Anda di halaman 1dari 18

Refarat

MEKANISME HAPPY HYPOXIA PADA PASIEN COVID-19

Oleh

Johanes F N Kesek 20014101102


Jooh Andika Kawengian 20014101103
Eflika Cecilia Rapang 20014101099
Fauzan Ilham Pratama 20014101100
Tessalonicha J Rompis 20014101105
Ni Luh Ayu Sucindrawati 20014101104
Fricilia Yolanda Kaitang 20014101101
Nafira S M Gani 17014101296

Masa KKM
9 Agustus – 5 September 2021

Pembimbing:
dr. Eka Yudha Lantang, Sp.An, M.M, M.Min

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Tugas Wajib Refarat dengan judul:

“MEKANISME HAPPY HYPOXIA PADA PASIEN COVID-19”

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing

dr. Eka Yudha Lantang, Sp.An, M.M, M.Min

1
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................................1
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
BAB II.............................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................5
A. Definisi Happy Hypoxia.......................................................................................................5
B. Etiologi Happy Hypoxia.......................................................................................................5
C. Manifestasi klinis..................................................................................................................6
D. Patofisiologi Happy Hypoxia...............................................................................................7
E. Penatalaksanaan..................................................................................................................11
F. Kompilkasi..........................................................................................................................13
G. Prognosis.............................................................................................................................14
BAB III..........................................................................................................................................15
PENUTUP.....................................................................................................................................15
A. KESIMPULAN......................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................16

2
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit COVID 19 adalah penyakit dengan tanda dan gejala yang bervariasi mulai dari

tidak menunjukan gejala (asimtomatik), gejala ringan yang menyerupai flu, sampai gejala berat

yang membahayakan nyawa seperti sesak nafas. Masyarakat mungkin sudah mengenal tanda dan

gejala penyakit COVID 19 yang umum ditemukan seperti batuk, pilek, demam, nyeri

tenggorokan dan kehilangan indra penciuman, namun tidak banyak yang mengetahui tentang

fenomena “Happy Hypoxia”.

Happy hypoxia syndrome dikenal juga dengan istilah ‘silent hypoxemia’ merupakan

kondisi pasien yang mengalami penurunan tingkat saturasi oksigenasi darah yang sangat rendah,

tetapi tidak diikuti dengan sensasi dyspnea (sesak napas). Seseorang akan terlihat seperti biasa,

tidak mengalami gangguan kondisi fisik, dan dapat berkomunikasi. Padahal gejala ini dapat

mengakibatkan hilangnya kesadaran, bahkan kematian. 

Tanda hipoksia dapat terjadi ketika informasi sensorik mencapai batang otak dan memicu

respon parsial kompensasi reflex pernapasan untuk menurunkan kadar CO2 yang berdifusi ke

alveoli. Ketika otak menerima sinyal hipoksia internal, hal itu menimbulkan sensasi “air hunger”

dan kebutuhan untuk bernapas, yang anehnya sinkronisasi respon ini tidak ada pada pasien

COVID-19 tertentu.

Perlu diketahui bahwa tekanan oksigen dalam arteri yang normal berada dikirsaran 75-

100 mmHg. Bila tekanan oksigen berada dibawah 60 mmHg, hal itu menunjukan bahwa tubuh

memerluka oksigen tambahan. Sementara bila diperiksa dengan menggunakan pulse oksimetri,

konsenrasi oksigen dalam jaringan yang normal adalah 95-100 %. Dibawah nilai tersebut berarti

3
oksigen dalam tubuh rendah atau yang disebut dengan Hypoxemia atau hypoksia. Hypoksia

dapat menyebabkan kelainan jantung, gangguan fungsi paru, misalnya asma, efisema, bronchitis,

pneumonia, PPOK, kanker paru-paru, gangguan pernafasan saat tidur atau sleep apnea dan

anemia.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Happy Hypoxia

Happy hypoxia adalah keadaan dimana terdapat hipoksemia arterial berat pada

pasien namun tidak ada keluhan sesak nafas ataupun tanda gangguan nafas yang

proporsional. Kasus Happy pada COVID-19 pertama kali dilaporkan pada April 2020,

dan selanjutnya fenomena ini menjadi lebih banyak lagi ditemukan pada pasien

terkonfirmasi COVID-19, dimana pasien datang ke rumah sakit dengan gejala yang

ringan namun mengalami perburukan kondisi secara cepat dan berakhir dengan

meninggal.

