Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KASUS PROFESI FISIOTERAPI

Halaman Judul
MANAJEMEN FISIOTERAPI KARDIOVASKULER PADA PASIEN
CORONARY ARTERY DISEASE POST CORONARY ARTERY BYPASS
GRAFT

NURINDA K. RAHIM, S.Ft


R024211021

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR

2022

i
LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan kasus profesi fisioterapi di Pusat Jantung Terpadu RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo dengan judul “Manajemen Fisioterapi Kardiovaskular pada Pasien Post
Coronary Artery Bypass Graft e.c Coronary Artery Disease 2 Vessel Disease”.

Pada tanggal 30 September 2022

Mengetahui,

Clinical Instructor Clinical Educator

Ismail Muhammad, S.Ft.,Physio Salki Sadmita, S.Ft., Physio., M. Kes

ii
Kata Pengantar

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penyusun akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan Laporan
Studi Kasus dengan judul “Manajemen Fisioterapi Kardiovaskuler Pada Pasien Post
Coronary Artery Bypass Graft e.c Coronary Artery Disease 2 Vessel Disease”. Penyusunan
laporan studi kasus ini merupakan salah satu tugas pada pelaksanaan Mata Kuliah Manajemen
Fisioterapi Kardiovaskularpulmonal yang diharapkan dapat memberikan gambaran intervensi
fisioterapi dalam kasus-kasus Kardiovaskularpulmonal.
Dalam penyusunan laporan saya menyampaikan rasa terima kasih kepada Clinical
Instructor, Clinical Educator dan pihak lainnya yang telah membimbing dalam pelaksanaan
pembelajaran ini. Saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga laporan ini
memberikan manfaat bagi semua pihak.

Makassar, 26 September 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN......................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iv
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................................................v
DAFTAR TABEL.....................................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG....................................................................................................1
B. TUJUAN PRAKTIK.......................................................................................................2
C. MANFAAT PRAKTIK...................................................................................................3
D. TEMPAT & WAKTU.....................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................4
A. DEFINISI........................................................................................................................4
B. EPIDEMIOLOGI............................................................................................................5
C. ETIOLOGI......................................................................................................................6
D. PATOFISIOLOGI...........................................................................................................6
E. MANIFESTASI KLINIK................................................................................................7
F. PEMERIKSAAN SPESIFIK..........................................................................................8
G. PENANGANAN FISIOTERAPI..................................................................................11
BAB III MANAJEMEN FISIOTERAPI.................................................................................14
A. IDENTITAS PASIEN...................................................................................................14
B. ASESMEN FISIOTERAPI...........................................................................................14
C. DIAGNOSIS FISIOTERAPI........................................................................................20
D. PROBLEM FISIOTERAPI...........................................................................................21
E. TUJUAN FISIOTERAPI..............................................................................................21
F. PROGRAM FISIOTERAPI..........................................................................................21
G. EVALUASI...................................................................................................................22
H. HOME PROGRAM......................................................................................................23
I. RENCANA TINDAK LANJUT PROSES FISIOTERAPI..........................................23
I. KEMITRAAN...............................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................24
LAMPIRAN.............................................................................................................................26

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Indeks Barthel 26


Lampiran 2. HRS-A 27
Lampiran 3. Skala Morse 28
Lampiran 4. Skor Decubitus 29
Lampiran 5. Skala Borg 30
Lampiran 6. NYHA 30
Lampiran 7. Killips 30
Lampiran 8. EKG 31
Lampiran 9. Angiography 32
Lampiran 10. Echocardiogram 33
Lampiran 11. Radiologi 34
Lampiran 12. Laboratorium 35
Lampiran 13. Medicamentosa36
Lampiran 14. Laporan Operasi 37

v
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar 16


Tabel 3.2. Intervensi Fisioterapi 21
Tabel 3.3. Evaluasi 22
Tabel 3.4. Rencana Tindak Lanjut Fisioterapi 23

vi
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit jantung merupakan penyakit tidak menular sebagai penyebab
kematian nomor satu setiap tahunnya. Di Indonesia penyakit jantung dan
pembuluh darah merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan penyakit
ini menjadi penyebab nomor satu kematian di dunia dengan diperkirakan akan
terus meningkat hingga mencapai 23,3 juta pada tahun 2030 (Riskesdas, 2018).
WHO pada tahun 2016, mencatat 17.5 juta orang didunia meninggal
akibat gangguan kardiovaskular. Lebih dari 75% penderita kardiovaskular
terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Menurut data
Riskesdas 2013 jumlah penderita gagal jantung di Indonesia sekitar 229.696
orang dengan jumlah penderita terbanyak berada di Provinsi Jawa Timur yaitu
sekitar 54.826 orang sedangkan Provinsi Maluku Utara dengan jumlah penderita
terendah yaitu 144 orang. Provinsi Sulawesi Utara memiliki prevalensi penderita
GJK dengan 2.378 orang dari total 240 juta penduduk di Indonesia (Harikatang,
2016).
World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa penyakit
jantung koroner (PJK) menjadi salah satu masalah kesehatan dalam sistem
kardiovaskular yang jumlahnya meningkat cepat dengan angka kematian 6,7
juta kasus (WHO, 2019). Perhitungan WHO (World Health Organization) yang
memperkirakan pada Tahun 2020 mendatang, penyakit kardiovaskuler akan
menyumbang sekitar 25% dari angka kematian dan mengalami peningkatan
khususnya di negara-negara berkembang, salah satu diantaranya berada di Asia.
Coronary Artery Disease (CAD) atau yang lebih dikenal dengan
Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit degeneratif, yang hampir
selalu dialami setiap wanita menopause serta pada laki-laki usia 40 tahun keatas.
Tapi jika dilihat dari perubahan gaya hidup pada masyarakat sekarang
kemungkinan menderita PJK lebih besar dan bisa diderita usia muda yang
kurang dari 40 tahun karena diabetes, hipertensi, merokok dan kurangnya
olahraga (Fox et al., 2020).
Beberapa pengobatan untuk penyakit jantung koroner meliputi medika
mentosa, tindakan intervensi dengan prosedur kateterisasi (balloon dan

