Anda di halaman 1dari 25

ISI DAN PEMBAHASAN

Skenario

Nyeri Dada

Seorang wanita (52 tahun) dibawa keluarganya ke Puskesmas dengan


keluhan nyeri dada hebat disertai sesak napas, mual-muntah dan keringat dingin
sejak 4 jam yang lalu. Sebelumnya pasien mengeluhkan rasa berat di dada dan
ulu hati, hilang timbul sejak 3 hari yang lalu, yang dianggap pasien sebagai maag
yang kambuh. Hasil pemeriksaan menunjukkan TD: 170/95 dengan riwayat tidak
rutin minum obat dan tidak terkontrol sejak 15 tahun yang lalu, kadar kolesterol
darah 350 gr/dl, GDS 270 gr/dl dan IMT: 32. Dokter pukesmas melakukan
pemeriksaan EKG dan segera merujuk ke FKTRL terdekat.

2.1 Identifikasi Istilah


1. FKRTL
FKRTL merupakan kependekan dari Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjut
2.2 Identifikasi Masalah
Dari hasil diskusi yang telah dilakukan, didapatkan identifikasi masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme mual, muntah, nyeri dada, sesak napas, dan
keringat dingin?
2. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan?
3. Apakah ada hubungan faktor usia dengan keluhan yang dialami wanita
itu?
4. Apa ada hubungan dari tingginya GDS dengan keluhan yang dialami?
5. Apa ada hubungan kolesterol yang tinggi dengan keluhan yang dialami?
6. Apakah Tekanan Darah menjadi faktor presdiposisi atau komplikasi?
7. Apa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis, selain EKG, dan bagaimakah hasil EKG dari wanita tersebut?
8. Apa kemungkinan diagnosis dari keluhan yang dialami dari wanita
tersebut?
9. Apa tatalaksana yang harus dilakukan?

1
2.3 Analisa Masalah
1. Nyeri dada diakibatkan oleh disfungsi endotel yang kemudian
menyebabkan dikeluarkannya bradikinin, tertekannya serabut saraf oleh
bradikinin dapat menyebabkan sensasi nyeri dada yang dialami oleh
wanita tersebut.

Sesak napas diakibatkan oleh dikeluarkannya bradikinin yang


menyebabkan bronkokonstriksi pada saluran pernapasan.

Mual dan muntah di sebabkan oleh tekanan darah yang tinggi,


menyebabkan bekerjanya saraf simpatis yang menyebabkan distensi
lambung meningkat, keadaan ini yang selanjutnya dapat menyebabkan
sensasi mual yang dapat menimbulkan respon muntah.

Keringat dingin merupakan keadaan dimana tubuh mengalami sensasi


sakit yang mana menyebabkan saraf simpatis bekerja sehingga ekskresi
dari kelenjar keringat meningkat.

2. Interpretasi Hasil:
 Tekanan darah : Hipertensi
 GDS : Hiperglikemi
 Kolesterol : Hiperlipidemia
 IMT : Obesitas

3. Hubungan usia dengan keluhan yang dialami wanita tersebut adalah


dengan meningkatnya usia maka fungsi fisiologi tubuh mengalami
penurunan yang kemudian dapat menyebabkan keadaan yang dapat
menyebabkan keluhan-keluhan yang dialami wanita tersebut.

4. Hubungan tingginya nilai GDS dengan keluhan tersebut adalah dengan


keadaan hiperglikemia maka terjadi disfungsi endotel yang menyebabkan
pelepasan bradikinin, nyeri dan mual merupakan respon tubuh yang
dapat disebabkan dari pelepasan bradikinin.

5. Hubungan dari tingginya kolesterol dengan keluhan yang dialami wanita


tersebut adalah dengan meningkatnya kadar kolesterol dalam tubuh
dapat menyababkan plak pada pembuluh darah yang kemudian

2
menyebabkan aterosklerosis. Hambatan pada arteri koroner dapat
menyebabkan iskemia yang kemudian dapat menyebabkan nekrosis
jaringan jantung.

6. Hipertensi merupakan faktor presdiposisi.

7. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan selain EKG diantaranya


adalah:
 Fotothoraks, digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan
keluhan disebabkan oleh penyakit paru, menentukan apakah
adanya kelainan anatomis dari jantung yang mana bila terdapat
hipertrofi jantung dapat memperparah keadaan wanita tersebut.
 Angiografi, digunakan untuk melihat ada atau tidaknya
penyempitan lumen dari arteri koroner.
 Uji latih dengan farmakologi.

