virus kedalam sel inang.
Penggabungan protein, reseptor dan koreseptor virus ke sel
inang akan menggabungkan membran HIV dengan membran sel
CD4+. Membran HIV dan protein amplop akan tertinggal di luar
sel inang, sedangkan bagian inti dari HIV akan masuk ke dalam sel
CD4+. Enzim dari sel CD4+ akan berinteraksi dengan inti dari
virus HIV yang akan memicu pelepasan RNA, dan enzim reverse
transcriptase, integrase, dan protease dari virus.

b. Reverse Transcription
Pada tahap ini, ssRNA dari HIV akan di transkripsi menjadi
ssDNA menggunakan enzim reverse transcriptase. ssDNA
kemudian akan mengalami replikasi menjadi dsDNA.
c. Integration

19
Setelah RNA virus ditranskripsi menjadi DNA, enzim
integrase akan memasukan DNA virus HIV ke dalam inti sel CD4+
untuk selanjutnya disisipkan di DNA sel CD4+.
d. Replication
DNA baru yang terbentuk dari penyisipan DNA virus ke
DNA sel CD4+ akan memicu terbentuknya messenger DNA yang
akan menginisiasi sintesis protein HIV.
e. Budding
Protein HIV, RNA virus dan komponen lainnya yang
diperlukan untuk membuat virus baru akan berkumpul pada
membran sel CD4+ untuk membentuk virus baru dengan
mendorong membran sel CD4+ dengan cara budding lalu
meninggalkan sel inang.
f. Maturation
Virus yang baru saja keluar dari sel CD4+ sudah memiliki
semua komponen yang dibutuhkan untuk menginfeksi sel CD4+
yang baru, tetapi virus ini tidak bisa menginfeksi sebelum
mengalami pematangan (maturasi). Enzim yang berperan dalam
proses pematangan virus ini adalah protease.

Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus
dan integrasi ke dalam genom, ekpresi gen virus dan produksi partikel
virus.
24 jam setalah pemaparan pertama, virus HIV akan diserang oleh
sel dendritik mukosa dan kulit. Virus yang berhasil selamat akan
menginfeksi sel dengan menggunakan glikoprotein envelop yang
disebut gp120 yang terutama mengikat sel CD4 dan reseptor kemokin
dari sel manusia. Oleh karena itu virus hanya dapat menginfeksi

20
dengan defisiensi sel CD4. Makrofag dan sel dendritik juga dapat
infeksinya.
Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membran virus
bersatu dengan membran sel pejamu dan virus masuk ke sitoplasma.
Disini envelop virus dilepas oleh protease virus dan RNA menjadi
bebas. Copy DNA dari RNA virus disintesis oleh enzom transkriptase
dan copy DNA bersatu dengan DNA pejamu. DNA yang terintegrasi
disebut provirus. Provirus dapat diaktifkan, sehingga diproduksi RNA
dan protein virus. Sekarang virus mampu membentuk struktur inti,
bermigrasi ke membran sel, memperoleh envelop lipid dari sel pejamu,
dilepas berupa partikel virus yang dapat menular dan siap menginfeksi
sel lain. Sel inang yang terinfeksi virus HIV akan mengalami
pemendekan waktu hidup. Setelah 5 hari, sel yang terinfeksi ini akan
bergerak ke nodus limfe dan selanjutnya ke peredaran darah perifer
dimana replikasi virus meningkat pesat. Limfosit CD4+ yang
digunakan untuk merespon antigen dari virus akan selanjutnya
bermigrasi ke nodus limfa yang selanjutnya akan teraktivasi dan
berproliferasi. Keadaan ini akan membuat sel CD4+ menjadi lebih
rentan akan infeksi HIV. Integrasi provirus dapat tetap laten dalam sel
terinfeksi ntuk berbulan-bulan atau tahun, sehingga tersembunyi dari
sistem imun pejamu, bahkan dari terapi antivirus.
LO.2.6. Manifestasi Klinis HIV
2.6.1. Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu
gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum
terjadi):
Gejala Klinis
Gejala a. Berat badan menurun lebih dari 10%
Mayor dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1
bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan
neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati

Gejala Minor a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan


b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan
herpes zoster berulang
d. Kandidiasis orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Renitis virus Sitomegalo
2.6.2. Menurut Mayo Foundation for Medical Education and
Research (MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi
atas beberapa fase:
2.6.2.1. Fase awal

21
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan
gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang
ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala,
sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah
bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi,
penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang
lain.
2.6.2.2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama
8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan
perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh,
penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala
yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening
(sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan
menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
2.6.2.3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10
tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat
mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada
penyakit yang disebut AIDS.
2.6.3. Menurut WHO, gejala klinis HIV terbagi atas 4 stadium
yaitu:
2.6.3.1. Stadium 1 Asimptomatik
a. Tidak ada penurunan berat badan
b. Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati
Generalisata Persisten
2.6.3.2. Stadium 2 Sakit ringan
a. Penurunan BB 5-10%
b. ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
c. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
d. Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
e. Ulkus mulut berulang
f. Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
g. Dermatitis seboroik
h. Infeksi jamur kuku

2.6.3.3. Stadium 3 Sakit sedang


a. Penurunan berat badan > 10%
b. Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih
dari 1 bulan
c. Kandidosis oral atau vaginal
d. Oral hairy leukoplakia
e. TB Paru dalam 1 tahun terakhir
f. Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
g. TB limfadenopati
h. Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut

22
i. Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombosito
penikronis (<50.000/ml)
2.6.3.4. Stadium 4 sakit berat (AIDS)
a. Pneumonia pnemosistis, Pnemoni bakterial yang berat
berulang
b. Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
c. Kandidosis esophageal
d. TB Extraparu
e. Sarkoma kaposi
f. Retinitis CMV*
g. Abses otak Toksoplasmosis*
h. Encefalopati HIV
i. Meningitis Kriptokokus
j. Infeksi mikobakteria non-TB meluas
2.6.4. Gejala HIV secara umum :
a. Merasa kelelahan yang berkepanjangan
b. Deman dan berkeringat pada malam hari tanpa sebab yang
jelas.
c. Batuk yang tidak sembuh-sembuh disertai sesak nafas yang
berkepanjangan.
d. Diare/mencret terus-menerus selama 1 bulan
e. Bintik-bintik berwarna keungu-unguan yang tidak biasa
f. Berat badan menurun secara drastis lebih dari 10% tanpa
alasan yang jelas dalam 1 bulan.
g. Pembesaran kelenjar secara menyeluruh di leher dan lipatan
paha.
2.6.5. Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada
umumnya ada 2 hal antara lain:
2.6.5.1. Manifestasi tumor
a. Sarkoma kaposi; kanker pada semua bagian kulit dan
organ tubuh. Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya
terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi
pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian
primer.
b. Limfoma ganas; terjadi setelah sarkoma kaposi dan
menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun.

