Anda di halaman 1dari 18

MANAJEMEN FISIOTERAPI

PADA KASUS FLAT FOOT

KLINIK SURYA MEDIKA KENDAL

MAKALAH MUSKULOSKELETAL

Disusun Oleh :

HENY DWI MARISTA

2260070

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI FISIOTERAPIS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN FISIOTERAPI
INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA LUBUK PAKAM

2022
HALAMAN PENGESAHAN

MANAJEMEN FISIOTERAPI PADA KASUS FLAT FOOT


KLINIK SURYA MEDIKA KENDAL
MAKALAH MUSKULOSKELETAL II

Disusun Oleh :

HENY DWI MARISTA

Program studi pendidikan profesi fisioterapi


Fakultas keperawatan dan fisioterapi
Istitut kesehatan medistra lubuk pakam

Pada tanggal, November 2022

Clinical Educator,
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang mana telah memberikan
kesehatan dan kesempatan kepada kami untuk melaksanakan praktek profesi dan
menyelesaikan makalah kasus sebagai pengganti status klinisini dengan lancar.
Makalah ini dengan judul “Manajemen fisioterapi pada kasus flat foot” disusun
sebagai syarat utama untuk menyelesaikan serangakaian tugas profesi stase
muskuloskeletal II pada pendidikan profesi fisioterapi di Inkes Medistra.
Dalam penyusunan Makalah penulis banyak mendapatkan bantuan, doa,
bimbingan, masukan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa syukur dan terimakasih kepada:
1. Rektor Institut Kesehatan Medistra Lubuk Pakam
2. Dekam Institut Kesehatan Medistra Lubuk Pakam
3. Ketua Program Studi Profesi Fisioterapi Inkes Medistra Lubuk
Pakam
4. Clinical Edukator yang telah membimbing selama ini
5. Para Dosen Institut Kesehatan Medistra Lubuk Pakam
6. Keluraga Besar Klinik Surya Medika yang telah memberikan
dorongan untuk melanjutkan pendidikan profesi
7. Teman teman angkatan kelima Profesi Fisioterapi Institut
Kesehatan Medistra Lubuk Pakam yang saling mensupport dalam
melanjutkan pendidikan profesi terutama Geng G2H2
Dalam penulisan Maklah kami menyadari masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu

dengan segala kerendahan hati saya meminta maaf apabila dalam penyusunan Makalah ini

terdapat banyak kesalahan dan kekurangan untuk itu saya mengharapkan saran dan

kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini

Lubuk Pakam, Nopember 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ ii

KATA PENGANTAR.................................................................................... iii

DAFTAR ISI................................................................................................... iv

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi............................................................................................. 1
B. Etiologi............................................................................................. 1
C. Klasifikasi........................................................................................ 2
D. Patofisiologi..................................................................................... 4
E. Intervensi.......................................................................................... 5

BAB II PROSES FISIOTERAPI


A. Assesment Fisioterapi...................................................................... 8
B. Diagnosa Fisioterapi......................................................................... 9
C. Rencana Intervensi........................................................................... 9
D. Intervensi Fisioterapi........................................................................ 9
E. Edukasi.............................................................................................11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan...................................................................................... 12
B. Saran................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kasus

Flatfoot adalah bentuk telapak kaki datar disebabkan lengkungan tulang-


tulang menjadi lebih rata (Indardi, 2015). Salah satu bagian terpenting yang
mempengaruhi muskuloskeletal dan biomekanik pada kaki adalah arcus pedis atau
lengkung kaki (Ozdinc, et al., 2016). Arcus pedis betanggung jawab dalam
penyerapan gaya reaksi dari tanah (ground reaction forces) untuk memberikan
gerakan tubuh ke depan (Hillstrom, et al., 2013). Arcus pedis juga mempunyai
peran penting yaitu menambah elastisitas dan fleksibilitas dalam mempertahankan
posisi statis dan memberikan kestabilan saat melakukan aktivitas fungsional
(Lowth, 2015). Buku Clinical Anatomy menjelaskan bahwa arcus pedis dibedakan
menjadi tiga, yaitu arcus longitudinalis medialis, arcus longitudinalis lateralis, dan
arcus tranversus.Arcus longitudinal medial dibentuk dari os.calcaneus, os.talus,
os.navicular, os.cuneiforme (medial, intermedium, lateral), os.metatarsalia
pertama dan ”ligamen pegas (spring)”.
Normalnya, arcus longitudinal medial dan kedua arcus lainnya terbentuk
saat anak mulai berjalan dengan rentan usia dua sampai tiga tahun dan masa kritis
pembentukan arcus tersebut adalah usia enam tahun (Bhattacharjee, et al., 2017).
Flat foot pada anak usia 13 tahun masih dianggap normal karena struktur arcus
longitudinal medial masih mengalami perkembangan. Perkembangan struktur dan
fungsional kaki terus berlanjut sampai umur 14 tahun dan menetap pada usia 16
tahun walaupun perkembangannya agak lambat (Chang, et al., 2010).