Gambaran EKG yang terlihat apabila terjadi infark miokard yaitu elevasi
segmen ST.

8. Kemungkinan diagnosis yang didapatkan dari hasil anamnesia dengan


keluhan nyeri dada, sesak napas, keringat dingin, dengan ditunjang oleh
pemeriksaan EKG, mengarah ke penyakit jantung apabila terdapat
penyebaran nyeri ke lengan kiri, rahang, leher, dan seakan menembus
kebelakang dada.
Apabila dari hasil laboratorium didapatkan kadar kreatinin yang
meningkat, diagnosis dapat mengarah ke sindroma koroner akut.

9. Tatalaksana awal yang dapat dilakukan kepada pasien tersebut adalah:


 Pemberian oksigen
 Aspirin sub lingual 160-320 mg
 Pemberikan tikagrelol sub lingual dosis awal 180 mg
 Jika belum membaik dapat diberikan nitrat atau morfin

2.4 Strukturisasi Konsep

3
2.5 Tujuan Belajar
Dari hasil diskusi yang telah dilakukan, didapatkan tujuan belajar sebagai
berikut:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, patogenesis,
manifestasi klinis, diagnosis, dan tatalaksana angina pectoris tidak stabil
2. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, patogenesis,
manifestasi klinis, diagnosis, dan tatalaksanan NSTEMI dan STEMI.

2.6 Belajar Mandiri


Mahasiswa melakukan belajar mandiri dari berbagai macam sumber bacaan
dan dapat dipertanggungjawabkan dari tanggal 10 September sampai 13
September 2019.

2.7 Sintesis

2.7.1 Angina Pektoris Stabil


2.7.1.1 Definisi

Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia
miokardium sementara dan reversibel. Terdapat tiga varian :

1. Angina tipikal atau stabil merupakan episode nyeri dada yang dapat
diprediksi karena terkait dengan kadar aktivitas tertentu atau peningkatkan
kebutuhan oleh sebab lain (misalnya takikardia). Nyeri yang dirasakan

4
umumnya digambarkan sebagai sensasi substernal yang seperti ditekan,
yang dapat meluas ke bawah ke lengan kiri atau ke rahang kiri. Nyeri
tersebut biasanya berkurang dengan istirahat atau oleh obat nitrogliserin,
vasodilator yang meningkatkan perfusi koronaria.
2. Angina Prinztmetal atau varian terjadi pada saat istirahat dan disebabkan
oleh spasme arteria koronaria. Angina varian biasanya memberikan respon
terhadap vasodilator seperti nitrogliserin dan penghambat kanal kalsium.
3. Angina tak stabil ditandai dengan frekuensi nyeri yang meningkat, dipicu
oleh aktivitas yang ringan atau bahkan terjadi saat istirahat. Angina ini sering
menyebabkan infark miokardium akibat oklusi total pembuluh darah. (Buku
Ajar Patologi Robbin, 2015)

2.7.1.2 Etiologi / Faktor Risiko

1. Kebiasaan makan/kolesterol
2. Diabetes Melitus (DM)
3. Hipertensi
4. Merokok
5. Penyakit vascular perifer
6. Obesitas
Penyebab paling sering dari Angina pektoris stabil adalah aterosklerotik yang
mempersempit adanya aterosklerotik yang mempersempit arteri koroner, apalagi
disertai ruptur plak atau erosi plak dengan tumpukan trombus non oklusif yang
menyebabkan suplai O2 tidak tercukupi dan menyebabkan iskemia miokard dan
nyeri/rasa tidak nyaman di dada.selain itu vasospasme juga dapat berkontribusi
menurunkan suplai ditambah dengan stenosis yang mencegahan peningkatan
suplai O2.

2.7.1.3 Patofisiologi
Kebutuhan O2 ditentukan oleh laju denyut jantung, kontraktilias ventrikel
kiri, dan tegangan dinding sistolik, sehingga kebutuhan meningkat saat latihan,
hipertensi, dan dilatasi ventrikel kiri (misalnya selama gagal jantung kronik).
Suplai O2 miokardium terutama ditentukan oleh aliran darah koroner dan
resistensi vaskular koroner yang sebagian besar terjadi pada level arteriol

