Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

MYELOFIBROSIS
OLEH :
HERI SUSANTI
HASANUL UMRI
KARINA NUZULYANTI
LAYYINA MISQA
ANITA PURNAMA SARI
RISSA ANGGIA
RULI HARDEMI

PEMBIMBING

Dr. M. Fuad, Sp.PD

SMF BAGIAN PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr.ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus ini dengan tema
myelofibrosis.
Merupakan suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya timbunan
substansi kolagen berlebihan dalam sum-sum tulang. Kelainan ini secara definitif
terjadi karena pertumbuhan tidak terkendali dari sel prekursor darah, yang
akhirnya mengarah pada akumulasi jaringan ikat di sumsum tulang. Jaringan ikat
yang membentuk sel darah akan menyebabkan bentuk disfungsional.
Laporan kasus ini disusun dengan mengamati salah satu kasus
myelofibrosis pada pasien penyakit dalam divisi Hematologi dan Onkologi Medik
di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin . Diharapkan dengan adanya laporan kasus
ini dapat memberikan manfaat dan menambah informasi mengenai myelofibrosis
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan dalam penulisan Laporan Kasus ini. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan sumbangan gagasan, saran dan masukan
yang membangun demi penyempurnaan tulisan ini . Akhir kata penulis berharap
semoga Laporan Kasus ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Banda Aceh, September 2016

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.. .
DAFTAR ISI..
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang.. 1
BAB II
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Myelofibrosis..
Etiologi.....
Epidemiologi
Gejala Klinis ....
Patofisiologi..
Diagnosis...
Terapi.....
Diagnosa Banding.....
Prognosis...

BAB III
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8

LAPORAN KASUS
Identitas Pasien..
Daftar Masalah..
Data dasar.
Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan Penunjang....
Diagnosis sementara
Penatalaksanaan..
Follow up

BAB IV

PEMBAHASAN..

BAB V

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA.

2
2
3
4

ii
iii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Myelofibrosis merupakan salah satu penyakit kelainan darah yang sangat
jarang ditemui (2:1.000.000) dan 80% penderitanya adalah orang-orang yang
sudah berusia di atas 60 tahun.Dengan presentasi yang lebih kecil, penyakit ini
dapat pula menimpa semua kalangan umur. Myelofibrosis ditandai dengan adanya
pengerasan sumsum tulang belakang karena sel-sel stem yang ada di dalam
sumsum tulang secara abnormal tumbuh dan berproliferasi menjadi sel-sel fibrous
yang kemudian membentuk jaringan ikat. Hal ini menyebabkan sel-sel stem yang
normal semakin lama semakin berkurang dan mengakibatkan terganggunya proses
pembentukkan sel-sel darah.
Sampai saat ini, penyebab myelofibrosis tidak pernah diketahui, oleh
karenanya penyakit ini dinamai Chronic Idiopathic Myelofibrosis ( Idiopathic :
Tidak diketahui penyebabnya).
Walaupun penyakit ini tidak seprogresif penyakit kanker, Myelofibrosis
sering digolongkan sebagai pre-kanker, tepatnya pre leukemia, karena penderita
Myelofibrosis memiliki resiko yang cukup tinggi untuk terkena Acut Myeloid
Leukaemia (AML) dan sekitar 20 % dari penderita Myelofibrosis biasanya
mengalami AML ini di tahap akhir penyakitnya.
Tidak seperti penyakit lain, penyakit ini sering terdiagnosa secara tidak
sengaja melalui cek darah rutin ataupun keluhan-keluhan lain yang tidak ada
hubungannya dengan myelofibrosis. Oleh karena itu, biasanya myelofibrosis
terdiagnosa setelah penyakit ini berjalan cukup lama (> 6 bulan ). Hal ini
disebabkan karena gejala-gejala awal dari penyakit ini sering tidak terperhatikan.
Kejadian demam, penurunan berat badan, dan rasa sakit di bagian abdomen biasa
terjadi di tahap lanjut penyakit dan bukan di tahap awal kejadian penyakit. Rasa
mudah lelah, muncul memar di kaki atau tangan yang tidak diketahui sebabnya
perlu menjadi perhatian. Salah satu gejala yang sering pula terlewatkan adalah
rasa penuh dan gemuk di bagian abdomen. Rasa penuh dan gemuk di bagian
abdomen ini menunjukkan pembesaran limpa karena limpa mengambil alih kerja
sumsum tulang untuk memproduksi darah, dan gejala ini sering kali tidak

diperhatikan sebab sering diduga muncul akibat terlalu banyak makan. Rasa sakit
di bagian limpa baru akan muncul jika ukuran limpa sudah sangat besar.
Penderita Myelofibrosis biasanya ssngat sulit untuk dapat kembali normal.
Beberapa

literature

menyebutkan

bahwa

kesempatan

hidup

penderita

myelofibrosis rata-rata adalah 3-10 tahun setelah terdiagnosa. Sedangkan pada


penderita yang tidak menunjukan gejala klinis, kesempatan bertahan hidup dapat
mencapai 15 tahun tanpa terapi apapun. Umumnya kegagalan hidup disebabkan
karena perdarahan pada organ-organ dalam tubuh.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi Myelofibrosis
Mielofibrosis merupakan suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya

timbunan substansi kolagen berlebihan dalam sum-sum tulang. Kelainan ini


secara definitif terjadi karena pertumbuhan tidak terkendali dari sel prekursor
darah, yang akhirnya mengarah pada akumulasi jaringan ikat di sumsum tulang.
Jaringan ikat yang membentuk sel darah akan menyebabkan bentuk disfungsional.
Tubuh kita menyadari hal ini, dan mencoba untuk mengkompensasi dengan
mengirimkan sinyal ke organ extramedulare hematopoietik, yaitu hati dan limpa
untuk menghasilkan sel darah baru. Tetapi sel darah yang akhirnya dihasilkan oleh
organ-organ ini masih belum berfungsi dengan baik dan tubuh akhirnya
mengalami anemia. Adanya hematopoiesis ekstramedular merupakan gambaran
menyolok pada kelainan ini.4
2.2

