Anda di halaman 1dari 25

WRAP UP SKENARIO 4

BADAN BERTAMBAH LEMAH DAN PUCAT


BLOK HEMATOPOETIK DAN LIMFATIK

Kelompok : B-12
Ketua : Nina Yolanda Putri (1102018340)
Sekretaris : Dinda Melania Apriliani (1102018314)
Anggota:
Asviaditha Oktory (1102018185)
Bellatria Kentsyai (1102018188)
Alyka Sheila Masah (1102018202)
Muafa Rohadatul Aisy (1102018217)
Dayang Annaya Salsabila (1102018260)
Teuku Hanif Alwi Fathani (1102018308)
Miranda Sukmawati (1102018331)
Muhammad Alfin Al Faisal (1102018338)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


2018-2019

Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510


Telp. (+62)214244574 Fax.(+62)214244574
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..i
SKENARIO 4. ………………………………………………………………………..…..1
Kata Sulit………………………………………………………………………………….2
Pertanyaan………………………………………………………………………………...3
Jawaban…………………………………………………………………………………...4
Hipotesis…………………………………………………………………………………..5
Sasaran Belajar…………………………………………………………………………....6
1. Memahami dan Memahami Talasemia……...…………………………………………7
1.1 Definisi………………………………………………………………………………. 7
1.2 Etiologi……………………………………..…………………………………………7
1.3 Epidemiologi………………………………………..………………………………...7
1.4 Klasifikasi…………………………………………………..…………………………8
1.5 Patofisiologi…………………………………………………………………………...9
1.6 Manifestasi Klinik…………………………………………………………………… 10
1.7 Cara Diagnosis………………………………………………………………………..11
1.8 Diagnosis Banding……………………………………………………………………15
1.9 Tata Laksana………………………………………………………………………….16
1.10 Komplikasi…………………………………………………………………………..18
1.11 Pencegahan…………………………………………………………………..……....20
1.12 Prognosis………………………………………………………………………….…21

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….22
SKENARIO 4

BADAN BERTAMBAH LEMAH DAN PUCAT

Seorang anak perempuan berusia 6 tahun datang ke RS YARSI dengan keluhan utama badan
bertambah lemah dan pucat sejak beberapa bulan terakhir. Pada pemeriksaan fisik : berat badan
14,9 kg, tampak pucat dengan perut agak membesar, muka memperlihatkan tanda facies Cooley,
terdapat hepatomegali dan splenomegali. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan tanda anemia
hemolitik kronik, sumsum tulang memperlihatkan keaktifan sistem eritropoetik yang hebat.
Hasil elektoforesis Hb menunjukkan HbF 48% dengan HbE 50%. Rontgen tulang kepala
menunjukkan gambaran hair standing on end appearance. Dengan dasar itu dokter menegakkan
diagnosis talasemia-β Hb E. Pemeriksaan terhadap orangtua menunjukkan ayah penderita
talasemia Hb E dan ibu penderita talasemia minor. Pasien direncanakan mendapat transfusi dan
terapi kelasi besi. Dokter menjelaskan kemungkinan hemosiderosis dan delayed puberty pada
pasien ini dan kemungkinan splenektomi di kemudian hari, serta melakukan konseling genetik
pada orangtua bila ingin mempunyai anak lagi.
Kata Sulit

1. Facies Cooley : perubahan wajah akibat dari perubahan tulang yang disebabkan oleh
hiperaktivitas dari sumsum tulang di bagian wajah dan ini merupakan ciri khas dari talasemia
mayor.
2. Hair Standing on End Appearance : gambaran pada radiografi menunjukan gambaran
garisan vertikal panjang, tipis yang menyerupai rambut berdiri di ujung.
3. Delayed puberty : keterlambatan pertumbuhan dan maturasi tulang.
4. Talasemia minor : bentuk β talasemia heterozigot biasanya asimtopatik.
5. Terapi kelasi besi : terapi yang digunakan untuk membuang kelebihan zat besi dari tubuh.
6. Hemosiderosis : suatu bentuk gangguan kelebihan beban besi yang mengakibatkan
akumulasi hemosiderasi.
7. HbE : suatu variasi Hb dengan mutase gen β globin yang menyebabkan substitusi pada
asam glutamate menjadi lisin di posisi 26 pada rantai β globin.
8. HbF : Hb utama pada fetus yang punya 2 rantai polipeptida yaitu 2 rantai alfa globin dan
2 rantai globin β.
9. Elektroforesis Hb : pemeriksaan darah untuk membedakan tipe-tipe Hb.
Pertanyaan

