Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

Makalah ini dibuat untuk melengkapi persyaratan kepaniteraan klinik

SMF KARDIOLOGI RSUD Drs. H. Amri Tambunan

Pembimbing :

dr. Yunny Safitri,M.Ked (Cardio), Sp.JP

Disusun Oleh :
Nadia Khoiriyah (2208320087)
Muhammad Budi Aulia (2208320090)
Azzura Sufina Ginting (2208320094)
Muhammad Raka Zaelani Saragih (2208320105)
Sukma Khairunisa (2208320086)

SMF KARDIOLOGI

RSUD Drs. H. Amri Tambunan

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

MEDAN

2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
karuania-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat waktu.

Tulisan ini untuk melengkapi tugas persyaratan kepaniteraan klinik stase (KKS) Kardiologi
RSUD Drs. H. Amri Tambunan, selain itu tulisan ini juga bertujuan agar pembaca dapat
mengetahui dan memahami secara jelas mengenai Congestive Heart Failure. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan
baik tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari beberapa pihak. Penulis sampaikan ucapan
terimakasih kepada:

1. dr. Yunny Safitri, M.Ked (Cardio), Sp.JP selaku pembimbing selama di stase
Kardiologi RSUD Drs. H. Amri Tambunan

2. seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan ini

Demikian tugas ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan tulisan ini.

Medan, 27 Juni 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

LAPORAN KASUS............................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 4
1.2. Latar Belakang .................................................................................................... 4
BAB II LANDASAN TEORI .............................................................................................. 5
2.1 Anatomi Jantung ................................................................................................. 5
2.2 Definisi ............................................................................................................... 8
2.3 Klassifikasi .......................................................................................................... 8
2.4 Etiologi ............................................................................................................... 9
2.5 Patofisiologi ...................................................................................................... 10
2.6 Cara Menegakkan Diagnosis ............................................................................. 12
2.7 Tatalaksana ....................................................................................................... 20
2.8 Diagnosa Banding ............................................................................................. 25
2.9 Komplikasi ........................................................................................................ 26
2.10 Prognosis ........................................................................................................... 26
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................................ 27
3.1 Status Pasien ..................................................................................................... 27
3.2 Anamnesis Pasien .............................................................................................. 27
3.3 Pemeriksaan Fisik.............................................................................................. 27
3.4 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................... 29
3.5 Diagnosis .......................................................................................................... 33
BAB IVKESIMPULAN .................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 36

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.2. Latar Belakang


Congestive Heart Failure (CHF) atau yang biasa disebut dengan gagal jantung
merupakan sindrom klinis yang bersifat kompleks akibat adanya gangguan fungsi
jantung. Gagal jantung menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dengan tingkat
morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi, yaitu dengan prevalensi sekitar 26 juta
orang di seluruh dunia. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2016
menunjukkan pada tahun 2015 terdapat 23 juta atau sekitar 54% kematian yang
disebabkan oleh CHF. Di Indonesia prevalensi CHF pada tahun 2016 sebesar 0,3% dari
total jumlah penduduk di Indonesia.
WHO menggambarkan bahwa meningkatnya jumlah penyakit gagal jantung di dunia,
termasuk di Asia diakibatkan oleh meningkatnya angka perokok, dislipidemia, tingkat
obesitas, diabetes serta seiring dengan bertambahnya usia. Menurut studi Framingham,
insiden tahunan pada laki–laki dengan gagal jantung (per 1000 kejadian) meningkat dari 3
pada usia 50 - 59 tahun menjadi 27 pada usia 80 – 89 tahun, sedangkan pada wanita
memiliki insiden gagal jantung yang relatif lebih rendah dibandingkan laki–laki (wanita
sepertiga lebih rendah).
Congestive heart failure disebabkan oleh kelainan fungsional jantung, kelainan
struktur jantung dan sebagian besar kasus disebabkan oleh penyakit arteri koroner dan
infark miokard. Seiring waktu berjalan, penyakit arteri koroner dan diabetes melitus telah
menjadi faktor predisposisi utama gagal jantung. Penyebab struktural lain dari CHF
termasuk hipertensi, penyakit katup jantung, aritmia yang tidak terkontrol, miokarditis
dan penyakit jantung bawaan.
Secara klinis gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks umumnya
dibagi menjadi kategori struktural atau fungsional dimana seseorang memilki gejala
berupa sesak nafas saat istirahat atau aktivitas, kelelahan, edema tungkai, takikardi serta
takipneu. Gagal jantung dapat menurunkan kapasitas fungsional pasien dan meningkatkan
risiko kematian pasien. Sangat penting untuk mendiagnosis dan mengobati pasien secara
efektif guna meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan hasil pasien.

4
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Anatomi Jantung


a. Anatomi

Gambar 2.1 Anatomi jantung ( Anatomi Fisiologi, Guyton)


Jantung merupakan sebuah organ yang terdiri dari otot jantung. Otot jantung
merupakan jaringan istimewa karena dilihat dari bentuk dan susunannya sama
dengan otot serat lintang dan cara kerjanya menyerupai otot polos.
1) Bentuk
Jantung berbentuk seperti jantung pisang. Bagian atasnya tumpul dan disebut
basis kordis dan bagian bawah agak runcing disebut apiks kordis.
2) Letak
Jantung terletak di dalam rongga dada sebelah depan (kavum mediastinum
anterior), di sebelah kiri bawah dari pertengahan rongga dada, di atas
diafragma dan pangkalnya terdapat di sebelah kiri antara kosta V dan VI dua
jari dari papilla mamae.
3) Ukuran
Lebih kurang sebesar genggaman tangan kanan dan beratnya kira-kira 250-
300 gram.