2.6.5.2. Manifestasi Oportunistik


2.6.5.2.1. Manifestasi pada Paru
a. Pneumonia Pneumocystis (PCP)
b. Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS
merupakan infeksi paru PCP dengan gejala sesak
nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
c. Cytomegalo Virus (CMV)Pada manusia virus ini 50%
hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat
menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan
penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.

23
d. Mycobacterium Avilum Menimbulkan pneumoni
difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
e. Mycobacterium TuberculosisBiasanya timbul lebih
dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat
menyebar ke organ lain diluar paru.
2.6.5.2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan
turun lebih 10% per bulan.
2.6.5.2.3. Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi
Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir
penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah
ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan
neuropati perifer.
LO.2.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding HIV
2.7.1. Penegakkan Diagnosis
Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan
pemeriksaan laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan
metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk
mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS untuk
surveilans ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik atau
limfosit CD4+ kurang dari 350 sel/mm3.
WHO menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 strategi
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, tergantung pada tujuan
penyaringan keadaan populasi dan keadaan pasien.
a. Strategi I, hanya dilakukan 1 kali pemeriksaan. Bila hasil
pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai kasus terinfeksi
HIV dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak
terinfeksi HIV.
b. Strategi II menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada
pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada
pemeriksaan pertama hasilnya non reaktif maka dilaporkan
hasilnya negatif. Bila hasil pemeriksaan kedua juga reaktif,
maka disimpulkan terinfeksi HIV. Namun, jika hasil
pemeriksaan yang kedua non reaktif, maka pemeriksaan
harus diulang dengan ke-2 metode. Bila hasil tetap tidak
sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate.
c. Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasil
pemeriksaan pertama, kedua dan ketiga reaktif maka dapat
disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi HIV.
Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes pertama
reaktif, kedua reaktif dan ketiga non reaktif atau pertama
reaktif, kedua reaktif dan ketiga non reaktif maka keadaan ini
disebut sebagai equivocal atau indeterminate bila pasien yang
diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau
berisiko tertular HIV.

24
Diagnosis HIV ditegakkan dengan kombinasi antara gejala
klinis dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis laboratorium
HIV dapat dengan cara deteksi langsung virus HIV atau bagian-
bagian dari virus HIV misalnya dengan pemeriksaan antigen p24,
PCR HIV-RNA atau kultur virus; atau dengan cara tidak
langsung, yaitu adalah dengan deteksi respon imun terhadap
infeksi HIV atau konsekuensi klinis dari infeksi HIV.
Pemeriksaan tidak langsung lebih sering dipergunakan karena
lebih mudah dan murah daripada pemeriksaan langsung, tetapi
mempunyai kerugian terutama karena respon imun memerlukan
jangka waktu tertentu sejak mulai infeksi HIV hingga timbul
reaksi tubuh.
2.7.1.1. Pemeriksaan P24
Merupakan salah satu cara pemeriksaan langsung
terhadap virus HIV yang ditemukan pada serum, plasma
dan cairan serebrospinal. Kadarnya meningkat saat awal
infeksi dan beberapa saat sebelum penderita memasuki
stadium AIDS. Sensitivitas pemeriksaan ini mencapai 99%
dan spesifisitasnya lebih tinggi hingga 99,9%. Pada
penderita yang baru terinfeksi, antigen p24 dapat positif
hingga 45 hari setelah infeksi, sehingga pemeriksaan
antigen p24 hanya dianjurkan sebagai pemeriksaan
tambahan pada penderita risiko tinggi tertular HIV dengan
hasil pemeriksaan serologis negatif, dan tidak dianjurkan
sebagai pemeriksaan awal yang berdiri sendiri.
Pemeriksaan antigen p24 juga dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis HIV pada bayi yang lahir dari ibu
postif HIV.
2.7.1.2. Kultur HIV
HIV dapat dikultur dari cairan plasma, serum,
peripheral blood mononuclear cells (PBMCs), cairan
serebrospinal, saliva, semen, lendir serviks, serta ASI.
Kultur HIV biasanya tumbuh dalam 21 hari. Pada saat ini
kultur hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

2.7.1.3. Viral Load Test


Viral load test adalah pemeriksaan yang ditujukan
untuk mengetahui jumlah HIV dalam darah. Pemeriksaan
ini merupakan pemeriksaan yang penting untuk mengetahui
dinamika HIV dalam tubuh. Tiga teknologi yang digunakan
untuk mengukur viral load HIV dalam darah: Reverse
Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR),
Branched DNA (bDNA) and Nucleic Acid Sequence-Based
Amplification Assay (NASBA). Prinsip-prinsip dasar dari
tes ini sama. HIV dideteksi menggunakan urutan DNA yang

25
terikat secara khusus pada virus. Penting untuk dicatat
bahwa hasil dapat bervariasi antara tes.
2.7.1.4. Pemeriksaan Antibodi
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi
terhadap HIV secara umum diklasifikasikan sebagai
pemeriksaan penapisan (skrining) dan pemeriksaan
konfirmasi. Metode yang paling banyak digunakan untuk
pemeriksaan penapisan adalah Enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA), karena metode ini dianggap
merupakan metode yang paling cocok digunakan untuk
penapisan spesimen dalam jumlah besar seperti pada donor
darah.
Selain ELISA, metode lain untuk pemeriksaan
serologi yang dapat digunakan adalah pemeriksaan
sederhana yang tidak membutuhkan alat seperti aglutinasi,
imunofiltrasi, imunokromatografi dan uji celup (dipstick).
Hasil yang positif pada metode ini diindikasikan dengan
timbulnya bintik atau garis yang berwarna atau ditemukan
pola aglutinasi. Pemeriksaan pemeriksaan ini dapat
dikerjakan kurang dari 20 menit, sehingga seringkali
disebut uji cepat dan sederhana.
2.7.1.5. Western Blot
Sampai saat ini, pemeriksaan konfirmasi yang paling
sering digunakan adalah pemeriksaan Western Blot (WB).
Sayangnya, pemeriksaan ini membutuhkan biaya yang
besar dan seringkali memberikan hasil yang meragukan.
Berbagai penelitian menemukan bahwa kombinasi metode
ELISA dan uji cepat dapat memberikan hasil yang setara
dengan metode Western Blot dengan biaya yang lebih
rendah. WHO dan UNAIDS merekomendasikan
penggunaan kombinasi ELISA dan atau uji cepat untuk
pemeriksaan antibodi terhadap HIV dibandingkan
kombinasi ELISA dan WB.