Etiologi
Penyebab mielofibrosis belum diketahui dengan jelas. Tidak diketemukan

adanya faktor pencetus, oleh karenanya penyakit ini dinamai sebagai Chronic
Idiopathic Myelofibrosis (Idiopathic= tidak

diketahui

penyebabnya)

Secara

epidemiologi ada beberapa substansi yang diperkirakan sebagai penyebab,


misalnya toluen, benzen, radiasi ionisasi. Insidensi tertinggi mielofibrosis pada
pasien akibat pemberian material kontras radiografi dengan bahan dasar torium,
yaitu Torotras. Korban akibat bom atom Hiroshima juga mempunyai risiko 18 kali
lebih besar daripada populasi lainnya dengan gejala pertama muncul 6 tahun
setelah paparan.4

Beberapa Kondisi yang Memungkinkan Terjadinya Mielofibrosis


Kondisi Neoplastik
Acute leukemia
Chronic myelogenous leukemia
Hairy cell leukemia
Hodgkin disease

Kondisi Non Neoplastik


HIV infection
Hyperparathyroidism
Renal osteodystrophy
SLE

Lymphoma

Tuberculosis

Multiple myeloma

Vitamin D deficiency

Myelodysplasia

Thorium dioxide exposure

Metastatic carcinoma
Polycythemia vera

Gray platelet syndrome

Systemic mastocytosis
2.3

Epidemiologi
Myelofibrosis merupakan salah satu penyakit kelainan darah yang sangat

jarang ditemui (2 : 1.000.000) dan 80% penderitanya adalah orang-orang yang


sudah berusia di atas 60 tahun. Dengan presentasi yang lebih kecil, penyakit ini
dapat pula menimpa semua kalangan umur.2,4,8,9
Mielofibrosis menyerang golongan umur menengah dan orang tua, jarang
mengenai usia muda. Mielofibrosis pada anak-anak lebih sering terjadi pada usia
3 tahun. Sebanyak 20 % pasien yang menderita mielofibrosis berada pada rentang
umur yang lebih muda dari 56 tahun. 9
Faktor etiologi yang berkaitan dengan penyakit ini adalah paparan radiasi
dan faktor familial. Insidens mielofibrosis di Amerika Utara 0,3-1,5 kasus per
100.000 populasi.5,6 Dibandingkan dengan ras lainnya, mielofibrosis lebih sering
dialami oleh orang yang memiliki kulit putih. Selain itu, pada orang dewasa
mielofibrosis cenderung lebih sering dialami oleh laki-laki. Sedangkan pada anakanak, perempuan memiliki kecenderungan 2 kali lebih besar dari laki-laki.9

2.4

Gejala Klinis
Mielofibrosis seringnya berpenampilan asimtomatis pada 25% kasus,

hal tersebut dapat terjadi dalam waktu lama meskipun tanpa terapi.4,8 Gejala klinis
pada umumnya:
1. Kelelahan otot dan penurunan berat badan (7-39%)
2. Sindrom hipermetabolik (demam, keringat malam terdapat 5-20% pasien),
3. Perdarahan dan memar, kadang terdapat masa dalam perut, gout dan kolik renal

terdapat 4-6%,
4. Diare dengan sebab tak jelas dan nyeri substernal kadang ditemukan.
5. Anemia juga dapat terjadi oleh karena eritropoiesis yang tidak efektif. Dimana
hal ini dapat menyebabkan keluhan lemas, sesak, mudah lelah, dan palpitasi
pada pasien.

Data morfologi dan klinis digabungkan untuk mendiagnosis banding


mielofibrosis dari penyakit CMPD lainnya. Ketiga elemen ini harus ada untuk
mendiagnosis mielofibrosis: fibrosis sumsum tulang, kelainan morfologi
hiperplasia sumsum tulang, dan hematopoiesis ekstramedular. Berdasarkan Italian
Society of Hematology terdapat kriteria mayor dan minor diantaranya: 4

*Catatan: Ketiga kriteria mayor ditambah dua kriteria minor manapun atau dua
kriteria mayor pertama ditambah empat kriteria minor manapun harus
didapatkan untuk mendiagnosis mielofibrosis.

GAMBAR . Gambaran klinis pasien dengan mielofibrosis.

2.5

PATOFISIOLOGI
Mielofibrosis merupakan reaksi sekunder terhadap hemopatia klonal

.Dimana sel fibroblas mensekresi kolagen yang akan diakumulasi. Mereka


distimulasi oleh sitokin yang dibebaskan dari megakariosit neoplastik dan dari sel
klonal hemopoietik lainnya. Kolagen ditimbun dalam ruang ekstraselular dan
elemen vaskular dalam sumsum tulang. Empat dari 5 tipe kolagen terdapat disini.
Kolagen tipe 1 dan 3 merupakan komponen fibrosis utama pada mielofibrosis.
Timbunan

kolagen

meningkat

setara

dengan

lamanya

penyakit.