5
6

4) Pergerakkan Jantung
Jantung dapat bergerak mengembang dan menguncup karena adanya
rangsangan yang berasal dari syaraf otonom. Dalam kerjanya jantung
mempunyai 3 periode :
a) Periode Kontriksi (Periode Sistol)
Suatu keadaan di mana jantung bagian vertikal dalam keadaan menguncup
b) Periode Dilatasi (Periode Distol)
Suatu keadaan di mana jantung mengembang
c) Periode Istirahat
Waktu antara kontriksi dan dilatasi di mana jantung berhenti +1/10 detik.
5) Siklus Jantung
Merupakan kejadian yang terjadi dalam jaringan selama peredaran darah.
Gerakan jantung terdiri dari dua jenis yaitu kontriksi dan pengenduran.
Kontriksi dari kedua atrium terjadi secara serentak yang disebut diatol atrial.
Lama kontriksi vertikal + 0,3 detik dan tahap pengenduran selama 0,5 detik.
Kontraksi atrium pendek kontraksi vertikal lebih lama dan kuat daya dorong
vertikal kiri terus lebih kuat karena harus mendorong darah keseluruhan tubuh
untuk mempertahankan keadaan sistolik.
6) Bunyi Jantung
Merupakan pukulan vertikal kiri terhadap dinding arterior yang terjadi selama
kontriksi vertikal dan debaran ini dapat diraba dan sering terlihat pada ruang
interkostalis kelima kira-kira 4 cm dari garis sternum.
7) Kerja Jantung
Jantung disyarafi oleh nervus simpatikus dan nervus akseleratis, untuk
menggiatkan kerja jantung dan nervus parasimpatikus, khususnya cabang
nervus vagus yang bekerja memperlambat kerja jantung. Mengembang dan
menguncupnya jantung disebabkan oleh karena adanya rangsangan yang
berasal dari susunan saraf otonom. Rangsangan ini diterima oleh jantung pada
simpul saraf yang terdapat pada atrium dekstra dekat masuknya vena kava
yang disebut nodus SA. Kemudian rangsangan akan diteruskan ke dinding
atrium dan juga ke bagian septum cordis untuk nodus atrium ventrikuler atau
7

simpul tawara melalui berkas wenkebech. Dari simpul tawara rangsangan akan
melalui berkas his dan seterusnya diteruskan ke apeks cordis melalui berkas
purkinye, dan kemudian disebarkan ke seluruh dinding ventrikel. Dengan
demikian jantung dapat berkontraksi.

b. Fisiologi
Jantung adalah organ yang mensirkulasi dan memompa darah
teroksigenasi ke paru-paru untuk pertukaran gas. Sirkulasi darah di jantung
ada dua yaitu peredaran darah kecil dan peredaran darah besar. Darah dari
seluruh tubuh dibawa ke jantung melalui vena kava superior dan inferior.
Vena ini mengalirkan darah ke atrium dekstra. Darah ini melalui katup
trichuspidalis pulmonalis, darah dipompakan ke paru-paru.
Setelah di paru-paru, terjadi proses difusi, darah yang teroksigenasi
mengalir ke atrium kiri melalui vena purmonalis. Kemudian dengan melalui
katup mitral, darah mengalir ke ventrikel kiri, dan dipompakan ke aorta
melalui valvula semilunaris aorta, untuk sirkulasi koroner dan sistemik di
mana darah yang teroksigenasi di bawah ke seluruh tubuh.

Jantung dalam melaksanakan kerjanya dipersyarafi oleh :


1) Nervus simpatikus / nervus akselerantis, untuk menggiatkan kerja jantung
8

2) Nervus para simpatikus, khususnya cabang dari nervus vagus yang bekerja
memperlambat kerja jantung.
Sistem kardiovaskuler ini terdiri dari tiga bagian yang saling
mempengaruhi yaitu: jantung (untuk memompa), pembuluh darah
(mengedarkan atau mengalirkan), dan darah (menyimpan dan mengatur),
interaksi antara ketiganya akan mempertahankan keseimbangan dinamis
oksigen dalam sel-sel.

2.2 Definisi
Gagal jantung adalah sindrom klinis kompleks di mana jantung tidak dapat
memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Dimana terjadi kerusakan
pada pengisian ventrikel atau ejeksi darah ke sirkulasi sistemik. Gagal jantung adalah
sindrom klinis kompleks yang dihasilkan dari kelainan fungsional atau struktural
jantung yang mengganggu pengisian atau pengeluaran ventrikel dari darah ke
sirkulasi sistemik. Gagal jantung tetap menjadi gangguan yang sangat lazim di seluruh
dunia dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Prevalensinya
diperkirakan 26 juta orang di seluruh dunia dan berkontribusi terhadap peningkatan
biaya perawatan kesehatan di seluruh dunia.

2.3 Klassifikasi
Klasifikasi gagal jantung dapat di bagi melalui dua kategori yaitu kelainan
struktural jantung dan berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional
menurut New York Heart Association (NYHA).
Gagal jantung akibat disfungsi ventrikel kiri dikategorikan menjadi gagal jantung
dengan fraksi ejeksi yang berkurang (HFrEF), gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang
diawetkan (HFpEF), dan gagal jantung dengan fraksi ejeksi menengah (HFmrEF).
9

Tabel 2.1 Klasifikasi gagal jantung

2.4 Etiologi
Gagal jantung kongestif disebabkan oleh kelainan struktur jantung, kelainan
fungsional, dan faktor pemicu lainnya. Sebagian besar kasus disebabkan oleh
penyakit arteri koroner dan infark miokard. Seiring waktu, penyakit arteri koroner
dan diabetes melitus telah menjadi faktor predisposisi utama gagal jantung.
Penyebab struktural lain dari gagal jantung kongestif (CHF) termasuk hipertensi,
penyakit katup jantung, aritmia yang tidak terkontrol, miokarditis, dan penyakit
jantung bawaan.
Penting untuk mengidentifikasi etiologi gagal jantung dekompensasi, karena
mereka berkontribusi pada sebagian besar morbiditas dan mortalitas yang terkait
dengan penyakit ini. Penyebab paling umum dari gagal jantung kongestif
dekompensasi adalah terapi obat yang tidak tepat, pembatasan diet natrium, dan
penurunan aktivitas fisik. Hipertensi yang tidak terkontrol adalah penyebab paling
umum kedua dari gagal jantung dekompensasi. Takiaritmia yang tidak terkontrol
10