5
intramiokardium. Saat latihan, aliran darah koroner meningkat sebanyak empat
hingga enam kali aliran yang merupakan cadangan aliran koroner norma.
Angina stabil timbul saat cadangan aliran dari satu atau lebih arteri koroner
dibatasi oleh stenosis struktural yang signifikan (>70%) yang disebabkan oleh
penyakit jantung
Angina stabil timbul saat cadangan aliran dari satu atau lebih arteri koroner
dibatasi oleh stenosis struktural yang signifikan (>70%) yang disebabkan oleh
penyakit jantung koroner aterosklerotik. Stenosis biasanya terbentuk pada regio
epikardial arteri, dalam 6 cm aorta. Pada kondisi istirahat, kebutuhan O 2
miokardium, dilatasi area arteri yang sehat tidak dapat meningkatkan suplai
darah ke jantung karena stenosis menyebabkan obstruksi menetap dan tidak
dapat berdilatasi. Ketidakseimbangan yang terjadi antara kebutuhan dan supai
O2 miokardium. Iskemia terjadi terutama di dalam subendokardium, bagian dalam
dinding miokardium. Hal ini karena aliran darah ke dinding ventrikel kiri terutama
terjadi selama diastol sebagai akibat kompresi arteriolar selama sistol. Arteriol
dari subendokardium lebih mengalami kompresi daripada arteriol pada lapisan
midepikardium atau subepikardium, sehingga subendokardium paling rentan
terhadap kekurangan relatif O2.
Selain menyebabkan nyeri, iskemia menyebabkan penuruna fofat
berenergi tinggi (kreatin fosfat dan ATP) pada sel miokardium. Akibatnya,
kontraktilitas ventrikel maupun relaksasi diastolik pada darah arteri yang terlibat
menjadi terganggu. Konsekuensi dari kejadian ini mencakup penurunan curah
jantung, gejala kongesti pulmonal, dan aktivasi saraf simpatis. Angina stabil
hampir selalu mereda dalam 5-10 menit dengan istirahat atau dengan
nitrogliserin, yang menurunkan kebutuhan O2 jantung.
Pada angina stabil terdapat fenomena variable threshold dimana terjadi
disfungsi endotel dinamik yang sering kali terjadi pada pasien dengan penyakit
arteri koroner. Normalnya endotel bekerja melalui oksida nitrat ntuk mendilatasi
arteri koroner selama latihan fisik. Jika vasodilatasi yang tergantung endotel ini
terganggu secara periodik, maka latihan fisik dapat menyebabkan vasokonstriksi
paradoksikal akibat efek vasokonstriksi sistem saraf simpatis pada resepto-α
koroner yang tidak dapat dilawan. (At a Glance Sistem Kardiovaskular, 2010)

6
2.7.1.4 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari angina pectoris stabil biasanya pasien mengeluhkan sakit
didada yang khas seperti nyeri yang tumpul rasa tertindih /berat di dada. Rasa
desakan yang kuat dari dalam. Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikit
ke kiri dengan penjalaran rahang, bahu, lengan, dan jari ulnar. Dan pasien
biasanya mengeluhkan sakit pada beberapa menit (kurang lebih 10 menit) dan
akan membaik ketika istirahat.

2.7.1.5 Penegakan Diagnosis


A. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menggali informasi mengenai keluhan yang dialami
beserta faktor resiko yang dimiliki. Kualitas nyeri dada yang tumpul beserta lokasi
yang terletak di retrosternal biasanya ditemukan pada angina pectoris stabil
dimana hal yang meringankan adalah pada saat istirahat dan yang mencetuskan
adalah pada saat stress emosional ataupun latihan berat. Selain itu perlu juga
digali riwayat penyakit yang dimiliki dan obat obatan yang diambil. Hipertensi,
gangguan metabolic dan lain lain merupakan faktor resiko yang mendukung
terjadinya angina pectoris stabil.
B. Pemeriksaan fisik
Sering didapatkan hasil pemeriksaan fisik yang normal pada kebanyakan pasien.
Namun ketika nyeri dada terjadi mungkin ditemukan adanya aritmia, gallop
bahkan murmur, split S2 paradoksal, ronki basah dibagian basal paru, yang
menghilang lagi pada waktu nyeri sudah berhenti.
C. Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan bahwa memang ada iskemia miokardium sebagai penyebab
nyeri dada maka diperlukan beberapa pemeriksaan:
 EKG Waktu Istirahat
Dikerjakan bila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dada adalah non
kardiak. Bila angina tak tipikal. maka EKG ini hanya positif pada 50% pasien.
EKG istirahat waktu sedang nyeri dada dapat menambah kemungkinan
ditemukannya kelainan yang sesuai dengan iskemia sampai 50% lagi, walaupun