Pada

mielofibrosis, vaskularisasi meningkat. Luasnya neovaskularisasi ini berhubungan


dengan luasnya penyakit dan mungkin hal ini penting terhadap timbulnya fibrosis.
Transforming Growth Factor (TGF)- merupakan mediator utama
terhadap akumulasi kolagen pada mielofibrosis. Sitokin ini disintesa oleh
megakariosit dan sel endotel seperti halnya pada sistem monosit-makrofag. TGF merupakan stimulus yang poten terhadap angiogenesis. Peningkatan
vaskularisasi ini akibat adanya neoangiogenesis karena rangsangan faktor
angiogenetik yang dipicu adanya sel ganas. Faktor angiogenetik tersebut adalah
basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dan Vascular Endothelial Growth Factor
(VEGF), yang akan memicu sel endotel untuk migrasi, proliferasi, dan
membentuk jaringan pembuluh darah pada tempat tersebut. Distribusi
hematopoiesis ekstramedular pada mielofibrosis melibatkan liver dan limpa.
Ruangan ekstramedular ditumbuhi pindahan sel hematopoiesis.
Kenaikan kadar TGF- dapat dideteksi dengan naiknya sirkulasi platelet
dan megakariosit. Beberapa Growth Factor lain diperkirakan juga merangsang
fibroblast pada mielofibrosis, antara lain: Platelet derived growth factor yang
terdapat pada megakariosit penderita mielofibrosis, epidermal growth factor,
endothelial cell growth factor, interleukin-1, basic fibroblast growth factor.

2.6

GEJALA KLINIS DAN TANDA


Pada 25% kasus mielofibrosis berpenampilan asimtomatis dalam waktu

lama meskipun tanpa terapi, sehingga diagnosis disugesti dengan adanya


pemeriksaan darah yang abnormal atau secara insidensil terdapat splenomegali.
Gejala klinis pada umumnya: kelelahan otot dan penurunan berat badan
(7-39%), sindrom hipermetabolik (demam, keringat malam terdapat 5-20%
pasien), perdarahan dan memar, kadang terdapat masa dalam perut, gout dan kolik
renal terdapat 4-6%, diare dengan sebab tak jelas dan nyeri substernal kadang
ditemukan. Anemia juga dapat terjadi oleh karena eritropoiesis yang tidak efektif.
Dimana hal ini dapat menyebabkan keluhan lemas, sesak, mudah lelah, dan
palpitasi pada pasien.

Splenomegali yang cukup besar merupakan penemuan fisik yang utama.


Splenomegali dapat menimbulkan keluhan rasa tidak nyaman pada perut bagian
kiri atas pasien, serta rasa cepat kenyang ketika pasien makan. Selain itu,
hepatomegali juga ditemukan pada separuh pasien, 2-6% pasien terdapat
hipertensi portal, mungkin diikuti komplikasi asites, varises esofagus, pendarahan
GI, dan ensefalopati hepatik. Juga ditemukan petekie, ekhimosis, dan
limfadenopati.
Beberapa pasien memperlihatkan adanya dermatosis neutrofilik dan
mengalami hematopoiesis ekstramedular dermal, osteosklerosis yang sebagian
diikuti periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila permukaan serosa terlibat
dalam hematopoiesis mungkin akan terdapat efusi pleura dan perikard atau asites.
Kadang diikuti komplikasi neurologis berupa tekanan intrakranial meninggi,
delirium, koma, pendarahan subdural, kerusakan motorik, sensorik, dan paralisis.
2.7

PENATALAKSANAAN
Mielofibrosis mungkin dapat disembuhkan dengan hematopoietic stem

cells transplantation (HSCT), tetapi HSCT biasanya berhasil untuk pasien muda.
Tidak ada bentuk terapi lain untuk memperpanjang survival atau mencegah
progresi mielofibrosis.10 Terapi suportif diarahkan langsung terhadap komplikasi
yang terjadi. Beberapa pasien asimptomatis dan memerlukan observasi.
Allopurinol diberikan untuk mempertahankan urat darah tetap normal, untuk
menghambat nefropatia urat, renal kalkuli, dan gout. Transfusi diperlukan untuk
mempertahankan hitung darah. Suplemen asam folat diperlukan karena seringnya
kejadian hemolisis.
Allogeneic Hematopoietic Stem Cell
Penelitian mengenai stem sel akhir-akhir ini mengalami banyak kemajuan
sehingga dapat memberikan harapan bagi berjuta-juta pasien dengan berbagai
penyakit dari seluruh dunia, termasuk mereka yang memiliki penyakit hematologi.
HSC (Human Stem Cell) merupakan sel yang mempunyai potensi besar. Stem sel
dapat berubah menjadi berbagai macam bentuk sel serta