pada pasien dengan gagal jantung kongestif dapat segera menyebabkan eksaserbasi
CHF. Penyakit arteri koroner adalah fenomena multifaktorial.
Faktor etiologi dapat dikategorikan secara luas menjadi faktor yang tidak
dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat
dimodifikasi meliputi jenis kelamin, usia, riwayat keluarga, dan genetika Faktor
risiko yang dapat dimodifikasi termasuk merokok, obesitas, kadar lipid, dan variabel
psikososial. Merokok tetap menjadi penyebab nomor satu penyakit kardiovaskular.
Jenis kelamin laki-laki lebih cenderung daripada jenis kelamin perempuan.
Hiperkolesterolemia tetap merupakan faktor risiko penting yang dapat dimodifikasi
untuk CAD. Peningkatan lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkatkan risiko
CAD dan peningkatan lipoprotein densitas tinggi (HDL) menurunkan kejadian
CAD.

2.5 Patofisiologi

Pada tahap awal gagal jantung kongestif, fisiologi jantung berusaha beradaptasi
melalui beberapa mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dan
memenuhi kebutuhan sistemik. Ini termasuk mekanisme Frank-Starling, perubahan
regenerasi miosit, hipertrofi miokard, dan hiperkontraktilitas miokard. Dengan meningkatnya
tekanan dinding, miokardium berusaha untuk mengkompensasi melalui remodeling eksentrik,
yang selanjutnya memperburuk kondisi beban dan tekanan dinding. Penurunan curah jantung
merangsang sistem neuroendokrin dengan pelepasan epinefrin, norepinefrin, endotelin-1 (ET-
11

1), dan vasopresin. Mereka menyebabkan vasokonstriksi yang menyebabkan peningkatan


afterload. Terjadi peningkatan cyclic adenosine monophosphate (cAMP), yang menyebabkan
peningkatan kalsium sitosol di miosit. Hal ini meningkatkan kontraktilitas miokard dan
selanjutnya mencegah relaksasi miokard.
Peningkatan afterload dan kontraktilitas miokard dengan gangguan relaksasi miokard
menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kebutuhan paradoks untuk
peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan miokard ini akhirnya menyebabkan
kematian sel miokard dan apoptosis. Ketika apoptosis berlanjut, penurunan curah jantung
dengan peningkatan permintaan menyebabkan siklus peningkatan stimulasi neurohumoral
dan respon hemodinamik dan miokard yang maladaptive.
Penurunan curah jantung juga merangsang sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAAS), yang menyebabkan peningkatan retensi garam dan air, bersamaan dengan
peningkatan vasokonstriksi. Ini semakin memicu mekanisme maladaptif di jantung dan
menyebabkan gagal jantung progresif. Selain itu, sistem RAAS melepaskan angiotensin II,
yang telah terbukti meningkatkan hipertrofi seluler miokard dan fibrosis interstisial. Fungsi
angiotensin II yang maladaptif ini telah terbukti meningkatkan remodeling miokard Pada
HFpEF, terjadi penurunan relaksasi miokard dan peningkatan kekakuan ventrikel akibat
peningkatan afterload ventrikel. Ini menjadikan kompensasi hemodinamik maladaptif yang
serupa dan menyebabkan gagal jantung progresif. menurunkan kejadian CAD. Plak adalah
penumpukan bahan lemak yang mempersempit lumen pembuluh darahdan menghambat
aliran darah. Langkah pertama dalam proses ini adalah pembentukan "garis lemak". Fatty
streak dibentuk oleh deposisi subendotel dari makrofag sarat lipid, juga disebut sel busa.
Ketika gangguan vaskular terjadi, lapisan intima pecah, dan monosit bermigrasi ke ruang
subendotel di mana mereka menjadi makrofag. Makrofag ini mengambil partikel low-density
lipoprotein (LDL) teroksidasi, dan sel busa terbentuk. Sel T diaktifkan, yang melepaskan
sitokin hanya untuk membantu proses patologis. Faktor pertumbuhan yang dilepaskan
mengaktifkan otot polos, yang juga mengambil partikel LDL teroksidasi dan kolagen dan
menumpuk bersama dengan makrofag aktif dan meningkatkan populasi sel busa. Proses ini
mengarah pada pembentukan plak subendote.
Seiring waktu, plak ini dapat bertambah besar atau menjadi stabil jika tidak terjadi
kerusakan lebih lanjut pada endotelium. Jika menjadi stabil, penutup berserat akan terbentuk,
dan lesi akan menjadi kalsifikasi seiring waktu. Seiring berjalannya waktu, lesi dapat menjadi
12

cukup signifikan secara hemodinamik sehingga tidak cukup darah yang mencapai jaringan
miokard pada saat permintaan meningkat, dan gejala angina akan terjadi. Namun, gejala akan
mereda saat istirahat karena kebutuhan oksigen turun. Agar lesi menyebabkan angina saat
istirahat, lesi tersebut harus setidaknya 90% stenosis. Beberapa plak dapat pecah dan
menyebabkan paparan faktor jaringan, yang berujung pada trombosis. Trombosis ini dapat
menyebabkan oklusi subtotal atau total lumen dan dapat mengakibatkan perkembangan
sindrom koroner akut (ACS) dalam bentuk angina tidak stabil, NSTEMI, atau STEMI,
tergantung pada tingkat kerusakannya.

