Anda di halaman 1dari 39

RADIOGRAPH BASED DISCUSSION

Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat Menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Radiologi
Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Pembimbing Klinik :

dr. Bambang Satoto, Sp.Rad (K)

Disusun Oleh :

Lysa Yustin K 30101407257


Farah Fauzia Ulfah 30101507447

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN
RADIOGRAPH BASED DISCUSSION
Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinis bagian Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Nama :
Lysa Yustin K 3010140
Farah Fauzia Ulfah 30101507447

Judul :
Bagian : Ilmu Radiologi
Fakultas : Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Pembimbing : dr.Bambang Satoto, Sp.Rad (K)

Telah diajukan dan disahkan


Semarang, Agustus 2019
Pembimbing

dr.Bambang Satoto, Sp.Rad (K)

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................4
1.1. Latar Belakang..................................................................................................................4
1.2. Batasan Masalah...............................................................................................................5
1.3. Tujuan Penulisan...............................................................................................................5
1.1.1. Tujuan Umum............................................................................................................5
1.1.2. Tujuan Khusus...........................................................................................................5
1.4. Metode Penulisan..............................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................6
1.5. Dasar Teori........................................................................................................................6
2.1.1. Definisi......................................................................................................................6
2.1.2. Insidensi.....................................................................................................................6
2.1.3. Anatomi.....................................................................................................................7
2.1.4. Etiologi......................................................................................................................9
2.1.5. Patofisiologi...............................................................................................................9
2.1.6. Manifestasi klinis.....................................................................................................11
1.6. Tinjauan Radiologi..........................................................................................................14
2.1.7. CT scan....................................................................................................................14
2.1.8. MRI (Magnetic Resonance Imaging)......................................................................15
2.1.9. Ultrasonografi dan MRA (magnetic resonance angiography).................................16
2.1.10. Angiografi otak........................................................................................................16
BAB III..........................................................................................................................................18
LAPORAN KASUS......................................................................................................................18
3.1. Identitas Pasien...............................................................................................................18
3.2. Anamnesis.......................................................................................................................18
3.3. Pemeriksaan Fisik...........................................................................................................19
BAB IV..........................................................................................................................................29
PEMBAHASAN............................................................................................................................29
BAB V...........................................................................................................................................30
KESIMPULAN..............................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................31

3
4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Jantung adalah salah satu organ vital manusia yang berukuran sebesar kepalan
tangan. Jantung dibagi menjadi empat bagian, yaitu serambi kanan, serambi kiri, bilik
kanan, dan bilik kiri. Keempat bagian tersebut dibatasi oleh katup jantung. Katup jantung
ada empat, yaitu katup trikuspidalis, katup bikuspidalis, katup pulmonal, dan katup aorta.
Fungsi utama jantung adalah memompa darah ke pembuluh darah dengan kontraksi ritmik
dan berulang. Jantung mengalirkan darah bersih yang kaya akan oksigen dari bilik kiri
menuju seluruh tubuh dan akhirnya kembali lagi menuju jantung di serambi kanan dengan
darah kotor yang kaya akan karbondioksida. Selanjutnya darah kotor tersebut dialirkan dari
bilik kanan menuju ke paru – paru dan kembali ke jantung tepatnya di serambi kiri dengan
darah bersih yang siap diedarkan kembali ke seluruh tubuh. Aliran darah mengalir
berdasarkan perbedaan gradien tekanan di dalam kapiler darah. Jantung memiliki tekanan
terbesar sehingga kekuatan mengalirkan darah ke seluruh tubuh juga besar. Semakin jauh
dari jantung, maka tekanannya semakin berkurang.

Menurut American Heart Association di Amerika terdapat 5,3 juta orang yang
mengalami gagal jantung dan setiap tahun terdiagnosis 600.000 kasus baru, dengan insiden
10per 1.000 orang. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RIKESDAS) tahun 2013, di
Indonesia diperkirakan 229.696 orang atau sekitar 0,13% mengalami gagal jantung
berdasarkan diagnosis dokter, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala
sebanyak 530.068 orang atau 0,3%. Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring
dengan bertambahnya umur. Prevalensi lebih tinggi perempuan (0,2%) dibandingkan
dengan laki – laki (0,1%).

Di Indonesia, penyakit gagal jantung menjadi salah satu penyakit yang sering
menyebabkan kematian. Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak lagi
mampu memompa pasokan darah, untuk mempertahankan sirkulasi adekuat sesuai
kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian cukup (Masengi et al, 2016). Pada pasien

5
gagal jantung biasanya memiliki gejala yang khas salah satunya yaitu kelainan pada
struktural dan fungsional jantung saat pasien istirahat yaitu kardiomegali (Haris et al,
2016). Kardiomegali merupakan respon terhadap kegagalan jantung dalam bentuk
hipertrofi miokardium atau bertambahnya tebal dinding. Keadaan kardiomegali
diakibatkan oleh beberapa mekanisme, ketika ditinjau dari hukum Frank Sratling yang
menyebutkan bahwa 1) Makin besar isi jantung sewaktu diastole, semakin besar jumlah
darah yang dialirkan ke aorta, 2) dalam batas – batas fisiologis, jantung memompakan ke
seluruh tubuh darah yang kembali ke jantung tanpa menyebabkan penumpukan di vena, 3)
jantung dapat memompakan jumlah darah yang sedikit ataupun jumlah darah yang besar
bergantung pada jumlah darah yang mengalir kembali ke vena, maka hukum Frank
Starling yang pertama dikaitkan dengan penjelasan kardiomegali, pada keadaan gagal
jantung diastole mengalami peningkatan karena ketidakmampuan pengosongan ventrikel.
Keadaan tersebut akan direspon dengan adanya penambahan jumlah sarkomer pada
miokardium. Keadaan kardiomegali akan berefek pada penurunan kualitas kontraksi dan
ventrikel dalam memompakan darah ke seluruh tubuh (Prasetyo, 2015).

1.2. Batasan Masalah


Referat ini akan membahas tentang gambaran kardiomegali dari segi radiologi

1.3. Tujuan Penulisan


1.1.1. Tujuan Umum

Mengetahui tentang kardiomegali dari definisi, etiologi, manifestasi klinis,


penegakan diagnosis dan gambaran kardiomegali pada pemeriksaan radiologi.
1.1.2. Tujuan Khusus

1.4. Metode Penulisan


Metode referat ini adalah tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai literature.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.

2.1 Anatomi jantung


Anatomi jantung dapat dibagi dalam 2 kategori, yaitu anatomi luar dan anatomi
dalam.
A. Anatomi luar
Atrium dipisahkan dari ventrikel oleh sulkus koronarius yang mengelilingi jantung. Pada
sulkus ini berjalan arteri koroner kanan dan arteri sirkumfleks setelah dipercabangkan
dari aorta.
1. Perikardium
Jantung dibungkus oleh jaringan ikat tebal yang disebut pericardium, terdiri dari 2 lapisan
yaitu pericardium viseral dan pericardium parietal. Permukaan jantung yang diliputi oleh
pericardium viseral lebih dikenal sebagai epikardium, yang meluas sampai beberapa
segmen di atas pangkal aorta dan arteri pulmonal. Selanjutnya jaringan ini akan berputar-
lekuk (refleksi) menjadi pericardium parietal, sehingga terbentuk ruang pemisah yang
berisi cairan bening licin agar jantung mudah bergerak saat pemompaan darah. Pada
orang normal jumlah cairan perkardium adalah sekitar 10-20 ml.