dapat meregenerasi sel yang rusak oleh karena suatu penyakit ataupun karena
suatu injury. Ada 2 cara distribusi pada HSCT, pertama stem sel dapat langsung
diimplementasikan pada organ atau jaringan. Kedua, stem sel dapat diinjeksi
melalui pembuluh darah, dimana ketika diinjeksikan stem sel tersebut secara
otomatis akan langsung menuju sumsum tulang. Hampir semua pasien CMPD
mungkin dapat disembuhkan dengan HSCT. Terbatasnya pendekatan ini karena
faktor umur dan kondisi pasien, dengan menggunakan donor yang cocok dan
serasi dan morbiditas serta mortalitas yang dihubungkan dengan prosedur. Adanya
fibrosis sum-sum tulang dan splenomegali bukanlah hambatan untuk HSCT.4
HSCT sepertinya merupakan satu-satunya terapi kuratif yang cukup potensial
pada mielofibrosis. Pasien dengan usia <50 tahun, yang disertai dengan anemia,
didapatkan adanya abnormalitas sitogenetik serta
Terapi androgen dan kortikosteroid
Hormon androgen dapat diberikan pada anemia akibat mielofibrosis. Dengan
respon rate 29-57 %. Perbaikan spontan mungkin dapat terjadi pada mielofibrosis,
sehingga respon terhadap terapi perlu dianalisa secara cermat. Sebelum terapi
dengan androgen, pria perlu diskrining kelenjar prostat baik secara fisik maupun
dengan antigen spesifik untuk prostat, pada perempuan perlu diperhatikan adanya
efek virilisasi. Beberapa skedul dosis telah memberikan hasil cukup baik,
diantaranya androgen sintetik oral: fluoksimesteron, dengan dosis: 2-3 kali 10 mg
sehari. Bila tidak ada perbaikan setelah 3-6 bulan terapi, androgen harus
dihentikan.

Beberapa

pasien

yang

tidak

berespon

terhadap

androgen,

kemungkinan memberikan respon terhadap preparat lain, karena daya hidup


eritrosit memendek pada mielofibrosis, kemungkinan kortikosteroid adrenal
memperbaiki daya hidup eritrosit dan memperbaiki anemianya. Prednison oral,
dengan dosis 1 mg/kgbb sehari, memberikan respon pada 25-50 % pasien. Dosis
dimulai dengan prednisone 30 mg/hari, dengan kombinasi fluoksimesteron 10 mg
dua kali sehari. Bila terdapat respons setelah satu bulan terapi, dosis prednisone
diturunkan secara tapering off, sedangkan fluoksimesteron dilanjutkan.

Kemoterapi
Kemoterapi jarang memberikan remisi hematologis, dan tidak memberikan
perubahan secara umum pada mielofibrosis, tetapi mungkin sangat memberikan
perbaikan pada gejala. Kemoterapi dapat mengurangi splenomegali dan
hepatomegali serta memperbaiki penurunan berat badan, demam dan keringat
malam sampai 70 % pasien, serta mengurangi leukositosis, trombositosis dan
anemia. Kemoterapi yang pernah digunakan: busulfan, melfalan, 6-tioguanin dan
hidroksiurea. Pada mielofibrosis pemberian kemoterapi harus lebih hati-hati
karena cenderung terjadi toksik sum-sum tulang. Misalnya pemberian busulfan 24 mg/hari sudah merupakan dosis maksimum 14 yang dapat diberikan. Pasien
harus dimonitor secara frekuen dan kontinyu, terutama bila timbul sitopenia.
Iradiasi
Pasien dengan hipersplenisme mungkin dapat memberikan respon dengan iradiasi
splenik, terutama bila ada kontraindikasi untuk splenektomi. Hampir semua
pasien mengalami perbaikan keluhan nyeri dan 50 % terjadi pengurangan
ukuran lien. Iradiasi splenik akan memberikan perbaikan sitopenia, diberikan
dengan fraksi kecil dengan pemantauan ketat. Dosis fraksi 15-100 cGy, 2-3 kali
per minggu. Hasil sementara baru dapat dilihat setelah beberapa bulan terakhir.
Splenektomi
Splenektomi dapat dipikirkan terhadap pasien yang refrakter terhadap terapi,
adanya hipertensi portal, atau gejala akibat hipersplenisme. Splenektomi pada
mielofibrosis harus hatihati, karena organomegali yang besar sehingga mungkin
terjadi adhesi. Selain itu, splenektomi juga sulit dilakukan karena tingginya resiko
perdarahan yang sulit diperbaiki preoperatif, hal ini disebabkan oleh karena
adanya DIC ringan pada mielofibrosis, yang ditandai dengan kenaikan
D-dimer. Splenektomi juga kadang menimbulkan krisis aplastik, karena lien
menjadi tempat hematopoiesis ekstramedular pada fibrosis tulang berat.

Pengobatan lainnya
Interferon dipertimbangkan karena dapat menekan aktivitas TGF-. Interferon
mungkin bermanfaat menghilangkan nyeri tulang dan trombositopenia, tetapi
efektivitas ini menurun dengan adanya flulike symptoms berat dan memberatnya
anemia. Anagrelid dapat menurunkan trombosit tetapi tidak memperbaiki kelainan
klinis lainnya. Beberapa pasien dapat diberikan eritropoietin, dan bahkan lebih
baik jika dikombinasikan dengan interferon. Pasien dengan mielofibrosis berat
dapat diberikan preparat antiangiogenik yaitu Talidomid. Dimana pada 20 %
kasus terjadi perbaikan dengan menurunnya simptom konstitusional, ukuran lien
dan perbaikan hitung darah. Beberapa peneliti memberikan kombinasi Talidomid
50 mg/hari 17 dengan prednisone 0,5 mg/kg/hari, dimana 95 % pasien
memberikan respon dalam 3 bulan pengobatan.
2.8