1
stent/ring) dan operasi Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) (Kahlon dan
Armstrong, 2018). Pengobatan penyakit jantung bertujuan untuk
memaksimalkan curah jantung. Pembedahan yang dilakukan untuk memperbaiki
fungsi otot mitokondria dan aliran darah dan atau penggantian katup yang rusak
(Ziv-Baran et al., 2019). CABG bertujuan untuk mengatasi terhambatnya
saluran arteri koroner akibat adanya penyempitan bahkan penyumbatan otot
jantung. Penentuan daerah yang mengalami penyempitan telah dilakukan
sebelumnya dengan melakukan kateterisasi arteri koroner (Hussain and Harky,
2019) .
Sasaran operasi CABG adalah mengurangi gejala penyakit arteri koroner
(termasuk angina), sehingga pasien bisa menjalani kehidupan yang normal dan
mengurangi risiko serangan jantung atau masalah jantung yang lainnya (Seo et
al., 2017). Pembuluh darah arteri atau vena dari bagian tubuh lainnya
dicangkokkan ke arteri koronaria pada daerah penyumbatan sehingga terjadi
peningkatan sirkulasi darah di arteri koronaria yang menuju ke otot jantung
(Turky and Afify, 2017). Adapun komplikasi dari CABG adalah nyeri paska
operasi, penurunan curah jantung diakibatkan karena bradikardi atau takikardi
pasca operasi, aritmia sering terjadi 24-36 jam paska operasi, volume cairan
tubuh total meningkat, hipertensi atau hipotensi paska operasi, perdarahan paska
operasi, infeksi luka, post perfusion syndrome, dan disfungsi neurologi (Hussain
and Harky, 2019). Dari beberapa komplikasi tersebut, maka penting pasien PJK
paska operasi CABG diberikan intervensi fisioterapi dengan tujuan untuk
mengurangi nyeri, latihan pernapasan, dan latihan mobilisasi.

B. TUJUAN PRAKTIK
1. Tujuan Umum
Laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui penatalaksanaan
fisioterapi pada Coronary Artery Disease (CAD) pada bidang
kardiovaskulopulmonal.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari laporan kasus ini adalah penulis dapat melakukan:
a. Agar mampu menjelaskan teori (definisi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, serta manifestasi klinik) dari kasus Coronary Artery
Disease (CAD).

2
b. Agar mampu memaparkan peran fisioterapi dalam kasus CAD.
c. Agar mampu mengilustrasikan keadaan pasien atau suasana ruangan di
lahan praktik, yakni pada ruangan Intensive Care Unit (ICU),
Cardiovascular Care Unit (CVCU), High Care Unit (HCU), serta pada
ruang perawatan.
d. Agar mampu menganalisis penggunaan alat-alat bantu di ruangan lahan
praktik (Hemodinamic Monitor).
e. Agar mampu melakukan pemeriksaan, diagnosa, problem, dan
merancang intervensi fisioterapi hingga evaluasi dan re-evalusi terkait
kasus CAD.

C. MANFAAT PRAKTIK
1. Mampu menjelaskan teori (definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
serta manifestasi klinik) dari kasus Coronary Artery Disease (CAD).
2. Mampu memaparkan peran fisioterapi dalam kasus CAD.
3. Mampu mengilustrasikan keadaan pasien atau suasana ruangan di lahan
praktik, yakni pada ruangan Intensive Care Unit (ICU), Cardiovascular Care
Unit (CVCU), High Care Unit (HCU), serta pada ruang perawatan.
4. Mampu menganalisis penggunaan alat-alat bantu di ruangan lahan praktik
(Hemodinamic Monitor).
5. Mampu melakukan pemeriksaan, diagnosa, problem, dan merancang
intervensi fisioterapi hingga evaluasi dan re-evalusi terkait kasus CAD.

D. TEMPAT & WAKTU


Tempat : Pusat Jantung Terpadu RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Waktu : 19 September – 30 September 2022

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Coronary Artery Disease (CAD) atau biasa juga disebut penyakit
jantung koroner adalah penyempitan atau penyumbatan arteri koroner, arteri
yang menyalurkan darah ke otot jantung. Bila aliran darah melambat, jantung
tak mendapat cukup oksigen dan zat nutrisi (Malakar et al., 2019). Hal ini
biasanya mengakibatkan nyeri dada yang disebut angina. Bila satu atau lebih
dari arteri coroner tersumbat sama sekali, akibatnya adalah serangan jantung dan
kerusakan pada otot jantung. CAD juga merupakan kondisi patologis arteri
koroner yang ditandai dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan
jaringan fibrosa di dinding pembuluh darah yang mengakibatkan perubahan
struktur dan fungsi arteri dan penurunan aliran darah ke jantung (Malakar et al.,
2019). Pemeriksaan angiografi dan elektrokardiogram (EKG) digunakan untuk
memastikan terjadinya penyakit jantung koroner. Hasil pemeriksaan EKG yang
menunjukkan terjadinya iskemik merupakan salah satu tanda terjadinya penyakit
jantung koroner secara klinis.
1. Angina Pektoris Stabil (APS) atau stable angina merupakan yaitu angina
yang frekuensi serta durasi nyeri dapat diperkirakan dan nyeri akan reda
dengan istirahat dan pemberian nitrogliserin (Kowalak, Welsh, & Mayer,
2017). APS memiliki sifat nyeri dada yang timbul saat aktivitas dan terdapat
tanda objektif dari iskemia miokard. Klasifikasi Derajat Angina pada APS
berdasarkan Canadian Cardiovascular Society (CCS): 1)
a. Kelas I: Aktivitas biasa tidak menyebabkan angina, seperti berjalan atau
naik tangga. Angina muncul dengan mengejan atau aktivitas cepat dan
lama saat bekerja atau olahraga.
b. Kelas II: Sedikit pembatasan pada aktivitas biasa. Angina saat berjalan
cepat atau naik tangga, berjalan atau naik tangga setelah makan atau pada
cuaca dingin, angina pada stress emosional, atau hanya beberapa jam

4
setelah bangun tidur. Berjalan lebih dari dua blok atau menanjak lebih dari
satu tangga pada kecepatan dan kondisi normal.
c. Kelas III: Pembatasan yang jelas pada aktivitas fisik biasa. Angina muncul
saat berjalan satu atau dua blok, naik satu lantai pada kondisi dan
kecepatan normal.
d. Kelas IV: Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas fisik tanpa rasa
tidak nyaman, angina dapat timbul saat istirahat
2. Angina yang tidak stabil (unstable angina): Frekuensi serta durasi nyeri
makin meningkat dan serangan nyeri makin mudah ditimbulkan; angina yang
tidak stabil menunjukkan penyakit arter koronaria makin parah yang dapat
berlanjut menjadi infark miokard.

B. EPIDEMIOLOGI
Menurut World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa
penyakit jantung koroner (PJK) menjadi salah satu masalah kesehatan dalam
sistem kardiovaskular yang jumlahnya meningkat cepat dengan angka kematian
6,7 juta kasus (WHO, 2019). Perhitungan WHO yang memperkirakan pada
Tahun 2020 mendatang, penyakit kardiovaskuler akan menyumbang sekitar
25% dari angka kematian dan mengalami peningkatan khususnya di negara-
negara berkembang, salah satu diantaranya berada di Asia. Angka kematian
yang disebabkan oleh PJK mencapai 1,8 juta kasus pada Tahun 2020, yang
artinya PJK menjadi penyakit yang mematikan di kawasan Asia salah satu
negaranya adalah Indonesia (WHO, 2020).
Angka kematian yang disebabkan oleh PJK di Indonesia cukup tinggi
mencapai 1,25 juta jiwa jika populasi penduduk Indonesia 250 juta jiwa
(Kemenkes, 2020). Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2019
menunjukkan bahwa sebesar 1,5% atau 15 dari 1.000 penduduk Indonesia
menderita penyakit jantung koroner. Sedangkan jika dilihat dari penyebab
kematian tertinggi di Indonesia, menurut Survei Sample Registration System
Tahun 2018 menunjukkan 12,9% kematian akibat penyakit jantung koroner.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Provinsi Sulawesi Selatan tahun
2018 prevalensi penyakit jantung yang didiagnosis dokter atau memiliki gejala
meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur
65 -74 tahun yaitu 3,57%, kemudian menurun pada kelompok umur ≥ 75 tahun.

