Anda di halaman 1dari 9

Diagnosis dan Tatalaksana Urtikaria di Tingkat Pelayanan Primer

Abstrak

Urtikaria, yang dikenal sebagai biduran, merupakan penyakit kulit yang sering terjadi di masyarakat
dengan karakteristik berupa plak dengan sekitar eritema disertai edema, gatal dan keterlibatan jaringan
mukosa. Urtikaria diklasifikasikan menjadi Urtikaria spontan akut dan kronis, Urtikaria akibat induksi
dan urtikaria kronik episodik. Beberapa faktor pencetus urtikaria diantaranya infeksi, obat, makanan,
faktor psikis, allergen inhalant atau kadang idiopatik. Manifestasi klinis pada kulit berupa plak eritema,
bengkak dan gatal. Lesi kulit umumnya memudar secara spontan dalam 2-3 jam tanpa meninggalkan
bekas. Pada beberapa pasien juga dapat terjadi angioedema yang meliputi edema dan nyeri seperti
terbakar pada kelopak mata, bibir dan akan mengancam nyawa apabila bengkak mencapai saluran
pernafasan. Diagnosis biasanya dapat langsung ditegakkan, tetapi harus mempertimbangkan
kemungkinan lain seperti vaskulitis urtikaria, erupsi obat dan virus, dan urtikaria pigmentosa. Terapi lini
pertama yang direkomendasaikan adalah H1 antihistamin dan terkadang membutuhkan kortikosteroid
sistemik yang berdurasi kerja pendek. H2 antagonis ditambahkan pada beberapa kasus yang resisten serta
obat lain seperti omalizumab, siklosporin dan leukotrien reseptor antagonis, butuh dipertimbangkan pada
kasus yang pernah misdiagnosis.

Pendahuluan

Urtikaria merupakan penyakit kulit yang melibatkan kulit serta mukosa dengan bentuk plak
eritema, disertai edema, gatal dan dapat menghilang secara spontan, yang dikenal sebagai biduran. 8,8-
20% orang di komutitas masyarakat pernah mengalami biduran setidaknya satu kali seumur hidup.
Penyakit kulit ini dapat terjadi semua usia dan gender tetapi lebih banyak pada dewasa muda. 40-50%
pasien, urtikaria terjadi bersama dengan angioedema. Sedangkan prevalensi keluhan urtikari tanpa
angioedema dan sebaliknya sekitar 40% dan 20% dari populasi penduduk.

Klasifikasi

Tipe Durasi Karakteristik


Urtikaria akut <6 minggu
Urtikaria spontan kronis Durasi >6 minggu Lesi muncul kembali minimal 2 x
dalam seminggu
Urtikaria fisik >6 minggu Subtype urtikaria berdasarkan
Jenis etiologi fisik
 Urtikaria dermatologi
 Urtikaria dingin
 Urtikaria panas
 Urtikaria tekanan fase
lambat
 Urtikaria sinar matahari
(solar)
 Urtikaria getaran
 Urtikaria akuagenik
 Urtikaria kontak
 Urtikaria kolinergik

Urtikarian episodic kronik Menghilang >6 minggu Muncul kembali minimal 2x


dalam 1 minggu

Urtikaria Spontan Akut

Lesi menghilang dalam waktu < 6 minggu

Urtikaria Spontan Kronis

Lesi menghilang dalam waktu >2 minggu dan muncul kembali setidaknya 2 kali dalam seminggu.

Urtikaria fisik (urtikaria akibat induksi)

Lesi muncul akibat beberapa etiologi fisik seperti dermografisme, dingan, panas, getaran, tekanan dan
sniar matahari. Sekitar 20-30% merupakan urtikaria kronis.

Urtikaria Kronik Episodik

Lesi dapat menghilang >6 minggu dan muncul kembali <2 kali dalam seminggu.

Harus diketahui bahwa urtikaria kronik episodic dan urtikaria fisik dapat terjadi bersamaan. urtikaria
kronik episodic umumnya terjadi dengan urtikaria demografik dan urtikaria akibat tekanan.

