Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO G3 BLOK 9

Oleh: Kelompok G3

Tutor: dr. Dalillah, M.kes

Alessandro Syafei Rashid 04011381722201


Anggun Pratiwi R 04011381722234
Carolina Maria Sidabutar 04011381722219
Irene Louise H 04011381722170
M Catra Sadewo 04011381722222
M Rifky Mediansyah 04011381722176
Raehan Naufaliandra K 04011381722194
Saphira Nada K 04011381722156
Sindy Bintang Permata 04011381622196
Yake Apriliany 04011381722162
Zaviera Az zahra D 04011381722187

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN AJARAN 2018/2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan
Tutorial Skenario G Blok 9” sebagai tugas kompetensi kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran.
Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur, hormat, dan terimakasih kepada :
1. Tuhan yang Maha Esa, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial,
2. Ibu dr Dalillah, M.kes selaku tutor kelompok G3
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD gamma 2017
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada
semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi kita
dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan.

Palembang, 18 September 2018

Penulis

ii Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………..ii

Daftar Isi…………………………………………………………………...3

Kegiatan Diskusi…………………………………………………………...4

Skenario……………………………………………………………………5

I. Klarifikasi Istilah………………………………………………………6

II. Identifikasi Masalah……………………………………………………6

III. Analisis Masalah……………………………………………………….7

IV. Kerangka Konsep……………………………………………………..22

V. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan…………………………………………..23

VI. Sintesis ………………………………………………………………..24

VII. Kesimpulan…………………………………………………………...57

Daftar Pustaka……………………………………………………………..58

3 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


KEGIATAN DISKUSI

Tutor : dr. Dalillah, M.kes

Moderator : Sindy Bintang Permata

Sekretaris 1 : Yake Apriliany

Sekretaris 2 : Saphira Nada Khalisah

Presentan : M. Rifky Meidiansyah

Pelaksanaan : 18 dan 20 September 2018

Peraturan selama tutorial :

1. Jangan menyela atau memotong pembicaraan orang lain.


2. Tidak boleh makan dan minum
3. Jika ingin menyampaikan pendapat, angkat tangan terlebih dahulu
4. Kondisikan handphone hanya dipakai saat – saat penting saja.

4 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


SKENARIO G BLOK 9 2018

Nn.A, 20 tahun, seorang mahasiswa datang ke IGD RS dengan keluhan


demam sejak 7 hari yang lalu. Sejak 7 hari yang lalu, Nn. A mengeluh demam tinggi
terus menerus, terutama sore dan malam hari, disertai bibir kering dan pecah-pecah.
Nn. A sudah berobat ke puskesmas namun demam tidaak turun meskipun sudah
minum obat penurun panas. Keluhan disertai dengan mual, tidak napsu makan dan
konstipasi. Tidak ada keluhan nyeri buang air kecil yang dialami Nn. A. Tidak ada
riwayat bepergian ke suatu daerah tertentu. Pasien kemudian dirawat oleh dokter
selama 1 minggu dan diperbolehkan pulang karena tidak ada lagi keluhan lagi.

Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum : tampak sakit sedang


Tanda vital : kesadaran: compos mentis; tekanan darah: 110/70mmHg;
frekuensi Nadi: 88x/menit; frekuensi napas: 20x/menit; suhu: 39,6C.

Keadaan spesifik:
Kepala : bibir pecah-pecah, lidah berselaput putih kekuningan, kotor ditengah,
tepi dan ujung merah serta tremor
Abdomen : datar, lemas, nyeri tekan kanan kuadran kanan bawah, auskultasi :
bising usus normal

Pemeriksaan penunjang
Hb: 11,5 gr% lekosit: 3.000/uL, trombosit 284.000/uL, LED 40 mm/jam, hitung
jenis: 0/0/1/52/46/1
Widal Salmonella typhii titer O : 1/160 dan H : 1/160, IgM Salmonella typhi
(tubex): 3

5 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


I. Klarifikasi Istilah
1. Konstipasi: Frekuemsi buang air besar yang kurang dari tiga kali
seminggu dengan feses yang keras dan kecil-kecil disertai dengan
kesuloitan sampai rasa sakit saat BAB.
2. Tubex: Uji serologis yang dapat mendeteksi antibodi IgM anti-
salmonella.
3. LED: Laju endapan darah yaitu kecepatan sel darah merah mengendap
dalam waktu satu jam.
4. Demam: Suatu keadaan saat suuhu tubuh melebih 37 c karena penyakit
atau peradangan.
5. Titer : Jumlah substansi yang dibutuhkan untuk menimbulkan reaksi
atau untuk berhubungan dengan sejumlah substansi lain.
6. Tremor: Gerakan involunter pada satu atau lebih bagian tubuh, gerakan
ini timbul akibat berkontraksinya otot-otot yang berlawanan secara
bergantian dengan frekuensi dan amplitudo lengkap dalam periode
wajtu yang lama.
7. Compos Mentis: Kesadaran normal, sadar sepenuhnya.
8. Widal: Prosedur uji serologi untuk menguji bateri Salmonella enterica
serotype typhi.

II. Identifikasi Masalah

Fakta Ketidaksesuaian Prioritas

Nn.A, 20 tahun, seorang mahasiswa datang ke IGD Tidak sesuai harapan VVVVV
RS dengan keluhan demam sejak 7 hari yang lalu.
Sejak 7 hari yang lalu, Nn. A mengeluh demam
tinggi terus menerus, terutama sore dan malam hari,
disertai bibir kering dan pecah-pecah. Nn. A sudah
berobat ke puskesmas namun demam tidak turun
meskipun sudah minum obat penurun panas

6 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Keluhan disertai dengan mual, tidak napsu makan Tidak sesuai harapan VVVV
dan konstipasi. Tidak ada keluhan nyeri buang air
kecil yang dialami Nn. A. Tidak ada riwayat
bepergian ke suatu daerah tertentu.. Pasien
kemudian dirawat oleh dokter selama 1 minggu dan
diperbolehkan pulang karena tidak ada lagi keluhan
lagi.

Pemeriksaan Fisik: Tidak sesuai harapan VVV


Keadaan umum: tampak sakit sedang
Tanda vital: kesadaran: compos mentis; tekanan
darah: 110/70mmHg; frekuensi Nadi: 88x/menit;
frekuensi napas: 20x/menit; suhu: 39,6C.
Keadaan spesifik: Tidak sesuai harapan VVV
Kepala : bibir pecah-pecah, lidah berselaput putih
kekuningan, kotor ditengah, tepi dan ujung merah
serta tremor
Abdomen : datar, lemas, nyeri tekan kanan
kuadran kanan bawah, auskultasi : bising usus
normal
Pemeriksaan penunjang Tidak sesuai harapan VVV
Hb: 11,5 gr% lekosit: 3.000/uL, trombosit
284.000/uL, LED 40 mm/jam, hitung jenis:
0/0/1/52/46/1
Widal Salmonella typhii titer O : 1/160 dan H :
1/160, IgM Salmonella typhi (tubex): 3

Alasan prioritas masalah ini karena demam merupakan keluhan utama yang
harus segera ditangani.

III. Analisis Masalah


1. Nn.A, 20 tahun, seorang mahasiswa datang ke IGD RS dengan keluhan
demam sejak 7 hari yang lalu. Sejak 7 hari yang lalu, Nn. A mengeluh

7 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


demam tinggi terus menerus, terutama sore dan malam hari, disertai
bibir kering dan pecah-pecah. Nn. A sudah berobat ke puskesmas namun
demam tidaak turun meskipun sudah minum obat penurun panas
1. Bagaimana mekanisme terjadinya demam pada kasus ini?
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang di kenal dengan
nama pirogen. Pirogen terbagi dua yaitu eksogen dan endogen.
Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh seperti toksin, produk-
produk bakteri dan bakteri itu sendiri mempunyai kemampuan untuk
merangsang pelepasan pirogen endogen yang disebut dengan
sitokin. Sebagian besar sitokinin di hasilkan oleh makrofag yang
merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana sitokin-
sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi
prostaglandin, yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan
suhu tubuh.

2. Bagaimana anamnesis pasien dengan keluhan demam?

- Menanyakan identitas pasien: nama, umur, alamat &


pekerjaan
- Menanyakan keluhan utama
- Menanyakan riwayat perjalanan penyakit
- Onset
- kronologi
- Kuantitas
- Kualitas
- Faktor yang memperberat
- Faktor yang memperingan
- Gejala yang menyertai
- Menanyakan riwayat penyakit dahulu
- Menanyakan riwayat kesehatan keluarga
- Menanyakan riwayat sosial ekonomi
- Menanyakan Riwayat kebiasaan sosial (Social history)
(olahrga, diet merokok dsb)

8 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


3. Menapa demam terjadi terutama pada sore dan malam hari?
Hal ini dikarenakan metabolisme yang menurun dan
cenderung meningkat. Pada infeksi Salmonella typhii atau kondisi
demam tifoid, metabolisme cenderung turun pada sore hari,
sebaliknya dalam keadaan normal (irama sirkadian), suhu tubuh
manusia cenderung menurun pada pagi. Oleh karenanya terjadi
kekacauan pada set point di hipotalamus posterior, yang
mengakibatkan demam cenderung meningkat pada sore hari

4. Mengapa demam tidak turun meskipun sudah minum obat penurun


panas?