B. Etiologi Happy Hypoxia

Kadar oksigen ditubuh normalnya adalah 95-100%. Kadar oksigen yang kurang

daro 90%, sudah dianggap rendah dan gejala hypoksemiapun biasanya akan terlihat.

Semtara itu pada para pengidap COVID-19 yang terkena Happy Hypoxia, kadar okisgen

bias turun hingga tinggal 50% dan mereka belum merasakan gejala yang berarti.

Beberapa pasien bahwakan masih bisa beraktifitas seperti biasanya sebelum harus

menerima pemasangan ventilator atau alat bantu nafas.

Terjadinya Happy Hypoxia yang diteliti pada 16 pasien COVID-19 dengan kadar

oksigen yang sangat rendah yang tidak memiliki gejala hypoksia yaitu;

1. Rendahnya kadar karbon dioksida ditubuh pasien Covid-19

Pada kasus hypoksia biasa, turunnya kadar oksigen tidak diikuti dengan berkurangnya

kadar karbon dioksida dalam tubuh. Sehingga, tubuh bisa cepat menangkap sinyal

5
bahwa telah terjadi ketidakseimbangan didalam tubuh. Sementara itu, pada kasus

Happy Hypoxia, berkurangnya kadar oksigen yang signifikan juga disertai turunnya

kadar karbon dioksida ditubuh. Akibatnya, tubuh merasa bahwa kondisi didalam

tubuh masih seimbang padahal telah terjadi gangguan.

2. Virus Corona merusak bagian otak yang seharusnya merespon hypoksia

Kemungkinan lain penyebab happy hypoxia adalah virus corona yang masuk

ketubuh, yang telah merusak kemampuan dalam mendeteksi penurunan oksigen.

Sehingga otak baru merespon ketika kadar oksigen sudah terlalu rendah dan pada saat

itu barulah pasien menunjukan gejala seperti sesak nafas.

C. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis COVID-19 sangat beragam diantaranya mulai dari

asimptomatis, kelaianan pernafasan akut, gagal pernafasan yang memerlukan penggunaan

ventilator di unit rawat intensif hingga terjadinya beragam gejala disfungsi organ.

Beberapa pasien bisa saja menunjukkan gejala ‘happy’hipoksia, yaitu suatu kondisi

dimana pasien memiliki saturasi oksigen yang rendah saat dilakukan pemeriksaan

menggunakan oximetry (SpO2<90%) namun tidak memiliki gejala pernafasan yang

spesifik,tidak mengalami kesulitan bernafas dan terlihat baik-baik saja.

Bagi tenaga kesehatan, adanya ‘happy’hipoksia pada pasien Covid-19, dapat

menyebabkan kekeliruan yang mengarah pada kesimpulan bahwapasien tidak dalam

kondisi kritis. Kasus-kasus tersebut dapat dengan cepat menjadi Acute Respiratory

Distress syndrome (ARDS), pada saat yang sama bisa mengakibatkan serangan jantung

dan pernafasan yang terjadi secara bersamaan hingga dapat mengakibatkan kematian

6
Hipoksia adalah kondisi yang berbahaya karena dapat menggangu kerja organ-

organ vital ditubuh mulai dari paru-paru, hati, hingga otak. Pada kondisi yang parah,

hipoksia bias menyebabkan kematian hingga kegagalan organ. Oksigen adalah komponen

yang sangat penting untuk tubuh, tanpa oksigen sel-sel tidak bisa bekerja sehingga organ-

organ tidak mampu berfungsi. Kondisi ini dapat berujung ke gagal organ, kegagalan

organ seperti otak, hati atau paru-paru menandakan matinya jaringan pada organ tersebu.

