Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dewasa ini, terjadi pergeseran yang signifikan mengenai penyakit-penyakit


yang banyak terdapat di masyarakat. Jika dahulu penyakit infeksi menjadi penyebab
kematian utama di masyarakat, maka sekarang ini penyakit kardiovaskular-lah yang
menempati posisi teratas. Perubahan ekonomi, sosial, pendidikan yang disertai
pengaruh life style yang buruk sedikit banyak mempengaruhi pergeseran ini.

Salah satu penyakit kardiovaskular yang banyak dialami oleh masyarakat


adalah Coronary Heart Disease atau yang biasa dikenal dengan penyakit jantung
koroner (PJK). Penyakit ini banyak terjadi di masyarakat oleh karena perubahan gaya
hidup yang tidak sehat di masyarakat. Banyak faktor-faktor risiko PJK yang berkaitan
dengan life style yang buruk.

Pada laporan ini, penulis akan membahas mengenai kelainan sistem


kardiovaskuler, khususnya mengenai Penyakit Jantung Koroner yang banyak terjadi
di masyarakat. Selain itu, penulis juga akan membahas mengenai fungsi fisiologis
kerja jantung.

B. SKENARIO

Berikut adalah kasus yang disajikan pada skenario pertama

Laki-laki 40 tahun, datang ke RS, dengan keluhan nyeri dada. Pada anamnesis
tidak didapatkan sesak nafas, lekas capek maupun dada berdebar-debar. Kebiasaan
merokok 2 bungkus sehari. Kebiasaan olahraga jarang, kadang-kadang seminggu
sekali. Riwayat penyakit tidak menderita diabetes mellitus. Dia takut terkena penyakit
jantung karena ayahnya pernah mengeluh nyeri dada, dirawat inap dan dinyatakan
menderita sakit jantung koroner.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan data: kesadaran compos mentis, tekanan


darah: 120/80 mmHg, denyut nadi: 80 x/menit, irama regular, isian cukup. Respirasi
rate: 18x/menit, JVP tidak meningkat.

Pada inspeksi menunjukkan apeks tidak ada heaving, nampak di linea


medioclavicularis sinistra SIC IV. Pada palpasi didapatkan apeks di SIC IV linea
medioclavicularis sinistra, tidak ada thrill. Pada perkusi didapatkan pinggang jantung
normal, apeks di SIC IV linea medioclavicularis sinistra. Pada auskultasi didapatkan
bunyi jantung I intensitas biasa, bunyi jantung II intensitas biasa, normal splitting.
Tidak ada bising, gallop maupun ronkhi.

1
Pemeriksaan laboratorium normal. Pemeriksaan tambahan EKG normal. Pada
foto thorax: CTR= 0,49, vaskularisasi perifer normal, aorta tidak menonjol, pinggang
jantung normal. Apeks tidak bergeser ke lateral atau lateral bawah. Pemeriksaan
exercise stress test (treadmill test) normal. Pemeriksaan echocardiografi menunjukkan
jantung dalam batas normal.

C. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan skenario pada poin B, maka didapatkan masalah yang


dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah mekanisme normal sistema Kardiovaskular ditinjau dari anatomi,


fisiologi, histology serta fisika?

2. Bagaimanakah patofisiologi dari gejala-gejala yang dialami pasien?

3. Apakah diagnosis penyakit pasien?

4. Apakah pengaruh kebiasaan pasien (merokok dan jarang berolahraga) terhadap


gejala yang dialami pasien?

5. Apakah hubungan antara diabetes mellitus dengan gejala penyakit pasien?

6. Adakah hubungan antara riwayat penyakit keluarga dengan gejala yang dialami
oleh pasien?

7. Apa saja jenis pemeriksaan yang diperlukan untuk penegakan diagnosis?

8. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit yang diderita pasien?

D. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

1. Untuk menjelaskan ilmu-ilmu dasar yang berhubungan dan melingkupi sistem


Kardiovaskular meliputi: anatomi, fisiologi, histologi, dan fisika.

2. Untuk menjelaskan sistem keseimbangan suplai oksigen di jantung dengan


besarnya kebutuhan oksigen pada miokardium dan gangguan yang terjadi
padanya.

3. Untuk menjelaskan klasifikasi macam-macam penyakit pada sistem


Kardiovaskular.

4. Untuk menjelaskan penyebab-penyebab terjadinya gangguan pada sistem


Kardiovaskular.

5. Untuk menjelaskan faktor-faktor pencetus terjadinya gangguan pada sistem


Kardiovaskular.

2
6. Untuk menjelaskan mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-
penyakit sistem Kardiovaskular meliputi patogenesa, patologi, dan patofisiologi.

7. Untuk menjelaskan komplikasi yang ditimbulkan pada penyakit-penyakit di


sistem Kardiovaskular.

8. Untuk menjelaskan manajemen/penatalaksanaan penyakit pada sistem


Kardiovaskular meliputi dasar-dasar terapi meliputi medikamentosa, konservatif,
diet, operatif, rehabilitasi, dll.

9. Untuk menjelaskan symptom dan gejala penyakit-penyakit pada sistem


Kardiovaskular.

