DISUSUN OLEH :
Mengetahui,
Clinical Educator
Clinical Instructor
ii
DAFTAR ISI
F. Modifikasi ........................................................................................................ 15
G. Kemitraan ......................................................................................................... 15
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit jantung koroner (PJK) masih menjadi silent killer bagi seseorang yang
memiliki faktor resiko penyakit tersebut. Beberapa faktor resiko yang dapat menimbulkan
PJK adalah tingginya level total kolesterol dan level kolesterol LDL, hipertensi, merokok,
hingga diabetes atau gangguan toleransi glukosa (Goodman, 2009).
Berdasarkan hasil riskesdas tahun 2013, prevalensi PJK di Indonesia yang terdiagnosa
dokter sebesar 0.5%. Sulawesi Selatan berada diurutan ketiga (dibawah Nusa Tenggara
Timur dan Sulawesi Tengah) dari prevalensi terbanyak berdasarkan kategori terdiagnosa atau
gejala PJK dengan prevalensi sebesar 2.9%. Rentan usia terbesar di Sulawesi Selatan yang
didiagnosa dokter mengalami PJK berusia 65-74 tahun, dengan prevalensi sebesar 2.0%.
PJK merupakan penyakit yang timbul akibat penyempitan atau penyumbatan pembuluh
darah koroner jantung akibat atherosclerosis ataupun thrombus. Arteri koroner adalah
pembuluh darah yang sangat penting bagi otot jantung, ketika insufiesiensi darah terjadi,
jumlah oksigen akan berkurang, sehingga terjadi iskemik hingga infark. Kondisi ini dapat
mengancam nyawa penderitanya (Goodman, 2009).
Salah satu metode untuk memperbaiki fungsi arteri koroner adalah dengan operasi
CABG (coronary artery bypass graft). Operasi ini memiliki berbagai faktor resiko post-
operasi yang bisa merugikan pasien, keluarga, hingga biaya rumah sakit dan lama perawatan
yang meningkat. Beberapa faktor resiko yang dapat terjadi adalah pneumonia, atelektasis,
gagal nafas, pneumothorax hingga bronchospasm. Intervensi Fisioterapi pada rehabilitasi
kardio memiliki peran baik pre-operasi hingga post-operasi dan intervensi yang diberikan
dapat mencegah terjadinya komplikasi-komplikasi yang bias berdampak negatif bagi pasien
(Parello dan Paz, 2018).
1
BAB II
ANATOMI, FISIOLOGI, DAN PATOLOGI ORGAN JANTUNG
A. Anatomi Organ Jantung
Jantung adalah organ yang terletak di mediastinum, area pada cavitas thoracic di
antara paru-paru. Organ ini dilapisi oleh membran pericardial yang terdiri dari 3 lapisan,
lapisan terluar adalah pericardium fibrous, lapisan kedua adalah parietal perikardium, dan
lapisan terdalam adalah visceral perikardium/epikardium. Di antara parietal dan visceral
perikardium terdapat cairan serous yang mencegah gesekan saat jantung berdetak
(Scanlon, 2007).
Secara histologi, otot jantung memiliki serabut otot yang tersusun seperti kisi-kisi,
serabut berpisah, bergabung kembali, dan menyebar kembali. Serabut otot jantung terdiri
dari sel yang saling berhubungan dan berdekatan dalam satu rangkaian, yang biasa
disebut sinsitium. Membran dari sel otot saling bergabung sehingga difusi ion-ion
dengan mudah bergerak antar sel, sehingga saat satu sinsitium terstimulus, potensial
aksinya akan diteruskan ke sinsitium yang lain (Guyton, 2007).