Sehingga, organ tersebut sudah tidak lagi bisa berfungsi. Pada kondisi hypoksia yang

bukan desebabkan oleh Covid-19, orang yang mengalaminya akan menunjukan gejala

yang jelas seperi sesak nafas, keringat dingin dan takikardi atau justru bradikardi. Dengan

gejala yang jelas hypoksia bisa ditangani dengan cepat sebelum kadar oksigen makin

menurun, sehingga kerusakan jaringan organ bisa dihindari atau dicegah. Sementara itu

pada pasien Covid-19, hypoksia yang dialami bisa tanpa gejala. Sehingga muncul istilah

Happy Hypoxia. Meski gejala tidak muncul, tapi kadar oksigen ditubuh pengidap Happy

Hypoxia bisa sangat rendah dan organ-organ vitalnya terlanjur mengalami kerusakan.

Tidak jarang, hal inilah yang membuat pasien menggal meskipun awalnya terlihat sehat-

sehat saja.

D. Patofisiologi Happy Hypoxia

Penyebab happy hypoxemia pada COVID-19 masih belum diketahui secara

menyeluruh. Saat ini, ada beberapa penjelasan mengenai patofisiologi keadaan tersebut,

yakni intrapulmonary shunting, hilangnya regulasi perfusi paru-paru normal,

mikrotrombus intravaskuler, gangguan kapasitas difusi paru, serta efek virus

terhadap hypoxia-sensing neuron. Mekanisme hypoxemia pada Covid-19 :

7
1. Intrapulmonary Shunting

Hipoksemia arteri pada infeksi SARS-CoV-2 terutama disebabkan oleh

ketidaksesuaian V/Q (ventilasi/perfusi) yang direfleksikan pada peningkatan gradien

P(A-a)O2. Infeksi virus menimbulkan edema interstitial lokal pada struktur jaringan

paru (ground glass opacities dan konsolidasi pada CT scan paru) sehingga terjadi

kehilangan surfaktan dan peningkatan tekanan. Kemudian, alveolar akan kolaps tetapi

tetap mendapat aliran darah dari cardiac output. Hal inilah yang mendasari terjadinya

ketidaksesuaian V/Q. Seiring waktu, peningkatan edema akan menambah berat paru-

paru serta mengakibatkan kolaps alveolar dan atelektasis dependen. Kombinasi

tersebut akan semakin menambah shunt fraction dan menurunkan oksigenasi yang

tidak dapat dikoreksi sepenuhnya dengan meningkatkan FiO2.

2. Hilangnya Regulasi Perfusi Paru

Dengan menggunakan dual-energy CT, menilai karakteristik perfusi paru-paru

pada pasien COVID-19. Peneliti menemukan bahwa persistensi aliran darah yang

besar ke non-ventilated/aerated alveolus paru pada pasien COVID-19 disebabkan

8
oleh kegagalan relatif dari mekanisme  hypoxic pulmonary

vasoconstriction (konstriksi arteri-arteri kecil intrapulmoner sebagai respons terhadap

hipoksia alveolar).

Masih belum dipahami dengan lengkap apakah hal tersebut hanya dipicu oleh

pelepasan vasodilator prostaglandin endogen, bradikinin, dan sitokin inflamasi. Pada

patofisiologi COVID-19, terjadi gangguan regulasi renin-angiotensin system (RAS)

dengan penurunan kadar angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) yang berperan

dalam regulasi vasokontriksi paru.

3. Mikrotrombus Intravaskuler

Salah satu patogenesis utama COVID-19 adalah kerusakan endotel akibat

infeksi cytopathic virus pada sel endotel kapiler yang mengekspresikan ACE2.

Mikrotrombus intravaskuler terjadi akibat ketidakseimbangan aktivitas prokoagulan

dan fibrinolitik yang disebabkan oleh kerusakan endotel dan inflamasi akut.