1. Apa penyebab dari scenario diatas?


2. Apa efek samping dari terapi kelasi besi?
3. Apa saja klasifikasi talasemia secara umum?
4. Mengapa terdapat hepatomegali dan splenomegali?
5. Mengapa pertumbuhannya terhambat?
6. Bagaimana hair standing on end appearance terjadi?
7. Apakah penyakit tersebut dapat disembuhkan?
8. Apakah splenektomi dapat dihindari?
9. Apa saja obat kelasi besi?
10. Mengapa pasien mengalami anemia hemolitik kronik?
11. Mengapa dilakukan transfusi dan terapi kelasi besi?
12. Apa faktor resiko dari diagnosis pada scenario?
13. Tindakan apa saja yang disarankan pada konseling genetic?
14. Apa kasus ini hanya terjadi di anak-anak? Mengapa demikian?
Jawaban

1. Mutasi gen globin β di kromosom 11.


2. Gangguan pengelihatan, reaksi alergi, gangguan GIT, penurunan fungsi ginjal.
3. Talasemia minor, intermedia, mayor, dan pembawa sifat tersembunyi itu yang termasuk
talasemia β.
4. Karena eritrosit mudah lisis membuat limpa bekerja lebih keras serta jumlah eritrosit
menurun, selain itu terjadi juga hipoksia dalam tubuh sehingga eritropoiesis meningkat. Jumlah
eritrosit yang sedikit membuat organ selain sumsum tulang seperti hepar dan limpa ikut
memproduksi eritrosit (eritropoiesis extramedullary) sehingga terjadi hepatomegali dan
splenomegali.
5. Karena tulang panjang sibuk memproduksi eritrosit sehingga pertumbuhan tulang itu
sendiri terganggu.
6. Tulang pipih juga ikut kompensasi sehingga ikut memproduksi eritrosit.
7. Disembuhkan tidak bisa, mengurangi kemungkinan gejala bisa.
8. Karena sudah terjadi splenomegali, tidak dapat dihindari seiring berhalannya waktu.
9. Deforaxamin, deferiprone, deferasiroks.
10. Anemia hemolotik kronik merupakan ciri khas talasemia β mayor.
11. Terapi kelas besi dilakukan karena akumulasi Fe yang berlebihan oleh karena globin
yang menurun sehingga heme naik, sedangkan transfusi dilakukan untuk menggantikan eritrosit
yang lisis.
12. Mutasi genetik, gizi buruk, aktivitas yang terlalu berat, perekonomian yang kurang baik.
13. Diagnosis prenatal (dengan USG) : untuk melihat kondisi kesehatan yang belum
dilahirkan.
Carrier testing (dengan cek DNA) : mengetahui seseorang menyimpan gen kelainan genetic.
Preimplantasi diagnosis : uji in vitro untuk mengetahui keadaan genetik
New born screening : pemeriksaan bayi baru lahir
Predictive testing : melihat riwayat genetik keluarga. Dilakukan setelah kelahiran
14. Tidak hanya terjadi di anak-anak karena ini merupakan penyakit herediter.
Hipotesis

Talasemia terbagi atas talasemia alfa dan talasemia β yang terjadi karena mutasi genetik
yang bersifat herediter sehingga eritrosit mudah lisis membuat limpa bekerja lebih keras serta
jumlah eritrosit menurun, selain itu terjadi juga hipoksia dalam tubuh dan memicu terjadinya
eritropoiesis extramedullary. Talasemia tidak dapat disembuhkan namun kemungkinan gejala
dapat dikurangi dengan deforaxamin, deferiprone, deferasiroks dan transfusi darah.
Sasaran Pembelajaran