Karena obat penurun panas lebih bersifat anti piretik /


menurunkan panas sedangkan bakteri masih terus menginfeksi.
Karena obat tadi hanya mengurangi symptom namun tidak
menyembuhkan inflamasi dari bakteri maka panas tidak turun-turun.

5. Apa penyebab bibir kering dan pecah-pecah pada kasus ini disertai
mekanismenya?
Pada orang-orang yang menderita penyakit-penyakit yang
menimbulkan dehidrasi seperti demam, diare yang terlalu lama,
diabetes, gagal ginjal kronis dan keadaan sistemik lainnya dapat
mengalami pengurangan aliran saliva. Hal ini disebabkan karena
adanya gangguan dalam pengaturan air dan elektralit, yang diikuti
dengan terjadinya keseimbangan air yang negatif yang
menyebabkan turunnya sekresi saliva.

6. Bagaimana mekanisme obat penurun panas disertai efek samping?


Mekanisme Kerja Antipiretik
Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan
hilangnya panas. Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus
ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik

9 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


diawali penglepasan suatu zat pirogen, endogen atau sitokin yang
memacu penglepasan PG yang berlebihan di daerah preoptik
hepotalamus. Demam yang timbul akibat pemberian PGg tidak
dipengaruhi demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain
misalnya latihan fisik. Pada keadaan demam keseimbangan
terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip
aspirin atau obat antipiretik.
1. Paracetamol
i. Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek anti
koagulansia (darahnya encer), dan pada dosis
biasa tidak interaktif.
ii. Paracetamol dapat menyebabkan masa paruh
kloramfenikol menjadi sangat panjang.
iii. Kombinasi dengan obat AIDSzidovudin
meningkatkanakan resiko neutropenia
(kesemutan)
2. Asetosal
a. Asetosal memperkuat daya kerja anti koagulan,
antideabetikoral, dan metotreksat.
b. Asetosal menyebabkan efek obat
encokprobensial dan sulfinpirazon
berkurang,begitu pula diuretikfurosemid dan
spironolakton.Sedangkan kerjaan algetikasetosal
diperkuat oleh kodein dan d-propoksifen.
c. Alkohol menyebabkan peningkatan resiko
perdarahan lambung-usus, karena efek Anti
trombotisnya yang mengakibatkan resiko
perdarahan meningkat. (masih
polemicanraparasetamol dan ibuprofen)

Efek samping obat anti piretik dan analgetik

Efek samping yang paling sering terjadi berupa iritasi


mukosa lambung dengan resiko tukak lambung dan perdarahan

10 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


samar. Penyebabnya adalah sifat asam dari asetosal, yang dapat
dikurangi dengan kombinasi dengan suatu antasidum (MgO,
alumunium hidroksida, CaCO3 atau garam kalsiumnya (carbasalat,
Ascal). Pada dosis besar, faktor lain memegang perananya kni
hilangnya efek pelindung dari prostasiklin terhadap mukosa
lambung. Selain itu asetosal menimbulkan efek efek spesifik,
seperti reaksi alergi kulit dan tinnitus (telinga mendengung) pada
dosis lebih tinggi. Efek yang lebih serius adalah kejang-kejang
bronki hebat pada pasien asma meski dalam dosis kecil.
Anak-anak kecil yang menderita cacar air atau flu / salesma
sebaiknya jangan diberikan asetosal melainkan parasetamol, karena
beresiko terhadap syndrom grey yang berbahaya. Syndrom ini
bercirikan muntah hebat, termangu-mangu, gangguan pernafasan.
Wanita hamil tidak dianjurkan menggunakan asetosal
dalam dosis tinggi, terutama pada triwulan terakhir dan sebelum
persalinan, karena lama kehamilan dan persalinan dapat
diperpanjang, juga kecenderungan perdarahan meningkat. Selain
itu ada beberapa efek samping yaitu:
1. Gangguan Saluran Cerna
Selain menimbulkan demam dan nyeri, ternyata
prostaglandin berperan melindungi saluran cerna. Senyawa ini
dapat menghambat pengeluaran asam lambung dan mengeluarkan
cairan (mukus) sehingga mengakibatkan dinding saluran cerna
rentan terluka, karena sifat asam lambung yang bisa merusak.
2. Gangguan Hati(hepar)
Obat yang dapat menimbulkan gangguan hepar adalah
parasetamol. Untuk penderita gangguan hati disarankan mengganti
dengan obat lain
3. Gangguan Ginjal
Hambatan pembentukan prostaglandin juga bisa berdampak
pada ginjal. Karena prostaglandin berperan homestasis di ginjal.
Jika pembentukan terganggu, terjadi gangguan homeostasis.

11 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


4. Reaksi Alergi
Penggunaan obat aspirin dapat menimbulkan raksi alergi.
Reaksi dapat berupa rinitis vasomotor, asma bronkial hingga
mengakibatkan syok

7. Apa saja tipe-tipe demam?

i. Demam Septik
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik
ketingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali
ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan
menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut
turun ketingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.
ii. Demam Remiten
Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap
hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan
suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan
tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatatpada demam septik.
iii. Demam Intermiten
Pada tipe damam intermiten, suhu badan turun ke tingkat
yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam
seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila
terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam
disebut kuartana.
iv. Demam Kontinyu
Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak
berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus
menerus tinggisekali disebut hiperpireksia.
v. Demam Siklik
Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama
beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk
beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti
semula.

12 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


2. Keluhan disertai dengan mual, tidak napsu makan dan konstipasi. Tidak
ada keluhan nyeri buang air kecil yang dialami Nn. A. Tidak ada riwayat
bepergian ke suatu daerah tertentu.. Pasien kemudian dirawat oleh
dokter selama 1 minggu dan diperbolehkan pulang karena tidak ada lagi
keluhan lagi.
1. Bagaimana mekanisme terjadinya mual pada kasus ini?
Pada kasus ini, mual dapat disebabkan oleh beberapa hal.
- Peningkatan asam lambung
Bakteri yang masuk ke saluran GI pertama kali akan menuju
lambung. Pada lambung ini, terjadi mekanisme pertahanan seperti
keluarnya antibodi lokal IgA dan peningkatan sekresi asam
lambung. Peningkatan sekresi asam lambung ini akan
menyebabkan munculnya rasa mual.
- Gangguan pada saluran pencernaan
bakteri yang lolos dari lambung akan menuju ke usus, pada usus,
bakteri ini akan melakukan penetrasi pada epitel usus, lalu mulai
bergerak ke lamina propia dan selanjutnya menuju plaque payeri.
Sambil melakukan invasi ke daerah intraseluler, bakteri
Salmonella thypi ini mengeluarkan enterotoksin yang diikuti
dengan invasi menuju enterosit (sel penyerapan) yang imatur.
Bersamaan dengan hal tersebut, munculah efek iritasi (dapat
mengenai n. Vagus), hal ini memacu pusat mual dan muntah pada
korteks cerebri dan munculah rasa mual. Intinya adalah kerusakan
saluran gastrointestinalmenimbulkan impuls iritatifyang
merangsang pusat muntah di batang otak yang memerintahkan
ototabdomendan diafragma untuk berkontraksi sehingga
menyebabkan mual dan muntah. (Patofisiologi, Sylfia A. Price &
Lorraine M. Wilson)

2. Bagiamana mekanisme terjadinya tidak napsu makan pada kasus


ini?

13 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Bakteri Salmonella typhi masuk ke usus halus lalu akan
menyebabkan system cerna terganggu, akhirnya terjadi gangguan
motilitas usus yang akan menyebabkan hiperperistaltic kemudian
tidak nafsu makan

3. Bagaimana mekanisme terjadinya konstipasi pada kasus ini?


Konstipasi pada demam ini dapat terjadi karena di dalam
plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (salmonella typhii intramakrofag menginduksi reaksi
hipersensitifitas tipe lambat, hyperplasia jaringan di usus
menyebabkan penyempitan lumen usus yang mengganggu
pergerakkan makanan.

3. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: tampak sakit sedang
Tanda vital : kesadaran: compos mentis; tekanan darah: 110/70mmHg;
frekuensi Nadi: 88x/menit; frekuensi napas: 20x/menit; suhu: 39,6C.
a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik umum pada kasus ini?
Kriteria Keadaan umum pasien
1. Sakit ringan
Kesadaran penuh, tanda-tanda vital stabil, dan pemenuhan
kebutuhan mandiri.
2. Sakit sedang
Kesadaran penuh s/d apatis, tanda-tanda vital stabil,
memerlukan tindakan medis, memerlukan observasi, dan
pemenuhan kebutuhan dibantu.
3. Sakit berat
Kesadaran penuh s/d somnolen, tanda-tanda vital tidak
stabil, memakai alan bantu organ vital, memerlukan
tindakan pengobatan, memerlukan observasi yang ketat,
dan pemenuhan kebutuhan dibantu seluruhnya.

