Anda di halaman 1dari 16

WRAP UP SKENARIO 4

BLOK KARDIOVASKULAR
“TUNGKAI BENGKAK”

KELOMPOK A-2
Ketua : Rivaldo 1102018144
Sekretaris : Anggita Novanti Arbi Sagala 1102018029
Aggota : Femi Aldini 1102018026
Desi Hiratna 1102018076
Achmad Akmal Ar-rafi 1102018114
Muhammad Rafi Arbiwarsa 1102018116
Muhammad Ridho Alfitrah 1102018125
Monica Tri Mulanda 1102018136
Hilmi Fauzi Akmal 1102018154
Muhammad Alarik Yuwana S. 1102018176

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2019/2020
Jl. Letjen Suprapto, Cempaka Putih
Jakarta 10510 Telp. 021-4244574

1
Daftar Isi

Daftar isi..........................................................................................................................................2
Skenario...........................................................................................................................................3
Kata Sulit.........................................................................................................................................4
Brainstorming..................................................................................................................................5
Hipotesis..........................................................................................................................................6
Sasaran Belajar................................................................................................................................7
1. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Sistem Koagulasi Normal......................................8
2. Memahami dan Menjelaskan DVT
2.1 Definisi...............................................................................................................................9
2.2 Etiologi...............................................................................................................................9
2.3 Epidemiologi......................................................................................................................9
2.4 Patofisiologi.....................................................................................................................10
2.5 Manifestasi Klinis............................................................................................................11
2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding....................................................................................11
2.7 Tatalaksana.......................................................................................................................13
2.8 Komplikasi.......................................................................................................................14
2.9 Pencegahan.......................................................................................................................15
2.10 Prognosis.........................................................................................................................15
Daftar Pustaka................................................................................................................................16

2
Skenario 4
TUNGKAI BENGKAK
Seorang perempuan, berusia 60 tahun, mengeluh tungkai kiri terasa bengkak, nyeri
dan panas sejak 1 minggu yang lalu. Pasien beristirahat untuk mengurangi keluhan yang
dirasakan namun keluhan dirasakan semakin memberat. Tidak didapatkan keluhan
kesemutan/mati rasa, namun bila dipegan terasa lebih hangat dibanding tungkai kanan.
Keluhan ini muncul setelah pasien berpergian ke luar negeri dengan menggunakan pesawat
terbang. Pada pemeriksaan fisik otot gastrocnemius terlihat edema dan eritema, pada palpasi
teraba hangat dan nyeri saat ditekan, namun pulsasi arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis
posterior mash normal. Tanda Homan, Lovel, dan Lowenberg positif. Hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan peningkatan fibrinogen dan D-dimer, serta penurunan APTT.
Perhitungan dengan skor Wells positif 3, sehingga pasien dianjurkan untuk dilakukan
pemerikasaan USG Doppler pada tungkai kiri.

3
KATA SULIT
1. Tanda Homan :Nyeri pada saat dorsofleksi kaki/posisi tidak nyaman di atas
betis
2. Tanda Lowenberg :Tanda klinis yang ditemukan pada pasien DVT serta
mengalam nyeri pada betis bagian bawah
3. Tanda Louvel :Nyeri hebat pada vena yang mengalami trombosis akibat batuk
dan bersin
4. Eritema :Kemerahan pada kulit yang dihasilkan oleh kongesti pembuluh
kapiler
5. D-dimer :Suatu jenis sampel darah di laboratorium yang bertujuan untuk
membantu melakukan diagnosis penyakit dan kondisi yang menyebabkan
hiperkoagulabilitas
6. Skor Wells :Skor yang digunakan untuk sebagai dasar/patokan yang
digunakan untuk diagnosis DVT disertai bukti dari USG Doppler
7. USG Doppler :Test invasif digunakan untuk memperkirakan aliran darah
melalui pembuluh darah

4
BRAINSTORMING
1. Apa diagnosis pada skenario ini?
2. Mengapa keluhan pasien semakin memberat selama istirahat?
3. Apa penyebab terjadinya DVT pada penerbangan jarak jauh?
4. Apa tatalaksana awal pada skenario ini?
5. Apa komplikasi DVT?
6. Mengapa pasein dianjurkan melakukan pemeriksaan USG Doppler?
7. Apa gejala dari penyakit ini?
8. Apa faktor resiko dari penyakit ini?
9. Apa pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini?
10. Mengapa terjadi peningkatan pada fibrinogen dan D-dimer?
11. Apa makna dari Skor Wells positif 3?
12. Apa makna penurunan APTT?
13. Apa saja yang dapat menurunkan APTT?