LO 1 : Mengetahui dan Memahami Talasemia


1.1 Definisi
1.2 Etiologi
1.3 Epidemiologi
1.4 Klasifikasi
1.5 Patofisiologi
1.6 Manifestasi Klinik
1.7 Cara Diagnosis
1.8 Diagnosis Banding
1.9 Tala Laksana
1.10 Komplikasi
1.11 Pencegahan
1.12 Prognosis
LO 1 : Mengetahui dan Memahami Talasemia

1.1 Definisi Talasemia

Thalassemia adalah suatu kelainan genetik yang sangat beraneka ragam yang ditandai
oleh penurunan sintesis rantai alpha dan beta dari globin.
Thalassemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah
merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah merah yang normal yaitu kurang
dari 120 hari. Thalassemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein
yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin sebagaimana mestinya.

1.2 Etiologi Talasemia

Talasemia adalah sekelompok kelainan hematologis bawaan yang disebabkan oleh defek
pada sintesis satu atau lebih rantai hemoglobin. Talasemia alfa disebabkan oleh sintesis rantai
globin alfa yang berkurang atau tidak ada, dan talasemia beta disebabkan oleh sintesis rantai
globin beta yang berkurang atau tidak ada. Ketidakseimbangan rantai globin menyebabkan
hemolisis dan mengganggu erythropoiesis. (Muncie & Campbell, 2009).

1.3 Epidemiologi Talasemia

Kasus thalassemia di Indonesia diketahui terus meningkat setiap tahunnya dan berjumlah
7,029 kasus pada tahun 2015. Biaya untuk terapi thalassemia juga terus meningkat setiap
tahunnya, dengan lebhi ari 215 miliar rupiah pada tahun 2015 dan mencapai hingga 415 miliar
pada tahun 2016. Skrining pada masyarakat umum dari tahun 2008 menyatakan 5,41%
memiliki trait  thalassemia. Skrining pada keluarga dengan penderita thalassemia pada tahun
2009-2014 menyatakan hasil 28%.
1.4 Klasifikasi Thalasemia

Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu thalasemia alfa dan
thalasemia beta.
1. Thalasemia Alfa
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai alfa yang ada.
Thalasemia alfa terdiri dari :

a. Silent Carrier State


Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama sekali atau sedikit
kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.

b. Alfa Thalasemia Trait


Gangguan pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia ringan dengan sel darah
merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.

c. Hb H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak ada gejala sama
sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan perbesaran limpa.

d. Alfa Thalassemia Mayor


Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalasemia tipe ini merupakan kondisi yang paling
berbahaya pada thalassemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk
sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alpha thalassemia
mayor pada awal kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena kelebihan cairan,
perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak lama
setelah dilahirkan.
2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta yang ada.
Thalasemia beta terdiri dari :

a. Beta Thalasemia Trait.


Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi. Penderita
mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang mengecil (mikrositer).

b. Thalasemia Intermedia.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit rantai beta globin.
Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.

c. Thalasemia Mayor.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin.
Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita thalasemia
mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang
dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2,
gagal jantung kongestif, maupun kematian. Penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi
darah yang rutin dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya (Dewi.S 2009 dan Yuki
2008).

1.5 Patofisiologi Talasemia

Molekul globin terdiri atas sepasang rantai- dan sepasang rantai lain yang menentukan
jenis Hb. Pada orang normal dewasa terdapat tiga jenis Hb, yaitu Hb A (merupakan> 96%
dariHb total, tersusun dari dua rantai- dan dua rantai- = 22), Hb F (<2% = 22) dan
HbA2 (< 3%= 22). Kelainan produksi dapat terjadi pada rantai- (-thalassemia), rantai- (-
thalasemia), rantai- (-thalasemia), rantai- (-thalasemia), maupun kombinasi kelainan rantai-
 dan rantai- (-thalasemia).
Pada talasemia-, kekurangan produksi rantai- menyebabkan kekurangan pembentukan
HbA (22); kelebihan rantai- ini akan berikatan dengan rantai- yang secara kompensatoir
menyebabkan Hb F meningkat; sisanya dalam jumlah besar diendapkan pada membran eritrosit
sebagai Heinz bodies dengan akibat eritrosit mudah rusak (ineffective erythropoiesis).
Pada talasemia-, berkaitan dengan ketidakseimbangan sintesis rantai- dan rantai non-
(,, atau ). Rantai non- yang tidak mempunyai pasangan akan membentuk agregat yang tidak
stabil, yang merusak sel darah merah dan prekursornya. (Regar, 2013)