7
Gambar 1 Jantung, Cor (kiri) dan Jantung, Cor, dan Pembuluh darah besar dilihat dari dorsal (kanan) (dikutip dari
kepustakaan 6 )

B. Anatomi dalam
Jantung terdiri dari 4 ruang, yaitu atrium kanan dan kiri, serta ventrikel kanan dan
kiri. Belahan kanan dan kiri dipisahkan oleh septum:
1. Atrium kanan
Darah vena mengalir ke dalam jantung melalui vena kava superior dan inferior
masuk ke dalam atrium kanan, yang tertampung selama fase sistol ventrikel. Kemudian
selama fase diastol, darah dalam atrium kanan akan mengalir ke dalam ventrikel kanan
melewati katup trikuspid.
2. Ventrikel kanan
Letak ruang ini paling depan di dalam rongga dada, yaitu tepat dibawah manubrium
sterni.sebagian besar ventrikel kanan berada di kanan depan ventrikel kiri. Secara
fungsional ventrikel kanan dapat dibagi dalam alur masuk dan alur keluar. Ruang alur
masuk ventrikel kanan (right ventricular inflow tract) dibatasi oleh katup trikuspid,
trabekel anterior dan dinding inferior ventrikel kanan. Sedangkan alur keluar ventrikel
kanan (right ventricular outflow tract) berbentuk tabung atau corong, berdinding licin
terletak dibagian superior ventrikel kanan yang disebut infundibulum atau konus
arteriosus.
3. Atrium kiri

8
Atrium kiri menerima darah dari empat vena pulmonal yang bermuara pada dinding
postero-superior atau postero-lateral, masing-masing sepasang vena kanan dan kiri. Letak
atrium kiri adalah di postero-superior dari ruang jantung lain, sehingga pada foto sinar
tembus dada tidak tampak. Tebal dindingnya 3 mm, sedikit lebih tebal daripada dinding
atrium kanan.
4. Ventrikel kiri
Tebal dinding ventrikel kiri saat diastol adalah 8-12 mm. batas dinding medialnya
berupa septum interventrikuler yang memisahkannya dari ventrikel kanan. Rentangan
septum ini berbentuk segitiga, dimana dasar segitiga tersebut adalah pada daerah katup
aorta. Sekat inter-ventrikuler terdiri dari 2 bagian yaitu bagian muskuler menempati
hamper seluruh bagian septum dan bagian membranus. Pada dua pertiga dari dinding
septum terdapat serabut otot trabekel karne dan sepertiga bagian endokardiumnya licin.

A. Katup jantung
Antara atrium, ventrikel dan pembuluh darah besar yang keluar dari jantung terdapat
katup-katup jantung, yaitu katup atrio-ventrikuler dan katup semiluner.
1. Katup semiluner
Bentuk katup semiluner aorta dan pulmonal adalah sama, tetapi katup aorta lebih
tebal. Kedua katup ini terletak pada alur keluar dari masingmasing ventrikel dengan katup
pulmonal yang terletak lebih antero-superior dan agak ke kiri. Setiap katup terdiri dari 3
lembar jaringan ikat daun katup atau daun katup yang berbentuk huruf U. pinggir bawah
tiap daun katup melekat dan bergantung pada annulus aorta dan annulus pulmonal,
dimana pinggir atas mengarah ke lumen. Ketiga daun katup aorta dikenal sebagai daun
katup koroner kanan, kiri dan daun katup non- koroner. Katup pulmonal terdiri dari daun
katup anterior, daun katup kanan dan kiri.
2. Katup atrio-ventrikuler
Aliran darah yang melewati katup mitral atau trikuspid diatur oleh interaksi antara
atrium, annulus fibrosus, daun katup, korda tendinea, otot papilaris dan otot ventrikel.
Keenam komponen ini membentuk kompleks mitral dan trikuspid yang secara fungsional
harus diperhitungkan sebagai satu unit. Gangguan salah satu bagian tersebut akan
mengakibatkan gangguan hemodinamik yang serius. Katup mitral terdiri dari daun katup

9
mitral anterior dan daun katup mitral posterior. Secara keseluruhan terdapat perbedaan
bermakna antara anatomi katup mitral dan trikuspid. Katup trikuspid lebih tipis, lebih
bening dan pertautan antara ketiga daun katup itu dihubungkan oleh komisura.

Gambar 2 Katup Jantung, Valvae cordis, dilihat dari superior

A. Persarafan jantung
Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom yaitu saraf simpatis dan
parasimpatis. Serabut-serabut saraf simpatis mempersarafi daerah atrium dan ventrikel
termasuk pembuluh darah koroner. Saraf parasimpatis terutama memberikan
persarafan pada nodus sino-atrial, atrio-ventrikuler dan serabut serabut otot atrium,
dapat pula menyebar ke dalam ventrikel kiri. Persarafan saraf simpatis berasal dari
pusat nervus vagus di medulla oblongata; serabut-serabutnya akan bergabung dengan
serabut simpatis di dalam pleksus kardialis. Rangsang simpatis akan dihantar oleh
norepinefrin, sedangkan rangsang saraf parasimpatis akan dihantar oleh asetilkolin.
Pada orang normal kerja saraf simpatis adalah mempengaruhi kerja otot ventrikel
sedangkan parasimpatis mengontrol irama jantung dan laju denyut jantung.
B. Perdarahan jantung
1. Arteri
Pendarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh koroner utama,
yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini keluar dari sinus
Valsava aorta. Arteri koroner kiri berjalan di belakang arteri pulmonal sebagai arteri
koroner kiri utama (LMCA = Left Main Coronary Artery) sepanjang 1-2 cm. arteri ini
bercabang menjadi arteri sirkumfleks (LCx = Left Circumflex Artery) dan arteri
10
desendens anterior kiri (LAD = Left Anterior Descendens Artery). LCx berjalan pada
sulkus atrio-ventrikuler mengelilingi permukaan posterior jantung, sedangkan LAD
berjalan pada sulkus interventrikuler sampai ke apeks. Kedua pembuluh darah ini
bercabang-cabang mendarahi daerah antara kedua sulkus tersebut.5 Setelah keluar dari
sinus Valsava aorta, arteri koroner kanan (RCA = Right Coronary Artery) berjalan di
dalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah mencapai kruks. Cabang pertama
adalah arteri atrium anterior kanan (Right Atrial Anterior Branch) untuk mendarahi
nodus sino-atrial, dan cabang lain adalah arteri koroner desenden posterior (PDA =
Posterior Descending Coronary Artery) yang akan mendarahi nodus atrio-ventrikuler.
2. Vena
Aliran darah balik dari otot jantung dan sekitarnya melalui vena coroner yang
berjalan berdampingan dengan arteri koroner, akan masuk ke dalam atrium kanan
melalui sinus koronarius. Selain itu terdapat juga vena-vena kecil yang disebut vena
Thebesii, yang bermuara langsung ke dalam atrium kanan.
3. Pembuluh Limfe
Pembuluh limfe pada jantung terdiri dari 3 kelompok pleksus, yaitu
subendokardial, miokardial, dan subepikardial. Penampungan cairan limfe dari
kelompok pleksus yang paling besar adalah pleksus subepikardial, dimana pembuuh-
pembuluh limfe akan membentuk satu trunkus yang berjalan sejajar dengan arteri
koroner kemudian meninggalkan jantung didepan arteri pulmonal dan berakhir pada
kelenjar limfe antara vena kava superior dan arteri inominata.
2.2 Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dan segala jenis penyakit jantung
kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung
meliputi keadaan-keadaan yang (1) meningkatkan beban awal, (2) meningkatkan beban
akhir, atau (3) menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang
meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel; dan
beban akhir meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi
sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan
kardiomiopati. Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung,
terdapat faktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan jantung gagal bekerja sebagai