KOMPLIKASI

Mielofibrosis dapat menyebabkan beberapa komplikasi:


1. Anemia : Dapat disebabkan oleh karena tidak efektifnya eritropoiesis,
defisiensi besi oleh karena perdarahan gastrointestinal, defisiensi asam
folat oleh karena peningkatan kebutuhan hematopoiesis.
2. Perdarahan: Disebabkan oleh karena trombositopeni dan gangguan fungsi
platelet.
3. Infeksi : Disebabkan oleh karena leukopenia.
4. Hiperurisemia : Oleh karena terjadi peningkatan cell turnover pada pasien
mielofibrosis. Jika tidak diterapi dapat menyebabkan gout atau batu
ginjal.
5. Komplikasi karena splenomegali : Pembesaran lien dapaat menyebabkan
infark splenik, malnutrisi oleh karena pasien mudah merasa kenyang saat
makan, ekspansi plasma volume, hipertensi portal, rasa tidak nyaman
yang berlebih oleh karena pembesaran lien.
6. Portal hipertensi : Hepatomegali biasanya

berhubungan

dengan

splenomegali. Gangguan pada fungsi hepar biasanya merupakan suatu


akibat

dari

adanya

hematopoiesis

ekstramedular,

dimana

menyebabkan terjadinya fibrosis hepar dan portal hipertensi.


2.9

PROGNOSIS

dapat

Pasien mielofibrosis rata-rata dapat bertahan hidup 3-7 tahun dan kurang
dari 20% dapat hidup lebih dari 10 tahun. Reilly, Snowden, dan Spearing et al
(1997) mengelompokkan pasien mielofibrosis dengan kemungkinan hidup
terpendek 16 bulan dan terpanjang 180 bulan. Dengan berjalannya waktu,
beberapa masalah dapat timbul seperti penurunan berat badan, edema ekstremitas
bawah, dan infeksi terutama pneumonia. Hampir semua pasien terjadi
splenomegali yang semakin memberat sehingga timbul rasa sakit dan nyeri tulang.

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama

: Tn. MR

Umur

: 74 tahun

Agama

: Islam

Suku

: Aceh

Status

: Menikah

Tanggal masuk

: 22 Juli 2016

Tanggal Pemeriksaan

: 28 Juli 2016

Pekerjaan

: Pegawai Negeri

CM

: 1-09-69-25

3.2 Daftar Masalah


No. Masalah

Tanggal

1.

27/07/2016

Myelofibrosis

3.3 Data Dasar


3.3.1 Anamnesis
1.1. Keluhan Utama
Perut membesar
1.2. Keluhan Tambahan
Demam naik turun dan diare.
1.3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan perut yang terasa membesar yang
terjadi perlahan-lahan yang dirasakan sejak lebih kurang 2 bulan yang
lalu dan memberat sejak 1 minggu terakhir. Selain itu pasien selalu
merasa penuh di bagian perutnya, namun pasien merasa berat badannya
terasa berkurang. Kadang-kadang pasien juga mengeluhkan perutnya
sekali-sekali terasa nyeri. Dinding perut pasien terlihat tampak tegang
dengan warna seprti putih pucat. Pasien juga mengeluhkan demam naik
turun yang dirasakan dalam beberapa bulan terakhir ini. Demam akan
menurun bila diberikan obat penurun panas. Kadang-kadang pasien
juga merasa menggigil bila pasien demam.
Pasien juga mengeluhkan diare. Awalnya frekuensi BAB lebih dari
10 kali dalam sehari, namun sekarang sudah berkurang. Pasien merasa
kurang nafsu makan, dan cepat sekali merasa perutnya penuh. Pasien

juga merasa badannya sekarang cepat sekali merasa lelah. Saat ini
pasien sudah jarang beraktivitas. Keluhan sesak nafas disangkal.
Riwayat perdarahan dan BAB hitam disangkal.
1.4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi (), Penyakit Jantung (), DM (), Asma (),
demam lama(-), sakit kuning (-).
1.5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit sama dengan pasien.
Hipertensi (+) ayah dan ibu pasien
1.6. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien bekerja sebagai Pegawai Negeri.. Terpapar zat kimia (-)
1.7. Riwayat Pemakaian Obat
Pasien memiliki riwayat minum obat Hidroxi urea dan asam folat
3.4 Pemeriksaan Fisik
a. Status Presens
Keadaan Umum
Tekanan Darah
Nadi
RR
Suhu
Berat Badan
Tinggi Badan
BMI
Status Gizi
b. Status Internus

:
:
:
:
:
:
:
:
:

Baik, kesadaran compos mentis


90 /60 mmHg
110 kali/menit
24 kali/menit
36,6oC
57 kg
178 cm
18 kg/m2
Kurus

Kulit
Warna

: Sawo matang

Turgor

: Kembali cepat

Ikterus

: (-)

Pucat

: (+)

Sianosis

: (-)

Oedema

: (-)

Kepala
Bentuk

: Kesan Normocephali

Rambut

: Berwarna hitam, sukar dicabut

Mata

: Cekung (-), refleks cahaya (+/+), konj. palp inf


pucat (+/+), sklera ikterik (-/-).