14 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Derajat kesadaran

1. Kompos mentis
Sadar penuh, dapat menjawab pertanyaan
2. Apatis
Segan berhubungan dengan keadaan sekitar, acuh
3. Letargi
Lesu, mengantuk
4. Somnolen
Selalu mau tidur, dapat dibangunkan dengan nyeri, atau
untuk makan dan minum
5. Sopor/stupor
Tidak bereaksi bila dibangunkan kecuali dengan rangsang
nyeri.
6. Koma
Kesadaran hilang sama sekali, tidak ada reflex batuk
ataupun muntah

N o r m a l I n t e r p r e t a s i

Frekuensi napas (20x/menit) 1 2 - 2 0 x / m e n i t N o r m a l

Frekuensi nadi (88x/menit) 6 0 - 1 0 0 x / m e n i t N o r m a l

Tekanan Darah (110/70 mmHg) Sistolik= 90-140 mmHg N o r m a l


Diastolik= 60-90 mmHg

S u h u ( 3 9 , 6 C ) 36,6-37,2 C (mulut/oral) D i a t a s n o r m a l

b. Bagaimana cara memeriksa tanda vital?


 Kesadaran : nilai dengan menggunakan GCS (glasgow coma
scale), yang mana keadaan pasien sadar penuh (compos mentis)
dengan nilai GCS nya 15. Dibawah itu maka pasien mengalami
penurunan kesadaran.

15 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


• Suhu : dengan menggunakan termometer, dapat diletakkan pada
ketiak selama satu menit. Normal suhu adalah 36,6 -36,2 derjat
celsius.
• Tekanan darah : dengan menggunakan sphygmomanometer atau
yang biasa disebut dengan tensimeter. Yang mana nilai normal nya
adalah 120/80 mmHg
• Nadi : dengan cara meraba pada arteri radialis, yang terletak pada
pergelangan tangan dibawah ibu jari. Denyut nadi ini sama dengan
denyut jantung, yang mana nilai normalnya adalah 60-100 x
permenit.
• Napas : dengan cara melihat, atau meletakkan tangan pada dada
pasien, dan menghitung berapa kali pasien bernafas selama satu
menit. Normalnya yaitu 16-20 x permenit

4. Keadaan spesifik:
Kepala: bibir pecah-pecah, lidah berselaput putih kekuningan, kotor
ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor
Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan kanan kuadran kanan bawah,
auskultasi: bising usus normal
1. Organ apa saja yang terdapat pada regio iliaca dextra?
i. Bagian kanan atas: Hepar dan kantong empedu
ii. Bagian kiri atas: Gastric dan limfa
iii. Bagian kanan bawah: Cecum, ascending colon dan usus
kecil
iv. Bagian kiri bawah: Descending colon, sigmoid colon, dan
usus kecil

16 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


2. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik spesifik pada kasus?
Pada keadaan normal tidak terjadi bibir pecah-pecah, lidah
berselaput putih kekuningan, kotor ditengah, tepi dan ujung merah
serta tremor. Lapisan berwarna putih di bagian permukaan atas
lidah (lidah berselaput) disebabkan oleh adanya akumulasi dari
bakteri, leukosit dan deskuamasi sel epitel. Pada demam tifoid,
pasien memiliki ciri lidah yang khas yaitu berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah dan tremor). Lidah berselaput ini
akan mengganggu fungsi papila tengah pada lidah yang berfungsi
dalam pengecapan rasa pahit sehingga fungsi papila tengah lebih
dominan dalam merasakan sensasi pahit. Jadi makanan dan
minuman yang masuk ke tubuh akan terasa pahit. Rasa pahit
mengakibatkan penurunan nafsu makan dan juga berpengaruh
terhadap jumlah cairan yang masuk dalam tubuh sehingga intake
cairan dan makanan berkurang dan akhirnya menyebabkan
dehidrasi. Salah satu akibat dari dehidrasi yaitu bibir kering dan
pecah-pecah.
Pada keadaan normal tidak ada nyeri tekan di kuadran
kanan bawah. Pada kasus ini nyeri tekan diakibatkan karena
Salmonella typhii akan menginjeksi toksin berupa efek torprotein
ke dinding intestinum dan mengganggu protein selular serta lipid dan
memanipulasi fungsinya. Akibatnya terjadi fagositosis membran sel
epitel sampai bakteri mencapai lamina propria dimana terdapat
peyers patch yang memiliki fungsi sama dengan nodus limfe.
Bakteri yang di fagosit oleh makrofag akan mengeluarkan media

17 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


torinflamasi (misalnya berupa interleukin 8) .Adanya relaps yang
mengakibatkan kerusakan epitel dan perforasi dinding usus membuat
inflamasi di dinding intestinum terjadi terus menerus. Organ yang
mengalami inflamasi jika di tekan akan mengakibatkan rasa nyeri
yang hebat.
3. Bagaimana cara pemeriksaan auskultasi bising usus?
Diafragma stetoskop diletakkan diatas kuadran kanan
bawah pada area sekum. Berikan tekanan yang sangat ringan.
Mintalah pasien untuk tidak berbicara. Dengarkan bising usus dan
perhatikan frekuensi serta karakternya. Jika bising usu tidak
terdengar maka lanjutkan pemeriksaan sistematis, dengarkan setiap
kuadran abdomen. Jika ingin mendengarkan suara pembuluh darah,
letakkan diafragma stetoskop diatas aorta, arteri renalis, arteri
iliaka, dan arteri femoral. Dengarkan suara pembuluh darah secara
seksama.

5. Pemeriksaan penunjang
Hb: 11,5 gr% lekosit: 3.000/uL, trombosit 284.000/uL, LED 40
mm/jam, hitung jenis: 0/0/1/52/46/1
Widal Salmonella typhii titer O : 1/160 dan H : 1/160, IgM Salmonella
typhi (tubex): 3
a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan penunjang pada kasus ini?
LED naik, Hb turun, leukosit turun, shift to the left

18 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Leukosit normal 4.000—10.000/uL

b. Bagaimana etiologi dari Salmonella typhii?


Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, Salmonella
parathyphi A, Salmonella parathyphi B (Schottmuelleri), dan
Salmonella parathyphi C (Hirschfeldii). Salmonella memiliki
karakteristik sebagai berikut merupakan batang gram-negatif,
bersifat motil yang secara khas memfermentasikan laktosa dan
manosa tanpa memproduksi gas tetapi tidak memfermentasikan
lakotas atau sekrosa. Sebagian besar Salmonella menghasilkan
H2S. Organisme ini umumnya bersifat patogen untuk manusia atau
hewan bila termakan, bisa menyebabkan enteritis, infeksi sistemik
dan demam tifoid atau demam enterik.

c. Bagaimana patogenesis dari Salmonella typhii?

19 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam
tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi
masuk ke usus halus dan berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik
maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan selsel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya
dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik,
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
(Buku Ajar IPD Jilid III Edisi ke empat, FK UI)

d. Bagaimana prognosis demam tifoid?


Bila penderita diobati secara baik dan benar pada minggu
pertama demam tifoid, prognosis akan baik karena umumnya
penyakit ini akan mereda setelah 2 hari kemudian, dan kondisi
penderita membaik dalam 4-5 hari selanjutnya. Bila ada
keterlambatan pengobatan risiko komplikasi akan meningkat dan
waktu pemulihan akan semakin lama.
Umumnya, fatalityrate demam tifoid yang tidak diobati
adalah 10%-20%. Perkiraan angka casefatalityrate penderita
demam tifoid sekitar 1-4%. Anak-anak dibawah usia 4tahun,

20 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


memiliki fatalityrate 4%, sedangkan anak-anak usia > 4 tahun 10
kali lebih kecil kemungkinan kematiannya dari anak-anak usia di
bawahnya.

21 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


IV. Kerangka Konsep

Infeksi Salmonella
typhii

Hipersensitvitas
Makrofag

Reaksi berlebihan Keluar endotoksin


pada payers patches (pirogen exogen)

Ulcus Faktor jar meningkat Pirogen endogen

Brakikardi relatif Nyeri tekan bawah LED meningkat IL 1,6 TNF-α Nitrit oksida

Pemeriksaan PGE 2 Hipotensi


penunjang

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik


tanda vital spesifik

Pemeriksaan fisik
Meningkatkan patokan tanda vital
termostat hipotal

Demam

Fase kedinginan Fase demam Kemerahan Mekanisme volunter

22 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Vasokontriksi Aktivitas otot Keseimbangan produksi Vasodilatasi P. darah
p. darah meningkat dan kehilangan

Menggigil
Berkeringat

Produksi panas Heat loss


meningkat

V. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan

What I have to How I will


Pokok bahasan What I know What I don’t know
prove learn
Morfologi,
Salmonella
Pengertian Patogenesis, -
typhi
Etiologi

Mekanisme, Cara
Demam Pengertian -
Mengobati
Teknik
Pemeriksaan Pengertian, Textbook
Pemeriksaan Fisik -
Fisik Umum Tujuan Internet
Umum
Jurnal
Teknik
Pemeriksaan Pengertian,
Pemeriksaan Fisik -
Fisik Spesifik Tujuan
Spesifik

Teknik
Pemeriksaan Pengertian,
Pemeriksaan Fisik -
Fisik Penunjang Tujuan
Penunjang

