Anda di halaman 1dari 82

LAPORAN KASUS INDIVIDU

STASE FISIOTERAPI KARDIOVASKULAR PULMONAL

MANAJEMEN FISIOTERAPI PADA GANGGUAN AKTIVITAS


FUNGSIONAL BERUPA TRANSFER POSISI AKIBAT NYERI
DADA DAN SESAK NAPAS ET CAUSA ACUTE
DECOMPOMPENSATED HEART FAILURE

NUR FITRIA PUTRI


PO715241211024

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR


PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI
TAHUN 2022

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Individu

Stase Fisioterapi Kardiovaskular

NUR FITRIA PUTRI

PO715241211024

Dengan Judul:

“Manajemen Fisioterapi Pada Gangguan Aktivitas Fungsional Berupa Transfer

Position Akibat Nyeri Dada Dan Sesak Et CausaAcute Decompensated

Heart Failure”

Tanggal 05 September – 01 Oktober 2022 di Pusat Jantung Terpadu RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo telah Preceptor dan Clinical Educator.

Makassar, 30 September 2022

Mengetahui,

Preceptor Clinical Educator

Ismail Muhammad, S.Ft., Physio


NIP : 19741017 200701 1 020

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat

rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyusun laporan

kasus ini yang berjudul “Manajemen Fisioterapi Pada Gangguan Aktivitas

Fungsional Berupa Transfer Position Akibat Nyeri Dada Dan Sesak Et

Causa Acute Decompensated Heart Failure”. Salawat serta salam saya

hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Laporan kasus ini merupakan salah

satu dari tugas praktek klinik di PJT RSUP. dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

Selain itu juga laporan kasus ini bertujuan memberikan informasi mengenani

penatalaksaan Fisioterapi untuk kasus tersebut.

Tidak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak / Ibu dosen Fisioterapi Politeknik Kesehatan Makassar

2. Bapak Ismail Muhammad, S.Ft., Physio sebagai Clinical Edukator

Fisioterapi di PJT RSUP. dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

3. Teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan

Laporan Kasus ini.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak

kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang

membangun demi perbaikan dan penyempurnaan laporan ini. Dan semoga

dengan selesainya laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman

yang membutuhkan.

Makassar, 30 September 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI

4
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit jantung merupakan penyakit tidak menular sebagai penyebab

kematian nomor satu setiap tahunnya. Di Indonesia penyakit jantung dan pembuluh

darah merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan penyakit ini menjadi

penyebab nomor satu kematian di dunia dengan diperkirakan akan terus meningkat

hingga mencapai 23,3 juta pada tahun 2030 (Riskesdas, 2018).

Jenis penyakit kardiovaskular yang paling sering terjadi adalah gagal

jantung. Gagal jantung dapat dialami oleh setiap orang dari berbagai usia, missal

neonatus dengan gagal jantung congenital atau orang dewasa dengan penyakit jantung

arterosklerosis, usia pertengahan dan usia tua sering pula mengalami kegagalan jantung.

Masalah yang sering muncul pada penderita gagal jantung adalah berkurangnya pasokan

oksigen ke jaringan sehingga tubuh mengalami kelemahan dalam aktivitas (Kurmani &

Squire, 2017).

Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) merupakan salah satu bentuk

gagal jantung yang disebabkan oleh infark miokard sebagai bentuk perkembangan yang

cepat dari nekrosis otot jantung yang disebabkan oleh tidak seimbangan antara

kebutuhan oksigen dan suplai oksigen. Gangguan fungsi jantung pada gagal jantung

dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, beban

volume berlebihan (preload) dan beban tekanan (afterload) (Terhoch et al., 2018).

Pasien penderita acute decompensated heart failure harus segera mendapatkan

penanganan yang tepat agar kondisi penderita tidak semakin memburuk, dengan

interpersonal kolaborasion antar tenaga medis sangat dibutuhkan untuk tidak

memperburuk prognosis penyakit.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Jantung

1. Anatomi Jantung

Sistem kardiovaskuler adalah system yang menjelaskan tentang

sirkulasi yang terjadi pada tubuh manusia, sirkulasi yang baik dapat di lihat

dari komponen di dalamnya dalam konndisi yang baik besar jantung pada

orang dewasa 250-360 gr letak jantung berada di rongga mediastinum

medialis sebelah kiri, di belakang sternum, di depan dari tulanng belakang

dan di atas diafragma serta dikelilingi oleh paru kanan dan kiri (Yudha,

2017) . Secara dari struktur jantung terdiri dari garis yang biasa di sebut

lurik otot, pola ultra strukturnya juga mirip dengan otot lurik, sehingga

apabila di lihat secara mikroskopik terlihat jelas terdapat sel bercabang

berhubungan bebas dan membentuk jaringan kompleks 3 dimensi (patricia,

2013).

6
Gambar 2.1 Anatomi Jantung
Sumber : Sobotta, 2018

Sedangkan menurut (Syarifudin, 2006) menyatakan bahwa bentuk

jantung menyerupai jantung pisang, bagian atasnya tumpul yang biasa

disebut dengan basis kordis, letak jantung didalam rongga dada sebelah

depan (kavum mediastinum anterior), sebelah kiri bawah dari pertengahan

rongga dada, diatas diafragma, dan pangkalnya terdapat dibelakang kiri

antara kosta V dan VI dua jari dipapila mamae. Pada tempat ini teraba

adanya denyut jantung yang disebut iktus kordis. Ukurannya lebih kurang

sebesar kepalan tanga kanan dan beratnya 250-300 gr.

Sel otot jantung memiliki karakteristik yang tidak biasa, yang

sebagian besarnya dimiliki oleh membrane sel atau sarkolema, untuk

memompa secara efektif, otot jantung harus berkonttraksi sebagai unit

tunggal.agar otot jantung berkontraksi secara stimulant, jantung

berkontraksi tanpa menggunakan jaringan saraf yang banyak, sehingga

apabila terdapat konntraksi maka impuls akan dihantarkan dari sel ke sel

melalui diskus interkalaris. Pada setiap sel miokardium, membrane sel

miokardium di dekatnya terlipat rumit dan area di sekitarnya tersambung

kuat, area ini disebut distus interkalaris tempat depolarisasi di hantarkan

secara sangat cepat dari sel ke sel berikutnya (Patricia, 2013).

a. Lapisan Jantung

Jantung dilapisi oleh selaput yang kuat, dan dikelilingi oleh

rongga perikard yang terdiri oleh 2 lapisan perikard yang diantaranya

perikard viseralis (epikardium) dan lapisan paritalis, bagian luar

perikard terdapat pembuluh darah besar dan diletakkan oleh ligament

pada kolumna vertebralis, diafragma, dan bagian- bagian jaringan lain di

7
dalam rongga mediastinum (Yudha, 2017)

Menurut (Aaronson, 2010) Jantung memiliki tiga lapisan dan

masing-masing lapisan memiliki fungsi yang berbeda, diantaranya

yaitu:

Gambar 2.2 Lapisan Jantung


Sumber : Sobotta, 2018

1) Perikardium, merupakan selaput-selaput yang mengitari jantung yang

terdiri atas dua lapisan, yaitu:

∙ Perikardium parietalis (lapisan luar yang melekat pada tulang dada

dan selaput paru).

∙ Perikardium visceralis (lapisan permukaan dari jantung yang disebut

epikardium).

∙ Diantara kedua lapisan diatas, terdapat 50 cc cairan perikardium

8
yang berfungsi sebagai pelumas agar tidak terjadinya gesekan

antara perikardium dan epikardium yang timbul akibat gerak

jantung saat memompa.

2) Miokardium, merupakan lapisan tengah (lapisan inti) dari jantung dan

paling tebal serta terdiri dari otot-otot jantung. Fungsinya ialah

kontraksi jantung.

3) Endokardium, merupakan lapisan terluar yang terdiri dari jaringan

endotel.

b. Ruang Jantung

Jantung terdiri dari beberapa ruang jantung yaitu atrium dan

ventrikel yang masing-masing dari ruang jantung tersebut dibagi

menjadi dua yaitu atrium kanan kiri, serta ventrikel kiri dan kanan.

Berikut fungsi dari bagian- bagian jantung yaitu :

Gambar 2.3 Ruang Jantung


Sumber : Sobotta

1) Atrium

9
Atrium kanan berfungsi sebagai penampungan (reservoir) darah

yang rendah oksigen dari seluruh tubuh. Darah tersebut mengalir

melalui vena kava superior, vena kava inferior, serta sinus koronarius

yang berasal dari jantung sndiri. Kemudian darah dipompakan ke

ventrikel kanan dan selanjutnya ke paru. Atrium kanan menerima

darah de-oksigen dari tubuh melalui vena kava superior (kepala dan

tubuh bagian atas) dan inferior vena kava (kaki dan dada lebih

rendah). Simpul sinoatrial mengirimkan impuls yang menyebabkan

jaringan otot jantung dari atrium berkontraksi dengan cara yang

terkoordinasi seperti gelombang. Katup trikuspid yang memisahkan

atrium kanan dari ventrikel kanan, akan terbuka untuk membiarkan

darah de-oksigen dikumpulkan di atrium kanan mengalir ke ventrikel

kanan

Atrium kiri menerima darah yang kaya oksigen dari kedua paru

melalui 4 buah vena pulmonalis. Kemudian darah mengalir ke

ventrikel kiri dan selanjutnya ke seluruh tubuh melalui aorta. Atrium

kiri menerima darah beroksigen dari paru paru melalui vena paru-

paru. Sebagai kontraksi dipicu oleh node sinoatrial kemajuan melalui

atrium, darah melewati katup mitral ke ventrikel kiri

2) Ventrikel

Ventrikel kanan menerima darah dari atrium kanan dan

dipompakan ke paru-paru melalui arteri pulmonalis. Ventrikel kanan

menerima darah de-oksigen sebagai kontrak atrium kanan. Katup

paru menuju ke arteri paru tertutup, memungkinkan untuk mengisi

10
ventrikel dengan darah. Setelah ventrikel penuh, mereka kontrak.

Sebagai kontrak ventrikel kanan, menutup katup trikuspid dan katup

paru terbuka. Penutupan katup trikuspid mencegah darah dari

dukungan ke atrium kanan dan pembukaan katup paru

memungkinkan darah mengalir ke arteri pulmonalis menuju paru-

paru.

Ventrikel kiri menerima darah dari atrium kiri dan dipompakan

ke seluruh tubuh melalui aorta. Ventrikel kiri menerima darah yang

mengandung oksigen sebagai kontrak atrium kiri. Darah melewati

katup mitral ke ventrikel kiri. Katup aorta menuju aorta tertutup,

memungkinkan untuk mengisi ventrikel dengan darah. Setelah

ventrikel penuh, dan berkontraksi. Sebagai kontrak ventrikel kiri,

menutup katup mitral dan katup aorta terbuka. Penutupan katup

mitral mencegah darah dari dukungan ke atrium kiri dan pembukaan

katup aorta memungkinkan darah mengalir ke aorta dan mengalir ke

seluruh tubuh.

c. Katup-katup Jantung

Jantung memiliki beberapa katup – katup yang sangat penting

dalam susunan peredaran darah dan pergerakan jantung :

11
Gambar 2.4 Proyeksi Katup Jantung
Sumber: Sobotta, 2018

1) Katup Atrioventrikuler

Katup atrioventrikuler berfungsi untuk memungkinkan

darah mengalir dari masing-masing atrium ke ventrikel pada fase

diastole ventrikel, dan mencegah aliran balik pada saat systole

ventrikel (kontraksi). Oleh karena letaknya antara atrium dan

ventrikel, maka disebut katup atrio-ventrikuler yang terdiri dari :

- Valvula Trikuspidalis, terdapat diantara atrium dekstra dengan

ventrikel dekstra yang terdiri dari 3 katup

- Valvula Bikuspidalis/Mitral, terletak diantara atrium sinistra

dengan ventrikel sinistra yang terdiri dari 2 katup

12
Gambar 2.5 Katup Jantung
Sumber : Sobotta, 2018

2) Katup Semilunaris

Katup semilunar memungkinkan darah mengalir dari

masingmasing ventrikel ke arteri pulmonalis atau aorta selama

systole ventrikel, dan mencegah aliran balik waktu diastole

ventrikel. Katup semilunaris terdiri dari :

- Valvula Arteri Pulmonalis, terletak antara ventrikel dekstra

dengan areri pulmonalis , tempat darah mengalir keparu - paru

- Valvula Semilunaris Aorta, terletak antara ventrikel sinistra

dengan aorta tempat darah mengalir menuju ke seluruh tubuh

d. Pesyarafan Jantung

Jantung dipersyarafi oleh serabut simpatis, parasimpatis, dan

sistem syaraf autonom melalui pleksus kardiakus. Syaraf simpatis

berasal dari trunkus simpatikus bagian servical dan torakal bagian

atas dan syaraf parasimpatis berasal dari nervous vagus. Sistem

persyarafan jantung banyak dipersyarafi oleh serabut sistem syaraf

otonom (parasimpatis dan simpatis) dengan efek yang saling

berlawanan dan bekerja bertolak belakang untuk mempengaruhi

13
perubahan pada denyut jantung, yang dapat mempertinggi ketelitian

pengaturan syaraf oleh sistem syaraf otot.