5
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian PJK di RSUD
Kota Makassar.

C. ETIOLOGI
Penyakit jantung koroner dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu
penyempitan (stenosis) dan penciutan (spasme) arteri koronaria, aterosklerosis
(menyebabkan sekitar 98% kasus PJK) ) (Kahlon dan Armstrong, 2018).
Penyakit jantung koroner adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh
penyempitan atau penyumbatan arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung.
Penyakit jantung koroner adalah ketidak seimbangan antara demand dan
supplay atau kebutuhan dan penyediaan oksigen otot jantung dimana terjadi
kebutuhan yang meningkat atau penyediaan yang menurun, atau bahkan
gabungan diantara keduanya itu, penyebabnya adalah berbagai faktor (Kahlon
dan Armstrong, 2018). Denyut jantung yang meningkat, kekuatan berkontraksi
yang meningkat, tegangan ventrikel yang meningkat, merupakan beberapa
faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan dari otot-otot jantung. Sedangkan
faktor yang mengganggu penyediaan oksigen antara lain, tekanan darah koroner
meningkat, yang salah satunya disebabkan oleh artherosklerosis yang
mempersempit saluran sehingga meningkatkan tekanan, kemudian gangguan
pada otot regulasi jantung dan lain sebagainya. Dalam kondisi yang parah,
kemampuan jantung memompa darah dapat hilang. Hal ini dapat merusak
sistem pengontrol irama jantung dan berakhir dan berakhir dengan kematian
(Malakar et al., 2019)
Faktor risiko penyakit kardiovaskular dibagi menjadi faktor risiko yang
dapat dimodifikasi, dan tidak dapat dimodifikasi. Dislipidemi, merokok,
hipertensi, diabetes melitus dan kelainan metabolik, dan kurangnya aktivitas
fisik merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi, sedangkan untuk yang
tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, dan herediter atau genetik. Faktor
genetik, seperti mutasi atau polimorfisme pada gen-gen tertentu akan diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya (Indikurnia et al., 2021).

D. PATOFISIOLOGI
Perkembangan PJK dimulai dari penyumbatan pembuluh jantung oleh
plak pada pembuluh darah. Penyumbatan pembuluh darah pada awalnya
disebabkan peningkatan kadar kolesterol LDL (low-density lipoprotein) darah

6
berlebihan dan menumpuk pada dinding arteri sehingga aliran darah terganggu
dan juga dapat merusak pembuluh darah (Satoto, 2018). Penyumbatan pada
pembuluh darah juga dapat disebabkan oleh penumpukan lemak disertai klot
trombosit yang diakibatkan kerusakan dalam pembuluh darah. Kerusakan pada
awalnya berupa plak fibrosa pembuluh darah, namun selanjutnya dapat
menyebabkan ulserasi dan pendarahan di bagian dalam pembuluh darah yang
menyebabkan klot darah. Pada akhirnya, dampak akut sekaligus fatal dari PJK
berupa serangan jantung (Satoto, 2018).
Pada umumnya PJK juga merupakan ketidakseimbangan antara
penyedian dan kebutuhan oksigen miokardium. Penyedian oksigen miokardium
bisa menurun atau kebutuhan oksigen miokardium bisa meningkat melebihi
batas cadangan perfusi koroner peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
harus dipenuhi dengan peningkatan aliran darah. gangguan suplai darah arteri
koroner dianggap berbahaya bila terjadi penyumbatan sebesar 70% atau lebih
pada pangkal atau cabang utama arteri koroner (Santosa & Baharuddin, 2020).
Ateroklerosis pada arteri kororner jantung merupakan awal mula
terjadinya penyakit jantung koroner. Proses pembentukan aterosklerosis tersebut
dimulai dengan terjadinya endotel pembuluh darah yang disebabkan oleh
hiprtensi, zat nikotin pada pembuluh darah dan diabetes melitus (Sari, 2017).
Aterosklerosis koroner ditandai dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan
lemak dan jaringan fibrosa didinding pembuluh darah yang mengakibatkan
perubahan struktur, fungsi arteri dan penurunan aliran darah ke jantung.
Sumbatan aliran darah berlangsung progresif, dan suplai darah yang tidak
adekuat (iskemia) yang ditimbulkannya akan membuat sel-sel otot kekurangan
komponen darah yang dibutuhkan untuk hidup (Santosa & Baharuddin, 2020).

E. MANIFESTASI KLINIK
 Manifestasi klinis PJK dapat berupa angina pektoris, infark miokard,
payah jantung, ataupun mati mendadak. Angina pectoris (biasanya timbul
karena adanya kekurangan suplai oksigen ke otot jantung pada saat aktivitas
ataupun dalam keadan istirahat) dengan sakit yang khas yaitu sesak nafas di
tengah dada yang dapat menyebar sampai leher dan rahang, pundak kiri atau
kanan dan lengan bahkan sampai terasa tembus ke punggung, kadang-kadang
juga merasakan kesulitan bernafas. Angina pektoris merupakan gejala utama

7
PJK yang ditandai dengan keluhan nyeri dada (chest pain) atau rasa tidak enak
di dada (chest discomfort) yang spesifik. Ciri khas dari rasa tidak nyaman ini
diawali oleh peningkatan aktifitas fisik dan segara hilang jika sudah beristirahat.
Pada umumnya keluhan angina yang berawal dari PJK adalah rasa nafas tak
bebas (tightness), tertekan (pressure), rasa terbakar (burning), rasa berat (heavy),
sakit (arching), rasa tercekik (strangling), dan rasa mampat di dada
(compression) (Kemenkes RI, 2017). Selain itu, terdapat gejala seperti sakit
perut, mual, muntah dan ketika respon koping pasien tidak efektif maka
menyebabkan kecemasan, yang dimana jika cemas tidak ditangani akan
mengakibatkan depresi, penurunan kualitas hidup yang akan mempengaruhi
keterlambatan proses penyembuhan. Mekanisme yang menyebabkan kecemasan
yaitu meningkatkan risiko penyakit jantung koroner yang fatal termasuk
hiperventilasi (Mailani et al., 2022).