23 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


VI. Sintesis
1. Salmonella typhi

Salmonella
Salmonella merupakan bakteri batang gram-negatif. Karena
habitat aslinya yang berada di dalam usus manusia maupun
binatang, bakteri ini dikelompokkan ke dalam enterobacteriaceae
(Brooks, 2005).
Isolasi dari mikroorganisme Salmonella pertama sekali
dilaporkan pada tahun 1884 oleh Gaffky dengan nama spesies
Bacterium thyposum. Kemudian, pada tahun 1886 perkembangan
nomenklatur semakin kompleks karena peranan Salmon dan Smith
serta sempat menjadi bahan pembicaraan yang rumit. Bahkan dalam
perkembangannya, Salmonella menjadi bakteri yang paling
kompleks dibandingkan enterobacteriacea lain, oleh karena bakteri
ini memiliki lebih dari 2400 serotipe dari antigen bakteri ini (Winn,
2006).
Walaupun begitu banyak serotip dari Salmonella, namun telah
disepakati bahwa hanya terdapat dua spesies, yakni S. bongori dan
S. enterica dengan enam subspesies. Klasifikasi Salmonella
terbentuk berdasarkan dasar epidemiologi, jenis inang, reaksi
biokimia, dan struktur antigen O, H, V ataupun K. Antigen yang
paling umum digunakan untuk Salmonella adalah antigen O dan H.
Antigen O, berasal dari bahasa Jerman (Ohne), merupakan susunan
senyawa lipopolisakarida (LPS).
LPS mempunyai tiga region. Region I merupakan antigen O-
spesifik atau antigen dinding sel. Antigen ini terdiri dari unit-unit
oligosakarida yang terdiri dari tiga sampai empat monosakarida.
Polimer ini biasanya berbeda antara satu isolat dengan isolat lainnya,
itulah sebabnya antigen ini dapat digunakan untuk menentukan
subgrup secara serologis. Region II merupakan bagian yang melekat
pada antigen O, merupakan core polysaccharide yang konstan pada
genus tertentu. Region III adalah lipid A yang melekat pada region

24 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


II dengan ikatan dari 2-keto-3-deoksioktonat (KDO). Lipid A ini
memiliki unit dasar yang merupakan disakarida yang menempel
pada lima atau enam asam lemak. Bisa dikatakan lipid A melekatkan
LPS ke lapisan murein-lipoprotein dinding sel (Dzen, 2003).
Antigen H merupakan antigen yang terdapat pada flagela dari
bakteri ini, yang disebut juga flagelin. Antigen H adalah protein
yang dapat dihilangkan dengan pemanasan atau dengan
menggunakan alkohol. Antibodi untuk antigen ini terutamanya
adalah IgG yang dapat memunculkan reaksi aglutinasi. Antigen ini
memiliki phase variation, yaitu perubahan fase salam satu serotip
tunggal. Saat serotip mengekspresikan antigen H fase-1, antigen H
fase-2 sedang disintesis (Chart, 2002).
Antigen K berasal dari bahasa Jerman, kapsel. Antigen K
merupakan antigen kapsul polisakarida dari bakteri enteric (Dzen,
2003). Antigen ini mempunyai berbagai bentuk sesuai genus dari
bakterinya. Pada salmonella, antigen K dikenal juga sebagai
virulence antigen (antigen Vi).
Demikian banyaknya serotip dari Salmonella, namun hanya
Salmonella typhi, Salmonella cholera, dan mungkin Salmonella
paratyphi A dan Salmonella parathypi B yang menjadi penyebab
infeksi utama pada manusia. Infeksi bakteri ini bersumber dari
manusia, namun kebanyakan Salmonella menggunakan binatang
sebagai reservoir infeksi pada manusia, seperti babi, hewan
pengerat, ternak, kura-kura, burung beo, dan lain-lain. Dari beberapa
jenis salmonella tersebut di atas, infeksi Salmonella typhi
merupakan yang tersering (Brooks, 2005).
Salmonella typhi

Infeksi dari bakteri Salmonella dapat menyebabkan banyak


sekali penyakit mulai dari gastroenteritis sampai demam typhoid dan
dapat dikomplikasi dengan bacteremia sehingga infeksi menyebar.
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi dapat menyebabkan
demam typhoid. P. C. A. Louis pertama kali menemukan demam

25 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


typhoid karena melihat perubahan patologis dari nodus limfa
intestinal (pembesaran pada Payer’s patches dan nodus limfa
mesenterica) dan lien.

Genus Salmonella merupakan bakteri Enterobacteriaceae


bacilli gram negative. Terdapat dua spesies dari genus Salmonella
yaitu Salmonella enterica (patogenik) dan Salmonella bongori
(nonpatogenik). Terdapat kurang lebih 2400 serovar atau serotype
yang dilaporkan. Serotype ditunjukkan berdasarkan keberadaan
antigen yang spesifik, yaitu antigen O, antigen dari dinding sel
bakteri (somatic) dan antigen H (flagellar) (Yamata, Alpers, Kalloo,
& Kaplowitz, 2009)

Demam typhoid atau biasa disebut enteric fever, disebabkan


oleh Salmonella typhi dan juga Salmonella paratyphi, yang lebih
ditemukan pada wisatawan pelancong. Manusia merupakan salah
satu reservoir dari organisme ini. Salmonella typhi dapat bertahan
dalam asam lambung. Saat di usus halus, Salmonella typhi
menyerang sel M (Microfold cell), dimakan oleh sel Mononuklear
dalam jaringan lymphoid dibawah nya, dan menyebar melalui sistem
limfa atau sistem vaskular.

Multiplikasi intracellular terjadi dalam sel – sel


reticuloendothelial dan makrofag di dalam hati, lien, dan nodus
limfa, fase ini bersifat asymptomatic. Setelah jumlah Salmonella
typhi sudah cukup, organisme – organisme tersebut mendapatkan
jalur masuk ke dalam sirkulasi sistemik yang menghasilkan sitokin
dan gejala – gejala (symptoms) pada host.

Masa inkubasi biasanya 7 – 14 hari tetapi bisa berkisaran 3


– 60 hari. Manifestasi klinis dari infeksi ini adalah nyeri pada bagian
abdomen, abdominal tenderness, mual dan muntah, konstipasi dapat
terjadi pada fase awal penyakit tetapi biasanya di ikuti oleh diare
pada fase akhir dari penyakit, demam, hepatosplenomegaly,
lymphadenopathy, Rose spot. Pola dari demam dapat meningkat 5 –

26 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


7 hari dengan temperature puncak pada saat sore hari. Bradicardia
pada demam biasa ditemukan pada pasien demam typhoid. Gejala
biasanya bertahan sampai 4 minggu, tetapi pemberian antibiotik
dapat mempercepat penyembuhan. Infeksi rekuren , terjadi 7 – 10
hari setelah apparent recovery, tidak jarang. (Hauser, Pardi, &
Poterucha, 2008)

2. Demam

Definisi

Demam adalah keadaan dimana temperatur tubuh >36-37 0C.


Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan
langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk
mengatasi berbagai rangsang, misalnya terhadap toksin bakteri,
peradangan, dan rangsang pirogenik lain. Bila produksi sitokin
pirogen secara sistemik masih dalam batas yang dapat ditoleransi
maka efeknya akan menguntungkan tubuh secara keseluruhan;
tetapi bila telah melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini
membahayakan tubuh. Batas kritis sitokin pirogen sistemik tersebut
sejauh ini belum diketahui.

Mekanisme Demam

Sebagai respons terhadap rangsangan pirogenik, maka


monosit, makrofag, dan sel-sel Kupffer mengeluarkan suatu zat

27 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (IL-1, TNFα, IL-6 dan
interferon) yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus
untuk meningkatkan patokan termostat. Hipotalamus
mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan bukan di suhu
tubuh normal. Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa
peningkatan suhu tubuh berhubungan langsung dengan tingkat
sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang.
Rangsangan eksogen seperti eksotoksin dan endotoksin
menginduksi leukosit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan
yang poten diantaranya adalah IL-1 dan TNFα, selain IL-6 dan
interferon (IFN). Pirogen endogen ini akan bekerja pada sistem
syaraf pusat pada tingkat Organum Vasculosum Laminae
Terminalis (OVLT) yang dikelilingi oleh bagian medial dan lateral
nucleus preoptik, hipotalamus anterior, dan septum palusolum.
Sebagai respons terhadap sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi
sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2 melalui
metabolisme asam arakidonat jalur siklooksigenase 2 (COX-2), dan
menimbulkan peningkatan suhu tubuh terutama demam.
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non
prostaglandin melalui sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi
oleh produk lokal macrophage inflammatory protein-1 (MIP-1),
suatu kemokin yang bekerja secara langsung terhadap hipotalamus
anterior. Berbeda dengan demam dari jalur prostaglandin, demam
melalui aktivitas MIP-1 ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik.
Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan
produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung
untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua
mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian,
pembentukan demam sebagai respons terhadap rangsangan pirogenik
adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan
mekanisme termoregulasi.

