PENDAHULUAN
B. SKENARIO
Laki-laki 40 tahun, datang ke RS, dengan keluhan nyeri dada. Pada anamnesis
tidak didapatkan sesak nafas, lekas capek maupun dada berdebar-debar. Kebiasaan
merokok 2 bungkus sehari. Kebiasaan olahraga jarang, kadang-kadang seminggu
sekali. Riwayat penyakit tidak menderita diabetes mellitus. Dia takut terkena penyakit
jantung karena ayahnya pernah mengeluh nyeri dada, dirawat inap dan dinyatakan
menderita sakit jantung koroner.
1
Pemeriksaan laboratorium normal. Pemeriksaan tambahan EKG normal. Pada
foto thorax: CTR= 0,49, vaskularisasi perifer normal, aorta tidak menonjol, pinggang
jantung normal. Apeks tidak bergeser ke lateral atau lateral bawah. Pemeriksaan
exercise stress test (treadmill test) normal. Pemeriksaan echocardiografi menunjukkan
jantung dalam batas normal.
C. RUMUSAN MASALAH
6. Adakah hubungan antara riwayat penyakit keluarga dengan gejala yang dialami
oleh pasien?
2
6. Untuk menjelaskan mekanisme terjadinya kelainan pada sel/organ pada penyakit-
penyakit sistem Kardiovaskular meliputi patogenesa, patologi, dan patofisiologi.
E. HIPOTESIS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI JANTUNG
3
Pada permukaan tubuh manusia, batas-batas jantung dapat diproyeksikan
sebagai berikut:
• Dexter (kanan): tepi cranial (atas) costa III dexter, kurang lebih
2 cm dari linea sternalis terus ke tepi caudal costa V dexter.
2. HISTOLOGI JANTUNG
Dinding jantung terutama terdiri dari serat-serat otot jantung yang tersusun
secara spiral dan saling berhubungan melalui diskus interkalatus. (Sherwood,
2001). Dinding jantung terdiri dari 3 lapisan berbeda, yaitu:
4
Miokardium terdiri dari berkas-berkas serat otot jantung yang saling
menjalin dan tersusun melingkari jantung. Tiap-tiap sel otot jantung saling
berhubungan untuk membentuk serat yang bercabang-cabang, dengan sel-sel yang
berdekatan dihubungkan ujung ke ujung pada struktur khusus yang dikenal
sebagai diskus interkalatus (intercalated disc). Di dalam sebuah diskus
interkalatus terdapat dua jenis pertautan membran: desmosom dan gap junction.
Desmosom, sejenis taut lekat yang secara mekanis menyatukan sel-sel, banyak
dijumpai di jaringan yang sering mendapat tekanan mekanis, misalnya jantung.
Pada interval tertentu di sepanjang diskus interkalatus, kedua membran yang
berhadapan saling mendekat untuk membentuk gap junction, yaitu daerah-daerah
dengan resistensi listrik yang rendah dan memungkinkan potensial aksi menyebar
dari satu sel jantung ke sel di dekatnya. (Sherwood, 2001)
3. FISIOLOGI JANTUNG
Guyton dan Hall (2008) membagi otot jantung menjadi tiga tipe utama
yakni: otot atrium, otot ventrikel, dan serabut otot eksitatorik dan konduksi
khusus. Tipe otot atrium dan ventrikel berkontraksi dengan cara yang sama seperti
otot rangka, hanya saja durasi kontraksi otot-otot tersebut lebih lama. Sebaliknya,
serabut-serabut khusus eksitatorik dan konduksi justru memperlihatkan pelepasan
muatan listrik berirama yang otomatis dalam bentuk potensial aksi atau konduksi
potensial aksi yang melalui jantung, yang bekerja sebagai suatu sistem eksitatorik
yang mengatur denyut jantung yang berirama. (Guyton dan Hall, 2008)
5
Kedua pembagian tersebut memperlihatkan suatu kesamaan pola, yakni
terdapat dua jenis otot jantung, yakni otot yang berfungsi secara mekanis untuk
kontraksi dan otot yang berfungsi pada sistem konduksi khusus.
• Serat Purkinje, serat-serat terminal halus yang berjalan dari berkas His
dan menyebar ke seluruh miokardium ventrikel.