F. PEMERIKSAAN SPESIFIK
Pemeriksaan penunjang ada yang bersifat invasif maupun non invasif.
Beberapa pilihan penunjang diantaranya adalah elektrokardiografi (EKG), X-
ray, angiografi koroner, CT Scan, MRI, echocardiography, dan nuclear imaging.
Elektrokardiografi (EKG), biomarker jantung, dan angiografi koroner adalah
rangkaian pemeriksaan yang paling sering dilakukan.
1. Elektrokardiografi (EKG)
Elektrokardiografi (EKG) adalah salah satu pemeriksaan utama yang dapat
membedakan ACS STEMI/ NSTEMI dengan UAP. Gambaran pada STEMI
yang khas adalah adanya gelombang ST elevasi persisten. Gelombang non
spesifik, T terbalik, atau ST depresi bisa mengarahkan pada NSTEMI atau
UAP yang selanjutnya dapat dibedakan melalui pemeriksaan laboratorium.

Gambar 1. Perbedaan Khas Gelombang EKG Infark Miokardium PJK


Sumber: Agrina, 2017

8
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan dalam waktu 24 jam
evaluasi bagi seluruh pasien dengan nyeri dada adalah profil lipid puasa
yang terdiri atas TC, LDL, HDL, dan trigliserida, glukosa puasa, complete
blood count dan hb dan biomarker jantung. Banyak macam biomarker yang
dapat dipakai, diantaranya troponin, mioglobin, dan creatine kinase
myocardial band (CKMB). Biomarker tersebut secara lebih spesifik dapat
membedakan UAP dengan NSTEMI. Troponin cTnT dan cTnI adalah
protein spesifik yang mengatur hubungan aktin miosin dalam proses
kontraksi miokardium melaui perantara kalsium. Apabila terjadi cedera,
protein ini dapat menjadi pertanda diagnosis. Troponin meningkat dalam 4
jam setelah onset dan menetap selama hingga 2 minggu. Troponin bersifat
lebih spesifik dan sensitif dibandingkan marker lain sperti CK-MB dan
myoglobin. Peningkatan/ penurunan marker jantung tersebut mengarahkan
pada diagnosis NSTEMI, sedangkan apabila kadarnya normal menandakan
UA.
3. Angiografi Koroner
Angiografi Koroner adalah pemeriksaan medis yang invasif dilakukan
untuk mengamati pembuluh darah jantung. Pemeriksaan ini merupakan
gold standard diagnosis PJK. Hasil pemeriksaan dapat digunakan untuk
mengetahui gambaran detail pembuluh darah jantung, pilihan tatalaksana,
dan perkiraan prognosis.Prosedur ini dilakukan untuk mengamati
bagaimana darah mengalir melalui arteri jantung dan menentukan terdapat
penyumbatan arteri koroner atau tidak. Angiografi koroner juga dapat
menunjukkan lokasi jumlah stenosis arteri koroner. Pemeriksaan ini dapat
memberikan informasi mengenai arteri koroner secara anatomis dengan
resolusi spasial yang lebih tinggi (Mandala et al., 2016).
4. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi merupakan salah satu prosedur utama
pencitraan yang paling banyak digunakan dalam pemeriksaan diagnostik
menilai fungsi dan struktur jantung. Ekokardiografi secara umum memiliki
peranan penting dalam diagnosis, memperkirakan derajat berat penyakit
jantung, pemantauan efek terapi dan untuk menentukan prognosis. Pada
PJK kronis ekokardiografi transtorakal digunakan untuk menilai fungsi

9
ventrikel kiri atau LVEF, mendeteksi abnormalitas pergerakan dinding
jantung (regional wall motion abnormalities), fungsi diastolik ventikel kiri,
menilai kelainan struktur jantung, katup jantung atau menyingkirkan
penyebab nyeri dada yang lain. Pemeriksaan ekokardiografi rutin dapat
dilakukan 6 bulan sekali pada PJK kronis, namun dapat dilakukan kapan
saja ketika pasien mengalami perburukan gejala atau komplikasi maupun
gangguan hemodinamik (Perki, 2021).
5. Chest X-ray
Chest X-ray merupakan komponen penting dari evaluasi awal penyakit
jantung. X-ray dengan metode standar posterioranterior beridri (AP) dan
dekubitus lateral kiri, seringkali pemeriksaan anteriorposterior (AP)
dilakukan pada pasien rawat inap dalam posisi berbaring. Analisis yang
tepat dari prosedur ini akan memberikan informasi yang berguna terkait
kondisi jantung, paru-paru dan pembuluh darah (Shahjehan & Bhutta
(2022).
6. Borg Scale
Skala Borg adalah skala untuk mengukur derajat sesak yang berupa garis
vertikal yang diberi nilai 0-10 dari setiap nilai memiliki definisi verbal
untuk membantu penderita menderajatkan intensitas sesak dari derajat
ringan sampai berat. Nilai tiap deskripsi verbal tersebut dibuat skor
sehingga aktivitas dan derajat sesak dapat dibandingkan antar individu.
Skala ini memiliki reproduktifitas yang baik pada individu yang sehat dan
dapat diterapkan untuk menentukan dyspnea pada penderita penyakit
kardiopulmoner serta untuk parameter statistik (Kuswardani et al., 2017).
7. New York Heart Association (NYHA)
NYHA merupakan salah satu alat ukur yang berfungsi untuk menilai dan
mengevaluasi sesak napas pada pasien (Saroinsong et al., 2021).
Kelas I : Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak memiliki keterbatasan
dalam beraktivitas fisik. Adanya aktivitas fisik biasa tidak
menyebabkan kelelaha, susah bernapas maupun palpitasi.
Kelas II : Pasien dengan penyakit jantung, sedikit keterbatasan dalam
beraktivitas fisik. Adanya aktivitas biasa menyebabkan kelelahan,
palpitasi, sulit bernapas maupun angina.

10
Kelas III: Pasien dengan penyakit jantung terdapat keterbatasan dalam
beraktivitas fisik. Pasien dalam kondisi nyaman saat istirahat,
tetapi jika melakukan aktivitas kecil dapat memicu keluhan.
Kelas IV: Pasien dengan penyakit jantung keluhan akan timbul bahkan saat
istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik keluhan akan memburuk

