Pembimbing :
Disusun Oleh :
Nadia Khoiriyah (2208320087)
Muhammad Budi Aulia (2208320090)
Azzura Sufina Ginting (2208320094)
Muhammad Raka Zaelani Saragih (2208320105)
Sukma Khairunisa (2208320086)
SMF KARDIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2023
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
karuania-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat waktu.
Tulisan ini untuk melengkapi tugas persyaratan kepaniteraan klinik stase (KKS) Kardiologi
RSUD Drs. H. Amri Tambunan, selain itu tulisan ini juga bertujuan agar pembaca dapat
mengetahui dan memahami secara jelas mengenai Congestive Heart Failure. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan
baik tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari beberapa pihak. Penulis sampaikan ucapan
terimakasih kepada:
1. dr. Yunny Safitri, M.Ked (Cardio), Sp.JP selaku pembimbing selama di stase
Kardiologi RSUD Drs. H. Amri Tambunan
Demikian tugas ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan tulisan ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
LAPORAN KASUS............................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 4
1.2. Latar Belakang .................................................................................................... 4
BAB II LANDASAN TEORI .............................................................................................. 5
2.1 Anatomi Jantung ................................................................................................. 5
2.2 Definisi ............................................................................................................... 8
2.3 Klassifikasi .......................................................................................................... 8
2.4 Etiologi ............................................................................................................... 9
2.5 Patofisiologi ...................................................................................................... 10
2.6 Cara Menegakkan Diagnosis ............................................................................. 12
2.7 Tatalaksana ....................................................................................................... 20
2.8 Diagnosa Banding ............................................................................................. 25
2.9 Komplikasi ........................................................................................................ 26
2.10 Prognosis ........................................................................................................... 26
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................................ 27
3.1 Status Pasien ..................................................................................................... 27
3.2 Anamnesis Pasien .............................................................................................. 27
3.3 Pemeriksaan Fisik.............................................................................................. 27
3.4 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................... 29
3.5 Diagnosis .......................................................................................................... 33
BAB IVKESIMPULAN .................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 36
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
LANDASAN TEORI
5
6
4) Pergerakkan Jantung
Jantung dapat bergerak mengembang dan menguncup karena adanya
rangsangan yang berasal dari syaraf otonom. Dalam kerjanya jantung
mempunyai 3 periode :
a) Periode Kontriksi (Periode Sistol)
Suatu keadaan di mana jantung bagian vertikal dalam keadaan menguncup
b) Periode Dilatasi (Periode Distol)
Suatu keadaan di mana jantung mengembang
c) Periode Istirahat
Waktu antara kontriksi dan dilatasi di mana jantung berhenti +1/10 detik.
5) Siklus Jantung
Merupakan kejadian yang terjadi dalam jaringan selama peredaran darah.
Gerakan jantung terdiri dari dua jenis yaitu kontriksi dan pengenduran.
Kontriksi dari kedua atrium terjadi secara serentak yang disebut diatol atrial.
Lama kontriksi vertikal + 0,3 detik dan tahap pengenduran selama 0,5 detik.
Kontraksi atrium pendek kontraksi vertikal lebih lama dan kuat daya dorong
vertikal kiri terus lebih kuat karena harus mendorong darah keseluruhan tubuh
untuk mempertahankan keadaan sistolik.
6) Bunyi Jantung
Merupakan pukulan vertikal kiri terhadap dinding arterior yang terjadi selama
kontriksi vertikal dan debaran ini dapat diraba dan sering terlihat pada ruang
interkostalis kelima kira-kira 4 cm dari garis sternum.