26
2.7.2. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pasien ini difikirkan sebagai multipel
abses pada HIV yang disebabkan oleh Tubesculosis, karena abses
pada tuberculoma juga terdapat multipel abses, dengan gambaran
abses yang lebih kecil dengan ukuran 1-2 mm, serta efek massa
yang minimal. Namun pada pasien ini didapatkan adanya gejala
infeksi tuberkulosis pada paru, yaitu tidak adanya batuk-batuk
yang lama dan pada pemeriksaan fisik paru tidak didapatkan
kelaianan serta pada hasil MRI didapatkan ukuran yang lebih
besar dan efek massa (+)
a. Malaria
b. Tuberkulosis
c. Penyakit Autoimun
LO.2.8. Tata Laksana HIV
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis,
yaitu : a) pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
anti retroviral (ARV), b) pengobatan untuk mengatasi berbagai
penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti
jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma
dan kanker serviks, c) pengobatan suportif, yaitu makanan yang
mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain
seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta tidur yaang
cukup dan menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap
tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan
kejadian infeksi oportunistik berkurang.
Terapi Antiretroviral (ARV) yang bermanfaat untuk :
1. Menurunkan angka kematian
2. Menurunkan risiko perawatan di rumah sakit
3. Menekan viral load
4. Memulihkan kekebalan

27
5. Menurunnya risiko penularan
Tabel 1. Memulai terapi ARC dengan salah satu dari paduan dibawah:

2.8.1. Regimen ARV Lini Pertama


a. Golongan Nucleoside RTI (NRTI):
1. Abacavir (ABC) 400 mg sekali sehari
2. Didanosine (ddl) 250 mg sekali sehari (BB<60 kg)
3. Lamivudine (3TC) 300 mg sekali sehari
4. Stavudine (d4T) 40 mg setiap 12 jam
5. Zidovudine (ZDV atau AZT) 300 mg setiap 12 jam
b. Nucleotide RTI
1. Tenofovir (TDF) 300 mgsekali sehari (obat baru)
c. Non-nucleoside RTI (NNRTI)
1. Efavirenz (EFV)600 mg sekali sehari
2. Nevirapine (NPV) 200 mg sekali sehari selama 14 hari,
selanjutnya setelah 12 jam
d. Protease Inhibitor (PI)
1. Indinavir/ritronavir (IDV/r) 800 mg/100 mg setiap 12
jam
2. Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg setiap 12
jam
3. Nelfinavir (NFV) 1250 mg setiap 12 jam
4. Sequinavir/r (SQV/r) 1000 mg/100 mg setiap 12 jam
5. Ritonavir (RTV, r) 100 mg
Pilihan pengobatan adalah kombinasi 2 NRTI + 1 NNRTI:
1. AZT + 3TC + NVP
2. AZT + 3TC +EVP
3. d4T + 3TC + NVP
4. d4T +3TC + EFV

28
Tabel 2. Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang
dewasa yang belum pernah mendapat terapi ARV

2.8.2. Regimen ARV Lini Kedua


Ini merupakan alternative pengobatan apabila yang pertama
gagal:
1. AZT atau d4T diganti dengan TDF atau ABC
2. 3TC diganti dengan ddl
3. NVP atau EFV diganti dengan LPV/r atau SQV/r

Tabel 3. Pilihan Terapi ARV lini kedua

29
LO.2.9. Komplikasi HIV
Kebanyakan komplikasi HIV terjadi akibat dari surpresi sel T.
Karena sel T yang diserang, kekebalan tubuh menurun hingga dapat
terjadi infeksi oportunistik. Komplikasi-komplikasi pada pasien yang
terjangkit HIV menyebabkan AIDS. Obat anti-retroviral, yang dikenal
sebagai Highly Active Anti-Retroviral Therapy (ART), sekarang
tersedia untuk menghambat replikasi dari virus HIV. Obat-obat ini
membantu untuk memperpanjang hidup, mengembalikan sistem
kekebalan pasien hingga mendekati aktivitas normal dan mengurangi
kemungkinan infeksi oportunistik. Kombinasi dari tiga atau lebih obat-
obatan diberikan untuk mengurangi kemungkinan resistensi.
2.9.1. Komplikasi-komplikasi umum pada pasien HIV/AIDS akibat
infeksi oportunistik:
a. Tuberkulosis (TB)
Di negara-negara miskin, TB merupakan infeksi oportunistik
yang paling umum yang terkait dengan HIV dan menjadi
penyebab utama kematian di antara orang yang hidup dengan
AIDS. Jutaan orang saat ini terinfeksi HIV dan TBC dan
banyak ahli menganggap bahwa ini merupakan wabah dua
penyakit kembar.
b. Salmonelosis
Kontak dengan infeksi bakteri ini terjadi dari makanan atau
air yang telah terkontaminasi. Gejalanya termasuk diare
berat, demam, menggigil, sakit perut dan, kadang-kadang,
muntah. Meskipun orang terkena bakteri salmonella dapat
menjadi sakit, salmonellosis jauh lebih umum ditemukan
pada orang yang HIV-positif.
c. Cytomegalovirus (CMV)
Virus ini adalah virus herpes yang umum ditularkan melalui
cairan tubuh seperti air liur, darah, urine, semen, dan air susu
ibu. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat menonaktifkan
virus sehingga virus tetap berada dalam fase dorman
(tertidur) di dalam tubuh. Jika sistem kekebalan tubuh
melemah, virus menjadi aktif kembali dan dapat
menyebabkan kerusakan pada mata, saluran pencernaan,
paru-paru atau organ tubuh lainnya.
d. Kandidiasis
Kandidiasis adalah infeksi umum
yang terkait HIV. Hal ini
menyebabkan peradangan dan
timbulnya lapisan putih tebal pada
selaput lendir, lidah, mulut,
kerongkongan atau vagina. Anak-
anak mungkin memiliki gejala
parah terutama di mulut atau kerongkongan sehingga pasien
merasa sakit saat makan.