11
pompa. Faktor-faktor yang mengganggu pengisian ventrikel (misal, stenosis katup
atrioventrikularis) dapat menyebabkan gagal jantung. Keadaan-keadaan seperti
perikarditis konstriktif dan tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui
kombinasi beberapa efek seperti gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel.
Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui penekanan
sirkulasi yang mendadak dapat berupa (1) disritmia, (2) infeksi sistemik dan infeksi paru-
paru, dan (3) emboli paru. Disritmia akan mengganggu fungsi mekanis jantung dengan
mengubah rangsangan listrik yang memulai respons mekanis; respons mekanis yang
sinkron dan efektif tidak akan dihasilkan tanpa adanya ritme jantung yang stabil. Respons
tubuh terhadap infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh yang meningkat. Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan resistensi
terhadap ejeksi ventrikel kanan, memicu terjadinya gagal jantung kanan. Penanganan
gagal jantung yang efektif membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap
mekanisme fisiologis penyakit yang mendasari, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang
memicu terjadinya gagal jantung
2.3 Patofisiologi
A. Mekanisme Dasar
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung
akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang
efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi volume sekuncup, dan
meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (volume akhir
diastolik) ventrikel, terjadi peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP).
Derajat peningkatan tekanan bergantung pada kelenturan ventrikel. Dengan
meningkatnya LVDEP, terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium
dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan LAP diteruskan ke
belakang ke dalam pembuluh darah paruparu, meningkatkan tekanan kapiler dan vena
paru-paru. Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan
onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Jika
kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, akan terjadi edema
interstisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke
dalam alveoli dan terjadilah edema paru. Tekanan arteri paruparu dapat meningkat akibat

12
peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan
terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian kejadian seperti yang terjadi pada jantung
kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan menyebabkan edema dan
kongesti sistemik.
Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat diperberat oleh
regurgitasi fungsional dan katup-katup trikuspidalis atau mitralis secara bergantian.
Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus katup atroventrikularis, atau
perubahan orientasi otot papilaris dan korda tendinae akibat dilatasi ruang.
B. Mekanisme Kompensasi Pada Gagal Jantung
Bila curah jantung karena suatu keadaan menjadi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh, maka jantung akan memakai mekanisme kompensasi.
Mekanisme kompensasi ini sebenarnya sudah dan selalu dipakai untuk mengatasi
beban kerja ataupun pada saat menderita sakit. Bila mekanisme ini telah secara
maksimal digunakan dan curah jantung tetap tidak cukup maka barulah timbul gejala
gagal jantung. Mekanisme kompensasi ini terdiri dari beberapa macam dan bekerja
secara bersamaan serta saling mempengaruhi, sehingga secara klinis tidak dapat
dipisah-pisahkan secara jelas. Dengan demikian diupayakan memelihara tekanan darah
yang masih memadai untuk perfusi alat-alat vital. Mekanisme ini mencakup: 1)
Mekanisme Frank-Starling, 2) pertumbuhan hipertrofi venatrikel, dan 3) aktifasi
neurohormonal.
1. Mekanisme Frank Starling
Gagal jantung akibat penurunan kontrak tilitas ventrikel kiri menyebabkan
pergeseran kurva penampilan ventrikel ke bawah. Karena itu, pada setiap beban awal,
isi sekuncup menurun dibandingkan dengan normal dan setiap kenaikan isi sekuncup
pada gagal jantung menuntut kenaikan volume akhir diastolik lebih tinggi
dibandingkan normal. Penurunan isi sekuncup mengakibatkan pengosongan ruang
yang tidak sempurna sewaktu jantung berkontraksi; sehingga volume darah yang
menumpuk dalam ventrikel semata diastol lebih tinggi dibandingkan normal.
Hal ini bekerja sebagai mekanisme kompensasi karena kenaikan beban awal (atau
volume akhir diastolik) merangsang isi sekuncup yang lebih besar pada kontraksi
berikutnya, yang membantu mengosongkan ventrikel kiri yang membesar.

13
2. Hipertrofi Ventrikel
Pada gagal jantung, stres pada dinding ventrikel bisa meningkat baik akibat
dilatasi (peningkatan radius ruang) atau beban akhir yang tinggi (misalnya pada
stenosis aortik atau hipertensi yang tidak terkendali). Peninggian stres terhadap
dinding ventrikel yang terus menerus merangsang pertumbuhan hipertrofi ventrikel
dan kenaikan massa ventrikel. Peningkatan ketebalan dinding ventrikel adalah suatu
mekanisme kompensasi yang berfungsi untuk mengurangi stres dinding (ingat bahwa
ketebalan dinding adalah faktor pembagi pada rumus stres dinding), dan peningkatan
massa serabut otot membantu memelihara kekuatan kontraksi ventrikel. Meskipun
demikian, mekanisme kompensasi ini harus diikuti oleh tekanan diastolik ventrikel
yang lebih tinggi dari normal dengan demikian tekanan atrium kiri juga meningkat,
akibat peninggian kekakuan dinding yang mengalami hipertrofi. Pola hipertrofi yang
berkembang bergantung pada apakah beban yang di hadapi bersifat kelebihan beban
volume atau, tekanan yang kronis. Dilatasi ruang yang kronis akibat kelebihan
volume, misalnya pada regurgitasi mitral atau aorta yang menahun, mengakibatkan
sintesis sarkomer-sarkomer baru. Secara seri dengan sarkomer yang lama. Akibatnya
radius ruang ventrikel membesar dan ini berkembang sebanding dengan peningkatan
ketebalan dinding. Hal ini disebut hipertrofi eksentrik.
3. Aktifasi neurohormonal
Perangsangan neurohormonal merupakan mekanisme kompensasi yang mencakup
sistim syaraf adrenergik, sistim renin-angiotensin, peningkatan produksi hormon
antidiuretik, semua sebagai jawaban terhadap penurunan curah jantung. Semua
mekanisme ini berguna untuk meningkatkan tahanan pembuluh sistemik, sehingga
mengurangi setiap penurunan tekanan darah (ingat rumus tekanan darah curah jantung
x tahanan perifer total). Selanjutnya semua ini menyebabkan retensi garam dan air,
yang pada awalnya bermanfaat meningkatkan volume intravaskuler dan beban awal
ventrikel kiri, sehingga memaksimalkan isi sekuncup melalui mekanisme Frank
Starling.
A. Sistem syaraf adrenergic
Penurunan curah jantung pada gagal jantung dirasakan oleh reseptor reseptor di
sinus karotis dan arkus aorta sebagai suatu penurunan porfusi. Reseptor-reseptor ini