10. Untuk menjelaskan penegakan diagnosis penyakit pada sistem Kardiovaskular.

E. HIPOTESIS

• Pasien mengalami stress psikogenik yang bersumber dari kekhawatiran akan


mengidap penyakit jantung koroner dikarenakan adanya riwayat PJK dari sang
ayah. Sehingga pasien tersebut mengalami nyeri dada dengan hal pemeriksaan
fisik maupun penunjang yang lain dalam batas normal.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI, HISTOLOGI, FISIOLOGI JANTUNG

1. ANATOMI JANTUNG

Jantung (cor) berbentuk conus dengan basis terletak di dorsocraniodexter


dan apex di ventrocaudosinister. Jantung memiliki 3 facies, yaitu facies
sternocostalis, facies diaphragmatica dan facies pulmonalis. Bagian dalam jantung
terdiri atas 4 ruang yaitu atrium cordis dextrum dan sinistrum serta ventriculus
cordis dexter dan sinister. Antara atrium cordis dextrum dan sinistrum dibatasi
septum interatriale. Padanya terdapat fossa ovalis yang merupakan obliterasi (sisa)
dari foramen ovale pada waktu janin. Antara ventriculus cordis dexter dan sinister
dibatasi oleh septum interventriculare yang terdiri dari pars membranacea dan pars
muscularis. Antara atrium dan ventriculus cordis dexter maupun sinister dibatasi
oleh ostium atrioventriculare dexter dan sinister. Padanya terdapat valvula (klep)
yang memisahkan kedua ruangan, yaitu valvula trikuspidalis di sisi kanan dan
valvula mitralis/bicuspidalis di sisi kiri. (Asisten Anatomi FK UNS 1999-2000,
2003).

3
Pada permukaan tubuh manusia, batas-batas jantung dapat diproyeksikan
sebagai berikut:

• Sinister (kiri): mulai dari SIC V 1 jari sebelah medial linea


medioclavicularis ke cranial (atas) sampai SIC II sinister pada linea
parasternalis.

• Cranial (atas): SIC II sinister pada linea parasternalis ke kanan


sampai tepi atas costa III dexter kurang lebih 2 cm dari linea sternalis.

• Dexter (kanan): tepi cranial (atas) costa III dexter, kurang lebih
2 cm dari linea sternalis terus ke tepi caudal costa V dexter.

• Caudal (bawah): dari costa V dexter sampai SIC V linea


medioclavicularis. (Asisten Anatomi FK UNS 1999-2000, 2003)

Sedangkan proyeksi valve (katup) yang menghubungkan ruangan di dalam


jantung adalah sebagai berikut:

• Valva tricuspidalis: SIC V dan cartilago costalis V dexter

• Valva bicuspidalis: SIC III dan cartilago costalis IV sinister

• Valva semilunaris aorta: cartilago costalis III dexter, pada


sternum sebelah linea mediana

• Valva semilunaris pulmonalis: cartilago costalis III sinister,


sternum sebelah kiri dari linea mediana. (Asisten Anatomi FK UNS
1999-2000, 2003)

Proyeksi-proyeksi tersebut memiliki peranan penting untuk melakukan


pemeriksaan fisik jantung, terutama untuk pemeriksaan auskultasi.

2. HISTOLOGI JANTUNG

Dinding jantung terutama terdiri dari serat-serat otot jantung yang tersusun
secara spiral dan saling berhubungan melalui diskus interkalatus. (Sherwood,
2001). Dinding jantung terdiri dari 3 lapisan berbeda, yaitu:

• Endokardium, adalah lapisan tipis endothelium, suatu jaringan


epitel unik yang melapisi bagian dalam seluruh sistem sirkulasi, di
sebelah dalam.

• Miokardium, yaitu lapisan tengah yang terdiri dari otot jantung,


membentuk sebagian besar dinding jantung.

• Epikardium adalah suatu membran tipis di bagian luar yang


membungkus jantung. (Sherwood, 2001)

4
Miokardium terdiri dari berkas-berkas serat otot jantung yang saling
menjalin dan tersusun melingkari jantung. Tiap-tiap sel otot jantung saling
berhubungan untuk membentuk serat yang bercabang-cabang, dengan sel-sel yang
berdekatan dihubungkan ujung ke ujung pada struktur khusus yang dikenal
sebagai diskus interkalatus (intercalated disc). Di dalam sebuah diskus
interkalatus terdapat dua jenis pertautan membran: desmosom dan gap junction.
Desmosom, sejenis taut lekat yang secara mekanis menyatukan sel-sel, banyak
dijumpai di jaringan yang sering mendapat tekanan mekanis, misalnya jantung.
Pada interval tertentu di sepanjang diskus interkalatus, kedua membran yang
berhadapan saling mendekat untuk membentuk gap junction, yaitu daerah-daerah
dengan resistensi listrik yang rendah dan memungkinkan potensial aksi menyebar
dari satu sel jantung ke sel di dekatnya. (Sherwood, 2001)

Tidak terdapat gap junction di antara sel-sel kontraktil atrium dan


ventrikel dan kedua massa otot itu dipisahkan oleh annulus fibrosus, yaitu rangka
fibrosa yang mengelilingi katup dan tidak dapat menghantarkan listrik. Namun,
terdapat suatu sistem penghantar khusus untuk mempermudah koordinasi
transmisi eksitasi listrik dari atrium ke ventrikel agar pemompaan atrium dari
ventrikel berjalan sinkron. (Sherwood, 2001)

3. FISIOLOGI JANTUNG

AKTIVITAS LISTRIK JANTUNG

Kontraksi sel otot jantung untuk mendorong darah dicetuskan oleh


potensial aksi yang menyebar melalui membrane sel-sel otot. Jantung berkontraksi
atau berdenyut secara berirama akibat potensial aksi yang ditimbulkannya sendiri,
suatu sifat yang dikenal sebagai otoritmisitas. (Sherwood, 2001)