Dinding jantung terdiri dari 3 otot utama yaitu otot atrium, otot ventrikel, dan
serabut otot eksitatorik dan konduksi khusus. Otot atrium dan ventrikel berkontraksi
dengan cara yang sama dengan kontraksi otot rangka, sedangkan otot eksitatorik dan
konduksi hanya memiliki sedikit serabut sehingga konstraksi yang dihasilkan sangat
lemah namun kontraksi dari otot ini bekerja sebagai sistem eksitatorik yang mengatur
denyut jantung yang berirama. Otot jantung menerima oksigen hingga nutrisi melalui
percabangan aorta, yaitu arteri coroner (Guyton, 2007).
Otot jantung dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis (saraf vagus). Saraf
vagus dominan mempersarafi otot atrium, terutama nodus SA dan AV, sedangkan saraf
simpatis dominan berada pada otot ventrikel. Kedua saraf ini bekerja berlawaman,
dimana saraf simpatis meningkatkan denyut jantung dan kontraksi otot sedangkan saraf
parasimpatis bekerja sebaliknya (Guyton, 2007).
Jantung memiliki empat ruang, yaitu dua atrium dan dua ventrikel. Atrium kanan
terletak pada sisi anterior jantung dan berfungsi memompa darah ke arteri pulmonalis.
Atrium kiri terletak di sisi kiri jantung berbetuk persegi tidak beraturan dan berfungsi
memompa darah ke ventrikel kiri. Kedua atrium ini dipisahkan oleh dinding yang disebut
septum interartrial. Ventrikel kiri memiliki dinding yang tiga kali lebih tebal dibanding
ventrikel kanan. Kedua ventrikel ini dipisahkan oleh dinding yang disebut septum
intervertricular (Scanlon, 2007).
2
3
Atrium kanan menerima darah dari vena cava superior dan inferior dan akan
mempompa darah tersebut ke ventrikel kanan melalui katup tricuspid (katup
anteriorventricular). Ventrikel kanan yang menerima darah dari atrium kanan akan
memompa darah tersebut ke paru-paru melalui arteri pulmonal, yang dihubungkan oleh
katup semilunar pulmonal. Darah yang berasal dari paru-paru akan masuk ke atrium kiri
melalui vena pulmonal. Darah ini akan masuk ke ventrikel kiri melalui katup bicuspid
(katup mitral). Ventrikel kiri lalu memompa darah ke aorta untuk dialirkan ke seluruh
tubuh melalui katup semilunar aorta (Scanlon, 2007).
Pembuluh darah arteri pada jantung disebut arteri koroner yang terbagi dalam
arteri koroner kiri dan kanan. Arteri koroner kanan bercabang dari sinus aorta ascending,
kemudian hampir secara vertical berada pada antrioventrikular kanan hingga kebagian
inferior yang nantinya akan mengarah ke posterior untuk beranastomosis dengan arteri
pada sisi posterior. Arteri koroner kiri berasal dari sinus aorta posterior, yang merupakan
arteri yang menyuplai sebagain besar bagian pada jantung baik atrium kiri, ventrikel kiri,
hingga septum. Arteri koroner kiri biasanya memiliki ukuran yang lebih besar disbanding
arteri koroner kanan. Arteri ini akan bercabang menjadi anterior interventricular dan
circumplex.
4
pada vetrikel kanan, darah yang berasal dari atrium kanan dipompa menuju arteri
pulmonal menuju paru-paru dan pada ventrikel kiri darah yang berasal dari atrium kiri
akan di pompa menuju aorta untuk diteruskan ke seluruh tubuh (Guyton, 2007).
C. Patologi Organ Jantung (Penyakit Jantung Koroner)
Mekanisme patofisiologis yang mendasari penyakit ini dimulai dengan proses
aterosklerosis, yang berkembang selama beberapa dekade sebelum kejadian akut.
Aterosklerosis dapat digambarkan sebagai keadaan inflamasi derajat rendah dari intima
(lapisan dalam) arteri berukuran sedang yang dipercepat oleh faktor-faktor risiko seperti
tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, merokok, diabetes, dan genetika. Dalam kasus
aterosklerosis koroner, perkembangan yang lambat ini mengarah ke penebalan bertahap
dari lapisan dalam arteri koroner, yang dari waktu ke waktu dapat mempersempit lumen
arteri (Wang, 2004).