30
e. Cryptococcal Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput dan cairan yang
mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang (meninges).
Cryptococcal meningitis infeksi sistem saraf pusat yang
umum terkait dengan HIV. Disebabkan oleh jamur yang ada
dalam tanah dan mungkin berkaitan dengan kotoran burung
atau kelelawar.
f. Toxoplasmolisis
Infeksi yang
berpotensi mematikan
ini disebabkan oleh
Toxoplasma gondii.
Penularan parasit ini
disebabkan terutama
oleh kucing. Parasit
berada dalam tinja
kucing yang terinfeksi kemudian parasit dapat menyebar ke
hewan lain.
g. Kriptosporidiosis
Infeksi ini disebabkan oleh parasit usus yang umum
ditemukan pada hewan. Penularan kriptosporidiosis terjadi
ketika menelan makanan atau air yang terkontaminasi. Parasit
tumbuh dalam usus dan saluran empedu yang menyebabkan
diare kronis pada orang dengan AIDS.
2.9.2. Kanker yang biasa terjadi pada pasien HIV/AIDS:
a. Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi adalah
suatu tumor pada dinding
pembuluh darah.
Meskipun jarang terjadi
pada orang yang tidak
terinfeksi HIV, hal ini
menjadi biasa pada orang
dengan HIV-positif.
Sarkoma Kaposi biasanya
muncul sebagai lesi merah muda, merah atau ungu pada kulit
dan mulut. Pada orang dengan kulit lebih gelap, lesi mungkin
terlihat hitam atau coklat gelap. Sarkoma Kaposi juga dapat
mempengaruhi organ-organ internal, termasuk saluran
pencernaan dan paru-paru.
b. Limfoma
Kanker jenis ini berasal dari sel-sel darah
putih. Limfoma biasanya berasal dari
kelenjar getah bening. Tanda awal yang
paling umum adalah rasa sakit dan
pembengkakan kelenjar getah bening ketiak,
leher atau selangkangan.

31
2.9.3. Komplikasi lainnya:
a. Wasting Syndrome
Pengobatan agresif telah mengurangi jumlah kasus wasting
syndrome, namun masih tetap mempengaruhi banyak orang
dengan AIDS. Hal ini didefinisikan sebagai penurunan paling
sedikit 10 persen dari berat badan dan sering disertai dengan
diare, kelemahan kronis dan demam.
b. Komplikasi Neurologis
Walaupun AIDS tidak muncul untuk menginfeksi sel-sel
saraf, tetapi AIDS bisa menyebabkan gejala neurologis
seperti kebingungan, lupa, depresi, kecemasan dan kesulitan
berjalan. Salah satu komplikasi neurologis yang paling umum
adalah demensia AIDS yang kompleks, yang menyebabkan
perubahan perilaku dan fungsi mental berkurang.
LO.2.10. Prognosis HIV
Pemaparan terhadap HIV tidak selalu mengakibatkan penularan,
beberapa orang yang terpapar HIV selama bertahun-tahun bisa tidak
terinfeksi. Di sisi lain seseorang yang terinfeksi bisa tidak
menampakkan gejala selama lebih dari 10 tahun. Tanpa pengobatan,
infeksi HIV mempunyai resiko 1-2 % untuk menjdi AIDS pada
beberapa tahun pertama. Resiko ini meningkat 5% pada setiap tahun
berikutnya. Resiko terkena AIDS dalam 10-11 tahun setelah terinfeksi
HIV mencapai 50%. Sebelum diketemukan obat-obat terbaru, pada
akhirnya semua kasus akan menjadi AIDS.
Pengobatan AIDS telah berhasil menurunkan angka infeksi
oportunistik dan meningkatkan angka harapan hidup penderita.
Kombinasi beberapa jenis obat berhasil menurunkan jumlah virus
dalam darah sampai tidak dapat terdeteksi. Tapi belum ada penderita
yang terbukti sembuh. Teknik penghitungan jumlah virus HIV (plasma
RNA) dalam darah seperti polymerase chain reaction (PCR) dan
branched deoxyribonucleid acid (bDNA) test membantu dokter untuk
memonitor efek pengobatan dan membantu penilaian prognosis
penderita. Kadar virus ini akan bervariasi mulai kurang dari beberapa
ratus sampai lebih dari sejuta virus RNA/mL plasma. Pada awal
penemuan virus HIV, penderita segera mengalami penurunan kualitas
hidupnya setelah dirawat di rumah sakit. Hampir semua penderita akan
meninggal dalam 2 tahun setelah terjangkit AIDS. Dengan
perkembangan obat-obat anti virus terbaru dan metode-metode
pengobatan dan pencegahan infeksi oportunistik yang terus diperbarui,
penderita bisa mempertahankan kemampuan fisik dan mentalnya
sampai bertahun-tahun setelah terkena AIDS.
LO.2.11. Pencegahan HIV
2.11.1. Pencegahan HIV melalui kontak seksual
Sebagian besar penularan HIV di Indonesia terjadi melalui
penularan seksual, sehingga pencegahan HIV/AIDS perlu
difokuskan pada menghindari hubungan seksual yang beresiko.
Untuk itu kepada setiap orang perlu memperoleh informasi yang