Ada beberapa macam pembagian jenis otot jantung. Menurut Sherwood


(2001), terdapat dua jenis khusus sel otot jantung yaitu: sel kontraktil yang
menyusun 99% otot jantung dan sel otoritmik. Sel kontraktil adalah sel otot yang
melakukan kerja mekanis yaitu memompa dan pada keadaan normal tidak
menghasilkan sendiri potensial aksi. Sebaliknya, sel otoritmik tidak berkontraksi
tapi mengkhususkan diri mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi yang
bertanggung jawab untuk kontraksi sel-sel kontraktil. (Sherwood, 2001)

Guyton dan Hall (2008) membagi otot jantung menjadi tiga tipe utama
yakni: otot atrium, otot ventrikel, dan serabut otot eksitatorik dan konduksi
khusus. Tipe otot atrium dan ventrikel berkontraksi dengan cara yang sama seperti
otot rangka, hanya saja durasi kontraksi otot-otot tersebut lebih lama. Sebaliknya,
serabut-serabut khusus eksitatorik dan konduksi justru memperlihatkan pelepasan
muatan listrik berirama yang otomatis dalam bentuk potensial aksi atau konduksi
potensial aksi yang melalui jantung, yang bekerja sebagai suatu sistem eksitatorik
yang mengatur denyut jantung yang berirama. (Guyton dan Hall, 2008)

5
Kedua pembagian tersebut memperlihatkan suatu kesamaan pola, yakni
terdapat dua jenis otot jantung, yakni otot yang berfungsi secara mekanis untuk
kontraksi dan otot yang berfungsi pada sistem konduksi khusus.

Menurut Sherwood (2001), sel-sel otot jantung yang mampuu mengalami


otoritmisasi ditemukan di lokasi-lokasi sebagai berikut:

• Nodus Sinoatrium (nodus SA), daerah kecil khusus di dinding atrium


kanan dekat muara vena cava superior

• Nodus Atrioventrikel (nodus AV), sebuah berkas kecil sel-sel otot


jantung khusus di dasar atrium kanan dekat septum, tepat di atas pertautan
atrium dan ventrikel.

• Berkas His (berkas atrioventrikel), suatu jaras sel-sel khusus yang


berasal dari nodus AV dan masuk ke septum interventrikel, kemudian
bercabang membentuk berkas kanan dan kiri yang berjalan ke bawah melalui
septum, melingkari ujung bilik ventrikel dan kembali ke atrium di sepanjang
dinding luar.

• Serat Purkinje, serat-serat terminal halus yang berjalan dari berkas His
dan menyebar ke seluruh miokardium ventrikel.

Sel-sel otoritmik jantung tidak memiliki potensial istirahat. Sel-sel tersebut


memperlihatkan aktivitas pemacu (pacemaker activity), yaitu membran secara
perlahan mengalami depolarisasi, atau bergeser, antara potensial-potensial aksi
sampai ambang tercapai, pada saat membran mengalami potensial aksi. Melalui
siklus pergeseran dan pembentukan potensial aksi yang berulang-ulang tersebut,
sel-sel otoritmis ini secara siklis mencetuskan potensial aksi, yang kemudian
menyebar ke seluruh jantung untuk mencetuskan denyut secara berirama tanpa
perangsangan saraf apapun. (Sherwood, 2001)

Penyebab pergeseran potensial membran ke ambang secara umum


diperkirakan terjadi karena penurunan siklis fluks pasif K⁺ keluar yang
berlangsung bersamaan dengan kebocoran lamban Na⁺ ke dalam. Di sel-sel
otoritmik jantung, antara potensial aksi permeabilitas K⁺ tidak menetap seperti di
sel saraf dan sel otot rangka. Permeabilitas membran terhadap K⁺ menurun antara
potensial-potensial aksi, karena saluran K⁺ diinaktifkan, yang mengurangi aliran
keluar ion kalium positif mengikuti penurunan gradien konsentrasi mereka.
Karena influks pasif Na⁺ dalam jumlah kecil tidak berubah, bagian dalam secara
bertahap menjadi kurang negatif, yaitu, membran secara bertahap mengalami
depolarisasi dan bergeser ke arah ambang. Setelah ambang dicapai, terjadi fase
naik dari potensial aksi sebagai respons terhadap pengaktifan saluran Ca⁺⁺ dan
influks Ca⁺⁺ kemudian. Fase turun disebabkan oleh efluks K⁺ yang terjadi karena
peningkatan permeabilitas K⁺ akibat pengaktifan saluran K⁺. setelah potensial

6
aksi usai, inaktivasi saluran-saluran K⁺ ini mengawali depolarisasi berikutnya.
(Sherwood, 2001)

Dalam keadaan normal, nodus SA memperlihatkan kecepatan otoritmisitas


tertinggi, yaitu 70-80 potensial aksi/menit. Oleh karena hal tersebut, nodus SA
dikenal sebagai pacemaker (pemacu, penentu irama) jantung. Jaringan otoritmik
lain tidak bisa menjalankan kecepatan mereka yang rendah, karena sudah
diaktifkan oleh potensial aksi yang berasal dari nodus SA sebelum mereka sempat
mencapai potensial ambang. (Sherwood, 2001)