6
aksi usai, inaktivasi saluran-saluran K⁺ ini mengawali depolarisasi berikutnya.
(Sherwood, 2001)
Eksitasi Atrium. Potensial aksi yang berasal dari nodus SA pertama kali
menyebar ke kedua atrium, terutama dari sel ke sel melalui gap junction. Selain
itu, potensial aksi juga melalui beberapa jalur pengantar khusus: jalur interatrium
yang berjalan dari nodus SA di dalam atrium kanan ke atrium kiri, memungkinkan
gelombang eksitasi dapat menyebar ke seluruh atrium kiri sehingga depolarisasi
serta kontraksi pada kedua atrium dapat berjalan bersamaan; serta jalur
internodus yang berjalan dari nodus SA ke nodus AV, untuk memastikan
kontraksi sekuensial ventrikel setelah kontraksi atrium.
B. BUNYI JANTUNG
Yang dimaksud dengan bunyi jantung adalah vibrasi pendek yang terdengar
pada siklus jantung yang dapat didengar dengan teknik tertentu. Biasanya ada dua
bunyi, bunyi jantung I dan II. Di antaranya ada dua interval yaitu sistole dan diastole.
Sistole adalah interval antara bunyi jantung I dan II dan diastole antara bunyi jantung
II dan I. (Lande & Pelupessy, 1989)
7
BUNYI JANTUNG NORMAL
1) Vibrasi berfrekuensi rendah dan intensitas kecil. Terjadi pada awal sistole
ventrikel; darah mengalir ke arah atrium untuk menutup katup-katup
atrioventrikuler. Vibrasi dan gerakan darah ini merupakan komponen I
yang terjadi mendahului peninggian tekanan intraventrikuler sebelum
katup-katup atrioventrikular tertutup/teregang.
8
Bunyi jantung III terjadi pada akhir fase pengisian cepat. Penghentian tiba-tiba
fase pengisian cepat menyebabkan seluruh sistem atrioventrikuler bergetar dengan
frekuensi sangat rendah sebab ventrikel dalam keadaan relaksasi; terdengar 0,1 -0,2
detik setelah bunyi jantung II. (Lande & Pelupessy, 1989)
• Bunyi jantung III yaitu bunyi jantung yang terdengar 0,14-0,16 detik setelah
bunyi jantung II dan didengar pada area apeks. Bunyi jantung III berintensitas
rendah dan merupakan bunyi yang dihasilkan karena aliran darah yang mendadak
dengan jumlah banyak dari atrium kiri ke ventrikel kiri, pada permulaan fase
diastolic. Biasanya terdapat pada kasus insufisiensi mitral.
• Bunyi jantung IV yaitu bunyi jantung yang terdengar sesaat sebelum bunyi
jantung I, yang juga dapat didengar di apeks. Merupakan bunyi akibat kontraksi
atrium yang kuat dalam memompakan darah ke ventrikel. Hal ini terjadi karena
terdapat bendungan di ventrikel sehingga atrium harus memompa lebih kuat
untuk mengosongkan atrium. Biasanya didapat pada kasus gagal jantung.
• Opening snap yaitu terbukanya katup mitral yang kaku dengan mendadak,
sehingga terdengar bunyi dengan intensitas tinggi sesudah BJ II. Didapat pada
kasus stenosis mitral.
• Aortic click adalah bunyi yang dihasilkan karena katup aorta yang membuka
secara cepat dan didapat pada kelainan stenosis aorta.
BISING JANTUNG
Bising / murmur jantung merupakan bunyi aliran darah dalam struktur
vascular, dan digolongkan menurut tujuh sifat, yaitu intensitas, kualitas, frekuensi,
lama, konfigurasi, waktu dan penyebaran. Sebaian bising/murmur adalah inosen,
karena turbulensi aliran, tetapi jika patologis biasanya terkait dengan adanya gradien
tekanan antar ruang di mana darah mengalir ke ruang tersebut atau pada pembuluh
darah yang dituju. Murmur dapat terjadi pada fase-fase tertentu, seperti pada ejeksi
9
(mid) sistolik, holosistolik, akhir sistolik, sistolik arterial, awal diastolic, mid-
diastolik, akhir diastolic, dan kontinyu. (Gray dkk, 2005)
Setiap kali melakukan auskultasi pada titik-titik di area tertentu, harus
diperhatikan adanya bising jantung. Bila ada bising jantung, maka hal-hal yang perlu
diperhatikan sebagai berikut:
• Terletak di fase mana bising tersebut, yaiut dengan menentukan terlebih
dahulu yang mana BJ I dan setelah itu letak bising tersebut ditentukan.