2.6 Cara Menegakkan Diagnosis


Dalam menegakkan diagnosa gagal jantung berdasarkan gejala, penilaian klinis, serta
pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, laboratorium dan ekokardiografi.
Gejala yang paling sering dilaporkan adalah sesak napas. Sesak napas harus
diklasifikasikan lebih lanjut untuk menentukan apakah itu terkait dengan aktivitas,
perubahan posisi (ortopnea), dan apakah itu akut atau kronis. Gejala gagal jantung lainnya
yang sering dilaporkan termasuk nyeri dada, jantung berdebar, anoreksia, dan kelelahan.
Beberapa pasien mungkin datang dengan batuk telentang yang mungkin disebabkan oleh
ortopnea. Penampilan umum pasien dengan gagal jantung kronis yang parah atau gagal
jantung dekompensasi akut akan mencakup kecemasan, diaphoresis, dan status gizi yang
buruk. Mengi dapat terjadi pada gagal jantung dekompensasi akut. Ketika tingkat
keparahan kongesti paru meningkat, sputum berbusa dan bercampur darah dapat terlihat.
Penting untuk dicatat bahwa tidak adanya rales tidak menyingkirkan kongesti paru.
Distensi vena jugularis adalah temuan klasik lain yang harus dinilai pada semua pasien
gagal jantung.
Peningkatan paradoks di distensi vena jugularis dengan respirasi (tanda Kussmaul)
dapat terlihat. Pada pasien dengan tekanan pengisian sisi kiri yang tinggi, refluks
hepatojugular (distensi vena jugularis setelah menekan hati dengan pasien berbaring pada
sudut 45°) akan terlihat. Edema perifer terjadi pada gagal jantung berat dan akan terlihat
jika terjadi kelebihan beban volume yang substansial. Temuan jantung pada pasien gagal
jantung termasuk S3 gallop, pulsus alternans, dan aksentuasi P2. Gallop S3 adalah
13

temuan paling signifikan dan awal yang terkait dengan HF. Pada kardiomiopati dilatasi
dekompensasi, bising regurgitasi mitral dan trikuspid akan terlihat.
Kriteria Diagnostik Framingham untuk Gagal Jantung :
Kriteria Diagnostik Framingham untuk Gagal Jantung yang umum digunakan
memerlukan adanya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor untuk
membuat diagnosis gagal jantung. Alat diagnostik ini sangat sensitif untuk diagnosis gagal
jantung namun memiliki spesifisitas yang relatif rendah. Kriteria Diagnostik Framingham
adalah sebagai berikut :
Kriteria Mayor
a. Edema paru akut
b. Kardiomegali
c. Refleks hepatojugular
d. Distensi vena leher
e. Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
f. Rhonki paru
g. Bunyi jantung ketiga (S3 Gallop)
h. Penurunan berat badan 4,5 kg atau lebih dalam 5 hari sebagai respons
terhadap pengobatan
i. Tekanan vena sentral lebih besar dari 16 cm H2O
j. kardiomegali radiografi

Kriteria Minor
a. Edema pergelangan kaki
b. Dispnea saat beraktivitas
c. Hepatomegali
d. Batuk nokturnal
e. Efusi pleura
f. Takikardia (denyut jantung lebih dari 120 denyut per menit)
g. Penurunan kapasitas vital sebesar sepertiga dari nilai maksimal yang tercatat
14

Klasifikasi Fungsional Asosiasi Jantung New York


Berdasarkan gejalanya, pasien dapat diklasifikasikan menggunakan klasifikasi
fungsional New York Heart Association (NYHA) sebagai berikut:
a. Kelas I : Onset gejala dengan tingkat aktivitas yang lebih dari biasanya
b. Kelas II : Onset gejala dengan tingkat aktivitas biasa
c. Kelas III : Onset gejala dengan aktivitas minimal
d. Kelas IIIa : Tidak ada dyspnea saat istirahat
e. Kelas IIIb: Dispnea yang timbul baru-baru ini saat istirahat
f. Kelas IV : Gejala saat istirahat

Teknik Diagnostik
Diagnosis sulit ditegakkan terutama pada fase stadium dini, seperti gejala gagal
jantung yang tidak spesifik dan tidak membantu menyingkirkan dan membedakan antara
gagal jantung dan penyakit lainnya. Pada pasien yang memiliki gejala yang tidak spesifik
atau dengan gejala ringan kurang sensitif sebagai landasan uji diagnostik, namun uji
diagnostik sensitif pada pasien dengan gagal jantung fraksi ejeksi rendah dan kurang sensitif
15

pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal. Pemeriksaan ekokardiografi
merupakan metode evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik yang paling baik.
Elektrokardiogram (EKG)
Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal
jantung. Jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik
sangat kecil (<10%).

Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung Disadur dari
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008
Foto Toraks
Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Foto toraks
dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura, dan dapat mendeteksi penyakit
atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak
ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.
16

Abnormalitas foto toraks yang umum ditemukan pada gagal jantung Disadur
dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer
lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, estimasi laju filtrasi
glomerulus (eGFR), glukosa, tes fungsi hepar, dan urinalisa. Pemeriksaan tambahan lainnya
dipertimbangkan sesuai gambaran klinis.
Peptida Natriuretik
Kadar plasma peptida natriuretik dapat digunakan untuk diagnosis, membuat
keputusan merawat atau memulangkan pasien, serta mengidentifikasin pasien-pasien yang
beresiko mengalami dekompensasi. Kadar peptida natriuretik meningkat sebagai respon
peningkatan tekanan dinding ventrikel. Namun kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi
setelah terapi optimal merupakan indikasi prognosis buruk.
Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran klinis
disertai dengan dugaan sindrom koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin kardiak
sering terjadi pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal jantung pada
penderita tanpa iskemia miokard.
17
18

Abnormalitas pemeriksaan laboratorium yang sering dijumpai pada gagal


jantung. Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure 2008

Ekokardiografi
Ekokardiografi digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasonografi jantung
termasuk pulsed and continuous wave doppler, colour doppler and tissue doppler imaging
(TDI). Konfirmasi gagal jantung atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi
merupakan keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung.
Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara dengan HFREF dan HFPEF.
Diagnosa gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (HPEF/heart failure preserved ejection
fraction).
Ekokardiografi mempunyai peranan penting dalam mendiagnosis gagal jantung
dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria:
1. Terdapat tanda atau gejala gagal jantung
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau sedikit terganggu (fraksi ejeksi > 45-
50%)
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal/kekakuan
diastolik)
4. Peningkatan kadar peptida natriuretic
19

a) Ekokardiografi transesofagus
Direkomendasikan pada pasien dengan ekokardiografi transtorakal tidak adekuat (obesitas,
pasien dengan ventilator), pasien dengan kelainan katup, pasien endokarditis, penyakit
jantung bawaan atau untuk mengeksklusi trombus di left atrial appendage pada pasien
fibrilasi atrium.