7
EKG istirahat masih normal. Kelainan EKG 12 leads yang khas adalah perubahan
ST-T yang sesuai dengan iskemia miokardium. Akan tetapi perubahan-perubahan
lain ke arah faktor risiko seperti LVH dan adanya Q abnormal amat berarti untuk
diagnostik. Gambaran EKG lainnya tidak khas seperti aritmia, BBB, bi atau
trifasikular blok, dan sebaginya. Depresi ST-T 1 mm atau lebih merupakan
penanda iskemia yang spesifik, sedangkan perubahan-perubahan lainnya seperti
takikardia, BBB, blok fasikular dan lain-lain, apalagi yang kembali normal pada
waktu nyeri hilang sesuai pula untuk iskemia.
 Foto Toraks
Pemoriksaan ini dapat melihat misalnya adanya kalsifikasi koroner
ataupun katup jantung, tanda-tanda lain, misalnya pasien menderita juga gagal
jantung, penyakit jantung katup, perikarditis, dan anurisma dissekan, serta pasien-
pasien yang cenderung nyeri dada karena kelainan paru-paru.
 EKG Waktu Aktivitas/Latihan
Pasien yang direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan EKG saat
latihan adalah pasien dengan abnormalitas EKG saat istirahat yang perlu
dievaluasi lebih lanjut, seperti pasien dengan penyakit jantung koroner stabil yang
mengalami perburukan pada gejala dan pasien post-revaskularisasi dengan
perburukan gejala. Penting sekali dilakukan pada pasien-pasien yang amat
dicurigai, termasuk kelainan EKG sepeni BBB dan depresi ST ringan. Begitu pula
pada pasien-pasien dengan angina vasospastik; sedangkan pada pasien-pasien
dengan kemungkinan iskemianya rendah, LVH, minum obat digoksin, dengan
depresi ST kurang dari 1 mm boleh saja dikerjakan. meskipun sebenarnya tak
terlalu perlu. Kontra indikasi: IMA kurang dari 2 had, aritmia berat dengan
hemodinamik terganggu, gagal jantung manifes, emboli paru dan infark paru,
perikarditis dan miokarditis akut, diseksi aorta.
 Angiografi Koroner
Pemeriksaan ini diperlukan pada pasien-pasien yang tetap pada APS klas
III-IV meskipun telah mendapat terapi yang cukup. atau pasien-pasien dengan
risiko tinggi tanpa mempertimbangkan beratnya angina, serta pasien-pasien yang
pulih dari serangan aritmia ventrikel yang berat sampai cardiac arrest, yang telah

8
berhasil diatasi. Begilu pula perlunya pemeriksaan ini pada pasien-pasien yang
mengalami gagal jantung dan pasien-pasien yang karakteristik klinisnya tergolong
resiko tinggi.
Pemeriksaan ini diperlukan juga hagi pasien-pasien yang diketahui
mcmpunyai disfungsi ventrikel kiri (EF kurang dari 45%) walaupun dengan
angina kelas I-II dan pemeriksaan non invasif tidak menunjukkan risiko tinggi.
Serta pasien-pasien yang tidak dapat ditentukan status koronernya dengan
pemeriksaan non invasif.
Keterbatasan angiografi koroner misalnya adalah bahwa ia tak dapat
menentukan perubahan fungsi miokardium berdasarkan stenosis koroner yang ada
dan insensitif dalam menemukan adanya trombus. Lagipula ia juga tak dapat
menunjukkan plak sklerosis yang akan menyebabkan berkembangnya menjadi
UAP, yang tergantung pada isi dan kapsul plak tersebul. Tidak jarang plak yang
demikian biasanya hanyalah menunjukkan stenosis 50%. Dengan tambahan
beratnya disfungsi LV. Angiografi koroner bermanfaat sekali untuk stratifikasi
prognostik, yang berkorelasi dengan jumlah pembuluh darah yang mengalami
stenosis.
Dengan pemeriksaan-pemeriksaan noninvasif dan invasif didapat
klasifikasi pasien meniadi pasien-pasien yang asimtomatik diberlakukan
menyerupai APS juga, hanya dengan skala yang Iebih ringan; misalnya bila EKG
istirahalnya normal, tidak memerlukan stress eko lagi, apalagi adanya PJK sudah
dibuktikan sebelumnya.