Setelah dimulai di nodus SA, potensial aksi akan menyebar ke seluruh


jantung. Agar jantung berfungsi secara efisien, penyebaran eksitasi harus
memenuhi tiga kriteria: eksitasi dan kontraksi atrium harus selesai sebelum
kontraksi ventrikel dimulai, eksitasi serat-serat otot jantung harus dikoordinasi
untuk memastikan bahwa setiap bilik jantung berkontraksi sebagai suatu
kesatuan untuk menghasilkan daya pompa yang efisien, serta pasangan atrium
dan pasangan ventrikel harus secara fungsional terkoordinasi sehingga kedua
anggota pasangan tersebut berkontraksi secara simultan. (Sherwood, 2001)

Eksitasi Atrium. Potensial aksi yang berasal dari nodus SA pertama kali
menyebar ke kedua atrium, terutama dari sel ke sel melalui gap junction. Selain
itu, potensial aksi juga melalui beberapa jalur pengantar khusus: jalur interatrium
yang berjalan dari nodus SA di dalam atrium kanan ke atrium kiri, memungkinkan
gelombang eksitasi dapat menyebar ke seluruh atrium kiri sehingga depolarisasi
serta kontraksi pada kedua atrium dapat berjalan bersamaan; serta jalur
internodus yang berjalan dari nodus SA ke nodus AV, untuk memastikan
kontraksi sekuensial ventrikel setelah kontraksi atrium.

Transmisi antara atrium dan ventrikel. Potensial aksi yang dihantarkan


akan menjadi relatif lebih lambat melalui nodus AV. Kelambatan itu bermaksud
untuk menyediakan waktu agar terjadi pengisian ventrikel sempurna.

Eksitasi ventrikel. Setelah perlambatan tersebut, impuls dengan cepat


berjalan melalui berkas His dan ke seluruh miokardium ventrikel melalui serat-
serat Purkinje. Ventrikel kontraksi.

B. BUNYI JANTUNG

Yang dimaksud dengan bunyi jantung adalah vibrasi pendek yang terdengar
pada siklus jantung yang dapat didengar dengan teknik tertentu. Biasanya ada dua
bunyi, bunyi jantung I dan II. Di antaranya ada dua interval yaitu sistole dan diastole.
Sistole adalah interval antara bunyi jantung I dan II dan diastole antara bunyi jantung
II dan I. (Lande & Pelupessy, 1989)

7
BUNYI JANTUNG NORMAL

Mekanisme terjadinya bunyi jantung khususnya bunyi jantung I masih


diperdebatkan namun semua pihak setuju bahwa ini berhubungan dengan penutupan
katup mitral/katup tricuspid yang terdengar paling baik di apeks. Bunyi jantung I
dapat dibagi atas 4 komponen:

1) Vibrasi berfrekuensi rendah dan intensitas kecil. Terjadi pada awal sistole
ventrikel; darah mengalir ke arah atrium untuk menutup katup-katup
atrioventrikuler. Vibrasi dan gerakan darah ini merupakan komponen I
yang terjadi mendahului peninggian tekanan intraventrikuler sebelum
katup-katup atrioventrikular tertutup/teregang.

2) Komponen II dengan frekuensi dan amplitude tinggi, mulai terdengar


bersamaan dengan saat gerakan darah yang menyebabkan katup
atrioventrikuler yang tertutup menjadi amat regang sehingga aliran darah
kembali ke arah ventrikel.

3) Komponen III mulai pada saat kontraksi ventrikel yang menyebabkan


peninggian tekanan intraventrikuler menjadi lebih besar daripada tekanan
dalam aorta/pulmonalis dan darah bergerak ke arah katup-katup
semilunaris. Oleh karena itu, bagian pertama dari darah yang bergerak
keluar dari ventrikel meregangkan bagian proksimal arteri-arteri tersebut.
Pelebaran tiba-tiba segmen proksimal arteri dapat menyebabkan
kembalinya darah ke arah ventrikel. Gerakan darah ke belakang dan ke
depan di antara pangkal arteri dan ruang-ruang ventrikel ini yang
menyebabkan komponen III bunyi jantung I. Frekuensi dan intensitasnya
seperti pada komponen II.

4) Komponen IV berupa vibrasi lemah bernada rendah disebabkan oleh


turbulensi darah yang mengalir cepat melalui aorta
ascendens/a.pulmonalis. (Lande & Pelupessy, 1989)

Biasanya hanya komponen II dan III yang terdengar, disebut M dan T.

Bunyi jantung II didahului oleh getaran berfrekuensi rendah mengiringi


perlambatan dan aliran darah yang terbalik dalam aorta dan pulmonalis sebelum
penutupan katup-katup semilunaris. Aliran darah yang terbalik terjadi pada saat
ventrikel relaksasi yaitu pada saat tekanan dalam ventrikel turun secara drastic.
Bagian bunyi jantung II terdengar mulai sejak penutupan dan teregangnya katup-
katup semilunaris. Jadi sebenarnya bunyi jantung II disebabkan oleh perlambatan
darah akibat proses penutupan katup-katup semilunaris aorta/pulmonalis dan bukan
oleh penutupan katup-katup tersebut. Bunyi jantung II diberi nama A dan P. Pada
bayi, anak dan dewasa muda, bunyi jantung II terdengar pecah pada inspirasi dan
tunggal pada ekspirasi. (Lande & Pelupessy, 1989)

8
Bunyi jantung III terjadi pada akhir fase pengisian cepat. Penghentian tiba-tiba
fase pengisian cepat menyebabkan seluruh sistem atrioventrikuler bergetar dengan
frekuensi sangat rendah sebab ventrikel dalam keadaan relaksasi; terdengar 0,1 -0,2
detik setelah bunyi jantung II. (Lande & Pelupessy, 1989)

BUNYI JANTUNG TAMBAHAN

• Bunyi jantung III yaitu bunyi jantung yang terdengar 0,14-0,16 detik setelah
bunyi jantung II dan didengar pada area apeks. Bunyi jantung III berintensitas
rendah dan merupakan bunyi yang dihasilkan karena aliran darah yang mendadak
dengan jumlah banyak dari atrium kiri ke ventrikel kiri, pada permulaan fase
diastolic. Biasanya terdapat pada kasus insufisiensi mitral.