b) Ekokardiografi dengan beban


Ekokardiografi dengan beban (dobutamin atau latihan) digunakan untuk mendeteksi disfungsi
ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai viabilitas miokard pada keadaan
hipokinesis atau akinesis berat.
20

Abnormalitas ekokardiografi yang sering dijumpai pada gagal jantung disadur


dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008

2.1 Tatalaksana
a. Tatalaksana Non-Farmakologi
1. Manajemen perawatan mandiri
Manajemen perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan
yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran penting dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna untuk perbaikan
gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas, dan
prognosis.
2. Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien untuk berobat dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas dan
kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20-60% pasien yang taat pada
terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
21

3. Pemantauan berat badan mandiri


Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter.
4. Asupan cairan
Restriksi cairan 900 ml–1,2 liter/hari (sesuai berat badan) dipertimbangkan
terutama pada pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi
cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak
memberikan keuntungan klinis.
5. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala
dan meningkatkan kualitas hidup.
6. Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.
Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka
mortalitas. Jika selama 6 bulan terakhir terjadi kehilangan berat badan >6 % dari
berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan
sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dinilai dengan hati-hati.
7. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah
sakit atau di rumah.

b. Tatalaksana Farmakologi
Berikut golongan obat yang digunakan pada terapi farmakologis gagal
jantung, meliputi: diuretik, ACE-inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), Beta Blocker, Antagonis
Aldosteron, Vasodilator, Glikosida Jantung, Bypiridine, Agonis beta, Natriuretic
Peptide. Obat-obatan golongan diuretik diberikan pada pasien gagal jantung dengan
tanda kongesti (biasanya kelas I atau stadium B). Efek utama dari pemberian diuretik
22

yakni mengurangi tekanan darah dan preload ventrikel. Selain itu, pada pasien gagal
jantung kiri, pemberian diuretik akan membantu mengurangi pembengkakan jantung
sehingga pemompaan lebih efisien.

ACE-inhibitor merupakan terapi lini pertama bagi pasien gagal jantung. Obat
golongan ini harus diberikan pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%.
Mekanisme kerja dari ACE-inhibitor yakni dengan menghambat perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II yang diperantarai oleh ACE (Angiotensin
Converting Enzyme). Dengan begitu, jumlah angiotensin II akan menurun diikuti
dengan jumlah aldosteron. Berkurangnya hormon-hormon tersebut akan mencegah
terjadinya fibrosis miokard, apoptosis miosit, hipertropi jantung, pelepasan
norepinefrin, vasokontriksi, dan retensi cairan. Dengan begitu, ACE-inhibitor
berperan penting dalam mencegah perburukan kondisi jantung yang diperantarai oleh
mekanisme RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System).

Obat-obat ARB bekerja dengan memblok reseptor angiotensin II subtipe 1


(AT1). Sehingga, efek dari angiotensin II akan terhambat. Dampak dari terbloknya
reseptor AT1 yakni vasodilatasi dan terhambatnya perburukan ventrikel. Karena obat
23

ARB tidak menghambat ACE, sehingga tidak mempengaruhi aktivitas bradikinin.


Bradikinin merupakan mediator inflamasi yang dapat menyebabkan batuk. Oleh sebab
itu, ARB biasanya diberikan pada pasien yang tidak toleran terhadap pemberian ACE-
inhibitor, khususnya batuk. Sama halnya dengan ACE-inhibitor, obat-obat ARB dapat
menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi simptomatik.
Hanya saja ARB tidak menyebabkan batuk. Obat-obat ARB dikontraindikasikan bagi
pasien dengan stenosis renal bilateral, kadar kalium serum > 5,0 mmol/L, kadar serum
kreatinin > 2,5 mg/dL, dan memiliki stenosis aorta berat. Selain itu, ARB juga tidak
boleh diberikan pada pasien yang diterapi ACE-inhibitor dan antagonis aldosteron
secara bersamaan.

Metoprolol, carvedilol, dan biprolol adalah obat golongan beta blocker yang
terbukti dapat mengurangi mortilitas gagal jantung. Metoprolol dan bisoprolol bekerja
selektif memblok reseptor β1 sedangkan carvedilol memblok reseptor β1, β2, dan α1.
Obat-obat beta blocker tidak boleh diberikan pada pasien yang memiliki asma dan
dapat menyebabkan bradikardia.

Spironolakton dan eplerenon merupakan obat obat golongan antagonis


aldosteron yang bekerja dengan memblok reseptor mineralokortokoid. Di ginjal,
antagonis aldosteron menghambat reabsorpsi natrium dan ekskresi potasium.
Sehingga antagonis aldosteron juga memiliki efek diuretik. Di jantung, antagonis
aldosteron menghambat terbentuknya deposit kolagen dan matriks. Deposit kolagen
dan matriks merupakan salah satu pemicu terjadinya fibrosis jantung dan remodeling
ventrikel. Antagonis aldosteron diindikasikan pada pasien dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri 40%, telah diberi dosis optimal kombinasi beta blocker dan ACE-
inhibitor atau ARB. Antagonis aldosteron tidak dianjurkan diberikan pada pasien
24

dengan terapi diuretik hemat kalium atau suplemen kalium dan kombinasi ACE-
inhibitor dan ARB. Selain itu, antagonis aldosteron dikontraindikasikan bagi pasien
dengan konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L dan kadar serum kreatinin > 2,5
mg/dL.