28 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Suhu tubuh yang diukur di mulut akan lebih rendah 0.5-0.6°C
(1°F) dari suhu rektal. Suhu tubuh yang diukur di ketiak akan lebih
rendah 0.8-1.0°C (1.5-2.0°F) dari suhu oral. Suhu tubuh yang diukur
di timpani akan 0.5-0.6°C (1°F) lebih rendah dari suhu ketiak.

Jenis – Jenis demam:

Jenis demam Penjelasa


n
Demam septik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat
yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali
ke tingkat di atas normal pada pagi hari.
Demam hektik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat
yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali
ke tingkat yang normal pada pagi hari
Demam remiten Pada demam ini, suhu badan dapat turun setiap hari
tetapi tidak pernah mencapai suhu normal
Demam intermiten Pada demam ini, suhu badan turun ke tingkat yang
normal selama beberapa jam dalam satu hari.
Demam Kontinyu Pada demam ini, terdapat variasi suhu sepanjang hari
yang tidak berbeda lebih dari satu derajat.
Demam Siklik Pada demam ini, kenaikan suhu badan selama
beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam
untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh
kenaikan suhu
seperti semula.
(Sumber: Nelwan, Demam: Tipe dan Pendekatan, 2009)

29 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Klasifikasi demam berdasarkan lama demam
Klasifikasi Penyebab tersering Lama demam pada
umumnya
Demam dengan Infeksi saluran napas atas < 1 minggu
localizing signs
Demam tanpa localizing Infeksi virus, infeksi < 1 minggu
signs saluran kemih
Fever of unknown origin Infeksi, juvenile > 1 minggu
idiopathic arthritis

Demam tifoid
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat
akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai
oleh panas yang berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa
keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati,
limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau
typhoid fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya
terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam
satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan
dengan atau tanpa gangguan kesadaran
Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang
mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel
pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam
makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ-
organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan
hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.

30 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi
ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana
asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam
usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat
menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja
meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti
aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti
antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya
di jejnum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA)
kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M
merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch,
merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina
propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh
sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer
patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di
organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi
sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara
“intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan
bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah

31 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare
diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium. Pada anak-anak gangguan mental ini biasanya terjadi
sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut-
turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasi jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis
organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh
darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasi akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga
ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas,
hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam
sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin
dari Salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien,
folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi
sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler,
yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah
dan juga menstimulasi sistem imunologis.

Manifestasi klinik

32 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan,
lebih bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila
hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada
penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun
tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan
masa inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan
bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman
yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis
penderita.
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara
garis besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan:
 Demam satu minggu atau lebih.
 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai


penyakit infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala,
anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik,
hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua,
gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah
tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai
ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal
seperti pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran
klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan
remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada
bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas
meningkat dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering,
diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di

33 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif,
akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan
awal minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol
dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada
penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah
perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan
atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir
minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena
malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan
konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah
dengan ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen,
toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah
dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada
hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.

3. Pemeriksaan Fisik Umum


Tujuan pemeriksaan fisis umum adalah mendapatkan atau
mengidentifikasi keadaan umum pasien saat diperiksa, dengan
penekanan pada tanda-tanda kehidupan (vital sign), keadaan sakit,
keadaan gizi, dan aktivias baik dalam keadaan berbaring ataupun
berjalan.
Pemeriksaan fisik mencakup penilaian status mental, keadaan
kulit, kelenjar getah bening, kepala, mata, telinga, hidung, mulut dan
tenggorok, leher, jantung, paru, abdomen, serta refleks-refleks. Hasil
pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran umum tentang
keadaan pasien.
Setelah anamnesis selesai, pemeriksaan fisis diawali dengan
pemeriksaan objektif tentang hal-hal terukur yaitu tekanan darah,

34 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


denyut nadi, pernapasan, suhu, dan tingkat kesadaran. Hal ini yang
biasa disebut sebagai tanda-tanda kehidupan. Untuk menambah data
objektif lainnya diperiksa pula tinggi badan, berat badan, dan lingkar
kepala.

A. Kesadaran
Derajat kesadaran biasanya dinyatakan sebagai:
1. Kompos mentis adalah sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua
pertanyaan tentang keadaan disekelilingnya.
2. Apatis adalah keadaan kesadaran pasien yang segan untuk
berhubungan dengan keadaan sekitarnya, sikap acuh tak acuh.
3. Letargi adalah keadaan kesadaran pasien yang tampak lesu dan
mengantuk.
4. Somnolen adalah keadaan kesadaran pasien yang selalu mau tidur
saja, dapat dibangunkan dengan rasa nyeri, atau untuk
makan/minum, namun jatuh tertidur kembali.
5. Sopor atau Stupor adalah keadaan kesadaran pasien yang mirip
koma, berbaring dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi
jika dibangunkan, kecuali dengan rangsang nyeri. Refleks kornea
meski lunak masih bisa dibangkitkan, reaksi pupil utuh.
6. Koma adalah keadaan kesadaran yang hilang sama sekali, dengan
rangsang apapun reaksi atas rangsang tak akan timbul. Refleks
apapun tak didapatkan lagi bahkan batuk atau muntah tidak ada.
Seseorang pasien gangguan jiwa, dimana tidak ada kontak psikis,
kesadarannya berubah.

Pada pemeriksaan GCS, respon pasien yang perlu diperhatikan


mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata (Eye), pembicaraan
(Verbal) dan gerakan (Motorik). Hasil pemeriksaan tersebut
dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 sampai 6
tergantung respon yang diberikan. Ketiga jenis respon tersebut

35 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


kemudian dinilai dan dicatat pada grafik yang sesuai dan skor
keseluruhan dibuat dengan menjumlahkan nilai ketiganya.

B. Taksiran Umur
Taksiran pemeriksa akan umur pasien kadang-kadang tidak
sesuai dengan kenyataan, misalnya pada orang normal dengan
kelainan pada raut muka, sikap badan, dan warna rambut atau pada
pasien dwarfism, kusta.

C. Bentuk Badan
Bentuk yang abnormal dapat dijumpai misalnya pada:
1. Akromegali adalah bentuk tubuh akibat hiperfungsi kelenjar
pituitari anterior setelah tertutupnya epifisis. Kepala tamoak
lebih besar dari biasanya, hidung dagu serta rahang bawah
membesar dan menonjol sehingga gigi rahang atas dan
bawah tidak dapat saling bertemu.
2. Berbagai keadaan salah bentuk (malformation) misalnya
bibir sumbing, paralisis saraf muka.
3. Kelainan bentuk tulang belakang, yaitu berupa:

36 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


- Kifosis: lengkung tulang belakang ke arah belakang yang
abnormal; pada tuberkulosis tulang, penyakit Paget.
- Lordosis: lengkung tulang belakang ke arah depan yang
abnormal; pada tuberkulosis tulang pinggul.
- Skoliosis: lengkung tulang belakang ke arah lateral yang
abnormal; pada poliomielitis.

D. Habitus
1. Astenikus: bentuk tubuh yang tinggi, kurus, dada rata atau
cekung, angulus costae, otot-otot tak bertumbuh dengan
baik.
2. Atletikus: bentuk tubuh olahragawan, kepala dan dagu
terangkat ke atas, dada penuh, perut rata, lengkung tulang
belakang dalam batas normal.
3. Piknikus: bentuk tubuh yang cenderung bulat, penuh dengan
penimbunan jaringan lemak subkutan.

E. Cara Berbaring dan Mobilitas


Pasien yang masih bisa memiringkan badannya tanpa
kesulitan, dikatakan sikap berbaringnya aktif, sebaliknya yang
lemah, seikap berbaringnya pasif. Mobilitas pasien yang tidak
diharuskan tirah baring kadang ada yang gelisah contohnya pada
pasien hipertiroidisme.

F. Cara Berjalan
Pada beberapa penyakit tulang, sendi atau saraf, cara
berjalan dapat memberi petunjuk-petunjuk berharga, misalnya
pasien hemiplegia biasanya mengangkat kaki yang lumpuh dalam
gerakan setengah lingkaran sewaktu ia berjalan.
Lengan yang lumpuh biasanya dalam keadaan kaku dan sedikit
fleksi bila dibandingkan dengan yang sehat.

37 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


G. Keadaan Gizi
Penilaian keadaan gizi dapat berupa normal, gemuk, atau
kurus. Hal ini dinilai dengan mengukur tinggi serta berat badan.
Nilai normal berkisar ±10% dari 90% × (tinggi badan cm – 100) × 1
kg.
Untuk menentukan status gizi dapat pula dipakai indeks
massa tubuh (IMT) yang dihitung dengan rumus:
𝐵𝐵(𝑘𝑔)
𝐼𝑀𝑇 =
𝑇𝐵 2 (𝑚2 )
Klasifikasi IMT:
- BB kurang : <18,5
- BB normal : 18,5 – 22,9
- BB lebih : ≥23

 Dengan resiko : 23,0 – 24,9


 Obes I : 25,0 – 29,9
 Obes II : ≥30

Kakeksia adalah keadaan kurus yang sangat, dapat dijumpai


pada penyakir-penyakit lama dan berat, misalnya tuberkulosis.