JAWABAN
1. DVT / Deep Vein Thrombosis
2. Karena pasien tidak mengetahui bahwa otot gastrocnemiusnya terdapat edema dan
eritema sehingga dengan cara beristirahat tidak membantu penyembuhan
3. Perubahan patofisiologis tubuh misal dalam keadaan duduk menurunnya aksi
potensial sehingga otot tidak berkontraksi (ruang gerak yang terbatas), pembekuan
darah/hiperkoagulitas
4. Antikoagulant: rivaroxaban ; Trombolytre: altoplase, reteplase ; Vitamin K
Antagonis: warfarin
5. Emboli paru, Gagal jantung, Syndrom pasca trombosis
6. Karena terdapatpeningkatan fibrinogen dan D-dimer sehingga pasien perlu diperiksa
lanjut untuk memastikan diagnosis penyakit
7. Edema, eriteme, nyeri pada kaki, keram, perubahan warna kaki menjadi pucat
8. Gagal jantung, obesitas, usia >60tahun, kanker, kehamilan, merokok, diabetes, lupus,
konsumsi obat (pil KB, terapi hormon)
9. Pemeriksaan D-dimer, USG Doppler, CT-Scan, Venography
10. Pada peningkatan Fibrinogen terjadi gangguan pada koagulasi sepsis disebabkan oleh
perusakan pembuluh darah serta autoimun sedangkan Peningkatan D-dimer terjadi
karena hiperkoagulabilitas
11. <1 (beresiko rendah), 1-2 (beresiko sedang), >3 (beresiko tinggi)
12. Terjadi banyaknya pembekuan-pembekuan karena faktor defisiensi fibrinogen
13. –Makna secara Laboratorium
• Pembekuan pada sampel darah
• Sampel darah hemolisis
• Pengambilan darah pada jalur intravena

5
HIPOTESA
Deep Vein Thrombosis dapat terjadi karena Perubahan patofisiologis tubuh misal
dalam keadaan duduk menurunnya aksi potensial sehingga otot tidak berkontraksi (ruang
gerak yang terbatas), pembekuan darah/hiperkoagulitas sehingga menyebabkan edema dan
eritema serta pada saat di palpasi terasa hangat. Deep Vein Thrombosis dapat ditangani
dengan Antikoagulant yaitu rivaroxaban, Trombolytre yaitu altoplase dan reteplase serta
Vitamin K Antagonis yaitu warfarin.

6
SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Sistem Koagulasi Normal


2. Memahami dan Menjelaskan DVT
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.3 Epidemiologi
2.4 Patofisiologi
2.5 Manifestasi Klinis
2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
2.7 Tatalaksana
2.8 Komplikasi
2.9 Pencegahan
2.10 Prognosis