Serabut parasimpatis mempersyarafi nodus SA, otot-otot

atrium, dan nodus AV melalui nervus vagus. serabut simpatis

menyebar keseluruh sistem konduksi dan miokardium. Stimulasi

simpatis (adregenic) juga menyebabkan melepasnya epinefrin dan

beberapa norepinefrin dari medulla adrenal. Respon jantung terhadap

stimulasi simpatis diperantai oleh pengikatan norepinefrin dan

epinefrin ke reseptor adregenic tertentu; reseptor α terletak pada sel-

sel otot polos pembuluh darah, menyebabkan terjadinya

vasokonstriksi, dan reseptor β yang terletak pada nodus AV, nodus

SA, dan miokardium, menyebabkan peningkatan denyut jantung,

peningkatan kecepatan hantaran melewati nodus AV, dan

peningkatan kontraksi miokardium (stimulasi reseptor ini

menyebabkan vasodilatasi).

14
Gambar 2.6 Persarafan Jantung

Plexus cardiacus, yang mengandung serabut saraf simpatis dan

parasimpatis. Serabut simpatis adalah serabut saraf postganglionik,

badan sel (perikarya) yang terlokalisasi di dalam ganglia leher dari

trunkus simpatis, dan mencapai pleksus kardiakus melalui tiga saraf

(Nn. Cardiaci cervicales superior, medius dan inferior). sistem saraf

simpatis meningkatkan denyut jantung (efek kronotropik positif),

kecepatan cinduction (efek dromotropik positif), dan rangsangan (efek

batimotropik positif) dari kardiomiosit. Selain itu, gaya kontraktil (efek

inotropik positif) meningkat, atoni dipercepat (efek lusitropik positif),

dan kohesi sel ditingkatkan (efek adhesiotropik positif). Sistem saraf

parasimpatis memiliki efek kronotropik negatif, dromotropik, dan

batimotropik juga memiliki efek inotropik negatif pada atrium. serabut

saraf parasimpatis adalah serabut saraf preganglionik dari N. Vagus (X)

dan mencapai RR. Cardiaci vervicales superior dari inferior RR. cardiaci

thoracici dari pleksus kardiakus, di mana mereka diubah dari hingga 500

ganglia mikroskopis (ganglia cardiaca) menjadi neuron postganglionik.

Peralihan serabut saraf parasimpatis dari pleksus kardiakus

dilakukan di ganglia sendiri (ganglia cardiaca). Seperti halnya organ

lain, di mana ganglia ini sering tertanam di dinding organ, ganglia

parasimpatis kardiaka biasanya berukuran kecil secara mikroskopis dan

oleh karena itu tidak terlihat dengan mata telanjang dalam pembedahan.

ganglia berisi badan sel dari neuron parasimpatis postganglionik yang

terletak dalam jumlah besar terutama pada vesel serta tertanam di

epikardium permukaan jantung. hingga 500 ganglia kecil sehingga

15
memungkinkan kelompok anterior superfisial yang terletak di aorta

asendens dapat diidentifikasi. Kelompok posterior bagian dalam meluas

ke Sinus transversus pericardi dan oleh karena itu di antara pembuluh

arteri. Kelompok posterior ini menyebar secara kaudal ke lapisan dorsal

perikardium ke dalam sinus obliquus pericardii.

2. Fisiologi Jantung

Fungsi jantung adalah memompa darah ke paru dan seluruh tubuh

untuk memberikan sari-sari makanan dan seluruh tubuh hingga sel terjadi

metabolism. Pembuluh arteri dan vena berfungsi sebagai pipa yaitu bertugas

menyalurkan darah dari jantung keseluruh jaringan tubuh, perbedaan

mendasar pada arteri dan vena terdapat pada susunan histoanatomi yang

menunjang fungsinya masing – masing (Yudha, 2017). Menurut (Lily, 2004)

Pemisahan ini sangat penting karena separuh jantung kanan menerima dan

juga memompa darah yang mengandung oksigen rendah sedangkan sisi

jantung sebelah kiri adalah berfungsi untuk memompa darah yang

mengandung oksigen tinggi

a. Siklus dan Peredaran Darah Jantung

Siklus jantung termasuk dalam bagian dari fisiologi jantung itu

sendiri. Jantung ketika bekerja secara berselang-seling berkontraksi

untuk mengosongkan isi jantung dan juga berelaksasi dalam rangka

mengisi darah kembali. siklus jantung terdiri atas periode sistol

(kontraksi dan pengosongan isi) dan juga periode diastol (relaksasi dan

pengisian jantung).

16
Atrium dan ventrikel mengalami siklus sistol dan diastol

terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi (mekanisme listrik

jantung) ke seluruh jantung. Sedangkan relaksasi timbul setelah

repolarisasi atau tahapan relaksasi dari otot jantung. Peredaran Darah

Jantung. Peredaran jantung itu terdiri dari peredaran darah besar dan

juga peredaran darah kecil. Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik

(dari seluruh tubuh) masuk ke atrium kanan melalui vena besar yang

dikenal sebagai vena kava. Darah yang masuk ke atrium kanan berasal

dari jaringan tubuh, telah diambil O2-nya dan ditambahi dengan CO2.

Darah yang kurang akan oksigen tersebut mengalir dari atrium

kanan melalui katup ke ventrikel kanan, yang memompanya keluar

melalui arteri pulmonalis ke paru. Dengan demikian, sisi kanan jantung

memompa darah yang miskin oksigen ke sirkulasi paru. Di dalam paru,

darah akan kehilangan CO2-nya dan menyerap O2 segar sebelum

dikembalikan ke atrium kiri melalui vena pulmonalis.

b. Elektrofisiologi dan Sistem Konduksi Jantung

Aktifitas listrik jantung merupakan akibat perubahan

permeabilitas membrane sel. Seluruh proses aktifitas listrik jantung

dinamakan pontensial aksi yang disebabkan oleh rangsangan listrik,

kimia, mekanika, dan termis. Lima fase aksi potensial yaitu :

1) Fase istirahat bagian dalam bermuatan negative (polarisasi) dan

bagian luar bermuatan positif

2) Fase depolarisasi (cepat) : disebabkan meningkatnya permeabilitas

membrane terhadap natrium, sehingga natrium mengalir dari keluar

ke dalam

17
3) Fase polarisasi parsial setelah depolarisasi terdapat sedikit perubahan

akibat masuknya kalsium ke dalam sel, sehingga muatan positif

dalam sel menjadi berkurang

4) Fase plato (keadaan stabil) fase depolarisasi diikuti keadaan stabil

agak lama sesuai masa refraktor absolute miokard

5) Fase repolarisasi (cepat) kalsium dan natrium berangsur angsur tidak

mengalir dan permeabilitas terhadap kalium sangat meningkat

Sistem kondisi jantung bukan merupakan suatu sistem tunggal

tapi merupakan sistem sirkuit yang cukup kompleks yang terdiri dari sel

yang identik. Seluruh sel miosit di dalam system konduksi jantung

memiliki beberapa kesamaan yang membedakan dengan sel otot yang

bekerja untuk fungsi pompa Pada manusia, komponen yang berfungsi

pada sistem konduksi jantung dibagi menjadi sistem yang berfungsi

untuk menghasilkan impuls dan sistem yang berfungsi untuk

menjalarkan impuls.1,2 Hal ini terdiri dari nodus sinoatrial (nodus SA),

nodus atrioventrikuler (nodus AV), dan jaringan konduksi cepat (sistem

His-Purkinje) (Ahmad, 2017).

18
Gambar 2.7 Komponen system konduksi jantung
Sumber : Sobotta, 2018

Sedangkan menurut (Nazai, 2011) anulus fibrosus di antara atria dan

ventrikula memisahkan ruangan-ruangan ini baik secara anatomis maupun

elektris. Untuk menjamin rangsang ritmik dan sinkron, serta kontraksi otot

jantung, terdapat jalur konduksi khusus dalam miokardium. Jaringan

konduksi ini memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

- Otomatosasi : Kemampuan menghasilkan impuls secara

spontan.

- Ritmisasi : Pembangkitan impuls yang teratur.

- Konduktivitas : Kemampuan untuk menyalurkan impuls.

- Daya rangsang : Kemampuan untuk menanggapi stimulasi.

Karena sifat-sifat ini maka jantung mampu menghasilkan secara

spontan dan ritmis impuls-impuls yang disalurkan melalui sistem

penghantar untuk merangsang miokardium dan menstimulir kontraksi otot.

Impuls jantung biasanya dimulai dan berasal dari nodus sinoatrialis (SA).

Nodus SA ini disebut sbagai pemacu alami dari jantung. Nodus SA terletak

di dinding posterior atrium kanan dekat muara vena kava superior (Yudha,

2017).

19
Gambar 2.8 Sistem konduksi jantung
Sumber : Sobotta, 2018

Pencetus impuls listrik jantung muncul dari SA Node terus menjalar

ka AV Node, Berkas His, Cabang Berkas Kiri dan Kanan, Serabut Purkinje

dan akhirnya sampai ke otot ventrikel jantung. Arus listrik yang menjalar

dari SA Node ke Berkas His membentuk Interval PR dan arus listrik dari

Cabang berkas sampai serabut purkinje membentuk Kompleks QRS. Durasi

normal Interval tidak lebih dari 5 kotak kecil (kk), dan Kompleks QRS

tidak lebih dari 3 kk. (Yudha, 2017).

B. Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

1. Definisi

Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) adalah suatu

kondisi gagal jantung yang ditandai dengan adanya perburukan tanda dan

gejala gagal jantung sebagai akibat dari perburukan kardiomiopati yang

sudah ada sebelumnya. Perburukan gejala gagal jantung kronis, ditandai

dengan sesak napas yang makin memberat, edema tungkai, ortopnea, ronki

20
basah halus, rontgen dada biasanya normal (Purwowiyoto, 2018). ADHF

dapat berupa serangan baru tanpa kelainan jantung sebelumnya, atau dapat

merupakan dekompensasi dari gagal jantung kronik (chronic heart failure)

yang telah dialami sebelumnya. ADHF muncul bila cardiac output tidak

dapat memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. ADHF sering pula

didefinisikan sebagai perburukan keadaan dari heart failure (HF) yang

biasanya disebabkan oleh edema pulmonal kardiogenik dengan akumulasi

cairan yang cepat pada paru (Arrigo et al., 2020).

2. Etiologi

Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung.

Penyebab yang paling umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana

terjadi kerusakan atau hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik,

peningkatan tahanan vaskuler dengan hipertensi, atau berkembangnya

takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF), Coronary Artery Disease (CAD),

adalah pasien dengan riwayat Heart Failure (HF) . Penyakit jantung koroner

yang merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi penyebab gagal

jantung pada 70% dari pasien gagal jantung. Penyakit katup sekitar 10% dan

kardiomiopati sebanyak 10% (Dickstein et al, 2016).

Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai

pompa adalah gangguan pengisian ventrikel (stenosis katup atrioventrikuler),

gangguan pada pengisian danejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan

temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling

mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan

21
gangguan penghantaran kalsium didalam sarkomer, atau di dalam sistesis

atau fungsi protein kontraktil (Terhoch et al., 2018).

3. Patofisiologi

Infark Miokardium biasanya mendahului terjadinya gagal

jantung. Hipertensi sistemik/ pulmonal (peningkatan afterload)

meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan

hipertrofi serabut otot jantung (Terhoch et al., 2018). Efek tersebut

(hipertrofi miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena

akan meningkatkan kontraktilitas jantung. Hipertrofi otot jantung

menyebabkan jantung tidak dapat berfungsi secara normal, dan akhirnya

terjadi gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokarium degeneratif

berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung

merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun (Dahn &

Walker, 2018). Apabila cadangan jantung untuk berespons terhadap stress

tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan metabolik tubuh, maka jantung

gagal untuk melakukan tugasnya sebagai pompa, akibatnya terjadilah gagal

jantung (Arrigo et al., 2020).

Kelainan fungsi otot jantung disebabkan oleh aterosklerosis

koroner, hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi.

Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena

terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis

(akibat penumpukan asam laktat) (Reeves et al., 2017). Letak suatu infark

miokardium akan menentukan sisi jantung yang pertama kali terkena setelah

terjadi serangan jantung (Arrigo et al., 2020).

22
Ventrikel kiri yang melemah akan menyebabkan darah kembali

ke atrium, lalu ke sirkulasi paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka

jelaslah bahwa gagal jantung kiri akhirnya akan menyebabkan gagal jantung

kanan. Pada kenyataanya, penyebab utama gagal jantung kanan adalah gagal

jantung kiri. Karena tidak dipompa secara optimum keluar dari sisi kanan

jantung, maka darah mulai terkumpul di sistem vena perifer. Hasil akhirnya

adalah semakin berkurangnya volume darah dalam sirkulasi dan menurunnya

tekanan darah serta perburukan siklus gagal jantung (Antohi et al., 2019).