7) Kerja Jantung
Jantung disyarafi oleh nervus simpatikus dan nervus akseleratis, untuk
menggiatkan kerja jantung dan nervus parasimpatikus, khususnya cabang
nervus vagus yang bekerja memperlambat kerja jantung. Mengembang dan
menguncupnya jantung disebabkan oleh karena adanya rangsangan yang
berasal dari susunan saraf otonom. Rangsangan ini diterima oleh jantung pada
simpul saraf yang terdapat pada atrium dekstra dekat masuknya vena kava
yang disebut nodus SA. Kemudian rangsangan akan diteruskan ke dinding
atrium dan juga ke bagian septum cordis untuk nodus atrium ventrikuler atau
7
simpul tawara melalui berkas wenkebech. Dari simpul tawara rangsangan akan
melalui berkas his dan seterusnya diteruskan ke apeks cordis melalui berkas
purkinye, dan kemudian disebarkan ke seluruh dinding ventrikel. Dengan
demikian jantung dapat berkontraksi.
b. Fisiologi
Jantung adalah organ yang mensirkulasi dan memompa darah
teroksigenasi ke paru-paru untuk pertukaran gas. Sirkulasi darah di jantung
ada dua yaitu peredaran darah kecil dan peredaran darah besar. Darah dari
seluruh tubuh dibawa ke jantung melalui vena kava superior dan inferior.
Vena ini mengalirkan darah ke atrium dekstra. Darah ini melalui katup
trichuspidalis pulmonalis, darah dipompakan ke paru-paru.
Setelah di paru-paru, terjadi proses difusi, darah yang teroksigenasi
mengalir ke atrium kiri melalui vena purmonalis. Kemudian dengan melalui
katup mitral, darah mengalir ke ventrikel kiri, dan dipompakan ke aorta
melalui valvula semilunaris aorta, untuk sirkulasi koroner dan sistemik di
mana darah yang teroksigenasi di bawah ke seluruh tubuh.
2) Nervus para simpatikus, khususnya cabang dari nervus vagus yang bekerja
memperlambat kerja jantung.
Sistem kardiovaskuler ini terdiri dari tiga bagian yang saling
mempengaruhi yaitu: jantung (untuk memompa), pembuluh darah
(mengedarkan atau mengalirkan), dan darah (menyimpan dan mengatur),
interaksi antara ketiganya akan mempertahankan keseimbangan dinamis
oksigen dalam sel-sel.
2.2 Definisi
Gagal jantung adalah sindrom klinis kompleks di mana jantung tidak dapat
memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Dimana terjadi kerusakan
pada pengisian ventrikel atau ejeksi darah ke sirkulasi sistemik. Gagal jantung adalah
sindrom klinis kompleks yang dihasilkan dari kelainan fungsional atau struktural
jantung yang mengganggu pengisian atau pengeluaran ventrikel dari darah ke
sirkulasi sistemik. Gagal jantung tetap menjadi gangguan yang sangat lazim di seluruh
dunia dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Prevalensinya
diperkirakan 26 juta orang di seluruh dunia dan berkontribusi terhadap peningkatan
biaya perawatan kesehatan di seluruh dunia.
2.3 Klassifikasi
Klasifikasi gagal jantung dapat di bagi melalui dua kategori yaitu kelainan
struktural jantung dan berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional
menurut New York Heart Association (NYHA).
Gagal jantung akibat disfungsi ventrikel kiri dikategorikan menjadi gagal jantung
dengan fraksi ejeksi yang berkurang (HFrEF), gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang
diawetkan (HFpEF), dan gagal jantung dengan fraksi ejeksi menengah (HFmrEF).
9
2.4 Etiologi
Gagal jantung kongestif disebabkan oleh kelainan struktur jantung, kelainan
fungsional, dan faktor pemicu lainnya. Sebagian besar kasus disebabkan oleh
penyakit arteri koroner dan infark miokard. Seiring waktu, penyakit arteri koroner
dan diabetes melitus telah menjadi faktor predisposisi utama gagal jantung.
Penyebab struktural lain dari gagal jantung kongestif (CHF) termasuk hipertensi,
penyakit katup jantung, aritmia yang tidak terkontrol, miokarditis, dan penyakit
jantung bawaan.