H. Aspek Kejiwaan/Status Mental


Penilaian aspek kejiwaan seseorang meliputi:
1. Tingkah laku: wajar, tenang atau gelisah, hipoaktif atau
hiperaktif.
2. Alam perasaan: biasa, sedih, gembira, cemas, takut, dan
marah.
3. Cara proses berpikir: wajar; cepat, lambat, atau terhambat;
adanya gangguan waham, fobia, atau obsesi.
Berdasarkan data di atas, pemeriksa dapat mengambil
kesimpulan tentang keadaan umum pasien.

38 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


I. Pemeriksaan Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan dengan palpasi pada arteri
radialis kanan dan kiri dekat pergelangan tangan. Palpasi dilakukan
dengan 2 atau 3 jari. Bila perlu dilakukan juga di tempat-tempat
arteri berjalan di permukaan, misalnya arteri femoralis di fossa
ingunalis, arteri dorsalis pedis di dorsum pedis. Yang harus
diperhatikan pada nadi adalah:
1. Frekuensi denyut per menit
 Takikardia (pulsus frequent): frekuensi nadi di atas 100 kali per
menit.
 Bradikardia (pulsus rasus): frekuensi nadi di bawah 60 kali per
menit.
Sebaiknya pemeriksaan nadi dilakukan setelah orang istirahat 5-
10 me nit. Dalam keadaan latihan jasmani atau pada keadaan suhu
badan yang tinggi (febris) nadi menjadi cepat. Pada keadaan
hipertoni parasimpatis terjadi bradikardia. Keadaan dimana
kenaikan suhu tidak sesuai dengan kecepatan nadi disebut
bradikardia relatif, misalnya pada demam tifoid.

2. Irama denyut nadi


Ditentukan teratur (regular) atau tidak teratur (iregular). Nadi
dibawah 50 kali per menit kadang-kadang disebabkan kelainan
hanytaran rangsangan pada jantung. Bila tidak teratur, menunjukan
beberapa kemungkinan, antara lain:
i. Sinus aritmia: keadaan normal dimana pada saat inspirasi dneyut
nadi lebih cepat daripada saat ekspirasi.
ii. Ekstrasistolik: keadaan normal dimana terdapat sekali-sekali denyut
nadi yang datang lebih cepat (prematur) dan disusul dengan suatu
istirahat yang lebih panjang. Kadang-kadang denyut prematur itu
tidak teraba pada arteri radialis, teraba seolah-olah denyut nadi
terhenti sesaat.

39 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


iii. Fibrilasi atrial: keadaan dimana denyut nadi sama sekali tidak teratur
(tidak ada irama dasar). Dalam keadaan ini harus dihitung denyut
jantung dan dibandingkan dengan frekuensi nadi dan biasanya
frekuensi nadi lebih rendah sehingga terdapat pulsus defisit.
iv. Blok atrioventrikular: keadaan dimana tidak semua rangsang dari
nodus SA diteruskan ke ventrikel sehingga saat itu ventrikel tidak
berkontraksi. Dalam keadaan ini biasanya terdapat bradikardia.

Faktor-faktor yang menentukan denyut nadi


Denyut nadi dimulai dengan membukanya katup aorta. Tekanan di
dalam aorta meningkat dengan cepat ketika bolus darah
menggelembungkan dindingnya. Ketika ejeksi melambat dan darah
mengalir ke dalam sirkulasi perifer, tekanan di dalam aorta menurun. Suatu
aliran balik yang berlangsung sementara waktu menutup aorta dan pantulan
ke dalam dinding aorta kemudian membentuk takik dikrotik. Takik ini
biasanya tidak teraba.
Ada perbedaan antara aliran darah dan aliran gelombang tekanan.
Darah mengalir dengan kecepatan kira-kira 0,5 m/detik, sedangkan
gelombang tekanan berjalan jauh lebih cepat, kira-kira 5,0 m/detik. Denyut
nadi sebenarnya merupakan gelombang nadi sampai di A. Karotis 20
m/detik, A. Brakhialis 60 m/detik, A. Radialis 80 m/detik, dan A. Femoralis
75 m/detik setelah aktivasi elektris sistol ventrikel.
Bentuk denyut nadi berubah ketika gelombang tekanan bergerak
menjauhi jantung. Tekanan nadi meningkat karena peningkatan tekanan
sistolik, dan kurang meningkat pada penurunan tekanan diastolik.

Teknik pemeriksaan denyut nadi:


Manfaat pemeriksaan denyut nadi akan lebih ditingkatkan apabila
lebih dari satu arteri yang dipalpasi. A. Karotis dan A. Brakhialis paling
tepat mencermikan gelombang tersebut. Arteri arteri ini lebih dekat dengan
aorta sehingga bentuk gelombangnya lebih sedikit mengalami distorsi. A.
Radialis cocok untuk menghitung denyut nadi.. sebagian dokter

40 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


menggunakan ibu jari untuk palpasi; lainya memakai satu atau beberapa jari
tangan. Dengan melakukan palpasi secara serentak pada dua atau tiga
tempat yang agak terpisah pada arteri yang salama, analisis bentuk
gelombang lebih ditingkatkan.
Ujung-ujung jari ditekan makin lama makin kuat di atas arteri
sampai denyut maksimum teraba, otot yang mengelilingi arteri tersebut
harus direlaksasikan. Jika meraba A. Brakhialis, sokonglah lengan atas
pasien dan sikunya sedikit difleksikan. A. Karotis paling baik diraba teat di
bawah angulus mandibula, dengan kepala dalam posisi netral, sedikit
ekstensi. Palpasi kasar akan merangsang sinus karotikus dan secara refleks
memperlambat denyut jantung, yang kadang-kadang berakibat fatal.
Bila memeriksa denyut nadi, perhatikan kecepatan, irama, volume,
dan konturnya. Hitunglah denyut nadi selama semenit penuh.

J. Tekanan Darah
Cara mengukur
1. Palpasi untuk mencegah salah ukur akibat menghilangnya bunyi pada
auskultasi (auscultatory gap).

41 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


2. Auskultasi (cara yang paling sering dipakai)
Lebar manset juga berpengaruh. Lebih sempit manset, lebih tinggi
ukuran tekanan darah yang didapatkan. Lebar manset untuk orang dewasa
kira-kira 12 cm. Faktor yang berpengaruh adalah posisi/sikap pasien (tidur,
berdiri), emosi pasien, kurang istirahat, dan rokok.

Teknik mengukur tekanan darah:


Pasien dalam posisi duduk atau berbaring, lengan diatur sedemikian
rupa sehingga A. Brakhialis terletak setinggi jantung. Lengan dalam posisi
abduksi, rotasi eksterna, dan sedikit fleksi. Lilitkan manset yang sudah
kempis dengan ketat pada lengan atas sehingga batas bawah manset tersebut
kira-kira 1 inci di atas fossa antekubiti.
Mula-mula tekanan darah diukur dengan palpasi agar kesenjangan
auskultasi masih dapat dideteksi. Rabalah denyut A. Radialis dan pompalah
manset sampat denyut tidak teraba lagi. Perlahan-lahan kempiskanlah
manset dan catatlah angka pada saat denyut teraba lagi. Ini adalah tekanan
sistolik. Kesenjangan auskultasi dijumpai pada banyak pasien dan terdiri
dari periode sunyi antara tekanan sitolik dan diastolik.
Setelah mengukur tekanan sistolik dengan palpasi, kantong tersebut
digembungkan lagi, dan stetoskop diletakkan dengan ringan di atas arteri.
Ada dua keadaan dimana tidak ada terdengar bunyi – bila tidak ada aliran
di dalam pembuluh darah atau bila alirannya lancar dan laminer. Di antara
kedua keadaan ekstrem tersebut, turbulensi menyebabkan terjadinya vibrasi
dinding pembuluh darah. Bila manset dikempiskan perlahan-lahan, vibrasi
tersebut terdengar seperti bunyi Korotkoff.

42 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Bunyi Korotkoff dibagi menjadi lima fase. Fase satu dimulai saat bunyi
terdengar, disebut tekanan sistolik. Pada fase 1, tekanan sistolik hanya
cukup untuk membuka pembuluh darah untuk sementara waktu saja dan
menimbulkan bunyi ketukan nyaring, yang makin lama makin meningkat
intensitasnya. Jika tekanan dalam manset makin diturunkan, aliran yang
melewati pembuluh darah meningkat, menimbulkan bunti mendesir yang
merupakan ciri khas fase 2. Bunyi tersebut menjadi lebih keras dan nyaring
pada fase 3. Pada fase 4, bunyi tiba-tiba menjadi redup, lemah, dan meniup.
Fase 5 adalah saat dimana bunyi sama sekali tidak terdengar. Saat ini
biasanya dianggap sebagai tekanan diastolik. Pada beberapa pasien, terdapat
perubahan bunyi yang sangat jelas pada permulaan fase 4 dan setelah
tekanan darah turun beberpa milimeter, bunyi tersebut hilang. Ketiga angka
tersebut kemudian dicatat, misalnya 120/80/10 untuk fase 1, 2, dan 5.