G. PENANGANAN FISIOTERAPI
Program latihan fisik rehabilitatif bagi penderita gangguan jantung
bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi penyuluhan
pada pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan dan membantu pasien
untuk kembali dapat beraktivitas fisik seperti sebelum mengalami gangguan
jantung. Do Simon et al. (2018) menyatakan bahwa secara kontemporer,
program latihan diarahkan berdasarkan kebutuhan individual. Pada individu
dengan resiko rendah program latihan tanpa supervisi dapat dilakukan
sccepatnya, sedangkan pada penderita dengan resiko tinggi, program latihan
termonitor dapat dilakukan dalam selang waktu yang lebih lama. Secara umum,
program latihan dibagi menjadi program inpatient dan outpatient.
1. Program latihan in patient
Program ini dapat dilakukan sejak 48 jam setelah gangguan jantung
sepanjang tidak terdapat ada kontraindikasi. Latihan fisik yang dilakukan
terbatas pada aktivitas sehari-hari, misalnya gerakan tangan dan kaki dan
pengubahan postur. Program latihan biasanya berupa terapi fisik
(ambulator) yang diawasi. Pada fase ini perlu dilakukan monitoring ECG
untuk menuai respon terhadap latihan. Latihan pada fase ini hams menunmt
kesiapan tim yang dapat mengatasi keadaan gawat darurat apabila pada saat
latihan terjadi serangan jantung. Manfaat dari latihan fisik pada fase ini
adalah sebagai bahan survailance tambahan, melatih pasien untuk dapat
mejalankan aktivitas pada aktifitas sehari-hari, dan unmk menghindari efek
fisiologis dan psikologis negatif pada bedrest. Tujuan dari latihan fsik fase
pertama ini harus disesuaikan dengan kebumhan pasien. Pasien dengan
aktivitas rendah mungkin hanya memerlukan latihan fisik unmk menunjang
kegiatan sehari-hari (ADL: activity of daily life). Pasien dengan kapasitas
fisik yang lebih baik dapat menjalankan program letihan unmk pencegahan
tertier dan mengikuti program jangka panjang unmk meningkatkan

11
ketahanan kardiorespirasi, komposisi tubuh, fleksibilitas dan ketahanan otot.
Pemantauan lebih lanjut perlu dilakukan pada pasien dengan tanda dan
gejala: peningkatan denyut andi melebihi batas yang ditetapkan,
peningkatan tekanan darah sebagai respon latihan, sesak napas, iskemia
myocardial, disritmia, angina pectoris dan kelelahan berat. Pada fase initial
(1 sampai 3 hari paska infark post myocardial atau prosedur bedah) pada
pasien di rumah sakit yang menjalankan program latihan, aktivitas hams
dibatasi dengan intensitas yang rendah (sekitar 2 sampai 3 METs). Pada
umumnya aktivitas mengurangi resiko timbulnya trombosis. Program
latihan meliputi aktivitas sehari-hari dan latihan pada kaki dan lengan untuk
mempertahankan tonus otot, hipotensi orthostatik dan kapasitas sendi.
Pasien dapat memulai latihan dari berbaring menuju ke duduk dan
kemudian berdiri.
2. Program Outpatient
Program out-patient dilakukan segera setelah kepulangan pasien dari rumah
sakit. Tujuan utama dari program ini adalah untuk mengembalikan
kemampuan fisik pasien pada keadaan sebelum sakit. Seperti yang telah
dikemukakan program rehabiliatasi sebaiknya diawali beberapa hari
sebelum fase I berakhir. Biasanya fase II dimulai pada minggu kedua atau
ketiga setelah serangan myocardial infark. Program ini diharapkan dapat
memberi dukungan dan dapat membimbing penderita gangguan jantung
untuk mengatasi masalah-masalah kesehatannya (Lumi et al., 2021).
Idealnya, program fase II dijalankan di fasilitas kesehatan yang memiliki
fasilitas EKG untuk pengawasan latihan, peralatan dan staf yang dapat
mengatasi kondisi darurat. Apabila fase rehabilitasi ini terpaksa dijalankan
di rumah ataupun di tempat 11 dengan sarana minimal, seyogyanya tetap
dilakukan pemeriksaan periodik pada pusat pusat kesehatan. Pada
prinsipnya, tujuan dari fase ini adalah untuk memberi latihan rehabilitasi
fisik seseorang penderita gangguan jantung agar dapat kembali melakukan
aktivitas sehari-hari seperti sedia kala (Lumi et al., 2021).
3. Program Maintenance
Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk melanjutkan ke fase
pemeliharaan adalah kapasitas fungsional pasien, status klinis serta tingkat

12
pengetahuan pasien tentang gangguan jantung yang dialaminya. Kapasitas
fungsional minimal yang dimiliki oleh pasien adalah sekitar 5 METs yang
memungkinkan seseorang dapat menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa
kesulitan yang berarti. Secara klinis, pasien harus sudah memiliki respon
hemodinamik dan kardiovaskular yang stabil. Pasien juga diharapakan
sudah memiliki pengetahuan dasar tentang gejala yang dialami, pilihan
terapi yang dapat dilakukan, karakteristik perjalanan alamiah penyakit serta
rentang aktivitas yang aman untuk dilakukan. Program latihan pada fase
pemeliharaan pada dasarnya sama dengan individu normal dengan
penekanan pada latihan jenis aerobik. Pada pasien dengan kapasitas
fungsional diatas 5 METS, pemrograman latihan dengan menggunakan

frekuensi denyut jantung dan RPE (rating of perceived exertion) dapat


dilakukan. Frekuensi latihan sebaiknaya berkisar 3 sampai 4 kali dalam
seminggu. Durasi latihan dapat dimuai dari 10 menit kemudian dapat
ditingkatkan secara bertahap sampai dengan mencapai 60 menit.
Selain itu, Jayanti et al (2022) menjelaskan lebih rinci terkait intervensi
fisioterapi yang bisa dilakukan pada pasien post operasi jantung:

13
Gambar 2. Intervensi Fisioterapi pada Pasien Post Operasi
Sumber: Jayanti et al., 2022

BAB III

MANAJEMEN FISIOTERAPI
A. IDENTITAS PASIEN
Anamnesis Umum
Nama : Tn. ST
No. RM : 992259
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 69 tahun
Alamat : Jl. Batua Raya III No. 9
Pekerjaan : Pensiun
Berat Badan : 70 kg
Tinggi Badan : 165 cm

14
B. ASESMEN FISIOTERAPI
1. C (Chief Of Complain) :
Sesak napas dan batuk
2. H (History Taking) :
Pada tanggal 07/09/2022 pukul 06.55 WITA pasien masuk ke IGD PJT
RSWS, dengan keluhan nyeri dada dan sesak napas terutama saat lama
berbaring. Keadaan umum pasien nampak lemah dengan kesadaran
composmentis, vital sign BP : 130/76 mmHg, HR : 67x/menit, RR :
26x/menit dan suhu : 36,5°c, SpO2 : 91%.. Pasien mengeluhkan nyeri dada
sejak 26 jam yang lalu (sebelum masuk ke IGD PJT) dengan durasi nyeri
>20 menit, sensasi nyeri seperti tertindih beban berat dengan skor NRS
9/10. Riwayat nyeri dada ada 2 tahun yang lalu, dan nyeri dada hilang
timbul yang dialami sejak 3 bulan terakhir. Sesak napas ada, keringat dingin
tidak ada, muntah tidak ada, mual tidak ada dan berdebar-debar tidak ada,
orthopneu ada, riwayat batuk berdahak ada sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat hipertensi ada sejak 26 tahun yang lalu serta riwayat diabetes ada.
Riwayat merokok ada pada usia muda dengan 3 batang rokok/hari namun
saat ini pasien sudah tidak merokok. Riwayat penyakit jantung dikeluarga
tidak ada. Pada tanggal 09/09/2022 keadaan umum pasien baik, masih
mengeluhkan nyeri dada dan sesak tetapi sudah berkurang NRS 3/10, batuk
ada sesekali, pernapasan relative normal, lendir ada, pengembangan thorax
minimal, nyeri gerak tidak ada dan ROM dalam batas normal. Pasien telah
melakukan operasi CABG pada tanggal 15/09/2022 dan keluhan yang
dirasakan pasien setelah operasi adalah nyeri pada area operasi, sesak nafas
dan masih terdapat batuk dan lendir.
3. A (Assymetry) :
a. Inspeksi statis :
• Raut wajah tampak cemas
• Terdapat bengkak pada kedua kaki
• Tidak nampak sianosis pada kedua ujung jari tangan
• Kurva tulang belakang normal
• Terdapat pemasangan alat monitor hemodinamik

b. Inspeksi Dinamis :