4. Gambaran Klinis

ADHF dapat dimanifestasikan oleh penurunan curah jantung

dan/atau pembendungan darah di vena sebelum jantung kiri atau kanan,

meskipun curah jantung mungkin normal atau kadang-kadang diatas normal.

Tanda dominan ADHF adalah meningkatnya volume intravaskuler (Terhoch

et al., 2018).

Kongesti jaringan terjadi akibat tekanan arteri dan vena yang

meningkat akibat turunnya curah jantung dan kegagalan jantung.

Peningkatan tekanan vena pulmonalis dapat menyebakan cairan mengalir

dari kapiler ke alveoli, akibatnya terjadi edema paru yang dimanifestasikan

dengan batuk dan nafas pendek. Meningkatnya tekanan vena sistemik dapat

mengakibatkan edema perifer umum dan penambahan berat badan (Kurmani

& Squire, 2017). Turunnya curah jantung pada gagal jantung

dimanifestasikan secara luas karena darah tidak dapat mencapai jaringan dan

organ (perfusi rendah) untuk menyampaikan oksigen yang dibutuhkan.

Beberapa efek yang biasanya timbul akibat perfusi rendah adalah pusing,

23
konfusi, kelelahan,tidak toleran terhadap latihan dan panas, ektremitas

dingin, dan haluaranurin berkurang (oliguri). Tekanan perfusi ginjal

menurun, mengakibatkan pelepasan rennin dari ginjal, yang pada gilirannya

akan menyebabkan sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan, serta

peningkatan volume intravaskuler (Rubio-Gracia et al., 2018).

Gejala dan tanda umum gagal jantung dekompensasi akut

(Hamada-Harimura et al.,

2018):

a. Dispnea (saat aktivitas, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea, atau

saat istirahat) yang ditandai adanya ronchi dan efusi paru

b. Gangguan pada abdomen (kembung, begah atau sulit makan) yang

ditandai dengan lingkar perut bertambah

c. Perubahan status mental, mengantuk disiang hari, kebingungan,

sulitberkonsentrasi yang ditandai dengan pucat, kulit agak kelabu,

perubahan warna kulit

d. Peningkatan dan/atau penurunan berat badan secara signifikan

e. Penurunan nafsu makan atau rasa kenyang yang cepat

f. Odema (ektremitas, skrotum atau daerah lainnya)

g. Berkurangnya kapasitas aktivitas fisik

h. Lelah yang ditandai dengan extremitas dingin

i. Batuk, gangguan tidur, pusing, hampir pingsan, depresi dan hipotensi.

C. Assessment Fisioterapi

1. Elektrokardiogram (EKG)

24
EKG adalah tes yang sangat mendasar namun sangat membantu dalam

evaluasi penyakit arteri koroner. Ini mengukur aktivitas listrik dalam sistem

konduksi jantung dan diukur dengan 10 sadapan yang menempel pada kulit

di lokasi standar. Ini memberikan informasi tentang fisiologi dan anatomi

jantung.

Informasi penting yang perlu diperhatikan pada EKG adalah detak

jantung, ritme, dan aksis. Setelah itu, informasi mengenai proses patologis

akut dan kronis dapat diperoleh. Pada sindrom koroner akut, seseorang dapat

melihat perubahan segmen ST dan perubahan gelombang T. Jika ACS telah

merosot menjadi aritmia,itu juga bisa dilihat. Dalam kondisi kronis, EKG

dapat menunjukan informasi terkait axis deviation, bundle branch blocks,

and ventricular hypertrophy (Shahjehan & Bhutta (2022).

2. Echocardiografi

Echocardiografi mode pengujian yang berguna dan non-invasif yang

dilakukan dalam pengaturan akut dan kronis dan rawat inap dan rawat jalan.

Dalam kondisi akut, itu bisa memberi tahu tentang gerakan dinding,

regurgitasi dan stenosis katup, 11 lesi infektif atau autoimun, dan ukuran

ruang. Dalam kondis kronis, dapat dilakukan untuk melihat informasi yang

sama yang disebutkan di atas dan juga respons terhadap terapi medis yang

telah diberikan (Shahjehan & Bhutta (2022).

3. Chest X-ray

Chest X-ray merupakan komponen penting dari evaluasi awal

penyakit jantung. X-ray dengan metode standar posterioranterior beridri

(AP) dan dekubitus lateral kiri, seringkali pemeriksaan anteriorposterior

25
(AP) dilakukan pada pasien rawat inap dalam posisi berbaring. Analisis yang

tepat dari prosedur ini akan memberikan informasi yang berguna terkait

kondisi jantung, paru-paru dan pembuluh darah (Shahjehan & Bhutta (2022).

4. Killip

Killip merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat

gejala gagal jantung pada pasien (Saroinsong et al., 2021).

5. New York Heart Association (NYHA)

NYHA merupakan salah satu alat ukur yang berfungsi untuk menilai

dan mengevaluasi sesak napas pada pasien (Saroinsong et al., 2021).

Kelas I : Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak memiliki keterbatasan

dalam beraktivitas fisik. Adanya aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan

kelelaha, susah bernapas maupun palpitasi.

Kelas II : Pasien dengan penyakit jantung, sedikit keterbatasan dalam

beraktivitas fisik. Adanya aktivitas biasa menyebabkan kelelahan, palpitasi,

sulit bernapas maupun angina.

Kelas III : Pasien dengan penyakit jantung terdapat keterbatasan dalam

beraktivitas fisik. Pasien dalam kondisi nyaman saat istirahat, tetapi jika

melakukan aktivitas kecil dapat

memicu keluhan.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit jantung keluhan akan timbul bahkan saat

istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik keluhan akan memburuk.

26
D. Tinajauan Tentang Intervensi Fisioterapi

1. Breathing Control Exercise

Breathing Control telah lama digunakan dalam yoga untuk

fokus dan mempromosikan meditasi. Ini adalah kunci untuk

memaksimalkan rehabilitasi. Sangat penting untuk menilai pernapasan

pasien saat istirahat dan selama berolahraga. Orang sering menahan

napas saat melakukan aktivitas, terutama selama aktivitas baru, jadi

penting untuk menilai respons kardiopulmoner dan neuromuskuler untuk

setiap aktivitas baru. Di banyak pusat rehabilitasi dan klub kesehatan,

rejimen latihan Pilates telah digunakan untuk membantu pasien

mencapai kekuatan inti dan stabilisasi punggung. Pilates adalah metode

pengkondisian fisik dan mental yang dikombinasikan dengan integrasi

tubuh, pikiran, dan jiwa; itu juga telah digunakan oleh penari dan

koreografer untuk meningkatkan kontrol postur tubuh, meningkatkan

kemudahan gerakan, dan meningkatkan penampilan mereka. Fase

pertama Pilates menggabungkan pernapasan diafragma sebelum

dilanjutkan dengan langkah-langkah untuk mengaktifkan otot-otot inti

(multifidus, diafragma, dasar panggul, dan abdominis transversal).

Keyakinannya adalah ketika individu memiliki inti yang kuat maka

postur tubuh akan meningkat dan kinerja aktivitas fungsional lainnya

akan meningkat. Ini serupa dengan konsep kami mengajarkan kontrol

pernapasan diafragma sebelum aktivitas fungsional pada orang dengan

gangguan pernapasan. Joseph Pilates sebenarnya menggunakan istilah

contrology untuk mendefinisikan konsepnya. Itulah yang ingin kami

27
ajarkan kepada pasien kami - kontrol napas, lalu fungsi.

Indikasi pemberian breathing control, antara lain:

a. Disfungsi paru, baik penyebab primer maupun sekunder

b. Nyeri akibat pembedahan, trauma, atau penyakit

c. Ketakutan atau kegugupan

d. Bronkospasme atau bronkospasme yang akan datang pada asma

e. Disfungsi klirens jalan nafas

f. Pembatasan inspirasi akibat disfungsi muskuloskeletal, seperti

skoliosis, kyphoscoliosis, atau pectus excavatum; kegemukan;

kehamilan; patologi paru seperti fibrosis; jaringan parut akibat terapi

radiasi; kelemahan neurologis seperti cedera sumsum tulang

belakang, penyakit Parkinson, atau miastenia gravis - Gagal jantung

kongestif, edema paru, atau emboli paru

g. Patah tulang rusuk

h. Pasien berventilasi pada kontrol bantuan atau ventilasi wajib

intermiten

i. Gangguan metabolisme yang memiliki respon pernapasan kompensasi

j. Pasien yang lemah atau terbaring di tempat tidur, yang cenderung

memiliki volume ventilasi yang konstan dan menahan sekret dan

rentan terhadap pneumonia dan atelektasis karena klirens saluran

napas yang buruk

2. Mobilization and Execise

Mobilisasi adalah aplikasi terapeutik dan preskriptif dari

aktivitas beban kerja rendah dalam penanganan disfungsi

28
kardiovaskular dan paru. Terutama, tujuan mobilisasi adalah untuk

memanfaatkan efek akut dari olahraga untuk mengoptimalkan

pengangkutan oksigen. Meskipun aktivitas ini dianggap sebagai beban

kerja yang rendah, aktivitas ini dapat menimbulkan permintaan

metabolik relatif khusus pasien yang tinggi. Bahkan dosis stimulus

mobilisasi yang relatif rendah dapat menimbulkan kebutuhan metabolik

yang cukup besar pada pasien dengan gangguan kardiovaskular atau

paru, itulah sebabnya ia diresepkan untuk pasien yang sakit akut.

Mobilisasi juga digunakan karena efek menguntungkannya pada sistem

organ lain seperti sistem muskuloskeletal, neurologis, integumen,

gastrointestinal, dan ginjal. Jika memungkinkan, mobilisasi dilakukan

dalam posisi tegak, yaitu posisi, untuk mengoptimalkan tekanan

gravitasi pada perpindahan cairan dan hemodinamik sentral dan perifer.

Mobilisasi dengan demikian ditentukan sebagai stimulus gravitasi dan

stimulus latihan.

Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang

dihasilkan oleh kontraksi otot yang meningkatkan kebutuhan metabolik

secara substansial selama keadaan istirahat. Oleh karena itu, olahraga

diartikan sebagai bentuk aktivitas fisik yang terstruktur dan berulang.

Olahraga biasanya membutuhkan setidaknya aktivitas fisik sedang,

sehingga laju pernapasan dan detak jantung dipercepat secara nyata,

terutama bila dilakukan untuk mengembangkan atau mempertahankan

kebugaran. Latihan ditentukan oleh ahli terapi fisik dalam pengelolaan

disfungsi kardiovaskular atau paru subakut dan kronis. Tujuan akhir

29
latihan adalah memaksimalkan fungsi di semua langkah jalur

transportasi oksigen ke struktur pendukung (yaitu, otot dan jaringan

lain). Tujuan jangka pendek dari latihan adalah mengeksploitasi efek

fisiologis kumulatifnya untuk beradaptasi dengan latihan jangka

panjang.

Resep untuk mobilisasi dan olahraga untuk merangsang

manfaat akutnya sama dengan resep olahraga untuk efek aerobik jangka

panjang, sentral, dan perifernya. Parameter latihan untuk mencapai

adaptasi jangka panjang pada orang sehat telah ditentukan dan secara

umum diterima dengan baik: individu melakukan latihan aerobik

dengan intensitas detak jantung 40% -85% dari cadangan detak jantung

(HRR) selama 20 hingga 40 menit , 3 hingga 5 hari seminggu (HRR

berdasarkan rumus Karvonen: HRrest + 40% -85% [HRpeak / HRmax -

HRrest]). Formula tradisional latihan latihan (HR 70% -85% dari

perkiraan usia maksimum atau maksimum yang diuji, selama 20 sampai

40 menit, 3 sampai 5 hari seminggu) mungkin memiliki kegunaan yang

lebih besar pada orang dengan kondisi kronis ringan. Efek latihan

aerobik biasanya terlihat dalam 2 bulan.

a. Efek Kardiovaskular dan Pulmonal

Kebugaran otot pernapasan dapat memengaruhi kinerja

olahraga pada individu yang sehat. Latihan otot pernapasan terisolasi

meningkatkan daya tahan otot pernapasan dan waktu ketahanan sebagai

respons terhadap latihan seluruh tubuh. Meskipun _VO2max tidak

terpengaruh, _VE dan laktat darah menurun setelah pelatihan. Selain itu,

30
latihan otot pernafasan dapat meredakan sesak napas pada orang sehat

saat berolahraga. Namun, peningkatan kekuatan dan daya tahan otot

pernapasan dengan pelatihan khusus telah dilaporkan tidak dapat

ditransfer ke _VO2 max pada atlet. Meskipun mengoptimalkan

kebugaran otot pernapasan melalui latihan fungsional seluruh tubuh

adalah tujuan dalam perawatan pasien, temuan ini memiliki beberapa

implikasi klinis.

Permintaan metabolik yang meningkat dari hasil latihan akut

dalam sedikit peningkatan diameter jalan nafas dan peningkatan pada:

1) Ventilasi alveolar menit

2) Ventilasi alveolar

3) Volume pasang surut

4) Tingkat pernapasan

5) Laju aliran udara

6) Keluaran jantung

7) Volume langkah

8) Denyut jantung

9) Tekanan darah

10) Produk tekanan detak jantung (RPP; produk detak jantung dan TD

sistolik) Pada orang sehat dan orang dengan penyakit jantung, RPP

sangat berkorelasi dengan miokard _VO2 dan dengan demikian

dengan kerja miokard122), _VO2, dan produksi karbon dioksida

(_VCO2).