B. Etiologi

Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya flat foot, yaitu

(Giovanni dalam Nurohman, 2017):

1. Kongenital
Kelainan bawaan sejak lahir yang terjadi karena diturunkan dari keluarga
(genetik).
2. Post trauma, seperti fraktur pada ankle dengan malunion (gagal
menyambung).
3. Proses degenerasi
Adanya proses degenerasi ditandai dengan jaringan lemak yang tebal menjadi
menipis sehingga menyebabkan perubahan serabut-serabut di dalam struktur
fasia sehingga berkurangnya daya regang dari struktur fasia. Perubahan yang
terjadi berupa peningkatan crosslinkage dari serabut kolagen sehingga
struktur kolagen menjadi lebih kaku dan akan mengganggu gerakan
molekular dari nutrisi dan sisa metabolisme pada level seluler dan dapat
mengubah posisi tulang menjadi abnormal.
4. Disfungsi tendon tibialis posterior
Tendon ini sangat penting dalam pemeliharaan arcus longitudinal medial.
Adanya ruptur pada tendon tibialis posterior akan menyebabkan kelainan
pada arcus. Hal ini disebabkan karena overuse atau aktivitas berlebih.
5. Kelebihan aktivitas pada otot kaki
Kelebihan aktivitas pada otot kaki akan mengakibatkan tarikan pada ligamen
fasia, sehingga terjadi kerobekan dan timbul iritasi pada ligamen plantar fasia.
6. Obesitas
Berat badan yang berlebihan akan memberikan beban yang besar pada kaki
terutama daerah tumit sebagai penerima persentase tekanan yang besar
sehingga struktur fasia mengalami penekanan. Peningkatan berat badan dapat
menyebabkan perubahan struktur dari arcus plantaris dengan perubahan
struktur tulang dan ligamen penyokongnya sehingga membuat arcus
longitudinal medial collapse yang dapat menyebabkan flat foot.
7. Bentuk alas kaki yang tidak ergonomis Pengaruh sepatu yang tidak pas dapat
menyebabkan perubahan struktur pada kaki dan mencegah perkembangan
kaki normal sehingga mengakibatkan masalah atau patologi pada masa
kanakkanak dan dewasa. Sebaliknya pada orang yang tidak memakai alas
kaki bentuk kakinya akan terjaga.

C. Klasifikasi

Flat foot diklasifikasikan menjadi dua, yaitu flat foot fisiologis dan

patologis. Flat foot fisiologis adalah variasi normal, tidak ada kecacatan dan
cenderung membaik seiring berjalannya waktu. Flat foot patologis sering ditandai

dengan kekakuan kaki, menyebabkan cacat, dan memerlukan perawatan.

Flat foot diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: congenital dan dapatan.

Kongenital terdiri dari fleksibel flat foot dan rigid flat foot, sedangkan flat foot

dapatan merupakan kelainankompleks yang terjadi pada orang dewasa dengan

gejala yang berbeda dan tingkat deformitas yang bervariasi.

1. Fleksibel flat foot


2. Fleksibel flat foot merupakan kelainan yang bersifat fisiologis. Pada fleksibel
flat foot umumnya tidak menimbulkan gejala, tidak membutuhkan
penanganan, dan muncul pada awal dekade kehidupan (Harris, 2004).
Fleksibel flat foot ini akan terlihat pada posisi non weightbearing namun
menjadi datar ketika berdiri atau weightbearing. Pada keadaan berdiri atau
weightbearing, arcus longitudinal medial mengalami collapse sehingga
lengkung kaki menjadi datar (Gambar 1). Namun saat berjinjit (tiptoe test),
arcus longitudinal medial akan tampak (Gambar 2) (Atik, et al., 2014).