1.6 Manifestasi Klinis Talasemia

Penderita thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung jenis rantai asam amino yang
hilang dan jumlah kehilangannya. Penderita sebagian besar mengalami anemia yang ringan
khususnya anemia hemolitik (Tamam.M. 2009).
Keadaan yang akan dialami secara umum:
• anemia karena kegagalan pembentukan sel darah, penderita tampak pucat karena
kekurangan hemoglobin.
• Perut terlihat buncit karena hepatomegali dan splenomegali sebagai akibat terjadinya
penumpukan Fe
• kulit kehitaman akibat dari meningkatnya produksi Fe
• ikterus karena produksi bilirubin meningkat.
• Gagal jantung disebabkan penumpukan Fe di otot jantung
• deformitas tulang muka Facies Cooley
• retrakdasi pertumbuhan, penuaan dini
(Herdata.N.H. 2008 dan Tamam. M. 2009).
1.7. Cara Diagnosis

Diagnosis thalassemia ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
laboratorium. Manifestasi klinis thalassemia mayor umumnya sudah dapat dijumpai sejak usia 6
bulan.

I. Anamnesis

Keluhan timbul karena anemia:

 Pucat,
 Gangguan nafsu makan,
 Riwayat gangguan tumbuh kembang dan pubertas terlambat
 Perut membesar karena hepatosplenomegaly
 Riwayat transufis berulang
 Riwayat keluarga dengan thalassemia dan tranfusi berulang
 Etnis dan suku tertentu
Thalassemia paling banyak di Indonesia ditemukan di Palembang 9%, Jawa 6-8%, dan Makasar
8%

II. Pemeriksaan fisis

 Pucat
 Sklera ikterik
 Bentuk muka mongoloid (facies Cooley)
 Gangguan pertumbuhan
 Pubertas terlambat
 Gizi kurang
 Splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut membesar
 Hiperpigmentasi kulit
III. Pemeriksaan penunjang (Laboratorium)

1. Darah Perifer Lengkap (DPL)

 Anemia yang dijumpai pada thalassemia mayor cukup berat dengan kadar hemoglobin
mencapai <7 g/dL.

 Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk skrining pembawa sifat
thalassemia (trait), thalassemia δβ, dan high Persisten fetal hemoglobine (HPFH)13,

 Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan mean corpuscular


haemoglobin (MCH) < 27 pg (hipokromik). Thalassemia mayor biasanya memiliki MCV
50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.

 Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada thalassemia, dan juga pada anemia
defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih sedikit dipengaruhi oleh perubahan
cadangan besi (less suscpetible to storage changes).

2. Sediaan Apus Darah Tepi (SADT)

 Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk fragmentosit dan tear-drop),


mikrositik hipokrom, basophilic stippling, badan Pappenheimer, sel target, dan eritrosit
berinti (menunjukan defek hemoglobinisasi dan diseritropoiesis)

 Total hitung dan neutrofil meningkat

 Bila telah terjadi hipersplenisme dapat ditemukan leukopenia, neutropenia, dan


trombositopenia.
Gambaran darah tepi pada thalassemia mayor

3. Red Cell Distribution Width (RDW)

RDW menyatakan variasi ukuran eritrosit. Anemia defisiesi besi memiliki RDW yang
meningkat >14,5%, tetapi tidak setinggi seperti pada thalassemia mayor. Thalassemia trait
memiliki eritrosit mikrositik yang uniform sehingga tidak / hanya sedikit ditandai dengan
peningkatan RDW. Thalassemia mayor dan intermedia menunjukkan peningkatan RDW yang
tinggi nilainya.