Penting untuk mengidentifikasi etiologi gagal jantung dekompensasi, karena
mereka berkontribusi pada sebagian besar morbiditas dan mortalitas yang terkait
dengan penyakit ini. Penyebab paling umum dari gagal jantung kongestif
dekompensasi adalah terapi obat yang tidak tepat, pembatasan diet natrium, dan
penurunan aktivitas fisik. Hipertensi yang tidak terkontrol adalah penyebab paling
umum kedua dari gagal jantung dekompensasi. Takiaritmia yang tidak terkontrol
10
pada pasien dengan gagal jantung kongestif dapat segera menyebabkan eksaserbasi
CHF. Penyakit arteri koroner adalah fenomena multifaktorial.
Faktor etiologi dapat dikategorikan secara luas menjadi faktor yang tidak
dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat
dimodifikasi meliputi jenis kelamin, usia, riwayat keluarga, dan genetika Faktor
risiko yang dapat dimodifikasi termasuk merokok, obesitas, kadar lipid, dan variabel
psikososial. Merokok tetap menjadi penyebab nomor satu penyakit kardiovaskular.
Jenis kelamin laki-laki lebih cenderung daripada jenis kelamin perempuan.
Hiperkolesterolemia tetap merupakan faktor risiko penting yang dapat dimodifikasi
untuk CAD. Peningkatan lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkatkan risiko
CAD dan peningkatan lipoprotein densitas tinggi (HDL) menurunkan kejadian
CAD.
2.5 Patofisiologi
Pada tahap awal gagal jantung kongestif, fisiologi jantung berusaha beradaptasi
melalui beberapa mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dan
memenuhi kebutuhan sistemik. Ini termasuk mekanisme Frank-Starling, perubahan
regenerasi miosit, hipertrofi miokard, dan hiperkontraktilitas miokard. Dengan meningkatnya
tekanan dinding, miokardium berusaha untuk mengkompensasi melalui remodeling eksentrik,
yang selanjutnya memperburuk kondisi beban dan tekanan dinding. Penurunan curah jantung
merangsang sistem neuroendokrin dengan pelepasan epinefrin, norepinefrin, endotelin-1 (ET-
11
cukup signifikan secara hemodinamik sehingga tidak cukup darah yang mencapai jaringan
miokard pada saat permintaan meningkat, dan gejala angina akan terjadi. Namun, gejala akan
mereda saat istirahat karena kebutuhan oksigen turun. Agar lesi menyebabkan angina saat
istirahat, lesi tersebut harus setidaknya 90% stenosis. Beberapa plak dapat pecah dan
menyebabkan paparan faktor jaringan, yang berujung pada trombosis. Trombosis ini dapat
menyebabkan oklusi subtotal atau total lumen dan dapat mengakibatkan perkembangan
sindrom koroner akut (ACS) dalam bentuk angina tidak stabil, NSTEMI, atau STEMI,
tergantung pada tingkat kerusakannya.
temuan paling signifikan dan awal yang terkait dengan HF. Pada kardiomiopati dilatasi
dekompensasi, bising regurgitasi mitral dan trikuspid akan terlihat.
Kriteria Diagnostik Framingham untuk Gagal Jantung :
Kriteria Diagnostik Framingham untuk Gagal Jantung yang umum digunakan
memerlukan adanya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor untuk
membuat diagnosis gagal jantung. Alat diagnostik ini sangat sensitif untuk diagnosis gagal
jantung namun memiliki spesifisitas yang relatif rendah. Kriteria Diagnostik Framingham
adalah sebagai berikut :
Kriteria Mayor
a. Edema paru akut
b. Kardiomegali
c. Refleks hepatojugular
d. Distensi vena leher
e. Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
f. Rhonki paru
g. Bunyi jantung ketiga (S3 Gallop)
h. Penurunan berat badan 4,5 kg atau lebih dalam 5 hari sebagai respons
terhadap pengobatan
i. Tekanan vena sentral lebih besar dari 16 cm H2O
j. kardiomegali radiografi
Kriteria Minor
a. Edema pergelangan kaki
b. Dispnea saat beraktivitas
c. Hepatomegali
d. Batuk nokturnal
e. Efusi pleura
f. Takikardia (denyut jantung lebih dari 120 denyut per menit)
g. Penurunan kapasitas vital sebesar sepertiga dari nilai maksimal yang tercatat
14
Teknik Diagnostik
Diagnosis sulit ditegakkan terutama pada fase stadium dini, seperti gejala gagal
jantung yang tidak spesifik dan tidak membantu menyingkirkan dan membedakan antara
gagal jantung dan penyakit lainnya. Pada pasien yang memiliki gejala yang tidak spesifik
atau dengan gejala ringan kurang sensitif sebagai landasan uji diagnostik, namun uji
diagnostik sensitif pada pasien dengan gagal jantung fraksi ejeksi rendah dan kurang sensitif
15
pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal. Pemeriksaan ekokardiografi
merupakan metode evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik yang paling baik.