Gambar 2.1

Gambar 2.2

3. Rigid flat foot


Rigid flat foot merupakan gejala kronik dari fleksibel flat foot yang biasanya
menimbulkan keluhan nyeri, keterbatasan, dan membutuhkan penanganan.
Rigid flat foot adalah kelainan yang bersifat patologis (Harris, 2004). Pada
kondisi ini, seseorang tidak memiliki lengkung kaki sama sekali, baik dalam
posisi weightbearing ataupun non weightbearing (Wilson, 2008). Untuk
membedakan kedua kondisi ini, dapat dilakukan jack’s test. Jack’s test
dilakukan dengan menggerakkan jempol ke arah dorsofleksi secara pasif
karena pada keadaan seperti itu fasia plantaris akan merenggang (Atik, et al.,
2014).

Gambar 2.3

D. Patofisiologi

Pada kaki terdapat satu model yang sangat berperan penting dalam
menyokong kaki untuk menjaga keseimbangan tubuh, yaitu tripod. Tripod terdiri
dari tiga titik yang berada pada calcaneus, metatarsal I dan V. Pada kaki juga
terdapat joint axis yang berada pada sendi subtalar, sendi talocrural dan sendi
talonavicular. Gabungan ketiga persendian ini biasa dikenal dengan “acetabulum
pedis”. Pada acetabulum pedis dikelilingi oleh otot-otot intrinsik kaki serta
ligamen yang merupakan penyokong dari arcus longitudinal medial (Jennings, et
al., 2008).
Jika penyokong pada arcus tersebut mengalami masalah maka akan
menyebabkan hiperfleksibilitas pada acetabulum pedis yang memungkinan
gerakan berlebih pada talus, calcaneus dan navicular. Gerakan berlebih ini akan
mengakibatkan metatarsal mengalamidepresi atau elevasi seingga terjadi
kemiringan pada tripod. Ketidakstabilan pada matatarsocuneiform I akan
menyebabkan collapse pada sisi medial tripod karena pembebanan berat tubuh
lebih diistribusikan pada sisi medial (Richie, 2007). Tanpa dukungan pada sisi
medial dalam menjaga keseimbangan kaki, hindfoot akan collapse ke arah valgus
(Giovanni dalam Bachtiar, 2012). Pada flat foot terjadi deformitas yang kompleks
pada kaki, diantaranya abduksi pada kaki depan, collapse arcus longitudinal
medial, dan valgus pada kaki belakang (hindfoot) (Prachgosin, et al., 2017).
Kelemahan otot-otot intrinsik kaki selanjutnya berdampak pada kelemahan
fungsi plantar fascia dan hilangnya arcus normal, sehingga menimbulkan
overpronasi kaki saat menumpu berat badan. Berubahnya foot alignment ke arah
pronasi (hiperpronasi) akan membebani otot-otot di daerah lutut dan kaki untuk
bekerja lebih keras dalam mempertahankan posisi tubuhnya agar dapat berdiri
stabil. Tekanan konstan yang dialami otot karena postur abnormal yang
berkepanjangan serta gerakan berulang akan memberikan adaptasi neurologis dan
merubah biomekanik sehingga menyebabkan muscle imbalance.
Ketidakseimbangan otot juga akan menyebabkan center ofgravity bergeser ke
posterior, sehingga body alignment berubah mulai pelvic hingga kaki (Mosca,
2010). Pelvic akan cenderung berputar ke depan sedangkan paha dan lutut akan
berputar ke dalam dan hal ini akan menyebabkan masalah pada otot-otot di
sekitarnya (Musculosceletal Rehabilitation Clinic, 2016).
Hal ini dapat menyebabkan kurang berfungsinya sistem pengungkit yang
kaku saat kaki meninggalkan pijakan (toe off), sehingga menyebabkan keluhan
mudah lelah dan membatasi aktivitas jalan. Selain itu, gangguan keseimbangan,
deformitas berlanjut yang akan menyebabkan mudah terjadinya cedera, dan tidak
menutup kemungkinan sepatu bagian tumit cepat aus. Jadi, malfungsi pada arcus
longitudinal medial memungkinkan tubuh mudah jatuh dan akhirnya dapat
merusak bangunan tubuh secara keseluruhan (Ariani, et al., 2014).