• Bunyi jantung IV yaitu bunyi jantung yang terdengar sesaat sebelum bunyi
jantung I, yang juga dapat didengar di apeks. Merupakan bunyi akibat kontraksi
atrium yang kuat dalam memompakan darah ke ventrikel. Hal ini terjadi karena
terdapat bendungan di ventrikel sehingga atrium harus memompa lebih kuat
untuk mengosongkan atrium. Biasanya didapat pada kasus gagal jantung.

• Split BJ II yaitu BJ II terpecah dengan intensitas yang sama dan jarak


keduanya dekat. Hal ini terjadi karena penutupan katup-katup pulmonal dan aorta
tidak jatuh bersamaan sehingga tidak sinkron. Perbedaan ini terjadi karena
ventrikel kanan missal lebih besar sehingga katup pulmonal menutup lebih
lambat. Misalnya pada kasus ASD.

• Opening snap yaitu terbukanya katup mitral yang kaku dengan mendadak,
sehingga terdengar bunyi dengan intensitas tinggi sesudah BJ II. Didapat pada
kasus stenosis mitral.

• Aortic click adalah bunyi yang dihasilkan karena katup aorta yang membuka
secara cepat dan didapat pada kelainan stenosis aorta.

• Pericardial rub didapat pada kasus perikarditis konstriktiva, terjadi gesekan


antara perikard lapisan visceral dan lapisan parietal. Bunyi ini tidak dipengaruhi
oleh pernapasan. Bunyinya kasar dan dapat didengar di area trikuspidal dan
apikal dan bisa terdengar pada fase sistolik atau diastolik atau keduanya.
(Makmun & Abdurrachman, 2006)

BISING JANTUNG
Bising / murmur jantung merupakan bunyi aliran darah dalam struktur
vascular, dan digolongkan menurut tujuh sifat, yaitu intensitas, kualitas, frekuensi,
lama, konfigurasi, waktu dan penyebaran. Sebaian bising/murmur adalah inosen,
karena turbulensi aliran, tetapi jika patologis biasanya terkait dengan adanya gradien
tekanan antar ruang di mana darah mengalir ke ruang tersebut atau pada pembuluh
darah yang dituju. Murmur dapat terjadi pada fase-fase tertentu, seperti pada ejeksi

9
(mid) sistolik, holosistolik, akhir sistolik, sistolik arterial, awal diastolic, mid-
diastolik, akhir diastolic, dan kontinyu. (Gray dkk, 2005)
Setiap kali melakukan auskultasi pada titik-titik di area tertentu, harus
diperhatikan adanya bising jantung. Bila ada bising jantung, maka hal-hal yang perlu
diperhatikan sebagai berikut:
• Terletak di fase mana bising tersebut, yaiut dengan menentukan terlebih
dahulu yang mana BJ I dan setelah itu letak bising tersebut ditentukan.
• Kualitas bising tersebut: kasar/ halus.
• Punctum maksimum bising jantung, misalnya pada apeks, trikuspidal, atau
pada yang lain.
• Penjalaran
• Derajat intensitas bising, ada 6 tingkat yaitu:
- Derajat 1 terdengar samar-samar
- Derajat 2 terdengar halus
- Derajat 3 terdengar jelas dan agak keras
- Derajat 4 terdengar keras. Dapat juga dengan cara telapak tangan pemeriksa
diletakkan misalnya di apeks kemudian dapat didengar dengan stetoskop
yang diletakkan pada punggung telapak tangan tersebut.
- Derajat 5 terdengar sangat keras. Dapat dilakukan dengan cara telapak tangan
pemeriksa diletakkan di apeks, kemudian stetoskop diletakkan di lengan
bagian bawah dan bising jantung masih terdengar.
- Derajat 6 sudah terdengar meskipun stetoskop tidak diletakkan di dinding
dada. (Makmun & Abdurrachman, 2006)

C. PENYAKIT JANTUNG KORONER

FAKTOR RISIKO

Faktor resiko PJK terbagi menjadi faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan tidak
dapat dimodifikasi. Yang termasuk faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain
peningkatan kolesterol LDL, turunnya kolesterol HDL, hipertensi dan diabetes
mellitus (yang kesemuanya bersumber dari gaya hidup). Yang termasuk faktor resiko
yang tidak dapat dimodifikasi yaitu umur, jenis kelamin, dan riwayat PJK prematur
dalam keluarga. Obesitas, rendahnya aktivitas fisik dan stress psikogenik termasuk
faktor risiko minor untuk PJK. (Allison, 2007)

• Peningkatan kolesterol  kolesterol ditranspor dalam darah dalam bentuk


lipoprotein, 75% merupakan LDL dan 20% merupakan HDL. Kadar kolesterol
LDL yang rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan
terbalik antara kadar HDL dan insidensi PJK.

• Merokok  rokok menyebabkan: timbulnya aterosklerosis, peningkatan


trombogenesis dan vasokonstriksi (termasuk spasme arteri koroner);
peningkatan tekanan darah dan denyut jantung; provokasi aritmia jantung;

10
peningkatan kebutuhan oksigen miokard; penurunan kapasitas pengangkutan
oksigen. Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50% setelah satu
tahun berhenti merokok.