Telinga

: Sekret (-/-), perdarahan (-/-)

Hidung

: Sekret (-/-), perdarahan (-/-), NCH (-/-)

Mulut
Bibir

: Pucat (+), Sianosis (-)

Gigi geligi

: Karies (-)

Lidah

: Atrofi papil (-), Beslag (-), Tremor (-)

Mukosa

: Basah (+)

Tenggorokan

: Tonsil T1/T1

Faring

: Hiperemis (-)

Leher
Bentuk

: Kesan simetris

Kel. Getah Bening

: Kesan simetris, Pembesaran KGB (-)

Peningkatan TVJ

: R-2 cmH2O

Axilla

: Pembesaran KGB (-)

Thorax
1. Thoraks depan
a) Inspeksi
Bentuk dan Gerak

: Normochest, pergerakan simetris.

Tipe pernafasan

: Abdomino-thoracal

Retraksi

: (-)

b) Palpasi
Stem premitus
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah
c) Perkusi
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap.Paru bawah
d) Auskultasi
Suara nafas
Lap. Paru atas
Lap.Paru tengah
Lap.Paru bawah

Paru kanan
Normal
Normal
Normal

Paru kiri
Normal
Normal
Normal

Paru kanan
Sonor
Sonor
Sonor

Paru kiri
Sonor
Sonor
Sonor

Paru kanan
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler

Paru kiri
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler

Suara tambahan
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah

Paru kanan
Rh(-) , Wh(-)
Rh(-) , Wh(-)
Rh(-) , Wh(-)

Paru kiri
Rh(-) , Wh(-)
Rh(-), Wh(-)
Rh(-), Wh(-)

2. Thoraks Belakang
a) Inspeksi
Bentuk dan Gerak

: Normochest, pergerakan simetris.

Tipe pernafasan

: Abdomino-Thoracal

Retraksi

: interkostal (-)

b) Palpasi
Stem Fremitus
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah

Paru kanan
Normal
Normal
Normal

Paru kiri
Normal
Normal
Normal

Paru kanan
Sonor
Sonor
Sonor

Paru kiri
Sonor
Sonor
Sonor

Suara nafas
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah

Paru kanan
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler

Paru kiri
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler

Suara tambahan
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah

Paru kanan
Rh(-) , Wh(-)
Rh(-) , Wh(-)
Rh(-) , Wh(-)

Paru kiri
Rh(-),Wh(-)
Rh(-), Wh(-)
Rh(-), Wh(-)

c) Perkusi
Lap. Paru atas
Lap. Parutengah
Lap.Paru bawah
d) Auskultasi

Jantung
-

Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

Ictus cordis teraba ICS V 2 jari lateral linea

midclavicula sinistra
-

Perkusi

: Batas atas

: ICS III sinistra

Batas kanan : Linea parasternalis dextra


Batas Kiri

: 2 jari lateral linea midclavicula


sinistra

Auskultasi

: BJ I > BJ II, reguler, gallop(-)

Inspeksi

: Kesan simetris, distensi (+)

Palpasi

: Distensi abdomen (+), Nyeri tekan (+),

Abdomen

Hati (tidak teraba), ginjal (tidak teraba),


Limpa teraba

membesar sepanjang garis

Scufner 5-6/8
-

Perkusi

: Timpani (+), asites (-)

Auskultasi

: Peristaltik usus (N)

Genetalia

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Anus

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas

Ekstremitas
Pucat
Edema
Ikterik
Gerakan
Tonus otot
Sensibilitas
Atrofi otot
Kuku kolonicia

Superior
Kanan
Kiri
+
+
Aktif
Aktif
Normotonus
Normotonus
N
N
-

Inferior
Kanan
+
Aktif
Normotonus
N
-

Kiri
+
Aktif
Normotonus
N
-

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Jenis
pemeriksaan
Haemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Trombosit
Hematokrit
KGDN
MCV
MCH

19/07/2016

25/07/2016

Nilai Rujukan

8,0
2,7
3,2
57
26
127
81
25

8,3
2,7
3,1
20
26
84
27

13 - 18 gr/dl
4,1-10,5 x 103/ul
4,5-6.0 x 106/ul
150-400 x 103/ul
40-55%
60-110 mg/dl
80-100 fL
27-31 pg

MCHC
RDW
Eo
Ba
Net. Bat
Net. Seg
Li
Mo

30
0
0
0
73
19
8

32
18,9
2
1
0
73
17
7

32-36 %
11,5-14,5 %
0-6 %
0-2 %
2-6 %
50-70 %
20-40 %
2-8 %

3.6 Diagnosis Sementara


1. Myelofibrosis
2. Anemia Sedang e.c dd /
1. Penyakit Kronis
2. Perdarahan
3.7 Penatalaksanaan
a. Rencana Diagnostik

Observasi tanda vital

Cek darah rutin, Coamb Test, Reticulosit Count, Feritin, SI TIBC,


dan feses rutin

b.