• Kualitas bising tersebut: kasar/ halus.
• Punctum maksimum bising jantung, misalnya pada apeks, trikuspidal, atau
pada yang lain.
• Penjalaran
• Derajat intensitas bising, ada 6 tingkat yaitu:
- Derajat 1 terdengar samar-samar
- Derajat 2 terdengar halus
- Derajat 3 terdengar jelas dan agak keras
- Derajat 4 terdengar keras. Dapat juga dengan cara telapak tangan pemeriksa
diletakkan misalnya di apeks kemudian dapat didengar dengan stetoskop
yang diletakkan pada punggung telapak tangan tersebut.
- Derajat 5 terdengar sangat keras. Dapat dilakukan dengan cara telapak tangan
pemeriksa diletakkan di apeks, kemudian stetoskop diletakkan di lengan
bagian bawah dan bising jantung masih terdengar.
- Derajat 6 sudah terdengar meskipun stetoskop tidak diletakkan di dinding
dada. (Makmun & Abdurrachman, 2006)
FAKTOR RISIKO
Faktor resiko PJK terbagi menjadi faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan tidak
dapat dimodifikasi. Yang termasuk faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain
peningkatan kolesterol LDL, turunnya kolesterol HDL, hipertensi dan diabetes
mellitus (yang kesemuanya bersumber dari gaya hidup). Yang termasuk faktor resiko
yang tidak dapat dimodifikasi yaitu umur, jenis kelamin, dan riwayat PJK prematur
dalam keluarga. Obesitas, rendahnya aktivitas fisik dan stress psikogenik termasuk
faktor risiko minor untuk PJK. (Allison, 2007)
10
peningkatan kebutuhan oksigen miokard; penurunan kapasitas pengangkutan
oksigen. Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50% setelah satu
tahun berhenti merokok.
• Kepribadian
• Aktivitas fisik
• Gangguan pembekuan
PATOFISIOLOGI
11
dari perlekatan lipid pada arteri koroner. Pertumbuhan aterosklerosis terlihat pada
jalur sebagai berikut:
2. Infiltrasi leukosit, lipid (yang dibawa oleh partikel LDL), dan makrofag ke lapisan
intima arteri dan terakumulasi.
3. Terjadi inflamasi, terbentuk foam cells (sel busa) yang berasal dari perubahan
makrofag setelah memakan komponen LDL. Sel busa akan terakumulasi, dan
akan menumpuk hingga lumen arteri. Penyakit ini masih reversible pada tahap ini
apabila level kolesterol LDL dalam darah menurun, partikel HDL meningkat, dan
terjadi perbaikan fungsi endotel.
4. Proliferasi dan migrasi sel otot polos dari lapisan media membentuk jaringan
fibrous di atas lesi. Tahap ini merupakan lesi kompleks yang sudah tidak
reversibel seluruhnya. Proliferasi vasa vasorum memberikan suplai darah pada lesi
tersebut.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang paling jelas terlihat adalah angina. Ada beberapa jenis angina,
yakni:
1. Angina stabil adalah angina yang hilang dengan istirahat atau penghentian
stimulus. Gejala dicetuskan oleh iskemia miokard, biasanya muncul akibat
gangguan pasokan darah miokard sebagai konsekuensi dari stenosis (baik tetap
atau dinamis) bermakna ≥50% arteri koroner epikard. Pada angina stabil, gejala
bersifat reversibel dan tidak progresif.
12
2. Angina tidak stabil angina dengan frekuensi dan derajat keparahan yang
meningkat, dengan serangan yang lebih lama dan hanya hilang sebagian dengan
nitrat sublingual. Riwayat penyakit biasanya pendek (beberapa minggu) dan
prognosis buruk; dengan kemungkinan bermakna untuk berkembang menjadi
infark miokard akut atau kematian mendadak. Gejala berhenti dengan cepat
seperti infark miokard akut.