32
akurat agar memiliki perilaku seksual yang aman dan
bertanggung jawab, yaitu:
a. Tidak melakukan hubungan seksual berganti-ganti
pasangan
b. Hanya melakukan hubungan seksual dengan satu orang dan
saling setia, yaitu hubungan suami-isteri.
c. Apabila salah satu pasangan sudah terinfeksi HIV atau
tidak dapat saling setia, gunakan kondom secara benar
setiap kali berhubungan seksual.
Rumus pencegahan HIV melalui seks, dikenal dengan istilah
pencegahan pola ABCE:
A : Abstinance artinya puasa seks, dengan kata lain seseorang
baiknya tidak melakukan hubungan seks diluar atau sebelum
nikah
B : Be faithful artinya saling setia pada satu pasangan, dengan
kata lain melakukan hubungan seks dengan satu pasangan
(suami/istri) alias tidak bergantiganti pasangan.
C : Condom artinya melakukan hubungan seks dengan
menggunakan condom, karena setidaknya dengan condom bisa
mengurangi resiko tertular HIV.
E : Education artinya memberi edukasi kepada banyak orang
tentang HIV dan AIDS sehingga tidak melakukan perilaku seks
yang berisiko.
2.11.2. Pencegahan Penularan melalui Darah
Penularan HIV melalui darah menuntut kita untuk berhati-
hati dalam berbagai tindakan yang berhubungan dengan darah,
produk darah dan plasma:
a. Transfusi Darah
Pastikan darah untuk transfusi tidak tercemar HIV. Perlu
dianjurkan pada seseorang yang HIV positif agar tidak
menjadi donor darah. Begitu pula mereka yang berperilaku
risiko tinggi.
b. Penggunaan produk darah dan plasma. Sama halnya dengan
darah yang digunakan untuk transfusi, maka produk darah
dan plasma harus dipastikan tidak tercemar HIV.
c. Penggunaan alat suntik dan alat-alat lain yang dapat melukai
kulit, termasuk pada pengguna narkoba suntik (penasun).
Penggunaan alat-alat seperti jarum, jarum suntik, alat cukur
dan alat tusuk untuk tindik perlu diperhatikan sterilisasinya.
Tindakan mensterilkan dengan pemanasan atau larutan
desinfektan merupakan tindakan yang sangat penting.
2.11.3. Pencegahan Penularan Dari Ibu kepada Anak
Janin dari orang tua terinfeksi HIV berisiko tertular HIV
sekitar 25%. Risiko akan semakin besar bila orang tua telah
berada dalam tahap AIDS, oleh karena itu orang tua yang sudah
terinfeksi HIV dianjurkan untuk mempertimbangkan kembali
tentang rencana kehamilan.

33
Risiko bayi terinfeksi HIV melalui ASI kecil, sehingga tetap
dianjurkan bagi si ibu untuk memberikan ASI pada bayinya. Jika
ibu berniat memberikan ASI, maka:
a. Berikan ASI ekslusif selama 6 bulan menggunakan cangkir
atau sendok.
b. Setelah 6 bulan, hentikan ASI dan berikan makanan
tambahan.
c. Bayi akan mendapat (Anti Retroviral) ARV profilaksis sesuai
dengan petunjuk dokter.
2.11.4. Anjuran dari badan kesehatan dan WHO:
a. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa
muda
b. Program penyuluhan sebaya (per group education) untuk
berbagai kelompok sasaran
c. Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik
d. Paket pencegahan komperhensif untuk pengguna narkotika,
termasuk program pengadaan jarum suntik steril
e. Program pendidikan agama
f. Program layanan pengobatan infeksi menular seksual (IMS)
g. Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti
pijat
h. Pelatihan keterampilan hidup
i. Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan
konseling
j. Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasanprotitusi anak
k. Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan,
perawatan, dan dukungan untuk ODHA
l. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan
pemeberian obat ARV

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Dilema Etik


LO.3.1. Kewajiban Dokter dalam KODEKI untuk Penanganan HIV
3.1.1. Berikut adalah Statement on the Professional Responsibility of
Physicians in Treating AIDS Patient yang dikeluarkan oleh
WMA:
1. Pasien AIDS harus mendapatkan perawatan yang tepat
dengan belas kasih dan penghargaan martabat manusia.
2. Seorang dokter tidak boleh menolak secara etis untuk
melakukan tindakan terhadap pasien yang kondisinya dalam
kompetensi dokter, hanya karena pasien tersebut seropositif.
3. Etika kedokteran tidak membenarkan deskriminasi
berdasarkan kategori tertentu terhadap pasien hanya karena
seropositif tersebut.
4. Seorang yang menderita AIDS memerlukan perawatan yang
tepat dan dengan belas kasih. Dokter yang tidak sanggup
memberikan perawatan dan pelayanan yang diperlukan oleh
pasien AIDS harus membuat rujukan yang sesuai terhadap
dokter atau fasilitas yang dapat memberikan pelayanan yang

34
diperlukan. Sampai rujukan didapatkan, dokter harus terus
merawat pasien berdasarkan kemampuan terbaik yang
dimilikinya.
3.1.2. KODEKI
a. Pasal 8
Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya,
memberikan pelayanan secara kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
b. Pasal 10
Seorang dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman
sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib
menjaga kepercayaan pasiennya.
c. Pasal 11
Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya
melindungi hidup makhluk insani.
d. Pasal 12
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus
memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan
semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik
maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
e. Pasal 14
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan
mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk
kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan
pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
f. Pasal 16
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.
g. Pasal 17
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai
suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain bersedia dan mampu memberikannya.
Kaidah Dasar Bioetik
a. Prinsip Autonomy, menghormati hak-hak pasien, hak
otonomi pasien. Melahirkan informed consent

35
b. Prinsip Beneficence, Tindakan untuk kebaikan pasien.
Memilih lebih banyak manfaatnya daripada buruknya.
c. Prinsip Non-maleficence, Melarang tindakan yang
memperburuk kedaan pasien. Primum non nocere atau above
all do no harm.
d. Prinsip Justice, mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya
(distributiv justice)
LO.3.2. Etika Dokter dalam Penanganan Kasus yang Dapat Menimbulkan
Stigma
Beberapa dokter ragu dalam melakukan prosedur invasif
terhadap pasien dengan kondisi penyakit yang menimbulkan stigma
buruk di masyarakat seperti HIV dan penyakit infeksi lainnya
dikarenakan kemungkinan dokter dapat tertular. Namun demikian,
kode etik kedokteran tidak membuat perkecualian terhadap pasien
infeksi karena memang kewajiban dokter untuk memperlakukan semua
pasien secara sama.
Profesi kesehatan mempunyai perbedaan sudut pandang
mengenai persamaan dan hak-hak pasien. Satu sisi dokter paham
bahwa tidak boleh membiarkan pertimbangan usia, penyakit atau
kecacatan, keimanan, etnik, jenis kelamin, nasionalitas, keanggotaan
politik, ras, orientasi seksual, atau posisi sosial mengintervensi
tugas saya dan pasien saya (Deklarasi Jenewa). Pada saat yang sama
dokter juga mengklaim bahwa mereka berhak menolak atau menerima
pasien kecuali dalam keadaan gawat. Walaupun pembenaran penolakan
ini berhubungan dengan keseluruhan praktek atau kurangnya
spesialisasi dan kualifikasi pendidikan, namun jika dokter tidak
memberikan alasan penolakan tersebut maka dengan mudah dikatakan
dokter telah melakukan deskriminasi.
Banyak dokter, terutama yang bekerja di sektor publik, sering
tidak mempunyai kemampuan untuk memilih pasien yang akan mereka
rawat. Beberapa pasien dapat saja berbahaya dan dapat mengancam
keselamatan dokter, yang lainnya tidak menyenangkan karena sifat anti
sosialnya serta perilakunya. Jika berhubungan dengan pasien seperti
ini, dokter harus menyeimbangkan tanggung jawab terhadap
keselamatan dan kebaikan diri mereka dan juga staf-stafnya dengan
tugasnya untuk menyembuhkan. Dokter harus berusaha mencari jalan
agar kedua kewajiban tersebut dapat terpenuhi, dan jika tidak
mungkin, harus dicari alternatif perawatan pasien.
Kode Etik Kedokteran Internasional dari WMA menyatakan
bahwa satu-satunya alasan yang dapat mengakhiri hubungan dokter-
pasien adalah jika pasien memerlukan perawatan dokter lain untuk
keahlian yang berbeda: Seorang dokter harus memberikan kepada
pasiennya loyalitas penuh dan semua pengetahuan yang dimilikinya.
Jadi dapat disimpulkan, dokter tetap harus merwat pasien sesuai
kemampuannya, dan baru merujuk pasien apabila ia merasa tidak
memiliki kapasitas untuk membantu atau menolong pasien. Seorang