E. Intervensi

1. Ultrasound (US)
Ultrasound merupakan salah satu modalitas yang digunakan fisioterapi
memiliki gelombang suara tinggi (frekuensi > 20.000 hz) yang menghasilkan
efek fisiologis termal dan non termal, penggunaan ultrasound secara dinamis
dengan menggunakan media penghantar arus ultrasound (Draper, 2011).
2. Terapi Latihan
a) Stretching
Strengthening exercise didefinisikan sebagai latihan penguatan dengan
prosedur sistematis dari otot atau grup otot untuk mengendalikan beban
berat (resistance) dalam waktu singkat (Kisner, et al., 2012). Jumlah
resistensi yang diterapkan dalam program latihan kekuatan pada otot
harus bertahap dan semakin meningkat dengan memanipulasi dosis
latihan agar terjadinya prinsip overload. Prinsip overload adalah salah
satu prinsip dasar latihan penggunaan resistensi untuk meningkatkan
kinerja otot. Secara sederhana, jika kinerja otot membaik, beban yang
melebihi kapasitas metabolisme otot harus diterapkan, yaitu otot harus
ditantang untuk tampil pada tingkat yang lebih tinggi dari pada yang
biasa (Wilkins, et al., 2010).
Perubahan adaptasi pada otot terjadi pada respons saraf bukan pada otot
itu sendiri. Adaptasi neurologis dikaitkan dengan motor learning dan
koordinasi yang lebih baik dan mencakup peningkatan perekrutan motor
unit (Gabriel, et al., 2006). Peningkatan kekuatan pada otot-otot tersebut
juga akan terjadi baik di neuromuscular junction maupun di serat otot
sehingga meningkatkan dukungan muskular.
b) Heel raise exercise
Heel raise exercise merupakan program latihan penguatan otot kaki
dengan mengangkat tumit pada posisi berdiri seperti posisi “berjinjit”.
Pada posisi berjinjit, os.calcaneus berada dalam posisi vertikal, tegak
lurus dengan caput metatarsal yang horizontal. Metatarsal tetap berada
sejajar dengan lantai, karena memiliki fungsi untuk menopang berat
tubuh. Fase ini biasa disebut fase push off yang dimana terjadinya
plantarfleksi dan supinasi kaki serta ekstensi sendi metatarsophalangeal
sehingga meningkatkan ketegangan ligamen plantaris dan aponeurosis
plantar dalam menanggung tekanan terbesar untuk mempertahankan
konsistensi relatif dalam rasio distribusi berat antara kepala metatarsal
sehingga membantu dalam pembentukan arcus longitudinal medial. Pada
buku The Plantar Aponeurosis and The Arch dijelaskan bahwa
aponeurosis plantar menyerap sekitar 60% dari tekanan akibat distribusi
berat tubuh. Mekanisme ini dikenal sebagai windlass effect.
c) Short foot exercise
Short foot atau biasa disebut toe graps exercise merupakan program
latihan untuk memperbaiki morfologi pada arcus longitudinal medial
dengan mengaktifkan otot-otot intrinsik pada kaki. Latihan dilakukan
dengan cara memperpendek kaki yaitu membawa jari-jari ke arah tumit
tanpa adanya gerakan fleksi kaki seperti “mencengkeram”. Pada saat
posisi mencengkeram,pertahankan bentuk statis tersebut selama 20 detik
(Kim, et al., 2016). Short foot exercise adalah bagian dari metode
stimulasi sensomotorik yang dijelaskan oleh Dr.Janda. Saat kaki dalam
posisi mencengkeram, os.talus yang merupakan keystone dari arcus
longitudinal medial akan terangkat sehingga dapat memperbaiki posisi
biomekanik kaki dan untuk mengaktifkan otot-otot intrinsik kaki dengan
cara yang tonik. Ini memaksa kaki untuk ditempatkan dalam posisi yang
lebih netral dan kurang terpangkas, meningkatkan stabilitas tubuh dalam
posisi tegak, dan membantu memperbaiki arcus longitudinal medial yang
dibutuhkan saat berjalan. Latihan dilakukan tanpa alas kaki dengan
pemuatan tepat pada tiga titik pendukung kaki (tripod) (Sulowska, et al.,
2016).
d) Squat exercise
Squat exercise merupakan program latihan penguatan otot ekstensor pada
trunk, paha dan lutut dengan cara mengaplikasikan beban tubuh ke
bawah sehingga memberikan gerakan fleksi pada lutut, paha, dan
dorsofleksi pada ankle seperti posisi “jongkok setengah”. Latihan squat
menggunakan prinsip closed kinetic chain movement yang dianggap
berperan dalam rehabilitasi fungsional dan screening para attlet
(Dionosio, 2008). Latihan squat dapat membuka sendi pelvic sehingga
membuat lebih fleksibel, memperkuat, dan menstabilkan perut, grup
hamstring,dan grup gluteus. Squat exercise dapat membantu
memperbaiki perubahan biomekanik akibat flat foot, sehingga lever
mekanik pada tubuh dapat kembali sesuai dengan center of gravity yang
normal.
BAB II