14
lalu mengurangi laju pelepasan rangsang sebanding dengan penurunan tekanan darah.
Sinyalnya dihantarkan melalui syaraf kranial ke IX dan X ke pusat pengendalian
kardiovaskuler di medula. Sebagai akibatnya arus simpatis ke jantung dan sirkulasi
perifer meningkat, dan tonus parasimpatis berkurang. Ada tiga hal yang
segeraterjadi:1) peningkatan laju debar jantung,2) peningkatan kontraktilitas ventrikel,
dan 3) vasokonstriksi akibat stimulasi reseptor-resep tor alfa pada vena-vena dan arteri
sistemik. Peninggian laju debar jantung dan kontraktilitas ventrikel secara langsung
meningkatkan curah jantung. Vasokonstriksi pada sirkulasi vena dan arteri juga
bermanfaat pada awalnya. Konstriksi vena mengakibatkan peningkatan aliran balik
darah ke jantung, sehingga meningkatkan beban awal dan meningkatkan isi sekuncup
melalui mekanisme Frank Starling, bila jantung bekerja pada bagian yang menaik pada
kurva penampilan ventrikel. Konstriksi arteriolar pada gagal jantung meningkatkan
tahanan pembuluh perifer Sehingga membantu memelihara tekanan darah. Adanya
distribusi regional reseptor-reseptor alfa sedemikian rupa menyebabkan aliran darah di
redistribusi ke alat-alat vital (jantung dan otak) dan dikurangi ke kulit, organ-organ
splanknik dan ginjal.
B. Sistem Renin Angiotensin
Sistem ini diaktifasi pada gagal jantung. Rangsang untuk mensekresi renin dan
sel-sel jukstaglomerular mencakup : 1) penurunan perfusi arteri renalis sehubungan
dengan curah jantung yang rendah, dan 2) rangsang langsung terhadap reseptor-
reseptor B2 jukstaglomerular oleh sistem syaraf adrenergic yang teraktifasi. Renin
bekerja pada angiotensiogen dalam sirkulasi, menjadi angiotensin I, yang kemudian
diubah dengan cepat oleh ensim pengubah angiotensin (ACE) menjadi angiotensin II
(ATII), suatu vasokonstriktor yang kuat. Peningkatan kadar ATII berperan
meningkatkan tahanan perifer total dan memelihara tekanan darah sistemik.
Angiotensin II juga bekerja meningkatkan volume intravaskuler melalul dua
mekanisme yaitu di hipotalamus merangsang rasa haus dan akibatnya meningkatkan
pemasukan cairan, dan bekerja pada korteks adrenal untuk meningkatkan
sekresialdosteron. Aldosteron meningkatkan resorpsi natrium dan tubuh distal ke
dalam sirkulasi. Kenaikan volume intravaskuler lalu meningkatkan beban awal dan
karenanya meningkatkan curah jantung melalui mekanisme Frank Starling.

15
C. Hormon antidiuretlk
Pada gagal jantung, sekresi hormon ini oleh kelenjar hipofisis posterior
meningkat, mungkin diantarai oleh rangsang terhadap baroreseptor di arteri dan atrium
kiri, serta oleh kadar ATII yang meningkat dalam sirkulasi. Hormon antidiuretik
berperan meningkatkan volume intravaskuler karena ia meningkatkan retensi cairan
melalui nefron distal. Kenaikan cairan intravaskuler inilah yang meningkatkan beban
awal ventrikel kiri dan curah jantung. Meskipun ketiga mekanisme kompensasi
neurohormonaI yang sudah diuraikan diatas pada awalnya bisa bermanfaat, pada
akhirnya membuat keadaan menjadi buruk. Peningkatan volume sirkulasi dan aliran
balik vena ke Jantung bisa memperburuk bendungan pada vaskuler paru sehingga
memperberat keluhan-keluhan akibat kongesti paru. Peninggian tahanan arteriol
meningkatkan beban akhir dinama jantung yang sudah payah harus berinteraksi,
sehingga pada akhirnya isi sekuncup dan curah jantung menjadi lebih berkurang. Oleh
karena itu terapi dengan obat-obatan sering disesuaikan untuk memperlunak
mekanisme kompensasi neurohormonal ini.
D. Peptida natrluretik atrium (atrial natriuretic peptide)
Ini adalah suatu hormon kontraregutasi yang disekresi oleh atrium sebagai respon
terhadap peninggian tekanan intrakardiak. Kerjanya terutama berlawanan dengan
hormon-hormon lain yang diaktifasi dalam keadaan gagal jantung, sehingga
mensekresi natrium dan air, menimbulkan vasodilatasi, inhibisi sekresi renin, dan
mempunyai sifat antagonis terhadap efek All pada vasopresin dan sekresi aldosteron.
Meskipun kadar peptida ini dalam plasma meninggi, efeknya dapat ditumpulkan oleh
berkurangnya respon organ-akhir (misalnya ginjal).
2.4 DIAGNOSIS
A. Gejala dan Tanda
Pada awalnya, secara khas gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik; tetapi, dengan
bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan
gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan.
– Dispnea, atau perasaan sulit bernafas, adalah manifestasi gagal jantung yang paling
umum.
– Ortopnea (atau dispnea saat berbaring)

16
– Dispnea nokturnal paroksismal (paroxysmal nocturnal dyspnea, PND) atau mendadak
terbangun karena dispnea, dipicu oleh timbulnya edema pant interstisial.
– Batuk nonproduktif
– Timbulnya ronki
Semua gejala dan tanda di atas dapat dikaitkan dengan gagal ke belakang pada gagal
jantung kiri.
– Hemoptisis
– Distensi atrium kiri atau vena pulmonalis dapat menyebabkan kompresi esofagus dan
Gagal ke belakang pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena
sistemik.
– Peningkatan tekanan vena jugularis (JVP); vena-vena leher mengalami bendungan.
– Tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara paradoks selama inspirasi jika
jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik
vena ke jantung selama inspirasi. Meningkatnya CVP selama inspirasi ini dikenal sebagai
tanda Kussmaul
– Dapat terjadi hepatomegali (pembesaran hati)
– Nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula hati.
– Anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat disebabkan oleh kongesti hati dan usus.
– Edema perifer
– Nokturia (diuresis han) yang mengurangi retensi cairan.
–Gagal jantung yang berlanjut →asites atau edema anasarka
Semua manifestasi yang dijelaskan di sini secara diawali dengan bertambahnya berat
badan, yang mencerminkan adanya retensi natrium dan air.
Gagal ke depan pada ventrikel kiri menimbulkan tanda-tanda:
– Berkurangnya perfusi ke organ-organ
– Kulit pucat dan dingin
– Demam ringan dan keringat yang berlebihan.
– Lemah dan letih
Gejala dapat diperberat oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit atau anoreksia.
Makin menurunnya curah jantung dapat disertai insomnia, kegelisahan, atau
kebingungan.

17
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat terjadi kehilangan berat badan yang
progresif atau kakeksia jantung
– Pemeriksaan denyut arteri selama gagal jantung memperlihatkan denyut yang cepat dan
lemah.
– Denyut jantung yang cepat (atau takikardia) mencerminkan respons terhadap
rangsangan saraf simpatis.
– Hipotensi sistolik ditemukan pada gagal jantung yang lebih berat.
– Pada gagal ventrikel kiri yang berat dapat timbul pulsus alternans, yaitu berubahnya
kekuatan denyut arteri.
– Pada auskultasi dada lazim ditemukan ronki (seperti yang telah dikemukakan di atas)
dan gallop ventrikel atau bunyi jantung ketiga (S3). Terdengamya S3 pada auskultasi
merupakan ciri khas gagal ventrikel kiri. Gallop ventrikel terjadi selama diastolik awal
dan disebabkan oleh pengisian cepat pada ventrikel yang tidak lentur atau terdistensi.
– Kuat angkat substernal (atau terangkatnya sternum sewaktu sistolik) dapat disebabkan
oleh pembesaran ventrikel kanan.
– Peristiwa bradikardi (asistol atau blok jantung) biasanya berkaitan dengan
memburuknya gagal jantung secara progresif.
A. Pemeriksaan laboratorium
Tes darah mungkin akan diminta untuk menilai fungsi hati dan ginjal, level/tingkat
sodium dan potassium, jumlah sel darah, dan pengukuranpengukuran lainnya.
Pemeriksaan darah perlu dilakukan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab
susah bernapas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada
gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga
dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan
adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain
untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri
renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin
converting enzyme inhibitor dan diuretic dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat
terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa
suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif, tes
fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati.