4. Angina varian Prinzmetal adalah gejala angina saat istirahat dan elevasi
segmen S-T pada elektrokardiogram yang menandakan iskemia transmural.
Keadaan ini berkaitan dengan adanya tonus arteri koroner yang bertambah, yang
hilang dengan pemberian nitrogliserin dan dapat diprovokasi oleh asetilkolin.
RIWAYAT KLINIS
• Nyeri dada
• Sesak napas
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Elektrokardiogram istirahat
• Radiografi thoraks
• Skintigrafi radionuklida
• Ekokardiografi stress
13
TATALAKSANA MEDIS
• Umum berhenti merokok, diet dan penurunan berat badan, olahraga, gaya
hidup yang sehat.
BAB III
Pada kasus disebutkan seorang laki-laki 40 tahun dengan keluhan nyeri dada. Pasien
memiliki kebiasaan merokok 2 bungkus sehari dan jarang olahraga. Pasien tidak memiliki
riwayat diabetes mellitus. Pada anamnesis tidak didapatkan sesak nafas, lekas capek maupun
dada berdebar-debar. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium didapatkan hasil dalam batas
normal. Pasien memiliki ayah yang didiagnosis menderita penyakit jantung koroner.
Pada skenario disebutkan bahwa pasien memiliki ayah yang menderita penyakit
jantung koroner. Adanya riwayat penyakit jantung koroner dalam keluarga meningkatkan
kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. keturunan dari seorang penderita PJK
premature diketahui menyebabkan perubahan dalam penanda aterosklerosis awal, missal
reaktivitas arteria brakialis dan peningkatan tunika intima arteria karotis dan penebalan tunika
media. Adanya hipertensi, seperti peningkatan homosistein dan peningkatan lipid, ditemukan
pada individu tersebut. Penelitian yang telah dilakukan mengesankan bahwa adanya suatu
predisposisi genetik terhadap disfungsi endotel dalam arteri koronaria. (Brown, 2006)
Pada skenario disebutkan bahwa pasien tidak memiliki riwayat diabetes mellitus
(DM). Adanya riwayat DM pada seseorang meningkatkan resiko terkena PJK dua hingga
empat kali lebih tinggi daripada populasi umum. Penyakit DM merupakan faktor penyebab
dengan mekanisme yang cukup kompleks. Mekanisme pasti mengenai peningkatan progresi
PJK pada pasien DM masih tidak jelas. Pasien DM tipe 2 mengalami penurunan cadangan
aliran darah, gangguan vasodilator koroner, gangguan faktor pembekuan dan gangguan
angiogenesis. DM merusak fungsi endotel yang menyebabkan peningkatan adhesi monosit ke
14
endotel. Disfungsi endotel pada DM disebabkan inflamasi oleh karena advanced glycation
end product (produk AGE) yang mengaktivasi Faktor transkripsi nuclear proinflamasi, yang
menurunkan kadar nitric oxide. DM juga berefek pada fungsi platelet dan sistem koagulasi
yang merupakan faktor predisposisi terjadinya thrombosis koroner. Terjadi peningkatan
agregasi platelet, dan ikatan fibrinogen ke glikoprotein IIb/IIIa komplek. Pasien DM juga
memperlihatkan penurunan aktivitas fibrinolitik serta penurunan PAI-1 (Plasminogen
Activator Inhibitor-1). Aspek lain berkaitan dengan komplikasi non diabetik oleh pasien DM,
seperti hiperlipidemia, hipertensi, dsb. (Blackshear & Kantor, 2007)
Merokok merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya PJK. Zat-zat yang terdapat
dalam rokok (misal nikotin) menyebabkan disfungsi endotel. Hal ini dikombinasikan dengan
peningkatan kadar LDL darah menyebabkan akumulasi plak aterosklerotik yang apabila
terjadi pada pembuluh darah koroner, dapat menyebabkan PJK. Aktivitas fisik yang rendah
merupakan salah satu faktor risiko yang minor atau tidak terlalu berperan khusus. Aktivitas
fisik yang rendah berkaitan erat dengan obesitas, hiperlipidemia, DM dan gangguan
metabolik lain yang juga berefek pada terjadinya PJK.