Obat vasodilator terbagi menjadi tiga, yakni dilator selektif arteri, dilator vena,
dan vasodilator nonselektif. Pemilihan jenis-jenis vasodilator tergantung dari tanda
klinis pasien. Pasien-pasien dengan tekanan pompa yang tinggi disertai dyspnea
biasanya diberi dilator vena yang bekerja lama yakni golongan nitrat. Pasien dengan
gejala kelelahan dan output ventrikel rendah diberi dilator arteri yakni hydralazine.
Namun, biasanya kedua jenis obat tersebut dikombinasikan secara bersamaan. Dosis
awal pemberian kombinasi H-ISDN (HydralazineIsosorbide Dinitrate) yakni
hydralazine 12,5 mg dan ISDN (Isosorbide Dinitrate) 10 mg sebanyak 2-3x sehari.
Dosis dinaikkan secara titrasi hingga mencapai dosis target (hydralazine 50 mg dan
ISDN 20 mg, 3-4x sehari). Namun, jika terjadi hipotensi, dosis tidak perlu dinaikkan.
Digoksin digunakan untuk memperlambat lajur ventrikel pada pasien gagal jantung
dengan fibrilasi atrial. Dosis awal pemberian digoksin yakni 0,25 mg 1x sehari pada
pasien dengan fungsi ginjal normal. Pasien geriatri dan pasien dengan gangguan
fungsi ginjal diberi dosis yang lebih rendah yakni 0,125 atau 0,0625 mg 1x sehari.
Kadar digoksin dalam darah harus berkisar antara 0,6 - 1,2 ng/mL karena indeks
terapinya yang sempit. Oleh sebab itu, penggunaan obat-obatan yang dapat
meningkatkan kadar digoksin dalam darah seperti amiodarone, diltiazem, verapamil,
dan kuinidin harus dihindari. Efek samping dari pemberian digoksin di antaranya
aritmia atrial dan ventrikuler (terutama pada pasien hipokalemia), mual, muntah,
anoreksia, dan gangguan melihat warna.
Golongan agonis beta yang digunakan untuk pengobatan gagal jantung yakni
dobutamin dan dopamin. Pada prinsipnya, obat-obat agonis beta bekerja dengan
meningkatkan respon reseptor sehingga efek akibat ikatan senyawareseptor lebih
besar. Dobutamin bekerja dengan meningkatkan sintesis cAMP (cyclic Adenosine-
25

3’,5’- Monophosphate) sehingga kontraktilitas jantung meningkat. Sedangkan


dopamin bekerja dengan meningkatkan efek reseptor dopamin. Dobutamin diberikan
secara intravena dengan dosis 5-7,5 mcg/ kg/menit. Penggunaan dopamin untuk
meningkatkan kontraksi jantung pada pasien gagal jantung yakni sebesar 5-25
mcg/kg/menit.

2.2 Diagnosa Banding


Diagnosis banding gagal jantung akut dapat berupa infark miokard akut, penyakit
paru, seperti pneumonia, dan penyakit ginjal seperti gagal ginjal akut.
1) Infark Miokard Akut
Infark miokard akut adalah penurunan hingga penghentian mendadak aliran darah
pada suatu bagian miokardium. Keluhan nyeri dada pada infark miokard akut
cenderung lebih dominan dibandingkan keluhan sesak, serta tidak ditemukan ortopnea
atau paroxysmal nocturnal dyspnea. Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan adanya
peningkatan tekanan vena jugular, pitting edema pada ekstremitas bawah, maupun
ronkhi pada kedua basal paru yang biasanya ditemukan pada gagal jantung akut.
2) Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi pada parenkim paru. Pada anamnesis akan ditemukan
keluhan batuk dominan selama beberapa hari sebelumnya yang dapat disertai demam.
Pemeriksaan fisik pneumonia akan menunjukkan adanya demam tanpa disertai
peningkatan tekanan vena jugular maupun pitting edema pada ekstremitas bawah
yang biasanya ditemukan pada pemeriksaan fisik gagal jantung akut.

3) Penyakit Ginjal
Penyakit ginjal, seperti gagal ginjal akut dan sindrom nefrotik, dapat
menyebabkan tanda dan gejala serupa dengan gagal jantung akut. Pada anamnesis
pasien dapat ditemukan adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya, riwayat diabetes
tidak terkontrol, produksi urine berkurang, dan riwayat konsumsi obat-obatan. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema anasarka, maupun berkurangnya produksi
urin setelah pemasangan kateter.
26

4) Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis merupakan pembentukan fibrosis dan nodul yang menyebabkan
gangguan struktur pada hepar akibat cedera kronik. Pada anamnesis dapat ditemukan
riwayat infeksi hepar sebelumnya, konsumsi alkohol, pemakaian jarum suntik tidak
steril, transfusi darah, dan ikterus. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-
tanda sirosis hepatis, asites, serta hepatomegali.

2.3 Komplikasi
Komplikasi klinis HF termasuk penurunan kualitas hidup, penurunan kapasitas
fungsional, penurunan berat badan yang tidak disengaja (cachexia jantung), disfungsi
ginjal (penyakit cardiorenal), dan disfungsi hati (kongesti hati). Kejadian jantung yang
merugikan terkait dengan HF termasuk disfungsi katup dengan kardiomiopati dilatasi,
MI, dan aritmia ventrikel. Aritmia, sindrom koroner akut, gagal jantung kongestif,
regurgitasi mitral, ruptur dinding bebas ventrikel, perikarditis, pembentukan
aneurisma, dan trombus mural adalah komplikasi utama yang terkait dengan penyakit
arteri coroner.