4. Retikulosit
Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang. Pasien thalassemia memiliki
aktivitas sumsum tulang yang meningkat, sedangkan pada anemia defisiensi besi akan diperoleh
hasil yang rendah

5. Elektroforesis Hemoglobin
Beberapa cara pemeriksaan elektroforesis hemoglobin yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan Hb varians kuantitatif (electrophoresis cellose acetat membrane), HbA2 kuantitatif
(metode mikrokolom), HbF (alkali denaturasi modifikasi Betke 2 menit), atau pemeriksaan
elektroforesis menggunakan capillary hemoglobin electrophoresis.

6. Analisis DNA
Analisis DNA merupakan upaya diagnosis molekular thalassemia, yang dilakukan pada
kasus atau kondisi tertentu:

1. Ketidakmampuan untuk mengonfirmasi hemoglobinopati dengan

pemeriksaan hematologi:

a. Diagnosis thalassemia β mayor yang telah banyak menerima transfusi. Diagnosis


dapat diperkuat dengan temuan thalassemia β heterozigot (pembawa sifat
thalassemia beta) pada kedua orangtua

b. Identifikasi karier dari thalassemia β silent, thalassemia β dengan HbA2 normal,

thalassemia α0, dan beberapa thalassemia α+.

c. Identifikasi varian hemoglobin yang jarang.

d. Keperluan konseling genetik dan diagnosis prenatal.

Alur Diagnosis
* Bila sudah transfusi, dapat dilakukan pemeriksaan DPL dan dilanjutkan pemeriksaan analisis
Hb kedua orangtua.

** Pemeriksaan DNA dilakukan apabila telah transfusi darah berulang, hasil skrining orangtua
sesuai dengan pembawa sifat thalassemia, hasil pemeriksaan esensial tidak khas (curiga ke arah
thalassemia α delesi 1 gen atau mutasi titik).
Rekomendasi

Diagnosis thalassemia didukung oleh temuan dari gambaran darah tepi, elektroforesis
hemoglobin, dan HPLC. (GRADE A)
MCH < 27 pg dapat digunakan sebagai ambang batas identifikasi karier pada skrining
thalassemia. (GRADE A)
Tes DNA dilakukan jika pemeriksaan hematologis/analisis Hb tidak mampu menegakkan
diagnosis hemoglobinopati. (GRADE B)
Bila pasien sudah sering mendapat transfusi berulang, dilakukan pemeriksaan HPLC kedua
orangtua kandung. (GRADE B)

Sumber : Perhimpunan Hematologi dan Transfusi darah Indonesia (PHTDI)

1.8 Diagnosis Banding Talasemia


Dalam menegakkan diagnosis, anemia akibat Talasemia perlu dibedakan dengan anemia
mikrositik hipokrom lainnya:
1. Anemia Defisiensi Besi
2. Anemia akibat penyakit kornik
3. Anemia Sideroblastik
Berikut adalah pemeriksaan yang dapat memberi hasil perbedaan dengan diagnosis
bandingnya:
Tabel 1. Diagnosis banding anemia mikrositik hipokrom.