31
Umumnya, SV meningkat secara tidak proporsional lebih

banyak dari pada HR pada intensitas latihan yang rendah untuk

mempengaruhi CO. Dengan meningkatnya intensitas, SV berkontribusi

lebih sedikit pada HR, yang terus meningkat hingga HR maksimum

dicapai dengan latihan tambahan. Pada wanita muda yang cukup aktif,

bagaimanapun, SV mengalami dataran tinggi melalui intensitas latihan

sedang hingga berat dan kemudian mengalami peningkatan sekunder

pada beban kerja yang sangat berat. Dengan pelatihan ketahanan, SV

meningkat, sebagian besar mencerminkan peningkatan pengisian

diastolik dan tingkat pengosongan dan peningkatan darah volume. Orang

yang lebih tua mungkin tidak meningkatkan CO dan SV maksimal

mereka sebagai respons terhadap pelatihan, demi adaptasi perifer. Area

pencocokan ventilasi-ke perfusi terbesar di zona tengah paru-paru, zona

2, meningkat akibat peningkatan dilatasi dan perekrutan kapiler paru.

Manfaat hemodinamik dari latihan dimaksimalkan dalam posisi

tegak (berlawanan dengan posisi berbaring) karena latihan saja gagal

untuk melawan hilangnya mekanisme pengatur volume yang terkait

dengan posisi berbaring. Yang terpenting adalah peran tekanan gravitasi

dalam mempertahankan kontrol dan pengurangan tekanan darah.

intoleransi ortostatik. Selama latihan, volume diastolik akhir dan SV

telah dilaporkan lebih besar pada posisi tegak daripada posisi terlentang

pada atlet ketahanan, yang mendukung ketergantungan yang lebih besar

pada hukum Frank-Starling. Dengan demikian posisi tubuh menentukan

kontribusi relatif dari HR, miokardial. kontraktilitas, dan mekanisme

32
Frank-Starling menjadi CO selama latihan. Pasien dengan gangguan

aliran balik vena dan kontraktilitas miokard dapat mengambil manfaat

dari bersepeda telentang intensitas sedang di mana sirkulasi sentral dan

vasodilatasi lokal lebih disukai. Volume plasma meningkat dengan

latihan intens akut, dan ini telah terbukti bergantung pada posisi.

Kandungan albumen plasma peningkatan posisi tegak dibandingkan

dengan posisi terlentang, dan ini dianggap bertanggung jawab atas

peningkatan volume plasma. Dengan menggabungkan posisi tegak

dengan olahraga, ahli terapi fisik dapat secara langsung membantu

menormalkan keseimbangan cairan dan hemodinamik pada pasien yang

terancam homeostasis cairan.

b. Efek Muskuloskeletal

Latihan otot ketahanan pada pasien yang sakit kritis telah

terbukti memiliki manfaat umum dan lokal dalam hal efek akut dan

jangka panjang, serta efek pencegahannya. Otot perifer dan pernapasan

merupakan target penting dari resep latihan pada populasi pasien ini,

dan pelatihan semacam itu mungkin memiliki implikasi untuk

menghindari ventilasi mekanis atau, jika ventilasi mekanis

diindikasikan, memfasilitasi penyapihan. Latihan resistansi adalah

tindakan pencegahan yang efektif untuk atrofi otot saat pasien telentang.

c. Efek Endokrin

Mobilisasi dan olahraga merangsang sistem endokrin.

Katekolamin, dilepaskan untuk mendukung sistem kardiovaskular,

33
mempertahankan kecepatan kerja olahraga tertentu. Peningkatan

aktivitas simpatis akibat mobilisasi dapat membantu mengurangi

kebutuhan pasien akan agen farmakologis simpatomimetik, hasil terapi

fisik yang penting. Stimulasi saraf simpatis meningkat, sehingga

neurotransmiter simpatis diproses lebih efisien (yaitu, disintesis dan

terurai secara hayati).

d. Efek Sistem Saraf Pusat

Respon SSP untuk mobilisasi termasuk gairah melalui aktivasi

sistem aktivasi retikuler dan priming dari berbagai sistem organ yang

terlibat. Sehubungan dengan fungsi otonom, penghambatan

parasimpatis terjadi pada awal latihan, diikuti oleh aktivasi simpatis

untuk menambah kekuatan dan kecepatan miokard. kontraksi.

e. Efek Metabolik

Efek metabolik dari olahraga akut, khususnya, pada

metabolisme glukosa dan sintesis hormon pertumbuhan memiliki

relevansi klinis yang cukup besar karena fungsi ini sangat penting untuk

kesehatan dan pemulihan. Aktivitas fisik yang dibatasi menyebabkan

hiperinsulinemia dan hiperglikemia serta mengurangi sintesis hormon

pertumbuhan. Jadi, efek akut dari olahraga berperan penting dalam

mengimbangi perubahan ini.

f. Efek Imunologikal

Olahraga akut memiliki efek yang sangat besar pada sistem

kekebalan tubuh. Bahkan satu kali olahraga ringan memiliki efek positif

34
pada kekebalan. Apakah ada efek ketergantungan dosis tidak diketahui.

Juga tidak diketahui apakah ada efek kumulatif dari latihan yang kurang

intens dalam waktu singkat, seperti untuk pasien yang sakit parah atau

yang memiliki kapasitas fungsional rendah.

g. Efek Psikologi

Olahraga akut juga telah dilaporkan dapat meningkatkan

kesejahteraan psikologis dan suasana hati. Terlepas dari manfaat yang

mapan dari olahraga pada kesehatan mental (misalnya, mengurangi

kecemasan dan ketegangan serta menghilangkan depresi), tidak cukup

sering digunakan. Untuk mendapatkan keuntungan penuh dari manfaat

nonfarmasi yang hemat biaya ini, olahraga perlu menjadi rekomendasi

yang lebih sering.

3. Body Positioning

Penentuan posisi tubuh memiliki efek yang kuat dan langsung

pada sebagian besar tahapan jalur transportasi oksigen, sehingga dapat

ditentukan untuk memperoleh efek ini secara istimewa. Karena manusia

berfungsi secara optimal saat berdiri dan bergerak, intervensi terapeutik

yang memunculkan atau mensimulasikan tegak dan bergerak (yaitu,

menimbulkan stres gravitasi dan olahraga) paling dapat dibenarkan

secara fisiologis. Posisi telentang telentang, posisi umum yang dilakukan

oleh pasien yang dirawat di rumah sakit, bersifat nonfisiologis dan

merusak transportasi oksigen. Posisi berbaring miring memiliki

pengaruh antara posisi tegak dan terlentang. Posisi tengkurap, yang

kurang dimanfaatkan secara klinis, dapat memiliki pengaruh yang

35
sangat kuat pada pengangkutan oksigen sehingga harus dibuat alasan

yang baik untuk tidak memasukkan posisi ini ke dalam resep

pengobatan.

a. Posisi tegak (upright position)

Meskipun posisi tegak sama dengan posisi fisiologis dan

anatomis, namun gerakan tegak merupakan posisi fisiologis yang

sebenarnya dimana posisi tegak dibarengi dengan gerakan (misalnya

berjalan, bersepeda, atau gerakan dalam duduk) konsisten dengan

kebutuhan aktivitas sehari-hari. . Untuk memenuhi permintaan

energik dari aktivitas ini, transportasi oksigen dioptimalkan hingga

tingkat terbesar, dalam ventilasi dan perfusi yang lebih seragam

daripada tanpa stimulus olahraga tambahan. Posisi berdiri tegak

memaksimalkan volume dan kapasitas paru-paru, kecuali volume

penutupan, yang diturunkan. Kapasitas residu fungsional (FRC),

volume udara yang tersisa di paru-paru pada akhir ekspirasi pasang-

akhir, lebih besar saat berdiri dibandingkan dengan duduk dan

melebihi posisi terlentang sebanyak 50%. Memaksimalkan FRC

dikaitkan dengan penurunan penutupan jalan napas dan oksigenasi

arteri maksimal. Karena perubahan paru terkait usia, kapasitas

penutupan saluran napas yang bergantung meningkat seiring

bertambahnya usia; efek ini lebih jauh ditekankan dengan posisi

berbaring. Penutupan jalan napas terlihat pada posisi terlentang pada

orang berusia 45 tahun yang sehat dan dalam posisi duduk tegak

pada orang berusia 65 tahun yang sehat. Atelektasis kompresi

36
disebabkan oleh berat jantung, tekanan perut, dan efusi pleura,

efeknya yang ditentukan oleh posisi spesifik pasien.13 Efek posisi ini

lebih ditekankan pada populasi pasien dengan patologi

kardiovaskular dan paru, toraks, dan perut, sehingga posisi tegak

disukai, dan posisi terlentang harus diminimalkan sehingga

mencegah penutupan jalan nafas dan gangguan pertukaran gas.

b. Posisi terlentang (supine position)

Posisi terlentang yang melekat kaitannya pada tirah baring

mengubah konfigurasi dinding dada, posisi anteroposterior

hemidiafragma, tekanan intratoraks, tekanan intraabdominal

sekunder akibat pergeseran visera abdomen pada posisi ini, dan

mekanisme fungsi jantung. Konfigurasi anteroposterior normal

menjadi lebih melintang. Hemidiafragma tergeser cephalad, yang

mengurangi FRC pada posisi ini. Prefaut dan Engel mengamati

bahwa vasokonstriksi hipoksia sekunder akibat penutupan saluran

napas dalam posisi terlentang berkontribusi pada perfusi preferensial

dari zona paru nondependen. Akhirnya, pada posisi terlentang,

kelebihan sekresi paru cenderung berkumpul di sisi-sisi saluran udara

yang bergantung. Sisi atas mungkin mengering, membuat pasien

terkena infeksi dan obstruksi

Peningkatan volume darah intratoraks dalam posisi terlentang

juga berkontribusi pada penurunan FRC dan kepatuhan paru-paru

dan peningkatan resistensi jalan napas. Secara kolektif, efek ini

mempengaruhi pasien untuk menutup jalan napas dan meningkatkan

37
kerja pernapasan. Meskipun orang yang sehat dapat menyesuaikan

diri dengan perubahan fisiologis ini, orang yang sehat tidak

mengambil posisi ini untuk waktu yang lama tanpa secara tidak sadar

bergeser. Namun, pasien yang dirawat di rumah sakit cenderung

tidak beradaptasi dengan perubahan langsung ini dan efek jangka

panjangnya. Mereka mungkin kurang responsif terhadap kebutuhan

untuk mengubah posisi atau tidak mampu menanggapi rangsangan

aferen yang mendorong kebutuhan untuk mengubah posisi. Efek ini

ditekankan pada orang tua yang tekanan oksigen arterialnya semakin

berkurangseiring bertambahnya usia. Dibandingkan dengan orang

yang lebih muda, tekanan oksigen arteri pada orang tua terutama

lebih rendah pada posisi terlentang dibandingkan dengan posisi

duduk referensi.

Sebuah studi tentang efek postural hemodinamik pada subjek

sehat mendukung bahwa posisi horizontal memaksimalkan volume

darah sentral. Posisi ini, bagaimanapun, tidak dapat dianggap optimal

secara klinis karena efek seperti kompresi intratoraks dan

intraabdominal.

c. Posisi miring ke samping (side lying position)

Berbaring miring mungkin secara teoritis kurang merusak

dibandingkan dengan posisi terlentang. Posisi berbaring menyamping

menonjolkan ekspansi anteroposterior dengan mengorbankan

ekskursi transversal dari dinding dada dependen. Pada posisi ini,

hemidiafragma dependen tergeser cephalad karena kompresi visera

38
di bawahnya. Hal ini menghasilkan ekskursi yang lebih besar selama

respirasi dan kontribusi yang lebih besar pada ventilasi paru-paru

tersebut dan pertukaran gas secara keseluruhan. FRC dalam posisi

miring berada di antara posisi tegak dan terlentang. Dibandingkan

dengan posisi terlentang, kepatuhan berbaring menyamping

meningkat, resistensi berkurang, dan kerja pernapasan berkurang,

sedangkan tindakan ini dibalik ketika berbaring menyamping

dibandingkan dengan posisi tegak. Meskipun ventilasi ditingkatkan

ke paru-paru dependen, volume paru-paru inspirasi dan FRC

berkurang. Dibandingkan dengan referensi posisi duduk, FEV1 dan

FVC berkurang sama di kiri dan kanan berbaring, tanpa efek

diferensial dari berbaring samping pada kapasitas difusi dan volume

penutupan. Efek fungsi paru-paru ini saat menyamping mungkin

mencerminkan geometri paru yang berubah dengan perubahan posisi

dan penurunan diameter vertikal setiap paru-paru dalam posisi miring

dibandingkan dengan yang terjadi pada posisi terlentang.

Posisi berbaring meningkatkan tekanan ventrikel akhir diastolik

pada sisi dependen sekunder akibat kompresi visera di bawah

diafragma dan mengurangi kepatuhan paru-paru pada sisi tersebut.