2.4 Prognosis
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), pada Desember
2015, tingkat kematian terkait gagal jantung menurun dari 103,1 kematian per
100.000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 89,5 pada tahun 2009 tetapi kemudian
meningkat menjadi 96,9 pada tahun 2014. Mereka mencatat bahwa tren berkorelasi
dengan pergeseran dari penyakit jantung koroner sebagai penyebab kematian akibat
gagal jantung menjadi penyakit metabolik dan penyebab gagal jantung nonkardiak
lainnya seperti obesitas, diabetes, keganasan, penyakit paru kronis, dan penyakit
ginjal. Tingkat kematian setelah rawat inap untuk gagal jantung diperkirakan sekitar
10% pada 30 hari, 22% pada 1 tahun, dan 42% pada 5 tahun. Ini dapat meningkat
hingga lebih dari 50% untuk pasien dengan NYHA kelas IV, gagal jantung stadium
D.
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Status Pasien


Nama : Uza Salima
Tanggal Lahir : 14 Januari 1995
Umur : 28 tahun 5 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Batak
Agama : Islam
Alamat : Jl. Rawa gg. Pasar VIII No.3, Tegal Sari Mandala II
No. Rekam Medis : 409703

3.2 Anamnesis Pasien


Keluhan Utama : Bengkak pada kedua kaki
Telaah : Seorang pasien perempuan berusia 28 tahun datang ke igd
dengan keluhan bengkak pada kedua kaki dan wajah sembab dialami 4 bulan ini,
pasien baru selesai melahirkan tanggal 07 juni 2023 anak pertama, nyeri perut (+)
dialami 1 minggu ini, terasa mules-mules, tampak pucat, sesak nafas(+) 2 hari ini.

RPT : Sistemik Lupus Eritematosus + Kolesistitis + Anemia +


Bronkitis + Efusi Pleura
RPO : Ceftriaxone, Ranitidin, Furosemid
RPK : (-)
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
HR : 121x/i
RR : 28x/i
27
28

Temperatur : 37C
SpO2 : 93%

Status Lokalisata

Mata Konjungtiva Anemis (-/-)


1. Kepala Sklera Ikterik (-/-)
Telinga Sekret (-)
Hidung Sekret (-)
Mulut Dalam Batas Normal
Inspeksi Pemb. KGB(-), Masaa (-)
2. Leher Palpasi Dalam Batas Normal

3. Thorax
Inspeksi Simetris
a. Paru Palpasi SF Kanan=Kiri
Perkusi Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi SP : vesikuler (+/+)
ST : Rhonki (-), Wheezing (-)
Inspeksi
b. Jantung Palpasi Apeks ajntung teraba normal
Perkusi Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi Bunyi Jantung I/II regular, Murmur (-),
Gallop (-)
Inspeksi Simetris
4. Abdomen Palpasi Soepel, Nyeri Tekan (-), Massa (-), Hepar
dan Lien tidak teraba
Perkusi Timpani seluruh lapangan perut
Auskultasi Peristaltic (+) normal
Superior Akral teraba hangat, oedema (-), CRT <2
5. Ekstremitas detik
Inferior Akral teraba hangat, oedema (+) pada
kedua ekstremitas inferior dextra dan
sinistra
29

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Lengkap (17 juni 2023)
Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan
Leukosit 4.63 3.60 – 11 103/uL
Eritrosit 2.95 3.80 – 5.90 106/uL
Hemoglobin 8.3 11.7 – 17.3 g/dL
Hematokrit 24.6 35.0 – 52.0 %
MCV 83.4 80 -100 Fl
MCH 28.1 26 – 34 Pg
MCHC 33.7 32 – 36 g/dL
Trombosit 203 150 – 440 103/uL
MPV 10.0 9.2 – 12.1 Fl
NEUT 86.2 50 – 70 %
LYMPH 11.2 25 – 40 %
MONO 2.4 2.0 – 8.0 %
EOS 0.0 2–4 %
BASO 0.2 0-1 %

Pemeriksaan Albumin (17 Juni 2023)


Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan
Albumin 2.5 3.4 – 4.8 g/dL

Pemeriksaan Albumin (19 Juni 2023)


Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan
Albumin 2.3 3.4 – 4.8 g/dL

Pemeriksaan Urine (17 Juni 2023)


Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan
Volume Urine 24 jam 370 1000-2000 ml/24 jam
Protein urine 24 jam 4761 <100 mg/24 jam

Pemeriksaan Urine (16 Juni 2023)


Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan
Kejernihan Keruh Jernih
Berat Jenis 1.025 1.010 – 1.030 g/mL
pH / Reaksi Positif Negative
Blood Negatif Negatif
Leukosit Positif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Protein Positif 2 Negatif
30

Bilirubin Negatif Negatif


Keton Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Urobilinogen Normal Negatif
Eritrosit 3-8 0-2 /LPB
Leukosit 6-10 0-5 /LPB
Epitel Positif 6-8 Sel/LPK
Silinder Negatif Negatif /LPK
Kristal Negatif Negatif /LPB
Bakteri Negatif Negatif

Pemeriksaan fungsi ginjal


Parameter Hasil Nilai Rujukan Satuan
Ureum 25 20 - 40 mg/dL
Creatinin 0.7 0.6 – 0.9 mg/dL
Asam Urat 5.1 2.5 – 6.0 mg/dL

Pemeriksaan EKG
31

Interpretasi EKG :
A/n : Uza Salima
Irama : Sinus Ritme Reguler
Rate : 15 kotak kecil (1.500 : 15 = 100x/i)
Axis : Axis Normal ( L I + AVF defleksi positif)
Gelombang P : Normal ( 1 kotak kecil = 0,04 mm)
Pr interval : Normal ( 4 kotak kecil = 0,16)
Kompleks QRS : memanjang ( durasi 3 kotak kecil = 0,12 mm)
Lead V1 s/d V4 tidak dijumpai gelombang Q (kesan OMI
Anteroseptal)
Segmen T : Normal tidak ada segmen ST depresi atau elevasi
Gelombang T : Normal (1 kotak kecil = 1 mm)
RVH : Normal ( tidak ada pembesaran R di V1 <7 mm)
LVH : Normal ( tidak ada pembesaran R wave di V5/V6)
Kesan : Sinus Ritme + OMI Anteroseptal