2.7.1.6 Tatalaksana

9
Gambar 1. Algoritme manajemen dari angina pektoris stabil

FARMAKOLOGIS
 Pada pasien yang mengalami serangan angina pada APS, dapat diberikan
nitogliserin sublingual (0,3-0,6 mg) setiap 5 menit hingga nyeri
menghilang atau hingga dosis maksimal 1,2 mg dalam 15 menit, pasien
didudukkan (karena berdiri memicu pingsan, sedangkan berbaring dapat
meningkatkan aliran balik dan kerja jantung). Selain itu dapat diberikan

10
isosorbid dinitrat (ISDN) 5 mg sublingual, dapat diberikan untuk
menghindari serangan angina kembali dalam 1 jam.
 Nitrat jangka panjang dapat digunakan sebagai profilaksis angina, antara
lain, ISDN, mononitrat dan transdermal nitroglicerin patch, namun belum
dapat dibuktikan secara langsung pengaruhnya, pemberian nitrat jangka
panjang perlu re-evaluasi dikarenakan bila ada intake nitrat jangka panjang
tanpa ada waktu “bebas-nitat” atau waktu kadar nitrat yang rendah dalam
8-10 jam dapat mengakibatkan perburukan pada dinding endotel.
 Hati-hati dalam penggunaan nitrat jangka panjang dapat memicu
terjadinya sakit kepala dan hipotensi. Hipotensi dapat terjadi apabila nitrat
digabungkan dengan penghambat kanal kalsium / Phosphate diesterase – 5
inhibitor (PDE5) / sildenafil / penghambat α-adrenergik.
 ASPIRIN
Penggunaan aspirin merupakan pencegahan terjadinya trombosis arteri.
Berperan sebagai COX-1 inhibitor. Dosis yang biasa digunakan ≥75 mg/
hari (75-150 mg/ hari). Hati-hati efek samping terhadap saluran cerna.
 BETA BLOKER
Bekerja menurunkan denyut jantung, kontraktilitas, konduksi AV dan
aktivitas ektopik. Beta bloker bermanfaat untuk mengontrol terjadinya
angina yang dicetuskan oleh latihan fisik. Beta bloker dapat
dikombinasikan dengan dihidropiridin untuk mengatasi angina. Hati-hati
kombinasi beta bloker dengan verapamil dan diltiazem sebaiknya dihindari
karena resiko terjadinya bradikardia dan AV blok.
Contoh beta bloker : Metoprolol, bisoprolol, atenolol dan karvedilol.
 Angiotensin converting enzyme inhibitor, terutama bila disertai hipertensi
atau disfungsi LV.
 Pemakaian obat-obatan untuk menurunkan LDL, pada pasien dengan LDL
>130 mg/dl (target <100 mg/dl)
 Klopidogrel hanya pada kondisi terdapat kontraindikasi terhadap
penggunaan aspirin.

11
 Antagonis Kalsium nondihidropiridin long acting sebagai pengganti
penyekat beta untuk terapi permulaan.
a) Verapamil
b) Diltiazem
 Antagonis Kalsium dihidropiridin
a) Long acting Nifedipin
b) Amlodipin
 Ivabradin, obat ini merupakan obat yang menurunkan denyut jantung
dengan cara menginhibisi nodus sinus, sehingga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen dari miokardium tanpa memberikan efek terhadap
inotropik dan tekanan darah. Ivabradin efektif sebagai antiangina dan
dapat digunakan tunggal atau dikombinasikan dengan beta bloker.

Terapi Terhadap Faktor Resiko


Penurunan kolestetol LDL pada pasien yang jelas menderita PJK atau
amat dicurigai menderita PJK dengan LDL antara 100-129 mg/dl, dengan target
LDL adalah di bawah 100 mg/dl. Ada beberapa pilihan terapi untuk ini, yaitu:
 Gaya hidup atau dengan obat-obatan.
 Penurunan BB dan peningkatan latihan pada sindrom metabolik.
 Pengobatan terhadap peninggian lipid lainnya atau faktor risiko nonlipid
lainnya; pemakaian asam nikotinat atau asam fibrat untuk peninggian
trigliserid atau HDL yang rendah.
 Penurunan BB pada obesitas meskjpun pasien tidak menderita
hipertensi, dislipidemia ataupun DM.
Sudah disebutkan di atas bahwa dalam terapi APS ataupun PJK
asimtomatik, maka tujuan yang utama adalah pencegahan serangan jantung
(infark) dan kematian; setelah itu barulah menghilangkan simtom dan perbaikan
kualitas hidup.
Maka diantara obat-obatan ini yang berguna untuk mengurangi angka
kematian dan serangan jantung adalah aspirin, penurunan kolesterol darah

12
terutama dengan statin, penyekat beta dan ACE inhibitors. Obat-obatan lainnya
berguna untuk mengurangi angina dan memperbaiki kualitas hidup.