Meskipun perubahan tersebut dapat dengan mudah diakomodasi

dalam kesehatan, perubahan tersebut selanjutnya dapat mengganggu

pertukaran gas pada individu. dengan defisit transportasi oksigen.

d. Posisi telungkup (prone position)

Ada banyak pembenaran fisiologis dan ilmiah untuk

39
penggunaan posisi tengkurap untuk meningkatkan oksigenasi arteri

dan mengurangi kerja pernapasan pada pasien dengan disfungsi

kardiovaskular dan paru yang mungkin mendapat ventilasi mekanis

atau tidak. Posisi tengkurap menggeser struktur mobile rongga dada

dan perut.Jantung dan pembuluh darah besar bergeser ke anterior.

Hati, limpa, dan ginjal bergeser ke anterior dan kaudal.

Posisi tengkurap meningkatkan tekanan oksigen arteri, volume

tidal, dan komplians paru dinamis. Gradien tekanan pleura

dihomogenisasi; karenanya distribusi _VA dan inflasi alveolar

ditingkatkan. Ventilasi yang cocok dengan perfusi telah terbukti

lebih seragam pada posisi horizontal, mencerminkan gradien tekanan

pleura yang lebih seragam dan kompresi paru yang lebih sedikit oleh

jantung. Selain itu, posisi tengkurap mengurangi volume stroke,

meningkatkan aktivitas simpatis, dan menambah output urin. Ada

minat yang meningkat untuk memanfaatkan manfaat ini pada pasien

yang sakit kritis di mana pilihan mobilisasi lebih terbatas. Posisi

tengkurap memiliki beberapa peran dalam menghindari ventilasi

mekanis pada pasien yang sadar dan waspada, sehingga mengurangi

risiko komplikasi terkait ventilator. Selama bertahun-tahun,

penelitian tentang posisi rawan telah dilakukan sebagian besar pada

pasien dengan sindrom gangguan pernapasan akut. Rawan dikaitkan

dengan peningkatan oksigenasi pada 70% hingga 80% kasus.

Pengaruh durasi yang berkepanjangan pada posisi tengkurap telah

dipelajari, dan manfaatnya tampaknya bergantung pada dosis. Hasil

40
fisiologis posisi tengkurap dalam penatalaksanaan cedera paru akut

dianggap mencerminkan patoetiologi tertentu.

Untuk pasien yang tidak dapat dimobilisasi, penggunaan

beberapa varian posisi tengkurap bahkan lebih penting. Telentang

yang berlebihan, terutama pada pasien yang ditempatkan melalui

busur terbatas (misalnya, terlentang dan seperempat putaran ke kedua

sisi), harus diimbangi dengan beberapa varian posisi tengkurap, dan

posisi ini harus sering digabungkan. Tak terelakkan, pasien yang

terpapar busur posisi terbatas dapat dengan mudah mengembangkan

atelektasis di bidang paru-paru yang bergantung. Pasien dengan

ventilasi mekanis dan memiliki pola ventilasi pasang surut yang

monoton berada pada risiko tertentu. Satu-satunya cara untuk

mencegah dan melawan kompresi dan atelektasis yang diinduksi

secara hidrostatis adalah dengan memposisikan area dependen paling

atas dan sering memposisikan ulang pasien.

Indikasi pemberian body positioning terhadap trasnportasi

okseigen, antara lain:

1) Preload dan afterload kurang optimal

2) Peningkatan kerja hati

3) Gangguan fraksi ejeksi sistolik ke sirkulasi paru dan sistemik -

Pengembalian vena suboptimal

4) Gaya gravitasi, mekanik, dan kompresi yang tidak diinginkan pada

miokardium, pembuluh darah besar, struktur mediastinal, dan

sistem limfatik - Pergeseran fluida yang kurang optimal dari pusat

41
ke daerah dependen (ekstremitas) dan sebaliknya untuk

mempertahankan mekanisme pengaturan volume fluida

Indikasi pemberian body positioning secara berkala, antara lain:

1) Pergeseran gaya gravitasi, mekanis, dan kompresi pada

miokardium, pembuluh darah besar, struktur mediastinal, dan

sistem limfatik.

2) Merangsang pergeseran volume cairan terutama ke anggota tubuh

yang bergantung

42
BAB III

PROSES ASSESSMENT FISIOTERAPI

A. Data Medis

Diagnosa Medis : Acute Decompensated Heart Failure

Vital Sign

Tekanan Darah : 128/66 mmHg

Pernapasan : 66x/menit

Denyut Nadi : 100x/menit

Suhu : 36,5 0C

Saturasi Oksigen (SPO2) : 94%

B. Identitas Pasien

Nama : Ny. RA

Usia : 61 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : IRT

Alamat : Jalan Manuruki XI No. 5

C. History Taking

Keluhan Utama : Sesak napas ringan dan nyeri dada.

Faktor penyebab : Asma

Faktor yang memperberat : Saat pasien bekerja berat.

Faktor yang memperingan : Saat tidak beraktivitas berat.

Riwayat Perjalan Penyakit : Pasien masuk ke PJT RS Wahidin Sudirohusodo

Makassar pada tanggal 09/09/2022 dengan

keluhan sesak napas. Pasien sebelumnya

43
memiliki riwayat sesak napas dan memberat

sehari sebelum ke RS. Pasien sudah

menggunakan nebulizer di rumah setiap hari

sejak > 1 bulan yang lalu. Batuk ada, demam

tidak ada.

Riwayat Penyakit Penyerta : Diabetes Melitus Type 2, Hopertensi, Asma.

D. Inspeksi / Obseravsi

Kesadaran : Kesadaran pasien dalam keadaan baik

Pola napas : Pola napas tidak efektif ( Bradipnea)

Warna kulit : Normal

Luka operasi : Tidak ada

Alat-alat yang terpasang : Monitor hemodinamik, kateter, Syringe Pump,

Infus dan O2

Tropi otot : Tidak ada

E. Pemeriksaan / Pengukuran Kardiovaskuler

1. Palpasi

Tujuan : untuk meraba mengidentifikasi kontur kulit dan oedem.

Prosedur : meletakkan permukaan palmar telapak tangan

Hasil : Tidak ada odem dan kontur kulit normal.

2. Auskultasi

Tujuan : Untuk mendengan suara BJ (Bunyi Jantung)

Prosedur : Posisi duduk comfortable dan rileks , stetoskop diletakkan pada

dinding dada pasien sejajar jantung.

Hasil : negative

44
Interpretasi : tidak ada bising jantung abnormal 3.

3. Pemeriksaan Motorik

Tujuan : Untuk menentukan fungsi copability dari suatu otot atau


sekelompok otot dalam menyiapkan gerakan serta kemampuannya sebagai
stabilisator aktif dan support.
Prosedur : Dilakukan gerakan pada setiap sendi pasien.

Hasil : Terlampir

Interpretasi : Fungsi motorik dalam batas normal.

4. Pemeriksaan Mobiltas Thorax

Tujuan : untuk mengetahui pengembangan thorax pasien.

Prosedur : kedua ujung thumb di processus Xyphoideus dan jari jari di

extensikan ke lateral costa.

Hasil : Pengembangan thorax minimum

5. Pemeriksaan Lab

Hasil : Glukosa : 9,2 %

Interpretasi :Kendali glikemik buruk, dislipidemia

6. Pengukuran Skala Borg

Hasil : 5

Interpretasi : Berat

7. Pengukuran Daya Tahan Jantung-Paru (6MWT)

Uji jalan selama 6 menit merupakan pemeriksaan toleransi aktivitas yang

bertujuan untuk menilai kapasitas fungsional, Tes ini dilakukan sepanjang

30 m selama 6 menit, sebelum melakukan test terlebih dahulu pasien diukur

vital sign (TD, RR, DN, dan suhu).

Hasil : Pasien belum mampu melakukan 6 MWT.

45
8. Score KILLIP

Hasil : I

Interpretasi : Tidak terdapat gagal jantung (tidak terdapat ronchi maupun S3)

9. Skala NYHA (New York Heeart Association)

Hasil : II

Interpretasi : Pasien dengan penyakit jantung dengan limitasi ringan aktivitas fisik.

Tidak ada masalah saat istirahat. Aktivitas fisik sehari-hari menyebabkan

fatigue,palpitasi, dyspnea, atau nyeri angina

10. METs (Metabolic Equivalents)

Hasil : Pasien belum mampu melakukan kegiatan.

11. Skala Morse ( Risiko Jatuh)

Hasil : 35

Interpretasi : Berisiko Sedang

12. Skoring Dekubitus

Hasil : 15

Interpretasi : Berisiko Tinggi

13. Barthel Index Test

Hasil : 5

Interpretasi : Ketergantungan Berat

14. HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anstety)

Hasil : 25

Interpretasi : Kecemasan sedang

15. ECHO (Echocardiography)

Hasil : EF 35% (BIPLANE), TAPSE 2,3 cm

46
Interpretasi : Moderately Abnormal LV systolic function.

16. EKG (Elektrokardiogram)

Hasil : Terlampir

Interpretasi : Sinus Ritme, HR 98 bpm, reguler, normoaxin

17. Pemeriksaan Radiologi

Hasil : Terlampir

Interpretasi : - Cardiomegaly disertai edema paru

. - Dilatatio aoartae

- Efusi Pleura kanan

F. Diagnosa Fisioterapi

Gangguan aktivitas fungsional berupa transfer position akibat Nyeri Dada Dan

Sesak Et Causa Acute Decompensated Heart Failure.

G. Problematik Fisioterapi

Impairment (body structure)

Problematic Yang Ditemukan Kode ICF Yang Terkait

a. Gangguan pengembangan thorax s410

Impairment (body function)

Problematic Yang Ditemukan Kode ICF Yang Terkait

a. Sesak napas saat posisi duduk b449

b. Nyeri dada b498

Activity Limitation dan Participation Restriction

Problematic Yang Ditemukan Kode ICF Yang Terkait

a. Kesulitan aktivitas transfer position d420

b. Kesulitan aktivitas berjalan d450

c. Kesulitan melakukan pekerjaan sebagai d699

47
IRT

48
BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Panjang

Mengembalikan aktivitas fungsional secara optimal tanpa keluhan

2. Tujuan Jangka Pendek

a. Meningkatkan pengembangan sangkar thorax.

b. Memperbaiki pola napas atau penurunankan frekuensi sesak napas.

c. Mengurangi nyeri dada.

B. Strategi Intervensi Fisioteerapi

No Problematik Fisioterapi Tujuan Intervensi Jenis Intervensi


1. Impairment
a. Gangguan pengembangan thorax Meningkatkan Breathing Exercise
pengembangan
thorax
b. Sesak napas saat posisi duduk Mengurangi sesak Breathing Exercise
c. Nyeri dada Memperbaiki pola Breathing Exercise,
napas dan Positioning,
mengurangi Mobilization and
frekuensi sesak Exercise
napas
2. Activity Limitation
a. Kesulitan aktivitas transfer position Mengembalikan Breathing Exercise,
aktivitas transfer Positioning,
position secara Mobilization and
Mandiri Exercise
b. Kesulitan aktivitas berjalan Mengembalikan Breathing Exercise,
aktivitas berjalan Positioning,
secara Mobilization and
mandiriedukasi Exercise
3. Participation Restriction
Kesulitan melakukan pekerjaan Mengembalikan Breathing Exercise,
sebagai IRT aktivitas pekerjaan Positioning,
secara mandiri Mobilization and

49
Exercise

C. Prosedur Pelaksanaan Intervensi Fisioterapi

1. Breathing Exercise

‐ Posisi pasien : bersandar pada bed dengan posisi 30-45 derajat - Posisi

fisioterapis : di samping bed pasien dengan , kedua tangan pada

lateral costa bawah

‐ Teknik pelaksanaan : minta pasien untuk full ekspirasi dengan diberi

penekanan lembut pada costa. Kemudian minta pasien untuk

melakukan inspirasi sambil fisioterapis memberikan resisten ringan

pada costa. Selanjutnya minta pasien melakukan ekspirasi dan

fisioterapis memberikan vibrasi pada costa pasien.

‐ Dosis : diulangi 3-5 kali per sesi, frekuensi setiap hari.