7
1. Mekanisme Sistem Koagulasi Normal
Mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan dinamakan hemostasis. Terdapat
beberapa fase penting pada mekanisme ini, di antaranya fase pembentukan sumbatan oleh
platelet (keping darah) dan fase pembekuan darah. Proses pembekuan darah atau koagulasi
adalah proses kompleks, di mana darah membentuk gumpalan (bekuan darah) guna menutup
dan memulihkan luka, serta menghentikan pendarahan. Proses pembekuan darah tidak akan
terjadi tanpa adanya ‘aktor’ yang berperan. Koagulasi melibatkan trombosit dan komponen
faktor koagulasi.
 Trombosit
Trombosit atau keping darah adalah elemen berbentuk cakram di dalam
darah. Trombosit digolongkan sebagai sel darah, tetapi sebenarnya trombosit adalah
bagian dari sel-sel sumsum tulang yang disebut dengan megakaryocytes. Trombosit
berperan untuk membantu membentuk bekuan darah, guna memperlambat atau
menghentikan perdarahan, serta penyembuhan luka.
 Faktor koagulasi (faktor pembekuan)
Faktor koagulasi adalah protein, sebagian besar diproduksi oleh organ hati. Ada 13
faktor koagulasi dalam darah dan jaringan tubuh manusia.
Selain kedua zat di atas, unsur yang juga berperan penting pada pembekuan darah adalah
vitamin K. Vitamin ini merupakan nutrisi yang berperan penting dalam membantu tubuh
menghasilkan faktor pembekuan darah. Orang yang kekurangan vitamin K rentan mengalami
perdarahan. Kondisi ini sering ditemukan pada bayi baru lahir, karena itu mereka seringkali
membutuhkan suntikan vitamin K. Proses pembekuan darah normal melewati serangkaian
interaksi yang kompleks. Berikut adalah proses pembekuan darah dari awal hingga akhir.
 Trombosit membentuk sumbatan
Trombosit bereaksi ketika pembuluh darah rusak atau ada luka. Mereka menempel
pada dinding daerah yang luka dan bersama-sama membentuk sumbatan. Sumbatan
dibentuk guna menutup bagian yang rusak, agar menghentikan darah yang keluar.
Trombosit juga melepaskan bahan kimia untuk menarik lebih banyak trombosit dan
sel-sel lain untuk melanjutkan tahap berikutnya.
 Pembentukan bekuan darah
Faktor-faktor pembekuan memberi sinyal terhadap satu sama lain, untuk melakukan
reaksi berantai yang cepat. Reaksi ini dikenal sebagai kaskade koagulasi. Pada tahap
akhir kaskade ini, faktor koagulasi yang disebut trombin mengubah fibrinogen
menjadi helai-helai fibrin. Fibrin bekerja dengan cara menempel pada trombosit untuk
membuat jaring yang memerangkap lebih banyak trombosit dan sel. Gumpalan
(bekuan) pun menjadi lebih kuat dan lebih tahan lama.
 Penghentian proses pembekuan darah
Setelah bekuan darah terbentuk dan perdarahan terkendali. Protein-protein lain akan
menghentikan faktor pembekuan, agar gumpalan tidak berlanjut lebih jauh dari yang
diperlukan.
 Tubuh perlahan-lahan membuang sumbatan
Ketika jaringan kulit yang rusak sembuh, otomatis sumbatan tidak diperlukan lagi.
Helai fibrin pun hancur, dan darah mengambil kembali trombosit dan sel-sel dari
bekuan darah.

8
2. Memahami dan Menjelaskan DVT
2.1 Definisi
Deep vein thrombosis (DVT) adalah bekuan darah di vena dalam yang sebagian besar
tersusun atas fibrin, sel darah merah, serta sebagian kecil komponen leukosit dan trombosit.
Pembuluh darah vena yang terkena biasanya terletak jauh di dalam otot kaki tetapi juga bisa
dalam area lainnya, gumpalan (trombus) menyebabkan aliran darah melambat. Daerah
tersebut akan mengalami penyumbatan yang mengakibatkan  terjadi pembengkakkan,
kemerahan, dan menyakitkan (Cheng-Han Lee,2016)
2.2 Etiologi
Menurut Virchow, terjadinya trombus disebabkan oleh 3 faktor utama yaitu stasis vena,
keadaan hiperkoagulabilitas, Kerusakan dinding pembuluh darah. 

1. Stasis vena 
Sebagian besar trombus vena berasal dari daerah aliran darah lambat (stasis vena) pada sinus
vena besar pada betis dan paha atau pada katup cusp pocket atau bifurcation dari sistem vena.
Dengan demikian suatu kondisi akan menjadi sangat jelas apabila dalam situasi aktivitas fisik
berkurang seperti tidur atau mengalami perjalanan jauh terjadi penurunan aliran darah vena
atau terjadinya stasis sehingga keadaan ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan
menyebabkan suatu lokal hiperkoagulabilitas, perenggangan endotel pembuluh darah akibat
stasis vena dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan
aktivasi homeostasis meningkat. Aktivasi homeostasis akan mengeluarkan produk
pembekuan darah dan fibrinolisis yang suatu saat akan memperberat kerusakan endotel.

2. Hiperkoagulabilitas 
Gangguan koagulabilitas paling sering dijumpai akibat gangguan dari jalur antikoagulan
alami, ada tiga hal yang penting pada proses jalur antikoagulan alami yaitu 
 Jalur heparin-antitrombin
 Jalur protein C antikoagulan
 Jalur faktor penghambat jaringan 
Semua jalur ini berperan dalam mempertahankan fungsi dinding pembuluh darah, keadaan
peradangan dan hipoksia akan menggangu kestabilan dinding pembuluh darah. Sekitar 20%
hiperkoagulabilitas dijumpai pada  Mutasi pada gen G 20201A yang menyebabkan
peningkatan protrombin plasma dan mengakibatkan kemungkinan untuk terjadinya
hombosis. 