• Obesitas  faktor ini memiliki keterkaitan yang erat dengan peningkatan


tekanan darah, peningkatan kolesterol darah, diabetes mellitus tidak tergantung
insulin dan tingkat aktivitas rendah yang kesemuanya merupakan faktor risiko
PJK.

• Diabetes mellitus  mekanisme pasti mengenai peningkatan progresi PJK


pada pasien DM masih tidak jelas. Pasien DM tipe 2 mengalami penurunan
cadangan aliran darah, gangguan vasodilator koroner, gangguan faktor
pembekuan dan gangguan angiogenesis. DM merusak fungsi endotel yang
menyebabkan peningkatan adhesi monosit ke endotel. Disfungsi endotel pada
DM disebabkan inflamasi oleh karena advanced glycation end product (produk
AGE) yang mengaktivasi Faktor transkripsi nuclear proinflamasi, yang
menurunkan kadar nitric oxide. (Blackshear & Kantor, 2007)

• Hipertensi sistemik  setiap kenaikan sistolik 20 mmHg dan kenaikan


diastolic 10 mmHg, meningkatkan resiko kematian karena PJK dan stroke
hingga dua kali lipat. Mekanisme yang disetujui adalah bagaimana hipertensi
menyebabkan aterosklerosis oleh karena kerusakan endotel, masuk dan
terakumulasinya lipid di lapisan subintima, dan menstimulasi proliferasi sel otot
polos.(Blackshear & Kantor, 2007)

• Jenis kelamin laki-laki  faktor risiko ini berhubungan dengan hormonal.


Kadar HDL pada laki-laki lebih rendah dari wanita. Namun pada wanita yang
sudah menopause, resiko PJK meningkat menjadi setara risiko yang terjadi pada
laki-laki.

• Riwayat keluarga  berhubungan dengan faktor genetik yang mengatur


beberapa mekanisme tubuh, seperti kadar LDL dan HDL, reseptor LDL dalam
sel, serta faktor-faktor pembekuan.

• Kepribadian

• Aktivitas fisik

• Gangguan pembekuan

PATOFISIOLOGI

Penyakit jantung koroner (Coronary Heart Disease=CHD) berkembang


sebagai konsekuensi menurunnya aliran darah miokardium yang disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya aterosklerosis koroner. Aterosklerosis koroner dimulai

11
dari perlekatan lipid pada arteri koroner. Pertumbuhan aterosklerosis terlihat pada
jalur sebagai berikut:

1. Disfungsi endotel yang disebabkan oleh banyak faktor seperti merokok,


hipertensi, dan hiperlipidemia. Hal ini menyebabkan berbagai komponen dalam
darah dapat menyusup ke lapisan intima arteri.

2. Infiltrasi leukosit, lipid (yang dibawa oleh partikel LDL), dan makrofag ke lapisan
intima arteri dan terakumulasi.

3. Terjadi inflamasi, terbentuk foam cells (sel busa) yang berasal dari perubahan
makrofag setelah memakan komponen LDL. Sel busa akan terakumulasi, dan
akan menumpuk hingga lumen arteri. Penyakit ini masih reversible pada tahap ini
apabila level kolesterol LDL dalam darah menurun, partikel HDL meningkat, dan
terjadi perbaikan fungsi endotel.

4. Proliferasi dan migrasi sel otot polos dari lapisan media membentuk jaringan
fibrous di atas lesi. Tahap ini merupakan lesi kompleks yang sudah tidak
reversibel seluruhnya. Proliferasi vasa vasorum memberikan suplai darah pada lesi
tersebut.

5. Progresi plak dikarakterisasi oleh pertumbuhan nekrosis lemak, kalsifikasi,


perdarahan dengan plak, serta erosi permukaan dengan formasi bekuan non
obstruktif. Lamina elastika eksterna bisa melebar untuk mengimbangi
pertumbuhan plak tanpa perluasan daerah iskemik, tapi pada akhirnya lumen arteri
akan menyempit dan menyebabkan iskemia yang meluas selama periode stress
fisik maupun psikologis. Hal ini bisa menyebabkan silent ischemia atau malah
menyebabkan angina.

6. Penipisan jaringan fibrous yang disebabkan oleh matriks metalloproteinase yang


dilepaskan oleh makrofag, bersama dengan tekanan aliran darah di permukaan
lumen plak bisa menyebabkan rupture plak akut. Faktor-faktor seperti penggunaan
nikotin, stress fisik berat, dan stress psikologis juga berperan pada rupture plak
aterosklerosis. (Allison, 2007)

GEJALA KLINIS

Gejala klinis yang paling jelas terlihat adalah angina. Ada beberapa jenis angina,
yakni:

1. Angina stabil  adalah angina yang hilang dengan istirahat atau penghentian
stimulus. Gejala dicetuskan oleh iskemia miokard, biasanya muncul akibat
gangguan pasokan darah miokard sebagai konsekuensi dari stenosis (baik tetap
atau dinamis) bermakna ≥50% arteri koroner epikard. Pada angina stabil, gejala
bersifat reversibel dan tidak progresif.

12
2. Angina tidak stabil  angina dengan frekuensi dan derajat keparahan yang
meningkat, dengan serangan yang lebih lama dan hanya hilang sebagian dengan
nitrat sublingual. Riwayat penyakit biasanya pendek (beberapa minggu) dan
prognosis buruk; dengan kemungkinan bermakna untuk berkembang menjadi
infark miokard akut atau kematian mendadak. Gejala berhenti dengan cepat
seperti infark miokard akut.