PROSES FISIOTERAPI

A. Assesment Fisioterapi

1. Diagnosa medis : Flat Foot


2. Keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan
keluhan malas bergerak dan sering terjatuh jika berlari dengan tumpuan
telapak kaki.Jika dilihat di genangan air pada lantai yang kering akan
kelihatan rata menempel telapak kaki itu dengan sempurna, pasien kesulitan
dalam melaksanakan instruksi untuk bergerak dan mengikuti kegiatan
bermain dengan teman sebaya
3. Riwayat penyakit dahulu :-
4. Pemerikaan Obyektif
a) Vital Sign : Pemeriksaan tanda vital kepada pasien yaitu dengan
melakukan pemeriksaan tekanan darah, denyut nadi, respirasi rate, suhu
tubuh, serta tinggi badan dan berat badan.
b) Inspeksi : Pola kaki melengkung dan menyusut sewaktu duduk, Pola
kaki menghilang sewaktu penderita berdiri, Bentuk kaki seperti kaki
bebek.
c) Palpasi : Tidak adanya perbedaan suhu, tidak ada atropi otot.
d) Pemeriksaan Khusus
- VAS (Nyeri statis, Nyeri dinamis, Nyeri tekan)
- Tes ROM
- Manual Muscle Testing
- Pemeriksaan Kemampuan Fungsional
e) Pemeriksaan Penunjang
- Rontgen: gambaran x-ray terdapat fallen arches atau pes planus

dengan arcus bengkok dan melengkung.

- Antropometri: tungkai terjadi perbedaan panjang antara kanan dan

kiri dimana tungkai kanan lebih panjang 7 cm daripada tungkai kiri


B. Diagnosa Fisioterapi

1. Impairment :
- Penderita sering mengeluh sakit pada kaki
- Sewaktu penderita berjalan sering jatuh
- Terjadi kelemahan pada tungkai
- Penurunan keseimbangan
2. Fungsional Limitation : Kesulitan memakai sepatu dan kesulitan berlari.
3. Participation Retriction : Tidak dapat mengikuti aktivitas fisik seperti
bermain dengan teman sebaya dan menarik diri dari aktivitas fisik.

C. Rencana Intervensi
1. Tujuan jangka pendek :
- Mengontrol gerakan sendi dengan tepat
- Memfasilitasi gerakan pada sendi tertentu
- Memfungsikan setiap tahap dalam siklus berjalan normal
2. Tujuan jangka Panjang : Meningkatkan kemampuan fungsional