USG abdomen

Foto thoraks PA

Rencana terapi

Tirah baring

Oksigen 2-4 liter / menit (Jika pasien merasa sesak)

Diet MB 1700 kkal/hari + Extra Putih telur

IVFD NaCl 0,9 % 20 tetes/menit

Transfusi Packet Red Cell sampai Hb 10 gr/dl

Drip albumin 25 % 100 cc / hari

Drip Paracetamol 1 gr / 8 jam

Drip Ciprofloxacin 200 mg / 12 jam

3.8 Follow Up
Tgl
24-07-2016
S
Pucat (+), Demam (-),
O

27-07-2016
Perut membesar (+),
Pucat (+), demam (+)
Vital sign/
Vital sign/
Kes : compos mentis
Kes : compos mentis
TD : 80/50 mmHg
TD : 110/60 mmHg
N : 92 kali/menit
N : 120 kali/menit
RR : 18 kali/menit
RR : 28 kali/menit
T : 37,0 C
PF/
PF/
Mata : anemis (+/
+), ikterik (-/-)
Mata : anemis (+/
Telinga/Hidung :
+), ikterik (-/-)
normal
Telinga/Hidung :
Mulut: bibir pucat
normal
(+),
Mulut: bibir pucat

Leher: pemb. KGB


(+),
(-)
Leher: pemb. KGB
Thoraks : dalam
(-)
batas normal
Thoraks : dalam
Abdomen: Limpa
batas normal
teraba membesar
Abdomen: Limpa

Extremitas: pucat
teraba membesar
(+/+), udem (-/-)
Extremitas: pucat
(+/+), udem (-/-)
1. Myelofibrosis
1. Myelofibrosis
2. Anemia sedang e.c 2. Anemia sedang e.c
dd / :
dd / :
1. Penyakit kronis
1. Penyakit kronis
2. Perdarahan
2. Perdarahan
3. Hipoalbuminemia
Th/
Th/
Tirah baring
Tirah baring
Oksigen 2-4 liter /
Oksigen 2-4 liter /
menit (Jika pasien
menit (Jika pasien
merasa sesak)
merasa sesak)
Diet MB 1700
Diet MB 1700
kkal/hari + Extra
kkal/hari + Extra
Putih telur
Putih telur

28-07-2016
Perut membesar (+),
Nyeri perut (+)
Vital sign/
Kes : compos mentis
TD : 110/70 mmHg
N : 130 kali/menit
RR : 22 kali/menit
PF/
Mata : anemis (+/+),
ikterik (-/-)
Telinga/Hidung :
normal
Mulut: bibir pucat
(+),
Leher: pemb. KGB
(-)
Thoraks : dalam
batas normal
Abdomen: Limpa
teraba membesar
Extremitas: pucat
(+/+), udem (-/-)
1. Myelofibrosis
2. Anemia sedang e.c
dd / :
1. Penyakit kronis
2. Perdarahan
3. Hipoalbuminemia
Th/
Tirah baring
Oksigen 2-4 liter /
menit (Jika pasien
merasa sesak)
Diet MB 1700
kkal/hari + Extra
Putih telur

IVFD NaCl 0,9 %


20 tetes/menit
Transfusi Packet
Red Cell sampai Hb
10 gr/dl
Drip albumin 25 %
100 cc / hari
Drip Paracetamol 1
gr / 8 jam
Drip Ciprofloxacin
200 mg / 12 jam

IVFD NaCl 0,9 % 20


tetes/menit
Transfusi Packet Red
Cell sampai Hb 10
gr/dl
Drip albumin 25 %
100 cc / hari
Drip Paracetamol 1
gr / 8 jam
Drip Ciprofloxacin
200 mg / 12 jam

P/
Observasi tanda
vital
Cek darah rutin,
Coamb Test,
Reticulosit Count,
Feritin, SI TIBC,
dan feses rutin
USG abdomen
Foto thoraks PA

P/
Cek darah rutin,
Coamb Test,
Reticulosit Count,
Feritin, SI TIBC, dan
feses rutin
USG abdomen
Foto thoraks PA

IVFD NaCl 0,9 % 20


tetes/menit
Transfusi Packet Red
Cell sampai Hb 10
gr/dl
Drip albumin 25 %
100 cc / hari
Drip Paracetamol 1
gr / 8 jam
Drip Ciprofloxacin
200 mg / 12 jam
Xarelto 1 x 15 mg
P/
Cek darah rutin,
Coamb Test,
Reticulosit Count,
Feritin, SI TIBC, dan
feses rutin
USG abdomen
Foto thoraks PA

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien merupakan laki-laki berusia 74 tahun yang bekerja sebagai seorang
pegawai negeri sipil. Berdasarkan epidemiologi, myelofibrosis lebih sering
didapatkan pada usia diatas 50 tahun. Tidak terdapat perbedaan dalam hal jenis
kelamin pada penyakit myelofibrosis.
Pasien datang kerumah sakit dengan keluhan perut membesar yang terjadi
perlahan-lahan sejak 2 bulan yang lalu dan memberat dalam seminggu terakhir.
Perut terasa penuh dan berat badan terasa berkurang, perut terkadang nyeri dan
dinding perut tampak tegang . Keluhan ini biasanya berhubungan dengan keadaan
seperti splenomegali. Pembesaran spleen ini terjadi pengambil alihan tugas
sumsum tulang dalam menghasilkan darah. Hal ini di dukung dengan
ditemukannya Limpa teraba membesar sepanjang garis Scufner 5-6/8 pada
pemeriksaan fisik.
Pasien juga merasa badannya sekarang cepat sekali merasa lelah. Saat ini
pasien sudah jarang beraktivitas. Kelemahan dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya myelofibrosis itu sendiri, anemia, penyakit penyerta, depresi
dan kekurangan nutrisi. Pada pasien ini, kelemahan dapat berupa kombinasi dari
kelima hal tersebut yang juga berakibat pada penurunan berat badan pasien.
Anemia terjadi akibat kadar sel darah merah yang rendah atau akibat
rendahnya platelet. Hal ini terjadi sebagai akibat dari gagalnya sumsum tulang
memproduksi sel tersebut. Gejala anemia dapat berupa nyeri dada, pusing, lemas,
gangguan konsentrasi dan sakit kepala. Hal ini didukung oleh hasil pemeriksaan
fisik dimana pasien terlihat pucat dan didapatkan kunjungtiva palpebra inferior
pucat .
Pada pemeriksaan darah juga didapatkan nilai hemoglobin, leukosit dan
trombosit yang rendah yaitu 8,3 g/dl, 2,7 x 103/ul dan 20 x 103/ul. Hasil ini