Elektrokardiogram (EKG)
Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal
jantung. Jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik
sangat kecil (<10%).
Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung Disadur dari
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008
Foto Toraks
Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Foto toraks
dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura, dan dapat mendeteksi penyakit
atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak
ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.
16
Abnormalitas foto toraks yang umum ditemukan pada gagal jantung Disadur
dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer
lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, estimasi laju filtrasi
glomerulus (eGFR), glukosa, tes fungsi hepar, dan urinalisa. Pemeriksaan tambahan lainnya
dipertimbangkan sesuai gambaran klinis.
Peptida Natriuretik
Kadar plasma peptida natriuretik dapat digunakan untuk diagnosis, membuat
keputusan merawat atau memulangkan pasien, serta mengidentifikasin pasien-pasien yang
beresiko mengalami dekompensasi. Kadar peptida natriuretik meningkat sebagai respon
peningkatan tekanan dinding ventrikel. Namun kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi
setelah terapi optimal merupakan indikasi prognosis buruk.
Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran klinis
disertai dengan dugaan sindrom koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin kardiak
sering terjadi pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal jantung pada
penderita tanpa iskemia miokard.
17
18
Ekokardiografi
Ekokardiografi digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasonografi jantung
termasuk pulsed and continuous wave doppler, colour doppler and tissue doppler imaging
(TDI). Konfirmasi gagal jantung atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi
merupakan keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung.
Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara dengan HFREF dan HFPEF.
Diagnosa gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (HPEF/heart failure preserved ejection
fraction).
Ekokardiografi mempunyai peranan penting dalam mendiagnosis gagal jantung
dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria:
1. Terdapat tanda atau gejala gagal jantung
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau sedikit terganggu (fraksi ejeksi > 45-
50%)
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal/kekakuan
diastolik)
4. Peningkatan kadar peptida natriuretic
19
a) Ekokardiografi transesofagus
Direkomendasikan pada pasien dengan ekokardiografi transtorakal tidak adekuat (obesitas,
pasien dengan ventilator), pasien dengan kelainan katup, pasien endokarditis, penyakit
jantung bawaan atau untuk mengeksklusi trombus di left atrial appendage pada pasien
fibrilasi atrium.
2.1 Tatalaksana
a. Tatalaksana Non-Farmakologi
1. Manajemen perawatan mandiri
Manajemen perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan
yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran penting dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna untuk perbaikan
gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas, dan
prognosis.
2. Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien untuk berobat dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas dan
kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20-60% pasien yang taat pada
terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
21
b. Tatalaksana Farmakologi
Berikut golongan obat yang digunakan pada terapi farmakologis gagal
jantung, meliputi: diuretik, ACE-inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), Beta Blocker, Antagonis
Aldosteron, Vasodilator, Glikosida Jantung, Bypiridine, Agonis beta, Natriuretic
Peptide. Obat-obatan golongan diuretik diberikan pada pasien gagal jantung dengan
tanda kongesti (biasanya kelas I atau stadium B). Efek utama dari pemberian diuretik
22
yakni mengurangi tekanan darah dan preload ventrikel. Selain itu, pada pasien gagal
jantung kiri, pemberian diuretik akan membantu mengurangi pembengkakan jantung
sehingga pemompaan lebih efisien.
ACE-inhibitor merupakan terapi lini pertama bagi pasien gagal jantung. Obat
golongan ini harus diberikan pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%.