Diabetes adalah faktor risiko utama untuk pengembangan Coronary Artery
Disease (CAD) dengan insiden Infark Miokard yang lebih tinggi pada pasien dengan DM
dari pada mereka yang tidak (Fuller, 2012). Setelah infark miokard, pasien diabetes
memiliki tingkat morbiditas, mortalitas dan infarksi yang lebih tinggi daripada non-
diabetes, dengan angka kematian satu tahun hampir 50%. Meskipun patofisiologi yang
tepat dari perkembangan CAD pada pasien dengan DM belum ditentukan, studi terbaru
menunjukkan bahwa proses aterosklerotik yang mendasarinya serupa antara mereka
dengan dan tanpa DM. Diperkirakan bahwa insiden infark miokard yang lebih tinggi pada
pasien dengan DM disebabkan peningkatan koagulabilitas (William,2003). Banyak
penelitian telah menemukan bahwa penderita diabetes telah meningkatkan ekspresi
reseptor glikoprotein IIB/IIIA dan vWF, yang bertanggung jawab untuk aktivasi platelet
(Vinik, 2001). Pasien dengan DM juga mengalami peningkatan inhibitor aktivator
plasminogen tipe 1 yang dapat menurunkan fibrinolisis, meningkatkan pembentukan
trombus dan mempercepat pembentukan plak (Sobel dkk, 2013). Akhirnya, pasien
diabetes juga cenderung mengalami penurunan anti-koagulan yang bersirkulasi seperti
protein c dan antithrombin III karena sebagian besar proteinuria hadir dengan DM. Secara
kolektif, faktor-faktor ini menempatkan pasien dengan DM dalam keadaan prothrombotik
dan prokoagulan, yang dapat menjelaskan tingkat infark miokard yang lebih tinggi
terlihat pada pasien diabetes (Haffner, 2000).
6
Iskemia miokard yang diam juga dapat berkontribusi pada tingkat infark miokard
yang lebih tinggi pada pasien diabetes. Iskemia dan angina selanjutnya sering berfungsi
sebagai sistem peringatan dini untuk pasien yang mengalami CAD obstruktif (Boras,
2010). Namun, orang-orang dengan iskemia bisu sering asimptomatik dan didiagnosis
kemudian menjadi perkembangan CAD, yang dikaitkan dengan tingkat mortalitas dan
morbiditas terkait MI yang lebih tinggi (Wackers, 2004). Iskemia diam jauh lebih umum
pada pasien dengan DM (10% -20%) dibandingkan mereka yang tidak DM (1% -4%)
(Fazzini,2014). Perbedaan ini mungkin bertanggung jawab untuk pengamatan yang
terlihat dalam beberapa studi angiografi di mana CAD biasanya lebih maju pada saat
diagnosis pada pasien diabetes (Koistinen, 2000). Neuropati diabetes adalah salah satu
faktor yang dapat menjelaskan peningkatan kejadian iskemia diam pada pasien dengan
DM (O’Brien, 1986).
Manifestasi klinis CAD yang klasik adalah angina pektoris ialah suatu sindroma
klinis dimana didapatkan nyeri dada yang timbul pada waktu melakukan aktifitas karena
adanya iskemik miorkard. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi >70% penyempitan
pembuluh darah koronaria. Keadaan ini bisa bertambah menjadi lebih berat dan
menimbulkan sindroma koroner akut (SKA) atau yang dikenal sebagai serangan jantung
mendadak. Sindrom koroner akut ini biasanya berupa nyeri seperti tertekan benda
berat,rasa tercekik, ditinju, ditikam, diremas, atau rasa seperti terbakar pada dada.