18
Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.
Pemeriksaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP
plasma 100 pg/ml dan plasma non-proBNP adalah 300 pg/ml.
B. Gambaran EKG
Dalam kasus kardiogenik, elektrokardiogram (EKG) dapat menunjukkan bukti MI
(Myocardium Infark) atau iskemia. Dalam kasus noncardiogenic, EKG biasanya normal

Gambar 3: Electrocardiograms menunjukan anterior dengan gelombang Q pada bagian kiri


bundle branch block ( bawah )

C. Gambaran Radiologi
1. Foto Toraks
Dua fitur utama dari radiografi dada berguna dalam evaluasi pasien dengan gagal
jantung kongestif: (1) ukuran dan bentuk siluet jantung, dan (2) edema di dasar paru-
paru. Pada gagal jantung hampir selalu ada dilatasi dari satu atau lebih pada ruang-ruang
di jantung, menghasilkan pembesaran pada jantung. Dari segi radiologik, cara yang
mudah untuk mengukur jantung apakah membesar atau tidak, adalah dengan
membandingkan lebar jantung dan lebar dada pada foto toraks PA (cardio-thoracis
ratio). Pada gambar, diperlihatkan garis-garis untuk mengukur lebar jantung (a+b) dan
lebar dada (c1-c2).
CTR=a + bc1 + c2 = ±50%
(normal : 48-50 %)

19
Gambar 4: Pengukuran CTR

Pada patofofisiologi Congestive Heart Failure teah dijelaskan bahwa kegagalan


jantung juga disebabkan oleh kontraktilitas miokard yang kurang akibat infark
miokard.Berikut adalah gambar yang menunjukan adanya infark miokard dalam
congestive heart failure.

Gambar 5.Foto Thorax menunjukan adanya infark miokard dan tampak curvilinear kalsifikasi ( panah )
pada ventrikel kiri.

20
Gambar 6: Congestive cardiac failure. Radiografi dada memperlihatkan
kardiomegali, pengalihan vena-vena lobus atas (tanda panah), garis septum (garis Kerley B) terlihat baik
di zona bawah kanan (tanda panah terbuka), dan penebalan/cairan di fisura horizontal (mata panah).
Cairan di fisura horizontal kanan kadang-kadang disebut “Phantom tumour”, itu bisa menghilang pada
pemeriksaan radiologi berikutnya, bila keadaan pasien membaik

Dengan perkembangan dari gagal jantung kongestif, atrium kiri mengalami


peningkatan tekanan yang paling pertama. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik, tekanan kapiler paru serta pembentukan edema interstitial terutama pada
daerah basal paru. Hal ini menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler yang mengalir
ke basal paru, menyebabkan pirau aliran darah ke pembuluh-pembuluh darah pada lobus
atas paru-sehingga menyebabkan adanya peralihan pada vena-vena pada lobus atas.
Pengalihan pada lobus atas dapat didiagnosis dengan radiografi posisi erect (tegak),
pembesaran pembuluh-pembuluh darah pada lobus atas sama dengan atau melebihi
pembuluh-pembuluh darah pada lobus bawah yang berjarak sama dari hilum.

21
Gambar 7.Foto Thorax PA menunjukan adanya pembesaran pada ventrikel kiri karena adanya
aneurisme yang mana tampak focal bulge ( panah )

Seiring dengan meningkatnya tekanan hidrostatik, terjadilah tanda-tanda edema


interstitial:
– Pengaburan dari tepi pembuluh darah
– Peribronchial cuffing
– Perihilar kabur
– Garis Kerley A dan B dapat terlihat ketika cairan mengisi dan mendistensi septum
interlobular
– Garis Kerley B merupakan garis horizontal yang pendek yang terlihat pada basal paru
daerah tepi/perifer
– Garis Kerley A jarang dilihat, garis tersebut merupakan garis yang terpancar dari
hilum.
Saat tekanan hidrostatik mencapai 25 mmHg, cairan melewati alveoli dan
menyebabkan edema paru. Hal ini dapat terlihat sebagai densitas. alveolar multiple dari
setengah bagian bawah paru. Kemungkinan lain, dapat juga terlihat densitas ruang udara
bilateral yang difus dan kurang tegas/jelas atau densitas perihilar ‘bat’s wings’
(Gambar.6)

22
Gambar 8: Contoh dari congestive cardiac failure dengan densitas ruang udara (airspace)
perihilar di dalam distribusi “bat wings” mewakili edema paru

Ukuran jantung sesudah itu meningkat dan dapat terjadi efusi (biasanya lebih
besar di kanan). Pada foto polos toraks ditemukan:
 Pembuluh-pembuluh darah terlihat meluas lebih jauh daripada yang normal pada
lapangan paru.
 Peribronchial cuffing: terdapat akumulasi cairan interstitial di sekitar bronki yang
terlihat sebagai cincin putih, hal tersebut bisa berkurang apabila kondisi pasien sudah
membaik.
 Efusi pleura pada gagal jantung dapat unilateral dan bilateral dan sering di kanan.
 Paru-paru terlihat kabur dan kurang radiolusen dari normal karena adanya tahanan
air; lattice pattern.
 Sudah terbukti didapatkan pada septum interlobular yang edema dan menebal.
Juga dapat terlihat penyebaran limfogen dari malignansi dalam parenkim paru dan
penyakit paru interstitial.

23
 Akumulasi cepat dari cairan mencurah keluar ke alveoli dan menyebabkan
perkembangan dari edema paru alveolar (airspace/ruang udara).
 Tanda vascular yang kabur
 Redistribusi progresif aliran darah vena ke paru (cephalization)
 Garis Kerley B (septum interlobular yang edematous dan menebal pada perifer
paru).

Gambar 9: Menunjukkan adanya cardiomegali dan Perihilar terlihat kabur

1. Computed Tomography
Computerized Tomography (CT) scan untuk jantung, atau sering juga disebut
calsium-score screening heart scan, adalah tes yang digunakan untuk mendeteksi kalsium
yang menumpuk menjadi plak aterosklerotik di arteri jantung, pada pasien pengidap
penyakit jantung. Ini adalah salah satu metode paling efektif untuk mendeteksi
penumpukan atau penebalan kalsium di jantung sebelum tanda-tanda penyakitnya
muncul. Semakin banyak penumpukan kalsium, berarti semakin tinggi kemungkinan
terkena aterosklerosis, yang juga menunjukkan pola kemungkinan tentang sistem koroner
dan risiko yang tinggi terkena masalah lain di jantung ke depannya.
CT scan jantung biasanya tidak diperlukan dalam diagnosis rutin dan manajemen
gagal jantung kongestif. Multichannel CT scan berguna dalam menggambarkan kelainan

24
bawaan dan katup, plak arteri serta masalah arteri yang memberi supply pada jantung,
tumor, hingga fungsi pompa. Namun, ekokardiografi dan pencitraan resonansi magnetik
(MRI) dapat memberikan informasi yang sama tanpa mengekspos pasien untuk radiasi
pengion.