43 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


K. Suhu
Suhu
tubuh mencerminkan
keseimbangan
antara pembentukan
dan pengeluaran
panas. Pusat
pengaturan suhu di hipotalamus menentukan suhu tertentu.
Suhu tubuh paling tinggi pada organ-organ dalam dan ke arah kulit
makin menurun. Dalam praktek sehari-hari, kita mengukur suhu rektal dan
oral. Dari dalam bagian tubuh ke luar terdapat variasi suhu tubuh sepanjang
hari. Variasi diurnal bisa mencapai 0,6℃ dengan suhu tertinggi antara jam
8.00 – 11.00 malam dan suhu terendah pada jam 4.00 – 6.00 pagi.
Suhu oral lebih mudah diukur tetapi dapat keliru. Letakkan
termometer di bawah lidah, sejajar dengan gusi bawah selama 3 menit. Suhu
oral normal adalah 36,8 + 0,3 ℃. Peningkatan semu dapat tercatat sampai
15 menit setelah aktivitas, merokok, atau minum minuman hangat.
Pembacaan rendah yang semu dapat terjadi setelah minum minuman dingin
atau pada pasien yang bernapas melalui mulutnya.
Pengukuran suhu rektal kurang menyenangkan tetapi lebih kecil
kemungkinannya untuk salah. Suhu rektal normal adalah 37,2 + 0,3 ℃.

44 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Kadang-kadang diperlukan oengukuran suhu aksila yang kira-kira 0,6℃
lebih rendah daripada suhu oral.

L. Pemeriksaan Pernapasan
a. Cara pemeriksaan pernapasan:
1. Pemeriksaan inspeksi : perhatikan gerakan pernafasan pasien secara
menyeluruh (lakukan inspeksi ini tanpa mempengaruhi psikis
penderita). Pada inspirasi, perhatikan : gerakan iga ke lateral, pelebaran
sudut epigastrium, adanya retraksi dinding dada (supraklavikuler,
suprasternal, interkostal, epigastrium), penggunaan otot-otot pernafasan
aksesoria serta penambahan ukuran anteroposterior rongga dada. Pada
ekspirasi, perhatikan : masuknya kembali iga, menyempitnya sudut
epigastrium dan pengurangan diameter anteroposterior rongga dada.
2. Pemeriksaan palpasi : pemeriksa meletakkan telapak tangan untuk
merasakan naik turunnya gerakan dinding dada.
3. Pemeriksaan auskultasi : menggunakan membran stetoskop diletakkan
pada dinding dada di luar lokasi bunyi jantung.

45 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Interpretasi pemeriksaan pernapasan :

1. Frekuensi : Hitung frekuensi pernafasan selama 1 menit dengan


inspeksi, palpasi, atau dengan menggunakan stetoskop. Normalnya
frekuensi nafas orang dewasa sekitar 14 – 20 kali per menit dengan pola
nafas yang teratur dan tenang.
2. Irama pernapasan : reguler atau ireguler

4. Pemeriksaan Fisik Spesifik

PEMERIKSAAN ABDOMEN

1. INSPEKSI

Dengan berdiri di sebelah kanan penderita, perhatikan :

a. Kulit
Perhatikan tinggi dinding perut dibanding dinding dada,
wujud kelainan kulit, jaringan parut pelebaran vena.

Kemungkinan yang ditemukan : pink purple striae pada


Cushing’s syndrome, dilatasi vena pada sirosis hepatis atau
obstruksi vena cava inferior, jaringan parut bekas operasi,
cullen”s sign dan grey turner’s sign (hematoma pada daerah
umbilikus dan pinggang), sebagai tanda pankreatitis akut.

b. Umbilikus
Perhatikan bentuk, lokasi dan adanya tanda-tanda inflamasi
atau hernia.

c. Bentuk perut
Perhatikan simetris, pembesaran organ atau adanya massa.
Perhatikan juga daerah inguinal dan femoral.

Kemungkinan yang ditemukan : tonjolan nyata, tonjolan


suprapubik, hepar atau limpa yang membesar, tumor,
pembesaran perut seperti bentuk perut katak.

d. Adanya gelombang peristaltik

46 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Normal ditemukan pada orang yang kurus. Abnormal pada
obstruksi gastrointestinal.

e. Adanya pulsasi
Normal : pada orang kurus terlihat pulsasi aorta abdominalis

Aneurisma aorta : terlihat massa dengan pulsasi

Pulsasi epigastrium : pembesaran ventrikel kanan

2. AUSKULTASI

Dengarkan suara bising usus dan catat jumlah frekuensi dan


karakter bising. Normal 5 sampai 34 kali permenit. Ada beberapa
kemungkinan yang dapat ditemukan, antara lain :

- Bising usus dapat meningkat atau menurun. Perubahan


didapatkan pada diare, obstruksi usus, ileus paralitik dan
peritonitis.
- Desiran, didapatkan pada stenosis arteri renalis.
- Friction rubs, didapatkan pada tumor hepar, infark
splenikus.
- Borborygmi dan metalic sound, didapatkan pada ileus
obstruktif.

47 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Tempat-tempat untuk pemeriksaan auskultasi abdomen

3. PERKUSI

Berguna untuk orientasi abdomen, untuk meyakinkan


pemeriksaan hati, lien dan mengidentifikasi adanya cairan asites,
benda padat, massa yang terisi cairan dan udara bebas di perut serta
usus.

PERKUSI HEPAR

Prosedur pemeriksaan :

- Perkusi ringan perut di linea medioklavikularis kanan di bawah level


umbilikus ke arah cranial (mulai dari daerah timpani kedaerah
pekak).
- Beri tanda tempat perubahan pekak yang merupakan batas bawah
hati.
- Perkusi ringan dinding dada di linea medioklavikularis kanan dari
cranial ke caudal (mulai dari daerah sonor ke daerah redup).
- Beri tanda batas peralihan ke redup.
- Ukur panjang antara 2 tanda tersebut yang merupakan ”liver spans”
(lebar hati).
- Bila hati membesar perkusi tempat lain dan beri tanda batas tepi hati.
Liver span normal : 6-12 cm pada linea medioklavikularis kanan sedangkan
pada linea mid sternalis 4-8 cm.

Pada penyakit paru obstruktif pekak hati menurun tetapi liver span normal.

Liver span melebar : hepatomegali (hepatitis, CHF), efusi pleura kanan.

Liver span menyempit : hepar kecil (sirosis hepatis), udara bebas di bawah
diafragma.

48 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Menentukan besar hepar, dengan perkusi

4-8 cm pada linea


midsternalis

6 – 12 cm pada linea
medioklavikularis kanan

Langkah perkusi bila mencurigai adanya splenomegali :

- Perkusi sela iga terendah di linea aksilaris anterior kiri. Pada daerah
ini terdengar suara timpani. Minta penderita tarik napas dalam dan
tahan nafas. Perkusi lagi di tempat yang sama. Dalam keadaan
normal suara tetap terdengar timpani. Berarti tidak ada
splenomegali.
- Bila dicurigai terdapat splenomegali maka lakukan perkusi dari
berbagai arah mulai dari redup atau timpani ke arah daerah pekak
yang diduga limpa sehingga bisa memberikan gambar batas-batas
lien.
4. PALPASI

PALPASI HATI

Langkah pemeriksaan :

49 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


 Letakkan tangan kiri anda di belakang penderita sejajar dan
menopang iga 11 dan 12.
 Ingatkan penderita untuk rileks.
 Tekankan tangan kiri ke ventral sehingga hati akan mudah teraba
dari depan.
 Letakkan tangan kanan anda pada perut sisi kanan lateral otot rektus
dengan ujung jari tangan tepat di bawah daerah pekak hati.
 Arah jari bisa ke arah cranial penderita.
 Minta penderita menarik nafas dalam. Raba tepi hepar yang
menyentuh jari anda. Catat dan berikan tanda pada tempat hati
teraba.
 Lakukan penilaian ukuran hati, bentuk tepi hati, permukaan,
konsistensi , nyeri tekan atau tidak.
 Untuk mengetahui pembesaran hati dilakukan pengukuran jarak dari
tepi kanan arkus kosta pada garis midklavikula ke arah garis yang
dibuat.

Deep Palpation

50 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Menilai tenderness pada hepar yang tak teraba

Palpasi hepar

PALPASI LIEN

 Dengan melingkari penderita, tangan kiri diletakkan di belakang bagian


bawah iga-iga kiri dan didorongkan keventral .
 Untuk memulai palpasi letakkan tangan kanan di bawah dugaan tepi
limpa dan tekankan ke arah limpa.
 Minta penderita bernapas dalam dan rasakan tepi limpa yang akan turun
ke caudal dan menyentuh jari anda.
 Setelah tepi limpa teraba lanjutkan palpasi ke arah lateral dan medial di
mana akan teraba incisura lienalis.
 Ukuran pembesaran mengikuti garis Shuffner. Garis Shuffner adalah
garis imaginer yang dibuat mulai dari pertengahan arcus costa kiri
melalui umbilikus menuju ke SIAS kanan. Garis ini dibagi menjadi 8
skala shuffner.