Aktivitas prokoagulan terjadi akibat aktivasi pembekuan darah yang dimediasi

oleh sistem komplemen (serupa dengan jenis mikroangiopati trombotik) atau inhibisi

aktivasi plasminogen dan fibrinolisis akibat peningkatan aktivitas plasminogen

activator inhibitor (PAI-1 dan PAI-2) yang terinduksi sebagai protein fase akut di

bawah pengaruh IL-6.

Selain itu, pada pasien COVID-19 berat, dapat terjadi disseminated intravascular

coagulation (DIC) yang dimediasi oleh pelepasan faktor jaringan oleh endotel dan

aktivasi faktor pembekuan VII dan XI.

Hasil otopsi paru pasien COVID-19 berat menunjukkan bahwa terdapat deposisi

fibrin, kerusakan alveolar difus, penebalan dinding vaskuler. Selain itu, ditemukan

9
juga adanya mikrotrombus yang kaya akan komplemen yang dapat mengoklusi

kapiler paru serta trombus yang lebih besar yang dapat menimbulkan trombosis arteri

paru dan emboli paru.

4. Gangguan Kapasitas difusi

Infeksi SARS-CoV-2 di dalam sel alveolar tipe II akan diikuti oleh destruksi sel

yang dimediasi oleh respons imun (virus-linked pyroptosis). Kerusakan sel epitel

alveolar dan kondisi prokoagulan akan menyebabkan membran basal tertutupi oleh

debris yang terdiri dari fibrin, sel mati, dan produk aktivasi komplemen (dikenal

dengan membran hialin).

Hal tersebut akan menyebabkan diffusing capacity for carbon monoxide (DLCO).

Dengan absennya vasokonstriksi hipoksik dan adanya sirkulasi paru hiperdinamis,

maka tidak ada waktu yang cukup bagi sel-sel darah merah untuk

mengekuilibrasi uptake oksigen, sehingga akan meningkatkan gradien P(A-

a)O2 dan exercise-induced arterial hypoxemia (EIAH).

Laporan oleh Xiaoneng Mo et al mengonfirmasi adanya penurunan DLCO pada

pasien COVID-19 pada saat dipulangkan dari rumah sakit. Prevalensi gangguan

DLCO berkaitan dengan derajat keparahan penyakit (30,4% pada sakit ringan, 42,4%

pada pneumonia, dan 84,2% pada pneumonia berat) .

10
5. Efek Virus terhadap Hypoxia-Sensing Neuron

Ada hipotesis yang menyatakan bahwa kerusakan pada afferent hypoxia-sensing

neuron pada pasien COVID-19 terjadi sebagai efek langsung SARS-CoV-2 pada

mitokondria atau pada serat neuron. Namun, kerusakan pada hypoxia-sensing

neuron dapat pula terjadi sebagai bagian dari badai sitokin yang dipicu oleh infeksi

SARS-CoV-2.

Patut diperhatikan juga bahwa sel reseptor yang bertanggung jawab pada infeksi

SARS-CoV-2, yaitu ACE2, turut diekspresikan pada badan karotis yang merupakan

salah satu chemoreceptor sense oxygen yang dapat mengalami kerusakan pada proses

infeksi.

Meski masih perlu dibuktikan lebih lanjut, dasar hipotesis tersebut secara

fisiologis dapat berperan pada gangguan input aferen chemosensors terhadap area

pusat respirasi di batang otak.

E. Penatalaksanaan

Pengurangan badai sitokin tetap menjadi tujuan terapi utama. Mengenai perfusi,

menghindari mikrotrombus dan deposisi fibrin yang berkelanjutan adalah salah satu

11
strategi terapi. Tampaknya bijaksana untuk menggunakan tromboprofilaksis pada

semua pasien COVID-19, terutama pada mereka dengan D-dimer tinggi saat masuk

Moore dkk. baru-baru ini menyarankan penggunaan aktivator plasminogen jaringan

(tPA) untuk mengobati ARDS pada COVID-19. Selain itu, mengatasi komplikasi

protrombotik sistemik menggunakan obat antiinflamasi (seperti anti-IL6R

tocilizumab atau sarilumab, atau antibodi anti-IL6 siltuximab atau strategi

penghambat komplemen) untuk mencegah makro dan mikrotrombi merupakan

pendekatan potensial lain.