Umumnya rasa nyeri dirasakan dibelakang tulang dada (sternum) disebelah kiri yang
menyebar ke seluruh dada. Rasa nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu,
7
punggung dan lengan kiri. Keluhan lain dapat berupa rasa nyeri atau tidak nyaman di ulu
hati yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan. Sebagian kasus disertai mual dan muntah,
disertai sesak nafas, banyak berkeringat, bahkan kesadaran menurun (Agrina, 2016).
BAB III
MANAJEMEN FISIOTERAPI
8
9
.
4) Warna kulit tampak normal.
b. Inspeksi Dinamis
1) Gait analysis abnormal (bnatuan maksimal di kursi roda)
c. Palpasi
Tabel 3.1. Hasil Pemeriksaan Palpasi
Karakteristik Dekstra Sinistra
Suhu Normal Normal
Oedem (+) (-)
Kontur kulit Hypotonus ekstremity Elastis
Tenderness (-) (+)
Sumber: Data Primer, 2019
d. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar (PFGD)
Tabel 3.2. Hasil Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar Regio shoulder
Gerakan PFGD Aktif PFGD Pasif TIMT
Dex sins dex sinst dex Sins
Flexi Tidak Full Tidak DBN, Tidak Mampu
full ROM Full elastic mampu
ROM ROM endfeel
Ekstensi Tidak Full Tidak DBN, Tidak Mampu
full ROM Full elastic mampu
ROM ROM endfeel
abduksi Tidak Full Tidak DBN, Tidak Mampu
full ROM Full elastic mampu
ROM ROM endfeel
Adduksi Tidak Full Tidak DBN, Tidak Mampu
full ROM Full elastic mampu
ROM ROM endfeel
Eksorotasi Tidak Full Tidak DBN, Tidak Mampu
full ROM Full elastic mampu
ROM ROM endfeel
Endorotasi Tidak Full Tidak DBN, Tidak Mampu
full ROM Full elastic mampu
ROM ROM endfeel
2. Tes Palpasi
a. Kontur kulit : DBN
3. MMT
a. Ekstremitas Superior dekstra : 3
b. Ekstremitas Inferior dekstra : 3
c. Ekstremitas superior sinistra : 5
d. Ekstremitas inferior sinistra : 5
4. Tes kordniasi
Hasil :
5. Tes sensorik
Hasil : DBN
6. Bridging Test
Hasil : Tidak mampu
7. METs Test
Hasil : 3
IP : Berbaring balik kiri kanan
8. Barthel’s Index
Hasil : 0-20
IP : Ketergantungan penuh
9. New York Heart Assossiation (NYHA)
Hasil : III
IP : Dispnea terjadi ketika melakukan aktivitas fisik namun
hilang ketika beristirahat.
10. Killip’s
Hasil : I
IP : Terdapat tanda-tanda dekompensasi jantung.
11. Borg Scale
Hasil : 3
IP : Sedang.
12. HRS-A
13
Hasil : 30
IP : Kecemasan berat
13. Radiologi
a. Fungsi sistolik ventrikel kiri dan ventrikel kanan baik.
b. Hipertrofi ventrikel kiri konsentrik.
c. Disfungsi diastolik ventrikel kiri derajat ringan.
B. Diagnosis Fisioterapi
Adapun diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses pengukuran
dan pemeriksaan tersebut, yaitu : “Gangguan aktivitas fungsional ekstremitas superior
dan inferior, berupamuscle weeknes, keterbatasn ROM, gangguan postur, ganggual
ADL complex dan cardiovascular et cause Hemiparise, dan coronary artery disease
sejak empat tahun yang lalu”.
C. Problem, Planning, dan Program Fisioterapi
Adapun problem dan planning yang dapat diuraikan berdasarkan hasil proses
pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu:
1. Problem Fisioterapi
a. Problem Primer
1) hemiparise.