NON FARMAKOLOGIS
Di samping pemberian oksigen dan istirahat pada waktu datangnya
serangan angina misalnya, maka hal-hal yang telah disebut di atas seperti
perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB,
penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain, merupakan terapi non
farmakologis yang dianjurkan. Semuanya ini, termasuk pula perlunya pemakaian
obat secara terus menerus sesuai yang disarankan dokter dan mengontrol faktor
risiko, serta bila perlu mengikutsertakan keluarganya dalam pengobatan pasien,
dapat dimasukkan juga ke dalam pendidikan.
 Diet
Pengaturan diet yang sehat akan menurunkan risiko terjadinya infark
miokardium.
 Aktivitas Olahraga
Pasien dengan APS disarankan untuk berolahraga sebanyak ≥3x/minggu
dengan durasi 30 menit setiap sesinya.
 Reperfusi Miokardium
Reperfusi miokardium dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
intervensi koroner dengan balon dan pemakaian stem sampai operasi CABG.
Terapi ini pun harusiah mengutamakan tujuan penurunan mortalitas serta
mengurangi serangan jantung akut, bukan hanya untuk mengurangi simtom dan
memperbaiki kualitas hidup. Misalnya pasien APS/asimtomatik dengan kelainan
1-2 pembuluh koroner, haruslah diberikan terapi farmakologis yang intensif dulu
sebelum dikatakan bahwa terapi yang diberikan telah gagal; sedangkan pasien
dengan keiainan pembuluh Left Main (LM) sebaiknya langsung dilakukan
reperfusi karena memang terbukti menurunkan mortalitas.
Keadaan-keadaan yang memerlukan reperfusi miokardium pada APS:
- Coronary artery bypass graft (CABG) pada stenosis LM.

13
- Coronary artery bypass graft pada lesi 3 pembuluh torutama bila ada
disfungsi LV.
- Coronary artery bypass graft pada pasien lesi 2 pembuluh dan proksimal LAD
dan disfungsi LV atau terdapat iskemia pada tes non invasif.
- Percutaneous coronary intervention pada pasien-pasien dengan lasi 2
pembuluh dan proksimal LAD yang anatomis baik untuk PCI, apalagi bila
LV fungsi normal dan tidak diobati untuk DM.
- Percutaneous coronary intervention atau CABG pada pasien-pasien dengan
lesi l atau 2 pembuluh, tanpa proksimal LAD yang bermakna, tetapi terdapat
"viable" miokardium cukup luas atau pada tes noninvasif termasuk risiko
tinggi.
- Coronary artery bypass graft pada pasien-pasien dengan lesi 1-2 pembuluh
tanpa proksimal LAD, yang pulih dari aritmia ventrikel yang berat/cardiac
arrest.
- Percutaneous coronary intervention atau CABG pada pasien yang
sebelumnya sudah reperfusi PCI tapi mengalami restenosis, sedangkan
terdapat miokardium “viable” luas ataupun pada tes non invasif termasuk
high risk.
- Percutaneous coronary intervention atau CABG pada pasien-pasien yang tak
berhasil baik dengan terapi konservatif, sedangkan reperfusi dapat dikerjakan
dengan risiko cukup baik.
- Reperfusi transmiokardial secara operatif dengan menggunakan laser

Terapi lain yang dapat dipertimbangkan pula pada pasien-pasien APS atau
asimtomatik PJK adalah:
- Pemberian hormon penggami pada pasien perempuan posmenopos. bila tak
ada KI.
- Penurunan BB pada obesitas, sekalipun tak ada hipertensi, DM dan
hiperlipiemia.
- Terapi asam folat pada pasien dengan peninggian homosistein.
- Suplemen vit E dan C.

14
- Identifikasi adanya dcpresi dan pengobatannya yang adekuat.