Mengenai ventilasi, oksigen tambahan adalah langkah pertama dalam

memfasilitasi oksigenasi. Pada pasien dengan kegagalan pernapasan hipoksemia

refrakter (meningkatkan fraksi shunt), intubasi tepat waktu tetapi tidak prematur dan

dukungan ventilasi invasif mungkin lebih unggul daripada ventilasi non-invasif dalam

meningkatkan tekanan transpulmonal, membuka alveoli yang kolaps, meningkatkan

oksigenasi, mengurangi hutang oksigen, menghindari P-SILI dan menawarkan

kesempatan yang lebih baik bagi paru-paru untuk sembuh 

Kondisi happy hypoxia pada saat masuk menjadi alasan kami tidak segera

melakukan intubasi dan ventilasi mekanik pada pasien ini, karena penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa dokter harus menghindari terapi oksigen agresif

untuk happy hypoxia COVID-19 seperti intubasi dan ventilasi mekanik, karena

tindakan tersebut dapat membahayakan. paru-paru yang mengembang sendiri

(Couzin-Frankel,  2020 ; Gattinoni et al.,  2020b ). NIV awalnya diberikan kepada

pasien ini dan kemudian intubasi dan ventilasi mekanis hanya dimulai ketika pasien

mengalami perburukan oksigenasi.

12
F. Kompilkasi

Komplikasi yang paling utama yang ada pada pasien COVID-19 adalah ARDS

(Acute Respiratory Disstres Syndrom). tapi tidak hanya ARDS, melainkan dapat terjadi

komplikasi lain daintaranya :

a. Gangguan ginjal akut

b. Jejas Kardiak

c. Disfungsi Hati

d. Pnemotoraks

e. Syok Sepsis

f. Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)

g. Rabdomiolisis

h. Pneumomediastinum

Menurut KEMENKES RI (2020b) komplikasi terdiri atas beberapa jenis sebagai

berikut :

a. Komplikasi Akibat Penggunaan Ventilasi Mekanik Invasif (IMV) Yang Lama

b. Ventilator-Associated Pneumonia (VAP)

c. Tromboemboli Vena

d. Catheter-Related Bloodstream

e. Stres Ulcer Dan Pendarahan Saluran Pencernaan

f. Kelemahan Akibat Perawatan di ICU

g. Komplikasi Lainnya Selama Perawatan Pasien

13
G. Prognosis

Sangat penting untuk mengenali bahwa beberapa pasien Covid-19 telah

mengalami hipoksia. Namun tanpa tanda-tanda yang mengarah pada terjadinya

ARDS (Acute Respiratory Disstres Syndrom), dimana pasien tidak memperlihatkan

sianosis maupun keluhan sensasi dispnea. Dokter tidak boleh hanya mempercayai

kondisi pasien yang tampak ‘happy’ tetapi juga harus memantau dengan cermat laju

pernapasan, tanda-tanda hiperventilasi, saturasi oksigen, dan pengukuran invasif

hipoksia/ hipokapnia pada interval waktu yang teratur. Untuk dokter, adanya ‘happy’

hipoksia pada pasien Covid-19, yang telah terjadi hipoksia, secara tidak sengaja

dapat mengarah pada kesimpulan bahwa pasien tidak dalam kondisi kritis. Kasus-

kasus tersebut dapat dengan cepat melompati tahapan perubahan kondisi klinis

dan terjadi ARDS, dengan serangan jantung dan dapat mengakibatkan kematian.

Reinfeksi pada pasien kembali lagi positif rRT-PCR dalam kurun waktu 5-13 hari

setelah dinyatakan negatif 2 kali secara berturut-turut dan lalu dipulangkan kembali

dari rumah sakit. Hal ini kemungkinan dikarenakan reinfeksi atau hasilnya yang

negatif palsu pada rRT-PCR disaat kembali ke rumah atau dipulangkan.