D. Intervensi Fisioterapi
1. Ultrasound (US)
Lokasi dan kedalaman jaringan merupakan salah satu faktor yang
menentukan efektivitas keseluruhan ultrasound sebagai modalitas yang
layak. Tranduser ultrasound 1MHz memiliki efek pada jaringan hingga
kedalaman 5cm, kemudian 3MHz untuk jaringan hingga kedalaman 2,5cm.
Fascia jaringan non kontraktil yang masih relatif dangkal kisaran kedalaman
3MHz. Ultrasound dengan gelombang pulsed menggunakan manfaat tanpa
peningkatan suhu jaringan dan dapat diterapkan untuk cedera akut.
2. Terapi latihan
a) Stretching
Para ahli mengatakan bahwa perkembangan kekuatan otot akan lebih
cepat apabila berlatih selama tiga set dengan 8-12 repetisi dan
sebaiknya dilakukan tiga kali seminggu, agar pada hari-hari tanpa
latihan dapat dikondisikan untuk pemulihan dari kelelahan. Sebagai
landasan tambahan, hasil penelitian dari Delorme dan Watkins
menggambarkan bahwa progam latihan kekuatan isotonik terdiri dari
satu sampai tiga set dengan dua sampai sepuluh repetisi.
b) Heel Raise
Latihan ini bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot gastrocnemius
dan otot plantar fleksor kaki (Arnsdorff, et al., 2011). Latihan ini dapat
meningkatkan lengkungan kaki medial sebesar 21,8% pada kaki kiri
dan 23,3% pada kaki kanan dengan intensitas dua set per 12 kali
repetisi selama 12 kali pertemuan dalam enam minggu (Ariani, et al.,
2014). Penelitian lain mengatakan latihan tiga kali seminggu selama 30
menit, tiga set dengan 12 kali repetisi dan satu menit untuk jeda
istirahatnya efektif untuk penguatan otot intrinsik pada kaki (Arnsdorff,
et al., 2011).

Gambar 3.1

c) Short foot exercise


Latihan ini dapat dimodifikasi dengan bantuan menggunakan handuk
(towel curl) atau kelereng dan dengan merubah variasi posisinya yaitu
dalam keadaan duduk, berdiri dan setengah jongkok (half squat)
(Sulowska, et al., 2016). Latihan ini dapat meningkatkan lengkungan
kaki medial setelah 15 kali pertemuan dalam lima minggu selama 30
menit (Kim, et al., 2016). Penelitian lain mengatakan bahwa untuk
mendapatkan perubahan arcus longitudinal medial dapat dilakukan
latihan ini dengan dua kali sehari selama 15 menit dalam waktu enam
minggu (Sulowska, et al., 2016).
Gambar 3.2

d) Squat exercise
Intensitas latihan kekuatan pada squat adalah tiga sampai empat set
dengan enam sampai delapan repetisi. Para ahli fisiologi olahraga dan
kesehatan mengatakan bahwa latihan dilakukan minimal tiga kali
seminggu dan diselingi satu hari istirahat untuk memberikan
kesempatan kepada otot untuk berkembang dan beradaptasi pada hari
istirahat. Takaran lamanya latihan untuk olahraga prestasi adalah 45-
120 menit, sedangkan olahraga kesehatan antara 20-30 menit dalam
training zone (Halim, 2011).

Gambar 3.3

E. Edukasi
- Pemasangan alat bantu berjalan seperti Ortotik sepatu khusus foot flat
- Mengembalikan fungsi dan struktur tubuh yang mengalami kecacatan
- Penanganan sedini mungkin dapat menghindari dari foot flat permanen
ketika menjadi dewasa
- Mengajarkan keluarga penderita untuk melatih anak berjalan dengan benar
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan adanya permasalahan yang timbul akibat adanya flat foot, penulis
mencoba memberikan program tatalaksana fisioterapi dengan menggunakan
modalitas ultrasounds(US), terapi latihan berupa stretching, heel raise, short
foot exercise, squat exercisedan disertai dengan diberikan home program
berupa terapi latihan yang telah diajarkan dengan tujuan untuk mengatasi
problematika yang muncul pada pasien. Setelah diberikan terapi diperoleh
hasil yang baik, sehingga ada peningkatan aktifitas fungsional pasien.