D. Penatalaksanaan Lanjutan
Belum tersedia pedoman yang jelas mengenai evaluasi lanjutan pasien-pasien
APS dan asimtomatik PJK yang telah berhasil distabilkan dengan pengobatan
atau/dilakukan terapi revaskularisasi. Beberapa pedoman yang tersusun berikut ini
mempakan hasil pengalaman, namun dapat dipakai untuk pegangan.
Yang lebih dulu perlu dievaluasi antara lain adalah bagaimana keluhan-
keluhan AP nya, apakah bertambah lagi atau tetap stabil, apakah timbul tanda-
mnda disfungsi LV yang baru, apakah terapi yang ada dapat ditolerir dengan baik
dan bagaimana kontrol faktor risikonya serta adanya komorbid baru yang
memerlukan terapi tapi mengganggu stabilitas AP nya.
Setelah anamnesis yang teliti mengenai perubahan dan perkembangan
simptom, maka pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati pula mengeani
adanya tanda-tanda gagal jantung, aritmia, perubahan-perubahan pada pembuluh
darah tepi lainnya, perubahan-perubahan pada jantung dan lain-lain.
Pemeriksaan laboratorium terutama ditujukan pada faktor risiko, seperti
gula darah dan glikosilat Hb pada DM, profil lipid, fungsi ginjal, dan lain-lain.
Profil lipid mula-mula diperiksa 4-8 minggu, lalu tiap 4-6 bulan.
Dalam penatalaksanna lanjutan (follow up) pasien- pasien
APS/asimtomatik mungkin diperlukan lagi tes-tes noninvasif, seperti
direkomendasikan sebagai berikut:
1. Foto toraks bila terdapat tanda-tanda CHF yang baru atau pemburukannya.
2. Penilaian kembali fungsi sistolis LV ataupun analisa segmental LV dengan
cara eko ataupun radionuklir pada pasien-pasien dengan CHF yang baru
timbul maupun perburukannya ataupun timbulnya tanda-tanda infark
jantung.
3. Ekokardiografi pada pasien-pasien dengan tanda-tanda kelainan katup
yang baru atau perburukan kel. Katup yang ada.
Uji treadmill pada pasien-pasien yang belum dilakukan revaskularisasi,
yang menunjukkan perubahan-perubahan klinis yang cukup berarti dan mampu

15
melakukan stres tes dengan exercise. sedangkan pada yang tak mampu melakukan
exercise test dilakukan pemeriksaan radionuklir, dan tak menunjukkan perubahan-
perubahan EKG sepeni WPW, electrical pacing rhythme dan ST depresi lebih dari
1 mm pada EKG istirahat.

2.7.2 Sindroma Koroner Akut

2.7.2.1 Definisi

 IMA-EST : sindrom koroner akut dengan segmen ST elevasi, angina


tipikal, dan perubahan ekg dengan gambaran elevasi yang diagnostik.
 IMA-NEST : sindrom koroner akut tanpa segmen ST elevasi, angina
tipikal, dapat disertai dengan perubahan ekg, dan dengan hasil
pemeriksaan biomarka jantung meningkat.
 APTS : sindroma koroner akut tanpa segmen ST elevasi, angina tipikal,
dapat disertai dengan perubahan ekg, dan hasil pemeriksaan biomarka
jantung tidak meningkat.

2.7.2.2 Etiologi

 Spasme lokal
Sumbatan dinamis arteri koronaria epicardial
 Tanpa spasme
Dapat diakibatakan karena plak dan restenosis setelah intervensi koroner
perkutan (IKP)
 Faktor pencetus
- Demam
- Anemia
- Tirotoksikosis
- Hipotensi
- Takikardi

Faktor risiko tradisional Faktor risiko non-tradisional


Dapat dimodifikasi : - homosistein

16
- Dislipidemia - Lipoprotein (a)
- Merokok - C-Reactive Protein (CRP)
- Hipertensi
- Diabetes mellitus, sindroma
metabolik
- Kurang aktivitas fisik
Tidak dapat dimodifikasi :
- Bertambahnya usia
- Laki-laki
- hereditas

2.7.2.2 Patofisiologi

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika


aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus ada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu.STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, di mana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid .
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jka plak aterosklerosis
mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami rupture jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan
inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri
dari fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respons terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriksi okal yang poten).

17
Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein
IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas
tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin)
seperti factor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah
molekul multivalent yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Factor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin.
Pembentukan thrombus pada kaskade koagulasi dapat diihat pada gambar 3.
Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh
thrombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin

Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

2.7.2.3 Diagnosis

18
A. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten
(beberapa menit) atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai
kelluhan penyerta seperti diaforesis (keringat dingin), mual/muntah, nyeri abdominal,
sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain
nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan (indigesti), sesak
napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.
a. Nyeri dengan gambaran dibawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri
dada non-kardiak) :
b. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
c. Nyeri abdomen tengah atau bawah
d. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
e. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
f. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
g. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah.
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan
karakteristik sebagai berikut :
a. Pria
b. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non-koroner (penyakit arteri
perifer / karotis)
c. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,
bedah pintas koroner, atau IKP
d. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga yang diklasifkasikan
sebagai risiko tinggi, risiko sedang, atau risiko rendah menurut National
Cholesterol Education Program (NCEP).
B. Pemeriksaan Fisik