2. Body Positioning

‐ Posisi pasien : posisi fowler/recumbent

‐ Posisi fisioterapis : di samping bed pasien dengan

‐ Teknik pelaksanaan :pasien diarahkan untuk mengubah posisi secara

berkala dari baring ke duduk

‐ Dosis : posisi dipertahankan sekitar 15 menit untuk setiap sisi, frekuensi

pengulangan setiap hari

3. Mobilization and Exercise


‐ Posisi fisioterapis : di samping bed pasien dengan

‐ Teknik pelaksanaan : pasien diminta untuk melakukan aktivitas secara

bertahap dengan bantuan fisioterapis seperti berbaring ke duduk,

duduk di

50
samping bed, duduk ke berdiri, berjalan

Dosis : intensitas 40% - 85% dari HRmax (HRmax = 220- usia), durasi 20 – 40

menit, frekuensi 3 - 5 hari per minggu

D. Edukasi dan Home Program

1. Edukasi

Pasien diedukasi untuk tetap melakukan latihan-latihan secara mandiri

namun tidak melewati batas kemampuannya

2. Home Program

Latihan –latihan yang diberikan oleh fisioterapis seperti breathing exercise

dan terapi latihan juga dapat pasien lakukan di rumah dengan didampingi

oleh keluarga

E. Evaluasi

No Problematik Intervensi Evaluasi


Fisioterapi
Awal Terapi Akhir Terapi

1 Gangguan pengemba Mobilitas thoraks Pengembangan Peningkatan


ngan thoraks + breathing
thorax minimal pengembangan thorax
exercise

2 Nyeri dada Breathing Nyeri dada Penurunan nyeri dada


exercise dirasakan
ketika
bernapas

3 Sesak napas ringan Breathing SpO2 94% SpO2 98%


Exercise,
Positioning

51
BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Assessment Fisioterapi

1. Anamnesis

Anamnesis adalah cerita tentang riwayat penyakit yang diutarakan

oleh pasien melalui tanya jawab, pada saat melakukan anamnesis seorang

pemeriksa sudah mempunyai gambaran untuk menentukan strategi dalam

pemeriksaan klinis selanjutnya, karena dengan anamnesis yang baik

membawa kita menempuh setengah jalan kea rah diagbosis yang tepat.

Secara umum sekitar 60-70 % kemungkinan diagnosis yang benar dapat

ditegakkan hanya dengan anamnesis yang benar.

Gejala sistem kardiovaskuler yang sering dikeluhkan pasien adalah

nyeri dada (chest pain), palpitasi, nafas pendek, orthopnea, dispnea

paroksismal atau edema.Dapat juga muncul gejala mirip dengan gejala

sistem respirasi misalnya sesak nafas, wheezing, batuk dan hemoptisis.

Palpitasi (berdebar-debar) adalah sensasi kurang nyaman akibat

pasien merasakan denyut jantungnya. Palpitasi dapat terjadi karena denyut

yang tidak teratur, karena denyut yang lebih cepat atau lebih lambat atau

karena peningkatan kontraktilitas otot jantung. Palpitasi tidak selalu

mencerminkan kelainan jantung, bahkan kondisi disritmia yang sangat

serius, misalnya takikardi ventrikel, tidak dirasakan pasien sebagai

palpitasi.

52
Dyspnea (sesak nafas) adalah sensasi kurang nyaman saat bernafas

karena pasien merasakan harus berusaha lebih keras untuk bernafas.

Orthopnea adalah dispnea yang terjadi saat pasien berbaring dan membaik

bila pasien duduk. Derajat orthopnea sering diketahui dengan menanyakan

dengan berapa bantal pasien jadi merasa lebih nyaman atau apakah pasien

sampai harus tidur setengah duduk. Orthopnea sering terjadi pada gagal

jantung kiri atau mitral stenosis.

Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode dispnea atau

orthopnea mendadak yang membangunkan pasien dari tidur, biasanya

terjadi 1-2 jam setelah pasien tertidur. PND sering terjadi pada gagal

jantung kiri atau mitral stenosis. Edema adalah akumulasi cairan secara

berlebihan dalam jaringan interstitial.

Satu tujuan penting dari anamnesis adalah membangun hubungan

pasien-terapis yang baik. Pasien harus diizinkan untuk menjelaskan riwayat

dengan kata-katanya sendiri dan dengan kecepatan yang nyaman.1 Jika

terapis tampak terburu-buru, terganggu, sibuk, jengkel, atau tidak peduli;

sering terputus; atau gagal menjadi pendengar yang penuh perhatian,

hubungan pasien-terapis kemungkinan besar akan rusak.

Pewawancara harus berhati-hati untuk tidak membiarkan perasaan

pribadi tentang perawatan, penampilan, sikap, atau perilaku pasien selama

wawancara untuk terlalu mempertanyakan validitas keluhan utama. Pada

saat pasien dirujuk untuk terapi fisik, dia mungkin telah menemui satu atau

lebih dokter, telah menjalani sejumlah penelitian non-invasif atau invasif,

atau telah diberi resep obat-obatan oral atau hirup dengan pengurangan

53
gejala yang bervariasi atau tidak memuaskan. Pasien cenderung

menunjukkan tingkat kecemasan dan frustrasi. Oleh karena itu, pendekatan

terapis, metode pengambilan sejarah, dan gaya wawancara penting untuk

mendapatkan kepercayaan diri dan kerjasama pasien.

2. History Taking

History taking pasien dapat dibagi menjadi bagian pengumpulan data

dan interpretatif. Segmen pengumpulan data dimulai dengan menanyakan

mengapa pasien mencari perhatian medis dan telah dirujuk ke layanan

terapi fisik.

Pandangan pasien tentang apa masalahnya dan sarannya untuk

mengatasi masalah harus disertakan dalam wawancara. Pasien lebih puas

jika diizinkan dan didorong untuk berpartisipasi dalam wawancara.

Keterlibatan pasien dalam proses juga mengarah pada perbaikan dalam

penetapan tujuan jangka pendek dan jangka panjang.

Kedalaman riwayat yang diambil oleh ahli terapi fisik dapat

bervariasi sesuai dengan faktor-faktor berikut:

Apakah individu tersebut merupakan pasien rawat inap atau rawat

jalan? Banyak pasien rawat inap memiliki catatan medis terperinci yang

tersedia untuk ditinjau oleh terapis. Ini mengurangi jumlah informasi yang

dibutuhkan ahli terapi fisik dari pasien selama wawancara. Jika informasi

dalam bagan kurang, atau jika individu tersebut adalah pasien rawat jalan

dengan hanya rujukan pengobatan dan sedikit atau tidak ada catatan medis

yang tersedia, ahli terapi fisik harus mendapatkan riwayat yang lebih rinci.

Apakah urutan pengobatan sempit atau cakupannya luas? Ketajaman

54
penyakit pasien, tingkat kesadaran, dan kemampuan untuk memberikan

informasi yang akurat

a. Riwayat merokok

Pasien harus ditanyai tentang riwayat merokoknya. Jumlah tahun

merokok bungkus dapat dihitung (jumlah rata-rata bungkus per hari

dikalikan dengan jumlah tahun merokok) sebagai risiko relatif untuk

kanker paru dan COPD. Merokok secara teratur mariyuana lebih merusak

kesehatan paru-paru dalam jangka pendek maupun jangka panjang

b. Sejarah keluarga

Riwayat keluarga berguna dalam mengevaluasi kemungkinan

penyakit paru herediter, seperti defisiensi alfa1-antitripsin, fibrosis kistik,

asma alergi, telangiektasia hemoragik herediter, dan lain-lain. Riwayat

keluarga diabetes, hipertensi, penyakit arteri koroner (CAD ), atau

demam rematik meningkatkan kemungkinan bahwa kondisi ini mungkin

ada pada pasien juga

c. Sejarah Pekerjaan

Mengambil riwayat pekerjaan sangat penting bagi pasien paru yang

datang untuk terapi fisik dengan sedikit atau tanpa informasi medis.

Permukaan bagian dalam paru paru berukuran 50 hingga 100 m3 dan terus-

menerus bersentuhan dengan lingkungan. Pekerjaan yang melibatkan

paparan silika atau silikat (misalnya, penambang, pembuat pasir, pekerja

pengecoran, pemotong batu, pelapis batu bata, dan pekerja penggalian)

atau zat anorganik lainnya menempatkan pekerja pada risiko kombinasi

penyakit paru obstruktif dan restriktif (misalnya silikosis). Pekerja

55
konstruksi, pekerja galangan kapal, pemipaan pipa, dan pekerja industri

lainnya yang terpapar asbes berisiko lebih tinggi untuk mengembangkan

penyakit paru-paru restriktif seperti asbestosis.

Plak pleura jinak dapat ditemukan pada pleura diafragma dan secara

bilateral antara rusuk ke-6 dan ke-10 pada dinding dada anterolateral atau

posterolateral. Penebalan pleura progresif jarang terjadi. Orang-orang ini

mengalami peningkatan insiden penyakit neoplastik ganas seperti

karsinoma bronkogenik dan mesothelioma ganas. Beberapa petugas

pemadam kebakaran, pekerja besi, dan penyelamat lainnya yang bekerja

dilokasi bencana World Trade Center setelah 11 September 2001, telah

mengembangkan gejala dan gangguan pernapasan.

Pekerja batubara terkena debu tambang batubara. Sekitar 10%

menderita pneumokoniosis sederhana, sedangkan sebagian kecil

berkembang menjadi bentuk komplikasi — fibrosis paru masif progresif.

Riwayat batuk paroksismal, sesak dada, atau dispnea yang memburuk

selama minggu kerja tetapi hilang pada akhir pekan (atau hari libur kerja

lainnya) sangat menunjukkan asma akibat kerja. Kondisi ini sulit

didiagnosis karena gejala biasanya muncul beberapa jam setelah mantan

terpapar agen pemicu. Agen penyebab termasuk debu biji-bijian, serbuk

kayu, formalin, deterjen enzim, etanolamina (dalam cat semprot dan fluks

solder), nikel, dan logam keras (misalnya tungsten karbida). Pekerja yang

terpapar kapas rami dan debu rami dapat mengembangkan byssinosis,

penyakit paru obstruktif. Pada tahap awal, kondisi ini bisa dibalik, tetapi

berjangka panjang selama beberapa tahun menyebabkan penyakit paru

56
obstruktif kronis yang tidak dapat disembuhkan.

Riwayat demam, batuk, sesak napas, dan pneumonia berulang pada

petani di Amerika Serikat bagian utara menunjukkan adanya paru-paru

petani. Ini adalah pneumonitis hipersensitif yang paling umum; itu

disebabkan oleh menghirup agen jamur seperti aktinomisetes termofilik.

Paparan jangka panjang dapat menyebabkan fibrosis paru. Banyak

pekerjaan membuat pekerja terpapar faktor-faktor yang menyebabkan

pneumonitis hipersensitif.

d. Perawatan sebelumnya

Penting untuk menentukan perawatan apa yang telah diterima pasien

untuk kondisinya. Secara khusus, apakah pasien pernah menerima terapi

fisik untuk kondisi ini atau kondisi lainnya? Jenis perawatan apa yang

dilakukan? Apakah mereka membantu dalam memperbaiki atau mengatasi

kondisi tersebut? Dengan cara ini, adalah mungkin untuk menentukan

modalitas pengobatan apa yang telah digunakan, yang mana yang diyakini

pasien mungkin bermanfaat, dan yang menurut pasien tidak menyenangkan

atau kurang percaya diri, sehingga menghindari mengasingkan pasien

dengan mengulangi apa yang dia yakini. menjadi terapi yang tidak efektif.

3. Inspeksi/Observasi

Inspeksi dada terutama untuk mencari adanya asimetri bentuk dada.

Adanya asimetri bentuk rongga dada dapat menyebabkan timbulnya

hipertensi pulmonal dalam jangka panjang. Asimetri dada dapat diakibatkan

oleh penyebab yang sama dengan penyebab kelainan jantung (misalnya

prolaps katup mitral, gangguan katup aorta pada sindroma Marfan dan

57
sebagainya) atau menjadi akibat dari adanya kelainan jantung akibat

aktifitas jantung yang mencolok semasa pertumbuhan.

Kelainan dada akibat penyakit kardiovaskuler dapat berbentuk :

a. Kifosis : tulang belakang berdeviasi pada kurvatura lateral. Sering

terjadi pada kelainan jantung, misalnya ASD (Atrial Septal Defect) atau

PDA (Patent Ductus Arteriosus). Sering disertai dengan perubahan

membusur ke belakang (kifoskoliosis), yang mempersempit rongga

paru dan merubah anatomi jantung.

b. Voussure cardiaque : penonjolan bagian depan hemitoraks kiri. Hampir

selalu terdapat pada kelainan jantung bawaan atau karena demam

rematik, terutama berkaitan dengan aktifitas jantung yang berlebihan

pada masa pertumbuhan.

Inspeksi juga berguna untuk mencari iktus kordis (punctum

maximum). Pada sebagian besar orang normal (20-25%) dapat dilihat

pulsus gerakan apeks menyentuh dinding dada saat sistolik pada sela iga 5

di sebelah medial linea midklavikularis sinistra. Bila terjadi pembesaran

jantung iktus kordis dapat tampak bergeser dari posisi normal. Disamping

itu pada inspeksi dapat dilaporkan ada tidaknya jaringan parut paska

operasi jantung

4. Palpasi

Dengan palpasi kita mencari iktus kordis (bila tidak terlihat pada

inspeksi) dan mengkonfirmasi karakteristik iktus kordis. Palpasi dilakukan

dengan cara : meletakkan permukaan palmar telapak tangan atau bagian 1/3

58
distal jari II, II dan IV atau dengan meletakkan sisi medial tangan, terutama

pada palpasi untuk meraba thrill. Identifikasi BJ1 dan BJ2 pada iktus kordis

dilakukan dengan memberikan tekanan ringan pada iktus. Bila iktus tidak

teraba pada posisi terlentang, mintalah pasien untuk berbaring sedikit

miring ke kiri (posisi left lateral decubitus) dan kembali lakukan palpasi.

Jika iktus tetap belum teraba, mintalah pasien untuk inspirasi dan ekspirasi

maksimal kemudian menahan nafas sebentar.

Pada saat memeriksa pasien wanita, mammae akan menghalangi

pemeriksaan palpasi. Sisihkan mammae ke arah atas atau lateral, mintalah

bantuan tangan pasien bila perlu. Setelah iktus ditemukan, karakteristik

iktus dinilai dengan menggunakan ujung-ujung jari dan kemudian dengan 1

ujung jari.

Pada beberapa keadaan fisiologis tertentu, iktus dapat tidak teraba,

misalnya pada obesitas, otot dinding dada tebal, diameter anteroposterior

kavum thorax lebar atau bila iktus tersembunyi di belakang kosta. Pada

keadaan normal hanya impuls dari apeks yang dapat diraba. Pada keadaan

hiperaktif denyutan apeks lebih mencolok. Apeks dan ventrikel kiri

biasanya bergeser ke lateral karena adanya pembesaran jantung atau

dorongan dari paru (misalnya pada pneumotorak sinistra). Pada kondisi

patologis tertentu, impuls yang paling nyata bukan berasal dari apeks,

seperti misalnya pada hipertrofi ventrikel kanan, dilatasi arteri pulmonalis

dan aneurisma aorta.

Setelah iktus teraba, lakukan penilaian lokasi, diameter, amplitudo

dan durasi impuls apeks pada iktus.

59
a. Lokasi : dinilai aspek vertikal (biasanya pada sela iga 5 atau 4) dan

aspek horisontal (berapa cm dari linea midsternalis atau

midklavikularis). Iktus bisa bergeser ke atas atau ke kiri pada kehamilan

atau diafragma kiri letak tinggi. Iktus bergeser ke lateral pada gagal

jantung kongestif, kardiomiopati dan penyakit jantung iskemi.

b. Diameter : pada posisi supinasi, diameter impuls apeks kurang dari 2.5

cm dan tidak melebihi 1 sela iga, sedikit lebih lebar pada posisi left

lateral decubitus. Pelebaran iktus menunjukkan adanya pelebaran

ventrikel kiri.

c. Amplitudo : amplitudo iktus normal pada palpasi terasa lembut dan

cepat. Peningkatan amplitudo terjadi pada dewasa muda, terutama saat

tereksitasi atau setelah aktifitas fisik berat, tapi durasi impuls tidak

memanjang. Peningkatan amplitudo impuls terjadi pada

hipertiroidisme, anemia berat, peningkatan tekanan ventrikel kiri (misal

pada stenosis aorta) atau peningkatan volume ventrikel kiri (misal pada

regurgitasi mitral). Impuls hipokinetik terjadi pada kardiomiopati.

d. Durasi : untuk menilai durasi impuls, amati gerakan stetoskop saat

melakukan auskultasi pada apeks atau dengarkan bunyi jantung dengan

stetoskop sambil mempalpasi impuls apeks. Normalnya durasi impuls

apeks adalah 2/3 durasi sistole atau sedikit kurang, tapi tidak berlanjut

sampai terdengar BJ2.

Dengan palpasi dapat ditemukan adanya gerakan jantung yang

menyentuh dinding dada, terutama jika terdapat peningkatan aktifitas

ventrikel, pembesaran ventrikel atau ketidakteraturan kontraksi ventrikel.

Gerakan dari ventrikel kanan biasanya tak teraba, kecuali pada hipertrofi

60
ventrikel kanan, dimana ventrikel kanan akan menyentuh dinding dada

(ventrikel kanan mengangkat). Kadang-kadang gerakan jantung teraba

sebagai gerakan kursi goyang (ventricular heaving) yang akan mengangkat

jari pemeriksa pada palpasi.

Gerakan jantung kadang teraba di bagian basis, yang biasanya

disebabkan oleh gerakan aorta (pada aneurisma aorta atau regurgitasi

aorta), gerakan arteri pulmonalis (pada hipertensi pulmonal) atau karena

aliran tinggi dengan dilatasi (pada ASD) yang disebut tapping.

Thrill (getaran karena adanya bising jantung) sering dapat diraba.

Bising jantung dengan gradasi 3-4 biasanya dapat teraba sebagai thrill.

Sensasi yang terasa adalah seperti meraba leher kucing. Bila pada palpasi

pertama belum ditemukan adanya thrill sedangkan pada auskultasi

terdengar bising jantung derajat 3-4, kembali lakukan palpasi pada lokasi

ditemukannya bising untuk mencari adanya thrill. Thrill sering menyertai

bising jantung yang keras dan kasar seperti yang terjadi pada stenosis aorta,

Patent Ductus Arteriosus, Ventricular Septal Defect, dan kadang stenosis

mitral.

5. Perkusi

Perkusi berguna untuk menetapkan batas jantung, terutama pada

pembe-saran jantung. Perkusi batas kiri redam jantung (LBCD - left border

of cardiac dullness) dilakukan dari lateral ke medial dimulai dari sela iga 5,

4 dan 3. LBCD terdapat kurang lebih 1-2 cm di sebelah medial linea

midklavikularis kiri dan bergeser 1 cm ke medial pada sela iga 4 dan 3.

Batas kanan redam jantung (RBCD - right border of cardiac dullness)

dilakukan dengan perkusi bagian lateral kanan dari sternum. Pada keadaan

61
normal RBCD akan berada di medial batas dalam sternum. Kepekakan

RBCD diluar batas kanan sternum mencerminkan adanya bagian jantung

yang membesar atau bergeser ke kanan.

Penentuan adanya pem-besaran jantung harus ditentukan dari RBCD

maupun LBCD. Kepekakan di daerah dibawah sternum (retrosternal

dullness) biasanya mempunyai lebar kurang lebih 6 cm pada orang dewasa.

Jika lebih lebar, harus dipikirkan kemungkinan adanya massa retrosternal.

Pada wanita, kesulitan akan terjadi dengan mammae yang besar, dalam hal

ini perkusi dilakukan setelah menyingkirkan kelenjar mammae dari area

perkusi dengan bantuan tangan pasien.

6. Auskultas

Auskultasi memberikan kesempatan mendengarkan perubahan-

perubahan dinamis akibat aktivitas jantung. Auskultasi jantung berguna

untuk menemukan bunyi-bunyi yang diakibatkan oleh adanya kelainan

struktur jantung dan perubahan-perubahan aliran darah yang ditimbulkan

selama siklus jantung. Untuk dapat mengenal dan menginterpretasikan

bunyi jantung dengan tepat, mahasiswa perlu mempunyai dasar

pengetahuan tentang siklus jantung.

Bunyi jantung diakibatkan karena getaran dengan masa amat pendek.

Bunyi yang timbul akibat aktifitas jantung dapat dibagi dalam :

a. BJ1 : disebabkan karena getaran menutupnya katup atrioventrikuler

terutama katup mitral, getaran karena kontraksi otot miokard serta

aliran cepat saat katup semiluner mulai terbuka. Pada keadaan normal

terdengar tunggal.

62
b. BJ2 : disebabkan karena getaran menutupnya katup semilunaris aorta

maupun pulmonalis. Pada keadaan normal terdengar pemisahan

(splitting) dari kedua komponen yang bervariasi dengan pernafasan pada

anak-anak atau orang muda.

c. BJ3 : disebabkan karena getaran cepat dari aliran darah saat pengisian

cepat (rapid filling phase) dari ventrikel. Hanya terdengar pada anak-

anak atau orang dewasa muda (fisiologis) atau keadaan dimana

komplians otot ventrikel menurun (hipertrofi/ dilatasi).

d. BJ4 : disebabkan kontraksi atrium yang mengalirkan darah ke ventrikel

yang kompliansnya menurun. Jika atrium tak berkontraksi dengan

efisien misalnya fibrilasi atrium maka bunyi jantung 4 tak terdengar.

Bunyi jantung sering dinamakan berdasarkan daerah katup dimana

bunyi tersebut didengar. M1 berarti bunyi jantung satu di daerah mitral, P2

berarti bunyi jantung kedua di daerah pulmonal. Bunyi jantung 1 normal

akan terdengar jelas di daerah apeks, sedang bunyi jantung 2 dikatakan

mengeras jika intensitasnya terdengar sama keras dengan bunyi jantung 1

di daerah apeks.

Bunyi jantung 1 dapat terdengar terpisah (split) jika asinkroni

penutupan katup mitral dan trikuspid lebih mencolok, misalnya pada

RBBB (Right Bundle Branch Block) atau hipertensi pulmonal. Bunyi

jantung 2 akan terdengar terpisah pada anak anak dan dewasa muda. Pada

orang dewasa bunyi jantung 2 akan terdengar tunggal karena komponen

pulmonalnya tak terdengar disebabkan aerasi paru yang bertambah pada

orang tua. Jika bunyi jantung 2 terdengar terpisah pada orang dewasa ini

63
menunjukkan adanya hipertensi pulmonal atau RBBB. Bunyi jantung 2

yang terdengar tunggal pada anak-anak mungkin merupakan tanda adanya

stenosis pulmonal.

Bunyi tambahan merupakan bunyi yang terdengar akibat adanya

kelainan anatomis atau aliran darah yang dalam keadaan normal tidak

menimbulkan bunyi atau getaran. Bunyi tambahan dapat berupa :

a. Klik ejeksi : disebabkan karena pembukaan katup semilunaris pada

stenosis/ menyempit.

b. Ketukan perikardial : bunyi ekstrakardial yang terdengar akibat

getaran/ gerakan perikardium pada perikarditis/ efusi perikardium.

c. Bising gesek perikardium : bunyi akibat gesekan perikardium dapat

terdengar dengan auskultasi dan disebut friction rub. Sering

terdengar jika ada peradangan pada perikardium (perikarditis).

d. Bising jantung : merupakan bunyi akibat getaran yang timbul dalam

masa lebih lama. Jadi perbedaan antara bunyi dan bising terutama

berkaitan dengan lamanya bunyi /getaran berlangsung. Untuk

mengidentifikasi dan menilai bising jantung, beberapa hal harus

diperhatikan : di mana bising paling jelas terdengar, fase terjadinya

bising (saat sistole atau diastole) dan kualitas bising.

Auskultasi dimulai dengan meletakkan stetoskop pada sela iga II

kanan di dekat sternum, sepanjang tepi kiri sternum dari sela iga II sampai

V dan di apeks. Bagian diafragma stetoskop dipergunakan untuk auskultasi

bunyi jantung dengan nada tinggi seperti BJ1 dan BJ2, bising dari

regurgitasi aorta dan mitral serta bising gesek perikardium. Bagian

64
mangkuk stetoskop (bell) yang diletakkan dengan tekanan ringan lebih

sensitif untuk suara-suara dengan nada rendah seperti BJ3 dan BJ4 serta

bising pada stenosis mitral. Letakkan bagian mangkuk stetostop pada apeks

lalu berpindah ke medial sepanjang tepi sternum ke arah atas.

7. Skala Borg

Skala BORG merupakan suatu skala ordinal dengan nilai-nilai dari 0

sampai dengan 10. Skala BORG digunakan untuk mengukur sesak napas

selama melaksanakan kegiatan/pekerjaan. Pemantauan sesak napas dapat

membantu dalam menyesuaikan aktivitas dengan mempercepat atau

memperlambat gerakan. Hal ini juga dapat memberikan informasi penting

kepada dokter. Skala BORG ini disediakan untuk menstandarisasikan suatu

perbandingan-perbandingan antar individu dalam melaksanakan tugas yang

sama. Indikasi nilai pada skala yang digunakan adalah besarnya perasaan

kelelahan, kesakitan, ataupun kadar berkurangnya kemampuan tubuh dalam

melakukan pekerjaanya. Semakin besar perasaan sakit yang dirasakan pada

otot maka semakin besar nilai BORG yang digunakan. Skala ini dapat

dilakukan pada pengukuran-pengukuran fisiologis seperti intensitas latihan

meningkat (laju deyut jantung), juga ada korelasi yang tinggi untuk

pengukuran lainnya seperti respirasi yang meningkat, CO2 produksi,

akumulasi laktat dan suhu tubuh, keringat sampai dengan kelelahan otot.

Skala ini memiliki keterbatasan yaitu pengukuran dilakukan secara

subyektif, sehingga penilaian yang digunakan oleh seorang tersebut

dilakukan secara menaksir secara wajar baik dari denyut jantung selama

kerja fisik.

65
Korelasi antara nilai Skala BORG dengan laju denyut jantung adalah

dengan menggunakan nilai Skala BORG, laju denyut jantung dapat

diketahui dengan cara mengalikan nilai ordinal dari Skala BORG dengan

nilai 10, seperti contoh jika nilai seorang pekerja terhadap kelelahan yang

dirasa (Skala BORG) adalah 12, lalu untuk menghitung laju denyut jantung

adalah 12 x 10 = 120; sehingga laju denyut jantung harus kira-kira 120

denyut per menit. Namun, perhitungan seperti yang telah dijelaskan,

merupakan suatu perkiraan awal saja, pada faktanya laju denyut jantung

seseorang akan berbeda tergantung pada usia dan kondisi badan.

Prinsip dasar penggunaan atau pengisian data Skala BORG adalah

pada saat melakukan pekerjaan, peneliti akan menanyakan presepsi tingkat

keluhan yang dirasakan operator pada otot yang bekerja atau otot yang

diteliti. Presepsi tingkat keluhan dapat mencerminkan seberapa besar beban

kerja yang dirasakan, karena semakin besar beban kerja maka semakin

maksimal otot akan berkontraksi. Persepsi tingkat keluhan dilakukan secara

terfokus pada otot yang diteliti, karena pada saat pekerjaan berlangsung

banyak otot yang bekerja ataupun perasaan sakit yang bukan berasal dari

otot yang akan diteliti. Penilaian tingkat keluhan dilakukan secara jujur,

tanpa berfikir untuk menjadi yang terbaik antara individu lain atau

menyamakan nilainya dengan individu lain. Perhatikan presepsi tingkat

keluhan yang dirasa kemudian diubah menjadi satuan nilai.

66
B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi

1. Breathing Control Exercise

Salah satu indikasi pemberian breathing exercise adalah sesak serta

nyeri dada pada pasien dengan kondisi post operasi jantung. Breathing

control membantu pasien untuk melakukan ekspirasi dan inspirasi secara

lebih optimal dengan berbagai teknik. Dengan pemberian breathing control

proses kardiorespirasi menjadi lebih optimal terkait dengan perbaikan

prognosis pasien post operasi jantung.

2. Mobilization dan Exercise

Selama latihan, volume diastolik akhir dan SV telah dilaporkan lebih

besar pada posisi tegak daripada posisi terlentang pada atlet ketahanan,

yang mendukung ketergantungan yang lebih besar pada hukum Frank-

Starling. Dengan demikian posisi tubuh menentukan kontribusi relatif dari

HR, miokardial. kontraktilitas, dan mekanisme Frank-Starling menjadi CO

selama latihan. Pasien dengan gangguan aliran balik vena dan kontraktilitas

miokard dapat mengambil manfaat dari bersepeda telentang intensitas

sedang di mana sirkulasi sentral dan vasodilatasi lokal lebih disukai.

Volume plasma meningkat dengan latihan intens akut, dan ini telah terbukti

bergantung pada posisi. Kandungan albumen plasma peningkatan posisi

tegak dibandingkan dengan posisi terlentang, dan ini dianggap bertanggung

jawab atas peningkatan volume plasma. Dengan menggabungkan posisi

tegak dengan olahraga, ahli terapi fisik dapat secara langsung membantu

67
menormalkan keseimbangan cairan dan hemodinamik pada pasien yang

terancam homeostasis cairan.

3. Body Positioning

Posisi berbaring menyamping menonjolkan ekspansi anteroposterior

dengan mengorbankan ekskursi transversal dari dinding dada dependen.

Pada posisi ini, hemidiafragma dependen tergeser cephalad karena

kompresi visera di bawahnya. Hal ini menghasilkan ekskursi yang lebih

besar selama respirasi dan kontribusi yang lebih besar pada ventilasi paru-

paru tersebut dan pertukaran gas secara keseluruhan. FRC dalam posisi

miring berada di antara posisi tegak dan terlentang. Dibandingkan dengan

posisi terlentang, kepatuhan berbaring menyamping meningkat, resistensi

berkurang, dan kerja pernapasan berkurang, sedangkan tindakan ini dibalik

ketika berbaring menyamping dibandingkan dengan posisi tegak. Meskipun

ventilasi ditingkatkan ke paru-paru dependen, volume paru-paru inspirasi

dan FRC berkurang. Dibandingkan dengan referensi posisi duduk, FEV1

dan FVC berkurang sama di kiri dan kanan berbaring, tanpa efek diferensial

dari berbaring samping pada kapasitas difusi dan volume penutupan. Efek

fungsi paru-paru ini saat menyamping mungkin mencerminkan geometri

paru yang berubah dengan perubahan posisi dan penurunan diameter

vertikal setiap paru-paru dalam posisi miring dibandingkan dengan yang

terjadi pada posisi terlentang.

68
DAFTAR PUSTAKA

Alkhusari, A., Handayani, M., Saputra, M. A. S., & Rhomadhon, M. (2020). Analisis

Kejadian Penyakit Jantung Koroner di Poliklinik Jantung. Jurnal'Aisyiyah

Medika, 5(2).

Antohi, E. L., Ambrosy, A. P., Collins, S. P., Ahmed, A., Iliescu, V. A., Cotter, G.,

Pang, P. S., Butler, J., & Chioncel, O. (2019). Therapeutic advances in the

management of acute decompensated heart failure. American Journal of

Therapeutics, 26(2), E222–E233.

https://doi.org/10.1097/MJT.0000000000000919

Arrigo, M., Jessup, M., Mullens, W., Reza, N., Shah, A. M., Sliwa, K., & Mebazaa, A.

(2020). Acute heart failure. Nature Reviews Disease Primers, 6(1).

https://doi.org/10.1038/s41572-020-0151-7

Ashe, M. C., & Khan, K. M. (2004). Exercise prescription. The Journal of the American

Academy of Orthopaedic Surgeons, 12(1), 21–27.

https://doi.org/10.5435/00124635-200401000-0000

Dahn, R., & Walker, S. (2018). New Medications in the Treatment of Acute

Decompensated Heart Failure. Hospital Pharmacy, 53(2), 85–87.

https://doi.org/10.1177/0018578717750096

Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al. ESC

Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure

2008. European Journal of Heart Failure [serial on the internet]. 2008 Aug

[cited 2016 35 Mar 05]. Available from

http://eurjhf.oxfordjournals.org/content/10/10/933.full.pdf #page=

1&view=FitH

69
Groenewegen, A., Rutten, F. H., Mosterd, A., & Hoes, A. W. (2020). Epidemiology of

heart failure. European Journal of Heart Failure, 22(8), 1342–1356.

https://doi.org/10.1002/ejhf.1858.

Indonesia, K. K. R. (2019). Riskesdas 2018. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kurmani, S., & Squire, I. (2017). Acute Heart Failure: Definition, Classification and

Epidemiology. Current Heart Failure Reports, 14(5), 385–392.

https://doi.org/10.1007/s11897-017-0351-y

Lumi, A. P., Joseph, V. F. F., & Polii, N. C. I. (2021). Rehabilitasi Jantung pada Pasien

Gagal Jantung Kronik. Jurnal Biomedik:JBM, 13(3), 309.

https://doi.org/10.35790/jbm.v13i3.33448

Purwowiyoto, S. L. (2018). Gagal Jantung Akut : Definisi , Patofisiologi , Gejala Klinis

dan Tatalaksana. Cermin Dunia Kedokteran, 45(4), 310.

Reeves, G. R., Whellan, D. J., O’Connor, C. M., Duncan, P., Eggebeen, J. D., Morgan,

T. M., Hewston, L. A., Pastva, A., Patel, M. J., & Kitzman, D. W. (2017). A

Novel Rehabilitation Intervention for Older Patients With Acute

Decompensated Heart Failure: The REHAB-HF Pilot Study. JACC: Heart

Failure, 5(5), 359–366. https://doi.org/10.1016/j.jchf.2016.12.019

Saroinsong, L., Jim, E. L., & Rampengan, S. H. (2021). Diagnosis dan Tatalaksana

Terkini Gagal Jantung Akut. E-CliniC, 9(1), 60–67.

https://doi.org/10.35790/ecl.v9i1.31857

Shahjehan, R. D., & Bhutta, B. (2022). Coronary Artery Disease. In national library of

medicine. https://www.statpearls.com/.

Takada, S., Kondo, T., Yasunaga, M., Watanabe, S., Kinoshita, H., Fukuhara, S., &

Yamamoto, Y. (2020). Early rehabilitation in older patients hospitalized with

70
acute decompensated heart failure: A retrospective cohort study: Early

Rehabilitation and Acute Heart Failure. American Heart Journal, 230, 44–

53. https://doi.org/10.1016/j.ahj.2020.09.009

Terhoch, C. B., Moreira, H. F., Ayub-Ferreira, S. M., Conceição-Souza, G. E., Salemi,

V. M. C., Chizzola, P. R., Oliveira, M. T., Lage, S. H. G., Bocchi, E. A., &

Issa, V. S. (2018). Clinical findings and prognosis of patients hospitalized for

acute decompensated heart failure: Analysis of the influence of Chagas

etiology and ventricular function. PLoS Neglected Tropical Diseases, 12(2),

1–16. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0006207

71
LAMPIRAN

1. Lampiran 1 Pemeriksaan Lab

2. Lampiran 2 Skala Borg

Sesak Napas Keterangan

0 Tidak ada

0,5 Tidak nyata

1 Sangat ringan

2 Ringan

3 Sedang

4 Sedikit berat

5 Berat

72
7 Sangat berat

10 Sangat-sangat berat

3. Lampiran 3 METs

METs Interpretasi

2 Jalan santai (kecepatan kurang dari 3km/jam)

1,5 Bekerja menggunakan computer (duduk)

3 Pekerjaan rumah tangga

4 Naik tangga

5 Jalan cepat (kecepatan lebih dari 6km/jam)

7 Bermain sepak bola

2-5 Berkebun

1,3 Nonton TV

2,3 Belajar

4. Lampiran 4 Index Barthel

73
5. Lampiran 5 HRS-A

74
Kelompok Gejala

Perasaan Cemas a. Cemas


b. Takut
c. Mudah tersinggung
d. Firasat buruk

Ketegangan a. Lesu
b. Tidur tidak tenang
c. Gemetar
d. Gelisah
e. Mudah terkejut
f. Mudah menangis

Ketakutan pada a. Gelap


b. Ditinggal sendiri
c. Orang asing
d. Binatang besar
e. Keramaian lalulintas
f. Kerumunan orang banyak
Gangguan tidur a. Sukar tidur
b. Terbangun malam hari
c. Tidak puas, bangun lesu
d. Sering mimpi buruk
e. Mimpi menakutkan
Gangguan kecerdasan a. Daya ingat

Perasaan depresi a. Kehilangan minat


b. Sedih
c. Bangun dini hari
d. Berkurangnya kesenangan
pada hobi
e. Perasaan berubah - ubah
sepanjang hari

Gejala Somatic a. Nyeri otot kaki


b. Kedutan otot

75
6. Lampiran 6 NYHA

7.

Lampiran 7 KILLIP

Kelas KILLIP Temuan Klinis Mortalitas

1 Tidak terdapat gagal jantung 6%


(tidak terdapat ronchi maupun
S3)

2 Terdapat gagal jantung 17%


ditandai dengan S3 dan ronchi
basah pada setengah lapangan
paru.

3 Terdapat edema paru ditandai 38%


oleh ronchi basah di seluruh
lapangan paru

4 Terdapat syok kardiogenik 81%


ditandai oleh tekanan darah
sistolik <90 mmHg dan tanda
hipoperfusi jaringan.

76
8. Lampiran 8 ECHO

9. Lampiran 9 EKG

77
10.

Lampiran 10 Radiologi

78
11. Lampiran 11 Skala Morse

12. Lampiran 12 Skoring Dekubitus

79
80
13. Lampiran 13 PGFD

Regio Aktif Pasif TIMT

Cervical Tidak ada Tidak ada Mampu


nyeri,full ROM nyeri,full ROM melawan
tahanan optimal
Shoulder Tidak ada Tidak ada Mampu
nyeri,full ROM nyeri,full ROM melawan
tahanan optimal
Elbow Tidak ada Tidak ada Mampu
nyeri,full ROM nyeri,full ROM melawan
tahanan optimal
Wrist Tidak ada Tidak ada Mampu
nyeri,full ROM nyeri,full ROM melawan
tahanan optimal
Hip Tidak ada Tidak ada Mampu
nyeri,full ROM nyeri,full ROM melawan
tahanan optimal
Knee Tidak ada Tidak ada Mampu
nyeri,full ROM nyeri,full ROM melawan
tahanan optimal
Ankle Tidak ada Tidak ada Mampu
nyeri,full ROM nyeri,full ROM melawan
tahanan optimal

14. Lampiran 14 MMT

Sendi Otot penggerak kanan Kiri


sendi
Shoulder Flexor 5 5
Ekstensor 5 5
Abductor 5 5
Adductor 5 5
Elbow Flexor 5 5
Ekstensor 5 5
Supinator 5 5
Pronator 5 5
Wrist Flexor 5 5
Ekstensor 5 5

75
Ulnardeviator 5 5
radialdeviator 5 5
Hip Flexor 5 5
Ekstensor 5 5
Knee Flexor 5 5
Ekstensor 5 5
Ankle Dorsi fleksor 5 5
Plantar flexor 5 5
Inversion 5 5
Evension 5 5

15. Lampiran 15 Zona Latihan

DNM = 220 – Usia

220 – 61 = 159

Denyut Jantung Bawah = 20% x DNM

20% x 159 = 31,8 bpm

Denyut Jantung Atas = 30% x DNM

30% x 159 = 47,7 bpm

16. Lampiran 14 Hemodinamik

17. Lampiran 15 Medika Mentosa

76

Anda mungkin juga menyukai