36
dokter tetap wajib menjalankan profesinya seperti dalam KODEKI dan
kaidah dasar bioetik meskipun saat menangani kasus yang
menimbulkan stigma. Apabila penyakit yang diderita pasien tersebut
dapat membahayakan nyawa dokter, dokter beserta staff kesehatan
lainnya wajib berusaha mencari alternatif perawatan pasien tersebut.

LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam tentang Penderita HIV


IV.1. Solusi Preventif
Transmisi utama (media penularan yang utama) penyakit HIV/AIDS
adalah seks bebas.Oleh karena itu pencegahannya harus dengan
menghilangkan praktik seks bebas tersebut.Hal ini meliputi media-media
yang merangsang (pornografi-pornoaksi), tempat-tempat prostitusi, club-
club malam, tempat maksiat dan pelaku maksiat.
a. Islam telah mengharamkan laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrim berkholwat (berduaan/pacaran). Sabda Rasulullah Saw:Laa
yakhluwanna rojulun bi imroatin Fa inna tsalisuha syaithanartinya:
Jangan sekali-kali seorang lelaki dengan perempuan menyepi (bukan
muhrim) karena sesungguhnya syaithan ada sebagai pihak ketiga. (HR.
Baihaqy)
b. Islam mengharamkan perzinahan dan segala yang terkait dengannya.

Allah Swt berfirman: Janganlah kalian mendekati zina karena


sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan
(QS al Isra[17]: 32)
c. Islam mengharamkan perilaku seks menyimpang, antara lain homoseks
(laki-laki dengan laki-laki) dan lesbian (perempuan dengan perempuan).
Firman Allah Swt dalam surat al Araf ayat 80-81:

a. Islam

37
Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah)
tatkala dia berkata kepada mereka: Mengapa kamu mengerjakan
perbuatan kotor itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun
manusia (didunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi
lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada
wanita, Bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.
d. Islam melarang pria-wanita melakukan perbuatan-perbuatan yang
membahayakan akhlak dan merusak masyarakat, termasuk pornografi
dan pornoaksi.
Islam melarang seorang pria dan wanita melakukan kegiatan dan
pekerjaan yang menonjolkan sensualitasnya. Rafi ibnu Rifaa pernah
bertutur demikian: Nahaana Shallallaahu alaihi wassaliman kasbi;
ammato illa maa amilat biyadaiha. Wa qaala: Haa kadza biashobiihi
nakhwal khabzi wal ghazli wan naqsyi.artinya: Nabi Saw telah
melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang
dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda Seperti inilah jari-
jemarinya yang kasar sebagaimana halnya tukang roti, pemintal, atau
pengukir.
e. Islam mengharamkan khamr dan seluruh benda yang memabukkan serta
mengharamkan narkoba.
Sabda Rasulullah Saw: Kullu muskirinharaamun artinya: Setiap
yang menghilangkan akal itu adalah haram (HR. Bukhori Muslim) Laa
dharaara wa la dhiraara artinya: Tidak boleh menimpakan bahaya
pada diri sendiri dan kepada orang lain. (HR. Ibnu Majah). Narkoba
termasuk sesuatu yang dapat menghilangkan akal dan menjadi pintu
gerbang dari segala kemaksiatan termasuk seks bebas. Sementara seks
bebas inilah media utama penyebab virus HIV/AIDS.
f. Amar maruf nahi munkar yang wajib dilakukan oleh individu dan
masyarakat.
g. Tugas Negara memberi sangsi tegas bagi pelaku mendekati zina. Pelaku
zina muhshan (sudah menikah) dirajam, sedangkan pezina ghoiru
muhshan dicambuk 100 kali. Adapun pelaku homoseksual dihukum
mati; dan penyalahgunaan narkoba dihukum cambuk. Para pegedar dan
pabrik narkoba diberi sangsi tegas sampai dengan mati. Semua
fasilitator seks bebas yaitu pemilik media porno, pelaku porno,
distributor, pemilik tempat-tempat maksiat, germo, mucikari, backing
baik oknum aparat atau bukan, semuanya diberi sangsi yang tegas dan
dibubarkan.
IV.2. Solusi Kuratif
Orang yang terkena virus HIV/AIDS, maka tugas negara untuk
melakukan beberapa hal sebagai berikut:
a. Orang yang tertular HIV/AIDS karena berzina maka jika dia
sudahmenikah dihukumrajam. Sedangkan yang belum menikah
dicambuk100 kali dan selanjutnya dikarantina.
b. Orang yang tertular HIV/AIDS karena Homoseks maka dihukum mati.
c. Orang yang tertular HIV/AIDS karena memakai Narkoba
makadicambuk selanjutnya dikarantina.