15
• Pasien sudah mampu duduk sendiri tetapi merasa agak berat
• Pasien merasakan sesak ketika melakukan aktivitas lama
• Ekspansi Thorax minimal

c. Palpasi :
• Suhu : Normal
• Oedem : (+) pada ankle dekstra dan sinistra
• Tenderness : -
• Kontur Kulit : Normal

d. Tes Orientasi :
• Pasien mampu memiringkan kepala ke kiri dan kanan
tanpa ada keluhan
• Pasien mampu mengangkat kedua tangan tanpa ada keluhan
(active- assisted)
• Pasien mampu menekuk dan meluruskan kedua kaki tanpa
ada keluhan
• Pasien mampu duduk bersandar 60◦ tanpa ada keluhan
• Pasien masih merasakan sedikit sesak ketika duduk tanpa sandaran

e. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar (PFGD)

Tabel 3.1. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar


Aktif Pasif Pasif
Sendi Gerakan
Sin Sin Dx Dx Dx Dx
Mampu melawan Mampu melawan
Fleksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Ekstensi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Cervical
Mampu melawan Mampu melawan
Lateral Fleksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Rotasi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Shoulder Mampu melawan Mampu melawan
Fleksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Ekstensi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Abduksi DBN DBN DBN DBN Mampu melawan Mampu melawan
tahanan tahanan

16
Mampu melawan Mampu melawan
Adduksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Eksorotasi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Endorotasi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Protaksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Retaraksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Elevasi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Depresi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Fleksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Elbow
Mampu melawan Mampu melawan
Ekstensi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Fleksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Ekstensi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Wrist
Mampu melawan Mampu melawan
Deviasi Ulnar DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Deviasi Mampu melawan Mampu melawan
DBN DBN DBN DBN
Radial tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Fleksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Ekstensi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Abduksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Hip
Mampu melawan Mampu melawan
Adduksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Eksorotasi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Endorotasi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Thoracal Mampu melawan Mampu melawan
Fleksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Ekstensi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Lateral fleksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Rotasi DBN DBN DBN DBN Mampu melawan Mampu melawan

17
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Fleksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Knee
Mampu melawan Mampu melawan
Ekstensi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Dorsofleksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Plantarfleksi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Ankle
Mampu melawan Mampu melawan
Inversi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Mampu melawan Mampu melawan
Eversi DBN DBN DBN DBN
tahanan tahanan
Sumber: Data Primer, 2022

4. R (Restrictive) :
a. Limitasi ROM :-
b. Limitasi ADL : toiletting, sitting, selfcare, walking
c. Limitasi Pekrjaan : tidak mampu melakukan pekerjaan
d. Limitasi Rekreasi : tidak mampu melakukan hobi
5. T (Tissue Impairment) :
a) Musculotendinogen :-
b) Osteoarthrogen :-
c) Neurogen :-
d) Psikogen : Kecemasan Sedang
e) Kardiovaskuler : Post CABG e.c Coronary Artery Disease
2 VD
6. S (Spesific test) :
a) Hemodinamik (22/09/2022)
 Blood pressure : 148/71 mmHg
 Heart rate : 87x/menit
 Respiratory rate : 40x/menit
 SpO2 : 99%
b) Manual Muscle Test (MMT)
Hasil : 4
IP : mampu melawan tahanan minimum
c) Indeks Barthel

18
 Sebelum masuk RS
Hasil : 20
IP : mandiri
• Pada saat di RS (20/09/22)
Hasil : 6
IP : ketergantungan berat
d) HRS – A
Hasil : 22
IP : kecemasan sedang
e) Skala Morse (23/09/2022)
Hasil : 35
IP : resiko jatuh sedang
f) Skoring Dekubitus (07/09/2022)
Hasil : 8
IP : beresiko
g) Modifed Skala Borg
Hasil : nilai skala 2
IP : sesak napas ringan
h) NYHA
Hasil : Kelas II
IP : sedikit sesak, keterbatasan ringan pada aktivitas fisik
i) METs
Hasil :4
Interpretasi : Duduk (Klasifikasi sedang)
j) Killips
Hasil : Class I
Interpretasi : Tidak ada gejala klinis serangan jantung
k) Zona Latihan
Batas bawah
DL = DI + 20% (220 – Usia – DI)
= 87 + 20% (220 – 69 – 87)
= 87 + 20% (64)
= 87 + 12,8

19
DL = 99,8 / 100 bpm
Batas atas
DL = DI + 30% (220 – Usia – DI)
= 87 + 30% (220 – 69 – 87)
= 87 + 30% (64)
= 87 + 19,2
DL = 106,2 / 106 bpm
Kesimpulan : Sehingga zona latihan atau batas aman pasien dalam
melakukan latihan yang efektif adalah setidaknya mencapai 100 bpm
dan tidak melebihi 106 bpm.
Keterangan :
DL : denyut nadi Latihan
DI : denyut nadi istirahat
l) EKG (22/09/2022)
Hasil : sinus rhytm, HR 60 bpm
m)Angiography (13/09/2022)
Hasil :
• Left main : Normal
• Left anterior descending : Mild hingga distal diffuse stenosis 80-
90%, calcified (+), distal terisi kolateral dari kontralateral dan
ipsilateral
• Left circumflex : proksimal stenosis 50-60%
• Right coronary artery : Proksimal stenosis 80%, mid distal diffuse
stenosis 70-80%
n) Echocardiogram (08/09/2022)
Hasil :
• Severe mitral regurgitation due to very mobile vegetation attached
to AML normal LV systolic function, EF 56,2% (BIPLANE).
• Normal RV systolic function, TAPSE 2,1 cm.
• LA Dilatation.
• Hypokinetic segmental.
• Concentric Left Ventricular Hyperthrophy.
o) Radiologi (15/09/2022)
Kesan :