menunjukkan adanya kegagalan kompensasi tubuh untuk mencukupi kebutuhan


darah yang berakibat pada keadaan anemia, leukopenia dan rombositopenia.
Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan faktor resiko untuk terjadinya infeksi
dan perdarahan pada pasien.
Tatalaksana pada pasien ini berupa transfusi PRC. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan kadar hemoglobin dalam tubuh. Pemberian parasetamol untuk
menurunkan demam, albumin 25% untuk mengatasi hipoalbuminemia dan
pemberian ciprofloxacin sebagai antibiotik untuk mengatasi kemungkinan infeksi
pada pasien yang memiliki faktor resiko leukopenia.

PENUTUP
A.

KESIMPULAN
Myelofibrosis merupakan salah satu penyakit Myeloproliferatif yang

dihubungkan dengan adanya timbunan substansi kolagen berlebihan dalam


sumsum tulang. Kelainan ini secara definitif merupakan kelainan sel stem
hematopoiesis klonal, dihubungkan dengan CMPD, dimana adanya hematopoiesis
ekstramedular merupakan gambaran menyolok. Sampai saat ini, penyebab
Myelofibrosis tidak pernah diketahui, oleh karenanya penyakit ini dinamai
sebagai Chronic Idiopathic Myelofibrosis. Terdapat 3 kriteria yang dapat
memisahkan mielofibrosis dari diagnosis banding lainnya. Kriteria tersebut yaitu
fibrosis sumsum tulang, kelainan morfologi hiperplasia sumsum tulang, dan
hematopoiesis ekstramedular. Ketiga elemen tersebut harus terdapat untuk
diagnosis Myelofibrosis. Penatalaksanaan penderita terdiri dari terapi medis,
transplantasi sumsum tulang, splenektomi dan terapi radiasi.

DAFTAR PUSTAKA
4. Greer JP et al. Acute Myeloid Leukemia in Adults. In Wintrobes Clinical
Hematology. 11th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkin, 2096-142.
5. (Maryono S. Mielofibrosis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II.
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2007. p. 699-705.)
6. DiBella, N.J., Silverstein, M.N. & Hoagland, H.C. Effect of splenectomy on
teardrop shaped erythrocytes in agnogenic myeloid metaplasia. Arch Intern
Med. 1997; 137:380-1.
7. Wardhana, Datau E.A, Rotty L.W.A, Haroen H. Allogenic hematopoietic
stem cell as curative treatment in myelofibrosis. Indones J Intern Med 2011;
43:252-57.
8. Spivak JL. Polycythemia Vera and Other Myeloproliferative Diseases. In:
Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
editors. Harrisons Principles of Internal Medicine volume I. 17th
edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc; 2008. p. 674-5.)
9. Lal A, Emmanuel BC. Primary myelofibrosis. [Updated on Maret 28 2014,
Available at: http://www.emedicine.medscape.com, Accessed August 25,
2015]
10. Casciato DA. Myeloproliferative disorder. In: Casciato DA, editor. Manual of
clinical oncology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2004.p.496-513.
11. Vardiman JW. The World Health Organization (WHO) classification of the
myeloid
12. Maryono S. Mielofibrosis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S,editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan IPDFKUI; 2007. p. 699-705.
13. Spivak JL. Polycythemia Vera and Other Myeloproliferative Diseases. In:
Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
editors. Harrisons Principles of Internal Medicine volume I. 17th edition.
New York: McGraw-Hill Companies, Inc; 2008. p. 674-5.
14. Manoharan, A., Hargrave, M. and Gordan, S. Effect of chemotherapy on tear
drop poikilocytes and other peripheral blood findings on myelofibrosis.
Pathology. 1998; 20:7

15. Leblond, P.F., Weed, R.I. The peripheral blood in polycythemia vera and
myelofibrosis.Clinical Haematology. 1995; 4:353-71.
16. Kroger N, Mesa RA. Choosing between stem cell therapy and drugs in
myelofibrosis. Leukimia 2008:22:474-86.
17. Stewart WA, Pearce R, Kirkland KE, et al; British Society for blood and
marrow transplantation. The role of allogeneic SCT in primary myelofibrosis:
a British society for
blood and marrow transplantation study. Bone Marrow Transplant
2010;45:1587-93.
1. Verstovsek S, Mesa RA, Gotlib J, et al. A double-blind placebo-controlled trial
of ruxolitinib for myelofibrosis. N Engl J Med 2012;366:799-807.

Anda mungkin juga menyukai