2) Cardiovascular.
b. Problem Sekunder
1) Kecemasan.
2) Muscle weekness ekstremitas superior dan inferior .
3) Keterbatasan ROM
4) Gangguan postur
c. Problem Kompleks
Gangguan activity daily living (ADL), yaitu transfer (duduk-berdiri-
berjalan,makan, dan self care).
14
2. Planning Fisioterapi
a. Tujuan Jangka Pendek
1) Mengurangi kecemasan pasien.
2) Meningktkan kekuatan otot
3) Menambah ROM..
4) Mengurangi gangguan postur (hipolordotik lumbal).
5) Mengurangi risiko gangguan pernapasan.
b. Tujuan Jangka Panjang
Mengembalikan kemampuan activity daily living, yaitu transfer (duduk-
berdiri-berjalan, makan dan self care).
3. Program Fisioterapi
Tabel 3.4. Program Intervensi Fisioterapi
Sumber: Data Primer, 2019
T = bridging + aproximasi
T = 2 menit
Sexercise theraphy F = 1 x sehari
I = 3x rep 8 hit
T = strengthening m Quadriceps +
MMBTS
T = 2 menit
Koreksi postur Exercise theraphy T = 1 x sehari
I = 3x rep 8 hit
T = bugnet miring
T = 2 menit
Gangguan ADL Exercise Therapy F = 1 x sehari
I = 3x rep 8 hit
T = PNF exc. T = 3 menit
T = 2 menit
2. Evaluasi Fisioterapi
Tabel 3.5. Hasil Evaluasi Sesaat Pemeriksaan Fisioterapi
Evaluasi Sesaat
Problem
No. Parameter Kategori Sebelum Setelah Interpretasi
Ft
intervensi intervensi
1. Nyeri VAS Nyeri Diam 0 0 Terjadi
menjalar Nyeri Tekan 7 5 penurunan pada
Nyeri Gerak 5 5 nyeri tekan.
2. Kapasitas Vital sign Tekanan Darah 120/80 120/80 (-)
fungsi mmHg mmHg
jantung
Denyut Nadi 64 kali/menit 72 kali/menit Indikasi
68 kali/menit dekompensasi
60 kali/menit jantung.
NYHA (-) II II
Tidak ada
Killip’s (-) II II
perubahan.
Borg scale (-) 3 3
Sumber: Data Primer, 2019
E. Modifikasi Fisioterapi
Modifikasi program intervesni fisioterapi disesuaikan dengan hasil evaluasi yang
didapatkan dari perkembangan hasil terapi yang dicapai oleh pasien. Modifikasi dapat
berupa peningkatan dosis atau modifikasi jenis latihan.
F. Kemitraan
Melakukan kemitraan dalam rangka memberikan layanan prima kepada pasien,
diantaranya dengan dokter spesialis saraf, dokter spesialis jantung, dokter spesialis
radiologi, dan ahli gizi.
DAFTAR PUSTAKA
Agrina, T. 2016. Hubungan Antara Asupan Lemak Dengan Profil Lipid Pada Pasien
Penyakit Jantung Koroner. Universitas Diponegoro: Semarang.
Aras D. 2013. Buku Ajar Proses dan Pengukuran Fisioterapi. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. p.134-142
Boras J, Brkljačić N, Ljubičić A, Ljubić S. 2010. Silent ischemia and diabetes
mellitus. Diabetologia Croatica. 39: 57–65.
Feriyawati, L. 2006. Coronary artery bypass grafting (CABG) dengan Menggunakan
Vena Saphenous, Arteri Mammaria Interna dan Arteri Radialis. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara: Medan.
Fazzini PF, Prati PL, Rovelli F, Antoniucci D, Menghini F, Seccareccia F, Menotti A.
2014. Epidemiology of silent myocardial ischemia in asymptomatic middle-aged men
(the ECCIS Project) Am J Cardiol. 72: 1383–1388.