38
d. Orang yang tertular HIV/AIDS karena efek spiral (tertular secara tidak
langsung) misalnya karena transfusi darah, tertular dari suaminya dan
sebagainya, maka orang tersebut dikarantina.
Penderita HIV/AIDS yang tidak karena melakukan maksiat dengan
sangsi hukuman mati, maka tugas negara adalah mengkarantina mereka.
Karantina dalam arti memastikan tidak terbuka peluang untuk terjadinya
penularan harus dilakukan, terutama kepada pasien terinfeksi fase AIDS.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang artinya: Sekali-kali
janganlah orang yang berpenyakit menularkan kepada yang sehat (HR
Bukhori ). Apabila kamu mendengar ada wabah di suatu negeri, maka
janganlah kamu memasukinya dan apabila wabah itu berjangkit sedangkan
kamu berada dalam negeri itu , janganlah kamu keluar melarikan diri
(HR. Ahmad, Bukhori, Muslim dan Nasai dari Abdurrahman bin Auf).
Mengkarantina agar penyakit tersebut tidak menyebar luas, perlu
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Selama karantina seluruh hak dan kebutuhan manusiawinya tidak
diabaikan
b. Diberi pengobatan gratis
c. Berinteraksi dengan orang orang tertentu di bawah pengawasan dan
jauh dari media serta aktifitas yang mampu menularkan
d. Dilakukan upaya pendidikan yang benar tentang HIV-AIDS kepada
semua kalangan disertai sosialisasi sikap yang diharapkan dari masing-
masing pihak/kalangan (komunitas ODHA/OHIDA, komunitas resiko
tinggi, komunitas rentan)
e. Dilakukan pendidikan disertai aktivitas penegakan hukum kepada
ODHA yang melakukan tindakan yang membahayakan (beresiko
menularkan pada) orang lain
f. Pembinaan rohani, merehabilitasi mental (keyakinan,
ketawakalan,kesabaran) sehingga mempecepat kesembuhan dan
memperkuat ketaqwaan. Telah diakui bahwa kesehatanm mental
mengantarkan pada 50% kesembuhan.
g. Dilakukan pemberdayaan sesuai kapasitas. Di sisi lain, jika selama ini
penyakit seperti HIV/AIDS belum ditemukan obatnya maka negara
wajib menggerakkan dan memberikan fasilitas kepada para ilmuwan
dan ahli kesehatan agar secepatnya bisa menemukan obatnya.
IV.3. Sikap Islam terhadap HIV/AIDS
HIV/AIDS adalah penyakit menular yang sangat berbahaya dimana
ia telah mengancam eksistensi manusia di dunia dan dapat menimpa siapa
saja tanpa memandang jenis umur dan profesi. Karenanya, HIV/AIDS
dinilai sebagai al-dharat al-amm (bahaya global).
a. Eutanasia
Eutanasia tidak dibenarkan atas penderita AIDS, baik eutanasia pasif
maupun aktif. Sebagai dalil-dalilnya adalah: Hidup dan mati adalah
ditangan Tuhan. Firman Allah SWT :

39

"(Allah ) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya" (Al-Mulk :2)
b. Islam melarang bunuh diri dan membunuh orang lain kecuali dengan
hak
Firman Allah :

"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah


(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar" (Al-
Ann'am : 151).
c. Islam memerintahkan untuk berobat dan melarang putus asa.
Sabda Rasulullah SAW :
"Hai hamba-hamba Allah! Berobatlah! Sesungguhnya Allah SWT tidak
menciptakan penyakit, kecuali diciptakannya pula obat penyembuhnya,
kecuali lanjut usia."
d. Islam memerintahkan untuk sabar dan tawakkal menghadapi musibah.
Firman Allah SWT:

"Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang


demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)".
(Luqman:17)
e. Islam memerintahkan banyak istighfar dan berdo'a
Firman Allah SWT

"Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau


menganiaya diri sendiri (seperti zina, riba) mereka ingat akan Allah,
lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahuinya".
(Ali Imran:135).
f. Memakai dalil maslahat untuk membenarkan eutanasia tidak tepat,
karena diantara syarat penggunaan maslahat itu sebagai dalil Syar'I
tidak boleh bertentangan dengan nash.
g. Penggunaan qiyas yakni mengqiyaskan penderita HIV/AIDS dengan
wanita hamil yang kandungannya membahayakan jiwa calon ibu karena
sama daruratnya, adalah tidak tepat, karena bagi penderita HIV/AIDS
belum memenuhi keadaan darurat untuk tindakan eutanasia
IV.4. Menularkan HIV/AIDS
Menularkan HIV/AIDS hukumnya haram. Hal ini berdasarkan hadis
Rasulullah SAW

40
"Tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh
membahayakan orang lain".

Perkawinan penderita HIV/AIDS


1. Perkawinan antara seorang yang menderita HIV/AIDS dengan orang
yang tidak menderita HIV/AIDS :
a. Apabila HIV/AIDS itu dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat
disembuhkan (maradh daim), maka hokum tersebut dalam Kifayah
Al-Akhyar III halaman 38 yaitu:"Keadaan kedua yaitu laki-laki
yang mempunyai biaya perkawinan, namun ia tidak perlu nikah,
baik kerena tidak mampunya melakukan hubungan seksual sebab
kemaluannya putus atau impoten maupun karena sakit kronis dan
lain sebagainya. Laki - laki seperti ini juga makruh menikah".
b. Apabila HIV/AIDS itu selain dianggap sebagai penyakit yang sulit
disembuhkan (maradh daim), juga diyakini membahayakan orang
lain (tayaqqun al-idhrar), maka haram.
Tersebut dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adilatuhu, VII halaman 83:
"Apabila laki-laki yang akan kawin yakin bahwa perkawinannya
akan menzalimi dan menimpakan kemudharatan atas perempuan
yang akan dikawininya, maka hukum perkawinannya itu adalah
haram".
Sabda Rasulullah: "Adapun laki-laki yang tidak mempunyai
kemampuan pada segi biaya pernikahan dan kewajiban-
kewajibannya, hendaklah puasa, karena puasa dapat memutus
keinginannya kepada menikah".
2. Perkawinan antara dua orang (laki-laki dan wanita) yang sama-sama
menderita HIV/AIDS hukumnya boleh.
3. Fasah Perkawinan Karena HIV/AIDS
Penyakit HIV/AIDS dapat dijadikan alasan untuk menuntukan
perceraian, apabila salah satu dari suami-isteri menderita penyakit:
a. Tersebut dalam al-majmu' XVI halaman 265-266 :
" Apabila suami mendapatkan isternya gila atau menderita penyakit
kusta (lepra) atau baros atau rutqa' (kemaluannya tertutup) atau
qarna' (pada kemaluannya terdapat daging) sehingga mencegah
persetubuhan, maka ia (pihak suami) mempunyai hak memilih
fasakh".
b. Undang-undang No. 1 tahun 1974, pasal 39 bagian penjelasan
c. PP No. 9 tahun 1975 pasal 19
d. Kompilasi Hukum Islam.
4. Melanjutkan Perkawinan Bagi Pasangan Suami - Isteri Penderita
HIV/AIDS.
Apabila pasangan suami-isteri atau salah satunya menderita HIV/AIDS,
maka mereka boleh bersepakat untuk meneruskan perkawinan mereka
dalilnya adalah Hadis Nabi SAW :
Sebagai dasar adalah sebagai berikut :
"Orang - orang islam terikat denga perjanjian mereka, kecuali
perjanjian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal".