20
• Terpasang ETT tube pada trachea dengan tip setinggi +/- 5.92 cm
diatas carina
• Terpasang CVC pada hemithorax kiri
• Terpasang chest tube pada linea midclavizula kanan
• Terpasang densitas mitral valve replacement pada linea sternalis
setinggi ICS VIII-IX posterior kiri
• Terpasang 3 buah sternotomy wire
• Terpasang drain substernal dengan tip cranial
• Cardiomegaly disertai tanda-tanda edema pulmonum
• Dilatatio aortae
p) Medikamentosa (terlampir)
q) Hasil pemeriksaan laboratorium (terlampir)
Diagnosa: Gingivitis kronis
r) Laporan operasi (terlampir)

C. DIAGNOSIS FISIOTERAPI

“Gangguan Fungsi ADL e.c Post Op CABG coronary artery disease 2


vessels disease”

D. PROBLEM FISIOTERAPI
1. Problem Primer : Sesak napas, ekspansi thorax minimal
2. Problem Sekunder : Kecemasan, oedem, penumpukan sputum
3. Problem Kompleks : Limitasi ADL

E. TUJUAN FISIOTERAPI
1. Tujuan Jangka Pendek :
Mengurangi kecemasan, mengatasi sesak napas, meningkatkan kemampuan
ekspansi thorax, mengatasi oedem, mengurangi penumpukan sputum
2. Tujuan Jangka Panjang :
Meningkatkan kemampuan Activity Daily Living.

F. PROGRAM FISIOTERAPI

Tabel 3.2 Intervensi Fisioterapi


No. PROBLEM MODALITAS DOSIS

21
FISIOTERAPI FISIOTERAPI
1 Kecemasan Komunikasi F : 1x/hari
Terapeutik I : pasien fokus
T : Interpersonal approach
T : selama terapi
2 Sesak Napas Breathing Exercise F : 1x/hari
I : 5 kali repetisi
T : pursed lip breathing,
diafragma breathing
T : 3 menit
3 Retensi Sputum Exercise therapy F : 1x/hari
I : 2-3 kali repetisi
T : haffing + batuk efektif
T : 3 menit

4 Oedema Exercise therapy F : 1x/hari


I : 2 set, 8 kali repetisi
T : ankle pumping
T : 3 menit
5 Gangguan ADL ADL exercise F : 1x/hari
I : 30 detik tanpa sandaran
T : Mobilisasi duduk
T : 1 menit

G. EVALUASI
Tabel 3.3 Evaluasi

Evaluasi 1 Evaluasi 2
No. Problem Parameter Keterangan
21/09/2022 22/09/2022
 BP:165/71  BP:148/71
Terjadi
mmHg mmHg perbaika
Monitor n pada
1. Hemodinamik Hemodinamik  HR:99x/menit  HR:97x/menit
keadaan
 RR:47x/menit  RR:40x/menit umum
 SpO2: 96%  SpO2: 99% pasien

Terjadi

22
22 17 penurunan
2. Kecemasan HRS-A (Kecemasan (Kecemasan pada tingkat
sedang) ringan) kecemasan
pasien
Terjadi
penurunan
3. Sesak Napas Skala Borg 2 1 pada
tingkat
sesak napas
pasien
Terjadi
perbaikan
4. Retensi Sputum (+) (-) pada retensi
sputum
pasien
Derajat II Derajat I

5. Oedem Pitting oedem (Kedalaman 3-5 (Kedalaman 1-3 Terjadi


mm dengan mm dengan penurunan
waktu kembali 5 waktu kembali 3 oedem
detik) detik)

23
H. HOME PROGRAM
Pasien diajarkan untuk melakukan beberapa latihan di rumah yang
bertujuan untuk mengurangi sesak napas dan batuk yaitu berupa breathing
exercise dengan teknik pursed lip breathing, diaphragma breathing, batuk
efektif jika masih ada keluhan batuk dan sputum dan ankle pumping untuk
mengurangi bengkak pada kaki.

I. RENCANA
No. TINDAK
Problem LANJUT PROSESModalitasFISIOTERAPI Dosis
F : Setiap
Tabel 3.4 Rencana Tindak Lanjut Fisioterapi
Pencegahan Sesak pertemuan I : 3 set,
1. Exercise therapy 8 hit, 8 rep T : Deep
Napas
breathing T : 3
menit
F : Setiap pertemuan
I : 10 – 20 meter dan
bertahap meningkat
2. Gangguan ADL ADL exercise hingga batas
kemampuan pasien
T : Walking
exercise T : 6 menit

J. KEMITRAAN
Melakukan kolaborasi antar profesi dalam memberikan pelayan yang prima
kepada pasien sehingga pasien mampu pulih dan kembali beraktivitas.
1. Dokter Spesialis Jantung
Kolaborasi dan kemitraan dengan dokter spesialis jantung sangat penting
dalam hal mengenali kondisi umum, tanda dan gejala, patofisiologi pasien,
serta dalam peresepan obat pasien.
2. Perawat
Kolaborasi dan kemitraan dengan perawat sangat penting dalam hal
mengenali kondisi umum, perkembangan kondisi pasien, dan status pasien.
3. Apoteker
Kolaborasi dengan apoteker sangat penting terkait pemberian, peracikan
dan penetapan dosis obat kepada pasie

24
DAFTAR PUSTAKA

Agrina, T. 2017. Hubungan Antara Asupan Lemak dengan Profil Lipid Pada Pasien
Penyakit Jantung Koroner. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Berliner, D., Hänselmann, A., & Bauersachs, J. (2020). The treatment of heart failure
with reduced ejection fraction. Deutsches Ärzteblatt International, 117(21), 376.
American Heart Association.
Fox, K. A., Metra, M., Morais, J., & Atar, D. (2020). The myth of ‘stable’coronary
artery disease. Nature Reviews Cardiology, 17(1), 9-21.
Harikatang, A. D., Rampengan, S. H., & Jim, E. L. (2016). Hubungan antara jarak
tempuh tes jalan 6 menit dan fraksi ejeksi pada pasien gagal jantung kronik
terhadap kejadian kardiovaskular. e-CliniC, 4(1).
Hussain, S. M. A. and Harky, A. (2019) ‘Complications of Coronary Artery Bypass
Grafting’, International Journal of Medical Reviews, 6(1), pp. 1–5.
Indikurnia, F. Q., Akbar, M. R., & Iskandar, W. (2021). Perbedaan antara Usia Jantung
dan Usia Aktual pada Anggota Keluarga Penderita Penyakit Arteri Koroner
( PAK ). Prosiding Kedokteran, 7(1), 192–198.
Jayanti, F. D., Rahayu, U. B., & Setiawan, P. G. (2022). Effect of Early Mobilization In
Pediatric Patient After Atrial Septal Defect Clousure : A Case Report.
Karyatin, K. (2019) ‘Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit
Jantung Koroner’, Jurnal Ilmiah Kesehatan, 11(1), pp. 37–43.
Kahlon, R. S. and Armstrong, E. J. (2018) ‘Coronary artery bypass grafting among
patients with prior percutaneous coronary interventions’, Journal of the American
Heart Association, 7(20), pp. 1–3.
Kementrian Kesehatan Kesehatan Indonesia (Kemenkes). (2018).
Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B. (2017). Buku Ajar Patofisiologi (Professional
Guide to Pathophysiology. Jakarta: EGC
Kuswardani, K., Amanati, S., & Abidin, Z. (2017). Pengaruh Terapi Latihan terhadap
Non-ST Elevation Myocardial Infraction (NSTEM) KILLIP IV. Jurnal
Fisioterapi Dan Rehabilitasi, 1(1), 32–40. https://doi.org/10.33660/jfrwhs.v1i1.8
Lumi, A. P., Joseph, V. F. F., & Polii, N. C. I. (2021). Rehabilitasi Jantung pada Pasien
Gagal Jantung Kronik. Jurnal Biomedik:JBM, 13(3), 309.
https://doi.org/10.35790/jbm.v13i3.33448
Mailani, R., Nazhira, F., & Sirada, A. (2022). Penanganan Fisioterapi Pada Kasus Post
Operasi Coronary Artery Bypass Graft: Studi Kasus. Indonesian Journal of
Physiotherapy, 2(1), 106. https://doi.org/10.52019/ijpt.v2i1.4059