1.9 Tata Laksana Talasemia

1. Farmako
Terapi Kelasi
Terapi kelasi besi digunakan untuk mengatasi kelebihan besi.
Obat pengkelasi besi yang dikenal adalah deferoksamin, deferipron, dan deferasirox.
1. Deferoksamin
Dosis standar adalah 20-60 mg/kgBB melalui infus subkutan dalam 8-12 jam dengan
menggunakan pompa portabel kecil selama 5 atau 6 malam/minggu. Lokasi infus yang umum
adalah di abdomen, daerah deltoid, maupun paha lateral. Penderita yang menerima regimen ini
dapat mempertahankan kadar feritin serum < 1000 µg/L. Efek samping yang mungkin terjadi
adalah toksisitas retina, pendengaran, gangguan tulang dan pertumbuhan, reaksi lokal dan
infeksi.
2. Deferipron
Deferipron yang merupakan satu-satunya kelasi besi oral yang telah disetujui
pemakaiannya. Terapi standar biasanya memakai dosis 75 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis.
Saat ini deferidon terutama banyak dgunakan pada pasien-pasien dengan kepatuhan rendah
terhadap deferoxamine. Kelebihan deferipron dibanding deferoksamin adalah efek proteksinya
terhadap jantung. Efek samping yang mungkin terjadi antara lain : atropati,
neutropenia/agranulositosis, gangguan pencernaan, kelainan imunologis, defisiensi seng, dan
fibrosis hati.
3. Deferasirox
Deferasirox adalah obat kelasi besi oral yang berfungsi untuk mengeluarkan besi melalui
feses. Terapi standar yang dianjurkan adalah 20-30 mg/kgBB/hari dosis tunggal. Deferasirox
menunjukkan potensi 4-5 kali lebih besar dibanding deferoksamin dalam memobilisasi besi
jaringan hepatoseluler, dan efektif dalam mengatasi hepatotoksisitas. ES: yang mungkin terjadi
adalah sakit kepala, mual, diare, dan ruam kulit.
4. Terapi-Kombinasi
Dapat berupa terapi kombinasi secara simultan maupun sekuensial. Terapi kombinasi secara
simultan adalah pemberian deferoksamin 2-6 hari seminggu dan deferipron setiap hari selama 6-
12 bulan. Terapi kombinasi sekuensial adalah pemberian deferipron oral 75 mg/kgBB selama 4
hari diikuti deferoksamin subkutan 40 mg/kgBB selama 2 hari setiap minggunya. Terapi
kombinasi diharapkan dapat menurunkan dosis masing-masing obat, sehingga menurunkan
toksisitas obat namun tetap menjaga efektifitas kelasi.
 Vitamin C : 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek
kelasi besi.
 Asam folat : 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
 Vitamin E : 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel
darah merah.

2. Transfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 10 g/dl. Dengan kedaan ini akan memberikan supresi
sumsum tualang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red
cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl. Tetapi, Sebelum melakukan transfuse perlu
dilakukan pemeriksaan genotif pasien untuk mencegah terjadi antibody eritrosit.

3. Splenektomi dapat dilakukan untuk mengurangi kebutuhan darah, dengan indikasi:


 Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya rupture
 Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan
suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.
Tindakan splenektomi harus sangat dipertimbangkan disaat pasien berusia kurang dari 6
tahun karena risiko tinggi infeksi berbahaya pasca splenektomi.

4. Imunisasi terhadap Hepatitis B harus dilaksanakan pada semua pasien yang tidak imun.
Pengobatan untuk Hepatitis C yang ditularkan melalui transfuse diberikan jika genom viral
terdeteksi dalam plasma.

5. Transplantasi sel punca alogenik menawarkan kemungkinan kesembuhan yang permanen.


Tingkat keberhasilannya lebih dari 80% pada pasien-pasien muda dengan terapi kelasi yang
baik tanpa fibrosis hati atau hepatomegaly.

1.10 Komplikasi Talasemia

1. Komplikasi pada Jantung


Kelainan jantung khususnya gagal jantung kiri berkontribusi lebih dari setengah terhadap
kematian pada penderita thalasemia. Penyakit jantung pada penderita thalasemia mungkin
bermanifestasi sebagai kardiomiopati hemosiderrhosis, gagal jantung, hipertensi pulmonal,
arrithmia, disfungsi sistolik/diastolik, effusi pericardial, miokarditis atau perikarditis.
Penumpukan besi merupakan faktor utama yang berkontribusi terjadinya kelainan pada jantung,
adapun faktor-faktor lain yang berpengaruh antara lain genetik,faktor imunologi, infeksi dan
anemia kronik. Pada pasien yang mendapatkan transfusi darah tetapi tidak mendapatkan terapi
kelasi besi penyakit jantung simtomatik dilaporkan 10 tahun setelah pemberian transfusi pertama
kali.