Patogenesis

Mekanisme utama terbentuknya urtikaria adalah pelepasan berbagai mediator inflamasi dari sel
mast. Reaksi hipersensitifitas tipe 1 (IgE-mediated) menyebabkan urtikaria akut. Antigen masuk kedalam
tubuh dan berikatan dengan antibody spesifik pada permukaan sel mast dan basofil ikatan tersebut
menyebabkan pelepasan banyak mediator, terutama histamine. Hasilnya, edema terjadi akibat inflamasi
(eritema) dan vasodilatasi yang peningkatan permeabilitas vaskuler. Sel mast tidak dapat teraktifasi
kembali sebelum regranulasi paska degranulasi selesai. Oleh sebab itu lesi baru urtikaria tidak muncul
lagi selama beberapa hari.

Sedangkan pada urtikaria kronis, antigen yang masuk ke dalam tubuh berikatan dengan IgE
afinitas tinggi (FceRI) dipermukaan sel mast dan basofil yang tersirkulasi di kulit sehingga sel-sel
tersebut tergranulasi. Pada paparan antigen yang kedua, IgE spesifik antigen telah terbentuk dan
berinteraksi dengan sel mast dan basofil sehingga menghasilkan respon yang lebih cepat. Mekanisme ini
juga merupakan inti dari proses autoimun pada urtikaria kronis.

Etiologi

Banyak faktor yang dapat menjadi etiologi urtikaria, diantaranya :

1. Medikasi (Obat-obatan):
Semua obat dapat menyebabkan urtikaria. Akan tetapi, yang paling sering adalah golongan
antibiotik penicillin, sulfonamide, aspirin, NSAID, diuretic thiazide, kontrasepsi peroral, ACE
inhibitor, vitamin, kodein, morfin, kurare dan turunannya, hormone adrenokortikotropik sintetik,
dan radiokontras. Manifestasi muncul dalam 1-2 jam hingga 15 hari paska intake oral. Urtikaria
akibat obat yang diberikan secara intravena akan muncul lebih cepat. Secara umum urtikaria
bersifat akut, atau berupa urtikaria episodik kronis.
2. Makanan:
Makanan yang sering tidak diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria seperti kacang, telur, ikan,
seafood coklat daging, susu sapi, buah (jeruk, anggur, plum, nanas, pisang, apel, dan stoberi),
sayuran (tomat, bawang putih, bawang merah, kacang, dan wortel), jamur, makanan fermentasi,
dan makanan pedas. Bahan tambahan seperti pewrna makanan, asam benzoate dan salisilat juga
merupakan faktor kausatif penting pada makanan. Urtikaria biasanya muncul 1-2 jam setelah
makan. Urtikaria akibat makanan sering terjadi pada anak-anak. walaupun makanan sering
menjadi etiologi urtikaria akut, tetapi perannya dalam menimbulkan urtikaria spontan kronis
masih diragukan. Kebanyakan penyebab urtikaria spontan kronis adalah pesudoallergen.
Sehingga tetap disarankan untuk mengatur diet pada pasien dengan riwayat demikian.
3. Allergen inhalan:
Serbuk bunga, lumut, tungau rumah, debu hewan dan rambut yang terhirup lewat saluran
pernafasan. Rokok juga menjadi faktor yang memperparah urtikaria sehingga lebih disarankan
untuk berhenti merokok. Urtikaria yang disebabkan oleh allergen inhalan akan muncul segera
setelah alegen terhirup.
4. Infeksi:
Infeksi saluran nafas seperti sinusistis, tonsillitis, abses gigi, infeksi saluran kencing, hepatitis,
infeksi mononukelosis dan parasit menyebabkan urtikaria terutama pada anak-anak.
5. Kontak dengan bahan tertentu:
Latex, kosmetik dan bahan-bahan kima menyebabkan urtikaria kontak
6. Gigitan serangga
Hal ini harus ditanyakan dalam anamnesis, terutama pada anak-anak
7. Faktor psikogenik
Alasan seperti stress, sedih dan depresi dapat memperparah urtikaria sebelumnya ataupun
mencetuskan urtikaria.
8. Penyakit sistemik
Terutama menyebabkan urtikaria kronis. Adanya penyakit tiroid dan penyakit reumatik seperti
sistemik lupus eritematosus, limfoma, leukemia dan karsinoma perlu dianalisis lebih
lanjut.urtikaria juga dapat terjadi pada wanita hamil.
9. Faktor fisik
Urtikaria dapat muncul akibat tekanan, panas, dingin dan dermografisme. Urtikaria akibat
tekanan muncul sekitar 3-4 jam setelah tekanan. Sehingga disebut urtikaria akibat tekanan fase
lambat.
10. Keturunan (genetic)
Urtikarian herediter sering muncul dengan angioedema dan urtikaria akibat dingin.
11. Idiopatik
Urtikaria idiopatik tidak diketahui penyebab yang jelas.
Manifestasi klinis

Plak urtikaria memiliki 3 karakeristik yaitu ada eritem, gatal dan bengkak. Terkadang disertai
dengan sensasi seperti terbakar. Lesi dapat muncul di semua area tubuh dan menghilang secara bertahap
dalam 2-3 jam tanpa meninggalkan bekas pada kulit, terkadang proses penyembuhannya berlangsung
hingga 1 hari.

Pada angioedema, terjadi terutama pada area kelopak mata dan mukosa bibir, ada pembengkakan
(edema) dengan onset mendadak. Sensai rasa nyeri dan terbakar lebih dominan dibandingkan gatal.
Bengkak akan secara bertahap menghilang setelah 72 jam.

Dermografisme merupakan eritema dan edema yang terjadi sekitar 10-20 menit setelah kontak
dengan kulit. Apabila area yang bersentuhan dengan alergen terasa gatal maka hal ini disebut dengan
urtikaria dermografisme. Lesi ini muncul pada 4% pasien.

Diagnosis dan Diagnosis Banding

Cukup mudah untuk mendiagnosis urtikaria berdasarkan manifestasi klinis dan anamnesis. Akan tetapi,
beberapa kali sulit dibedakan dengan erupsi obat, infeksi virus, penyakit pada jaringan ikt, penyakit
fotosensitif, urtikaria pigmentosa, urtikaria vaskulitis dan beberapa sindroma penyakit. Suatu hal yang
penting untuk melakukan anamnesis secara detail untuk mengetahui penyebab urtikaria pada pasien.
Pasien harus ditanya mengenai onset lesi, perkembangan lokasi lesi, keluhan sistemik, intake makanan,
stress dan obat yang dikonsumsi.

Tidak terlalu dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti uji laboratorium dan tes alergi untuk
mendiagnosis urtikaria akut. Berdasarkan guideline yang dipublikasi di USA, tidak ada bukti penelitian
yang menyarankan penunjang laboratorium untuk menegakkan diagnosis urtikaria. Hanya 25% kasus
urtikaria akut menjadi kronis setelah beberapa waktu.

Terapi

Dasar Pilihan Terapi

Eliminasi kemugkinan penyebab dan menghindari pencetus merupakan langkah pertama terapi.
Apabila pasien menyebutkan bahwa lesi kulit muncul setelah kondisi tertensu, seperti mengonsumsi obat
atau makanan tertentu, maka pasien harus menghindari kondisi ini. Apabila ada kondisi infeksi maka
harus diterapi.

Pada subtipe urtikaria fisik, yang disebabkan oleh paparan mekanik, diperlukan pelatihan untuk
menghindari paparan dan dan memahami gejala yang timbul. Sebagai contohnya, panas (air paas dan
kelembaban tinggi) merupakan pencetus pada banyak pasien. Pakaian yang ketat atau gelang dari karet
memperparah gejala eksaserbasi. Sedangkan, urtikaria fisik lainnya (dermografisme, dingin, panas, sinar
matahari, kolinergik dan tekanan) harus didiagnosis secara benar dan eleminasi (dihindari).

Banyak obat-obatan, terutama aspirin dan NSAID, memperparah gejala. Direkomendasikan utnuk
menghindari penggunaan obat-obatan ini selama periode tertentu.
Direkomendasikan 4 minggu menghindari makanan yang diperkirkan sebagai pseudoalergen
yang menginduksi urtikaria. Konsumsi alkohol tidak direkomendasikan.

Stress, gangguan tidur, infeksi, premenstruasi dan penggunaan antihistamin yang ireguler juga
dapat meningkatkan reaksi kulit.

Asap rokok, kutu debu rumah, serbuk bunga, lumut dan spora jarang dikeluhkan sebagai
penyebab, tetapa pasien tetap harus disarankan untuk menghindari allergen tersebut.

Setelah menyarankan pada pasien untuk menghindari allergen, harus dilakukan intervensi berupa
pemberian medikasi yang menekn pelepasan mediator inflamasi, sebagai tahap kedua dalam terapi
urtikaria.

Prinsip terapi urtikaria (tanpa/dengan) angioedema berfokus pada merekanan secepatnya rasa
gatal dan angioedema. Pada dasarnya, urtikaria menghilang secara spontan pada 2/3 kasus.

H1 Antihistamin

Antihistamin berikatan dangan reseptor histamine dan mencegah terjadinya gatal dan terbentuknya plak
urtika. Terdapat 2 generasi antihistamin:

1. Antihistamin generasi pertama ( diphenhidramin, chlorpeniramine, hidroxizine, dimenhidrinate,


siklizin, doxepin, doxamine, meclizine, prometazine, dll)
2. Antihistamine generasi kedua (cetirizine, loratadine, fexofenadine, desloratadine, levocetirizine,
ebastine dan bilastine)

Selama terapi, antihistamin H1 generasi kedua lebih dipertimbangkan dibandingkan generasi pertama
akibat efek sedasinya yang lebih ringan dan durasi kerja yang lebih panjang.

Antihistamin harus digunakan rutin dalam dosis perhari, bukan berdasarkan kebutuhan. Belum ada data
yang signifikan mengenai antihistamin yang paling efektif untuk terapi urtikaria spontan kronis. Respon
terhadap antihistamin dan efek samping berbeda pada tiap orang.

Antihistamin generasi kedua lebih banyak digunakan pada anak-anak maupun dewasa akibat efek
samping yang lebih ringan, interaksi obat lebih sedikit, efek antikolinergik yang lebih panjang dan
keamanan penggunaan yang lebih baik.

Beberapa pasien membutuhkan dosis lebih besar (>4 kali) dari dosis standart untuk mengontrol urtikaria
tetap akan mengantuk dan efek samping sedasi.

H2 Antihistamin

Pemakaian kombinasi H1 dan H2 antihistamin akan lebih efektif dalam mengatasi urtikaria akut
dibandingkan penggunaan tunggal H1 antihistamin. Akan tetapi, penggunaan H2 antihistamin sudah tidak
disarankan dalam guideline dalam beberapa tahun ini. H2 antihistamin meliputi ranitidine, nizatidine,
famotidine dan cimetidine, akan tetapi cimetidine dapat meningkatkan afinitas obat lain sehingga harus
digunakan secara hati-hati.
Kortikosteroid Sistemik

Glukokortikoid tidak menghambat degranulasi sel mast, tetapi obat ini bekerja dengan menekan berbagai
reaksi inflamasi. Glukokortikoid tidak disarankan pada kasus urtikaria. Penggunaan glukokortikoid pada
kasus urtikaria dengan angioedema atau apabila gejala klinis berlangsung dalam lebih dari beberapa hari
(persisten) dan tidak dapat dikontrol dengan antihistamin. Pada pasien dewasa, prednisone diberikan
selama 5-10 hari dengan dosis harian (30-60 mg). sedangkan pada anak-anak, prednisolone diberikan 0,5-
1 mg/kg (maksimum 60mg/hari), dapat diturunkan bertahan dan dihentikan dalam 5-7 hari.

Siklosporin

Siklosporin (5mg/kg/hari) dilaporkan menyebabkan remisi yang lebih cepat dan kerja labih lama
dibandingkan dengan kortikosteroid sistemik. Rata-rata respon klinis antara kortikosteroid sistemik dan
siklosporin sekitar 64% dan 95%. Ketika pengobatan telah selesai, 50% pasien mengalami remisi dalam
lebih dari 9 bulan, akan tetapi pada beberapa pasien, relapse terjadi setelah terapi dihentikan. Dalam kasus
demikian terapi maintenance (rumatan) diberikan dalam dosis 1,5-2 mg/kg/hari selama lebih dari 2 tahun.
Semakin lama durasi pemberian, akan semakin besar efek sampingnya. Sehingga penggunaanya pada
kasus urtikaria spontan kronis tidak direkomendasikan kecuali pada kasus urtikaria yang resisten terhadap
antihistamin dosis tinggi dan omalizumab.

Omalizumab

Omalizumab merupakan monoclonal antiboid (Anti IgE IgG) yang mengikat IgE. Obat ini lebih
aman dan efektif, akan tetapi memiliki harga yang malah dan tidak memiliki efek yang signifikan pada
pemberian jangka panjang. Omalizumab berkerja untuk menghambat fungsi sel mast dan menginduksi
apoptosis eosinofil. Obat ini juga menghambat pelepasan sitokin dari basofil dan migrasi sel imun ke
jaringan. Belum ada studi yang secara langsung membandingkan terapi omalizumab dengan obat innya
dalam mengobati urtikari kronis resisten.

Tidak diperlukan adanya pemeriksaan tambahan laboaratorium sebelum dan setelah terapi.
Omalizumab diberikan secara subkutan dengan dosis 300 mg setiap 28 hari selama 6 bulan. Obat ini
bekerja efektif pada > 80% pasien. Omalizumab juga dilaporkan efektif dalam terapi urtikaria tipe lainnya
seperti urtikaria fisisk (dinin, sinar matahari, urtikaria kolinergik demografi dan urtikaria vasculitis.

Omalizumab sebagai pilihan terapi hanya direkomendasikan dan efektif pada kasus urtikaria
kronis spontan. Dengan gejala persisten dan resisten terhadap antihistamin dosis tinggi. Pada kasus
rekuren urtikaria, setelah diberikan selam 6 bulan, obat ini dapat diberikan kembali tanpa penurunan
efikasinya.

Leukorien reseptor antagonis (LRTAs)

Zafirlukast dan montelukast belum banyak dipelajari efikasinya sebagai salah satu terapi pada
urtikaria akut. Tidak ada penelitian dengan double-blind, placebo controlled mengenai LTRAs. Review
sistematik mengatakan bahwa pemberian LTRAs lebih baik dibandingkan dengan placebo, akan tetapi,
tidak terlalu direkomendasikan kecuali pada kasus urtikaria akibat aspirin. Obat ini dapat ditambahkan
pada tahap terapi ke2 dan ke 3.
Jenis terapi lainnya

Beberapa studi lain juga meneliti efikasi pemberian anti-inflamasi lainnya seperti dapsone,
sulfasalazine, hydroxyklorokuin dan kolkisin. Serta obat-obatan imunosupresan seperti methotrexate,
mycofenolate mofetil, azathioprine, taclorimus, mizoribine, dan siklofosfamid memiliki evidence based
yang rendah.

Beberapa algoritme terapi urtikaria dikembangkan dan dirangkum dalam kerangka berikut:

Tabel 2. Algoritme terapi urtikaria oleh EAACI,GA2LEN,EDF dan WOA

Lini pertama
Antihistamin H1 antagonis generasi kedua -> apabila gejala menetap selama > 2 minggu

Lini Kedua
Penambahan dosis Antihistamin H1 antagonis generasi kedua hingga 4x dari dosis awal -> bila
gejala menetap selama1-4 minggu

Lini ketiga
Kombinasikan dengan Omalizumab, montelukas atau siklosporin
Jika gejala tidak dapat terkontrol, makan dapat ditambahkan kortikosteroid sistemik hingga 10
hari.

Tabel 3 Algoritma terapi rekomendasi Dermato-allergy working group of the Turkish society of
dermatology and the Turkish dermato-imunology and allergy association

Tahap 1 Mulai dengan pemberian antihistamin generasi kedua


Tahap 2 Bila tidak terkontrol dalam 1-2 minggu, naikkan dosis hingga 4 kali dari awal
Tahap 3 Bila tidak terkontrol dalan 1-2 minggu, ganti dengan antihistamin lain dan
gunakan dosis terapi selama 7-10 hari (rekomendasi lama pemberian obat)/
dosis lengkap.
Tahap 4 Jika tidak terkontrol dalam 1-2 minggu, ganti dengan omalizumab selama 24
minggu
Tahap 5 Jika tidak terkontrol dalam 24 minggu, tingkatkan dosis omalizumab, ganti
terapi dengan siklosporin atatu tambahkan dengan terapi sebelumnya
Tahap 6 Jika gejala tidak terkontrol selama 12 minggu, agen obat lain dapat dicoba

Terapi urtikaria pada Anak-anak

Antihistamin H1 antagonis generasi kedua menjadi pilihan obat lini pertama karena
dipertimbangkan memiliki profil keamanan penggunaan jangka panjang yang lebih baik. Antihistamin H1
generasi pertma tidak direkomendasikan pada anak-anak karena memiliki efek samping sedasi yang kuat
dan penurunan reflex psikomotor anak. Dosis antihistamin dapat ditingkatkan hingga 2 kali dosis awal
yang dihitung sesuai dengan berat badan anak pada kasus refrakter urtikaria.

Belum ada data yang cukup mengenai penggunaan LTRAs, siklosporin dan omalizumab sebagai
terapi urtikaria pada anak. Berdasarkan logaritma terapi urtikaria pada pasien dewasa, pilihan terapi
tersebut dapat dikombinasikan dengan antihistamin pada lini ketiga. Berdasarkan beberapa bukti
penelitian didapatkan bahwa keamanan penggunaan omalizumab meningkat pada anak usai >7 tahun.
Dan pasien anak dapat mentoleransi dengan baik pemberian dosis 150-300 mg.

Siklosporin lebih sering digunakan pada pasien anak dengan urtikaria yang resisten terhadap
antihistamin seperti pada pasien dewasa dan dikatakan cukup efektif.

Kortikosteroid sistemik dapat diberikan hingga dosis maksimum selama 10 hari pada pasien
pediatric yang mengalami serangan angioedema atau urtikaria yang luas.

Terapi urtikaria selama kehamilan dan laktasi

Berdasarkan pedoman tatalaksana terbaru, menyatakan bahwa algoritma terapi diatas dapat diberikan
pada pasien hamil. Kategori obat B pada pasien hamil pada Chlorpheniramine, loratadin, cetirizine dan
lecocetirizine dan kategori C pada semua antihistamin lainnya. Penggunaan antihintamin generasi
pertama tidak direkomendasikan karena menyebabkan depresi nafas pada bayi. Semua guideline
menyatakan bahwa Antihistamin H1 antagonis generasi kedua meruapakan yang paling menungkinkan
untuk terapi urtikaria pada ibu hamil.

Kategori keamanan B dan C untuk obat LTRAs dan siklosporin. Belum ada penelitian yang mendukung
penggunaan omalizumab pada pasien hamil. Dilaporkan setelah pemberian omalizumab, 169 pasien hamil
mengalami sesak nafas akan tetapi tidak menimbulkan abnormalitas mayor pada janin. Sehingga FDA
mengklasifikasikan dalam kategori B.

Loratadin dan cetirizine lebih disarankan pada ibu menyusui oleh sebab ditemukan dalam jumlah yang
lebih sedikit pada ASI.

Terapi pada Angioedema

Angioedema bukan hanya bengkak pada kulit dan bibir akan tetapi juga dapat menyebabkan
bengkak pada lidah, laring, hingga dapat mengancam nyawa. Sehingga terapi angioedema sangat penting.
Pertama, pastiak jalan nafas terbuka dan pasien bernafas baik. Terapi standart pasien tanpa disertai
obstruksi jalan nafas adalah H1 dan H2 antihistamin dikombinasi dengan kortikosteroid sistemik. Jika
pasien mengalami konstriksi jalan nafas atau hipotensi, maka epinefrin harus diberikan secara
intramuskuler dengan dosis 0,2-0,5 mg. pasien dengan distress nafas harus segera dirujuk ke rumah sakit
yang lebih kompeten setealah dilakukan stabilisasi kondisi.

Kesimpulan

Urtikaria merupakan lesi kulit kemerahan yang gatal dan bersifat akut maupun kronis.
Angioedema juga dapat terjadi dengan urtikaria walaupun kasusnya cukup jarang. Akan tetapi, dapat
berdampak fatal. Walaupun terdapat beberapa faktor seperti infeksi, obat dan makanan dapat
mencetuskan urtikaria, kebanyakan penyebabnya adalah idiopatik. Terapi urtikaria adalah mencari
faktor/etologi dan pasien harus menghindari allergen tersebut. Pasien juga harus dijelaskan mengenai
kemungkinan adanya urtikaria fisik. Walaupun lini pertama terapi adalah Antihistamin, penggunaan obat
lainnya seperti kortikosteroid, omalizumab dan siklosporin masih mungkin digunakan sehingga semua
pasien harus diterapi secara benar. Harus diingat bahwa terapi dalam kasus ini masih merupakan
tantangan bagi dokter dan pasien.

Anda mungkin juga menyukai