25
Malakar, A. K., Choudhury, D., Halder, B., Paul, P., Uddin, A., & Chakraborty, S.
(2019). Areview on coronary artery disease, its risk factors, and therapeutics.
Journal of Cellular Physiology, 234(10), 16812–16823.

Mandala, N. A., Widjojo, J., & Wendra. (2016). Gambaran lokasi sumbatan koroner
berdarsarkan treadmill test dan angiografi. Unjani.

Perki. (2021). Panduan Pemeriksaan Ekokardiografi Di Klinik

Satoto, H. H. (2018). Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner. JAI (Jurnal Anestesiologi


Indonesia), 6(3), 209–224. https://doi.org/10.14710/jai.v6i3.9127

Sari, S. R. J. (2017) Faktor risiko penyakit jantung koroner pada pegawai negeri sipil
uin alaudin makasar tahun 2017. Universitas Islam Negeri Alauddin

Santosa, W. N., & Baharuddin, B. (2020). Penyakit jantung koroner dan


antioksidan. KELUWIH: Jurnal Kesehatan Dan Kedokteran, 1(2), 95-100.

Saroinsong, L., Jim, E. L., & Rampengan, S. H. (2021). Diagnosis dan Tatalaksana
Terkini Gagal Jantung Akut. E-CliniC, 9(1), 60–67.
https://doi.org/10.35790/ecl.v9i1.31857

Shahjehan, R. D., & Bhutta, B. (2022). Coronary Artery Disease. In national library of
medicine. https://www.statpearls.com/.

Seo, Y. G. et al. (2017) ‘Inpatient cardiac rehabilitation programs’ exercise therapy for
patients undergoing cardiac surgery: National Korean Questionnaire Survey’,
Journal of Exercise Rehabilitation, 13(1), pp. 76–83.

Turky, K. and Afify, A. M. A. (2017) ‘Effect of Preoperative Inspiratory Muscle


Training on Alveolar-Arterial Oxygen Gradients after Coronary Artery Bypass
Surgery’, Journal of Cardiopulmonary Rehabilitation and Prevention, 37(4), pp.
290– 294.

WHO (2019). Cardiovascular Diseases. World Health Organization


https://www.who.int/health-topics/cardiovascular-diseases/.

WHO (2020). Cardiovascular Diseases. World Health Organization


https://www.who.int/health-topics/cardiovascular-diseases/.

Ziv-Baran, T. et al. (2019) ‘The epidemiology of coronary artery bypass surgery in a

26
community hospital: A comparison between 2 periods’, Medicine, 98(13), p.
e15059.

LAMPIRAN
Lampiran 1. Indeks Barthel

27
Lampiran 2. HRS-A

Hamilton Rating Scale-Anxiety (HRS-A)


Deskripsi Skor
1 Perasaan cemas 3
Kecemasan, harapan buruk, ketakutan, lekas marah
2 Tekanan 2
Merasa tertekan, kelelahan, respon kaget, mudah menangis, merasa tidak
tenang, sulit tenang
3 Ketakutan 0
Kegelapan, orang asing, dibiarkan sendiri, keramaian
4 Insomnia 2
Sulit tertidur, tidur tidak lelap, dan kelelahan ketika bangun, mimpi buruk dan
teror malam
5 Intelektual 2
Sulit berkonsentrasi, ingatan buruk
6 Perasaan depresi 4
Kehilangan minat, kehilangan kesenangan melakukan hobi, depresi, bangun
lebih awal
7 Somatik (otot) 1
Nyeri dan ngilu, kejang, kekakuan, gigi mengertak, suara tidak stabil,
peningkatan tonus otot
8 Somatik (sensorik) 1
Tinnitus (telinga berdenging), penglihatan kabur,
9 Respon kardiovaskuler 1
Takikardi, palpitasi, nyeri dada, nadi berdenyut kencang, perasaan ingin
pingsan, hilang irama jantung
10 Respon pernapasan 1
Tekanan atau sesak di dada, perasaan muntah, mendesah, dyspnea
11 Gejala gastrointestinal 0
Kesulitan menelan, nyeri perut, perasaan terbakar, perut kembung, mual,
muntah, bunyi perut, mencret, kehilangan berat badan, konstipasi
12 Respon genitourinaria 1
Sering buang air terutama malam hari dikala tidur, tidak haid, darah
haid sedikit sekali, nyeri haid, tidak ada, gairah seksual dingin (firgid),
ejakulasi prematur, kehilangan nafsu sex, impotensi
13 Respon autonomy 2
Mulut kering, kemerahan, pucat, kecenderungan berkeringat, pusing, sakit
kepala tipe tegang, kuduk berdiri
14 Perilaku saat wawancara Tota 1
Gelisah, kegelisahan atau mondar-mandir, l tremor tangan, alis berkerut, tegang
wajah, mendesah atau respirasi cepat, wajah pucat, menelan
Krit
Keterangan : eria
Skor : 0 = Tidak ada Peni
1 = Ringan laia
2 = Sedang n:
3 = Berat
4 = Berat Sekali

28
Hasil Skor : 22 Interpretasi : kecemasan sedang

29
Lampiran 3. Skala Morse

30
Lampiran 4. Skor Dekubitus

31
Lampiran 5. Skala Borg

Lampiran 6. NYHA

Lampiran 7.

32
Lampiran 8. EKG

12/09/2022

21/09/2022

33
22/09/2022
Lampiran 9. Angiography

34
Lampiran 10. Echocardiogram

35
Lampiran 11. Radiologi

36
Lampiran 12. Laboratorium

37
38
Lampiran 13. Medicamentosa

39
Lampiran 14. Laporan Operasi

40
41
42

Anda mungkin juga menyukai