Mekanisme kerja dari ACE-inhibitor yakni dengan menghambat perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II yang diperantarai oleh ACE (Angiotensin
Converting Enzyme). Dengan begitu, jumlah angiotensin II akan menurun diikuti
dengan jumlah aldosteron. Berkurangnya hormon-hormon tersebut akan mencegah
terjadinya fibrosis miokard, apoptosis miosit, hipertropi jantung, pelepasan
norepinefrin, vasokontriksi, dan retensi cairan. Dengan begitu, ACE-inhibitor
berperan penting dalam mencegah perburukan kondisi jantung yang diperantarai oleh
mekanisme RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System).
Metoprolol, carvedilol, dan biprolol adalah obat golongan beta blocker yang
terbukti dapat mengurangi mortilitas gagal jantung. Metoprolol dan bisoprolol bekerja
selektif memblok reseptor β1 sedangkan carvedilol memblok reseptor β1, β2, dan α1.
Obat-obat beta blocker tidak boleh diberikan pada pasien yang memiliki asma dan
dapat menyebabkan bradikardia.
dengan terapi diuretik hemat kalium atau suplemen kalium dan kombinasi ACE-
inhibitor dan ARB. Selain itu, antagonis aldosteron dikontraindikasikan bagi pasien
dengan konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L dan kadar serum kreatinin > 2,5
mg/dL.
Obat vasodilator terbagi menjadi tiga, yakni dilator selektif arteri, dilator vena,
dan vasodilator nonselektif. Pemilihan jenis-jenis vasodilator tergantung dari tanda
klinis pasien. Pasien-pasien dengan tekanan pompa yang tinggi disertai dyspnea
biasanya diberi dilator vena yang bekerja lama yakni golongan nitrat. Pasien dengan
gejala kelelahan dan output ventrikel rendah diberi dilator arteri yakni hydralazine.
Namun, biasanya kedua jenis obat tersebut dikombinasikan secara bersamaan. Dosis
awal pemberian kombinasi H-ISDN (HydralazineIsosorbide Dinitrate) yakni
hydralazine 12,5 mg dan ISDN (Isosorbide Dinitrate) 10 mg sebanyak 2-3x sehari.
Dosis dinaikkan secara titrasi hingga mencapai dosis target (hydralazine 50 mg dan
ISDN 20 mg, 3-4x sehari). Namun, jika terjadi hipotensi, dosis tidak perlu dinaikkan.
Digoksin digunakan untuk memperlambat lajur ventrikel pada pasien gagal jantung
dengan fibrilasi atrial. Dosis awal pemberian digoksin yakni 0,25 mg 1x sehari pada
pasien dengan fungsi ginjal normal. Pasien geriatri dan pasien dengan gangguan
fungsi ginjal diberi dosis yang lebih rendah yakni 0,125 atau 0,0625 mg 1x sehari.
Kadar digoksin dalam darah harus berkisar antara 0,6 - 1,2 ng/mL karena indeks
terapinya yang sempit. Oleh sebab itu, penggunaan obat-obatan yang dapat
meningkatkan kadar digoksin dalam darah seperti amiodarone, diltiazem, verapamil,
dan kuinidin harus dihindari. Efek samping dari pemberian digoksin di antaranya
aritmia atrial dan ventrikuler (terutama pada pasien hipokalemia), mual, muntah,
anoreksia, dan gangguan melihat warna.
Golongan agonis beta yang digunakan untuk pengobatan gagal jantung yakni
dobutamin dan dopamin. Pada prinsipnya, obat-obat agonis beta bekerja dengan
meningkatkan respon reseptor sehingga efek akibat ikatan senyawareseptor lebih
besar. Dobutamin bekerja dengan meningkatkan sintesis cAMP (cyclic Adenosine-
25
3) Penyakit Ginjal
Penyakit ginjal, seperti gagal ginjal akut dan sindrom nefrotik, dapat
menyebabkan tanda dan gejala serupa dengan gagal jantung akut. Pada anamnesis
pasien dapat ditemukan adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya, riwayat diabetes
tidak terkontrol, produksi urine berkurang, dan riwayat konsumsi obat-obatan. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema anasarka, maupun berkurangnya produksi
urin setelah pemasangan kateter.