3. Kerusakan dinding pembuluh darah 


Kombinasi stasis vaskular dan hiperkoagulabilitas sistemik terbukti dapat menyebabkan
trombus dalam waktu beberapa menit, dinding pembuluh darah yang rusak merupakan faktor
penting lain untuk terjadinya trombogenesis vena. Dari suatu kasus disebutkan keadaan
cedera, akan terjadi perubahan pada sistem pembekuan darah, perubahan ini akan
menyebabkan peningkatan komponen faktor Von Willebrand dan agregat platelet yang
selanjutnya berkontribusi untuk terjadinya hiperkoagulabilitas.

9
2.3 Epidemiologi
Insiden thrombosis vena yang pertama adalah 1 – 3 per 1000 orang pertahun. Sekitar dua
pertiga muncul dengan DVT pada tungkai dan sepertiganya dengan PE. Separuh dari
penderita PE tidak memiliki tanda-tanda dan gejala DVT pada awalnya. 1 – 10% penderita
trombosis vena bersifat fatal, terutama terjadi pada orang tua atau penderita dengan penyakit
berat seperti kanker. Insiden trombosis ini meningkat secara ekponensial berdasarkan umur.
Pada anak-anak insidennya 1 per 100.000 pertahun, pada dewasa muda insidennya 1 per
10.000, umur pertengahan adalah 1 per 1.000, pada orang tua sebanyak 1% dan 10% pada
pasien yang sangat tua. Kekambuhan trombosis ini adalah 3 – 10% pertahun.

2.4 Patofisiologi
Tiga kelompok faktor yang mempengaruhi terjadinya pembentukan trombus disebut
dengan Trias Virchow yaitu jejas endotel, stasis atau turbulensi aliran darah (aliran darah
abnormal), dan hiperkoagulabilitas darah.
Statis merupakan faktor utama dalam pembentukan trombus vena. Stasis dan turbulensi
akan :
1. Mengganggu aliran laminar dan melekatkan trombosit pada endotel
2. Mencegah pengenceran faktor pembekuan yang teraktivasi oleh darah segar yang
terus mengalir
3. Menunda aliran masuk, inhibitor faktor pembekuan, dan memungkinkan
pembentukan thrombus
4. Meningkatkan aktivasi sel endotel, memengaruhi pembentukan trombosis lokal,
perlekatan leukosit serta berbagai efek sel endotel lain.
Beberapa faktor yang menyebabkan aliran vena melambat dan menginduksi terjadinya stasis
adalah imobilisasi (bed rest lama setelah operasi, duduk didalam mobil atau pesawat terbang
dalam perjalanan yang lama), gagal jantung, dan sindrom hiperviskositas (seperti polisitemia
vera).
Jejas endotel akibat injury eksternal maupun akibat kateter intravena dapat mengikis sel
endotel dan mengakibatkan pajanan kolagen subendotel. Kolagen yang terpajan merupakan
substrat yang digunakan sebagai tempat pengikatan faktor von Willebrand dan platelet yang
menginisiasi kaskade pembekuan darah.Endotel yang mengalami disfungsi dapat
menghasilkan faktor prokoagulasi dalam jumlah yang lebih besar dan efektor antikoagulan
dalam jumlah yang lebih kecil (misalnya trombomodulin dan heparan sulfat). Penyebab
kerusakan endotel yang jelas adalah troma langsung pada pembulu darah ( seperti fraktur
atau cidera jaringan lunak) dan infus intervena atau zat-zat yang mengiritasi seperti kalsium
klorida, kemoterapi, antibiotik dosis tinggi.
Penyebab hiperkoagulabilitas darah terbagi atas penyebab primer (genetik) dan penyebab
sekunder (didapat). Hiperkoagulabilitas darah tergantung dari interaksi kompleks antara
berbagai macai variabel, termasuk endotel pembuluh darah, faktor-faktor pembekuan darah,
faktor-faktor pembekuan dan trombosit, komposissi, dan sifat-sifat aliran darah. Selain sistem

10
fibrinolitik intrisik menyeimbangkan system pembekuan melalui lisis dan disolusi untuk
mempertahankan paternsi vaskuler. Keadaan hiperkoagulasi timbul akibat perubahan salah
satu variabel ini kelainan hematologis, keganasan, trauma, terapi estrogen, atau pembedahan
yang dapat menyebabkan kelainan koagulasi.
Trombosis vena akan meningkatkan resistensi aliran vena dari ekstremitas bawah. Dengan
meningkatkan resisten di aliran vena, pengosongan vena akan terganggu, meningkatkan
volume dan tekanan darah vena. Trombosis dapat melibatkan kantong katup dan merusak
fungsi katup. Katup yang tidak berfungsi atau inkompeten mempermudah terjadinya stasis
dan penimbunan darah diekstremitas. Trombos akan menjadi sangat terorganisir dan melekat
pada dinding pembulu darah apabila trombos semakin matang . sebagai akibatnya, resiko
embolis menjadi lebih besar pada awal fase-fase trombosis, namun demikian ujung bekuan
dapat terlepas dan menjadi emboli sewaktu fase terorganisasi.