Apabila terjadi iskemia miokard, nyeri dada yang timbul adalah karena saraf eferen
visceral yang terangsang selama terjadinya iskemik. Namun, cortex cerebral tidak bisa
menentukan penyebab atau sumber nyeri karena rangsang saraf melalui medulla spinalis T1-
T4 yang merupakan jalan rangsang saraf sensorik dari sistema somatis yang lain. Sifat
nyerinya adalah tumpul/ seperti tertekan pada bagian substernal yang menjalar ke aksila dan
turun ke bagian dalam lengan (terutama lengan kiri), bisa menjalar ke epigastrica, leher,
rahang, lidah, gigi, mastoid baik dengan/ tanpa nyeri substernal.
15
BAB IV
SIMPULAN
• Nyeri dada yang dialami oleh pasien kemungkinan adalah karena stress psikogenik
yang menyebabkan perangsangan saraf simpatis disertai mekanisme yang telah
dijelaskan.
• Pasien memiliki faktor risiko, baik yang dapat dimodifikasi (merokok dan kurang
aktivitas) maupun yang tidak dapat dimodifikasi (umur, jenis kelamin, riwayat PJK
dalam keluarga) sehingga pasien harus tetap waspada akan risiko terjadinya PJK.
SARAN
• Sebaiknya pasien mau mengubah gaya hidupnya dengan berhenti merokok maupun
melakukan aktivitas olahraga yang cukup dan seimbang untuk mengurangi risiko
terjadinya PJK, mengingat pasien memiliki riwayat PJK pada keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
A Muin Rahman. 2006. Angina Pectoris Stabil. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid
III edisi IV. Editor: Sudoyo, Aru dkk. Jakarta: PAPDI FKUI. pp: 1611-1614
Allison, Thomas G. 2007. Coronary Heart Disease Epidemiology. dalam Mayo Clinic
Cardiology. Editor: Joseph G Murphy & Margaret A Lloyd. Mayo Clinic Scientific
Press. pp: 687-693
Anang Budiyanto, dkk. 2003. Guidance to Anatomy II. Surakarta: Keluarga Besar Asisten
Anatomi FK UNS. pp: 43-53
Blackshear, Joseph & Kantor, Brigit. 2007. Pathogenesis of Atherosclerosis. . dalam Mayo
Clinic Cardiology. Editor: Joseph G Murphy & Margaret A Lloyd. Mayo Clinic
Scientific Press. pp: 689-705
Brown, Carol T. 2006. Penyakit Aterosklerotik Koroner. dalam Patofisiologi Konsep Klinis
dan Proses-Proses Penyakit. Editor: Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. Jakarta:
EGC. pp: 576-612
16
Chandrasoma, Parakrama & Taylor, Clive. 2006. Miokardium & Perikardium. dalam
RIngkasan Patologi Anatomi. Jakarta: EGC. pp: 331-336
Frye, Robert & Holmes, David. 2007. Diabetes Mellitus and Coronary Artery Disease. dalam
Mayo Clinic Cardiology. Editor: Joseph G Murphy & Margaret A Lloyd. Mayo Clinic
Scientific Press. pp: 735-738
Gray, Huon dkk. 2005. Pemeriksaan Sistem Kardiovaskular. dalam Lecture Notes
Kardiologi. Jakarta: Erlangga Medical Series. pp: 20-27
Gray, Huon dkk. 2005. Penyakit Jantung Koroner. dalam Lecture Notes Kardiologi. Jakarta:
Erlangga Medical Series. pp: 107-135
Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta: EGC. pp: 189-202
Hanafi B Trisnohadi. 2006. Angina Pectoris TIdak Stabil. dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid III edisi IV. Editor: Sudoyo, Aru dkk. Jakarta: PAPDI FKUI. pp: 1606-
1610
Lukman Makmun & Nurhay Abdurachman. 2006. Pemeriksaan Fisis Jantung. dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi IV.editor: Sudoyo, Aru dkk. Jakarta: PAPDI
FKUI. pp: 48-50
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. pp: 256-295
17