41
5. Memakai Alat Pencegah Penularan HIV/AIDS Dalam Hubngan Seksual

Suami atau isteri yang menderita HIV/AIDS dalam melakukan


hubungan seksual wajib menggunakan alat, obat atau metode yang
dapat mencegah penularan HIV/AIDS.
Sabda Rasulullah SAW :
"Tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh
membahayakan orang lain".
Disamping itu suami atau isteri yang menderita HIV/AIDS seyogyanya
berusaha untuk tidak memperoleh keturunan.
6. Pengguguran Janin Bagi Ibu yang Menderita HIV/AIDS
Apabila seorang Ibu menderita HIV/AIDS hamil maka ia tidak boleh
menggurkan kandungannya. Dalilnya ialah firman Allah SWT :


"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan"
(Al Israa' 31).
7. Wanita Penderita HIV/AIDS yang Hamil karena Berzina.
Wanita penderita HIV/AIDS yang hamil karena berzina perlu dirawat
dengan baik dalam rangka menyadarkan dirinya untuk bertobat.



"Dan sungguh kami telah memuliakan anak cucu adam". (Al Israa' :70)
8. Pengurusan Jenzah Penderita HIV/AIDS.
Penderita HIV/AIDS yang meninggal dunia wajib diurus sebagaimana
layaknya jenazah (dimandikan, dikafani, disholati dan dikuburkan).
Cara memandikannya hendaknya mengikuti petunjuk Departemen
Kesehatan tentang pengurusan jenazah tidak dapat dimandikan seperti
termaktub dalam petunjuk Departemen Kesehatan, mayat tersebut tetap
dimandikan sedapat mungkin dengan cara menyemprotkan air.

42
DAFTAR PUSTAKA

Anastasya G. 2008. Karakteristik Penderita HIV/AIDS di Pusat Pelayanan


Khusus (Pusyansus) Klinik Voluntary Counceling and Testing (VCT) RSUP Haji
Adam Malik Medan Tahun 2006-2007. Medan: USU Digital Library. Available
from http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16364. (Diakses pada 26 Mei
2016 pukul 22.00 WIB)
Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2014. Imunologi Dasar Edisi 11. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI. (p: 462, 431-449, 451-459)
Bastiansyah E. 2008. Panduan Membaca Hasil Tes Kesehatan. Jakarta: Penebar
Plus. (p: 48)
Behrman, Kliegman, Arvin. 2012. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1.
Jakarta: EGC. (p: 743)
Dorland WAN. 2000. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC (p:
1383)
http://www.heart-intl.net/HEART/102504/TuntunanSyari%27at.htm. (Diakses
pada 25 Mei 2016 pukul 20.00 WIB)
IDI. 2012. Kode Etik Kedokteran Indonesia. http://www.idai.or.id/wp-
content/uploads/2015/05/KODEKI-Tahun-2012.pdf. (Diakses pada 27 Mei 2016
pukul 19.25 WIB)
Informasi Dasar HIV AIDS. http://lrc.bbpkciloto.or.id/userfiles/file/modul /Modul
%202%20HIV.pdf. (Diakses pada 25 Mei 2016 pukul 20:00 WIB)
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi
HIV dan Terapi AntiRetroviral pada Orang Dewasa. http://spiritia.
or.id/dokumen/pedoman-art2011.pdf. (Diakses pada 25 Mei 2016 pukul 18:33
WIB)
Lioyd A. 1996. HIV Infection and AIDS. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
9795558. (Diakses pada 27 Mei 2016 pukul 21.00 WIB)
National Institute of Neurological Disorders and Stroke. 2007. Komplikasi Saraf
Terkait AIDS. http://spiritia.or.id/cst/dok/c1089.pdf. (Diakses pada 25 Mei 2016
pukul 19:11 WIB)
Olczak A. 2016. HIV and AIDS Review. http://www.journals.elsevier.com/hiv-
and-aids-review. (Diakses pada 28 Mei 2016 pukul 19.17 WIB)
Phair, John P. dan Ellen G. Chadwick. 1994. Dasar Biologis Dan Klinis Penyakit
Infeksi Edisi IV. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Price SA, Wilson L. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. Jakarta: EGC. (p: 218, 230-231, 233)

43
Prinsip-prinsip Dasar Ajaran Islam Dalam Memandang HIV & AIDS. http://kajad-
alhikmahkajen.blogspot.co.id/2010/12/prinsip-prinsip-dasar-ajaran-islam.html.
(Diakses pada 25 Mei 2016 pukul 23:26 WIB)
Rosyidah, F. (2011). Kritik Islam Terhadap Strategi Penangulangan HIV-AIDS
Berbasis Paradigma Sekuler-Liberal dan Solusi Islam dalam Menangani
Kompleksitas Problematika HIV-AIDS.
Sherwood L. 2016. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC (p:
481)
Simon V, Ho DD, Karim QA. 2010. HIV/AIDS Epidemiology, Pathogenesis,
Prevention, and Treatment. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
PMC2913538/. (Diakses pada 27 Mei 2016 pukul 21.50 WIB)
Siregar FA. 2004. Pengenalan dan Pencegahan AIDS. http://repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/3684/1/fkm-fazidah4.pdf. (Diakses pada 28 Mei 2016 pukul
16.12 WIB)
Sudoyono AW, Setiati S, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi
4. Jakarta: InternaPublishing. (p: 508-509, 889-890, 893-894, 912-913)
Tanto C, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius. (p: 573-583)
Williams JR. 2005. Medical Ethics Manual. Ethics Unit of the World Medical
Association. http://www.wma.net/en/30publications/30ethicsmanual/pdf/ethics_
manual_indonesian.pdf. (Diakses pada 27 Mei 2016 pukul 19.40 WIB)
Yoga T. Situasi Epidemiologi HIV-AIDS di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI.
bkkbn.go.id/ (Diakses pada 25 Mei 2016 pukul 20.04 WIB)

44

Anda mungkin juga menyukai