Pemeriksaan Foto Thorax

Kesan : Bronkitis
32

Pemeriksaan Echo
33

3.5 Diagnosis
CHF(EF 38%) Ec dd/PPCM + Hipoalbumin + Post Partum dengan Anemia + AKI +
SLE Derajat Sedang
Follow Up Pasien

Tanggal : 20 Juni 2023


S Edema di kedua kaki, sesak nafas berkurang,
O TD : 110/100
HR : 80x/i
RR :
Temperatur : 36,7
SpO2 : 99%
Echo : fungsi sistolik LV menurun (EF 38%). Fungsi diastolic LV
terganggu (E/A >2, restrictive type), LV dilatasi ringan, global hipokinetik
seluruh mid-apikal, normokinetik lainnya, katup : MR Mod, TR Mild,
efusi pericard mod (sedang), kontraktilitas RV baik
A CHF (EF 38%) Ec dd/PPCM + Hipoalbumin + Post Partum dengan
Anemia + AKI + SLE Derajat Sedang
34

P - Inj furosemide 1 amp/6 jam


- Spironolakton 1x25 mg
- Uperio 2x25 mg
- Bisoprolol 1x1,25 mg

Tanggal : 21 Juni 2023


S Edema di kedua kaki, kaki sebelah kiri mulai mengempis, Riw : sedot
cairan di paru
O TD : 120/80
HR : 68x/i
RR : 22x/i
Temperatur : 37C
SpO2 : 99%
A CHF (EF 38%) Ec dd/PPCM + Hipoalbumin + Post Partum dengan
Anemia + AKI + SLE Derajat Sedang
P - Inj furosemide 1 amp/6 jam
- Spironolakton 1x25 mg
- Uperio 2x25 mg
- Bisoprolol 1x1,25 mg

Tanggal : 22 Juni 2023


S Edema di kedua kaki + pusing
O TD : 120/70
HR : 116x/i
RR :24x/i
Temperatur : 36,5
SpO2 : 99%
A CHF (EF 38%) Ec dd/PPCM + Hipoalbumin + Post Partum dengan
Anemia + AKI + SLE Derajat Sedang
P - Inj. Furosemide 1 amp/12 jam
- Spironolakton 1x25 mg
- Uperio 2x25 mg
- Bisoprolol 1x1,25 mg
- Bromocriptin 2x2,5 mg
BAB IV

KESIMPULAN

Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak dapat lagi memompa
darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun darah balik
masih dalam keadaan normal. Dengan kata lain, gagal jantung merupakan suatu
ketidakmampuan jantung untuk memompakan darahdalam jumlah yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan metabolik tubuh(forward failure) atau kemampuan tersebut hanya
dapat terjadi dengan tekananpengisian jantung yang tinggi (backward failure) atau keduanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gagal jantung adalah kontraktilitas
miokard, denyut jantung (irama dan kecepatan/ menit) bebanawal dan beban akhir. Gagal
jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-gejalaatau tanda-tanda akibat
fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi denganatautanpa adanya sakit jantung
sebelumnya. Gagal jantung kronis didefinisikansebagai sindroma klinik yang komplek yang
disertai keluhan gagal jantung berupasesak, fatique baik dalam keadaan istirahat maupun
beraktifitas.
Pada gagal jantung terjadi suatu kelainan multisistemdimana terjadi gangguan pada
jantung (disfungsi sistolik dan diastolik). Pada disfungsi sistolikterjadi gangguan pada
ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunancardiac output. Disfungsi diastolik
merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan
berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat
diastolik. Penyebabtersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi
ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik.

35
DAFTAR PUSTAKA
1. PERKI KKGJ dan K. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Perhimpun Dr Spes
Kardiovask Indones. 2020:848-853
2. Kevin C. Raja ; Samuel Goldstein. Congestive Heart Failure And Pulmonary Edema.
Advocate Lutheran General Hospital. 2022 Sep;19
3. Ziaeian B, Fonarow GC. Epidemiology and aetiology of heart failure. Nat Rev
Cardiol. 2016 Jun;13(6):368-78
4. Shahjehan RD, Bhutta BS. Penyakit arteri koroner. [Diperbarui 2023 Feb 9]. Di
dalam: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2023 Jan-
5. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta :
EGC, 1022
6. Bahit MC, Kochar A, Granger CB. Post-Myocardial Infarction Heart Failure. JACC
Heart Fail. 2018 Mar;6(3):179-186.
7. Lind L, Ingelsson M, Sundstrom J, Ärnlöv J. Impact of risk factors for major
cardiovascular diseases: a comparison of life-time observational and Mendelian
randomisation findings. Open Heart. 2021 Sep;8(2
8. King M, Kingery J, Casey B. Diagnosis and evaluation of heart failure. Am Fam
Physician. 2012 Jun 15;85(12):1161-8.
9. Ali AS, Rybicki BA, Alam M, Wulbrecht N, Richer-Cornish K, Khaja F, Sabbah HN,
Goldstein S. Clinical predictors of heart failure in patients with first acute myocardial
infarction. Am Heart J. 1999 Dec;138(6 Pt 1):1133-9
10. Tanai, Edit, and Stefan Frantz. “Pathophysiology of Heart Failure.” Comprehensive
Physiology, vol. 6, no. 1, 15 Dec. 2015, pp. 187–214,
https://doi.org/10.1002/cphy.c140055.
11. Ahmad M, Daniel B. Congetive Heart Failure. StatPearls. 2022
12. Nurkhalis, Adista RJ. Manifestasi Klinis dan Tatalaksana Gagal Jantung. J Kedokt
Nanggroe Med. 2020;3(3):36-46.
13. PERKI PDSKI. PEDOMAN TATALAKSANA GAGAL JANTUNG. edisi kedu.
(Siswanto, Prof. DR. dr. Bambang B. , SpJP(K), FIHA, FACC Fa, ed.).; 2020.
14. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia. 2020.

36
37

15. Pedoman Nasional pelayanan Kedokteran Tatalaksana Gagal Jantung. Kemenkes.


2021

Anda mungkin juga menyukai