51 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Pemeriksaan lien, palpasi lien dengan tangan kanan

PALPASI GINJAL

Ginjal kanan :

 Letakkan tangan kiri di belakang penderita tepat di bawah dan


paralel dengan iga 12 dan ujung jari tepat di sudut kostovertebra
kanan, kemudian dorong ginjal ke arah ventral.
 Letakkan tangan kanan secara halus di kwadran kanan atas di lateral
dan paralel terhadap tepi otot rektus sedikit di caudal lengkung iga
kanan.
 Minta penderita inspirasi dalam. Pada akhir inspirasi tekan tangan
kanan kuat dan dalam dan raba ginjal kanan antara 2 tangan.
 Penderita disuruh ekspirasi, bersamaan itu tekanan tangan kanan
dikurangi pelan-pelan.
Ginjal kiri :

Prinsipnya sama dengan ginjal kanan, bedanya :

 Pemeriksa pindah ke sisi kiri penderita.


 Gunakan tangan kanan untuk mendorong ginjal ke arah dorsal.
 Gunakan tangan kiri untuk melakukan palpasi dari ventral.

52 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Pemeriksaan ginjal

NYERI KETOK GINJAL

Dilakukan penekanan atau pukulan pada sudut kostovertebra.

Pemeriksaan nyeri ginjal

PALPASI AORTA ABDOMINALIS

 Letakkan tangan kanan di perut bagian atas lateral dari linea mediana.
 Tekan agak kuat dan dalam dan identifikasikan pulsasi.

53 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Ilustrasi pemeriksaan aorta abdominalis

Menilai pembesaran aorta

1. Pemeriksaan penunjang

a. Widal test
Tes Widal merupakan tes aglutinasi yang digunakan dalam
diagnosis serologi penyakit demam typhoid atau demam enterik. Tes
Widal mengukur level aglutinasi antibodi terhadap antigen O (somatik)
dan antigen H (flagella). Level tersebut diukur dengan menggunakan
dilusi ganda serum pada tabung tes. Biasanya, antibodi O terlihat pada
hari ke 6-8 dan antibodi H terlihat pada hari ke 10-12 setelah munculnya
gejala penyakit demam typhoid. Tes biasanya dilakukan pada serum
akut (serum yang pertama kali diambil saat pertama kali kontak dengan
pasien). Minimal harus didapatkan 1 ml darah untuk mendapatkan
jumlah serum yang cukup.
Prinsip tes Widal adalah pasien dengan demam typhoid atau demam
enteric akan memiliki antibodi di dalam serumnya yang dapat bereaksi
dan beraglutinasi dilusi ganda. Prinsip dari tes widal adalah pasien yang
mengalami penyakit demam typhoid akan memiliki antibodi di dalam
serumnya yang mana dapat bereaksi dan beraglutinasi dengan antigen
Salmonella enterica serotype typhi pada tes aglutinasi tabung maupun
tes aglutinasi slide.

54 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Dengan kata lain dapat dikatakan suspensi bakteri yang membawa
antigen akan beraglutinasi dengan antibodi terhadap organisme
Salmonella enterica serotype typhi. Aglutinasi merupakan reaksi antara
antibodi dengan antigen pada permukaan objek khusus dan
menyebabkan objek tersebut saling bergumpal atau beraglutinasi. Tes
Widal menggunakan prinsip ini dalam mendiagnosis penyakit demam
typhoid.
b. LED
Laju endap darah (LED) disebut juga erythrocyte sedimentation rate
(ESR) atau sedimentation rate (sed rate) atau bezinking-snelheid der
erythrocyten (BSE) adalah kecepatan pengendapan sel-sel eritrosit di
dalam tabung berisi darah yang telah diberi antikoagulan dalam waktu
satu jam (Bridgen, 1999; Desai & Isa-Pratt, 2000; Norderson, 2004).
Laju endap darah juga didefinisikan sebagai kecepatan pengendapan
sel-sel eritrosit dalam plasma (Burns, 2004). Hasil pemeriksaan LED
digunakan sebagai penanda non spesifik perjalanan penyakit, khususnya
memantau proses inflamasi dan aktivitas penyakit akut (Seldon, 1998;
Herdiman T. Pohan, 2004).
Peningkatan nilai LED menunjukkan suatu proses inflamasi dalam
tubuh seseorang, baik inflamasi akut maupun kronis, atau adanya
kerusakan jaringan (Estridge et al, 2000; Norderson, 2004). Hasil
pemeriksaan LED walaupun tidak dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis etiologik, tetapi secara praktis masih rutin digunakan di klinik,
karena selain prosedurnya sederhana dan mudah, juga ekonomis,
praktis, dan dapat sebagai pemeriksaan point-of-care (dekat pasien), dan
tetap mempunyai arti klinis yang penting (Bridgen, 1999; Estridge et al,
2000; Lewis, 2001).
c. Tubex
Pemeriksaan IgM Anti Salmonella (tes TUBEX® ) merupakan tes
aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana, cepat dan sangat
akurat dalam diagnosis infeksi akut demam tifoid. Tes TUBEX®
mendeteksi adanya antibodi terhadap Salmonella O9 dari serum pasien

55 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


dengan kemampuan dari antibodi tersebut untuk menghambat ikatan
antara partikel indikator yang dilapisi monoklonal antibodi dengan
partikel magnetik yang dilapisi antigen. Sampel yang digunakan pada
tes TUBEX® ini adalah serum.
Pada pemeriksaan ini diperlukan satu set tabung yang berbentuk V,
TUBEX® Color Scale, pipet, Brown reagent, dan 9 Blue reagent.
Prosedur pengujian antibodi dari tes ini sangat sederhana. Pembacaan
hasil tes TUBEX® berdasarkan atas warna yang terlihat setelah reaksi
pencampuran. Skor 0 menunjukan semakin merah warna yang terlihat
dan semakin negatif hasil yang didapat, sedangkan skor 10 menunjukan
semakin biru warna yang muncul dan semakin positif hasilnya. Hasil
negatif jika skor 0-2 dan positif jika skor 3-10.
Kelemahan dari tes TUBEX® ini adalah hasil tes bersifat subjektif,
kesulitan dalam menginterpretasikan hasil pada spesimen hemolisis, dan
mungkin menghasilkan positif palsu pada orang yang terinfeksi
Salmonella enterica serotype enteritidis. Sedangkan keuntungan dari tes
ini adalah mendeteksi secara dini infeksi akut akibat Salmonella typhi,
pemeriksaannya sangat mudah, hasilnya diperoleh lebih cepat, sampel
darah yang dibutuhkan hanya sedikit, reliable, flexible, dan mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi Salmonella
typhi.

d. Nilai normal hitung jenis

Basofil 0-1% (absolut 20-100 sel/mm3)

Eosinofil 1-3% (absolut 50-300 sel/mm3)

Netrofil batang 3-5% (absolut 150-500 sel/mm3)

Netrofil segmen 50-70% (absolut 2500-7000 sel/mm3)

Limfosit 25-35% (absolut 1750-3500 sel/mm3)

Monosit 4-6% (absolut 200-600 sel/mm3)

56 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


Penilaian hitung jenis tunggal jarang memberi nilai diagnostik,
kecuali untuk penyakit alergi di mana eosinofil sering ditemukan
meningkat.

Peningkatan jumlah netrofil (baik batang maupun segmen)


relatif dibanding limfosit dan monosit dikenal juga dengan sebutan
shift to the left. Infeksi yang disertai shift to the left biasanya
merupakan infeksi bakteri dan malaria. Kondisi noninfeksi yang dapat
menyebabkan shift to the left antara lain asma dan penyakit-penyakit
alergi lainnya, luka bakar, anemia perniciosa, keracunan merkuri
(raksa), dan polisitemia vera.

Sedangkan peningkatan jumlah limfosit dan monosit relatif


dibanding netrofil disebut shift to the right. Infeksi yang disertai shift
to the right biasanya merupakan infeksi virus. Kondisi noninfeksi yang
dapat menyebabkan shift to the right antara lain keracunan timbal,
fenitoin, dan aspirin.

VII. Kesimpulan
Nn. A, 20 tahun berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum,
pemeriksaan fisik spesifik dan pemeriksaaan fisik penunjang menderita
demam kontinyu.

57 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3


DAFTAR PUSTAKA

Bate’s Guide to Physical Examination and History Taking, electronic version, 115-
208

Bhutta,Z.A.,Current concept sin the diagnosis and treat ment of typhoid fever
British Medical Journal, 2006. 333 (7558) : p. 78-82.

Cameron J.R., Skofronick J.G., Grant R.M. 2006. Fisika Tubuh Manusia. Ed. 2.
Jakarta : Sagung Seto, pp : 124-125

Guyton and Hall. 2007. Fisiologi kedokteran. Ed. 9. Jakarta : EGC, pp : 221-222

Paulsen F, Waschke J (2013) Sobotta Atlas of Human Anatomy 15th. ed. London :
Urban & Fischer

Robert M. S., William J. R., and Karen S. Q. Pshychophysiological recording,


electronic version

Rajapaksa S, Starr M, Croup assesment and management. Austr Fam Physician.


2010;38(5):280-2.

Singhal NS, Josephson SA. A practical approach to neurologic evaluation in the


intensive care unit. J Crit Care 2014; 29(4): 627-33

WHO,Weekly Epidemio logical Record.2008.

58 Laporan Skenario G Blok 9 2018 – Kelompok G3

Anda mungkin juga menyukai