Gambar 10: Penebalan garis septum dalam kaitan dengan edema


interstitial pada CHF

2. Echocardiografi
Ekokardiografi dua dimensi dianjurkan sebagai bagian awal dari evaluasi pasien
dengan gagal jantung kongestif yang diketahui atau diduga. Fungsi ventrikel dapat
dievaluasi, dan kelainan katup primer dan sekunder dapat dinilai secara akurat.
Ekokardiografi Doppler mungkin memainkan peran berharga dalam menentukan fungsi
diastolik dan dalam menegakkan diagnosis HF diastolik. HF dalam hubungan dengan
fungsi sistolik normal, tetapi relaksasi diastolik normal mempengaruhi 30-40% dari
pasien dengan CHF. Karena terapi untuk kondisi ini jelas berbeda dari yang untuk
disfungsi sistolik, menetapkan etiologi dan diagnosis yang tepat sangat penting.
Kombinasi dari 2-dimensi dan ekokardiografi Doppler echocardiography efektif untuk
tujuan ini. Dua dimensi dan Ekokardiografi Doppler dapat digunakan untuk
menentukan kinerja sistolik dan diastolik LV (ventrikel kiri), cardiac output (fraksi
ejeksi), dan tekanan arteri pulmonalis dan pengisian ventrikel.

25
Echocardiography juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit katup
penting secara klinis. Tingkat kepercayaan di echocardiography adalah tinggi, dan
tingkat temuan positif palsu dan negatif palsu yang rendah.

Gambar 12. Transthoracic echocardiograms: dua dimensi yaitu dari apical


(atas) dan Doppler (bawah) menunjukan beratnya kalsifikasi stenosis dengangradien aortic yang mencapai
lebih dari 70 mm Hg ( A = ventrikel kiri , B = aortic valve,dan C = atrium kiri.)

3. Pencitraan Nuklir
Pencitraan nuklir dapat digunakan dalam penilaian fungsi jantung dan kerusakan
di CHF.
– Pencitraan ECG-gated perfusi miokard
– Penilaian viabilitas miokard
– Ekuilibrium radionuklida angiocardiography

4. Angiografi
Kateterisasi jantung dan angiografi koroner memiliki peran yang berguna pada
pasien dengan gagal jantung kongestif, orang-orang dengan penyakit jantung katup, dan
mereka dengan penyakit jantung bawaan, serta pasien dengan kondisi lain. Untuk pasien

26
dengan CHF, kateterisasi jantung dan angiografi coroner secara jelas ditunjukkan dalam
situasi berikut:
CHF yang disebabkan disfungsi sistolik dalam hubungan dengan kelainan gerak
angina atau daerah dinding dan / atau bukti scintigraphic iskemia miokard reversibel
bila revaskularisasi sedang dipertimbangkan:
• Sebelum transplantasi jantung
• CHF Sekunder untuk aneurisma ventrikel pasca infark atau komplikasi mekanis
lainnya dari MI
I. STAGING
American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) heart failure
guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk menggambarkan perkembangan penyakit dan
dibagi menjadi 4 stage, yaitu:
• Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki penyakit jantung
struktural atau gejala-gejala dari gagal jantung
• Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak memiliki gejala-gejala dari
gagal jantung
• Stage C pasien memiliki penyakit jantung structural dan memiliki gejala-gejala dari gagal
jantung
• Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut intervensi khusus.

2.5 PENATALAKSANAAN
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung
dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama fungsi miokardium, baik secara sendiri-
sendiri ataupun gabungan dan: (1) beban awal, (2) kontraktilitas, dan (3) beban akhir.
Penanganan biasanya dimulai bila timbul gejala saat beraktivitas biasa (NYHA kelas fungsional
II). Regimen penangangan secara progresif ditingkatkan sampai mencapai respons klinis yang
diinginkan. Eksaserbasi akut dan gagal jantung atau perkembangan menuju gagal jantung berat
dapat menjadi alasan untuk perawatan di rumah sakit dan penanganan yang lebih agresif.
A. Pengurangan Beban Awal
Pembatasan asupan garam dalam makanan mengurangi beban awal dengan menurunkan
retensi cairan. Apabila gejala-gejala menetap dengan pembatasan garam yang sedang, diperlukan

27
pemberian diuretik oral untuk mengatasi retensi natrium dan air. Biasanya, diberikan regimen
diuretic maksimum sebelum dilakukan pembatasan asupan natrium yang ketat.
Vasodilatasi vena dapat menurunkan beban awal melalui redistribusi darah dan sentral ke
sirkulasi perifer. Venodilatasi menyebabkan mengalirnya darah ke perifer dan mengurangi aliran
balik vena ke jantung. Pada situasi yang ekstrim mungkin diperlukan pengeluaran cairan melalui
hemodialisis untuk menunjang fungsi miokardium.
B. Peningkatan Kontraktilitas
Obat inotropik meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium. Mekanisme pasti yang
menghasilkan efek inotropilc positif ini masih belum jelas. Tetapi, petunjuk umum tampaknya
adalah meningkatnya persediaan kalsium intrasel untuk protein-protein kontraktil, aktin dan
miosin. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, ion kalsium sangat penting untuk
terbentuknya jembatan penghubung antara protein kontraktil dan selanjutnya untuk kontraksi
otot. Dua golongan obat inotropik dapat dipakai: (1) glikosida digitalis, dan (2) obat
nonglikosida. Obat non glikosida meliputi amin simpatomimetik, seperti epinefrin dan
norepinefrmn, dan penghambat fosfodiesterase, seperti amrinon dan enoksimon.
C. Pengurangan Beban Akhir
Dua respons kompensatorik terhadap gagal jantung (yaitu aktivasi sistem saraf simpatis
dan sistern reninangiotensin-aldosteron) menyebabkan terjadinya vasokonstriksi dan selanjutnya
meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel dan beban akhir. Dengan meningkatnya beban
akhir, kerja jantung bertambah dan curah jantung menurun. Vasodilator arteri akan menekan
efek-efek negatif di atas. Vasodilator yang umurn dipakai mengakibatkan dilatasi anyaman
vaskular melalui dua cara: (1) dilatasi langsung otot polos pembuluh darah, atau (2) hambatan
enzim konversi angiotensin. Vasodilator langsung terdiri dan obat-obatan seperti hidralazin dan
nitrat. Supaya efektif, pemberian hidralazin harus dikombinasikan dengan nitrat. Kombinasi obat
yang paling sering digunakan adalah hidralazin-isosorbid dinitrat, yang dapat dikombinasikan
dengan terapi penghambat enzim konversi angiotensin atau diberikan tersendiri apabila
penghambat enzim konversi angiotensin tidak dapat ditoleransi.
Penghambat enzim konversi angiotensin (mencakup enalapril dan kaptopril) menghambat
konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Efek ini mencegah vasokontriksi yang diinduksi
angiotensin, dan juga menghambat produksi aldosteron dan retensi cairan. Penghambat enzim
konversi angiotensin memberikan harapan besar dalam penanganan gagal jantung. Akibatnya,

28
terapi vasodilator oral kiri diberikan lebih awal, yaitu untuk gagal jantung NYHA kelas II dan
bukan pada kelas III atau IV. Vasodilator arteri mengurangi tahanan terhadap ejeksi ventrikel..
Akibatnya, ejeksi ventrikel dapat terjadi lebth mudah dan lebih sempurna. Dengan kata
lain, beban jantung berkurang dan curah jantung meningkat. Carvediiol merupakan satu-satunya
obat penyekat beta yang disetujui oleh U.S. Food and Drug Administration (Badan Makanan dan
Obat-obatan Amerika Serikat) untuk penggunaan pada gagal jantung dan sebaiknya sebagai obat
penyekat beta terpilih pada penderita gagal jantung ringan hingga sedang. Propranolol,
metoprolol, atau tiniolol dapat digunakan pada pasien asimtomatis tanpa disfungsi ventrikel kiri
yang menyertai infark miokardium.

2.6 PROGNOSIS
Prognosis pada pasien dengan gagal jantung kongestif (congestive heart failure)
tergantung dari berat dari gagal jantung kongestif yang dia diderita, umur, dan jenis kelamin,
dengan prognosis yang lebih jelek/buruk pada pasien pria. Di samping itu, beberapa indeks
prognostik dapat dihubugnkan dengan prognosis yang berlawanan, mencakup kelas dari NYHA,
fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan status neurohormonal.

29
BAB III

LAPORAN KASUS

2.
3.
3.1. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Usia : 72 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : DK. Jrakah, Pati
Agama : Islam
Pekerjaan :
Pendidikan : SMA
No CM : 01395xxx
Ruang rawat : Baitul Salam 2
DPJP : dr. Darwito, Sp. B
3.2. Anamnesis
Pasien seorang laki – laki usia 47 tahun datang ke RSI Sultan agung dengan keluhan
sesak nafas sejak 4 hari yang lalu. Keluhan tersebut tiba-tiba dirasakan saat pasien sedang
melakukan aktivitas sehari-hari dirumah. Sesak nafas dirasakan sangat menggagu
sehingga tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari, bahkan saat kondisi beristrahat
pasien tetap merasakan sesak. Keluhan pasien tersebut dirasakan hilang timbul. BAK dan
BAB dalam batas normal.
a. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat keluhan sama : disangkal
- Riwayat Hipertensi :+
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat TBC : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : diterima
- Riwayat Alergi obat : disangkal

30
b. Riwayat Penyakit Keluarga
- Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat TBC : disangkal

c. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien bekerja sebagai pegawai swasta, tinggal bersama istri dan anaknya. Biaya
pengobatan ditanggung oleh JKN PBI.
3.2 Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
- Tekanan Darah : 150/110 mmHg
- Nadi : 92 x/menit, irama reguler, amplitudo kuat
- Laju Napas : 36 x/menit
- Suhu : 36,8o C
A. Status General
- Umum : Pasien tampak sesak napas
- Kesadaran : Composmentis(GCS E4 M6 V5)
Kepala
- Kepala : Mesocephal, rambut warna hitam, dan tidak mudah rontok
- Mata : Conjungtiva anemis(-/-), sklera ikterik(-/-), pupil isokor
- Hidung : Deviasi (-/-), discharge (-/-)
- Mulut : Bibir sianosis(-), bibir kering(-), mukosa hiperemis(-), lidah
deviasi (-), lidah tremor (-), lidah kotor (-), atrofi papil lidah (-), tonsil T1/T1
- Telinga : Discharge (-/-), serumen (-/-)
Leher
- Trakea berada di tengah, tidak deviasi dan intak.
- Isthmus thyroid teraba berada di tengah, lobus thyroid tidak teraba.
- Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening.

31
- JVP meningkat (5+3 cm)

B. Thorax
 Pulmo
PEMERIKSAAN ANTERIOR POSTERIOR

Inspeksi- Statis RR : 36 x/min , Kontraksi otot pernafasan tambahan (+),


Simetris, Deformitas (-)
Inspeksi - Dinamis Ekspansi dada simetris, Gerak pernafasan normal dan
simetris, Retraksi (-)
Palpasi Nyeri tekan (-), Massa (-), Nyeri tekan (-), Massa (-),
Sterm fremitus D=S Sterm fremitus D=S

Perkusi redup redup

Auskultasi Suara nafas menurun, Suara nafas menurun,


Wheezing (-), Ronchi (+) Wheezing (-), Ronchi (+)

Interpretasi Thoraks simetris , pulmo redup, suara nasfas menurun,


terdapat ronchi.

 Jantung
INSPEKSI
Ictus cordis tidak terlihat
PALPASI
Ictus cordis teraba di ICS VI sebelah lateral linea midklavikularis sinistra, thrill (-),

32
pulsus epigastrium (-), pulsus parasternal (-), sternal lift (-)
PERKUSI
Batas atas jantung : ICS II linea sternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS II 2 cm linea parasternalis sinistra
Kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra
Kiri jantung : ICS VI 3 cm lateral linea midklavikularis sinistra
AUSKULTASI
Katup mitral : BJ I-II reguler, S1>S2
Katup trikuspidal : BJ I-II reguler, S1>S2
Katup aorta : BJ I-II reguler, S1<S2
Katup pulmonal : BJ I-II reguler, S1<S2
Bising :-
Bunyi jantung tambahan :-
Interpretasi Pelebaran batas jantung

 Abdomen
Pemeriksaan Hasil

Inspeksi Simetris, datar, kemerahan (-), Sikatrik (-), Striae (-)


Dilatasi vena (-) , Caputmedusa (-), Spider nevi (-)
Massa (-), Pulsasi aorta (+) di epigastrium, Peristaltik (-)

Aukultasi Peristaltic (+) 21 x/menit


Bruit aorta abdominalis (-), a.lienalis, a.femoralis (-)

Perkusi Dominan timpani , Tes undulasi (-), Liver span dextra 15


cm, Liver span sinistra 12,5 cm, Traube’s space timpani

Palpasi Massa (-), Nyeri tekan (-), Hepatomegali (-),


Splenomegali (-), Murphy’ssign (-)

Interpretasi Normal

 Ekstremitas
Pemeriksaan Superior Inferior

Oedem +/+ +/+

Akral dingin -/- -/-

Ikterik -/- -/-

33
3.3 Pemeriksaan Penunjang
3.4.1 Pemeriksaan radiologi
3.4.1.1 Gambaran X-Foto thorax proyeksi PA

3.4.1.2 Pembacaan Hasil X-Foto thorax proyeksi PA


 Cor : Apeks ke laterokaudal
 Elongasi arcus aorta
 Pulmo : corakan vascular meningkat, simetris, tampak bluring vascular,
tampak kesuraman di perihilar kanan kiri dan di paracardial kanan kiri
 Diafragma setinggi costa 9 posterior
 Sinus kostofrenikus kanan lancip, kiri suram
3.4 Diagnosis
Kardiomegali (LV)
Elongasi arcus aorta
Gambaran edema pulmonium
Efusi pleura kiri minimal

34
BAB IV

PEMBAHASAN

Gagal jantung kongestif atau congestive heart failure (CHF) merupakan


kegagalan jantung dalam memompa pasokan darah yang dibutuhkan tubuh. Hal ini dikarenakan
terjadi kelainan pada otot-otot jantung sehingga jantung tidak bisa bekerja secara normal.
Pada awalnya, secara khas gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik; tetapi, dengan
bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala
muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan. Gejala yang muncul pada pasien gagal
jantung kongestif diantaranya dispnea, atau perasaan sulit bernafas, adalah manifestasi gagal
jantung yang paling umum, ortopnea (atau dispnea saat berbaring), dispnea nokturnal
paroksismal (paroxysmal nocturnal dyspnea, PND) atau mendadak terbangun karena dispnea,
dipicu oleh timbulnya edema interstisial, batuk nonproduktif, ronki.

