(ROSC)
Pembimbing :
Disusun oleh :
Fadli Ardiansyah 030.11.093
i
LEMBAR PENGESAHAN
Referat
(ROSC)
Penyusun:
Fadli Ardiansyah 030.11. 093
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Anestesi di Fakultas Kedokteran Trisakti
Periode April – Mei 2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala nikmat
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul “Post Cardiac Arrest
(ROSC)” Adapun penulisan referat ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu
tugas kepaniteraan Ilmu Anestesi di Fakultas Kedokteran Trisakti. Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada , selaku pembimbing yang
telah membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan referat ini. Ucapan terima
kasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan sesama koasisten Anestesi di Fakultas
Kedokteran Trisakti dan semua pihak yang turut serta berperan memberikan doa, semangat
dan membantu kelancaran dalam proses penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari
kata sempurna. Pada kesempatan ini, penulis memohon maaf kepada para pembaca.
Masukan, kritik, dan saran akan penulis jadikan bahan pertimbangan agar penelitian
kedepannya menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi ...................................................................................... 2
2.2 Cardiac Arrest .................................................................................................. 5
2.3 RJP ................................................................................................................... 7
2.4 ROSC ............................................................................................................... 8
2.5 Masalah pada ROSC ........................................................................................ 8
2.6 Pengelolaan ROSC ........................................................................................... 9
BAB III KESIMPULAN................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 14
iv
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Posisi jantung terletak diantar kedua paru dan berada ditengah tengah dada,
bertumpu pada diaphragma thoracis dan berada kira-kira 5 cm diatas processus
xiphoideus, terlindungi oleh tulang rusuk. Pada tepi kanan cranial berada pada tepi
cranialis pars cartilaginis costa III dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Pada tepi
kanan caudal berada pada tepi cranialis pars cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari
tepi lateral sternum tepi kiri cranial jantung berada pada tepi caudal pars cartilaginis
costa II sinistra di tepi lateral sternum, tepi kiri caudal berada pada ruang
intercostalis 5, kira-kira 9 cm di kiri linea medioclavicularis.
Ada 4 ruangan dalam jantung dimana dua dari ruang itu disebut atrium dan
sisanya adalah ventrikel. Pada orang awan atrium dikenal dengan serambi dan
ventrikel dikenal dengan bilik. Keempat rongga tersebut terbagi menjadi 2 bagian,
yaitu bagian kanan dan kiri yang dipisahkan oleh dinding otot yang dikenal dengan
2
istilah septum. Sesuai dengan etimologis, jantung pada dunia medis memiliki istilah
cardio yang berasal dari bahasa latin cor (Snell, 2006). Dimana cor dalam bahasa
latin memiliki arti : sebuah rongga. Sebagaimana bentuk dari jantung yang memiliki
rongga berotot yang memompa darah lewat pembuluh darah dalam kontraksi
berirama yang berulang dan berkonsistensi. Pun, dalam kedokteran istilah cardiac
memiliki makna segala sesuatu yang berhubungan dengan jantung. Dalam bahasa
Yunani, cardia sendiri digunakan untuk istilah jantung.3
3
pulmonalis, yang membawa darah ke paru untuk mengambil oksigen
Katup mitral membiarkan darah kaya oksigen dari paru yang masuk ke
atrium kiri untuk menuju ventrikel kiri
Katup aorta memberikan jalan bagi darah yang kaya oksigen dari ventrikel
kiri ke aorta, arteri terbesar tubuh yang nantinya akan dikirim ke seluruh
tubuh Katup trikuspid dan katup mitral dihubungkan oleh chorda tendinae ke
papillary muscle. Hal ini mencegah regurgutasi saat ventikel kontraksi (Snell,
2006).
3. Sistem Konduksi
4
1.2. Cardiac Arrest
Henti Jantung (Cardiac Arrest) adalah suatu keadaan dimana jantung berhenti
sehingga tidak dapat memompakan darah ke seluruh tubuh. Henti jantung primer
ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak
dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan
tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti
jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti
jantung.1
a. Etiologi dan Patofisiologi
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau
takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol
(+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektromekanik (+5%). Dua jenis henti
jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan
pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas
jantung menghilang. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak
teraba (karotis femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat
sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak
bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.3
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi
melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri
rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut
kembali(Alkatiri, 2007; Latief, 2007). Henti jantung kebanyakan dialami
oleh orang yang telah mempunyai penyakit jantung sebelumnya.
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang
mendasarinya. Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah
sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti.
Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ
tubuh. Organorgan tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke
otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas
normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani
dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit
(Sudden cardiac death). Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari
5
masing2 etiologi yang mendasari terjadinya cardiac arrest:4
1. Penyakit Jantung Koroner Penyakit jantung koroner menyebabkan
Infark miokard atau yang umumnya dikenal sebagai serangan jantung.
Infark miokard merupakan salah satu penyebab dari cardiac arrest.
Infark miokard terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke
otot-otot jantung menjadi keras dan menyempit akibat sebuah
materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin
meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada
akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang
mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat terjadi infark.
Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi
jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi
langsung dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac
arrest.