2. Komplikasi endokrin
Insiden yang tinggi pada disfungsi endokrin telah dilaporkan pada anak, remaja, dan
dewasa muda yang menderita thalasemia mayor. Umumnya komplikasi yang terjadi yaitu
hypogonadotropik hipogonadisme dilaporkan di atas 75% pasien. Pituari anterior adalah bagian
yang sangat sensitif terhadap kelebihan besi yang akan menggangu sekresi hormonal antara lain
disfungsi gonad. Perkembangan seksual mengalami keterlambatan dilaporkan 50% anak laki-laki
dan perempuan mengalami hal tersebut, biasanya pada anak perempuan akan mengalami
amenorrhea. Selama masa kanak-kanak pertumbuhan bisa dipengaruhi oleh kondisi anemia dan
masalah endokrin. Masalah tersebut mengurangi pertumbuhan yang harusnya cepat dan progresif
menjadi terhambat dan pada akhirnya bia sanya anak dengan thalasemia akan mengalami postur
yang pendek. Faktor-faktor lain yang berkontribusi antara lain yaitu infeksi, nutrisi kurang,
malabsorbsi vitamin D, defisiensi kalsium, defisiensi zinc dantembaga, rendahnya level insulin
seperti growth faktor-1(IGF-1) dan IGF-binding protein-3(IGFBP-3). Komplikasi endokrin yang
lainnya adalah intoleransi glukosa yang disebabkan penumpukan besi pada pancreas sehingga
mengakibatkan diabetes. Disfungsi thyroid dilaporkan terjadi pada pasien thalasemia di mana
hypothyroid merupakan kasus yang sering ditemui, biasanya terjadi peningkatan kadar TSH.
Hypothyroid pada tahap awal bisa bersifat reversibel dengan kelasi besi secara intensif. Selain
Hypotyroid kasus lainnya dari kelainan endokrin yang ditemukan yaitu hypoparathyroid. Dari
hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan kadar serum kalsium, phosphate dan
hormon parathyroid di mana kelainan ini biasanya ditemukan pada dekade kedua
kehidupan.

3. Komplikasi metabolik
Kelainan metabolik yang sering ditemukan pada penderita thalasemia yaitu rendahnya
masa tulang yang disebabkan oleh hilangnya pubertas spontan, malnutrisi, disfungsi
multiendokrin dan defisiensi dari vitamin D, kalsium dan zinc. Masa tulang bisa diukur dengan
melihat Bone Mineral Density (BMD) dengan menggunakan dual x-ray pada tiga tempat yaitu
tulang belakang, femur dan lengan. Rendahnya BMD sebagai manifestasi osteoporosis apabila T
score <-2,5 dan osteopenia apabila T score-1 sampai-2.

4. Komplikasi hepar
Setelah dua tahun dari pemberian transfusi yang pertama kali pembentukan kolagen dan
fibrosis terjadi sebagai dampak dari adanya penimbunan besi yang berlebih. Penyakit hati yang
lain yang sering muncul yaitu hepatomegali, penurunan konsentrasi albumin, peningkatan
aktivitas aspartat dan alanin transaminase. Adapun dampak lain yang berkaitan dengan penyakit
hati adalah timbulnya Hepatitis B dan Hepatitis C akibat pemberian transfusi.
5. Komplikasi Neurologi
Komplikasi neurologis pada penderita thalasemia beta mayor dikaitkan dengan beberapa
faktor antara lain adanya hipoksia kronis, ekspansi sumsum tulang, kelebihan zat besi dan
adanya dampak neurotoksik dari pemberian desferrioxamine. Temuan abnormal dalam fungsi
pendengaran, timbulnya potensi somatosensori terutama disebabkan oleh neurotoksisitas
desferioxamin dan adanya kelainan dalam konduksi saraf.