35
Pemeriksaan radiologi untuk menilai adanya gagal jantung kongestif dan kardiomegali
diantaranya adalah radiografi thoraks, echocardiografi, CT Scan, hingga Angiografi. Gambaran
kardiomegali yang muncul di radiologi x-foto thoraks disertai apex bergeser ke laterocaudal
menandakan kardiomegali ventrikel kiri. Pada paru tampak corakan bronkovaskuler meningkat
disertai blurring vaskuler, tampak bercak kesuraman pada perihiller kanan kiri dan pericardial
kanan kiri menandakan edem pulmo. Selain itu juga ditemukan sinus kostofrenikus kanan lancip,
kiri suram yang menandakan adanya efusi pleura. Gambaran ini khas ditemukan pada congestive
heart failure/gagal jantung kongestif.

Pada kasus ini pasien seorang laki-laki usia 57 datang ke RSI Sultan agung dengan
keluhan sesak nafas sejak 4 hari yang lalu. Keluhan tersebut tiba-tiba dirasakan saat pasien
sedang melakukan aktivitas sehari-hari dirumah. Sesak nafas dirasakan sangat menggagu
sehingga tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari, bahkan saat kondisi beristrahat pasien tetap
merasakan sesak. Keluhan pasien tersebut dirasakan hilang timbul. BAK dan BAB dalam batas
normal.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan TD 150/110 mmHg, suhu 36,8º C, RR 36
kali/menit, nadi 92 kali/menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran composmentis, pada
pemeriksaan leher didapatkan JVP meningkat, pada pemeriksaan pulmo didapatkan perkusi
redup, suara nafas menurun, dan ronki, pada pemeriksaan cor didapatkan pelebaran batas
jantung, pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan edema pada ekstremitas superior dan inferior.
Pada pemeriksaan X-Foto thorax proyeksi PA didapatkan
 Cor : Apeks ke laterokaudal
 Elongasi arcus aorta
 Pulmo : corakan vascular meningkat, simetris, tampak bluring vascular, tampak
kesuraman di perihilar kanan kiri dan di paracardial kanan kiri
 Diafragma setinggi costa 9 posterior
 Sinus kostofrenikus kanan lancip, kiri suram

36
BAB V

KESIMPULAN

Gagal jantung kongestif atau congestive heart failure (CHF) merupakan kegagalan
jantung dalam memompa pasokan darah yang dibutuhkan tubuh. Hal ini dikarenakan terjadi
kelainan pada otot-otot jantung sehingga jantung tidak bisa bekerja secara normal. Secara khas
gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik; tetapi, dengan bertambah beratnya gagal jantung,
toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas
yang lebih ringan. Gejala yang muncul pada pasien gagal jantung kongestif diantaranya dispnea,
atau perasaan sulit bernafas, adalah manifestasi gagal jantung yang paling umum, ortopnea (atau
dispnea saat berbaring), dispnea nokturnal paroksismal (paroxysmal nocturnal dyspnea, PND)
atau mendadak terbangun karena dispnea, dipicu oleh timbulnya edema interstisial, batuk
nonproduktif, ronki.
Pemeriksaan radiologi untuk menilai adanya gagal jantung kongestif dan kardiomegali
diantaranya adalah radiografi thoraks, echocardiografi, CT Scan, hingga Angiografi. Gambaran
kardiomegali yang muncul di radiologi x-foto thoraks disertai apex bergeser ke laterocaudal
menandakan kardiomegali ventrikel kiri. Pada paru tampak corakan bronkovaskuler meningkat
disertai blurring vaskuler, tampak bercak kesuraman pada perihiller kanan kiri dan pericardial
kanan kiri menandakan edem pulmo. Selain itu juga ditemukan sinus kostofrenikus kanan lancip,
kiri suram yang menandakan adanya efusi pleura. Gambaran ini khas ditemukan pada congestive
heart failure/gagal jantung kongestif.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Anil T. Ahuja, Gregory E. Antonio, K.T. Wong, and H. Y. Yuen . CaseStudies in


Medical Imaging: Radiology for Students and Trainees. New York : Cambridge
University Press; 2016. hal. 51-52.
2. Barbara Ritter, EdD, FNP, CNS. Basics of Chest X-Ray Interpretation:An Introduction to
the Principles of Chest X-Ray Interpretation.
3. Davis, Russell C. ABC of heart failure second edition , Australia:Blackwell publishing
2014;hal. 10-11.
4. G Jackson,C R Gibbs, MK Davies, G Y H Lip. ABC of heart failure: History and
epidemiology. hal. 9 - 18
5. Goroll, Allan H., Primary medicine, office evaluation and management of the adult
patient sixth edition , Philadephia, USA: Lipincott Williams & Wilkins 2012;.hal.275-
287
6. Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA: Lipincott Williams &
Wilkins 2017 ; hal.167-168.
7. Gunderman, Richard B. Essential Radiology: Clinical Presentation, Patophysiology and
Imaging. [ed.] Timothy Hiscock. 2nd edition. New York : Thieme, 2016; hal. 53 – 58,72.
8. Harbanu, H.Mariono, Santoso Anwar. Gagal Jantung. Denpasar:
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/91088596.pdf.
9. Ioana,Dumitru,MD.HeartFailure.http://emedicine.medscape.com.http://
emedicine.medscape.com/article/163062-overview#a0101
10. Kumar, Cotran, Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 8. Jakarta : EGC,2015. Vol. Volume
2.
11. Lorraine B. Ware, M.D., and Michael A. Matthay, M.D.Acute Pulmonary
Edema.http://www.nejm.org/
12. Michael S Figueroa MD,Jay I Peters.Congestive heart failure in Respiratory care.April
Vol 51 No 4.hal 403 - 411
13. Oemar, Hamed. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : balai penerbit fakultas kedokteran
universitas indonesia. 2014. hal. 7-12.

38
14. R. Putz, R. Pabst dan Renate Putz. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia Batang Badan,
Panggul, Ekstremitas Bawah. [ed.] M. S. PAK dr. Liliana Sugiharto. Edisi 22. Jakarta :
EGC; 2016.. Vol. Jilid 2.hal 74 - 77
15. Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik. [ed.] Iwan Ekayuda. Edisi Kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI, 2010.
16. Ronald L. Eisenberg, Alexander R. Margulis. What to Order When: Pocket Guide to
Diagnostic Imaging. 2nd Edition. s.l. : Lippincott Williams & Wilkins , 2010. Hal.8
17. Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan. Buku ajar kardiologi. jakarta :balai penerbit
fakultas kedokteran universitas indonesia, 2014.hal 7 – 17,115 – 126.
18. Vibhuti N Singh, MD, MPH, FACC, FSCAI. Congestive Heart Failure Imaging.
http://reference.medscape.com/.
19. Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, 2016.hal.633-640.

39

Anda mungkin juga menyukai