3. Sindrom X  sindrom ini hanya untuk mendeskripsikan pasien dengan gejala


angina atipikal, sering tidak berkaitan dengan aktivitas, namun diprovokasi oleh
emosi, ansietas, atau memiliki karakteristik diurnal, dengan arteri koroner epikard
yang normal pada arteriogram.

4. Angina varian Prinzmetal  adalah gejala angina saat istirahat dan elevasi
segmen S-T pada elektrokardiogram yang menandakan iskemia transmural.
Keadaan ini berkaitan dengan adanya tonus arteri koroner yang bertambah, yang
hilang dengan pemberian nitrogliserin dan dapat diprovokasi oleh asetilkolin.

RIWAYAT KLINIS

• Nyeri dada

• Sesak napas

• Gangguan kesadaran (jarang terjadi)

• Tanda fisik: stigmata hiperlipidemia, peningkatan tekanan darah, takikardi,


peningkatan tekanan vena, pergeseran apeks saat palpasi prekordial, bunyi
jantung II abnormal pada auskultasi. (Gray dkk, 2005)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Elektrokardiogram istirahat

• Radiografi thoraks

• Stress test (treadmill test)

• Skintigrafi radionuklida

• Ekokardiografi stress

• Arteriografi koroner (Gray dkk, 2005)

13
TATALAKSANA MEDIS

• Umum  berhenti merokok, diet dan penurunan berat badan, olahraga, gaya
hidup yang sehat.

• Terapi spesifik  aspirin, nitrat, penyekat β, antagonis kalsium, nikorandil,


terapi penurunan lipid.

• Revaskularisasi koroner  coronary artery bypass grafting, angioplasty/stent


koroner, PMR/TMR (percutaneous and transmyocardial revascularization).
(Gray dkk, 2005)

BAB III

DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Pada kasus disebutkan seorang laki-laki 40 tahun dengan keluhan nyeri dada. Pasien
memiliki kebiasaan merokok 2 bungkus sehari dan jarang olahraga. Pasien tidak memiliki
riwayat diabetes mellitus. Pada anamnesis tidak didapatkan sesak nafas, lekas capek maupun
dada berdebar-debar. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium didapatkan hasil dalam batas
normal. Pasien memiliki ayah yang didiagnosis menderita penyakit jantung koroner.

Pada skenario disebutkan bahwa pasien memiliki ayah yang menderita penyakit
jantung koroner. Adanya riwayat penyakit jantung koroner dalam keluarga meningkatkan
kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. keturunan dari seorang penderita PJK
premature diketahui menyebabkan perubahan dalam penanda aterosklerosis awal, missal
reaktivitas arteria brakialis dan peningkatan tunika intima arteria karotis dan penebalan tunika
media. Adanya hipertensi, seperti peningkatan homosistein dan peningkatan lipid, ditemukan
pada individu tersebut. Penelitian yang telah dilakukan mengesankan bahwa adanya suatu
predisposisi genetik terhadap disfungsi endotel dalam arteri koronaria. (Brown, 2006)

Pada skenario disebutkan bahwa pasien tidak memiliki riwayat diabetes mellitus
(DM). Adanya riwayat DM pada seseorang meningkatkan resiko terkena PJK dua hingga
empat kali lebih tinggi daripada populasi umum. Penyakit DM merupakan faktor penyebab
dengan mekanisme yang cukup kompleks. Mekanisme pasti mengenai peningkatan progresi
PJK pada pasien DM masih tidak jelas. Pasien DM tipe 2 mengalami penurunan cadangan
aliran darah, gangguan vasodilator koroner, gangguan faktor pembekuan dan gangguan
angiogenesis. DM merusak fungsi endotel yang menyebabkan peningkatan adhesi monosit ke

14
endotel. Disfungsi endotel pada DM disebabkan inflamasi oleh karena advanced glycation
end product (produk AGE) yang mengaktivasi Faktor transkripsi nuclear proinflamasi, yang
menurunkan kadar nitric oxide. DM juga berefek pada fungsi platelet dan sistem koagulasi
yang merupakan faktor predisposisi terjadinya thrombosis koroner. Terjadi peningkatan
agregasi platelet, dan ikatan fibrinogen ke glikoprotein IIb/IIIa komplek. Pasien DM juga
memperlihatkan penurunan aktivitas fibrinolitik serta penurunan PAI-1 (Plasminogen
Activator Inhibitor-1). Aspek lain berkaitan dengan komplikasi non diabetik oleh pasien DM,
seperti hiperlipidemia, hipertensi, dsb. (Blackshear & Kantor, 2007)

Merokok merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya PJK. Zat-zat yang terdapat
dalam rokok (misal nikotin) menyebabkan disfungsi endotel. Hal ini dikombinasikan dengan
peningkatan kadar LDL darah menyebabkan akumulasi plak aterosklerotik yang apabila
terjadi pada pembuluh darah koroner, dapat menyebabkan PJK. Aktivitas fisik yang rendah
merupakan salah satu faktor risiko yang minor atau tidak terlalu berperan khusus. Aktivitas
fisik yang rendah berkaitan erat dengan obesitas, hiperlipidemia, DM dan gangguan
metabolik lain yang juga berefek pada terjadinya PJK.