2. Stress Fisik Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi
jantung gagal berfungsi, diantaranya (Torpy, 2006)
perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
sengatan listrik
kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun
serangan asma yang berat
Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien
yang memiliki gangguan jantung
Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal
reflex akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
3. Kelainan Bawaan Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan
dalam keluarga. Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak
mereka. Anggota keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko
terkena cardiac arrest. Beberapa orang lahir dengan defek di jantung
mereka yang dapat mengganggu bentuk(struktur) jantung dan dapat
meningkatkan kemungkinan terkena SCA.
4. Perubahan Struktur Jantung Perubahan struktur jantung akibat penyakit
katup atau otot jantung dapat menyebabkan perubahan dari ukuran atau
struktur yang pada akhirnrya dapat mengganggu impuls listrik.
6
Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran jantung akibat tekanan
darah tinggi atau penyakit jantung kronik. Infeksi dari jantung juga dapat
menyebabkan perubahan struktur dari jantung.
5. Obat-obatan Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium
channel blocker, kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat
menyebabkan aritmia. Penemuan adanya materi yang ditemukan pada
pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman
pasien, memeriksa medical record untuk memastikan tidak adanya
interaksi obat, atau mengirim sampel urin dan darah pada laboratorium
toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.
6. Tamponade Jantung Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat
mendesak jantung sehingga tidak mampu untuk berdetak, mencegah
sirkulasi berjalan sehingga mengakibatkan kematian.
7. Tension Pneumothorax Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke
salah satu cavum pleura. Udara akan terus masuk akibat perbedaan
tekanan antara udara luar dan tekanan dalam paru. Hal ini akan
menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi,
jantung akan terdesak dan pembuluh darah besar (terutama vena cava
superior) tertekan, sehingga membatasi aliran balik ke jantung.
b. Diagnosis
Serangan jantung biasanya didiagnosa secara klinis dengan tidak
adanya pulsasi terutama pada arteri karotis . Dalam kebanyakan kasus
pulsasi karotis adalah standar untuk mendiagnosis serangan jantung, tetapi
kurangnya pulsasi (khususnya di pulsasi perifer) mungkin diakibatkan oleh
kondisi lain (misalnya shock).2
1.3. RJP
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan
henti nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah
kematian biologis. Kematian klinis ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis
dan arteri femoralis, terhentinya denyut jantung dan pembuluh darah atau
pernafasan dan terjadinya penurunan atau kehilangan kesadaran. Kematian biologis
dimana kerusakan otak tak dapat diperbaiki lagi, dapat terjadi dalam 4 menit setelah
kematian klinis. Oleh Karena itu, berhasil atau tidaknya tindakan RJP tergantung
7
cepatnya dilakukan tindakan dan tepatnya teknik yang dilakukan.
1.4. ROSC
8
1.6. Pengelolaan pada ROSC
a. Oksigenasi
Mempertahankan oksigen agar tetap pada 100% tujuannya untuk menjamin
jaringan tidak dalam keadaan hipoksia, namun kondisi hiperoksia pada tahap awal
reperfusi membahayakan bagi neuron – neuron akibat stress oksidatif yang
berlebihan. Hasil studi perbandingan perbaikan oksigen 94%-96% mendapatkan
outcome yang lebih baik daripada mempertahankan saturasi oksigen 100%.
b. Circulatory Support
Ketidakstabilan haemodinamik seringkali dijumpai pada pasien dengan
ROSC. Manifestasi yang sering tampak pada pasien ini biasanya seperti hipotensi,
dissritmia, dan juga rendahnya indeks cardiac. Pemberian elektrolit dapat dilakukan
untuk memperbaiki haemodinamik pasien dengan ROSC. Lini pertama pertama
9
untuk pengendalian hipotensi dengan menggunakan cairan intravena untuk
memperbaiki tekanan vena sentral dengan hasil 8 – 12 mmHg dalam 24 jam
pertama.10 Apabila target tekanan vena sentral tidak tercapai, maka harus
dipertimbangkan pemberian inotropic dan vasopressor meskipun preload dalam
keadaan optimal. Pasien dengan manifestasi dussritmia tidak terdapat obat – obat
khusus untuk masalah ini, pasien dengan kasus ini perlu dievaluasi untuk
penggunaan pacemaker atau implantable cardioverter-defibrillator.
c. Manajemen Sindrom Koroner Akut
Terapi trombolitik adalah alternatif yang tepat untuk manajemen serangan jantung
infark miokard ST-elevasi.9
d. Terapi Hipotermia
Terapi hipotermia harus menjadi bagian dari standar strategi pengobatan
untuk penderita koma yang selamat dari henti jantung. Dua uji klinis acak dan meta-
analisis menunjukkan peningkatan hasil pada orang dewasa yang tetap koma setelah
resusitasi awal dari gagal jantung ventrikel fibrilasi (VF) di luar rumah sakit dan
yang didinginkan dalam beberapa menit hingga beberapa jam setelah ROSC.10,11,12
Pasien dalam studi ini didinginkan hingga 33 ° C atau kisaran 32 ° C hingga 34 ° C
untuk 12 hingga 24 jam.10
Pendekatan praktis dari terapi hipotermia dapat dilakukan dibagi menjadi 3
fase: induksi, pemeliharaan, dan penghangatan kembali. Induksi dapat dilakukan
dengan mudah dan murah dengan menggunakan ice-cold intravena (saline 0,9%
atau Ringer laktat, 30 mL / kg), atau kompres es yang diletakkan di pangkal paha
dan ketiak dan di sekitar leher dan kepala. Dalam kebanyakan kasus, itu mudah
untuk mendinginkan pasien pada awalnya setelah ROSC, karena suhu biasanya
menurun dalam jam pertama.