14
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sangat penting untuk mengenali bahwa beberapa pasien Covid-19 telah

mengalami hipoksia. namun tanpa tanda-tanda yang mengarah pada

terjadinya ARDS, dimana pasien tidak memperlihatkan sianosis maupun keluhan

sensasi dispnea. Dokter tidakbolehhanya mempercayai kondisi pasien yang

tampak ‘happy’tetapi juga harus memantau dengan cermat laju pernapasan, tanda-

tanda hiperventilasi, saturasi oksigen, dan pengukuran invasif hipoksia/ hipokapnia

pada interval waktu yang teratur.Oksimetri nadi harus diinterpretasikan dengan

hati-hati, karena kurva disosiasi oksihemoglobin bergeser ke sisi kiri. Untuk

dokter, adanya ‘happy’hipoksiapada pasien Covid-19, yang telah terjadi hipoksia,

secara tidak sengaja dapat mengarah pada kesimpulan bahwa pasien tidak dalam

kondisi kritis. Kasus-kasus tersebut dapat dengan cepat melompati tahapan

perubahan kondisi klinis dan terjadi ARDS, dengan serangan jantung dan

pernapasan yang bersamaan dapat mengakibatkan kematian.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Archer SL, Sharp WW, Weir EK. Differentiating COVID-19 Pneumonia From Acute

Respiratory Distress Syndrome and High Altitude Pulmonary Edema:

Therapeutic Implications. Circulation. 2020 Jul 14;142(2):101–4

2. Dewi DAP, Utama WT. Happy Hypoxia Pada Pasien Covid-19. Bagian

Etikomedikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Medula. Vol.10.

No.4. Januari 2021

3. Dhont et al. The pathophysiology of ‘happy’ hypoxemia in COVID-19. Respiratory

Research (2020) 21:198 https://doi.org/10.1186/s12931-020-01462-5

4. Garcés Villalá, S D Rico, Cortez Quiroga, Gui-Rado J L Calvo, Guadalquivir A.

COVID 19. Pathophysiology and prospects for early detection in patients with

mild symptoms of the controversial virus in underdeveloped countries: An

update on the state. 2020 [cited 2020 Aug 25]; Available from:

HTTP://RGDOI.NET/10.13140/RG.2.2.29110.24647

5. Gonzalez-Duarte, Alejandra dan Lucy Norcliffe-Kaufmann. Is ’happy hypoxia’ in

COVID-19 a disorder of autonomic interoception?A hypothesis (2020).Springer

(Letter To The Editor).

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7362604/

6. Ottestad W, Seim M, Mæhlen JO. Covid-19 med stille hypoksemi. Tidsskrift for Den

norske legeforening [Internet]. 2020 [cited 2020 Aug 26]; Available from:

https://tidsskriftet.no/2020/04/kort-kasuistikk/covid-19-med-stille-hypoksemi

16
7. Sebastiaan Dhont, Eric Derom, Eva Van Braeckel, Pieter Depuydt, and Bart N.

Lambrecht. The pathophysiology of ‘happy’ hypoxemia in COVID-19 2020; 21: 198.

8. Tobin MJ, Laghi F, Jubran A. Why COVID-19 Silent Hypoxemia Is Baffling to

Physicians. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 2020

Aug 1;202(3):356–60.

9. Tobin, Martin J., Franco Laghi, dan Amal Jubran. Why COVID-19 Silent Hypoxemia

Is Baffling to Physicians. (2020)American Journal of Respiratory and Critical

Care Medicine Volume 202 Number 3.

https://www.atsjournals.org/doi/pdf/10.1164/rccm.202006-2157CP

10. Widysanto A, Wahyuni TD, Simanjuntak LH, et al. Happy hypoxia in critical

COVID‐19 patient: A case report in Tangerang, Indonesia. Physiol Rep.

2020;8:e14619 10.14814/phy2.14619

17

Anda mungkin juga menyukai