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis DVT tidak selalu jelas dan sama pada setiap orang. Keluhan utama pasien
DVT adalah tungkai bengkak dan nyeri. Trombosis dapat menjadi berbahaya apabila meluas
atau menyebar ke proksimal.
 Nyeri : Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis. Trombosis vena di
daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial
dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri
atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang ringan sampai hebat. Nyeri akan
berkurang jika penderita berbaring, terutama jika posisi tungkai ditinggikan.
 Pembengkakan : Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal
dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh sumbatan, maka
lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila
disebabkan oleh peradangan perivaskuler, bengkak timbul di daerah trombosis dan
biasanya disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika berjalan dan akan berkurang
jika istirahat dengan posisi kaki agak ditinggikan.
 Perubahan warna kulit : Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak
ditemukan pada trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri, ditemukan
hanya pada 17% - 20% kasus. Kulit bisa berubah pucat dan kadangkadang berwarna
ungu. Perubahan warna menjadi pucat dan dingin pada perabaan merupakan tanda
sumbatan vena besar bersamaan dengan spasme arteri, disebut flegmasia alba dolens.

2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis 
1. Anamnesis 
Dari riwayat penyakit yang dapat di gali, TVD biasanya terlihat jelas pada ekstremitas
bawah. TVD pada ekstremitas bawah ini seringkali terlihat pertama kali sebagai msa penuh
yang mengganggu pada insersi otot betis bawah. Pemsaan ini lama kelamaan disertai msa
panas dan pembengkakan. Pembengkakan disertai rasa nyeri. Rasa nyeri bertambah bila
dipakai untuk aktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat. 

2. Pemeriksaan Fisik 

11
Akan dijumpai kelemahan mungkin fimbul sepanjang aliran vena yang terlibat. Disamping
itu biasanya juga didapatkan adanya peningkatan turgor jaringan lunak yang terkena dan
distensi vena superficial. Dijumpai adanya rasa penuh yang mengganggu pada insersi otot
beris bawah. Gejala klinis yang bisa timbul pada TVD adalah tumor, dolor, kalor, rubor dan
fungsiolesa