26
4) Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis merupakan pembentukan fibrosis dan nodul yang menyebabkan
gangguan struktur pada hepar akibat cedera kronik. Pada anamnesis dapat ditemukan
riwayat infeksi hepar sebelumnya, konsumsi alkohol, pemakaian jarum suntik tidak
steril, transfusi darah, dan ikterus. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-
tanda sirosis hepatis, asites, serta hepatomegali.
2.3 Komplikasi
Komplikasi klinis HF termasuk penurunan kualitas hidup, penurunan kapasitas
fungsional, penurunan berat badan yang tidak disengaja (cachexia jantung), disfungsi
ginjal (penyakit cardiorenal), dan disfungsi hati (kongesti hati). Kejadian jantung yang
merugikan terkait dengan HF termasuk disfungsi katup dengan kardiomiopati dilatasi,
MI, dan aritmia ventrikel. Aritmia, sindrom koroner akut, gagal jantung kongestif,
regurgitasi mitral, ruptur dinding bebas ventrikel, perikarditis, pembentukan
aneurisma, dan trombus mural adalah komplikasi utama yang terkait dengan penyakit
arteri coroner.
2.4 Prognosis
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), pada Desember
2015, tingkat kematian terkait gagal jantung menurun dari 103,1 kematian per
100.000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 89,5 pada tahun 2009 tetapi kemudian
meningkat menjadi 96,9 pada tahun 2014. Mereka mencatat bahwa tren berkorelasi
dengan pergeseran dari penyakit jantung koroner sebagai penyebab kematian akibat
gagal jantung menjadi penyakit metabolik dan penyebab gagal jantung nonkardiak
lainnya seperti obesitas, diabetes, keganasan, penyakit paru kronis, dan penyakit
ginjal. Tingkat kematian setelah rawat inap untuk gagal jantung diperkirakan sekitar
10% pada 30 hari, 22% pada 1 tahun, dan 42% pada 5 tahun. Ini dapat meningkat
hingga lebih dari 50% untuk pasien dengan NYHA kelas IV, gagal jantung stadium
D.
BAB III
LAPORAN KASUS
Temperatur : 37C
SpO2 : 93%
Status Lokalisata
3. Thorax
Inspeksi Simetris
a. Paru Palpasi SF Kanan=Kiri
Perkusi Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi SP : vesikuler (+/+)
ST : Rhonki (-), Wheezing (-)
Inspeksi
b. Jantung Palpasi Apeks ajntung teraba normal
Perkusi Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi Bunyi Jantung I/II regular, Murmur (-),
Gallop (-)
Inspeksi Simetris
4. Abdomen Palpasi Soepel, Nyeri Tekan (-), Massa (-), Hepar
dan Lien tidak teraba
Perkusi Timpani seluruh lapangan perut
Auskultasi Peristaltic (+) normal
Superior Akral teraba hangat, oedema (-), CRT <2
5. Ekstremitas detik
Inferior Akral teraba hangat, oedema (+) pada
kedua ekstremitas inferior dextra dan
sinistra
29
Pemeriksaan EKG
31
Interpretasi EKG :
A/n : Uza Salima
Irama : Sinus Ritme Reguler
Rate : 15 kotak kecil (1.500 : 15 = 100x/i)
Axis : Axis Normal ( L I + AVF defleksi positif)
Gelombang P : Normal ( 1 kotak kecil = 0,04 mm)
Pr interval : Normal ( 4 kotak kecil = 0,16)
Kompleks QRS : memanjang ( durasi 3 kotak kecil = 0,12 mm)
Lead V1 s/d V4 tidak dijumpai gelombang Q (kesan OMI
Anteroseptal)
Segmen T : Normal tidak ada segmen ST depresi atau elevasi
Gelombang T : Normal (1 kotak kecil = 1 mm)
RVH : Normal ( tidak ada pembesaran R di V1 <7 mm)
LVH : Normal ( tidak ada pembesaran R wave di V5/V6)
Kesan : Sinus Ritme + OMI Anteroseptal
Kesan : Bronkitis
32
Pemeriksaan Echo
33
3.5 Diagnosis
CHF(EF 38%) Ec dd/PPCM + Hipoalbumin + Post Partum dengan Anemia + AKI +
SLE Derajat Sedang