Apabila terjadi iskemia miokard, nyeri dada yang timbul adalah karena saraf eferen
visceral yang terangsang selama terjadinya iskemik. Namun, cortex cerebral tidak bisa
menentukan penyebab atau sumber nyeri karena rangsang saraf melalui medulla spinalis T1-
T4 yang merupakan jalan rangsang saraf sensorik dari sistema somatis yang lain. Sifat
nyerinya adalah tumpul/ seperti tertekan pada bagian substernal yang menjalar ke aksila dan
turun ke bagian dalam lengan (terutama lengan kiri), bisa menjalar ke epigastrica, leher,
rahang, lidah, gigi, mastoid baik dengan/ tanpa nyeri substernal.

Berdasarkan analisis skenario, pasien mengalami stress psikogenik karena


kekhawatiran akan penyakit jantung koroner yang mungkin bisa diturunkan padanya,
sehingga pasien mengalami nyeri dada, namun pada pemeriksaan yang lain didapatkan hasil
normal.

Stress psikogenik yang dialami oleh pasien menyebabkan perangsangan saraf


simpatis pada sistema kardiovaskular. Saraf simpatis menyebabkan peningkatan denyut
jantung sehingga kerja jantung menjadi lebih keras. Karena kerja jantung meningkat,
otomatis jantung membutuhkan pasokan oksigen yang lebih banyak dari pembuluh koroner.
Di sisi lain, perangsangan saraf simpatis juga menyebabkan vasokonstriksi serta vasospasme
pembuluh darah, termasuk pembuluh darah koroner. Peningkatan kerja jantung dan
peningkatan kebutuhan akan oksigen yang tidak disertai bertambahnya pasokan aliran darah
pada pembuluh koroner menyebabkan otot-otot jantung kekurangan oksigen (iskemia) dan
terjadilah nyeri dada. Hal tersebut juga didukung dengan kebiasaan buruk pasien seperti
merokok dan kurang aktivitas.

15
BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

• Nyeri dada yang dialami oleh pasien kemungkinan adalah karena stress psikogenik
yang menyebabkan perangsangan saraf simpatis disertai mekanisme yang telah
dijelaskan.

• Pasien memiliki faktor risiko, baik yang dapat dimodifikasi (merokok dan kurang
aktivitas) maupun yang tidak dapat dimodifikasi (umur, jenis kelamin, riwayat PJK
dalam keluarga) sehingga pasien harus tetap waspada akan risiko terjadinya PJK.

SARAN

• Sebaiknya pasien segera melakukan follow up pemeriksaan lanjutan (yang sesuai


indikasi) untuk memastikan gangguan yang terjadi padanya.

• Sebaiknya pasien mau mengubah gaya hidupnya dengan berhenti merokok maupun
melakukan aktivitas olahraga yang cukup dan seimbang untuk mengurangi risiko
terjadinya PJK, mengingat pasien memiliki riwayat PJK pada keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA

A Muin Rahman. 2006. Angina Pectoris Stabil. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid
III edisi IV. Editor: Sudoyo, Aru dkk. Jakarta: PAPDI FKUI. pp: 1611-1614

Allison, Thomas G. 2007. Coronary Heart Disease Epidemiology. dalam Mayo Clinic
Cardiology. Editor: Joseph G Murphy & Margaret A Lloyd. Mayo Clinic Scientific
Press. pp: 687-693

Anang Budiyanto, dkk. 2003. Guidance to Anatomy II. Surakarta: Keluarga Besar Asisten
Anatomi FK UNS. pp: 43-53

Blackshear, Joseph & Kantor, Brigit. 2007. Pathogenesis of Atherosclerosis. . dalam Mayo
Clinic Cardiology. Editor: Joseph G Murphy & Margaret A Lloyd. Mayo Clinic
Scientific Press. pp: 689-705

Brown, Carol T. 2006. Penyakit Aterosklerotik Koroner. dalam Patofisiologi Konsep Klinis
dan Proses-Proses Penyakit. Editor: Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. Jakarta:
EGC. pp: 576-612

16
Chandrasoma, Parakrama & Taylor, Clive. 2006. Miokardium & Perikardium. dalam
RIngkasan Patologi Anatomi. Jakarta: EGC. pp: 331-336

Frye, Robert & Holmes, David. 2007. Diabetes Mellitus and Coronary Artery Disease. dalam
Mayo Clinic Cardiology. Editor: Joseph G Murphy & Margaret A Lloyd. Mayo Clinic
Scientific Press. pp: 735-738

Gray, Huon dkk. 2005. Pemeriksaan Sistem Kardiovaskular. dalam Lecture Notes
Kardiologi. Jakarta: Erlangga Medical Series. pp: 20-27

Gray, Huon dkk. 2005. Penyakit Jantung Koroner. dalam Lecture Notes Kardiologi. Jakarta:
Erlangga Medical Series. pp: 107-135

Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta: EGC. pp: 189-202

Hanafi B Trisnohadi. 2006. Angina Pectoris TIdak Stabil. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid III edisi IV. Editor: Sudoyo, Aru dkk. Jakarta: PAPDI FKUI. pp: 1606-
1610

Lukman Makmun & Nurhay Abdurachman. 2006. Pemeriksaan Fisis Jantung. dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi IV.editor: Sudoyo, Aru dkk. Jakarta: PAPDI
FKUI. pp: 48-50

Rante Lande & Pelupessy. 1989. Bunyi Jantung.


http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/56_04_BunyiJantung.pdf/56_04_BunyiJantung.
html (diakses tanggal 16 Februari 2009)

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. pp: 256-295

17

Anda mungkin juga menyukai