19
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaforesis,
ronkhi basah halus, atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
C. Pemeriksaan Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkn sesampainya di ruang gawat darurat. Sedapat mungkin,
rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat
darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul
kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina
cukup bervariasi, yaitu: normal, non-diagnostik, left bundle branch block
(LBBB) baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20
menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa
inversi gelombang T.
Penilaian elevasi ST dilakukan pada titik J dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan Pasien SKA dengan elevasi segmen ST
dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru
mengingat pasien tersebut adallah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu
pasien dengan EKG yang diagnostik untuk IMA-EST dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebellum hasil pemeriksaan biomarka jantung tersedia.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tanpa elevasi
segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard non-elevasi
segmen ST (IMA-NEST) atau angina pektoris tidak stabil (APTS) Depresi
segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mv di
sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi
segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten
(<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang
T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesiftas tinggi untuk iskemia akut.
Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang
diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG yang non-diagnostik.
D. Pemeriksaan Biomarka Jantung

20
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin IfT merupakan biomarka
nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai biomarkanekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesivisitas lebih tinggi daricK-MB. Peningkatan biomarka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit. Dalam keadaan nekrosis miokard,
pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal
dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, sehingga pemeriksaan hendaknya diulang
8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan
dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama.
E. Pemeriksaan Non-invasif
Pemeriksaan ekokardiograf transtorakall saat istirahat dapat
memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk
menentukan diagnosis banding. Stress test seperti EKG exercise dapat
membantu menyingkirkan diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-
pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal, dan marka jantung yang
negatif. Multislice cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan
PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK rendah
sampai menengah, dan jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan.
F. Pemeriksaan Invasif (angiograf koroner)
Angiograf koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan
tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan
diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak
jelas. Penemuan angiograf yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang
ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang
mengesankan adanya trombus intrakoroner.
G. Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium, di samping biomarka jantung, yang harus
dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah
sewaktu, status ellektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.
Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.

21
H. Pemeriksaan Foto Polos Dada
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang
gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus
dilakukan di rwang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemenksaan
adalah untuk membuat diagnosis banding, identifkasi komplikasi dan penyakit
penyerta.

2.7.2.2.4 Tata Laksana


Berdasarkan Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut (PERKI,
2018), terapi awal adalah terapi yang diberikan kepada pasien dengan diagnosis
kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat
darurat, sebelumnya ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau biomarka jantung.
Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat
MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan. Dengan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang terarah, MONA telah dapat diberikan pada
Kemungkinan maupun Definitif SKA sesegera mungkin, atau di layanan primer
sebelum dirujuk.
1. Tirah baring
2. Pada semua pasien IMA-EST direkomendasikan untuk mengukur saturasi
oksigen perifer
a. Oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia (SaO2 <90% atau
PaO2<60 mmHg)
b. Oksigen rutin tidak direkomendasikan pada pasien dengan SaO2 >89%
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera kepada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin.
4. Penghambat reseptor adenosin difosfat (ADP)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien IMA-EST yang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik; atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi

22
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang
dianjurkan adalah clopidogrel
5. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual untuk pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada
tidak hilang dengan 1 kali pemberian, dapat diulang setiap 5 menit hingga
maksimal 3 kali. Nitrogliserin intravena diberikan kepada pasien yang tidak
responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia
NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat digunakan sebagai pengganti.
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual.

23
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Angina Pektoris dan Infark Miokard Akut merupakan suatu kelainan
vaskuler pada jantung, tepatnya yaitu pembuluh darah koroner yang kebanyakan
disebabkan penyumbatan, iskemia, serta difungsi pembuluhnya.
Dengan diagnosis ini sudah seharusnya pasien mendapat penatalaksanaan
yang tepat dari pihak medis berpengalaman.

3.2 Saran
Dalam pembuatan Laporan ini kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangannya baik dari segi diskusi maupun dari segi penulisan serta
penyusunan laporannya untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen
yang memberikan materi kuliah, dari teman-teman dan dari berbagai pihak demi
kesempurnaan laporan ini.

24
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi
9. Singapura: Elsevier Saunders.
Mann, L. Braundwal's. 2014. Heart Disease : A Textook of Cardiovascular
Medicine Edition 10th Volume 2. Jakarta : Elsevier
Aaronson, Philip I. and Jeremy P.T. Ward (2010).At a Glance Sistem
Kardiovaskuler Edisi Ketiga.Jakarta: Penerbit Erlangga.
PERKI, 2015, Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut, edisi
ketiga, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,
Jakarta.

25

Anda mungkin juga menyukai