Pada fase pemeliharaan, pemantauan suhu yang efektif diperlukan untuk
menghindari fluktuasi suhu yang signifikan. Ini paling baik dicapai dengan
perangkat pendingin eksternal atau internal itu termasuk umpan balik suhu terus
menerus untuk mencapai suhu target.9
Fase penghangatan kembali dapat diatur dengan eksternal atau perangkat
internal yang digunakan untuk pendinginan atau sistem pemanas lainnya. Tingkat
optimal penghangatan kembali tidak diketahui, tetapi saat ini konsensus
memperkirakan untuk menghangatkan kembali sekitar 0,25 ° C hingga 0,5 ° C per
jam.9,13
10
e. Sedasi dan Neuromuscular Block
Jika pasien tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran yang memadai di
dalam 5 sampai 10 menit pertama setelah ROSC, intubasi trakea (jika belum
tercapai), ventilasi mekanis, dan sedasi akan dibutuhkan. Sedasi yang cukup akan
mengurangi konsumsi oksigen, yang selanjutnya dikurangi dengan terapi
hipotermia.
Baik opioid (analgesia) dan hipnotik (misalnya, propofol atau benzodiazepin)
harus digunakan. Selama terapi hipotermia, sedasi optimal dapat mencegah
menggigil dan mencapai suhu target lebih awal. Jika menggigil terjadi meskipun
sedasi dalam, obat penghambat neuromuskuler (sebagai bolus intravena atau infus)
harus digunakan dengan pemantauan sedasi dengan dekat dan defisit neurologis,
seperti kejang.
f. Kontrol Glukosa
Kontrol ketat glukosa darah (4.4 sampai 6.1 mmol/L atau 80 hingga 110 mg/dL)
dengan insulin dapat mengurangi angka mortalitas pada rumah sakit pada pasien
dengan penyakit kritis. Monitoring glukosa darah dapat mempertahankan sistem
saraf sentral dan perifer.
11
12
BAB III
KESIMPULAN
13
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Patil K.D, Harpelin H.R, Becker L.B. Cardiac Arrest: Resuscitation and
Reperfusion. Cir R. 2015:116;2041-2049
2. Zima E. Sudden Cardiac Death and Post Cardiac Arrest Syndrome: An
Overview. The Journal of Critical Care Medicine. 2015:1(4);167-170
3. Ali B. Zafari A.M. Advances in the Acute Management of Cardiac Arrest.
Emergency Medicine Practice. 2008:10(9)
4. Waldmann V, et al. Burden of Coronary Artery Disease as a Cause of
Sudden Cardiac Arrest in the Young. Jour of the American College of
Cardiology. 2019:73(16)
5. Pothiawala S. Post-Resuscitation Care. Singaporean Med Jour.
2017:58(7);404-407
6. Perberdy M.A, et al. Part 9 : Post Cardiac Arrest Care 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation. 2010:122(3);768-86
7. Goto Y, Funada A, Goto Y. Relationship Between the Duration of
Cardiopulmonary Resuscitation and Favorable Neurological Outcomes
After Out-of-Hospital Cardiac Arrest: A Prospective, Nationwide,
Population-Based Cohort Study. Journal of American Heart Association.
2016:002819(5);1-10
8. Carbayo T, et al. Multiple organ failure after spontaneous return of
circulation in cardiac arrest in children. Aneles de Pediatria.2017:87(1);34-
41
9. Robert W, et al. Post Cardiac Arrest Syndrome. Circulation. 2018:118;2452
– 2483
10. Hypothermia After Cardiac Arrest Study Group. Mild therapeutic
hypothermia to improve the neurologic outcome after cardiac arrest
[published correction appears in N Engl J Med. 2002;346:1756]. N Engl J
Med. 2002;346:549 –556
11. Bernard SA, Gray TW, Buist MD, Jones BM, Silvester W, Gutteridge G,
Smith K. Treatment of comatose survivors of out-of-hospital cardiac arrest
with induced hypothermia. N Engl J Med. 2002;346:557–563.
12. Holzer M, Bernard SA, Hachimi-Idrissi S, Roine RO, Sterz F, Müllner M;
14
Collaborative Group on Induced Hypothermia for Neuroprotection After
Cardiac Arrest. Hypothermia for neuroprotection after cardiac arrest:
systematic review and individual patient data meta-analysis. Crit Care Med.
2005;33:414 – 418.
13. Masood Q, et al. Hypotermia in Return Of Spontaneous Circulation
(ROSC):Acute Management Option. SMGroup. 2017
15