3. Pemeriksaan penunjang
 D-dimer assay 
D-dimer merupakan hasil dari degradasi cross-linked fibrin oleh plasmin. Test ini
menunjukkan aktivitas secara umum dari koagulasi dan fibrinolisis. Merupakan biomarker
yang terbaik dari suatu VTE. Kombinasi dari clinical probability model dan test D-dimer
dapat menyingkirkan sebanyak 25% pasien yang dengan gejala klinis meyerupai DVT tanpa
perlu pemeriksaan lebih lanjut. Bahkan pada pasien dengan VTE yang rekuren kombinasi ini
(clinical probability dan D-dimer) terbukti cukup baik untuk menyingkirkan adanya
trombosis, terutama pada pasien dengan clinical prtetest probabilitynya yang rendah.
Pemeriksaan D-dimer sangat sensitif (nilainya sampai 95%) tetapi specifisitinya rendah. Nilai
negative prediction value D-dimer adalah hampir 100%. Oleh karena itu hasil test D-dimer
yang negatif sangat baik untuk menyingkirkan DVT maupun PE. Hasil positif palsu dari D-
dimer adalah pada inflamasi, kehamilan, malignansi, usia tua dan kehamilan. Peningkatan D-
dimer dapat dipakai sebagai prediksi outcome yang buruk pada anak-anak dengan kejadian
trombosis yang akut. Negatif palsu dari D-dimer juga bisa terjadi pada penderita yang
menggunakan heparin. Oleh karena itu disarankan untuk test D-dimer sebaiknya dilakukan
sebelum memberikan heparin.
 Venous ultrasonography 
Venous ultrasonography merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien dengan DVT likely.
Bersifat non-invasive, aman, mudah didapat, dan relatif murah. Kriteria ultrasonografi mayor
adanya trombosis adalah gagalnya penekanan lumen vena dengan tekanan yang cukup
dengan probe USG. Keunggulan lain dari venous ultrasound ini adalah dapat mendeteksi
adanya Baker’s cyst, hematoma dalam otot atau di daerah yang lebih superfisialis,
lymphadenopathy, aneurisma femoralis, tromboplebitis superfisialis dan abses. Pengunaan
alat ini memiliki keterbatasan untuk mendeteksi trombus didaerah distal. Penekanan vena
dengan probe USG ini memiliki kekurangan pada pasien-pasien yang gemuk, edema, dan
nyeri di lokasi vena yang diperiksa. Penggunaan alat USG yang lebih baru seperti
compression B-mode ultrasonography dengan atau tanpa color Duplex imaging mempunyai
sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk proximal DVT yang simtomatik. Trombosis di
betis memiliki sensitivitas 73%. Pemeriksaan ulang venous ultrasound hanya diindikasikan
pada pasien gejala DVT tetapi hasil pemeriksaan awal normal atau pada penderita yang
seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan metode lain tetapi mempunyai kontraindikasi
untuk pemeriksaan dengan metode tersebut atau fasilitas yang tidak tersedia. Serial ini tidak
diperlukan pada pasien yang berdasarkan kriteria Wells unlikely dan test D-dimer negatif.
 Venography kontras 
Pemeriksaan ini bermanfaat jika terdapat ketidaksesuaian antara hasil pemeriksaan USG
kompresi dengan gejala klinis (gejala klinis tidak mcndukung TVD tetapi hasil USG-nya
mendukung atau gejala klinis nengarah ke TVD tetapi hasil USG tidak mendukung ke arah
TVD). Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa venografi kontras tidak dapat untuk
menentukan diagnosis. jika disana terdapat obstruksi komplet pada vena yang menghalangi
jalannya zat kontras
Tanda utama yang ditemukan pada thrombosis vena ini adalah adanya filling defect pada
vena. Tanda lainnya adalah adanya tanda-tanda putusnya gambar kontrast pada vena tiba-
tiba. Pemeriksaan trombosis dengan metode ini bersifat invasive, nyeri, terpapar oleh radiasi

12
dan risiko alergi oleh karena kontras. Disamping itu bisa juga terjadi gangguan pada ginjal
akibat penggunaan kontras tersebut. DVT yang baru bisa juga di sebabkan oleh karena
prosedur venography tersebut yang kemungkinan besar disebabkan oleh iritasi dan kerusakan
endotel. Penggunaan contrast yang nonionic mengurangi risiko reaksi alergi dan
trombogeniknya.
 Magnetic resnonance imaging (MRI) 
Cara ini sangat sensitif untuk mendiagnosis DVT di daerah pelvis, DVT di daerah betis dan
DVT didaerah extremitas atas. Cara ini baik juga untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit lainnya pada pasien yang DVT. MRI merupakan test pilihan untuk mendiagnosis
DVT di daerah vena iliaka atau vena cava inferior pada saat computed tomography
venography merupakan kontraindikasi atau diperkirakan secara teknik mengalami kesulitan.
Tidak ada radiasi ion tetapi mahal, dan memerlukan ahli radiologi untuk interpretasinya
 Algoritme untuk diagnosis DVT 
Langkah pertama adalah melakukan pretest probability assessment dengan menggunakan
Wells score. Jika skornya ≤ 1 (DVT unlikely), lakukan pemeriksaan D-dimer. Jika hasilnya
negatif maka DVT dapat disingkirkan. Jika hasilnya positif dilakukan venous ultrasound. Jika
hasil venous ultrasound negatif maka DVT juga data disingkirkan. Diagnosis DVT hanya
dibuat apabila hasil venous ultrasoundnya positif.
Jika skor Wells > 1 (DVT likely) maka pemeriksaan selanjutnya adalah venous ultrasound.
Jika hasil ultrasoundnya positif maka diagnosis DVT dapat ditegakkan. Bila hasil ultrasound
negatif maka dilakukan pemeriksaan D-dimer, apabila D-dimer negatif berarti DVT dapat
disingkirkan tetapi apabila hasilnya positif lakukan pemeriksaan ulang ultrasound 6 – 8 hari
lagi atau lakukan venography. Algoritme ini tidak digunakan pada kehamilan, sebab pada
kondisi ini biasanya D-dimer tinggi. 
 Platelet scintigratphi 
Pemeriksaan ini menggunakan htdium oxine labeting dan bermantaat untuk diagnosis TVD
seda untuk evaluasi elek pemberian terapi antikoagulan.
 