1.11 Pencegahan talasemia

Penyakit Thalassemia belum ada obatnya, maka pencegahan dini menjadi hal yang
penting disbanding pengobatan. Program pencegahan Thalassenia menurut Mansjoer (2000).
Terdiri dari beberapa strategi yakni :
1. Penapisan (skrining) pembawa sifat Thalassemia.
2. Konsultasi genetic (genetic counseling)
3. Diagnosis prenatal
Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif dan retrospektif. Secara prospektif
berarti mencarai secara aktif pembawa Thalassemia langsung dari populasi diberbagai wilayah,
sedangkan seacara retrospektif ialah menemukan pembawa sifat melalui penelursuran keluarga
penderita Thalassemia (family study). Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi dan
nasehat-nasehat tentang keaadaannya dan masa depannya. Suatu program pencegahan yang baik
untuk Thalassemia segarusnya mancakup kedua pendekatan tersebut. Program yang optimal
tidak selalu dapat dilakukan dengan baik terutama di negara-negara sedang berkembang, karena
pendekatan prospektif memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar itu harus dibedakan antara
usaha program pencegahan di Negara berkembang dan Negara maju ( Mansjoer, 2000).
Program pencegahan retrospektif akan lebih mudah dilaksankan di Negara berkembang dari pada
program prospektif. Konsultasi genetic meliputi skrining pasangan yang akan kawin atau sudah
kawin tetapi belum hamil. Pada pasangan yang beresiko tinggi diberikan informasi dan nasehat
tentang keadaannya dan kemungkinan bila mempuyai anak. Diagnosis prenatal meliputi
pendekatan retrospektif dan prospektif. Pendekatan retrospektif, berarti melakukan diagnose
prenatal pada pasangan yang telah mempunyai anak Thalassemia, dan sekarang sementara hamil.
Pendekatan prospektif ditujukan kepada pasangan yang beresiko tinggi yaitu mereka keduanya
pembawa sifat dan sementara baru hamil. Diagnose prenatal ini dilakukan pada masa kehamilan
8-10 minggu, dengan mengambil sampel darah dari villi khoralis (jaringan ari-ari) untuk
leperluan analisis DNA (Lanni,2000).
Dalam rangka pencegahan Thalassemia menurut Lanni (2000) ada beberapa masalah pokok yang
harus disampaikan kepada masyarakat, ialah :
1. Bahwa pembawa sifat Thalassemia itu tidak merupakan masalah baginya
2. Bentuk Thalassemia mayor mempunyai dampak medko-sosial yang besar, penangannya
sangat mahal dan sering diakhiri kematian.
3. Kelahiran bayi Thalassemia dapat dihindarkan.
Menurut Taman (2006) karena peyakit ini menurun, maka kemungkinan penderitanya akan terus
bertambah dar tahun ketahunnya. Oleh karena itu, pemeriksaan kesehatan sebelum menikah
sangat penting dilakukan untuk mencegah bertambahnya penderita Thalassemia ini. Sebaiknya
semua orang Indonesia dalam masa usia subur diperiksa kemungkinan membawa sifat
Thalassemia. Pemeriksaan akan sangat dianjurkan bila terdapat riwayat :
1. Ada saudara sedarah yang menderita Thalassemia.
2. Kadar hemoglobin relative rendah antara 10-12 g/dl walaupun sudah minum obat
penambah darah seperti zat besi
3. Ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun keadaan Hb normal.

1.12 Prognosis Talasemia

Pada thalassemia beta mayor, tergantung pada kepatuhan pasien menjalankan pengobatan
jangka panjang (transfusi dan obat kelasi besi). Pada thalassemia alpha silent carrier memiliki
prognosis yang bagus dan pada HBh memiliki prognosis baik, semakin banyak rantai alpha yang
bermutasi, semakin buruk prognosisnya.
Daftar Pustaka

Douglass A Drelich, MD. https://emedicine.medscape.com/article/779322-overview

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/146/jtptunimus-gdl-ekowidyast-7282-3-babii.pdf

http://repository.ump.ac.id/2968/3/Mega%20Septiana%20Putri%20BAB%20II.pdf

Muncie, H. L., & Campbell, J. S. (2009). Alpha and beta thalassemia. In American Family
Physician.

Regar, J. (2013). ASPEK GENETIK TALASEMIA. JURNAL BIOMEDIK (JBM).


https://doi.org/10.35790/jbm.1.3.2009.829

Sudoyo, Aru W. dkk. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta:Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai