Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal jantung merupakan gangguan kesehatan yang terus meningkat di
dunia dengan penyandang lebih dari 20 juta jiwa. Prevalensi gagal jantung
sangat meningkat seiring dengan bertambahnya usia, 6-10% pada usia di atas
65 tahun. Menurut World Health Organisation (WHO) pada tahun 2016,
menyebutkan bahwa 17,5 juta orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular,
sedangkan pada tahun 2008, penyakit kardiovaskular menyebabkan 31%
kematian di dunia. Di negara-negara berkembang di dapatkan kasus sejumlah
400.000 sampai 700.000 per tahun (WHO, 2016).
Gagal jantung adalah diagnosis kardiovaskular yang jumlahnya meningkat
cepat. Di dunia 31% dari 58 juta angka kematian disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Benua Asia memiliki angka tertinggi kematian yang
diakibatkan penyakit jantung dengan jumlah penderita 276,9 ribu jiwa. Jumlah
penderita penyakit jantung di Indonesia menduduki tingat kedua di Asia
Tenggara dengan jumlah 371 ribu jiwa (WHO, 2014).
Prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13%
atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis
dokter/ gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang.
Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi jumlah penderita penyakit gagal jantung
terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 54.826 orang (0,19%),
sedangkan Provinsi Maluku Utara memiliki jumlah penderita paling sedikit,
yaitu sebanyak 144 orang (0,02%). Berdasarkan diagnosis/ gejala, estimasi
jumlah penderita penyakit gagal jantung terbanyak terdapat di Provinsi Jawa
Barat sebanyak 96.487 orang (0,3%), sedangkan jumlah penderita paling sedikit
ditemukan di Provinsi Kep. Bangka Belitung, yaitu sebanyak 945 orang (0,1%)
(Kemenkes RI, 2014).
Insiden penyakit gagal jantung di Indonesia semakin meningkat sejalan
dengan meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Meskipun pengobatan
gagal jantung semakin maju tetapi angka kematiannya masih tinggi yaitu 40%.

1
Ada kecenderungan peningkatan jumlah penderita gagal jantung dari tahun ke
tahun terus meningkat (Rizka dan Nurhayati, 2017).
Pasien gagal jantung yang sering kembali dirawat inap ulang di rumah sakit
karena adanya kekambuhan. Kebanyakan kekambuhan gagal jantung kongestif
terjadi karena pasien tidak memenuhi terapi yang dianjurkan misalnya,
melanggar pembatasan diet, melakukan aktifitas fisik yang berlebihan dan tidak
dapat mengenali gejala kekambuhan (Rizka dan Nurhayati, 2017).
Ketidaktahuan atau ketidakmampuan pasien dan keluarga mengenai cara
perawatan di rumah berdampak pada masalah kesehatan atau ketidaksiapan
pasien menghadapi pemulangan setelah pasien dirawat di rumah sakit. Hal
tersebut menyebabkan komplikasi dan berakibat kepada hospitalisasi ulang
(Rizka dan Nurhayati, 2017).
Faktor yang menjadi penyebab rehospitalisasi pasien gagal jantung adalah
konsumsi makanan yang tidak sehat (diet), kurang aktivitas atau olahraga,
kebiasaan merokok, dan minum yang beralkohol jangka panjang. Faktor
tersebut akan menyebabkan hipertensi, peningkatan gula darah dan kadar lemak
serta obesitas. Jika semua faktor tersebut tidak dapat dicegah, maka akan
menyebabkan berbagai penyakit komplikasi lainnya (WHO, 2016).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada Tugas Pengenalan Profesi blok Kardio
Cerebro Vaskular, yaitu:
1. Apa saja manifetasi klinis pada pasien gagal jantung?
2. Apa faktor-faktor penyebab gagal jantung?
3. Bagaimana penegakan diagnosis pasien gagal jantung?
4. Bagaimana tatalaksana yang dilakukan pada pasien gagal jantung?
5. Bagaimana pencegahan yang dilakukan pada pasien gagal jantung?

2
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pada Tugas Pengenalan Profesi blok Kardio Cerebro
Vaskular ini, yaitu:
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang kasus gagal jantung di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mengetahui manifetasi klinis pada pasien gagal jantung.
2. Mahasiswa mengetahui faktor-faktor penyebab gagal jantung.
3. Mahasiswa mengetahui penegakan diagnosis pada pasien gagal
jantung.
4. Mahasiswa mengetahui tatalaksana yang dilakukan pada pasien
gagal jantung.
5. Mahasiswa mengetahui pencegahan yang dilakukan pada pasien
gagal jantung.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat pada Tugas Pengenalan Profesi blok Kardio Cerebro
Vaskular ini, yaitu:
1.4.1 Bagi Pembaca
Dapat menjadikan Tugas Pengenalan Profesi ini sebagai referensi
bacaan pada tugas atau karya ilmiah selanjutnya.
1.4.2 Bagi Penulis
Dapat menjadikan Tugas Pengenalan Profesi ini sebagai catatan
klinis mengenai tata laksana dan pencegahan pada pasien gagal jantung.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jantung


Jantung adalah organ dengan empat berangka dan berotot yang terletak pada
rongga dada, dibawah perlindungan tulang rusuk, dan sedikit ke kiri sternum.
Jantung berada didalam kantung yang berisi cairan yang longgar, yang disebut
dengan perikardium. Keempat ruangan jantung yaitu atrium kiri dan kanan,
ventrikel kiri dan kanan. Atrium duduk berdampingan diatas ventrikel. Atrium
dan ventrikel dipisahkan satu sama lain dengan katup satu arah. Sisi kanan dan
kiri jantung dipisahkan oleh dinding jaringan yang disebut dengan septum
(Lazenby et al, 2011).

Gambar 1. Jantung Normal dan Sirkulasinya


(sumber: Suminar, 2013)

2.1.1 Bentuk dan Ukuran Jantung


Jantung relatif berukuran kecil, kira-kira berukuran sama seperti
kepalan tangan yang tertutup. Sekitar 12 cm (5 inci) untuk panjangnya, 9
cm (3,5 inci) untuk lebarnya dan 6 cm (2,5 inci) untuk tebalnya, dengan
massa rata-rata 250 g pada perempuan dewasa dan 300 g pada pria
dewasa. Jantung terletak pada mediastinum, sebuah wilayah yang
anatomis dan memanjang dari sternum ke kolom vertebra, dari yang
pertama tulang rusuk ke diagfragma, dan diantara paru-paru. Sekitar dua

4
pertiga massa jantung terletak pada sebelah kiri garis tengah tubuh.
Ujung apeks terbentuk oleh ujung ventrikel kiri (ruang bawah jantung)
dan terletak diatas digfragma yang mengarah kearah anterior, inferior,
dan ke kiri. Dasar jantung berlawanan dengan apeks dan posteriornya
aspek yang terbentuk oleh atria (bilik atas) jantung, kabanyakan atrium
kiri (Tortora, 2014).

2.1.2 Letak Jantung


Jantung terletak di dalam perikardium di mediastinum (di ruang
antara paru-paru) terletak lebih ke arah kiri daripada kanan dengan
bagian apex di bagian bawah dan base di bagian atas.
Organ-organ yang berasosiasi dengan jantung:
- Inferior: bagian apex berbatasan dengan central tendon diafragma.
- Superior: pembuluh darah besar seperti aorta, vena cava superior,
arteri pulmonal dan vena pulmonal.
- Posterior: esofagus, trakea, bronchus kanan dan kiri, descending
aorta, vena cava inferior, dan tulang rusuk.
- Lateral: paru-paru, paru-paru kiri overlap sisi kiri jantung.
- Anterior: sternum, otot intercosta
- Apex jantung terletak di ICS ke 5, 9 cm dari midline (Snell, 2017).

Gambar 2. Letak anatomis jantung


(Sumber: Snell,2017)

5
2.1.3 Lapisan Jantung
Jantung tersusun dari 3 lapis jaringan: pericardium, myocardium,
dan endocardium.
1) Pericardium: tersusun atas 2 sacs (kantong), outer sacs terdiri atas
jaringan fibrosa dan bagian dalam dari double layer dari membran
serosa. Fibrosa luar bersambungan dengan tunica adventisia dari
pembuluh darah besar di bawahnya. Lapisan luar dari membran
serosa disebut parietal pericardium, membatasi fibrous sacs, inner
layer, visceral pericardium (epicardium), adherent dengan otot
jantung. Membran serosa mengandung sel epitelial flattened.
Mengsekresikan cairan serosa ke rongga antara lapisan viseral dan
parietal, yang mana dapat menghasilkan pergesekan antara rongga
ketika jantung berdenyut (Snell, 2017).

Gambar 3. lapisan jantung


(Sumber: Snell,2017)
2) Myocardium: otot jantung yang hanya ada di jantung. Bekerja tidak
di bawah kontrol seperti otot. Tiap sel memiliki nukleus dan cabang-
cabang. Ujung-ujung sel dan cabang-cabang berhubungan sangat
dekat dengan ujung dan cabang dari adjacent cell. Myocardium lebih
tebal pada bagian apex dan semakin tipis pada bagian base. Hal ini
menggambarkan jumlah beban kerja pada tiap bilik terhadap
kontribusinnya dalam memompa darah. Myocardium paling tebal

6
terdapat pada ventrikel kiri yang mempunyai beban kerja paling
tinggi (Snell, 2017).
3) Endocardium: bagian tipis, halus, glistening membrane yang
membuat aliran darah mulus masuk ke dalam jantung. Mengandung
epithelial sel datar, dan bersambungan dengan garis endhotelium
pada pembuluh darah (Snell, 2017).

2.1.4 Ruang Jantung


Jantung mempunyai empat ruang, yang terdiri dari dua atrium
(atrium dextra dan sinistra) dan dua ventrikel (ventrikel dextra dan
sinistra). Dimana ventrikel kanan dan kiri jantung dipisahkan oleh
septum interventriculare, sedangkan atrium kanan dan kiri dipisahkan
oleh septum interarial (Wibowo, 2015).

Gambar 4. Ruang jantung


(Sumber: Wibowo, 2015)
a. Atrium cordis dextrum akan menerima darah dari v.cava inferior dari
tubuh bagian inferior dan dari v.cava superior dari tubuh bagian superior
(Wibowo, 2015).
b. Ventriculus cordis dexter berhubungan dengan atrium kanan melalui
osteum atrioventrikel. Dinding ventrikel kanan jauh lebih tebal
dibandingkan atrium kanan yang terdiri dari:
 Valvula trikuspidal

7
 Valvula pulmonalis (Wibowo, 2015)
c. Atrium Cordis sinistrum akan menerima darah yang kaya oksigen dari
paru melalui vv. Pulmonalis (Wibowo, 2015).
d. Ventrikulus cordis sinister menerima darah dari atrium cordis sinistrum,
darah akan mengalir melalui ostium atrioventriculare sinistrum dan
kemudian mengisi ventrikuls cordis sinistrer (Wibowo, 2015).

2.1.5 Katup Jantung


Gambar 5. Katup Jantung

(Sumber :Yudanto, 2011)


1. Katup Trikuspid
Katup trikuspid berada diantara atrium kanan dan ventrikel
kanan. Bila katup ini terbuka, maka darah akan mengalir dari atrium
kanan menuju ventrikel kanan. Katup trikuspid berfungsi mencegah
kembalinya aliran darah menuju atrium kanan dengan cara menutup
pada saat kontraksi ventrikel. Sesuai dengan namanya, katup
trikuspid terdiri dari 3 daun katup (Yudanto, 2011).
2. Katup Pulmonal
Darah akan mengalir dari dalam ventrikel kanan melalui
trunkus pulmonalis sesaat setelah katup trikuspid tertutup. Trunkus
pulmonalis bercabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri yang
akan berhubungan dengan jaringan paru kanan dan kiri. Pada

8
pangkal trunkus pulmonalis terdapat katup pulmonalis yang terdiri
dari 3 daun katup yang terbuka bila ventrikel kanan berkontraksi dan
menutup bila ventrikel kanan relaksasi, sehingga memungkinkan
darah mengalir dari ventrikel kanan menuju arteri pulmonalis
(Yudanto, 2011).
3. Katup Bikuspid
Katup bikuspid atau katup mitral mengatur aliran darah dari
atrium kiri menuju ventrikel kiri. Seperti katup trikuspid, katup
bikuspid menutup pada saat kontraksi ventrikel. Katup bikuspid
terdiri dari dua daun katup (Yudanto, 2011).
4. Katup Aorta
Katup aorta terdiri dari 3 daun katup yang terdapat pada
pangkal aorta. Katup ini akan membuka pada saat ventrikel kiri
berkontraksi sehingga darah akan mengalir keseluruh tubuh.
Sebaliknya katup akan menutup pada saat ventrikel kiri relaksasi,
sehingga mencegah darah masuk kembali kedalam ventrikel kiri.
Pembuluh darah yang terdiri dari arteri, arteriole, kapiler dan venula
serta vena merupakan pipa darah dimana didalamnya terdapat sel-
sel darah dan cairan plasma yang mengalir keseluruh tubuh.
Pembuluh darah berfungsi mengalirkan darah dari jantung ke
jaringan serta organ-organ diseluruh tubuh dan sebaliknya. Arteri,
arteriole dan kapiler mengalirkan darah dari jantung keseluruh
tubuh, sebaliknya vena dan venula mengalirkan darah kembali ke
jantung (Yudanto, 2011).

2.1.6 Suplai Darah Jantung


Darah dipompakan melalui semua ruang jantung dengan bantuan
keempat katup yang mencegah agar darah tidak kembali ke belakang dan
menjaga agar darah tersebut mengalir ke tempat yang dituju. Keempat
katup ini adalah katup trikuspid yang terletak di antara atrium kanan dan
ventrikel kanan, katup pulmonal, terletak di antara ventrikel kanan dan

9
arteri pulmonal, katup mitral yang terletak di antara atrium kiri dan
ventrikel kiri dan katup aorta, terletak di antara ventrikel kiri dan aorta.
Katup mitral memiliki 2 daun (leaflet), yaitu leaflet anterior dan
posterior. Katup lainnya memiliki tiga daun (leaflet). Jantung dipersarafi
aferen dan eferen yang keduanya sistem saraf simpatis dan parasimpatis.
Saraf parasimpatis berasal dari saraf vagus melalui preksus jantung.
Serabut post ganglion pendek melewati nodus SA dan AV, serta hanya
sedikit menyebar pada ventrikel. Saraf simpatis berasal dari trunkus
toraksik dan servikal atas, mensuplai kedua atrium dan ventrikel.
Walaupun jantung tidak mempunyai persarafan somatik, stimulasi aferen
vagal dapat mencapai tingkat kesadaran dan dipersepsi sebagai nyeri
(Cintyandy, 2014).
Suplai darah jantung berasal dari arteri koronaria. Arteri koroner
kanan berasal dari sinus aorta anterior, melewati diantara trunkus
pulmonalis dan apendiks atrium kanan, turun ke lekukan A-V kanan
sampai mencapai lekukan interventrikuler posterior. Pada 85% pasien
arteri berlanjut sebagai arteri posterior desenden/posterior decendens
artery (PDA) disebut dominan kanan. Arteri koroner kiri berasal dari
sinus aorta posterior kiri dan terbagi menjadi arteri anterior desenden kiri/
left anterior descenden (LAD) interventrikuler dan sirkumfleks. LAD
turun di anterior dan inferior ke apeks jantung. Mayoritas darah vena
terdrainase melalui sinus koronarius ke atrium kanan. Sinus koronarius
bermuara ke sinus venosus sistemik pada atrium kanan, secara morfologi
berhubungan dengna atrium kiri, berjalan dalam celah atrioventrikuler
(Cintyandy, 2014).

2.2 Histologi Jantung


Otot jantung terdiri atas serat otot, lurik, bercabang-cabang dan bertemu
dengan serat tetangga, sehingga secara keseluruhan terbentuk jalinan serat otot.
Terdapat pada jantung. Persarafan autonom, tak di bawah kesadaran atau
kemauan (involunter) (Eroschenko, 2018).

10
Miokardium (myocardium) jantung vertebrata tingkat tinggi terdiri dari
serabut otot jantung yang berhubungan satu dengan yang lain membentuk
jalinan. Semula otot jantung dianggap sebagai peralihan antara otot polos dan
otot kerangka. Yang jelas bahwa otot jantung tergolong otot bergaris melintang
yang satuannya disebut “serabut”. Bangun otot jantung dan otot kerangka tidak
sama dalam beberapa aspek. Hubungan otot jantung melalui diskus interkalatus
cukup kuat sehingga sulit dilakukan tepsing untuk memperoleh satu serabut
secara terpisah. Pada otot kerangka maupun otot polos hal ini masih mungkin
dilakukan (Eroschenko, 2018).
Seratnya rata-rata lebih kecil daripada serat otot lurik. Setiap serat otot
jantung memiliki tonjolan-tonjolan dan kesamping membentuk percabangan,
bertemu dengan percabangan sel otot tetangga. Tonjolan-tonjolan antara sel
bertetangga setangkup rapat. Inti berada di tengah sel. Satu serat hanya
memiliki 1-2 inti. Inti lebih tumpul ujungnya daripada inti serat otot lurik
(Eroschenko, 2018).
Seperti halnya dengan otot polos dan kerangka, otot jantung memiliki
bagian-bagian sebagai berikut (Eroschenko, 2018):
1. Sarkolemma
Keadaannya hampir mirip dengan sarkolemma otot kerangka, dinding
luarnya mirip membran basal dengan fibril retikuler yang dapat terus
berhubungan dengan tendon atau katup jantung. Di bagian lain
berhubungan langsung dengan endomisium. Sel-sel yang dijumpai pada
otot jantung: serabut otot (miosit), sel endotel, perisit, dan fibroblast.
2. Sarkoplasma
Pada garis besar hampir mirip dengan otot kerangka, hanya saja otot
jantung relatif memiliki sarkoplasma lebih banyak, terutama di sekitar inti
yang terletak di tengah. Mitokondria, lipid, lipofuksin dan glikogen
banyak terdapat pada sarkoplasma di sekitar inti. Garis-garis melintang
hampir mirip dengan otot kerangka, meskipun susunan miofilamen
tersusun secara acak. Sistem T cukup jelas pada otot jantung berbentuk
invaginasi tubuler dari plasmalema dan lamina basalis di daerah cakram Z.

11
Sistem T berperan dalam pertukaran metabolik dan transmisi impuls.
Sarkoplasmik retikulum tidak sesubur pada otot kerangka, beberapa
diantaranya berhubungan dengan sistem T.
3. Inti
Berbeda dengan otot kerangka, pada otot jantung inti terdapat di
tengah. Diskus interkalatus berupa penebalan di daerah cakram Z, yang
sebenarnya adalah daerah hubungan antara serabut otot jantung. Tebalnya
dapat mencapai 0,5µ berbentuk tangga (Eroschenko, 2018).
Pada jantung selain terdapat otot untuk kontraksi terdapat pula bentuk
modifikasi yang berfungsi sebagai pengatur rangsangan (stimulus) ke
seluruh penjuru jantung, yang dikenal sebagai “serabut purkinje”. Secara
histologi dapat dibedakan dengan otot jantung biasa sebagai berikut
(Eroschenko, 2018):
a. Diameter serabut purkinje lebih besar dari otot jantung.
b. Miofibril jauh lebih sedikit dan tersusun di bagian tepi sejajar dan
agak mengulir. Pada batas serabut tampak lebih jelas. Bentuk garis
melintang tidak jelas pada serabut purkinje.
c. Inti lebih besar dan pucat. Dalam satu serabut sering terdapat 2 inti
berdampingan.

Gambar 6. Histologi Jantung


(Sumber: Junquiera, 2010)
Serabut purkinje menyusun diri dalam berkas, dengan ruang Ebert-Bellajev
dibagian tepi serabut. Secara elektron mikroskopis struktur discus interkalatus

12
tidak jelas pada otot jantung biasa, sebab ujungnya berhubungan dengan otot
jantung biasa. Di daerah ini perubahan bentuk berlangsung secara bertahap
(Eroschenko, 2018).

2.3 Fisiologi Jantung


Jantung dapat dianggap sebagai 2 bagian pompa yang terpisah terkait
fungsinya sebagai pompa darah. Masing-masing terdiri dari satu atrium-
ventrikel kiri dan kanan. Berdasarkan sirkulasi dari kedua bagian pompa
jantung tersebut, pompa kanan berfungsi untuk sirkulasi paru sedangkan
bagian pompa jantung yang kiri berperan dalam sirkulasi sistemik untuk
seluruh tubuh. Kedua jenis sirkulasi yang dilakukan oleh jantung ini adalah
suatu proses yang berkesinambungan dan berkaitan sangat erat untuk asupan
oksigen manusia demi kelangsungan hidupnya (Sherwood, 2011).
Terdapat 5 pembuluh darah mayor yang mengalirkan darah dari dan ke
jantung. Vena cava inferior dan vena cava superior mengumpulkan darah dari
sirkulasi vena (disebut darah biru) dan mengalirkan darah biru tersebut ke
jantung sebelah kanan. Darah masuk ke atrium kanan, dan melalui katup
trikuspid menuju ventrikel kanan, kemudian ke paru-paru melalui katup
pulmonal. Darah yang biru tersebut melepaskan karbondioksida, mengalami
oksigenasi di paru-paru, selanjutnya darah ini menjadi berwarna merah. Darah
merah ini kemudian menuju atrium kiri melalui keempat vena pulmonalis. Dari
atrium kiri, darah mengalir ke ventrikel kiri melalui katup mitral dan
selanjutnya dipompakan ke aorta. Tekanan arteri yang dihasilkan dari kontraksi
ventrikel kiri, dinamakan tekanan darah sistolik. Setelah ventrikel kiri
berkontraksi maksimal, ventrikel ini mulai mengalami relaksasi dan darah dari
atrium kiri akan mengalir ke ventrikel ini. Tekanan dalam arteri akan segera
turun saat ventrikel terisi darah. Tekanan ini selanjutnya dinamakan tekanan
darah diastolik. Kedua atrium berkontraksi secara bersamaan, begitu pula
dengan kedua ventrikel (Sherwood, 2011).

13
2.3.1 Sirkulasi Darah
Jumlah darah yang mengalir dalam sistem sirkulasi pada orang
dewasa mencapai 5-6 liter (4.7-5.7 liter). Darah bersirkulasi dalam sistem
sirkulasi sistemik dan pulmonal.
a. Sirkulasi sistemik
Sistem sirkulasi sistemik dimulai ketika darah yang
mengandung banyak oksigen yang berasal dari paru, dipompa keluar
oleh jantung melalui ventrikel kiri ke aorta, selanjutnya ke seluruh
tubuh melalui arteri-arteri hingga mencapai pembuluh darah yang
diameternya paling kecil (kapiler). Kapiler melakukan gerakan
kontraksi dan relaksasi secara bergantian, yang disebut dengan
vasomotion sehingga darah mengalir secara intermittent. Dengan
aliran yang demikian, terjadi pertukaran zat melalui dinding kapiler
yang hanya terdiri dari selapis sel endotel. Ujung kapiler yang
membawa darah teroksigenasi disebut arteriole sedangkan ujung
kapiler yang membawa darah terdeoksigenasi disebut venule;
terdapat hubungan antara arteriole dan venule “capillary bed” yang
berbentuk seperti anyaman, ada juga hubungan langsung dari
arteriole ke venule melalui arteri-vena anastomosis (A-V
anastomosis). Darah dari arteriole mengalir ke venule, kemudian
sampai ke vena besar (v.cava superior dan v.cava inferior) dan
kembali ke jantung kanan (atrium kanan). Darah dari atrium kanan
selanjutnya memasuki ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis
(Sherwood, 2011).
b. Sirkulasi pulmonal
Sistem sirkulasi pulmonal dimulai ketika darah yang
terdeoksigenasi yang berasal dari seluruh tubuh, yang dialirkan
melalui vena cava superior dan vena cava inferior kemudian ke
atrium kanan dan selanjutnya ke ventrikel kanan, meninggalkan
jantung kanan melalui arteri pulmonalis menuju paru-paru (kanan
dan kiri). Di dalam paru, darah mengalir ke kapiler paru dimana

14
terjadi pertukaran zat dan cairan, sehingga menghasilkan darah yang
teroksigenasi. Oksigen diambil dari udara pernapasan. Darah yang
teroksigenasi ini kemudian dialirkan melalui vena pulmonalis
(kanan dan kiri), menuju ke atrium kiri dan selanjutnya memasuki
ventrikel kiri melalui katup mitral (bikuspidalis). Darah dari
ventrikel kiri kemudian masuk ke aorta untuk dialirkan ke seluruh
tubuh (dan dimulai lagi sirkulasi sistemik) (Sherwood, 2011).

Gambar 7. Sirkulasi Pada Sistemik


(Sumber: Sherwood, 2011)

2.4 Kelainan pada Jantung


Menurut WHO (2016) ada beberapa jenis penyakit jantung, antara lain
adalah:
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner adalah kelainan pada pembuluh darah yang
menyuplai otot jantung. Kondisi yang menjadikan jantung tidak dapat
memompa darah dengan baik merupakan hal yang sangat menakutkan
untuk dialami manusia pada umumnya. Menjalani pemeriksaan rutin

15
merupakan tindakan utama untuk dapat terhindar dari terkena serangan
penyakit jantung koroner ini (WHO, 2016).
2. Penyakit Serebrovaskular
Serebrovaskular (CVD) adalah kelainan pada pembuluh darah yang
menyuplai otak yang berupa penyumbatan, terutama arteri otak. Penyakit
ini disebabkan oleh adanya gangguan pada pembuluh darah otak, berupa
penyumbatan ataupun pecah pembuluh darah otak, dan bukan disebabkan
oleh penyakit lain seperti tumor otak, infeksi otak ataupun gangguan saraf
perifer (WHO, 2016).
3. Penyakit Arteri Perifer
Penyakit arteri perifer adalah sebuah kondisi penyempitan pembuluh darah
arteri yang menyebabkan aliran darah ke kaki menjadi tersumbat.
Penyempitan ini disebabkan oleh timbunan lemak pada dinding arteri yang
berasal dari kolesterol atau zat buangan lain (artheroma). Dalam kondisi
ini, kaki tidak menerima aliran darah yang memadai sehingga kaki terasa
sakit, terutama saat berjalan (klaudikasio). Kendati demikian, penyakit
arteri perifer yang paling ringan sekali pun mengindikasikan adanya
masalah pada arteri di bagian lain pada tubuh, khususnya jantung (WHO,
2016).
4. Penyakit Jantung Rematik
Jantung rematik adalah kerusakan pada otot jantung dan katup jantung dari
demam rematik, yang disebabkan oleh bakteri streptokokus. Bagian
jantung yang terkena dapat meliputi katup jantung maupun otot jantung.
Gejala penyakit ini umumnya terjadi antara 1 hingga 6 bulan setelah
bakteri streptokokus menyerang (WHO, 2016).
5. Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit jantung bawaan adalah kelainan struktur jantung yang dialami
sejak bayi dilahirkan. Kelainan ini terjadi pada saat janin berkembang
dalam kandungan. Peyakit jantung bawaan yang paling banyak ditemukan
adalah kelainan pada septum bilik jantung atau dikenal dengan sebutan

16
ventricular septal defect (VSD) dan kelainan pada septum serambi jantung
atau lebih dikenal dengan nama Atrial Septal Defect (ASD) (WHO, 2016).
6. Gagal jantung
Gagal jantung adalah kondisi saat otot jantung menjadi sangat lemah
sehingga tidak bisa memompa cukup darah ke seluruh tubuh pada tekanan
yang tepat (WHO, 2016).

2.5 Gagal Jantung


2.5.1 Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung atau Congestive Heart Failure (CHF) merupakan
suatu keadaan dimana jantung tidak dapat lagi memompa darah ke
jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun
darah balik masih dalam keadaan normal. Dengan kata lain, gagal
jantung merupakan suatu ketidakmampuan jantung untuk memompakan
darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh (forward failure) atau kemampuan tersebut hanya dapat
terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure)
atau keduanya (Sudoyo, 2014).

2.5.2 Epidemiologi Gagal Jantung


Diperkirakan terdapat sekitar 23 juta orang mengidap gagal jantung
di seluruh dunia. American Heart Association memperkirakan terdapat
4,7 juta orang menderita gagal jantung di Amerika Serikat pada tahun
2000 dan dilaporkan terdapat 550.000 kasus baru setiap tahun. Prevalensi
gagal jantung di Amerika dan Eropa diperkirakan mencapai 1 – 2%
(Ramani, 2010).
Prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar
0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan
diagnosis dokter/ gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068
orang. Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi jumlah penderita penyakit
gagal jantung terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak

17
54.826 orang (0,19%), sedangkan Provinsi Maluku Utara memiliki
jumlah penderita paling sedikit, yaitu sebanyak 144 orang (0,02%).
Berdasarkan diagnosis/ gejala, estimasi jumlah penderita penyakit gagal
jantung terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 96.487 orang
(0,3%), sedangkan jumlah penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi
Kep. Bangka Belitung, yaitu sebanyak 945 orang (0,1%) ( Price, 2014 ).
Insidensi dan prevalensi gagal jantung meningkat secara dramatis
sesuai dengan peningkatan umur. Studi Framingham menunjukkan
peningkatan prevalensi gagal jantung, mulai 0,8% untuk orang berusia
50-59 hingga 2,3% untuk orang dengan usia 60-69 tahun. Gagal jantung
dilaporkan sebagai diagnosis utama pada pasien di rumah sakit untuk
kelompok usia lebih dari 65 tahun pada tahun 1993. Beberapa studi di
Inggris juga menunjukkan adanya peningkatan prevalensi gagal jantung
pada orang dengan usia lebih tua (Ramani, 2010).

2.5.3 Etiologi Gagal Jantung


Menurut beberapa penelitian penyakit jantung dapat disebabkan
oleh beberapa hal, yaitu :
1. Kelainan otot jantung misalnya : aterosklerosis koroner (keadaan
patologis dimana terjadi penebalan arteri koronoris oleh lemak
“streak”) (Sudoyo, 2014).
2. Hipertensi sistemik (peningkatan tekanan darah diatas 140/90
MmHg) atau hipertensi pulmonal (peningkatan tekanan darah
diparu-paru akibat kongesti pulmonal) (Sudoyo, 2014).
3. Peradangan dan penyakit degeneratif, misalnya : miokarditis
(peradangan pada otot jantung), endokarditis (penyakit infeksi pada
endokard atau katup jantung) rematik (setiap kondisi yang disertai
nyeri dan kaku pada musculoskeletal) (Sudoyo, 2014).
4. Penyakit jantung lain, misalnya : pada mekanisme gangguan aliran
darah melalui jantung (stenosis atau penyempitan katup semilunar
dan katup alveonar), pada peningkatan afterload mendadak

18
hipertensi maligna (peningkatan tekanan darah berat disertai
kelainan pada retina,ginjal dan kelainan serebal) (Sudoyo, 2014).
5. Faktor siskemik, misal : pada meningkatnya laju metabolisme
(demam tiroktosikosis) meningkatnya kebutuhan oksigen jaringan
(hipoksia atau berkurangnya oksigen dalam darah, anemia atau
berkurangnya kadar hemoglobin), asidosis metabolik dan abnormal
elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas otot jantung (Sudoyo,
2014).

2.5.4 Klasifikasi Gagal Jantung


Gagal jantung dapat diklasifikasikan berdasarkan kelainan
struktural jantung dan berdasarkan kapasitas fungsional (NYHA)
(Siswanto, 2015).
Klasifikasi berdasarkan Klasifikasi berdasarkan kapsitas
kelainan struktural jantung fungsional (NYHA)
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk Tidak terdapat batasan dalam
berkembang menjadi gagal melakukan aktifitas fisik. Aktifitas
jantung. Tidak terdapat gangguan fisik sehari-hari tidak
struktural atau fungsional jantung, menimbulkan kelelahan, palpitasi
tidak terdapat tanda atau gejala. atau sesak nafas.
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur Terdapat batasan aktifitas ringan.
jantung yang berhubungan dengan Tidak terdapat keluhan saat
perkembangan gagal jantung, tidak istrahat, namun aktifitas fisik
terdapat tanda atau gejala. sehari-hari menimbulkan
kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas.
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktifitas
berhubungan dengan penyakit bermakna. Tidak terdapat
struktural jantung yang mendasari. keluhan saat istrahat, tetapi
aktfitas fisik ringan menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak.
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut Tidak dapat melakukan
serta gejala gagal jantung yang aktifitasfisik tanpa keluhan.
sangat bermakna saat istrahat Terdapat gejala saat istrahat.
walaupun sudah mendapat terapi Keluhan meningkat saat
medis maksimal (refrakter). melakukan aktifitas.
Tabel 1.Klasifikasi Gagal Jantung menurut New York Health Assosiation (2008)

19
2.5.5 Patofisiologi Gagal Jantung
Beberapa mekanisme yang mempengaruhi progresivitas gagal
jantung, antara lain mekanisme neurohomonal yang meliputi aktivasi
sistem saraf simpatis, aktivasi sistem renin-angiotensin dan perubahan
vaskuler perifer serta remodeling ventrikel kiri, yang semuanya berperan
mempertahankan homeostasis (Imaligy, 2014).
A. Aktivasi sistem saraf simpatis
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan
mengaktifkan serangkaian mekanisme adaptasi untuk
mempertahankan homeostasis kardiovaskuler, mekanisme ini
merupakan adaptasi yang penting segera setelah terjadi penurunan
curah jantung. Aktivasi sistem saraf simpatik terjadi bersamaan
dengan berkurangnya tonus parasimpatik. Pada keadaan ini, terjadi
penurunan inhibisi refleks baroreseptor arterial atau
kardiopulmoner. Reseptor ini berfungsi menurunkan tekanan darah.
Di sisi lain terjadi peningkatan eksitasi kemoreseptor perifer
nonbarorefleks dan metaboreseptor otot, akibatnya meningkatkan
tonus simpatis dan pengurangan tonus parasimpatis dengan hasil
akhir penurunan denyut jantung dan peningkatan resistensi vaskuler
perifer. Karena tonus simpatis meningkat, akan terjadi peningkatan
kadar norepinefrin, neurotransmiter adrenergik yang poten, di
sirkulasi seiring berkurangnya ambilan kembali norepinefrin dari
ujung saraf. Meskipun demikian, pada gagal jantung stadium lanjut
akan terjadi penurunan norepinefrin miokard karena mekanisme
yang masih belum diketahui. Peningkatan aktivasi reseptor simpatis
β-adrenergik meningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi
miokard yang berakibat peningkatan curah jantung. Peningkatan
aktivitas ini menyebabkan stimulasi reseptor α-adrenergik miokard
yang menyebabkan inotropik positif dan vasokonstriksi arteri
perifer. Meskipun norepinefrin meningkatkan kontraksi dan
relaksasi serta mempertahankan tekanan darah, hal ini justru

20
menyebabkan kebutuhan energi miokard akan bertambah sehingga
memperburuk iskemi saat distribusi oksigen terbatas. Penambahan
arus adrenergik dari sistem saraf pusat akan menyebabkan
ventricular tachycardia atau sudden cardiac death. Di sisi lain,
peningkatan tonus simpatis renal menyebabkan vasokonstriksi
sehingga aliran darah ginjal berkurang, seiring dengan peningkatan
reabsorpsi natrium dan air di tubular ginjal. Selain itu, terjadi pula
pelepasan arginin vasopressin (AVP) dari hipofisis posterior untuk
mengurangi ekskresi air yang akan memperburuk vasokonstriksi
perifer. Angiotensin II juga menstimulasi pusat haus di otak dan
menyebabkan pelepasan AVP dan aldosteron, yang keduanya
menyebabkan disregulasi homeostasis garam dan air. Pada pasien
gagal jantung, terjadi pula peningkatan PGE2 dan PGI2 , serta
pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP) dan brain natriuretic
peptide (BNP). Dalam kondisi fisiologis, keduanya dilepaskan saat
terjadi regangan miokard dan peningkatan asupan natrium. Setelah
dilepas, keduanya berperan meningkatkan ekskresi air dan garam
serta menghambat pelepasan renin-aldosteron, atau dengan kata lain
sebagai “counterregulatory”. Meskipun demikian, makin parah
derajat gagal jantung, efek ANP dan BNP terhadap ginjal makin
berkurang (Imaligy, 2014).
B. Aktivasi sistem renin-angiotensin (reninangiotensin system,
RAS)
Berbeda dengan pengaktifan tonus simpatis, aktivasi sistem
renin-angiotensin terjadi setelah selang waktu yang lebih lama.
Mekanisme aktivasi RAS pada gagal jantung meliputi hipoperfusi
renal, penurunan filtrasi natrium ketika mencapai makula densa, dan
peningkatan stimulasi simpatik di ginjal yang berakibat pelepasan
renin dari apparatus jukstaglomerular. Renin ini kemudian berikatan
dengan angiotensinogen yang disintesis di hati untuk membentuk
angiotensin I. Angiotensin converting enzyme (ACE) berikatan

21
dengan angiotensin I membentuk angiotensin II. Sebanyak 90%
aktivitas ACE terjadi di jaringan dan 10% sisanya pada interstitial
jantung dan pembuluh darah. Angiotensin II akan meningkatkan
efeknya setelah berikatan dengan reseptor AT1 dan AT2 . AT1
banyak berlokasi pada saraf miokard sementara AT2 pada fibroblas
dan interstitial. Aktivasi reseptor AT1 menyebabkan vasokonstriksi,
pertumbuhan sel, sekresi aldosteron, dan pelepasan katekolamin;
sementara aktivasi reseptor AT2 menyebabkan vasodilatasi, inhibisi
pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin. Angiotensin
II berperan mempertahankan homeostasis sirkulasi dalam jangka
pendek. Meskipun demikian, ekspresi berlebihan angiotensin II
menyebabkan fibrosis pada hati, ginjal, dan organ lainnya.
Angiotensin II juga dapat memperburuk aktivasi neurohormonal
dengan meningkatkan pelepasan norepinefrin dari ujung saraf
simpatis. Selain itu, terjadi pula stimulasi korteks adrenal untuk
memproduksi aldosteron yang juga berperan dalam
mempertahankan homeostasis jangka pendek dengan mempengaruhi
reabsorpsi natrium pada tubulus distal ginjal. Meskipun demikian,
ekspresi aldosteron berlebihan menyebabkan hipertrofi dan fibrosis
vaskuler serta miokard yang menyebabkan berkurangnya
compliance vaskuler dan meningkatkan kekakuan ventrikel.
Aldosteron berlebihan juga menyebabkan disfungsi sel endotel,
disfungsi baroreseptor, serta inhibisi ambilan norepinefrin, yang
semuanya akan memperburuk gagal jantung (Imaligy, 2014).
C. Perubahan neurohormonal vaskuler perifer
Pada pasien gagal jantung, terjadi interaksi kompleks antara
sistem saraf otonom dengan mekanisme autoregulasi lokal yang
bertujuan mempertahankan suplai darah ke otak dan jantung,
sementara mengurangi suplai ke kulit, otot rangka, organ splanknik
dan ginjal; semua itu akibat pelepasan norepinefrin sebagai
vasokonstriktor yang poten, natriuretic peptides, NO, bradikinin,

22
PGI2 serta PGE2. Bagi jantung, peningkatan tonus simpatis ini
bertujuan mempertahankan tekanan arteri, sementara stimulasi
simpatik pada vena menyebabkan peningkatan tonus vena untuk
mempertahankan venous return dan pengisian ventrikel untuk
mempertahankan hukum Starling. Seharusnya pada keadaan normal,
pelepasan NO terus-menerus akan menyebabkan “counter-
response” yakni vasodilatasi, namun hal ini tidak terjadi pada gagal
jantung stadium lanjut (Imaligy, 2014).
D. Remodeling ventrikel kiri
Pada pasien gagal jantung, terjadi perubahan miosit jantung,
yakni berkurangnya kontraktilitas otot jantung, berkurangnya miofi
lamen miosit jantung, perubahan protein sitoskeleton, serta
desensitisasi sinyal β-adrenergik. Selain itu, terjadi pula pelepasan
mediator-mediator radang seperti TNF-α dan IL-1 saat terjadi
kerusakan pada jantung, yang berperan dalam perburukan gagal
jantung. Hipertrofi miosit jantung karena peningkatan tekanan
sistolik dinding ventrikel menyebabkan penambahan sarkomer
paralel dan peningkatan ukuran miosit sehingga menyebabkan
penebalan dinding ventrikel kiri (pressure overload menyebabkan
hipertrofi konsentrik). Pada volume overload, peningkatan tekanan
diastolik menyebabkan peningkatan panjang miosit dan
penambahan jumlah sarkomer serial (hipertrofi eksentrik). Pada
gagal jantung terjadi mekanisme kompensasi Frank Starling. Gagal
jantung yang disebabkan oleh penurunan fungsi ventrikel kiri
menyebabkan isi sekuncup (stroke volume) menurun dibandingkan
jantung normal. Penurunan isi sekuncup menyebabkan pengosongan
ventrikel menjadi tidak adekuat; akhirnya volume darah yang
terakumulasi di ventrikel selama fase diastolik menjadi lebih banyak
dibandingkan keadaan normal. Mekanisme Frank-Starling
menyebabkan peningkatan peregangan miofiber sehingga dapat
menginduksi isi sekuncup pada kontraksi berikutnya, sehingga dapat

23
membantu pengosongan ventrikel kiri dan meningkatkan curah
jantung (cardiac output). Kompensasi ini memiliki keterbatasan.
Pada kasus gagal jantung berat dengan depresi kontraktilitas, curah
jantung akan menurun, lalu terjadi peningkatan end-diastolic volume
dan end-diastolic pressure (yang akan ditransmisikan secara
retrograd ke atrium kiri, vena pulmoner dan kapiler) sehingga dapat
menyebabkan kongesti pulmoner dan edema (Imaligy, 2014).

2.5.6 Manifestasi Gagal Jantung


Manifestasi klinis dari gagal jantung, yaitu :
1. Gagal jantung kiri
Menyebabkan kongestif, bendungan pada paru-paru dan gangguan pada
mekanisme pernapasan. Gejala berupa:
a. Dispnea
Terjadi karena penumpukan atau penimbunan cairan dalam
alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Dispnea bahkan dapat
terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal
atau sedang.
b. Orthopnea
Pasien yang mengalami orthopnea tidak akan mau berbaring,
tetapi akan menggunakan bantal agar bisa tegak di tempat tidur
atau duduk di kursi, bahkan saat tidur.
c. Batuk
Hal ini disebabkan oleh gagal ventrikel bisa kering dan tidak
produktif, tetapi yang sering adalah batuk basah yaitu batuk yang
menghasilkan sputum berbusa dalam jumlah banyak, yang
kadang disertai dengan bercak darah.
d. Mudah lelah
Terjadi akibat curah jantung yang kurang, menghambat jaringan
dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan
sisa hasil katabolisme. Juga terjadi akibat meningkatnya energi

24
yang digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi akibat
distress pernafasan dan batuk.
e. Ronkhi
f. Gelisah dan cemas
Terjadi akibat gangguan oksigen jaringan, stress akibat kesakitan
bernafas dan pengetahuan bahkan jantung tidak berfungsi dengan
baik (Miati, 2015).
2. Gagal jantung kanan
a. Oedem perifer
b. Peningkatan berat badan
c. Distensi vena jugularis
d. Hepatomegali
e. Asites
f. Pitting edema
g. Anoreksia
h. Mual
3. Secara luas peningkatan CPO dapat menyebabkan perfusi oksigen ke
jaringan rendah, sehingga menimbulkan gejala:
a. Pusing
b. Kelelahan
c. Tidak toleran terhadap aktivitas dan panas
d. Ekstremitas dingin
4. Perfusi pada ginjal dapat menyebabkan pelepasan renin serta sekresi
aldosterone dan retensi cairan dan natrium yang menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler (Miati, 2015).

2.5.7 Diagnosis Gagal Jantung


Dalam mendiagnosis gagal jantung, dipakai kriteria Framingham
yaitu kriteria mayor dan kriteria minor yang di tunjukkan pada table
berikut.

25
Tabel 2. Kriteria berdasarkan Framingham
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Paroksismal nocturnal dispneu Edema ekstremitas
Distensi vena leher Batuk malam hari
Ronki paru Dispneu d’effort
Kardiomegali Hepatomegaly
Edema paru akut Efusi pleura
Gallop S3 Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
normal
Peninggian tekanan vena jugularis Takikardi (>120x/menit)
Hepatojugular refluks
(Sumber: Panggabean, 2010)

Diagnosis berdasarkan kriteria Framingham, gagal jantung dapat


ditegakkan dari 2 kriteria major; atau 1 kriteria major dan 2 kriteria minor
(Panggabean, 2010).

2.5.8 Penegakan Diagnosis Gagal Jantung


Diagnosis gagal jantung dapat dilakukan dengan dengan
pemeriksaan fisik dan penunjang.
a. Pemeriksaan Fisik
Gejala yang didapatkan pada pasien dengan gagal jantung
antara lain sesak nafas, edema paru, peningkatan JVP ,
hepatomegali, edema tungkai (Ramani, 2010).
b. Pemeriksaan penunjang
1. Foto Thoraks

26
Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan
kardiomegali (rasiokardiotorasik (CTR) >50%), terutama bila
gagal jantung sudah kronis. Kardiomegali dapat disebabkan oleh
dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau kadang oleh efusi
perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi
ventrikel kiri (Ramani, 2010).

Gambar 8. Gambaran Perbandingan Ventrikel pada Kardiomegali dengan Ventrikel


Normal
(Sumber: Ramani,2010)

27
Gambar 9.Foto thoraks penderita gagal jantung. (A) Keadaan saat aterm dengan
preeklamsia berat, kardiomegali dan edema paru. (B) Edema paru (-), kardiomegali (+),
(C)Tampak kardiomegali, namun tidak sebesar gambar (B) dan (D)Gambaran foto
thoraks normal
(Sumber: Ramani,2010)

2. Elektrokardiografi
Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas
pada sebagian besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q,
perubahan ST-T, hipertropi LV, gangguan konduksi, aritmia
(Ramani, 2010).
3. Echocardiografi
Echocardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan
dugaan klinis gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi
ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan
dinding dapat dinilai dan penyakit katub jantung dapat
disinggirkan (Ramani, 2010).
4. Test Laboratorium
Beberapa temuan laboratorium pada gagal jantung adalah
sebagai berikut (Kasron, 2012):

28
a) Enzym hepar : meningkat dalam gagal jantung/kongesti.
b) Elektrolit: Kemungkinan berubah karena perpindahan cairan,
penurunan fungsi ginjal.
c) Oksimetri nadi: kemungkinan situasi oksigen rendah.
d) AGD: gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis
respiratorik ringan atau hipoksemia dengan peningkatan
PCO2.
e) Albumin: mungkin menurun sebagai akibat penurunan
masukan protein.
Tes darah dirkomendasikan untuk menyinggirkan anemia
dan menilai fungsi ginjal sebelum terapi di mulai. Disfungsi tiroid
dapat menyebabkan gagal jantung sehingga pemeriksaan fungsi
tiroid harus selalu dilakukan (Ramani, 2010).
5. Pencitraan radionuklida
Pencitraan radionuklida menyediakan metode lain untuk
menilai fungsi ventrikel dan sangat berguna ketika citra yang
memadai dari ekokardiografi sulit diperoleh. Pemindahan perfusi
dapat membantu dalam menilai fungsional penyakit jantung
koroner (Ramani, 2010).

2.5.9 Tatalaksana Gagal Jantung


1. Tatalaksanan Farmakologi
Pengobatan dilakukan agar penderita merasa lebih nyaman dalam
melakukan berbagai aktivitas fisik, dan bisa memperbaiki kualitas
hidup serta meningkatkan harapan hidupnya. Pendekatannya
dilakukan melalui 3 segi, yaitu mengobati penyakit penyebab gagal
jantung, menghilangkan faktor-faktor yang bisa memperburuk gagal
jantung dan mengobati gagal jantung. Tujuan pengobatan gagal
jantung adalah untuk mengurangi gejalagejala gagal jantung sehingga
memperbaiki kualitas hidup penderita. Cara dan golongan obat yang
dapat diberikan antara lain mengurangi penumpukan cairan (dengan

29
pemberian diuretik), menurunkan resistensi perifer (pemberian
vasodilator), memperkuat daya kontraksi miokard
(pemberianinotropik) (McMurray, 2012).
a. Diuretik, digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki
peningkatan pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan
gagal jantung. Diuterik yang sering digunakan golongan diuterik
loop dan thiazide. Diuretik Loop (bumetamid, furosemid)
meningkatkan ekskresi natrium dan cairan ginjal dengan tempat
kerja pada ansa henle asenden, namun efeknya bila diberikan
secara oral dapat menghilangkan gagal jantung berat karena
absorbsi usus. Diuretik ini menyebabkan hiperurisemia. Diuretik
Thiazide (bendroflumetiazid, klorotiazid, hidroklorotiazid,
mefrusid, metolazon). Menghambat reabsorbsi garam di tubulus
distal dan membantu reabsorbsi kalsium. Diuretik ini kurang
efektif dibandingkan dengan diuretic loop dan sangat tidak efektif
bila laju filtrasi glomerulus turun dibawah 30%. Penggunaan
kombinasi diuretic loop dengan diuretic thiazude bersifat
sinergis. Tiazide memiliki efek vasodilatasi langsung pada
arterior perifer dan dapat menyebabkan intoleransi karbohidrat
(McMurray, 2012).
1. Diuretik Loop
Mekanisme kerja golongan obat ini yaitu menghambat
kontranspor Na/K/Cl dari membran lumen pada pars asendens ansa
henle. Kerena itu, reabsorbsi Na, K, dan Cl menurun, sehingga tidak
menyebabkan peningkatan cairan tubuh. Obat yang termasuk kedalam
kelas diuretik loop adalah bumetanid, furosemid, dan torsemid.
a. Nama Obat dan Dosis
Tabel 3. Dosis tipikal agen-agen diuretik loop
Obat Dosis Oral Harian Total
Bumetanid 0.5-2 mg

30
Dosis tunggal atau terbagi
dalam dua dosis
Asam etakrinat 50-200 mg
Dosis tunggal atau terbagi
dalam dua dosis
Furosemid 20-80 mg
Dosis tunggal atau terbagi
dalam dua dosis
Torsemid 5-20 mg
Dosis tunggal atau terbagi
dalam dua dosis
(Sumber : Katzung, 2016)
b. Farmakokinetik
Diuretik loop cepat diabsorpsi dan dieliminasi oleh
ginjal melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus.
Torsemid oral diabsorpsi dalam waktu 1 jam dan jika
diberikan intravena absorpsinya hampir sempurna. Durasi
efek torsemid sekitar 4-6 jam. Sedangkan furosemid
memerlukan waktu yang lebih panjang untuk diabsorpsi
yaitu 2-3 jam, dan dengan durasi efek yang lebih pendek
yaitu 2-3 jam. Waktu paruh keduanya bergantung pada
fungsi ginjal. Pemberian obat-obat lain seperti NSAID
atau probenesid dapat mengurangi sekresi asam lemah
yang menyebabkan penurunan sekresi diuretik loop
(Rang, 2011).
c. Farmakodinamik
Mekanisme kerja dari diuretik loop adalah dengan
menghambat symport Na+-K+-2Cl- di lumen ansa henle
cabang ascenden tebal. Hal ini menyebabkan penurunan
reabsorpsi terhadap NaCl serta mengurangi potensial
positif di lumen akibat difusi kembali K+ yang

31
meningkatkan ekskresi dari Mg2+ dan Ca2+. Hal ini dapat
memicu terjadinya hipomagnesium pada penggunaan
berkepanjangan. Hipokalsemia tidak terjadi pada
pemberian diuretik loop dikarenakan absorpsi Ca2+ di usus
dapat dipicu oleh vitamin D dan Ca2+ juga aktif
direabsorpsi pada tubulus kontortus distal (Katzung,
2016).
Pada pasien dengan gangguan hiperkalsemia, dapat
diberikan kombinasi antara diuretik loop dan infus saline
untuk meningkatkan ekskresi Ca2+. Agen seperti NSAID
dapat mengganggu kerja diuretik loop melalui penurunan
sintesis prostaglandin (berperan dalam kerja diuretik di
ginjal) sehingga perlu berhati-hati terutama pada pasien
dengan sindrom nefrotik atau sirosis hepatic (Katzung,
2016).
Selain memiliki aktivitas diuretik, diuretik loop juga
memiliki efek yang belum diketahui secara lengkap
terhadap aliran darah. Contohnya pada penggunaan
furosemid secara intravena pada pasien dengan edema
paru et causa gagal jantung akut, dapat memberikan efek
vasodilator (terapi yang berguna) sebelum muncul efek
diuretic (Rang, 2011).
2. Diuretik Thiazide
Mekanisme kerja obat golongan ini yaitu menurunkan
reabsorbsi NaCl dengan menghambat kotransporter Na/Cl di
membran lumen tubulus distal,akibatnya obat-obat ini
meningkatkan konsentrasi Na/Cl pada cairan tubulus. Karena
tempat kerja derivat tiazid adalah membran lumen,maka obat
obat ini harus diekskresikan kedalam lumen tubulus untuk
menjadi efektif.Peningkatan ekskresi Na dan Cl akan

32
menyebabkan diuresis. Contoh : Klorotiazid, klortalidon,
hidroklortiazid, indapamid, metolazon.
a. Nama Obatr dan Dosis
Tabel 4. Dosis tiazid dan diuretik terkait
Obat Total Dosis Oral Frekuensi
Harian Pemberian
Bendroflumetiazid 2.5-10 mg Dosis tunggal
Klorotiazid 0.5-2 mg Dua dosis terbagi
Klortalidon 25-50 mg Dosis tunggal
Hidroklorotiazid 25-100 mg Dosis tunggal
Hidroflumetiazid 12.5-50 mg Dua dosis terbagi
Indapamid 2.5-10 mg Dosis tunggal
Metilklotiazid 2.5-10 mg Dosis tunggal
Metolazon 2.5-10 mg Dosis tunggal
Politiazid 1-4 mg Dosis tunggal
Quinethazon 25-100 mg Dosis tunggal
Triklormethiazid 1-4 mg Dosis tunggal
(Sumber: Katzung, 2016)
b. Farmakokinetik
Semua tiazid dapat diberikan per oral, tetapi terdapat
perbedaan dalam metabolismenya. Klorotiazid, yakni senyawa
induk kelompok ini, bersifat kurang larut dalam lemak dan harus
diberikan dalam dosis yang relatif besar. Klortalidon diabsorpsi
secara perlahan dan durasi kerjanya lebih panjang. Meskipun
indapamid diekskresi melalui sistem empedu, bentuk aktif obat
ini yang di ekskresi oleh ginjal cukup untuk menimbulkan efek
diuretiknya di tubulus kontortus distal (Katzung, 2016).
Semua tiazid diekskresikan oleh urin dan kebanyakan
melalui sistem sekresi tubular. Hal ini menyebabkan terjadi
persaingan dengan sekresi asam urat oleh sistem sekresi tersebut.
Akibatnya, penggunaan tiazid dapat menurunkan ekskresi asam
urat dan meningkatkan kadar asam urat serum (Rang, 2011).

33
c. Farmakodinamik
Tiazid menghambat reabsorpsi NaCl dari sisi lumen sel
epitel tubulus kontortus distal dengan memblokade
transporter Na+/Cl-. Berbeda dengan tempat kerja diuretik
loop, ansa henle cabang ascenden tebal, tiazid sangat
meningkatkan reabsorpsi dari Ca2+. Peningkatan ini
diperkirakan terjadi akibat efek tiazid pada tubulus kontortus
proksimal dan distal. Dalam tubulus kontortus proksimal,
hilangnya volume cairan tubuh akibat tiazid menyebabkan
peningkatan absorpsi pasif Ca2+ dan Na+. Dalam tubulus
kontortus distal, penurunan kadar Na+ intrasel akibat blokade
pemasukan Na+ oleh tiazid meningkatkan pertukaran Na+/
Ca2+ keseluruhan. walaupun jarang menyebabkan
hiperkalsemia karena peningkatan reabsorpsi, tiazid dapat
memperberat hiperkalsemia pada pasien yang menderita
hiperparatiroidisme, karsinoma, dan sarkoidosis. Tiazid juga
bermanfaat dalam pengobatan batu ginjal yang disebabkan
oleh hiperkalsiuria. Karena kerja tiazid bergantung pada
produksi prostaglandin ginjal, tiazid juga dapat dihambat oleh
NSAID pada berbagai kondisi (Katzung, 2016).

b. Digoksin, pada tahun 1785, William Withering dari Birmingham


menemukan penggunaan ekstrak foxglove (Digitalis purpurea).
Glikosida seperti digoksin meningkatkan kontraksi miokard yang
menghasilkan inotropisme positif yaitu memeperkuat kontraksi
jantung, hingga volume pukulan, volume menit dan dieresis
diperbesar serta jantung yang membesar menjadi mengecil.
Digoksin tidak meneyebabkan perubahan curah jantung pada
subjek normal karena curah jantung ditentukan tidak hanya oleh
kontraktilitas namun juga oleh beban dan denyut jantung. Pada
gagal jantung, digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas dan
menghilangkan mekanisme kompensasi sekunder yang dapat
menyebabkan gejala (McMurray, 2012).

34
Dosis Obat
Dosis inisiasi oral sebesar 500-750 mcg (0,5-0,75 mg)
digoksin tablet, atau 400-600 mcg (0,4-0,6 mg) digoksin kapsul
cair menghasilkan efek terdeteksi setelah 0,5-2 jam dan terjadi
efek maksimal pada waktu 2-6 jam. Dosis tambahan sekitar 125-
375 mcg tablet digoksin atau 100-300 mcg digoksin kapsul cair
bila perlu dapat diberikan secara hati-hati pada 6-8 jam setelah
pemberian dosis inisiasi hingga diperoleh respon klinis yang
memadai. Pasien dengan berat badan 70 Kg umumnya
mendapatkan respon klinis yang memadai pada dosis 750-1250
mcg digoksin tablet atau setara dengan 600-1000 mcg digoksin
kapsul cair.
Dosis inisiasi IV umumnya adalah 400-600 mcg (0,4-0,6
mg) yang segera akan menghasilkan efek terdeteksi setelah 5-30
menit pemberian dan mencapai efek maksimum setelah 1-4 jam
setelah pemberian pada pasien dewasa. Dosis tambahan 100-300
mcg digoksin dapat diberikan secara hati-hati setelah 6-8 jam
setelah pemberian dosis inisiasi hingga diperoleh respon klinis
yang memadai. Dosis IV digoksin pada pasien dewasa dengan
berat badan 70 Kg adalah sekitar 600-1000 mcg.
Farmakokinetik
 Onset of action (waktu onset) : oral : 1-2 jam; IV : 5-30
menit
 Peak effect (waktu efek puncak) : oral : 2-8 jam; IV : 1-4
jam
 Durasi : dewasa : 3-4 hari pada kedua sediaan
 Absorpsi : melalui difusi pasif pada usus halus bagian
atas, makanan dapat menyebabkan absorpsi mengalami
penundaan (delay), tetapi tidak mempengaruhi jumlah
yang diabsorpsi.
 Distribusi :

35
 Fungsi ginjal normal : 6-7 L/kg
 Gagal ginjal kronik : 4-6 L/kg
 Anak-anak : 16 L/kg
 Dewasa : 7 L/kg menurun bila terdapat gangguan
ginjal
 Ikatan obat dengan protein (protein binding) : 30%
 Metabolisme : melalui sequential sugar hydrolysis dalam
lambung atau melalui reduksi cincin lakton oleh bakteri
di intestinal , metabolisme diturunkan dengan adanya
gagal jantung kongestif.
 Bioavailabilitas: Waktu untuk mencapai kadar puncak,
serum: oral ~ 1 jam
 Ekskresi : urin (50% hingga 70% dalam bentuk obat yang
tidak berubah )
 Konsentrasi serum digoksin :
 Gagal jantung kongestif : 0,5 -0,8 mg/ml.
Aritmia : 0,8-2 ng/ml 17
 Dewasa : < 0,5 mg/ml, kemungkinan
menunjukkan underdigitalization, kecuali jika
terdapat hal-hal khusus
Farmakodinamik
Mekanisme kerja digoksin yaitu dengan menghambat pompa
Na-K ATPase yang menghasilkan peningkatan natrium
intracellular yang menyebabkan lemahnya pertukaran
natrium/kalium dan meningkatkan kalsium intracellular. Hal
tersebut dapat meningkatkan penyimpanan kalsium intrasellular
di sarcoplasmic reticulum pada otot antung, dan dapat
meningkatkan cadangan kalsium untuk memperkuat
/meningkatkan kontraksi otot. Ion Na+ dan Ca2+ memasuki sel
otot jantung selama/setiap kali depolarisasi. Ca2+ yang

36
memasuki sel melalui kanal Ca2+ jenis L selama depolarisasi
memicu pelepasan Ca2+ intraseluler ke dalam sitosol dari
retikulum sarkoplasma melalui reseptor ryanodine (RyR). Ion ini
menginduksi pelepasan Ca2+ sehingga meningkatkan kadar
Ca2+ sitosol yang tersedia untuk berinteraksi dengan protein
kontraktil, sehingga kekuatan kontraksi dapat ditingkatkan.
Selama repolarisasi myocyte dan relaksasi, Ca2+ dalam selular
kembali terpisahkan oleh Ca2+ sarkoplasma retikuler -ATPase
(SERCA2), dan juga akan dikeluarkan dari sel oleh penukar Na+
- Ca2+ (NCX) dan oleh Ca2+ sarcolemmal -ATPase. Kapasitas
dari penukar untuk mengeluarkan Ca2+ dari sel tergantung pada
konsentrasi Na+ intrasel. Pengikatan glikosida jantung ke
sarcolemmal Na+ ,K+ -ATPase dan penghambatan aktivitas
pompa Na+ seluler menghasikan pengurangan tingkat aktifitas
ekstrusi Na+ dan peningkatan sitosol Na+ . Peningkatan Na+
intraseluler mengurangi gradien transmembran Na+ yang
mendorong ekstrusi Ca2+ intraseluler selama repolarisasi
myocyte. Dengan mengurangi pengeluaran Ca2+ dan masuknya
kembali Ca2+ pada setiap kali potensial aksi, maka Ca2+
terakumulasi dalam myocyte: serapan Ca2+ ke dalam SR
meningkat; ini juga meningkatkan Ca2+ sehingga dapat
dilepaskan dari SR ke troponin C dan protein Ca2+ -sensitif dari
aparatus kontraktil lainnya selama siklus berikutnya dari
gabungan eksitasi-kontraksi, sehingga menambah kontraktilitas
myocyte. Peningkatan dalam pelepasan Ca2+ dari retikulum
sarkoplasma adalah merupakan substrat biologis di mana
glikosida jantung meningkatkan kontraktilitas miokard.
Glikosida jantung berikatan secara khusus ke bentuk terfosforilasi
dari a subunit dari Na+ , K+ -ATPase. Ekstraselular K+
mendorong defosforilasii enzim sebagai langkah awal dalam
translokasi aktif kation ke dalam sitosol, dan juga dengan

37
demikian menurunkan afinitas enzim dari glikosida jantung. Hal
ini menjelaskan sebagian pengamatan bahwa dengan
meningkatnya ekstraselular K+ dapat membalikkan beberapa
efek toksik dari glikosida jantung. Selain itu, digoksin juga
bekerja secara aksi langsung pada otot lunak vascular dan efek
tidak langsung yang umumnya dimediasi oleh system saraf
otonom dan peningkatan aktivitas vagal (refleks dari system saraf
otonom yang menyebabkan penurunan kerja jantung).

c. Vasodilator, dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan


dinding ventrikel, yang merupakan determinan utama kebutuhan
oksigen moikard, menurunkan konsumsi oksigen miokard dan
meningkatkan curah jantung. Vasodilator dapat bekerja pada
system vena (nitrat) atau arteri (hidralazin) atau memiliki efek
campuran vasodilator dan dilator arteri (penghambat ACE,
antagonis reseptor angiotensin, prazosin dan nitroprusida).
Vasodilator menurukan prelod pada pasien yang memakan
diuterik dosis tinggi, dapat menurunkan curah jantung dan
menyebabkan hipotensi postural (McMurray, 2012).
1. ACE Inhibitor
ACE Inhibitor merupakan dilator vena dan arteri
namun bekerja terutama pada anyaman arteriol. ACE
Inhibitor menyebabkan penurunan Angiotensin II,
meningkatkan Renin, dan efeknya pada ACE jaringan
sebagaimana ACE plasma juga penting. Obat ini
menginterfensi pemecahan vasodilator bradikinin dan
menurunkan katekolamin dalam sirkulasi darah, sehingga
memberikan mekanisme vasodilator tambahan.

38
a. Nama Obat dan Dosis
Tabel 5 Dosis Obat Berdasarkan Evidence-Based Pada
Randomized Trial Pada Gagal Jantung

(Sumber: Eungene, 2008)

b. Farmakokinetik ACE Inhibitor


Beberapa ACE Inhibitor adalah dalam bentuk pro-
drug dan mereka tetap tidak aktif sampai mereka diubah
menjadi metabolit aktif oleh hidrolisis dalam hati atau
dalam jaringan pencernaan. Konsentrasi obat plasma
puncak dicapai 1-4 jam setelah konsumsi. Pro-obat lebih
lipofilik dan mereka memiliki akses yang lebih baik ke
jaringan target di mana mereka akan dikonversi ke
senyawa aktif (Fuster, 2011).
Kebanyakan ACE-I dan metabolitnya terutama
diekskresi melalui rute ginjal, sedangkan fosinopril,
zofenopril, Trandolapril dan menampilkan spirapril
eliminasi seimbang melalui hati dan ginjal rute (Fuster,
2011).
Captopril dihilangkan lebih cepat dari tubuh,
sehingga durasi kerjanya menjadi lebih singkat (<6 jam),
sedangkan ramiprilat (metabolit aktif dari ramipril) dan
khusus tandrolaprilat dieliminasi lebih lambat daripada
yang lain ACE Inhibitor (Fuster, 2011).

39
c. Farmakodinamik ACE Inhibitor
1) Efek Hemodinamik : ACE Inhibitor menurunkan
jumlah resistensi pembuluh darah perifer, meningkatkan
natriuresis tapi menyebabkan sedikit perubahan dalam
Heart Rate. Penghambatan lokal ACE dan pembentukan
angiotensin-II pada organ target spesifik, seperti dinding
pembuluh darah, yang terlibat dalam tanggapan ini. Pada
pasien normotensif dan hipertensi tanpa gagal jantung
kongestif, ACE Inhibitor memiliki pengaruh yang kecil
pada Cardiac output atau tekanan baji kapiler. ACE
Inhibitor mencegah hipertrofi ventrikel pada pasien
hipertensi dan mengurangi disfungsi endotel dalam
tekanan darah normal (McMurray, 2012).
2) Efek Neurohormonal : Pengobatan jangka pendek
dengan ACE Inhibitor disertai dengan menurunnya kadar
angiotensin II dan aldosteron, serta peningkatan pelepasan
renin dan angiotensin I. Karena angiotensin-II
meningkatkan outflow simpatik perifer dan sentral dan
merangsang pelepasan katekolamin dari medula adrenal,
ACE Inhibitor menurunkan kadar plasma epinefrin,
norepinefrin, dan vasopressin (McMurray, 2012).
3) Efek antiproliferatif : ACE Inhibitor juga menunjukkan
efek antiproliferatif (pengurangan pembuluh darah dan
hipertrofi jantung dan proliferasi matriks ekstraseluler)
dan mengurangi remodeling ventrikel setelah infark
miokard. Mereka membalikkan remodeling ventrikel
dengan mengurangi preload ventrikel / afterload,
mencegah efek proliferatif dan aktivitas saraf simpatis dan
dengan menghambat hipertrofi jantung yang diinduksi

40
aldosteron dan fibrosis interstitial dan perivaskuler
(McMurray, 2012).
4) Efek renal : ACE Inhibitor menurunkan resistensi
vaskuler ginjal dan menaikkan renal blood flow dan
mendorong ekskresi Na+ dan air. Namun demikian,
Glomerular Filtration Rate (GFR) tetap tidak berubah atau
turun sedikit, dan dengan demikian, fraksi filtrasi
menurun. Hal ini karena efek yang relatif lebih besar
dalam melebarkan eferen postglomerular dari arteriol
aferen, yang mengarah ke penurunan glomerular tekanan
hidrostatik kapiler dan GFR (McMurray, 2012).

2. Angiotensin antagonis reseptor


Reseptor AngII terdiri dua kelompok besar yaitu
reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 terdapat di otot polos
pembuluh darah dan di otot jantung. Selain itu terdapat juga
di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1
memperantarai semua efe fisiologis AngII terutama yang
berperan dalam homeostatis kardiovaskular. Reseptor AT2
terdapat di medula adrenal dan mungkin juga di SSP tapi
sampai sekarang fungsinya belum jelas.
ARB menimbulkan efek yang mirip dengan
pemberian ACE-inhibitor. Tapi karena tidak mempengaruhi
metabolisme bradikinin, maka obat ini tidak memiliki efek
samping batuk kering dan angioedema seperti yang sering
terjadi dengan ACE-inhibitor.
ARB sangat selektif menurunkan tekanan darah pada
pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti
hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang
efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah.
Pada pasien dengan hipovolemia, dosis ARB perlu

41
diturunkan. Pemberian ARB menurunkan tekanan darah
tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung (Ganiswara,
2016).
a. Candesartan
Candesartan termasuk kelompok Angisotensin
Reseptor Bloker (ARB). ARB merupakan kelompok obat
yang memodulasi sistem RAS dengan cara menginhibisi
ikatan angiotensin II dengan reseptornya, yaitu pada
reseptor AT1 secara spesifik. Angiostensin II dibentuk
dari angiostensin I melalui reaksi yang dikatalis oleh
angiostensin converting enzyme (ACE, kinase II).
Angiotensin II berfungsi sebagai hormon yang
meningkatkan tekanan darah dan volume darah dalam
beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikkan
tekanan dengan cara menyempitkan arteriola,
menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk
kapiler ginjal. Angiotensin II merangsang tubula
proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl dan air.
Hal tersebut akan mengurangi jumlah garam dan air yang
diekskresikan dalam urin dan akibatnya adalah
peningkatan volume darah dan tekanan darah (Katzung,
2016).
 Dosis 8-32mg/hari
 Frekuensi pemberian 1x
 Sediaan Tablet 4mg, 8mg, 16mg (Ganiswara, 2016)
1. Farmakokinetik
Absorpsi : Setelah pemberian oral,
bioavailabilitas candesartan adalah sebesar 15% hingga
40%. Setelah konsumsi tablet, konsentrasi serum puncak
(Cmax) tercapai setelah 3-4 jam. Makanan tidak

42
mempengaruhi bioavailabilitas kandesartan setelah
pemberian kandesartan (Katzung, 2016).
Distribusi : Volume distribusi kandesartan adalah
0,13 L / kg. Candesartan sangat terikat pada protein
plasma (> 99%). Pasien diabetik nefropati dengan
proteinuria, dan mengalami penurunan kadar protein
plasma, beresiko efek toksik apabila diberikan dengan
dosis tinggi (Katzung, 2016).
Metabolisme : Candesartan dengan cepat dan
lengkap diaktifasi melalui hidrolisis ester selama
absorpsi dari saluran pencernaan. Candesartan
mengalami metabolisme minor di hati oleh O-
deethylation menjadi bentuk metabolit tidak aktif.
Penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa sitokrom
P450 isoenzim CYP 2C9 terlibat dalam biotransformasi
candesartan menjadi metabolit tidak aktif (Katzung,
2016).
Ekskresi : Total klirens plasma candesartan
adalah 0,37 mL / menit / kg, dengan klirens ginjal 0,19 mL
/ menit / kg. Candesartan terutama diekskresikan tidak
berubah dalam urin dan feses (melalui empedu). Ekskresi
renal candesartan menurun seiring dengan menurunnya
fungsi ginjal. Hal ini menyebabkan perpanjangan waktu
paruh obat (Katzung, 2016).
2. Farmakodinamik
Candesartan termasuk kelompok Angisotensin
Reseptor Bloker (ARB). ARB merupakan kelompok obat
yang memodulasi sistem RAS dengan cara menginhibisi
ikatan angiotensin II dengan reseptornya, yaitu pada
reseptor AT1 secara spesifik. Angiostensin II dibentuk
dari angiostensin I melalui reaksi yang dikatalis oleh

43
angiostensin converting enzyme (ACE, kinase II).
Angiotensin II berfungsi sebagai hormon yang
meningkatkan tekanan darah dan volume darah dalam
beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikkan
tekanan dengan cara menyempitkan arteriola,
menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk
kapiler ginjal. Angiotensin II merangsang tubula
proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl dan air.
Hal tersebut akan mengurangi jumlah garam dan air yang
diekskresikan dalam urin dan akibatnya adalah
peningkatan volume darah dan tekanan darah
(Katzung,2016).
Semua kelompok ARB memiliki afinitas yang kuat
ribuan bahkan puluhan ribu kali lebih kuat dibanding
angiotensin II dalam berikatan dengan reseptor AT1.
Akibat penghambatan ini, maka angiotensin II tidak dapat
bekerja pada reseptor AT1, yang secara langsung
memberikan efek vasodilatasi, penurunan vasopressin,
dan penurunan aldosteron, selain itu, penghambatan
tersebut juga berefek pada penurunan retensi air dan Na
dan penurunan aktivitas seluler yang merugikan (misalnya
hipertrofi). Sedangkan Angiotensin II yang terakumulasi
akan bekerja di reseptor AT2 dengan efek berupa
vasodilatasi, antiproliferasi. Sehingga pada akhirnya
rangsangan reseptor AT2 akan bekerja sinergistik dengan
efek hambatan pada reseptor AT1 (Katzung, 2016).
Blokade reseptor angiostensin II menghambat umpan
balik negatif angiostensin II terhadap sekresi renin, tetapi
menyebabkan meningkatnya aktivitas renin plasma dan
jumlah angiostensin II dalam sirkulasi tidak menghambat

44
aktivitas candesartan terhadap tekanan darah (Katzung,
2016).
b. Valsartan
Farmakologi valsartan adalah dengan menghambat
reseptor angiotensin II tipe 1, sehingga menyebabkan
vasodilatasi arteri dan menurunkan tekanan darah.
 Dosis 80-320mg/hari
 Frekuensi pemberian 1x
 Sediaan Tablet 40mg dan 80mg (Ganiswara, 2016)
1. Farmakokinetik
Farmakokinetik valsartan memiliki onset kerja 2
jam setelah pemberian dan durasi 24 jam.
Absorpsi : Makanan dapat menurunkan laju
absorpsi valsartan dan memperpanjang lama absorpsi.
Absorpsi valsartan pada traktus gastrointestinal kurang
baik, yaitu hanya sekitar 10-35%. Konsentrasi puncak
pada plasma pasca konsumsi valsartan tablet umumnya
tercapai dalam 2-4 jam.
Distribusi : Valsartan didistribusikan utamanya
berikatan dengan plasma albumin. Volume distribusi
valsartan adalah 17 L.
Metabolisme : Valsartan dimetabolisme di hati.
Metabolit valsartan yakni valeryl 4-hydroxy valsartan
hanya sekitar 9% diubah oleh CYP2C9.
Ekskresi : Ekskresi valsartan terutama pada feses,
dan hanya sekitar 13% diekskresikan di urin. Klirens
pada penderita gagal jantung berkurang hingga
50%.Waktu paruh valsartan adalah 6 jam (Katzung,
2016).
2. Farmakodinamik

45
Valsartan bekerja menghambat reseptor
angiotensin II. Valsartan memiliki afinitas yang jauh
lebih besar pada reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1)
dibanding reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2).
Valsartan tergolong angiotensin receptor blocker
(ARB) mampu menimbulkan efek vasodilatasi arteri
general sehingga menimbulkan efek antihipertensi
(Ganiswara, 2016).
ARB juga menimbulkan efek vasodilatasi arteriol
aferen dan eferen glomerular, sehingga menurunkan
tekanan intraglomerular. Laju filtrasi glomerulus dan
ekskresi albumin urin menurun, sehingga bermanfaat
pada penderita hipertensi disertai dengan albuminuria.
Studi komparasi antara valsartan dan amlodipine
menunjukkan efek reduksi mikroalbuminuria yang
lebih besar setelah administrasi valsartan pada
kelompok pasien diabetes (Ganiswara, 2016).

3. Natrium Nitroprusid
Natrium nitroprusid merupakan vasodilator vena dan arteri
yang memiliki kerja sangat pendek dan digunakan untuk
pengobatan pada pasien gagal jantung akut (Gray et al.,
2006). Obat ini mengurangi tekanan pengisian dan
meningkatkan curah jantung pada penderita gagal jantung
dengan gangguan pompa yang berat. Kombinasi dengan zat
inotropik, misalnya dobutamin akan meningkatkan
efektivitasnya, terutama pada penderita dengan komplikasi
hipotensi.
a. Nama Obat dan Dosis Obat
Natrium nitroprusida yang memiliki nama dagang
Nipride dan Nitropress diberikan dengan dosis pemberian

46
biasanya 0,5-10 µg/kg/menit; dosis rata-rata 3
µg/kg/menit menurunkan tekanan diastolic sebanyak 30-
40%. Bila kecepatan infus 10 ug/kg/menit tidak
menghasilkan penurunan tekanan darah yang cukup
dalam 10 menit, pemberian harus dihentikan untuk
menghindari toksisitas (Nafrialdi, 2016). Natrium
nitroprusid digunakan sebagai obat anti hipertensi dan
gagal jantung kronik atau akut dan memiliki sediaan
berupa injeksi, vial (Departemen Kesehatan RI, 2008).
b. Farmakokinetik
Nitroprusid diberikan sebagai infus i.v.. Efek
maksimal tercapai dalam 1-2 menit dan segera
menghilang setelah infus dihentikan. Tekanan darah dapat
diatur ke nilai berapa saja dengan mengatur kecepatan
infus. Toleransi atau resistensi terhadap obat ini jarang
terjadi (Nafrialdi, 2016).
Nitroprusid merupakan obat yang kerjanya paling
cepat dan efektif untuk mengatasi hipertensi darurat,
apapun penyebabnya. Merupakan pilihan utama untuk
kebanyakan krisis hipertensi yang memerlukan terapi
parental, termasuk krisis hipertemsi yang disertai infark
miokard akut dan gagal jantung kiri (Nafrialdi, 2016).
c. Farmakodinamik
Natrium nitroprusid merupakan donor NO yang
bekerja dengan mengaktifkan guanilat siklase dan
meningkatkan konversi GTP menjadi GMP-siklik pada
otot polos pembuluh darah. Selanjutnya terjadi penurunan
kalsium intrasel dengan efek akhir vasodilatasi arteriol
dan venula. Denyut jantung meningkat karena reflek
simpatis, namun curah jantung tidak banyak berubah

47
karena efek vasodilatasi menurunkan beban hulu
(Nafrialdi, 2016).
Resistensi perifer (beban hilir) juga menurun karena
dilatasi arteriol, sehingga obat ini menurunkan kerja
jantung sehingga berefek baik pada gagal jantung
(Nafrialdi, 2016).

d. Beta Blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol). Penyekat beta


adrenoreseptor biasanya dihindari pada gagal jantung karena
kerja inotropik negatifnya. Namun, stimulasi simpatik jangka
panjang yang terjadi pada gagal jantung menyebabkan regulasi
turun pada reseptor beta jantung. Dengan memblok paling tidak
beberapa aktivitas simpatik, penyekat beta dapat meningkatkan
densitas reseptor beta dan menghasilkan sensitivitas jantung yang
lebih tinggi terhadap simulasi inotropik katekolamin dalam
sirkulasi. Juga mengurangi aritmia dan iskemi miokard.
Penggunaan terbaru dari metoprolol dan bisoprolol adalah
sebagai obat tambahan dari diuretic dan ACE Inhibitor pada
dekompensasi tak berat. Obat-obatan tersebut dapat mencegah
memburuknya kondisi serta memeperbaiki gejala dan keadaan
fungsional. Efek ini bertentangan dengan khasiat inotrop
negatifnya, sehingga perlu dipergunakan denganhati-hati
(McMurray, 2012).
Farmakodinamik
Mekanisme kerja beta blocker dijantung dengan cara
menghambat reseptor beta sehingga menurunkan denyut jantung,
menurunkan kecepatan konduksi, dan menurunkan kontraktilitas.
Sedangkan mekanisme kerja di ginjal dengan menghambat
reseptor beta sehingga mencegah pelepasan renin dan
menurunkan resistensi perifer pembuluh darah yang akan
menyebabkan tekanan darah menurun.

48
e. Antikoagolan adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan
darah dengan jalan menghambat pembentukan fibrin. Antagonis
vitamin K ini digunakan pada keadaan dimana terdapat
kecenderungan darah untuk memebeku yang meningkat,
misalnya pada trombosis. Pada trobosis koroner (infark),
sebagian obat jantung menjadi mati karena penyaluran darah
kebagian ini terhalang oleh tromus disalah satu cabangnya. Obat-
obatan ini sangat penting untuk meningkatkan harapan hidup
penderita (McMurray, 2012).
2. Tatalksana Non-Farmakologi
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam
keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak
bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional,
kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan
mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku
yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal
perburukan gagal jantung (Siswanto, 2015).
1. Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat
kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan
dosis diuretik atas pertimbangan dokter (Siswanto, 2015).
2. Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada
pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi
cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai
sedang tidak memberikan keuntungan klinis (Siswanto, 2015).
3. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2)
dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah

49
perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan
kualitas hidup (Siswanto, 2015).
4. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal
jantung kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek
yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah
(Siswanto, 2015).

2.5.10 Komplikasi Gagal Jantung


Menurut Wijaya & Putri (2013) komplikasi pada gagal jantung, yaitu:
1. Edema paru akut terjadi akibat gagal jantung kiri
2. Syok kardiogenik
Stadium dari gagal jantung kiri, kongestif akibat penurunan curah
jantung dan prefusi jaringan yang tidak adekuat ke organ vital
(jantung dan otak).
3. Episode trombolitik
Trombus terbentuk karena imobilitas pasien dan gangguan
sirkulasi dengan aktivitas trombus dapat menyumbat pembuluh
darah.
4. Efusi perikardial dan tamponade jantung
Masuknya cairan kekantung perikardium, cairan dapat
meregangkan perikardium sampai ukuran maksimal. CPO
menurun dan aliran balik vena kejantung menuju tromponade
jantung (Wijaya, 2013).

2.5.11 Prognosis
Prognosis pasien gagal jantung buruk walaupun dengan terapi yang
adekuat. Data yang diperoleh sekitar 35% pasien pria bertahan hidup setelah
onset akut gagal jantung dan 50% pada wanita. Secara umum didapatkan data
mortalitas pada gagal jantung kelas IV (adanya simptom saat istirahat) sekitar
30-70%, kelas III (adanya simptom dengan aktiviitas ringan) 10-20%, kelas II

50
(adanya simptom saat aktivitas sedang 5-10%. Mortalitas lebih tinggi
didapatkan pada pasien lebih tua, laki-laki, penurunan fraksi ejeksi dan adanya
penyakit koroner. Biaya yang dikeluarkan untuk terapi gagal jantung di
Amerika antara 15-40 trilyun US$ (Gheorghiade, 2009).

51
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan TPP ini adalah :
Tanggal : 10 Desember 2019 dan 16 Desember 2019
Waktu : 18.00-20.00 dan 10.00-12.00
Tempat : Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang (RSMP)
3.2 Subjek Tugas Pengenalan Profesi
Pasien dengan gagal jantung di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
(RSMP).
3.3 Cara Pengambilan Data
Metode wawancara, data sekunder dari rekam medis pasien
3.4 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan untuk melakukan kegiatan observasi ini
adalah:
1. Alat tulis
2. Kamera
3. Kuisioner
3.5 Langkah Kerja
Adapun langkah kerja dalam Tugas Pengenalan Profesi ini adalah :
1. Pembuatan Proposal
2. Meminta Izin pada pihak Akademik dan Pihak Rumah sakit yang akan
diobservasi
3. Pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi
4. Melakukan konsultasi laporan kegiatan Tugas Pengenalan Profesi
5. Mengumpulkan laporan
6. Mengikuti pleno Tugas Pengenalan Profesi

52
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Hasil
1. Responden 1
A. Identitas Pasien
1. Nama : Tn. A
2. Umur : 26 tahun
3. Jenis kelamin : Laki - laki
4. Alamat : Jakabaring
5. Pekerjaan : Tukang parkir

B. Gejala Klinis
No Pertanyaan Jawaban
1. Sejak kapan Anda mengetahui Sejak pertama kali datang kerumah
gagal jantung? sakit (kurang lebih 6 bulan yang lalu)
2. Apakah Anda pernah dirawat di Ya, selama 2 minggu
rumah sakit?
No. Pertanyaan Jawaban Keterangan
Ya Tidak
Keluhan utama saat datang berobat
3. Kriteria Framingham mayor
Apakah Anda mengalami sesak
nafas pada malam hari (Paroximal 
nocturnal dipnea)?
4. Kriteria Framingham minor
Apakah terdapat bengkak pada
ekstremitas? (Esktremitas atas/ 
ekstremitas bawah)

53
5. Apakah Anda mengalami gejala

seperti batuk pada malam hari?
6. Apakah sesak nafas yang Anda
rasakan timbul saat melakukan

aktivitas dan berkurang saat
istirahat (Dispnea d’effort)?
7. Keluhan Tambahan
Apakah Anda mudah merasa lelah?

9. Apakah Anda merasa



mual/muntah?
10. Apakah Anda mudah merasa

gelisah dan cemas?
No. Pertanyaan Jawaban
11. Sejak kapan keluhan ini dirasakan? Keluhan sesak nafas dirasakan sejak 6
(keluhan utama) bulan yang lalu
12. Bgaimana pola hidup pasien
selama ini?
a. Merokok Ya, dari usia 12 tahun (2005 – 2014)
b. Alkohol Pernah
c. Olahraga Tidak
d. Makan Teratur
e. Minum (Kopi) Tidak
13. Riwayat penyakit sebelumnya
a. Kencing manis (Diabetes Tidak
Melitus)
b. Darah tinggi (Hipertensi) Tidak
c. Penyakit paru-paru kronis Ya, pasien menderita Tuberkulosis
(TB)
d. Asma Tidak
e. Gagal ginjal Tidak

54
f. Lainnya.........
14. Apakah ada keluarga yang Untuk Gagal jantung, tidak ada
memiliki penyakit yang sama? keluarga yang memiliki riwayat
penyakit jantung.
Untuk Tuberkulosis, ya, pasien
memiliki keponakan dan tante yang
memiliki penyakit yang sama berupa
tuberkulosis (TB)

C. Pemeriksaan Penunjang
No. Pertanyaan Jawaban Keterangan
Ya Tidak
15. Pemeriksaan penunjang
yang pernah dilakukan
a. Foto Thoraks 
b. Elektrokardiografi 
c. Echocardiografi 
16. Apakah pernah  Pemeriksaan laboratorium yang
melakukan pemeriksaan dilakukan berupa Sputum (TB)
laboratorium?

D. Tatalaksana
No Pertanyaan Jawaban
17. Apa saja pengobatan Pasien hanya berobat kedokter
yang sudah dilakukan?
18. Apa saja obat-obatan Pasien tidak mengetahui obat Gagal jantung yang
yang dikonsumsi? dikonsumsi.
19. Apakah Anda masih rutin Ya, berupa Foto Thoraks
kontrol ke dokter?

55
2. Responden 2
A. Identitas Pasien
1. Nama : Tn. M
2. Umur : 47 tahun
3. Jenis kelamin : Laki – laki
4. Alamat : Jakabaring
5. Pekerjaan :-

B. Gejala Klinis
No Pertanyaan Jawaban
1. Sejak kapan Anda mengetahui 16 Juni 2019
gagal jantung?
2. Apakah Anda pernah dirawat di Pernah
rumah sakit?
No. Pertanyaan Jawaban Keterangan
Ya Tidak
Keluhan utama saat datang berobat
3. Kriteria Framingham mayor
Apakah Anda mengalami sesak
nafas pada malam hari (Paroximal 
nocturnal dipnea)?
4. Kriteria Framingham minor
Apakah terdapat bengkak pada
ekstremitas? (Esktremitas atas/ 
ekstremitas bawah)
5. Apakah Anda mengalami gejala

seperti batuk pada malam hari?
6. Apakah sesak nafas yang Anda

rasakan timbul saat melakukan

56
aktivitas dan berkurang saat
istirahat (Dispnea d’effort)?
7. Keluhan Tambahan
Apakah Anda mudah merasa lelah?

9. Apakah Anda merasa Kadang, pada saat



mual/muntah? keram
10. Apakah Anda mudah merasa

gelisah dan cemas?
No. Pertanyaan Jawaban
11. Sejak kapan keluhan ini dirasakan? 16 juni 2019 (langsung dibawa ke rumah
(keluhan utama) sakit)
12. Bgaimana pola hidup pasien
selama ini?
a. Merokok Ya
b. Alkohol Tidak
c. Olahraga Jarang
d. Makan Teratur
e. Minum (Kopi) Tidak
13. Riwayat penyakit sebelumnya
a. Kencing manis (Diabetes Tidak
Melitus)
b. Darah tinggi (Hipertensi) Ya
c. Penyakit paru-paru kronis Tidak
d. Asma Tidak
e. Gagal ginjal Tidak
f. Lainnya......... Tidak
14. Apakah ada keluarga yang Untuk hipertensi ada, dari keluarga ibu
memiliki penyakit yang sama? Tn. A
Untuk Gagal jantung, tidak ada keluarga
yang memiliki riwayat penyakit jantung

57
C. Pemeriksaan Penunjang
No. Pertanyaan Jawaban Keterangan
Ya Tidak
15. Pemeriksaan penunjang
yang pernah dilakukan
a. Foto Thoraks 
b. Elektrokardiografi 
c. Echocardiografi 
16. Apakah pernah 
melakukan
pemeriksaan
laboratorium?

D. Tatalaksana
No Pertanyaan Jawaban
17. Apa saja pengobatan Pasien hanya berobat ke dokter
yang sudah dilakukan?
18. Apa saja obat-obatan Suntik 5x diperut
yang dikonsumsi? Bisoprolol 5 mg 30 tab 1x1
Furosemide tab 15 1x1/2
spironolactone 25 mg 15 1x1/2
Clopidogrel 75 mg 30 tab 1x
Miniaspi 30 tab 1x
19. Apakah Anda masih Ya, namun tidak ada hasil kontrol terakhir
rutin kontrol ke dokter?

58
3. Responden 3
A. Identitas Pasien
1. Nama : Tn. R
2. Umur : 70 th
3. Jenis kelamin : laki-laki
4. Alamat : Desa Kebayang tugomulyo
5. Pekerjaan : Petani

B. Gejala Klinis
No Pertanyaan Jawaban
1. Sejak kapan Anda mengetahui 2 bulan yang lalu
gagal jantung?
2. Apakah Anda pernah dirawat di Pernah di Tugomulyo
rumah sakit?
No. Pertanyaan Jawaban Keterangan
Ya Tidak
Keluhan utama saat datang berobat
3. Kriteria Framingham mayor
Apakah Anda mengalami sesak  Pada saat malam
nafas pada malam hari (Paroximal hari sesak secara
nocturnal dipnea)? tiba-tiba
4. Kriteria Framingham minor
Apakah terdapat bengkak pada  Bengkak di kedua
ekstremitas? (Esktremitas atas/ kaki
ekstremitas bawah)
5. Apakah Anda mengalami gejala 
seperti batuk pada malam hari?
6. Apakah sesak nafas yang Anda 
rasakan timbul saat melakukan

59
aktivitas dan berkurang saat
istirahat (Dispnea d’effort)?
7. Keluhan Tambahan
Apakah Anda mudah merasa 
lelah?
9. Apakah Anda merasa  Sering
mual/muntah?
10. Apakah Anda mudah merasa 
gelisah dan cemas?
No. Pertanyaan Jawaban
11. Sejak kapan keluhan ini 2 bulan yang lalu
dirasakan? (keluhan utama)
12. Bgaimana pola hidup pasien
selama ini?
a. Merokok Pernah, tapi sudah 10 tahun tidak
merokok lagi
b. Alkohol Tidak
c. Olahraga Sering
d. Makan Teratur
e. Minum (Kopi) Tidak
13. Riwayat penyakit sebelumnya
a. Kencing manis (Diabetes Tidak
Melitus)
b. Darah tinggi (Hipertensi) Ya
c. Penyakit paru-paru kronis Tidak
d. Asma Ya
e. Gagal ginjal Tidak
f. Lainnya.........
14. Apakah ada keluarga yang Iya, ada istri
memiliki penyakit yang sama?

60
C. Pemeriksaan Penunjang
No Pertanyaan Jawaban Keterangan
Ya Tidak
15. Pemeriksaan penunjang Pasien tidak membawa hasil
yang pernah dilakukan pemeriksaan penunjang
a. Foto Thoraks 
b. Elektrokardiografi 
c. Echocardiografi 
16. Apakah pernah 
melakukan pemeriksaan
laboratorium?

D. Tatalaksana
No Pertanyaan Jawaban
17. Apa saja pengobatan yang Hanya berobat ke dokter
sudah dilakukan?
18. Apa saja obat-obatan yang Pasien tidak mengetahui obat untuk Gagal
dikonsumsi? jantung dan hipertensi
Obat untuk asma menggunakan Teosal
19. Apakah Anda masih rutin Ya, namun tidak ada hasil kontrol terakhir
kontrol ke dokter?

4.2 Pembahasan
1. Responden 1
Pada responden pertama, Tn. A, berusia 26 tahun dan beralamat di
Jakabaring. Dari wawancara yang telah kami laksanakan didapatkan Tn. A
mengetahui bahwa ia mengalami gagal jantung saat Tn. A datang dengan
keluhan berupa sesak napas pada malam hari, memberat pada saat
beraktivitas dan berkurang saat istirahat. Pasien juga mengeluh sering batuk
pada malam hari, terdapat bengkak pada kaki dan mudah merasa lelah. Hal
ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa dalam mendiagnosis Gagal

61
jantung (CHF) dapat digunakan Framingham’s Score, gagal jantung dapat
ditegakkan apabila memenuhi minimal 2 kriteria major; atau 1 kriteria
major dan 2 kriteria minor (Panggabean, 2010).
Sesak napas pada malam hari yang dirasakan Tn. A masuk kedalam
kriteria mayor CHF yaitu Paroximal nocturnal dipnea. Sedangkan, sesak
napas yang memberat pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat
masuk kedalam kriteria minor CHF yaitu Dispnea d’effort. Pasien juga
mengeluh sering batuk pada malam hari dan bengkak pada ekstremitas
bawah yang juga termasuk kedalam kriteria minor CHF. Pasien juga
merasakan keluhan tambahan yaitu mudah merasa lelah. Mudah merasa
lelah terjadi karena curah jantung yang kurang, yang diakibatkan karena
kegagalan fungsi jantung dalam memompa darah keseluruh tubuh, hal ini
menyebabkan perfusi darah ke jaringan berkurang, sehingga oksigen dan
nutrisi pun tidak terpenuhi, akibatnya pasien akan mudah merasa lelah
(Miati, 2015). Dari keluhan yang dirasakan Tn. A sudah memenuhi 1
kriteria mayor dan 2 kriteria minor dari Gagal jantung menurut
Framingham’s Score (Panggabean, 2010).
Dari wawancara yang telah dilakukan, Tn. A memiliki kebiasaan
merokok yang sudah berlangsung ± 9 tahun (2005 – 2014), kebiasaan
merokok yang sudah lama sendiri pada saat ini merupakan salah satu faktor
resiko utama Gagal Jantung. Faktor resiko yang lainnya yang dapat
menyebabkan Gagal Jantung diantaranya pola makan, alkohol, dll. Tn. A
memiliki kebiasaan merokok pada usia 12 tahun, dimana semakin muda usia
seseorang untuk merokok, maka semakin lama terpapar asap rokok dan zat-
zat berbahaya lain yang terdapat dalam rokok. Bila proses tersebut
berlangsung lama dan terus-menerus, makan akan semakin banya racun
yang menumpuk di tubuh. Salah satu kandungan rokok yaitu nikotin.
Nikotin jika beredar dalam tubuh dapat merangsang ekskresi hormon
adrenalin yang menimbulkan peningkatan denyut jantung serta tekanan
darah serta mengubah metabolisme lemak sehingga kadar LDL meningkat
dan kadar HDL menurun. Nikotin dapat mengakibatkan kerusakan

62
pembuluh darah dan menyebabkan darah mudah menggumpal sehingga
memungkinkan terjadinya peningkatan denyut jantung dan tekanan darah
yang lama-kelamaan akan menyebabkan komplikasi gagal jantung (Yuliani,
2014).
Tn. A memiliki riwayat penyakit Tuberkulosis. Tuberkulosis paru
adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Mycrobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman tuberculosis
menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya (Depkes,
2009).
Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama
apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas
seluler yang akan membatasi pertumbuhannya (Amin & Asril, 2014).
Setelah menyerang paru-paru maka paru akan mengalami kerusakan
struktur dan pembuluh darah serta kehilangan kemampuan maksimal
sebagai organ yang menyaring darah yang banyak mengandung CO2 dari
sistemik untuk kembali ke jantung sehingga terjadilah hipertensi pulmonal.
Ketika terjadi hipertensi pulmonal maka kompensasi tubuh akan melakukan
pemompaan jantung terus menerus yang bertujuan agar darah yang di
supply ke jantung tercukupi hal ini menyebabkan terjadinya hipertropi pada
ventrikel kanan. Hal ini sesuai dengan teori (Harun dan Wijaya, 2014)
bahwa kor pulmonal adalah hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh
penyakit yang mengenai struktur dan pembuluh darah paru yang
menyebabkan terjadinya perbesaran ventrikel kanan (hipertropi atau
dilatasi) yang akan berlanjut menjadi gagal jantung kanan.
Dari hasil tanya jawab dengan pasien, pada tahun 2014 pasien
berobat dan didiagnosis TB oleh dokter. Pasien melakukan pengobatan
selam 6 bulan lalu kontrol ulang ke dokter. Dokter menambahkan waktu
pengobatan 3 bulan lagi, namun setelah 3 bulan memakan obat pasien tidak

63
lagi kontrol ke dokter. Pada tahun 2019 pasien datang dengan keluhan-
keluhan gagal jantung sehingga diperkirakan terjadinya infeksi TB berulang
pada pasien.
Pada jurnal American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine 2016 dalam laporan kasus terdapat kardiomiopati dilatasi pada
pasien tuberkulosis pulmonal dengan CHF. Jadi terdapat hubungan antara
penyakit tuberkulosis yang dialami pasien sebelumnya dengan gagal
jantung yang dialaminya sekarang.
Tn. A telah melakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
foto thorax, Elektrokardiogafi, dan Echokardiografi. Dari hasil foto thorax
yang didapatkan CTR >50% menunjukan terjadi pembesaran pada otot
jantung (Kardiomegali) dikarenakan adanya adanya plak atheromatous
sehingga tekanan aorta lebih tinggi dari ventrikel akan meningkatkan kerja
jantung terus menerus untuk memenuhi kebutuhan O2 melalui darah yang
mengalir melalui pembuluh yang mengandung plak sehingga terjadi
pembesaran otot jantung (miokardium) sebagai kompensasi untuk aliran
darah tinggi terjadi Hipertrofi pada ventrikel kiri sehingga terjadilah
Kardiomegali (Hanafiah, 2004).
Dari hasil pemeriksaan Echokardiografi didapatkan adanya
hipertrofi ventrikel kanan, dilatasi antrium kanan, EF (Ejection Fraction)
58% menunjukkan adanya penurunan fungsi pompa jantung (Ejection
Fraction) akan tetapi masih dalam batas normal dengan nilai normal 55% -
75%, TAPSE 3,1 cm menunjukkan bahwa fungsi ruang jantung sebelah
kanan secara keseluruhan masih baik, dimana TAPSE (Tricuspid Annular
Plane Systolic Excursion), merupakan ukuran bifisika untuk menilai fungsi
ruang jantung sebelah kanan, terutama ventrikel kanan, TAPSE yang
normal ialah >2cm (American Heart Association, 2017). Interpretasi dari
pemeriksaan Echocardiografi yang telah dilakukan, menunjukkan adanya
kardiomegali.
Tatalaksana yang diberikan pada Tn. A yaitu oksigen jangka
panjang ketika tekanan parsial oksigen di bawah 55 mmHg atau saturasi

64
oksigen berada di bawah 88%. Terapi oksigen tersebut dapat mengurangi
vasokontriksi dan menurunkan resistensi vaskuler paru yang kemudian
meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan dan terapi oksigen dapat
meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkankan hantaran oksigen
ke jantung, otak, dan organ vital lainnya.
Responden tidak mengetahui jenis obat apa yang diminum, menurut
Clyde (2013), CHF ec korpulmonal diberikan enalapril yang merupakan
golongan obat ACE inhibitor dengan dosis 6,25 – 50 mg, 2-3 kali sehari.
Obat ini mencegah angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu zat
vasokontriktor endogen. Penghambatan ini menyebabkan kadar angiotensin
II menurun. Ini mengakibatkan peningkatan aktivitas renin plasma dan
mengurangi sekresi aldosterone yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi
dan penurunan tekanan darah. Serta furosemide dengan dosis 20-40 mg, 1-
2 kali sehari.
Dari hasil pemeriksaan penunjang terakhir, berupa pemeriksaan foto
thoraks didapatkan, masih terlihat infiltrate di paru-paru responden.
Infiltrate adalah difusu atau penimbunan patologis substansi di suatu
jaringan yang normalnya tidak terdapat pada jaringan tersebut atau dalam
jumlah yang melibihi normal (Dorland, 2012). Serta terlihat kardiomegali
karena CTR>50% dan tampak rounded pada apex. Tetapi pada foto thoraks
ini, kardiomegali yang didapatkan tidak sebesar kardiomegali pada foto
thoraks pertama. Menurut Hasan (2015), jantung yang membesar akan
menyebabkan perubahan bentuk pada foto thoraks proyeksi PA akan terlihat
batas kanan jantung menonjol atau tampak rata pada bagian antara
perbatasan aorta, ateri pulmonalis dan atrium kiri dan batas kiri jantung
mencembung karena pembesaran atrium kiri.
Dari hasil pemeriksaan Elektrokardiografi terakhir, ditemukan
irama sinus, dengan laju regular, Heart Rate (HR) 116x/menit, mengalami
deviasi axis ke kiri ditunjukkan dari resultan pada sadapan 1 positif dan pada
sadapan avF negatif, terdapat hipertrofi ventrikel kanan. Pada pemeriksaan
EKG juga terlihat gelombang P Pulmonal pada lead II dan V1 yang

65
menunjukkan terjadi perbesaran atrium kanan. Ditemukan juga T inverted
pada sadapan V5 dan V6 yang menunjukkan adanya Old Miokard Infark
(OMI) lateral. Sedangkan, untuk interval PR, kompleks QRS, segmen ST,
dan interval QT normal. Interpretasi Elektrokardiografi terakhir yang
dilakukan menunjukkan takikardi, hipertrofi ventrikel kanan, hipertrofi
atrium kanan serta Old Miokard Infark (OMI).
Dari wawancara yang telah dilakukan dengan responden 1,
didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan responden sudah memenuhi kriteria Gagal jantung menurut
kriteria Framingham yaitu, Paroximal nocturnal dipnea, Dispnea d’effort,
batuk pada malam hari, edema ekstremitas, dan dari hasil pemeriksaan
penunjang didapatkan kardiomegali.

2. Responden 2
Pada responden kedua, Tn. M, berusia 47 tahun. Tn. M telah
didiagnosis menderita Cardiac Heart Failure (CHF) et causa Coronary
Artery Disease (CAD) sejak 16 juni 2019. Sempat diperbolehkan pulang,
tapi kemudian harus masuk unit gawat darurat lagi. Gejala yang dirasakan
oleh Tn. M berupa sesak nafas pada malam hari (paroksismal nocturnal
dyspnea), sesak saat berbaring terlentang sehingga untuk menguranginya
Tn. M tidur dengan bantal tinggi (orthopnea), sesak nafas saat aktivitas
(dyspnea d’effort). Hal ini sesuai dengan kriteria framingham mayor yaitu
paroksismal nocturnal dyspnea dan orthopnea. Tn. M juga mengalami
mudah merasa lelah, terdapat bengkak pada bagian kaki (edema extremitas
bawah), batuk pada malam hari. Hal ini sesuai dengan kriteria Framingham
minor yaitu edema ekstremitas dan batuk pada malam hari. Berdasarkan
kriteria Framingham, gagal jantung dapat ditegakkan dari 2 kriteria major
atau 1 kriteria major dan 2 kriteria minor. Maka, Tn. M dengan 2 kriteria
Framingham mayor dan 2 kriteria Framingham minor dapat ditenggakkan
diagnosis gagal jantung. Tn. M kadang merasa mual akibat perut keram dan
terkadang merasa gelisah dan cemas (Panggabean, 2010).

66
Diketahui dari riwayat penyakit terdahulu, Tn. M menderita
hipertensi tetapi tidak taat meminum obat anti hipertensi. Hal ini sesuai
dengan teori menurut Sudoyo (2014), dimana hipertensi merupakan etiologi
Gagal Jantung karena terjadi peningkatan tekanan darah. Tn. M merupakan
seorang perokok aktif dan menurut pengakuan istrinya, Tn. M jarang
berolahraga. Hal ini sesuai dengan teori menurut WHO (2016) dimana
kebiasaan merokok dan kurang aktivitas atau olahraga merupakan faktor
yang menjadi penyebab hipertensi, obesitas serta rehospitalisasi. Pada
riwayat penyakit keluarga juga ditemukan adanya keluarga yang menderita
hipertensi.
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan Tn. M yaitu, Foto
Thoraks, Elektrokardiografi dan Echocardiografi. Pada Foto Thoraks
didapatkan kardiomegali dengan dilatasi dan elongasi aorta serta edema
paru. Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan,
LVH, atau kadang oleh efusi perikard. Ini sesuai dengan teori Ramani
(2010) bahwa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien
gagal jantung adalah foto thoraks, elektrocardiografi, serta echocardiografi.
Pada hasil Elektrokardiografi, ditemukan irama sinus, dengan laju
regular, Heart Rate (HR) 100x/menit, dengan axis normal, terdapat
hipertrofi ventrikel kanan. Pada pemeriksaan EKG juga terlihat gelombang
P yang normal, interval PR normal, kompleks QRS normal, gelombang T
dan interval QT yang normal. Akan tetapi, terdapat ST elevasi dan Q
patologis pada sadapan V2, V3, V4 dan V5 . hal ini sesuai berdasarkan
penelitian, EKG pada pasien CHF et causa HHD memberikan gambaran
irama jantung yang normal atau takikardi, interval PR dan kompleks QRS
yang normal, aksis deviasi kekiri, elevasi dan depresi segmen ST pada
sadapan yang berbeda, terdapat LVH (Left Ventricular Hypertrophy),
iskemik miokard, dan Q patologis (Raka, 2015). Interpretasi
Elektrokardiografi yang dilakukan responden 2 menunjukkan adanya
hipertrofi pada ventrikel kanan, ST elevasi serta terdapat Q patologis pada
V2, V3, V4 dan V5.

67
Pada hasil Echocardiografi menunjukkan Regional Wall Motion
Abnormalities (RWMA) positif, Left Ventricular Hypertrophy (LVH), LA
dilatasi, mitral regurgitation, aortic regurgitation, disfungsi diastolik (+),
serta Ejection Fraction (EF) 43% menunjukkan adanya penurunan fungsi
pompa jantung (Ejection Fraction) dengan nilai normal 55% - 75%. Hal ini
sesuai dengan teori Ramani (2010) bahwa pemeriksaan echocardiografi
yang diduga mengalami gagal jantung akan menunjukkan disfungsi
ventrikel (sistolik dan diastolik), abnormalitas gerakan dinding dan
penurunan fungsi pompa jantung.
Untuk tatalaksana, Tn. M rutin kontrol ke dokter. Hasil terakhir
diberi obat pada tanggal 25 november 2019 yang kami lihat dari buku obat
RSMP, Tn. M diberi obat berupa bisoprolol 5mg 30 tab 1x1, furosemide tab
15 1x1/2, spironolactone 25 mg 15 1x1/2, clopidogrel 75mg 30 tab 1x,
miniaspi 30 tab 1x. Tn. A juga mengaku diberikan suntikan 5x diperut tetapi
Tn. A tidak tahu suntikan apa yang diberikan.
Pada tatalaksana ini sesuai dengan yang diberikan untuk penyakit
gagal jantung di berikan golongan diuretik loop yaitu furosemide dengan
efeknya dapat menghilangkan gagal jantung berat karena absorbsi usus. Hal
ini sesuai dengan teori Rang (2011), dimana Mekanisme kerja golongan
obat ini yaitu menghambat kotranspor Na/K/Cl dari membran lumen pada
pars asendens ansa. Karena itu, reabsorbsi Na, K, dan Cl menurun, sehingga
tidak menyebabkan peningkatan cairan tubuh. Furosemide memerlukan
waktu yang lebih panjang untuk diabsorpsi yaitu 2-3 jam, dan dengan durasi
efek yang lebih pendek yaitu 2-3 jam. Waktu paruh keduanya bergantung
pada fungsi ginjal.
Golongan beta blocker yaitu bisoprolol juga diberikan. Hal ini juga
sesuai dengan teori McMurray (2012), dimana beta blocker bekerja dengan
memblok paling tidak beberapa aktivitas simpatik dan meningkatkan
densitas reseptor beta serta menghasilkan sensitivitas jantung yang lebih
tinggi terhadap stimulasi inotropik katekolamin dala sirkulasi.

68
Clopidogrel merupakan generasi kedua dari golongan
thienopyridine, yang bekerja menghambat Adenosine Diphosphate (ADP)
dengan mengikat reseptor P2Y12 pada permukaan trombosit. Clopidogrel
merupakan prodrug yang dimetabolisme di hepar dan hanya sekitar 15%
saja yang menjadi metabolit aktif. Metabolit aktif clopidogrel ini akan
berikatan secara irreversibel dengan reseptor P2Y12 dalam mencegah
aktivasi dan agregasi trombosit yang diinduksi oleh ADP. Clopidogrel
sudah digunakan secara luas. Clopidogrel sangat bermanfaaat dalam
mengobati dan mencegah penyakit terkait trombosis (Amin. M, 2017).
Miniaspi adalah obat bermerek yang mengandung Acetylsalicylic
acid (asam asetil salisilat) sebagai anti trombotik. Obat ini digunakan untuk
mencegah agregasi platelet atau pembekuan darah pada pembuluh darah
(trombosis). Asam asetil salisilat (Aspirin) akan bekerja pada tubuh dengan
cara menghambat aktivitas enzim siklo-oksigenase melalui proses asetilasi
yang bersifat ireversibel (tidak dapat kembali seperti semula). Dengan kerja
penghambatan tersebut, maka asam asetilsalisilat dapat mencegah proses
pembentukan tromboksan A2 sehingga terjadi pecegahan terhadap
penimbunan platelet dan pencegahan terhadap proses pembekuan darah.
(Vane, JR, 2003).
Dari wawancara yang telah dilakukan dengan responden 2,
didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan responden sudah memenuhi kriteria Gagal jantung menurut
kriteria Framingham yaitu, Paroximal nocturnal dipnea, Dispnea d’effort,
edema ekstremitas, dan dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan
kardiomegali.

3. Responden 3
Pada responden ketiga, Tn.R, berusia 70 tahun. Tn. M telah
didiagnosis menderita Cardiac Heart Failure (CHF) et hypertensyve heart
disease sejak 2 bulan yang lalu. Sempat dirawat dirumah sakit krarena
mempunyai riwayat sakit asma. Gejala yang dirasakan oleh Tn. R berupa

69
merasa mudah lelah, sesak nafas pada malam hari (paroksismal nocturnal
dyspnea), sesak saat berbaring terlentang. sesak nafas saat aktivitas
(dyspnea d’effort). Hal ini sesuai dengan kriteria Framingham mayor yaitu
paroksismal nocturnal dyspnea dan orthopnea. Tn. M juga mengalami
mudah merasa lelah, terdapat bengkak pada bagian kaki (edema extremitas
bawah), dan batuk pada malam hari. Hal ini sesuai dengan kriteria
Framingham minor yaitu edema ekstremitas dan batuk pada malam hari.
Berdasarkan kriteria Framingham, Gagal jantung dapat ditegakkan dari 2
kriteria major atau 1 kriteria major dan 2 kriteria minor. Maka, Tn. R
dengan 2 kriteria Framingham mayor dan 2 kriteria Framingham minor
dapat ditegakkan diagnosis gagal jantung. Tn. R sering merasa mual dan
terkadang merasa gelisah dan cemas (Panggabean, 2010).
Diketahui dari riwayat penyakit terdahulu, Tn. R menderita
hipertensi dan riwayat penyakit asma tetapi tidak teratur dalam meminum
obat anti hipertensi, untuk asma nya dia biasa memkonsumsi obat asma
seperti beosal . Hal ini sesuai dengan teori menurut Sudoyo (2014), dimana
hipertensi merupakan etiologi Gagal Jantung karena terjadi peningkatan
tekanan darah. Tn. M merupakan seorang perokok aktif dan menurut
pengakuan istrinya, Tn. R sering berolahraga. Hal ini sesuai dengan teori
menurut WHO (2016), dimana kebiasaan merokok merupakan faktor yang
menjadi penyebab hipertensi, obesitas serta rehospitalisasi. Pada riwayat
penyakit keluarga juga ditemukan adanya keluarga yang menderita
hipertensi.
Pada saat wawancara, responden mengaku telah melakukan
pemeriksaan penunjang berupa Foto Thoraks. Akan tetapi, Pasien tidak
membawa hasil Foto Thoraks tersebut, sehingga tidak dapat diketahui
apakah terjadi kardiomegali atau tidak.
Untuk tatalaksana Gagal jantung yang dialami Tn.R kemungkinan
obat yang diberikan pada pasien ini adalah furosemid 1 x 40 mg. Furosemid
merupakan obat golongan loop diuretik yang bekerja di ansa henle.
Pemberian diuretik pada pasien gagal jantung bertujuan untuk menurunkan

70
preload. Adapun dosis yang dianjurkan oleh AHA adalah 0,5-1
mg/kgbb/kali. Namun, Furosemid merupakan diuretik yang dapat
menyebabkan efek samping berupa hipokalemia. Mengingat efek samping
tersebut maka sebaiknya pemberian furosemid disertai pemberian
spironolakton yang berperan dalam meretensi kalium darah atau dapat
diberikan substitusi kalium eksternal (McMurray, 2012).
Untuk tatalaksana asma yang dialami Tn. R, responden
menggunakan obat teosal. Teosal adalah obat golongan bronkodilator
dengan komposisi Salbutamol dan Theophylline. Salbutamol, Obat
golongan ini mempunyai mekanisme kerja yaitu dengan menyebabkan
bronkodilatasi, meningkatkan klirens mukosiliari, stabilitas sel mast dan
menstimulasi otot skelet. Obat yang bekerja selektif pada reseptor β2
merupakan bronkodilator paling efektif dengan efek samping yang lebih
minimal pada terapi asma. Obat ini tersedia dalam berbagai macam bentuk
sedian namun, selektifitas pada reseptor β2 akan meningkat, memberikan
efek yang lebih cepat, dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar
terhadap rangsangan yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan jika
diberikan secara sistemik (Depkes RI, 2007). Salbutamol merupakan obat
yang menstimulasi reseptor β terutama selektif pada reseptor β2 yang biasa
digunakan sebagai terapi asma akut dan asma akibat excercise karena
merupakan bronkodilator poten yang mempunyai onset cepat atau biasanya
disebut sebagai Short Acting β2-agonist (SABA). Menurut Depkes RI
(2017), dosis yang diberikan pada Dewasa dan anak (usia 12 tahun lebih):
dosis awal 2-4 mg 3-4 kali sehari dan tidak lebih dari 32 mg dalam sehari,
pada Anak-anak 6-12 tahun: 2 mg sebanyak 3 atau 4 kali sehari ,Pasien
lanjut usia dan sensitif terhadap stimulan β adrenergik: dosis awal 2 mg, 3
atau 4 kali sehari. Jika bronkodilatasi tidak tercapai, dosis dapat
ditingkatkan menjadi 8 mg, 3 atau 4 kali sehari (Depkes RI, 2007).
Untuk tatalaksana hipertensi yang dialami Tn.R kemungkinan
diberikan ACE inhibitor karena Tn.R mengaku, tekanan darah terakhir
mencapai 180/130, dimana pada pasien hipertensi ACE Inhibitor

71
(Captopril,Ramipril, dll) juga menjadi terapi pilihan. Tujuan utama
terapi pada pasien hipertensi adalah kontrol kadar tekanan darah, yang
dapat dicapai dengan obat yang berbeda yang juga mengurangi morbiditas
kardiovaskular selama pengobatan jangka panjang. Selain ACE Inhibitor,
obat hipertensi yang juga dapat digunakan adalah diuretik (Furosemid), b-
blocker, calcium channel blockers (Verapamil, Amlodipin,dll), dan
angiotensin II antagonis (PERKI, 2015).
Dari wawancara yang telah dilakukan dengan responden 3,
didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan responden sudah memenuhi kriteria Gagal jantung menurut
kriteria Framingham yaitu, Paroximal nocturnal dipnea, Dispnea d’effort,
batuk pada malam hari, edema ekstremitas.

72
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil observasi yang telah dilakukan di Rumah sakit Muhammadiyah
Palembang, dapat disimpulkan bahwa responden mengalami Gagal jantung.
1. Manifestasi klinis pada semua responden, yaitu sesak nafas pada malam
hari (Paroximal nocturnal dipnea), sesak nafas yang rasakan timbul saat
melakukan aktivitas dan berkurang saat istirahat (Dispnea d’effort), dan
mudah merasa lelah. Pada responden 2 dan 3, mengalami edem pada
ekstremitas inferior, mual dan mutah, serta mudah merasa cemas dan
gelisah. Sedangkan, pada responden 1 dan 3 mengalami batuk pada malam
hari.
2. Faktor penyebab Gagal jantung pada responden 1 adalah penyakit yang
diderita sebelumnya yaitu Tuberkulosis (TB). Sedangkan, faktor penyebab
Gagal jantung pada responden 2 dan 3 yaitu Hipertensi.
3. Penegakan diagnosis pada semua responden dilakukan berdasarkan
kriteria Framingham, melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang oleh dokter yang menangani responden. Semua
responden telah memenuhi lebih dari 2 kriteria major dan 2 kriteria minor
yang sudah dapat ditegakkan sebagai Gagal jantung.
4. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien Gagal jantung yakni selain
diberikan obat untuk gagal jantungnya, pasien juga diberikan obat untuk
penyebab dari terjadinya Gagal jantung tersebut, yakni obat anti
tuberkulosis dan obat anti hipertensi.
5. Pencegahan yang dapat dilakukan pada pasien Gagal jantung yaitu dengan
menjauhi faktor resiko yang dapat memperberat keadaan pasien tersebut.
Faktor resiko yang dapat di hindari seperti kebiasaan merokok, alkohol,
dan lain sebangainya. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan
memperbaiki pola makan dengan makan secara teratur dan bergizi serta
rutin melakukan olahraga.

73
5.1 Saran
1. Untuk Mahasiswa
Diharapkan ketika melakukan Tugas Pengenalan Profesi ini dapat mengerti
dengan baik manifestasi klinis, penegakan diagnosis, tatalaksana dan
komplikasi pada pasien sebelum melakukan Tugas Pengenalan Profesi di
lapangan.
2. Untuk Institusi
Diharapkan pada proses Tugas Pengenalan Profesi selanjutnya di terlebih
dahulu berkoordinasi dengan tempat pelaksanaan Tugas Pengenalan
Profesi.

74
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2017. Ejection Fraction Heart Failure Measurement.


Tersedia di:
Amin M, Chin L, Noor M, Kader M, Ibrahim B. 2017. The Personalization of
Clopidogrel Antiplatelet Therapy: The Role of Intrgrative Pharmacogenetics
and Pharmacometabolomics. Hindawi Cardiology Research And Practice.
Amin, Z., Asril, B. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Tuberkulosis Paru. Edisi
VI. Jilid I. Jakarta: Interna Publishing.
Cintyandy, Riza. 2014. Anestesia Jantung Kongenital. Jakarta: Aksara Bermakna.
Clyde, W, dkk. 2013. Guideline For The Management of Heart Failure. Amerika:
AHA.
Depkes RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma. Jakarta: Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan.
Depkes RI. 2009. Buku Saku Program Penanggulangan TB. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Dorland, W. A. 2012. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.

Eroschenko VP. 2018. Atlas histology difiore dengan korelasi fungsional edisi 12.
Jakarta: EGC
Ganiswara, S.G. 2016. Farmakologi dan Terapi, Edisi VI. Bagian Farmakologi
FKUI, Jakarta.
Gheorghiade, M et al. 2009. Acut Heart Failure Syndromes. Journal of the
American College of Cardiology Vol.53 Pg 557-573. Tersedia di:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/19215829/.
Hanafiah, A. 2004. Texbook of Cardiology. Jakarta: FK UI.
Harun, S., Wijaya, Ika P.2014 : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam:Kor Pulmonal
Kronik. Edisi VI. Jilid I. Jakarta: Interna Publishing
Hasan, Refli, dkk. 2015. Diagnostik Penunjang Rontgen Thoraks Dalam
Menegakkan Gagal Jantung. Medan: FK USU.

75
Hayaan, H. Al., Al-Harbi, A., Al-Jahdalin, H. Sherbini, A. 2016. Cardiomyopathy
Secondary To Tuberculosis: A Case Series and Review Of Literatures. Saudi
Arabia : American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine
193:A3777
Imaligy, E.U. 2014. Gagal Janung Pada Geriatri. Kalbemed CDK Edisi 212.
41(1):19-24.
Junquiera L, Carneiro J, Kelley O. 2010. Teks dan atlas histologi dasar. Edisi
ke−10. Jakarta: EGC.
Katzung BG. 2016. Farmakologi Dasar dan Klinik: Obat-Obat Kardiovaskular-
Ginjal. Edisi 10. Jakarta: EGC; Pg.240.
Lazenby, BR. 2011. Handbook Of Patophysiology Fourth Edition. China : Wolters
Kluwer Health.
McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, et al. 2012. ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task
Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2012 of the European Society of Cardiology. Developed in collaboration
with the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur Heart J
;34(2):158. Tersedia di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22611136.
Miati, Luji. 2015. Congestive Heart Failure (CHF) di RSUD dr. Goetang
Taroenadibrata. Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokwerto.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015. Pedoman
Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: PERKI.
Raka, M, Vennetia dan Wenny. 2015. Gambaran Aktivitas Listrik Jantung Pasien
Rawat Inap dengan Congestive Heart Failure (CHF) di Irina F-Jantung
RSUP Prof Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal E-Biomedika Vol.3(3).
Manado: Bagian Fisika Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.
Ramani GV, Uber PA, Mehra MR. 2010. Chronic heart fail-ure: contemporary
diagnosisandmanagement. Mayo Clin.Proc; 85:180–195.
Rang HP, Dale MM, Ritter JM, Flower RJ, Henderson G. 2011 Rang and Dale’s
Pharmacology: Drugs Affecting Major Organ Systems. 7th Edition.
Philadelphia: Elsevier Saunders; Pg. 353.

76
Rizka Febtrina dan Nurhayati. 2017. Hubungan Gaya hidup dengan Kejadian
Rawat Ulang Pasien Gagal Jantung di RSUD Arifin Achmad. Science and
Education Jurnal Vol. 11. Pekanbaru.
Panggabean, MM. 2010. Gagal Jantung. Dalam Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi
I, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-6. Jakarta: Interna
Publishing.
Price, S.A dan Wilson. 2014. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2014. Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-6.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC.
Siswanto, dkk. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jamtung. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
Suminar, RR Retno. 2013. Angka Kematian Operasi Jantung RSUP Dr. Kariadi
Semarang periode Januari 2011 – Januari 2013. Semarang: FK UNIMUS.
Tortora, DJ dan Derrickson. 2014. Principles Of Anatomy & Physiology 13th
Edition. United States of America : John Wiley & Sons, Inc.
WHO. 2014. The atlas Heart Disease and Stroke. Volume 84. WHO. New York.
Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawan
Dewasa Teori Dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika.
Wibowo, D.S Dan Paryana. 2015. Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha
Ilmu
World Health Organization (WHO). 2016. Prevention of Cardiovascular Disease.
WHO Epidemologi Sub Region AFRD and AFRE. Genewa.
Yudanto, Aruman. 2011. Prediktor Mortalitas Bedah Katup Mitral. Semarang:
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Yuliani, F., Oenzil, F., Iryani, D. 2014. Hubungan Berbagai Faktor Risiko
Terhadap Kejadian PJK. Jurnal Kesehatan Andalas.

77
LAMPIRAN

Responden 1

Wawancara bersama responden 1

Foto Thoraks pertama Foto Thoraks terakhir

78
Pemeriksaan EKG terakhir

79
Echocardiografi responden 1

Responden 2

Wawancara bersama responden 2

80
Echocardiografi responden 2 EKG responden 2

Responden 3

Foto bersama responden

81
DAFTAR PERTANYAAN
A. Identitas Pasien
1. Nama :
2. Umur :
3. Jenis kelamin :
4. Alamat :
5. Pekerjaan :

B. Gejala Klinis
No Pertanyaan Jawaban
2. Sejak kapan Anda mengetahui
gagal jantung?
2. Apakah Anda pernah dirawat di
rumah sakit?
No. Pertanyaan Jawaban Keterangan
Ya Tidak
Keluhan utama saat datang berobat
3. Kriteria Framingham mayor
Apakah Anda mengalami sesak
nafas pada malam hari (Paroximal
nocturnal dipnea)?
4. Kriteria Framingham minor
Apakah terdapat bengkak pada
ekstremitas? (Esktremitas atas/
ekstremitas bawah)
5. Apakah Anda mengalami gejala
seperti batuk pada malam hari?
6. Apakah sesak nafas yang Anda
rasakan timbul saat melakukan

82
aktivitas dan berkurang saat
istirahat (Dispnea d’effort)?
7. Keluhan Tambahan
Apakah Anda mudah merasa
lelah?
9. Apakah Anda merasa
mual/muntah?
10. Apakah Anda mudah merasa
gelisah dan cemas?
No. Pertanyaan Jawaban
11. Sejak kapan keluhan ini
dirasakan? (keluhan utama)
12. Bgaimana pola hidup pasien
selama ini?
f. Merokok
g. Alkohol
h. Olahraga
i. Makan
j. Minum (Kopi)
13. Riwayat penyakit sebelumnya
g. Kencing manis (Diabetes
Melitus)
h. Darah tinggi (Hipertensi)
i. Penyakit paru-paru kronis
j. Asma
k. Gagal ginjal
l. Lainnya.........

14. Apakah ada keluarga yang


memiliki penyakit yang sama?

83
C. Pemeriksaan Penunjang
No Pertanyaan Jawaban Keterangan
Ya Tidak
15. Pemeriksaan penunjang yang
pernah dilakukan
d. Foto Thoraks
e. Elektrokardiografi
f. Echocardiografi
(minta hasil pemeriksaan)
16. Apakah pernah melakukan
pemeriksaan laboratorium?

D. Tatalaksana
No Pertanyaan Jawaban
17. Apa saja pengobatan yang sudah
dilakukan?
18. Apa saja obat-obatan yang
dikonsumsi?
19. Apakah Anda masih rutin kontrol
ke dokter?
(Hasil terakhir kontrol)

84

Anda mungkin juga menyukai