Fuller JH, Shipley MJ, Rose G, Jarrett RJ, Keen H. 2012. Mortality from coronary heart
disease and stroke in relation to degree of glycaemia: the Whitehall study. Br Med J
(Clin Res Ed). 287: 867–870.
Goodman CC, Smirnova IV. 2009. The Cardiovaskular System in Patology: Implication
for the Physical Therapy 3rd edition. Philadepia: Elsevier. p. 567- 576
Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. p. 271-279
Haffner SM. 2000. Coronary heart disease in patients with diabetes. N Engl J Med. 342:
1040–1042
Hough A. 2001. Physiotherapy in Respiratory Care
Jardins TD. 2002. Cardiopulmonary Anatomy & Physiology Essentials for Respiratory
Care Fourth Edition. Delmar: Thomson Learning. p. 349-356
Kaya K, Cavolli R, Telli A, Soya MFT; Aslan A; Gokaslan G, et al. 2010. Off-pump
Versus on-Pump Coronary Artery Bypass Grafting in Acute Coronary Syndrome: a
Clinical Analysis. Journal of Cardiothoracic Surgery. 5:31
Koistinen MJ. 2000. Prevalence of asymptomatic myocardial ischaemia in diabetic
subjects. BMJ. 301: 92–95.
Nurse at PJHNK Indonesia. Tentang operasi bypass/ CABG [internet]. 2011 [update
2011 Mei 3; cited 2014 Jan 30]. Available from:
http://askepjurnalkeperawatan.blogspot.com/2011/05/tentang-
operasibypasscabg.html.
17
18
O’Brien IA, O’Hare JP, Lewin IG, Corrall RJ. 1986. The prevalence of autonomic
neuropathy in insulin-dependent diabetes mellitus: a controlled study based on heart
rate variability. Q J Med. 61: 957–967.
Parello-Diez M, Paz-Lourido B. 2018. Prevention of Postoperative Pulmonary
Complication Through Preoperative Physiotherapy Interventions in Patients
Undergoing Coronary Artery Bypass Graft: Literature Review. J Phys Ther Sci. 30:
1034-1038
Price, Wilson. 2006. Patofisiologi Vol 2: Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.
Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehatan RI.
Scanlon VC, Sanders T. 2007. Essential of Anatomy and Physiology Fifth Edition.
Philadelphia: F.A. Davis Company. p. 273-286
Snell RS. Clinical Anatomy by Region Edition 9. China: Wolter Kluwer. p. 86-88
Sobel BE, Woodcock-Mitchell J, Schneider DJ, Holt RE, Marutsuka K, Gold
H. 2013.Increased plasminogen activator inhibitor type 1 in coronary artery
atherectomy specimens from type 2 diabetic compared with nondiabetic patients: a
potential factor predisposing to thrombosis and its persistence. Circulation. 97: 2213–
2221.
Vinik AI, Erbas T, Park TS, Nolan R, Pittenger GL. 2001. Platelet dysfunction in type 2
diabetes. Diabetes Care. 24: 1476–1485.
Wackers FJ, Young LH, Inzucchi SE, Chyun DA, Davey JA, Barrett EJ, Taillefer R,
Wittlin SD, Heller GV, Filipchuk N, et al. 2004. Detection of silent myocardial
ischemia in asymptomatic diabetic subjects: the DIAD study. Diabetes Care. 27:
1954–1961.
Wang JC, Lise S, Normand T, Mauri L, Kuntz RE. 2004. Coronary artery spatial
distribution of acute myocardial infarction occlusions. Circulation.110: 278–84.
Williams IL, Noronha B, Zaman AG. 2003. Review: The management of acute
myocardial infarction in patients with diabetes mellitus. BJDVD. 3: 319–324
Woods, Susan, et.al. 2005. Cardiac Nursing, edisi 5, philadelphia, A Wolters Kluwer
Company, Lippincott Williams & Wilkins.