Diagnosisi Banding 
 Plebitis tanpa trombosis 
 Tromboplebitissuperfisial 
 lnsufisiensi vena tanpa trombosis akut 
 Ruptur kista Baker
 Hematom 
 Selulitis 
 Limpangitis 
 Limpedema 
 Edema perifer oleh karena penyakitjantung koogestif, penyakit hati, gagal ginlal atau
sindroma nefrotik.

2.7 Tatalaksana
Non-farmakoterapi
Penatalaksanaan non-farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi morbiditas pada
serangan akut serta mengurangi insidens posttrombosis syndrome yang biasanya ditandai
dengan nyeri, kaku, edema, parestesi, eritema, dan edema. Untuk mengurangi keluhan dan
gejala trombosis vena pasien dianjurkan untuk istirahat di tempat tidur (bedrest),
meninggikan posisi kaki, dan dipasang compression stocking dengan tekanan kira-kira 40
mmHg. Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti pada bedrest,
tujuan bedrest pada pasien DVT adalah untuk mencegah terjadinya emboli pulmonal.

13
Prinsipnya sederhana, pergerakan berlebihan tungkai yang mengalami DVT dapat membuat
bekuan (clot) terlepas dan “berjalan” ke paru. Penggunaan compression stocking selama
kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3 minggu ketika diagnosis DVT ditegakkan dapat
menurunkan risiko post-trombosis syndrome. Compression stockings sebaiknya digunakan
pada pasien dengan gejala berat dan mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek.

Farmakologi
Terapi unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dosisnya dititrasi berdasarkan
nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT). Nilai APTT yang diinginkan adalah
1,5- 2,5 kontrol. Mekanisme kerja utama heparin adalah:
1). meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor pembekuan
2). melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding pembuluh darah.
Diberikan dengan cara bolus 80 IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan infus 18 IU/
kgBB/jam. APTT, masa protrombin (protrombin time /PT) dan jumlah trombosit harus
diperiksa sebelum memulai terapi heparin, terutama pada pasien berusia lebih dari 65 tahun,
riwayat operasi sebelumnya, kondisi-kondisi seperti peptic ulcer disease, penyakit hepar,
kanker, dan risiko tinggi perdarahan (bleeding tendency).
Efek samping perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi awal risiko perdarahan kurang
lebih 7%, tergantung dosis, usia, penggunaan bersama antitrombotik atau trombolitik lain.
Heparin dapat dihentikan setelah empat sampai lima hari pemberian kombinasi dengan
warfarin jika International Normalized Ratio (INR) melebihi 2.0.
 Enoxaparin dengan dosis 1 mg/ kg dua kali sehari atau 1,5 mg/kg sekali sehari.
 Dalteparin untuk pencegahan DVT. Pada penelitian klinis, dalteparin diberikan
dengan dosis 200 IU/kgBB/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi dua kali sehari).
 inzaparin dengan dosis 175 IU/kg/hari untuk terapi DVT.
 Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan
trombin. Diberikan subkutan, bioavailabilitasnya 100%, dengan konsentrasi plasma
puncak 1,7 jam setelah pemberian. Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi
kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB 100 kg) subkutan, sekali sehari.
 Warfarin adalah obat pilihan untuk antikoagulasi akut. Pemberian warfarin segera
setelah diagnosis DVT ditegakkan, namun kerjanya memerlukan satu minggu atau
lebih. Untuk pasien yang mempunyai kontraindikasi enoxaparin (contohnya: gagal
ginjal), heparin intravena dapat digunakan sebagai tindakan pertama. Dosis standar
warfarin 5 mg/ hari, dosis disesuaikan setiap tiga sampai tujuh hari. Untuk DVT tanpa
komplikasi, terapi warfarin direkomendasikan tiga sampai enam bulan. Kontraindikasi
terapi warfarin, antara lain perdarahan di otak, trauma, dan operasi yang dilakukan
baru-baru ini. Pada pasien dengan faktor risiko molekuler diturunkan seperti
defisiensi antitrombin III, protein C atau S, activated protein C resistance, atau dengan
lupus antikoagulan/antibodi antikardiolipin, antikoagulan oral dapat diberikan lebih
lama, bahkan seumur hidup.
 Obat-obat trombolitik : streptokinase, recombinant tissue plasminogen activator (rt-
PA), dan urokinase. Terapi trombolitik bertujuan memecah bekuan darah yang baru
terbentuk dan mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan.
Trombolitik dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-directed
thrombolysis  (CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat menurunkan
risiko rekurensi dan postthrombotic syndrome (PTS). Trombolitik sistemik dapat
menghancurkan bekuan secara cepat tapi risiko perdarahan juga tinggi.

14
2.8 Komplikasi
1. Pulmonary Embolism (PE)
Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis atau percabangannya akibat bekuan darah
yang berasal dari tempat lain. Tanda dan gejalanya tidak khas, seringkali pasien mengeluh
sesak napas, nyeri dada saat menarik napas, batuk sampai hemoptoe, palpitasi, penurunan
saturasi oksigen. Kasus berat dapat mengalami penurunan kesadaran, hipotensi bahkan
kematian. Standar baku penegakan diagnosis adalah dengan angiografi, namun invasif dan
membutuhkan tenaga ahli. Dengan demikian, dikembangkan metode diagnosis klinis,
pemeriksaan D-Dimer dan CT angiografi. 7
2. Post trombotic syndrome
Post-thrombotic syndrome terjadi akibat inkompetensi katup vena yang terjadi pada saat
rekanalisasi lumen vena yang mengalami trombosis, atau karena sisa trombus dalam lumen
vena. Sindrom ini ditandai oleh bengkak dan nyeri berulang dan progresif, dapat terjadi
dalam 1 sampai 2 tahun setelah kejadian trombosis vena dalam, pada 50% pasien. Pada
beberapa pasien dapat terjadi ulserasi (venous ulcer), biasanya di daerah perimaleolar
tungkai. Ulserasi dapat diberi pelembap dan perawatan luka. Setelah ulkus sembuh pasien
harus menggunakan compressible stocking untuk mencegah berulangnya post thrombotic
syndrome. Penggunaan compressible stocking dapat dilanjutkan selama pasien mendapatkan
manfaat tetapi harus diperiksa berkala.

2.9 Pencegahan
Faktor risiko trombosis vena dalam tidak sepenuhnya dapat dieliminasi, namun dapat
diturunkan. Misalnya, menekuk dan meluruskan lutut 10 kali setiap 30 menit, terutama pasien
yang baru menjalani pembedahan mayor atau melakukan perjalanan jauh. Pada penerbangan
lama, setiap orang harus melakukan peregangan dan berjalan-jalan setiap 2 jam. Pemberian
injeksi heparin dosis rendah pada pasien dengan risiko TVD yang direncanakan operasi dan
akan terjadi imobilisasi setelah operasi. Pada pasien dengan risiko rendah disarankan untuk
memakai compression stockings. Kurangi merokok dan berat badan yang dapat meningkatkan
terjadnya TVD. Selama perjalanan jauh ( > 6 jam ) dianjurkan banyak minum air,
menghindari alkohol, melakukan olahraga sederhana untuk tungkai, serta menggunakan kaos
kaki compression stockings.

2.10 Prognosis
Semua pasien dengan DVT pada masa yang lama mempunyai resiko terjadinya insufisiensi
vena kronik. Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak ditangani dapat berkembang
menjadi emboli paru, dan 10-20% dapat menyebabkan kematian. Dengan antikoagulan terapi
angka kematian dapat menurun hingga 5 sampai 10 kali. Sebagian besar kasus DVT dapat
hilang tanpa adanya masalah apapun, namun penyakit ini dapat kambuh. Beberapa orang
dapat mengalami nyeri dan bengkak berkepanjangan  pada salah satu kakinya yang dikenal
sebagai post phlebitic syndrome. Hal ini dapat dicegah atau dikurangi kemungkinan
terjadinya dengan penggunaan compression stocking saat dan sesudah episode DVT
terjadi. Pada pasien dengan riwayat terjadi emboli paru, maka pengawasan harus dilakukan
secara lebih ketat dan teratur.

15
DAFTAR PUSTAKA

Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and antithrombotic in


women. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88
Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J Med, 351:268-77
Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M (2004). Fondaparinux or enoxaparin
for the initial treatment of symptomatic deep vein thrombosis. Ann Intern Med, 140:867-73
Garcia D, Libby E, Crowther M (2010). The new oral anticoagulants. Blood, 115:15-20
Goldhaber S (2010). Risk factors for venous thromboembolism. Journal of the American
College of Cardiology, 56:1-7
Hirsh J, Lee A (2002). How we diagnose and treat deep vein thrombosis.Blood, 99: 3102-
3110
JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of pulmonary
thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circ J; 75: 1258-1281

16

Anda mungkin juga menyukai