B. Saran
Pada kasus flat foot ini dalam penatalaksanaanya sangat dibutuhkan
kerjasama agar tercapainya hasil pengobatan yang maksimal. Selain itu hal-
hal yang perlu diperhatikan adalah:
1. Bagi penderita disarankan untuk melakukan home program yang tepat
dan efektif seperti yang diajarkan oleh terapis.
2. Bagi keluarga disarankan untuk memberikan motivasi kepada pasien agar
mau melakukan home program dan ikut mengawasi pasien saat berlatih.
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, L., & Ari Wibawa, I. M. (2014). Aplikasi Heel Raises Exercise Dapat
Meningkatkan Lengkungan Kaki dan Keseimbangan Statis pada AnakAnak
Flat Foot Usia 4-5 Tahun di TK Aisyiyah Bustanul Athfal 3 Denpasar, 3-4.
Arnsdorff, K., Limbigh, K., & Riemann, B. (2011). Analysis of Heel Raise Exercise
with Three Foot Positions. International Journal of Exercise Science, 13-21.
Atik, A., & Ozyurek, S. (2014). Flexible Flat Foot. North Clin Istanbul, 57-64.
Bhattacharjee, N., & Monali, G. (2017). Footprint Analysis and Prevalence of
Flatfoot : A Study among the Childrenof South 24 Parganas, West
Bengal,India. Antropological.
Chang, J., Wang, S., Kuo, C., Shen, H., Hong, Y., & Lin, L. (2010). Prevalence of
Flexible Flatfoot in Taiwanese School Aged Children in Relation to Obesity,
Gender and Age. Eur J Ped 169, 447-452.
Dionosio, V. (2008). Kinematic, Kinetic, and EMG Patterns During Downward
Squating. Journal of Electromyography and Kinesiology.
Draper and William. 2011. Therapeutic Modalities in Rehabilitation Fourth
Edition.The McGraw : Hill Companies.F. A Davis Company.
Gabriel, D., Kamen, G., & Frost, G. (2006). Neural adaptations to resistive exercise:
mechanisms and recommendations for training. Sports Med.
Giovanni CD, & Greisberg J. (2012). Foot and Ankle: Core Knowledge in
Orthopaedics. Elsevier Mosby.
Halim, N. I. (2011). Tes dan Pengukuran Kebugaran Jasmani. Makassar: Universitas
Negeri Makassar.
Harris, E. (2004). Diagnosis and Treatment of Pediatric Flat foot. Volume 43(6).
Hillstrom, J., Song, J., Kraszewski , P., Hafer, F., Mootanah, R., & Dufour, B.
(2013). Foot Type Biomechanichs part I : Structure and Funcion of The
Asymptomatic Foot. Gait Posture, 446-458.
Indardi, N. 2015. Latihan Fleksi Telapak Kaki Tanpa Kinesio Taping Dan
Menggunakan Kinesio Taping Terhadap Keseimbangan Pada Flexible Flat
Foot. Journal of Physical Education, Health and Sport, 2(2), pp.89-93.
Jennings, M., & Christensen , J. (2008). The Effects of Sectioning The Spring
Ligament on Rearfoor Stability and Posterior Tibial Tendon Efficiency. J.
Foot Ankle Surg., 219-224.
Kim, E. K., & Kim, J. S. (2016). The effects of short foot exercises and arch support
insoles on improvement in the medial longitudinal arch and dynamic balance
of flexible flatfoot patients. Journal Physical Therapy Science.
Kisner, C., & Colby, L. A. (2012). Therapeutic Exercise (Vol. 6th Edition).
Philadelphia: F.A Davis Company.
Lowth, M. (2015, April 24). Dipetik Februari 16, 2018, dari Flat Feet Article Online:
https://patient.info/health/heel-and-foot-pain-plantar-fasciitis/flatfeet
Mosca, V. (2010). Flexible Flatfoot in Children and Adolescents. (4).
Ozdinc, A., & Turanz, N. (2016). Effect of Ballet Training of Children in Turkey on
Foot Antropometric Measurements and Medial Longitudinal Arc
Development . J Pak Med Assoc.
Prachgosin, T., Smithmaitrie, P., & Chatpun, S. (2017). Medial Longitudinal Arch
Biomechanics Evaluation During Gait in Subject with Flexible Flatfoot. Acta
of Bioengineering and Biomechanics, 122-130.
Richie, D. (2007). Biomechanics and Clinical Analysis of The Adult Acquired Flat
Foot. Clin. Podiatr. Med. Surg., 617-644.
Sulowska, I., Oleksy, Ł., & Mika, A. (2016). The Influence of Plantar Short Foot
Muscle Exercises on Foot Posture and Fundamental Movement Patterns in
Long-Distance Runners, a Non-Randomized, Non-Blinded Clinical Trial.
Plos One, 1-12.
Wilkins, & William, L. (2010). Resource Manual for Guidelines for Exercise Testing
and Prescription. Philadelphia: American College of Sports Medicine.

Anda mungkin juga menyukai