Follow Up Pasien
KESIMPULAN
Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak dapat lagi memompa
darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun darah balik
masih dalam keadaan normal. Dengan kata lain, gagal jantung merupakan suatu
ketidakmampuan jantung untuk memompakan darahdalam jumlah yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan metabolik tubuh(forward failure) atau kemampuan tersebut hanya
dapat terjadi dengan tekananpengisian jantung yang tinggi (backward failure) atau keduanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gagal jantung adalah kontraktilitas
miokard, denyut jantung (irama dan kecepatan/ menit) bebanawal dan beban akhir. Gagal
jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-gejalaatau tanda-tanda akibat
fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi denganatautanpa adanya sakit jantung
sebelumnya. Gagal jantung kronis didefinisikansebagai sindroma klinik yang komplek yang
disertai keluhan gagal jantung berupasesak, fatique baik dalam keadaan istirahat maupun
beraktifitas.
Pada gagal jantung terjadi suatu kelainan multisistemdimana terjadi gangguan pada
jantung (disfungsi sistolik dan diastolik). Pada disfungsi sistolikterjadi gangguan pada
ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunancardiac output. Disfungsi diastolik
merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan
berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat
diastolik. Penyebabtersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi
ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. PERKI KKGJ dan K. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Perhimpun Dr Spes
Kardiovask Indones. 2020:848-853
2. Kevin C. Raja ; Samuel Goldstein. Congestive Heart Failure And Pulmonary Edema.
Advocate Lutheran General Hospital. 2022 Sep;19
3. Ziaeian B, Fonarow GC. Epidemiology and aetiology of heart failure. Nat Rev
Cardiol. 2016 Jun;13(6):368-78
4. Shahjehan RD, Bhutta BS. Penyakit arteri koroner. [Diperbarui 2023 Feb 9]. Di
dalam: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2023 Jan-
5. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta :
EGC, 1022
6. Bahit MC, Kochar A, Granger CB. Post-Myocardial Infarction Heart Failure. JACC
Heart Fail. 2018 Mar;6(3):179-186.
7. Lind L, Ingelsson M, Sundstrom J, Ärnlöv J. Impact of risk factors for major
cardiovascular diseases: a comparison of life-time observational and Mendelian
randomisation findings. Open Heart. 2021 Sep;8(2
8. King M, Kingery J, Casey B. Diagnosis and evaluation of heart failure. Am Fam
Physician. 2012 Jun 15;85(12):1161-8.
9. Ali AS, Rybicki BA, Alam M, Wulbrecht N, Richer-Cornish K, Khaja F, Sabbah HN,
Goldstein S. Clinical predictors of heart failure in patients with first acute myocardial
infarction. Am Heart J. 1999 Dec;138(6 Pt 1):1133-9
10. Tanai, Edit, and Stefan Frantz. “Pathophysiology of Heart Failure.” Comprehensive
Physiology, vol. 6, no. 1, 15 Dec. 2015, pp. 187–214,
https://doi.org/10.1002/cphy.c140055.
11. Ahmad M, Daniel B. Congetive Heart Failure. StatPearls. 2022
12. Nurkhalis, Adista RJ. Manifestasi Klinis dan Tatalaksana Gagal Jantung. J Kedokt
Nanggroe Med. 2020;3(3):36-46.
13. PERKI PDSKI. PEDOMAN TATALAKSANA GAGAL JANTUNG. edisi kedu.
(Siswanto, Prof. DR. dr. Bambang B. , SpJP(K), FIHA, FACC Fa, ed.).; 2020.
14. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia. 2020.
36
37